Cardiac Arrest
1. Pengertian.
Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak,
bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit jantung ataupun
tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu
gejala dan tanda tampak (American Heart Association,2010).
Jameson, dkk (2005), menyatakan bahwa cardiac arrest adalah
penghentiansirkulasi normal darah akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara
efektif. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
henti jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara
mendadakuntuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk memberi kebutuhan
oksigen ke otak dan organ vital lainnya akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi
secara efektif.
2. Faktor predisposisi
Iskandar (2008), mengatakan bahwa faktor risiko cardiac arrest adalah Laki-laki
usia 40 tahun atau lebih, memiliki kemungkinan untuk terkena cardiacarrest satu
berbanding delapan orang, sedangkan pada wanita adalah satuberbanding 24 orang.
Semakin tua seseorang, semakin rendah risiko henti jantungmendadak. Orang dengan
faktor risiko untuk penyakit jantung, seperti hipertensi,hiperkholesterolemia dan
merokok memiliki peningkatan risiko terjadinya cardiacarrest (Iskandar,2008).
Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakanmempunyai
risiko tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi: a) Ada jejasdi jantung akibat
dari serangan jantung terdahulu. b) Penebalan otot jantung (Cardiomyopathy). c)
Seseorang yang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung. d) Kelistrikan jantung
yang tidak normal. e) Pembuluh darah yang tidak normal. f) Penyalahgunaan obat.
a) Adanya jejas di jantung karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab lain;
jantung yang terjejas atau mengalami pembesaran karena sebab tertentu cenderung
untuk mengalami aritmia ventrikel yang mengancam jiwa. Enam bulan pertama
setelah seseorang mengalami serangan jantung adalah periode risiko tinggi untuk
terjadinya cardiac arrest pada pasien dengan penyakit jantung atherosclerotic.
b) Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) karena berbagai sebab (umumnya karena
tekanan darah tinggi, kelainan katub jantung) membuat seseorang cenderung untuk
terkena cardiac arrest.
c) Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung; karena beberapa kondisi
tertentu, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti aritmia) justru merangsang
timbulnya aritmia ventrikel dan berakibat cardiac arrest. Kondisi seperti ini disebut
proarrythmic effect. Pemakaian obat-obatan yang bisa mempengaruhi perubahan
kadar potasium dan magnesium dalam darah (misalnya penggunaan diuretik) juga
dapat menyebabkan aritmia yang mengancam jiwa dan cardiac arrest.
d) Kelistrikan yang tidak normal; beberapa kelistrikan jantung yang tidak normal seperti
Wolff-Parkinson-White-Syndrome dan sindroma gelombang QT yang memanjang
bisa menyebabkan cardiac arrest pada anak dan dewasa muda.
e) Pembuluh darah yang tidak normal, jarang dijumpai (khususnya di arteri koronari dan
aorta) sering menyebabkan kematian mendadak pada dewasa muda. Pelepasan
adrenalin ketika berolah raga atau melakukan aktifitas fisik yang berat, bisa menjadi
pemicu terjadinya cardiac arrest apabila dijumpai kelainan tadi.
f) Penyalahgunaan obat; penyalahgunaan obat adalah faktor utama terjadinya cardiac
arrest pada penderita yang sebenarnya tidak mempunyai kelainan pada organ
jantung.
5. Prognosis
Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam jangka
waktu 8 sampai 10 menit dari seseorang tersebut mengalami henti jantung (Diklat
Ambulans Gawat Darurat 118,2010). Kondisi tersebut dapat dicegah dengan
pemberian resusitasi jantung paru dan defibrilasi segera (sebelum melebihi batas
maksimal waktu untuk terjadinya kerusakan otak), untuk secepat mungkin
mengembalikan fungsi jantung normal. Resusitasi jantung paru dan defibrilasi yang
diberikan antara 5 sampai 7 menit dari korban mengalami henti jantung, akan
memberikan kesempatan korban untuk hidup rata-rata sebesar 30% sampai 45 %.
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dengan penyediaan defibrillator yang
mudah diakses di tempat-tempat umum seperti pelabuhan udara, dalam arti
meningkatkan kemampuan untuk bisa memberikan pertolongan (defibrilasi)
sesegera mungkin, akan meningkatkan kesempatan hidup rata-rata bagi korban
cardiac arrest sebesar 64% (American Heart Assosiacion.2010).
6. Resusitasi Jantung Paru / Cardio Pulmonary Resusitation
a. Pengertian
care.
(2). Apabila pasien tidak berespon, minta seseorang yang saat itu
bersama kita untuk minta tolong (telp:119). Apabila kita
sendirian, korbannya dewasa dan di tempat itu tersedia telepon,
panggil 119. Apabila kita sendiri, dan korbannya bayi/anak-
anak, lakukan CPR untuk 5 siklus (2 menit), kemudian
panggil
119.
(3). Posisikan pasien supine pada alas yang datar dan keras, ambil
posisi sejajar dengan bahu pasien. Jika pasien mempunyai
trauma leher dan kepala, jangan gerakkan pasien, kecuali bila
sangat perlu saja.
2-4 detik).
c). Circulation
(2). Jaga kedua lengan lurus dengan siku dan terkunci, posisi
pundak berada tegak lurus dengan kedua tangan, dengan cepat
dan bertenaga tekan bagian tengah bawah dari sternum pasien
ke bawah, 1 - 1,5 inch (3,8 - 5 cm)
(4). Lakukan CPR dengan dua kali nafas buatan dan 30 kali
kompresi dada. Ulangi siklus ini sebanyak 5 kali(2 menit).
Kemudian periksa nadi dan pernafasan pasien. Pemberian
kompresi dada dihentikan jika: a).telah tersedia AED
(Automated External Defibrillator). b). korban
menunjukkan tanda kehidupan. c). tugas diambil alih oleh
tenaga terlatih. d). penolong terlalu lelah untuk melanjutkan
pemberian kompresi. Rasionalisasi: bantuan nafas harus
dikombinasi dengan kompresi dada. Periksa nadi di arteri
carotis, jika belum teraba lanjutkan pemberian bantuan nafas
dan kompresi dada.
Defibrillator) segera.
CPR yang diberikan pada anak hanya menggunakan satu
tangan, sedangkan untuk bayi hanya menggunakan jari telunjuk dan
tengah. Ventrikel bayi dan anak terletak lebih tinggi dalam rongga
dada, jadi tekanan harus dilakukan di bagian tengah tulang dada.
Perubahan ini dirancang untuk menyederhanakan pelatihan bagi HCP dan untuk
terus menekankan pentingnya menyediakan CPR berkualitas tinggi di awal untuk
korban serangan jantung. Berikut adalah informasi selengkapnya tentang
perubahan tersebut.
Dalam topik berikut untuk HCP, tanda bintang (*) akan menandai topik yang
sama untuk HCP dan penolong tidak terlatih.
Rekoil Dada*
2015 (Diperbarui): Penting bagi penolong untuk tidak bertumpu di atas dada di
antara kompresi untuk mendukung rekoil penuh dinding dada pada pasien dewasa
saat mengalami serangan jantung.
2010 (Lama): Penolong harus membolehkan rekoil penuh dinding dada setelah
setiap kompresi agar jantung terisi sepenuhnya sebelum kompresi berikutnya
dilakukan.
Alasannya: Rekoil penuh dinding dada terjadi bila tulang dada kembali ke posisi
alami atau netralnya saat fase dekompresi CPR berlangsung. Rekoil dinding dada
memberikan relatif tekanan intrathoraks negatif yang mendorong pengembalian
vena dan aliran darah kardiopulmonari. Bertumpu di atas dinding dada di antara
kompresi akan menghalangi rekoil penuh dinding dada. Rekoil tidak penuh akan
meningkatkan tekanan intrathoraks dan mengurangi pengembalian vena, tekanan
perfusi koroner, dan aliran darah miokardium, serta dapat mempengaruhi hasil
resusitasi.
Ventilasi Tertunda
2015 (Baru): Untuk pasien OHCA yang terpantau dengan ritme dapat dikejut,
mungkin penting bagi sistem EMS dengan umpan balik beberapa tingkat berbasis
prioritas untuk menunda ventilasi bertekanan positif (PPV/positive pressure
ventilation) dengan menggunakan strategi hingga 3 siklus dari 200 kompresi
berkelanjutan dengan insuflasi oksigen pasif dan tambahan saluran udara.
Alasannya: Beberapa sistem EMS telah menguji strategi penerapan kompresi dada
awal secara berkelanjutan dengan PPV tertunda untuk korban OHCA dewasa.
Dalam semua sistem EMS ini, penyedia layanan menerima pelatihan tambahan
dengan penekanan pada penerapan kompresi dada berkualitas tinggi. Tiga
penelitian dalam sistem yang menggunakan umpan balik beberapa tingkat
berbasis prioritas dalam komunitas perkotaan dan pedesaan, serta memberikan
paket perawatan mencakup hingga 3 siklus insuflasi oksigen pasif, penyisipan
tambahan saluran udara, dan 200 kompresi dada berkelanjutan dengan penerapan
kejut, menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup pasien dengan status
neurologis yang dapat diterima pada korban serangan jantung yang terlihat jatuh
dan dengan ritme dapat dikejut.
CPR Ekstra-Korporeal
2015 (Baru): ECPR dapat dipertimbangkan di antara pasien serangan jantung
tertentu yang belum merespons terhadap CPR konvensional awal, dalam kondisi
yang mendukung ECPR dapat diterapkan dengan cepat.
Alasannya: Meskipun tidak ada penelitian berkualitas tinggi yang
membandingkan ECPR dengan CPR konvensional, namun sejumlah penelitian
berkualitas lebih rendah membuktikan peningkatan kelangsungan hidup dengan
hasil neurologis yang baik pada populasi pasien tertentu. Karena ECPR
merupakan sumber intensif dan memerlukan biaya besar, ECPR harus
dipertimbangkan hanya bila pasien memiliki kemungkinan manfaat yang cukup
besar, yakni pasien memiliki penyakit yang bersifat reversibel atau untuk
mendukung pasien sewaktu menunggu transplantasi jantung.
-Blocker
2015 (Baru): Tidak terdapat cukup bukti untuk mendukung penggunaan -blocker
secara rutin setelah serangan jantung. Namun, inisiasi atau kelanjutan -blocker
oral maupun IV dapat dipertimbangkan di awal setelah menjalani rawat inap dari
serangan jantung akibat VF/pVT.
Alasannya: Dalam penelitian observasi terhadap pasien yang menjalani ROSC
setelah serangan jantung VF/pVT, pemberian -blocker terkait dengan tingkat
kelangsungan hidup lebih tinggi. Namun, temuan ini hanya merupakan hubungan
asosiatif, dan penggunaan -blocker secara rutin setelah serangan jantung
berpotensi berbahaya karena -blocker dapat menyebabkan atau memperburuk
ketidakstabilan hemodinamik, menambah parah gagal jantung, dan
mengakibatkan bradiaritmia. Oleh karena itu, penyedia layanan medis harus
mengevaluasi pasien secara terpisah untuk mengetahui kecocokan mereka
terhadap -blocker.
Angiografi Koroner
2015 (Diperbarui): Angiografi koroner harus dilakukan secepatnya (bukan nanti
saat dirawat di rumah sakit atau tidak sama sekali) pada pasien OHCA dengan
dugaan serangan etiologi jantung dan elevasi ST pada ECG. Angiografi koroner
darurat perlu dilakukan pada pasien dewasa tertentu (misalnya, tidak stabil secara
fisik maupun hemodinamik) yang tidak sadarkan diri setelah OHCA dan diduga
sebagai sumber serangan jantung, namun tanpa elevasi ST pada ECG. Angiografi
koroner perlu dilakukan pada pasien pasca-serangan jantung yang diindikasikan
menjalani angiografi koroner, terlepas dari apakah pasien tersebut berada dalam
kondisi tidak sadarkan diri.
2010 (Lama): Primary PCI (PPCI) setelah ROSC sehubungan dengan dugaan
serangan etiologi jantung iskemik dapat dilakukan, bahkan jika STEMI tidak
didefinisikan dengan jelas. Perawatan sindrom koroner akut (ACS/acute coronary
syndrome) yang tepat atau STEMI, termasuk PCI atau fibrinolisis, harus
dilakukan terlepas dari apakah pasien berada dalam kondisi tidak sadarkan diri.
Alasannya: Beberapa penelitian observasi menunjukkan asosiasi positif antara
revaskularisasi koroner darurat serta hasil fungsional yang diharapkan dan
kelangsungan hidup. Dalam kondisi tidak terjadi serangan jantung, pedoman telah
merekomendasikan perawatan darurat STEMI dan perawatan darurat selain ACS
elevasi ST-segmen dengan ketidakstabilan fisik maupun hemodinamik. Karena
kondisi tidak sadarkan diri yang dihasilkan dapat diatasi dengan perbaikan
ketidakstabilan jantung, dan prognosis tidak sadarkan diri tidak dapat ditetapkan
secara andal dalam beberapa jam pertama setelah terjadi serangan jantung, maka
perawatan darurat untuk pasien pasca-serangan jantung harus mematuhi pedoman
yang sama.