Diabetes Melitus
Kelompok II BD
1.4 Epidemologi DM
Menurut data dari International Diabetes Federation (IDF), sebanyak 285 juta orang
di seluruh dunia menghidap diabetes. Angka ini dikemukakan pada 20th World Diabetes
Congress di Montreal, Canada. Di Asia Tenggara sejumlah 59 juta orang menghidap
diabetes. Sedangkan Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus diabetes yang
paling tinggi yaitu sebanyak 7 juta orang (International Diabetes Federation, 2008).
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 orang di seluruh dunia
menderita Diabetes Melitus, atau sekitar 2.8% dari total populasi, insidennya terus
meningkat dengan cepat dan diperkirakan tahun 2030 angka ini menjadi 366 juta jiwa atau
sekitar 4.4% dari populasi dunia, DM terdapat diseluruh dunia, 90% adalah jenis Diabetes
Melitus tipe 2 terjadi di negara berkembang, peningkatan prevalensi terbesar adalah di Asia
dan di Afrika akibat tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti pola makan yang
tidak sehat.
Berdasarkan hasil Riskesdas (2013), di Indonesia tercatat bahwa sebanyak
12.191.564 orang (6,9%) berusia >15 tahun mengalami DM. Hasil tersebut meningkat
hampir 2 kali lipat dibandingkan dengan Riskesdas 2007. Diabetes mellitus lebih banyak
ditemukan pada wanita dibanding dengan pria serta lebih sering pada golongan tingkat
pendidikan dan status sosial yang rendah. Pada Riskesdas 2007, daerah dengan angka
penderita DM yang tertinggi adalah Kalimantan Barat dan Maluku Utara, yaitu 11.1%
sedangkan kelompok usia terbanyak DM adalah 55-64 tahun yaitu 13.5%. Beberapa hal
yang dihubungkan dengan faktor resiko DM adalah obesitas, hipertensi, kurangnya
aktivitas fisik dan rendahnya komsumsi sayur dan buah. (Kemenkes RI, 2014)
Prevalensi nasional DM berdasarkan pemeriksaan gula darah pada penduduk usia
>15 tahun diperkotaan 5,7%, prevalensi kurang makan buah dan sayur sebesar 93,6%, dan
prevalensi kurang aktifitas fisik pada penduduk >10 tahun sebesar 48,2% disebutkan pula
bahwa prevalensi merokok setiap hari pada penduduk >10 tahun sebesar 23,7% (Depkes,
2008).
c. Diabetes Gestasional
Didefenisikan sebagai permulaan intoleransi glukosa atau pertama sekali
didapat selama kehamilan (Michael F. Greene dan Caren G. Solomon, 2005).
BAB II
PENATALAKSANAAN
2.1 Diagnosa
Kriteria berikut dapat digunakan untuk mendiagnosis Diabetes Melitus secara umum :
Konsentrasi FPG 126 mg / dL, (setelah 8 jam atau lebih tidak ada asupan kalori), atau
Konsentrasi glukosa plasma 200 mg / dL (2 jam setelah diberikan glukosa oral 75g di
pagi hari setelah puasa semalam di minimal 8 jam, atau
Tingkat A1C 6.5% Kriteria glukosa (yaitu, FPG atau glukosa 2 jam setelah diberikan
glukosa oral 75g) lebih disukai untuk diagnosis DM.
Selama pengukuran uji glukosa plasma atau A1C harus diulang pada hari yang berbeda untuk
mengkonfirmasi diagnosis DM. Namun, tingkat glukosa 200 mg / dL dan adanya gejala DM
tidak perlu dikonfirmasi.
Jenis screening diabetes tipe 2 harus dilakukan pada orang dewasa dari segala usia yang
kelebihan berat badan atau obesitas, dan yang memiliki satu atau lebih faktor risiko
diabetes (Lihat Faktor Risiko Diabetes)
Pengujian harus dimulai pada usia 45 tahun
Jika tes normal, Ulangi setidaknya setiap 3 tahun (Lihat Faktor Risiko Diabetes):
Skrining untuk pradiabetes dapat dilakukan dengan menggunakan A1C, FPG, atau 2-jam PG
setelah kriteria OGTT 75 g
Gejala klinik
DM tipe 1 :
- Poliuri
- Polidipsi
- Polifagi
- BB menurun drastis
DM tipe 2
- Hampir tidak dirasakan gejalanya
- Penanganan biasanya baru dimulai ketika komplikasi sudah terjadi
Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada DM Tipe I, sel-
sel Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi
insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe I harus mendapat insulin eksogen untuk
membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun
sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30%
ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.
Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme.
Insulin yang disekresikan oleh sel-sel pankreas akan langsung diinfusikan ke dalam hati
melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran
darah.
Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu transpor glukosa dari
darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat
masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh
kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi energi sebagaimana
seharusnya.
b. Cara Pemberian
Sediaan insulin saat ini tersedia dalam bentuk obat suntik yang umumnya dikemas dalam
bentuk vial. Kecuali dinyatakan lain, penyuntikan dilakukan subkutan (di bawah kulit). Lokasi
penyuntikan yang disarankan ditunjukan pada gambar 4 disamping ini. Penyerapan insulin
dipengaruhi oleh beberapa hal.
Penyerapan paling cepat terjadi di daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan, paha
bagian atas dan bokong. Bila disuntikkan secara intramuskular dalam, maka penyerapan akan
terjadi lebih cepat, dan masa`kerjanya menjadi lebih singkat. Kegiatan fisik yang dilakukan
segera setelah penyuntikan akan mempercepat waktu mula kerja (onset) dan juga mempersingkat
masa kerja.
Selain dalam bentuk obat suntik, saat ini juga tersedia insulin dalam bentuk pompa
(insulin pump) atau jet injector, sebuah alat yang akan menyemprotkan larutan insulin ke dalam
kulit. Sediaan insulin untuk disuntikkan atau ditransfusikan langsung ke dalam vena juga tersedia
untuk penggunaan di klinik. Penelitian untuk menemukan bentuk baru sediaan insulin yang lebih
mudah diaplikasikan saat ini sedang giat dilakukan. Diharapkan suatu saat nanti dapat ditemukan
sediaan insulin per oral atau per nasal.
Untuk terapi, ada berbagai jenis sediaan insulin yang tersedia, yang terutama berbeda dalam
hal mula kerja (onset) dan masa kerjanya (duration). Sediaan insulin untuk terapi dapat
digolongkan menjadi 4 kelompok, yaitu:
1. Insulin masa kerja singkat (Short-acting/Insulin), disebut juga insulin reguler
2. Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting)
3. Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat
4. Insulin masa kerja panjang (Long-acting insulin)
Keterangan dan contoh sediaan untuk masing-masing kelompok disajikan dalam tabel 6 (IONI,
2000 dan Soegondo, 1995b)
Respon individual terhadap terapi insulin cukup beragam, oleh sebab itu jenis sediaan
insulin mana yang diberikan kepada seorang penderita dan berapa frekuensi penyuntikannya
ditentukan secara individual, bahkan seringkali memerlukan penyesuaian dosis terlebih dahulu.
Umumnya, pada tahap awal diberikan sediaan insulin dengan kerja sedang, kemudian
ditambahkan insulin dengan kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah makan. Insulin
kerja singkat diberikan sebelum makan, sedangkan Insulin kerja sedang umumnya diberikan satu
atau dua kali sehari dalam bentuk suntikan subkutan. Namun, karena tidak mudah bagi penderita
untuk 33 mencampurnya sendiri, maka tersedia sediaan campuran tetap dari kedua jenis insulin
regular (R) dan insulin kerja sedang (NPH).
Waktu paruh insulin pada orang normal sekitar 5-6 menit, tetapi memanjang pada
penderita diabetes yang membentuk antibodi terhadap insulin. Insulin dimetabolisme terutama di
hati, ginjal dan otot. Gangguan fungsi ginjal yang berat akan mempengaruhi kadar insulin di
dalam darah (IONI, 2000).
d. Penyimpanan Sediaan Insulin (Soegondo, 1995b)
Insulin harus disimpan sesuai dengan anjuran produsen obat yang bersangkutan. Berikut
beberapa hal yang perlu diperhatikan: Insulin harus disimpan di lemari es pada
temperatur 2-8o C. Insulin vial Eli Lily yang sudah dipakai dapat disimpan selama 6
bulan atau sampai 200 suntikan bila dimasukkan dalam lemari es. Vial Novo Nordisk
insulin yang sudah dibuka, dapat disimpan selama 90 hari bila dimasukkan lemari es.
Insulin dapat disimpan pada suhu kamar dengan penyejuk 15-20o C bila seluruh isi vial
akan digunakan dalam satu bulan. Penelitian menunjukkan bahwa insulin yang disimpan
pada suhu kamar lebih dari 30 C akan lebih cepat kehilangan potensinya. Penderita
dianjurkan untuk memberi tanggal pada vial ketika pertama kali memakai dan sesudah
satu bulan bila masih tersisa sebaiknya tidak digunakan lagi.
Penfill dan pen yang disposable berbeda masa simpannya. Penfill regular dapat disimpan
pada temperatur kamar selama 30 hari sesudah tutupnya ditusuk. Penfill 30/70 dan NPH
dapat disimpan pada temperatur kamar selama 7 hari sesudah tutupnya ditusuk.
Untuk mengurangi terjadinya iritasi lokal pada daerah penyuntikan yang sering terjadi
bila insulin dingin disuntikkan, dianjurkan untuk 35 mengguling-gulingkan alat suntik di
antara telapak tangan atau menempatkan botol insulin pada suhu kamar, sebelum
disuntikkan.
B. Antidiabetik Oral
1. Golongan Tiazolidindion (TZD)
Merupakan golongan obat baru yang memiliki kegiatan farmakologis yang luas.
Tiazolidindion diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin
tanpa menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel pankreas.
Senyawa golongan tiazolidindion bekerja meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin dengan
jalan berikatan dengan PPAR (peroxisome proliferator activated receptor-gamma) di otot,
jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin. Senyawa-senyawa TZD juga
menurunkan kecepatan glikoneogenesis. Contoh: Pioglitazone, Troglitazon.
Pioglitazon dan rosiglitazon diserap dengan baik dari saluran cerna dengan atau tanpa
makanan. Kedua obat tersebut terikat pada protein albumin sekitar 99%. Pioglitazon terutama
dimetabolisme oleh enzim CYP2C8 dan sedikit oleh CYP3A4 dan mayoritas dieliminasi melalui
tinja. Sedangkan rosiglitazon terutama dimetablisme oleh CYP2C8 dan sedikit oleh CYP2C9
yang kemudian terkonjugasi dan dieliminasi melalui urin dan feses. Waktu paruh pioglitazon 3-7
jam sedangkan rosiglitazon sekitar 3-4 jam.
Beberapa studi menunjukkan TZD mengakibatkan berbagai efek baik pada jantung, termasuk
penurunan tekanan darah dan peningkatan trigliserida dan kadar kolesterol (termasuk
peningkatan kadar HDL, yang dikenal sebagi kolesterol baik). Obat ini juga meredam molekul
yang disebut 11Best HSK-1 yang berperan penting pada sindrom metabolik (kondisi pre
diabetes, termasuk tekanan darah tinggi dan obesitas) dan diabetes melitus tipe 2.
Tiazolidindion bisa menyebabkan anemia dan bersama obat diabetes oral lainnya bisa
menaikkan berat badan meski masih dalam skala moderat. Obat ini juga meningkatkan risiko
peningkatan cairan yang akan memperburuk gagal jantung. Faktanya, troglitazone (Rezulin),
agen pertama golongan ini ditarik dari pasaran setelah ditemukan laporan gagal jantung, gagal
hati, dan kematian. Tetapi tiazolidindion saat ini tidak menunjukkan efek yang sama pada hati
meskipun ada beberapa laporan liver injury.
Pasien yang mendapat tiazolidinedion harus dimonitor secara teratur menyusul studi tahun
2002 yang menemukan insiden cukup tinggi gagal jantung pada pasien yang menggunakan obat
ini. Meski studi ini tidak dibuktikan dengan relasi penyebab dan ada dugaan temuan gagal
jantung terjadi pada pasien yang memang sudah mengidapnya, namun studi lebih lanjut tetap
diperlukan. Beberapa pasien yang mengalami kenaikan berat badan dengan cepat, retensi
cairan, atau napas pendek harus dipantau lebih ketat. Obat jenis ini belum diteliti secara intensif
dan para ahli meyakni seharusnya tidak digunakan secara rutin untuk manajemen diabetes
melitus tipe 2, hanya dalam konteks studi klinis.
sebagai obat
tunggal.
Dosis maks:
100 mg
secara 3x/ hr
3. Golongan Sulfonilurea
Sulfonilurea adalah turunan sulfanilamid tetapi tidak mempunyai aktivitas antibakteri.
Golongan ini bekerja merangsang sekresi insulin di pankreas sehingga hanya efektif bila sel
pankreas masih dapat berproduksi. Sulfonilurea telah dipakai secara luas sebagai monoterapi
maupun kombinasi. Selain itu terapi kombinasi tidak memperlihatkan peningkatan risiko
hiperglikemia dibandingkan dengan monoterapi. Senyawa ini merupakan aril sulfonilurea
dengan penggantian pada gugusan benzena dan urea. Obat dari kelompok ini menstimulir sel-
sel beta secara langsung untuk melepaskan persediaan insulinnya sebagai reaksi bila kadar gula
meningkat. Golongan sulfonilurea dibagi menjadi 2 generasi yaitu generasi pertama (tolazamide,
tolbutamid dan klorporamid) dan generasai kedua (gliburid, glipizid, dan glimepirid),
Penggolongan ini didasarkan perbedaan pada potensi efek terapi, potensi efek samping selektif
dan penempelan pada protein serum
A. Mekanisme Kerja
penglepasan insulin dari sel -pankreas :
https://en.wikipedia.org/wiki/File:Glucose_Insulin_Release_Pancreas.svg
B. Efek Samping
Efek samping utama dari sulfonilurea adalah hipoglikemia (terutama sulfonilurea
yang long acting) dan naiknya berat badan. Efek samping lainnya umumnya ringan dan
jarang, diantaranya gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah, diare dan konstipasi.
Sulfonilurea juga dapat menyebabkan gangguan fungsi hati, yang mungkin
menyebabkan jaundice kolestatik, hepatitis meski jarang. Dapat terjadi reaksi
hipersensitifitas, biasanya pada minggu ke 6-8 terapi, reaksi yang terjadi berupa alergi
kulit dan dermatitis eksfoliatif. Gangguan darah juga jarang yaitu leukopenia,
trombositopenia, agranulositosis, pansitopenia, anemia hemolitik, dan anemia aplastik.
Clinical Practice Guideline : Management of Diabetes Mellitus (DM).2010
Metformin adalah anti hiperglikemik oral yang paling banyak digunakan dan saat ini
telah direkomendasikan sebagai first-line untuk semua pasien yang baru didiagnosis diabetes
tipe-2. Metformin secara luas telah digunakan dalam pengobatan diabetes tipe-2 selama lebih
dari 50 tahun dan telah terbukti aman dan efektif baik sebagai monoterapi atau kombinasi dengan
antidiabetik oral lain dan insulin. Metformin (N,N-dimethyl biguanide) termasuk ke dalam
golongan biguanida karena mengandung dua cincin guanidin. Metformin merupakan golongan
biguanida yang memiliki keamanan paling tinggi dan dapat ditoleransi dengan baik. Selain
metformin pada golongan biguanida terdapat obat lainnya, yaitu phenformin dan buformin,
dimana pada awal tahun 1970-an ditarik dari pasaran karena risiko asidosis laktat dan dapat
meningkatkan angka kematian akibat penyakit jantung.
A. Mekanisme Kerja
Metformin memberikan efek dapat menurunkan glukosa terutama dengan mengurangi
produksi glukosa hepatik melalui penghambatan glukoneogenesis. Selain itu dapat
meningkatkan sensitivitas insulin dan mengurangi penyerapan glukosa usus dan mungkin
meningkatkan penyerapan glukosa dan pemanfaatan oleh jaringan perifer, seperti otot
rangka dan jaringan adiposa.
D. Interaksi Obat
Obat Mekanisme Efek Manajemen Level signifikan
Faktor pasien
Faktor terapi
Faktor sistem kesehatan
Faktor lingkungan
Faktor sosial ekonomi
Hal-hal yang perlu dipahami dalam meningkatkan tingkat kepatuhan :
1. Pasien memerlukan dukungan, bukan disalahkan !!
2. Konsekuensi dari ketidakpatuhan terhadap terapi jangka panjang adalah tidak tercapainya
tujuan terapi dan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan
3. Peningkatan kepatuhan pasien dapat meningkatkan keamanan penggunaan obat.
4. Kepatuhan merupakan faktor penentu yang cukup penting dalam mencapai efektifitas
suatu sistem kesehatan.
5. Memperbaiki kepatuhan dapat merupakan intervensi terbaik dalam penanganan secara
efektif suatu penyakit kronis
6. Sistem kesehatan harus terus berkembang agar selalu dapat menghadapi berbagai
tantangan baru
Terapi nutrisi medis, pengonsumsian sumber karbo yg baik (gandum utuh, biji-bijian, dan
produk susu)
Penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat disimpan dalam suhu kamar (25-30C) terhindar dari
sinar matahari langsung
3.3.2 Amlodipin
Perhatian: -
Kontra Indikasi: Hipersensitif terhadap dihidropiridin, stenosis aorta, angina tdk stabil
Penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat disimpan dalam suhu kamar (25-30C)
terhindar dari sinar matahari langsung
3.3.3 Captopril
Efek samping Proteinuria, demam, eusinofilia, neutropenia, ruam kulit, angina pektoris,
infark miokard
Penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat disimpan dalam suhu kamar (25-30C)
terhindar dari sinar matahari langsung
3.3.4 Glipizid GITS
Perhatian: Gangguan fungsi ginjal atau hati, penyakit GI, hamil, laktasi
Kontra Indikasi: Hipersensitivitas, insufiensi hati, dan ginjal berat, DM tipe 1, ketoasidosis
diabetikum, koma diabetikum
Efek samping Sakit kepala, tremor, nyeri perut, mual, konstipasi,muntah, hipoglikemia
Penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat disimpan dalam suhu kamar (25-30C)
terhindar dari sinar matahari langsung
3.3.5 Simvastatin
Waktu Dengan atau tanpa makanan, hindari konsumsi jus anggur(zat naringin) scr
penggunaan berlebihan (>1x/hari)
Dosis: Awal 5-10mg/Hari, dosis tunggal pada malam hari, penyesuaian jika
diperlukan dilakukan dg interval min 4minggu, maks 40mg/hari
Kontra Penyakit hati aktif atau peningkatan transminase yg tidak dapat dijelaskan,
Indikasi: hamil dan laktasi
Efek samping Nyeri abdomen, konstipasi, dan kembung, asteria dan sakit kepala, jarang
(miopati)
Penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat disimpan dalam suhu kamar (25-30C) terhindar
dari sinar matahari langsung
Untuk meminimalkan masalah terkait obat, apoteker perlu melakukan identifikasi dengan
mengajukan empat pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah terapi obat sesuai dengan indikasinya?
Terapi obat dikatakan tidak sesuai bila obat yang diberikan tidak sesuai dengan
indikasinya atau penderita memerlukan terapi obat tambahan karena adanya indikasi yang
belum diobati (untreated indication)
2. Apakah terapi obat tersebut efektif?
Terapi obat dikatakan tidak efektif bila obat yang diberikan tidak tepat dalam
pemilihannya atau dosis yang digunakan terlalu kecil.
3. Apakah terapi obat tersebut aman?
Terapi obat dikatakan tidak aman, bila penderita mengalami reaksi obat yang tidak
dikehendaki atau penderita mendapatkan dosis obat yang terlalu tinggi atau penderita
menerima/menggunakan obat tanpa indikasi.
4. Apakah penderita mengikuti aturan yang telah disarankan?
Penderita tidak mengikuti aturan penggunaan obat yang disarankan dapat terjadi karena
ketidakpahaman penderita terhadap penyakit dan pengobatannya, alasan ekonomi, atau
ketidaknyamanan yang dialami.
Pemantauan terhadap kondisi penderita dapat dilakukan apoteker pada saat pertemuan
konsultasi rutin atau pada saat penderita menebus obat, atau dengan melakukan hubungan
telepon. Pemantauan kondisi penderita sangat diperlukan untuk menyesuaikan jenis dan dosis
terapi. Apoteker harus mendorong penderita untuk melaporkan keluhan ataupun gangguan
kesehatan yang dirasakannya sesegera mungkin. Apoteker harus bekerja sama dengan tim
kesehatan lainnya dalam penyesuaian dosis obat hipoglikemik oral (OHO). Kebanyakan
morbiditas dan mortalitas pada pasien diabetes disebabkan karena komplikasi, antara lain
komplikasi makrovaskular.
Hasil penelitian menunjukkan, penurunan kadar gula saja dapat tidak dapat menurunkan
komplikasi makrovaskular. Oleh karena itu ada area lain dari diabetes yang harus diperhatikan
untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas secara
keseluruhan, antara lain:
a. Tekanan darah (target < 130/80 mm Hg)
b. LDL kolesterol (target < 100 mg/dl)
c. Penggunaan aspirin untuk pasien DM dengan hipertensi dan resiko jantung
d. Pemeriksaan mata, kaki, gigi (1x/tahun)
e. Vaksinasi influenza dan pneumokokal
Penjelasan diberikan kepada pasien mengenai target dan diharapkan pasien mengerti
mengapa monitoring memegang peranan penting dalam terapi pencegahan.
Segala informasi yang dianggap perlu untuk meningkatkan kepatuhan dan kerjasama
penderita dan keluarganya terhadap program penatalaksanaan diabetes dapat disampaikan dalam
konseling. Namun dalam penyampaiannya harus mempertimbangkan kondisi penderita, baik
kondisi pengetahuan, kondisi fisik, maupun kondisi psikologisnya.
Berikut ini contoh beberapa bahan konseling yang dapat diberikan kepada pasien
menyangkut terapi Obat Hipoglikemik Oral (OHO).
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association (ADA). 2016. Standard of Medical Care in Diabetes. USA:
ADA.
Bare dan Suzanne. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal . Jakarta: EGC.
Brunner and Suddarth. 2002. Patofisiologi Diabetes Melitus. Dalam: Cyber Nurse. 2009. Konsep
Diabetes Melitus
Depkes R.I., 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta.
International Diabetes Federation. 2008. Sleep Apnoea and Type 2 Diabetes. Belgium:
International Diabetes Federation.
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta: Infodatin Kemenkes RI.
Michael F. Greene, Caren G. Solomon dkk. 2005. Gestasional Diabetes Melitus -- Time to Treat.
Copyright 2005 Massachusetts Medical Society. . [Accessed 29 September 2016].
Available from: http//www.nejm.org
Riskesdas 2007 dan 2013
Soegondo, S, dkk., 2009. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Johnson, 1998. Diabetes-Terapi dan Pencegahannya. Bandung: Publishing House.
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus.
Jakarta : Depertemen Kesehatan RI.
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.
Katzung, B.G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi 8 buku 2. Penerbit Salemba Medika :
Jakarta.
ISFI, 2006, Ilmu Spesialite Obat, Penerbit Ikatan Sarjana Farmasi, Jakarta.
https://www.drugs.com diakses pada 28/9/2016 13:16
Marc Foretz, Bruno Guigas. 2014. Cell Metabolism Review. Metformin: From Mechanisms of
Action to Therapies. Elsevier Inc : Institut Cochin, Paris.
Norbert Freinkel. 2016. The Journal Of Clinical And Applied Research And Education :
Standards Of Medical Care In Diabetes. American Diabetes Association : USA.
American College of Clinical Pharmacy. 2011. Pharmacotherapy Review Program for Advanced
Clinical Pharmacy Practice. Lenexa. United States of America.
Kimble, M., A., K., Young, L., Y., Alldredge, B., K., Corelli, R., L., Buglielmo, B., J., Kradjan,
W., A., Williams, B., R., 2009, Applied Therapeutics TheClinical Use Of Drugs, 9th
Edition, 64-1, 64-2, Wolters Kluwer Health,Lippincott Williams and Wilkins.