Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

Diabetes Melitus

Diajukan untuk Memenuhi Tugas formatif Asuhan Kefarmasian


pada Semester 7 Program Studi Farmasi Angkatan 2013

Kelompok II BD

Puspa Novadianti 1113102000028


Luthfia Nurwildatul A 1113102000019
Anggi Indah H. 1113102000041
Aulia Wardahani 1113102000054
Fifi Nur HIdayah 1113102000078
Fandi Akhmad 1113102000039
Faris Muhamad Hadiningrat 1113102000071

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
SEPTEMBER / 2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Diabetes Mellitus (DM)
Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin
yang progresif dilatar belakangi oleh resistensi insulin (Soegondo, dkk., 2009).
Diabetes Mellitus adalah kondisi abnormalitas metabolisme karbohidrat yang
disebabkan oleh defisiensi (kekurangan) insulin, baik secara absolute (total) maupun
sebagian (Hadisaputro. Setiawan, 2007).

1.2 Klasifikasi Diabetes Mellitus (DM)


Klasifikasi Diabetes Mellitus secara umum menurut American Diabetes Association
(ADA, 2016) adalah dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1 Klasifikasi DM
Tipe Keterangan

DM Tipe 1 (Insulin-Dependent Diabetes Akibat kerusakan sel beta, biasaya


Mellitus/IDDM) mengarah pada defisiensi insulin absolut.

DM Tipe 2 (Non Insulin-Dependent Akibat kekurangan sekresi insulin yang


Diabetes Mellitus/NIDDM) progresif sehingga terjadi keresistenan
insulin.

Diabetes Tipe Lainnya 1. Monogenic diabetes syndromes


(seperti diabetes neonatal dan
maturity-onset diabetes of the young
[MODY]),
2. Penyakit eksokrin pankreas (seperti
cystic fibrosis)
3. Drug- or chemical-induced diabetes
(seperti penggunaan glukokortikoid
pada terapi HIV/AIDS atau setelah
transplantasi organ)
Diabetes Gestasional (DMG) Diabetes didiagnosis pada trisemester ke-2
atau ke-3 kehamilan.
1.3 Etiologi (DM)
Penyebab diabetes mellitus sampai sekarang belum diketahui dengan pasti tetapi
umumnya diketahui karena kekurangan insulin adalah penyebab utama dan faktor herediter
memegang peranan penting.
a. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Sering terjadi pada usia sebelum 30 tahun. Biasanya juga disebut Juvenille
Diabetes, yang gangguan ini ditandai dengan adanya hiperglikemia (meningkatnya
kadar gula darah) (Bare dan Suzanne, 2002). Faktor genetik dan lingkungan
merupakan faktor pencetus IDDM. Oleh karena itu insiden lebih tinggi atau adanya
infeksi virus (dari lingkungan) misalnya coxsackievirus B dan streptococcus
sehingga pengaruh lingkungan dipercaya mempunyai peranan dalam terjadinya DM
(Bare dan Suzanne, 2002).
Virus atau mikroorganisme akan menyerang pulau pulau langerhans
pankreas, yang membuat kehilangan produksi insulin. Dapat pula akibat respon
autoimmune, dimana antibody sendiri akan menyerang sel bata pankreas. Faktor
herediter, juga dipercaya memainkan peran munculnya penyakit ini (Bare dan
Suzanne, 2002)
b. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
Virus dan kuman leukosit antigen tidak nampak memainkan peran terjadinya
NIDDM. Faktor herediter memainkan peran yang sangat besar. Riset melaporkan
bahwa obesitas salah satu faktor determinan terjadinya NIDDM sekitar 80% klien
NIDDM adalah kegemukan. Overweight membutuhkan banyak insulin untuk
metabolisme. Terjadinya hiperglikemia disaat pankreas tidakcukup menghasilkan
insulin sesuai kebutuhan tubuh atau saat jumlah reseptor insulin menurun atau
mengalami gangguan. Faktor resiko dapat dijumpai pada klien dengan riwayat
keluarga menderita DM adalah resiko yang besar. (Bare dan Suzanne, 2002)
Pencegahan utama NIDDM adalah mempertahankan berat badan ideal.
Pencegahan sekunder berupa program penurunan berat badan, olah raga dan diet.
Oleh karena DM tidak selalu dapat dicegah maka sebaiknya sudah dideteksi pada
tahap awal tanda-tanda atau gejala yang ditemukan adalah kegemukan, perasaan haus
yang berlebihan, lapar, diuresis dan kehilangan berat badan, bayi lahir lebih dari
berat badan normal, memiliki riwayat keluarga DM, usia diatas 40 tahun, bila
ditemukan peningkatan gula darah. (Bare dan Suzanne, 2002)

1.4 Epidemologi DM
Menurut data dari International Diabetes Federation (IDF), sebanyak 285 juta orang
di seluruh dunia menghidap diabetes. Angka ini dikemukakan pada 20th World Diabetes
Congress di Montreal, Canada. Di Asia Tenggara sejumlah 59 juta orang menghidap
diabetes. Sedangkan Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus diabetes yang
paling tinggi yaitu sebanyak 7 juta orang (International Diabetes Federation, 2008).
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 orang di seluruh dunia
menderita Diabetes Melitus, atau sekitar 2.8% dari total populasi, insidennya terus
meningkat dengan cepat dan diperkirakan tahun 2030 angka ini menjadi 366 juta jiwa atau
sekitar 4.4% dari populasi dunia, DM terdapat diseluruh dunia, 90% adalah jenis Diabetes
Melitus tipe 2 terjadi di negara berkembang, peningkatan prevalensi terbesar adalah di Asia
dan di Afrika akibat tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup seperti pola makan yang
tidak sehat.
Berdasarkan hasil Riskesdas (2013), di Indonesia tercatat bahwa sebanyak
12.191.564 orang (6,9%) berusia >15 tahun mengalami DM. Hasil tersebut meningkat
hampir 2 kali lipat dibandingkan dengan Riskesdas 2007. Diabetes mellitus lebih banyak
ditemukan pada wanita dibanding dengan pria serta lebih sering pada golongan tingkat
pendidikan dan status sosial yang rendah. Pada Riskesdas 2007, daerah dengan angka
penderita DM yang tertinggi adalah Kalimantan Barat dan Maluku Utara, yaitu 11.1%
sedangkan kelompok usia terbanyak DM adalah 55-64 tahun yaitu 13.5%. Beberapa hal
yang dihubungkan dengan faktor resiko DM adalah obesitas, hipertensi, kurangnya
aktivitas fisik dan rendahnya komsumsi sayur dan buah. (Kemenkes RI, 2014)
Prevalensi nasional DM berdasarkan pemeriksaan gula darah pada penduduk usia
>15 tahun diperkotaan 5,7%, prevalensi kurang makan buah dan sayur sebesar 93,6%, dan
prevalensi kurang aktifitas fisik pada penduduk >10 tahun sebesar 48,2% disebutkan pula
bahwa prevalensi merokok setiap hari pada penduduk >10 tahun sebesar 23,7% (Depkes,
2008).

1.5 Manifestasi Klinis Diabetes Mellitus

Gambar 1 Manifestasi Klinis DM


Sumber: http://gejalagejaladiabetes.com
a. Manifestasi Klinis Akut DM
Manifestasi klinis DM dari satu penderita ke penderita lain bervariasi bahkan
mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu. Pada permulaan
gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (Poli), yaitu:
1) banyak makan (poliphagia);
2) banyak minum (polidipsia);
3) banyak kencing (poliuria).
Sedangkan bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala:
1) banyak minum;
2) banyak kencing;
3) nafsu makan mulai berkurang/ berat badan turun dengan cepat (turun 5 - 10 kg
dalam waktu 2-4 minggu);
4) mudah lelah;
5) mual;
6) koma.
b. Manifestasi Klinis Kronik DM
Manifestasi klinis kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah sebagai
berikut:
1) kesemutan;
2) kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum;
3) rasa tebal di kulit;
4) kram;
5) capai;
6) mudah mengantuk;
7) mata kabur, biasanya sering ganti kacamata;
8) gatal di sekitar kemaluan terutama wanita;
9) gigi goyah mudah lepas, kemampuan seksual menurun, impotensi;
10) para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam
kandungan, atau dengan berat lahir lebih dari 4 kg (Jhonson, 1998).

1.6 Patofisiologi Diabetes Melitus (Brunner dan Suddarth, 2002)


a. Diabetes Tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM)
Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena selsel pankreas
telah dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari makanan tidak
dapat disimpan dalam hati meskipun tetap dalam darah dan menimbulkan
hiperglikemia posprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap
kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut dieksresikan
dalam urin (glukosuria). Eksresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan
elekrolit yang berlebihan, keadaan ini disebut diuresis osmotik. Pasien mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi).

Gambar 2 Patofisiologi DM Tipe 1


Sumber: klikdokter.com

b. Diabetes Tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus/NIDDM)


Terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi
insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor
khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor
tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel.
Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel,
dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan
glukosa oleh jaringan.
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam
darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi
glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan
kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat.
Namun, jika sel-sel tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin
maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II. Meskipun terjadi
gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe II, namun terdapat
jumlah insulin yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan
keton. Oleh karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II.
Diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya
yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik. Akibat intoleransi
glukosa yang berlangsung lambat dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat
berjalan tanpa terdeteksi, gejalanya sering bersifat ringan dan dapat mencakup
kelelahan, iritabilitas, poliuria, pilidipsia, luka pada kulit yang tidak sembuh-sembuh,
infeksi dan pandangan yang kabur.

Gambar 3 Patofisiologi DM Tipe 2

c. Diabetes Gestasional
Didefenisikan sebagai permulaan intoleransi glukosa atau pertama sekali
didapat selama kehamilan (Michael F. Greene dan Caren G. Solomon, 2005).
BAB II
PENATALAKSANAAN

2.1 Diagnosa
Kriteria berikut dapat digunakan untuk mendiagnosis Diabetes Melitus secara umum :

Konsentrasi FPG 126 mg / dL, (setelah 8 jam atau lebih tidak ada asupan kalori), atau

Konsentrasi glukosa plasma 200 mg / dL (2 jam setelah diberikan glukosa oral 75g di
pagi hari setelah puasa semalam di minimal 8 jam, atau

Gejala hiperglikemia (misalnya, poliuria, polidipsia, polifagia) dan acak (Kasual,


nonfasting) konsentrasi glukosa plasma 200 mg / dL, atau

Tingkat A1C 6.5% Kriteria glukosa (yaitu, FPG atau glukosa 2 jam setelah diberikan
glukosa oral 75g) lebih disukai untuk diagnosis DM.

Selama pengukuran uji glukosa plasma atau A1C harus diulang pada hari yang berbeda untuk
mengkonfirmasi diagnosis DM. Namun, tingkat glukosa 200 mg / dL dan adanya gejala DM
tidak perlu dikonfirmasi.

Pengujian untuk Diabetes Tipe 2 dan Prediabetes di Dewasa asimtomatik

Jenis screening diabetes tipe 2 harus dilakukan pada orang dewasa dari segala usia yang
kelebihan berat badan atau obesitas, dan yang memiliki satu atau lebih faktor risiko
diabetes (Lihat Faktor Risiko Diabetes)
Pengujian harus dimulai pada usia 45 tahun
Jika tes normal, Ulangi setidaknya setiap 3 tahun (Lihat Faktor Risiko Diabetes):
Skrining untuk pradiabetes dapat dilakukan dengan menggunakan A1C, FPG, atau 2-jam PG
setelah kriteria OGTT 75 g

Faktor risiko gangguan kardiovaskular harus diidentifikasi dan diobati


Pengujian dapat dilakukan pada anak-anak dan remaja yang kelebihan berat badan atau
obesitas dan memiliki dua atau risiko lebih faktor untuk diabetes (Lihat Faktor Risiko
Diabetes)

Jenis Faktor Risiko Diabetes 2


Kurangnya aktivitas fisik
Adanya Riwayat anggota keluarga dengan diabetes
Berisiko tinggi ras / etnis
Wanita yang melahirkan bayi> 9 bulan atau didiagnosis dengan GDM
Konsentrasi HDL <35 mg / dL TG> 250 mg / dL
Hipertensi (140 / 90 mmHg atau terapi)
A1C 5.7%, IGT, atau IFG pada pengujian sebelumnya
Kondisi yang berhubungan dengan resistensi insulin: obesitas berat, acanthosis
nigricans, PCOS
Sejarah gangguan kardiovaskular

Gejala klinik

DM tipe 1 :

- Poliuri

- Polidipsi

- Polifagi

- Cepat lelah (fatigue)

- BB menurun drastis

- Gatal-gatal pada kulit

DM tipe 2
- Hampir tidak dirasakan gejalanya
- Penanganan biasanya baru dimulai ketika komplikasi sudah terjadi

- Mudah terkena infeksi

- Sukar sembuh dari luka


- Daya penglihatan memburuk

- Umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, dan juga

- Komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf.

2.2 Terapi Pengobatan


2.2.1 Terapi Farmakologi
A. Terapi Insulin

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita DM Tipe 1. Pada DM Tipe I, sel-
sel Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi
insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita DM Tipe I harus mendapat insulin eksogen untuk
membantu agar metabolisme karbohidrat di dalam tubuhnya dapat berjalan normal. Walaupun
sebagian besar penderita DM Tipe 2 tidak memerlukan terapi insulin, namun hampir 30%
ternyata memerlukan terapi insulin disamping terapi hipoglikemik oral.

a. Mekanisme Kerja Insulin

Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian metabolisme.
Insulin yang disekresikan oleh sel-sel pankreas akan langsung diinfusikan ke dalam hati
melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui peredaran
darah.

Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu transpor glukosa dari
darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat
masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh
kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi energi sebagaimana
seharusnya.

Disamping fungsinya membantu transport glukosa masuk ke dalam sel, insulin


mempunyai pengaruh yang sangat luas terhadap metabolisme, baik metabolisme karbohidrat dan
lipid, maupun metabolisme protein dan mineral.insulin akan meningkatkan lipogenesis, menekan
lipolisis, serta meningkatkan transport asam amino masuk ke dalam sel. Insulin juga mempunyai
peran dalam modulasi transkripsi, sintesis DNA dan replikasi sel. Itu sebabnya, gangguan fungsi
insulin dapat menyebabkan pengaruh negatif dan komplikasi yang sangat luas pada berbagai
organ dan jaringan tubuh.

b. Cara Pemberian

Sediaan insulin saat ini tersedia dalam bentuk obat suntik yang umumnya dikemas dalam
bentuk vial. Kecuali dinyatakan lain, penyuntikan dilakukan subkutan (di bawah kulit). Lokasi
penyuntikan yang disarankan ditunjukan pada gambar 4 disamping ini. Penyerapan insulin
dipengaruhi oleh beberapa hal.

Penyerapan paling cepat terjadi di daerah abdomen, diikuti oleh daerah lengan, paha
bagian atas dan bokong. Bila disuntikkan secara intramuskular dalam, maka penyerapan akan
terjadi lebih cepat, dan masa`kerjanya menjadi lebih singkat. Kegiatan fisik yang dilakukan
segera setelah penyuntikan akan mempercepat waktu mula kerja (onset) dan juga mempersingkat
masa kerja.

Selain dalam bentuk obat suntik, saat ini juga tersedia insulin dalam bentuk pompa
(insulin pump) atau jet injector, sebuah alat yang akan menyemprotkan larutan insulin ke dalam
kulit. Sediaan insulin untuk disuntikkan atau ditransfusikan langsung ke dalam vena juga tersedia
untuk penggunaan di klinik. Penelitian untuk menemukan bentuk baru sediaan insulin yang lebih
mudah diaplikasikan saat ini sedang giat dilakukan. Diharapkan suatu saat nanti dapat ditemukan
sediaan insulin per oral atau per nasal.

c. Penggolongan Sediaan Insulin

Untuk terapi, ada berbagai jenis sediaan insulin yang tersedia, yang terutama berbeda dalam
hal mula kerja (onset) dan masa kerjanya (duration). Sediaan insulin untuk terapi dapat
digolongkan menjadi 4 kelompok, yaitu:
1. Insulin masa kerja singkat (Short-acting/Insulin), disebut juga insulin reguler
2. Insulin masa kerja sedang (Intermediate-acting)
3. Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat
4. Insulin masa kerja panjang (Long-acting insulin)
Keterangan dan contoh sediaan untuk masing-masing kelompok disajikan dalam tabel 6 (IONI,
2000 dan Soegondo, 1995b)

Respon individual terhadap terapi insulin cukup beragam, oleh sebab itu jenis sediaan
insulin mana yang diberikan kepada seorang penderita dan berapa frekuensi penyuntikannya
ditentukan secara individual, bahkan seringkali memerlukan penyesuaian dosis terlebih dahulu.
Umumnya, pada tahap awal diberikan sediaan insulin dengan kerja sedang, kemudian
ditambahkan insulin dengan kerja singkat untuk mengatasi hiperglikemia setelah makan. Insulin
kerja singkat diberikan sebelum makan, sedangkan Insulin kerja sedang umumnya diberikan satu
atau dua kali sehari dalam bentuk suntikan subkutan. Namun, karena tidak mudah bagi penderita
untuk 33 mencampurnya sendiri, maka tersedia sediaan campuran tetap dari kedua jenis insulin
regular (R) dan insulin kerja sedang (NPH).

Waktu paruh insulin pada orang normal sekitar 5-6 menit, tetapi memanjang pada
penderita diabetes yang membentuk antibodi terhadap insulin. Insulin dimetabolisme terutama di
hati, ginjal dan otot. Gangguan fungsi ginjal yang berat akan mempengaruhi kadar insulin di
dalam darah (IONI, 2000).
d. Penyimpanan Sediaan Insulin (Soegondo, 1995b)

Insulin harus disimpan sesuai dengan anjuran produsen obat yang bersangkutan. Berikut
beberapa hal yang perlu diperhatikan: Insulin harus disimpan di lemari es pada
temperatur 2-8o C. Insulin vial Eli Lily yang sudah dipakai dapat disimpan selama 6
bulan atau sampai 200 suntikan bila dimasukkan dalam lemari es. Vial Novo Nordisk
insulin yang sudah dibuka, dapat disimpan selama 90 hari bila dimasukkan lemari es.
Insulin dapat disimpan pada suhu kamar dengan penyejuk 15-20o C bila seluruh isi vial
akan digunakan dalam satu bulan. Penelitian menunjukkan bahwa insulin yang disimpan
pada suhu kamar lebih dari 30 C akan lebih cepat kehilangan potensinya. Penderita
dianjurkan untuk memberi tanggal pada vial ketika pertama kali memakai dan sesudah
satu bulan bila masih tersisa sebaiknya tidak digunakan lagi.
Penfill dan pen yang disposable berbeda masa simpannya. Penfill regular dapat disimpan
pada temperatur kamar selama 30 hari sesudah tutupnya ditusuk. Penfill 30/70 dan NPH
dapat disimpan pada temperatur kamar selama 7 hari sesudah tutupnya ditusuk.
Untuk mengurangi terjadinya iritasi lokal pada daerah penyuntikan yang sering terjadi
bila insulin dingin disuntikkan, dianjurkan untuk 35 mengguling-gulingkan alat suntik di
antara telapak tangan atau menempatkan botol insulin pada suhu kamar, sebelum
disuntikkan.

B. Antidiabetik Oral
1. Golongan Tiazolidindion (TZD)
Merupakan golongan obat baru yang memiliki kegiatan farmakologis yang luas.
Tiazolidindion diharapkan dapat lebih tepat bekerja pada sasaran kelainan yaitu resistensi insulin
tanpa menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak menyebabkan kelelahan sel pankreas.
Senyawa golongan tiazolidindion bekerja meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin dengan
jalan berikatan dengan PPAR (peroxisome proliferator activated receptor-gamma) di otot,
jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin. Senyawa-senyawa TZD juga
menurunkan kecepatan glikoneogenesis. Contoh: Pioglitazone, Troglitazon.
Pioglitazon dan rosiglitazon diserap dengan baik dari saluran cerna dengan atau tanpa
makanan. Kedua obat tersebut terikat pada protein albumin sekitar 99%. Pioglitazon terutama
dimetabolisme oleh enzim CYP2C8 dan sedikit oleh CYP3A4 dan mayoritas dieliminasi melalui
tinja. Sedangkan rosiglitazon terutama dimetablisme oleh CYP2C8 dan sedikit oleh CYP2C9
yang kemudian terkonjugasi dan dieliminasi melalui urin dan feses. Waktu paruh pioglitazon 3-7
jam sedangkan rosiglitazon sekitar 3-4 jam.
Beberapa studi menunjukkan TZD mengakibatkan berbagai efek baik pada jantung, termasuk
penurunan tekanan darah dan peningkatan trigliserida dan kadar kolesterol (termasuk
peningkatan kadar HDL, yang dikenal sebagi kolesterol baik). Obat ini juga meredam molekul
yang disebut 11Best HSK-1 yang berperan penting pada sindrom metabolik (kondisi pre
diabetes, termasuk tekanan darah tinggi dan obesitas) dan diabetes melitus tipe 2.
Tiazolidindion bisa menyebabkan anemia dan bersama obat diabetes oral lainnya bisa
menaikkan berat badan meski masih dalam skala moderat. Obat ini juga meningkatkan risiko
peningkatan cairan yang akan memperburuk gagal jantung. Faktanya, troglitazone (Rezulin),
agen pertama golongan ini ditarik dari pasaran setelah ditemukan laporan gagal jantung, gagal
hati, dan kematian. Tetapi tiazolidindion saat ini tidak menunjukkan efek yang sama pada hati
meskipun ada beberapa laporan liver injury.
Pasien yang mendapat tiazolidinedion harus dimonitor secara teratur menyusul studi tahun
2002 yang menemukan insiden cukup tinggi gagal jantung pada pasien yang menggunakan obat
ini. Meski studi ini tidak dibuktikan dengan relasi penyebab dan ada dugaan temuan gagal
jantung terjadi pada pasien yang memang sudah mengidapnya, namun studi lebih lanjut tetap
diperlukan. Beberapa pasien yang mengalami kenaikan berat badan dengan cepat, retensi
cairan, atau napas pendek harus dipantau lebih ketat. Obat jenis ini belum diteliti secara intensif
dan para ahli meyakni seharusnya tidak digunakan secara rutin untuk manajemen diabetes
melitus tipe 2, hanya dalam konteks studi klinis.

Tabel 1. Antidiabetik Oral Golongan Tiazolidindion

Obat Dosis Mekanisme Efek Interaksi Obat


Kerja Samping

Rosiglitazone Bersama Cara kerja Sakit


metformin hampir sama perut,
atau dengan nyeri dada,
Contoh Sediaan: sulfonilurea pioglitazon, penglihata Teriflunomide dapat
, 1-2x/hr 4 Mempunyai n kabur, menyebabkan masalah hati,
mg a.c atau efek penurunan dan menggunakannya dengan
Avandia p.c hipoglikemik jumlah obat lain yang juga dapat
yang cukup urin, mulut mempengaruhi hati seperti
(GlaxoSmithKline rosiglitazone dapat
baik jika kering dan
) meningkatkan risiko itu.
dikombinasika memerah,
n dengan mual.
metformin.
Pada saat ini
belum beredar
di Indonesia.

Pioglitazone 15 atau 30 Mempunyai Nyeri


mg 1x/hr efek dada,
Contoh Sediaan:
a.c atau p.c menurunkan penurunan
resistensi jumlah
insulin dengan urin, sesak Menggabungkan obat-obat
Actos ini dapat secara signifikan
meningkatkan napas,
(Takeda jumlah protein Edema meningkatkan kadar
Chemicals transporter ringan pioglitazone. Mungkin
Industries Ltd) glukosa, hingga mengalami efek samping
sehingga sedang. seperti hipoglikemia yang
meningkatkan kadang-kadang dapat terjadi
uptake glukosa dengan penggunaan
di sel-sel pioglitazone.
jaringan
perifer. Obat
ini
dimetabolisme
di hepar. Obat
ini tidak boleh Teriflunomide dapat
diberikan pada menyebabkan masalah hati,
pasien gagal dan menggunakannya dengan
jantung karena obat lain yang juga dapat
dapat mempengaruhi hati seperti
memperberat pioglitazone dapat
edema dan juga meningkatkan risiko itu
pada gangguan
fungsi hati.
Saat ini tidak
digunakan

sebagai obat
tunggal.

2. Golongan Inhibitor Glukosidase

Senyawa-senyawa inhibitor -glukosidase bekerja menghambat enzim -glukosidase yang


terdapat pada dinding usus halus. Enzim-enzim -glukosidase (maltase, isomaltase,
glukomaltase dan sukrase) berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida, pada dinding usus
halus. Inhibisi kerja enzim ini secara efektif dapat mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks
dan absorbsinya, sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa post prandial pada
penderita diabetes. Senyawa inhibitor -glukosidase juga menghambat enzim -amilase
pankreas yang bekerja menghidrolisis polisakarida di dalam lumen usus halus. Obat ini
merupakan obat oral yang
biasanya diberikan dengan dosis 150-600 mg/hari. Obat ini efektif bagi penderita dengan diet
tinggi karbohidrat dan kadar glukosa plasma puasa kurang dari 180 mg/dl. Obat ini hanya
mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan dan tidak mempengaruhi kadar glukosa
darah setelah itu. Obat-obat inhibitor a-glukosidase dapat diberikan sebagai obat tunggal atau
dalam bentuk kombinasi dengan obat hipoglikemik lainnya. Obat ini umumnya diberikan dengan
dosis awal 50 mg dan dinaikkan secara bertahap sampai 150-600 mg/hari. Dianjurkan untuk
memberikannya bersama suap pertama setiap kali makan (Soegondo, 1995). Obat ini mampu
menurunkan kadar glukosa postprandial sebesar 40-50 mg/dL dan relatif tidak menurunkan
kadar glukosa puasa.
Efek samping obat ini adalah perut kurang enak, lebih banyak flatus dan kadang-kadang
diare, yang akan berkurang setelah pengobatan berlangsung lebih lama. Obat ini hanya
mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan dan tidak mempengaruhi kadar glukosa
darah setelah itu. Bila diminum bersama-sama obat golongan sulfonilurea (atau dengan insulin)
dapat terjadi hipoglikemia yang hanya dapat diatasi dengan glukosa murni, jadi tidak dapat
diatasi dengan pemberian gula pasir. Obat ini umumnya diberikan dengan dosis awal 50 mg dan
dinaikkan secara bertahap, serta dianjurkan untuk memberikannya bersama suap pertama setiap
kali makan.

Tabel 2. Antidiabetik Oral Golongan Inhibitor Glukosidase


Obat Dosis Mekanisme Efek Interaksi Obat
Kerja Samping

Acarbose DA: 50 mg, Menghambat Gg.


kemudian dpt enzim pencernaan
ditingkatkan glukosidase seperti
Contoh menjadi 100- yang terletak kembung
Sediaan: 200 mg pada dinding diare, nyeri Leflunomide dapat
setelah 4-8 usus halus dan saluran cerna menyebabkan masalah hati,
- Glucobay
minggu, menghambat karena leflunomide dapat
(Bayer)
3x/hr. enzim - tinggal dalam darah dalam
- Precose amilase waktu lama setelah dosis
Diminum
pankreas, terakhir.
bersamaan
sehingga secara
dengan
keseluruhan
makanan.
menghambat
pencernaan dan
absorpsi
karbohidrat. Mipomersen dapat
menyebabkan masalah hati,
dan menggunakannya
dengan obat lain yang juga
dapat mempengaruhi hati
seperti acarbose dapat
meningkatkan risiko itu.
Miglitol DA: 25 mg Mengurangi Perut
3x/hr kadar glukosa kembung,
dengan peningkatan
Setelah 4-8 Gatifloksasin dapat
Contoh menginterfensi BAB, diare,
minggu, bisa mempengaruhi kadar
Sediaan: penyerapan sari sakit
meningkat glukosa darah dan tidak
pati dalam usus. perut,tinja
sampai 50 mg boleh digunakan pada pasien
lunak.
3x/hr jika dengan diabetes. Kedua
Glycet
diperlukan; hipoglikemia (gula darah
Dosis rendah) dan, lebih jarang,
pemeliharaan: hiperglikemia (gula darah
50 mg- 100 tinggi) telah dilaporkan.
mg per oral
3x/hr

Dosis maks:
100 mg
secara 3x/ hr

3. Golongan Sulfonilurea
Sulfonilurea adalah turunan sulfanilamid tetapi tidak mempunyai aktivitas antibakteri.
Golongan ini bekerja merangsang sekresi insulin di pankreas sehingga hanya efektif bila sel
pankreas masih dapat berproduksi. Sulfonilurea telah dipakai secara luas sebagai monoterapi
maupun kombinasi. Selain itu terapi kombinasi tidak memperlihatkan peningkatan risiko
hiperglikemia dibandingkan dengan monoterapi. Senyawa ini merupakan aril sulfonilurea
dengan penggantian pada gugusan benzena dan urea. Obat dari kelompok ini menstimulir sel-
sel beta secara langsung untuk melepaskan persediaan insulinnya sebagai reaksi bila kadar gula
meningkat. Golongan sulfonilurea dibagi menjadi 2 generasi yaitu generasi pertama (tolazamide,
tolbutamid dan klorporamid) dan generasai kedua (gliburid, glipizid, dan glimepirid),
Penggolongan ini didasarkan perbedaan pada potensi efek terapi, potensi efek samping selektif
dan penempelan pada protein serum
A. Mekanisme Kerja
penglepasan insulin dari sel -pankreas :

https://en.wikipedia.org/wiki/File:Glucose_Insulin_Release_Pancreas.svg

Sulfonilurea merangsang pelepasan insulin dari sel- pankreas. Sulfonilurea


mengikat erat dengan saluran ATP-sensitif K+ (KATP) pada membran sel dari sel beta
pankreas. Sulfonilurea ini menghambat saluran ion kalium sehingga menghalangi ion
kalium keluar dan menurunkan potensial membran menyebabkan depolarisasi.
Depolarisasi ini membuka saluran Ca2+ voltage-dependent kemudian meningkatkan
konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan konsentrasi intraseluler kalsium akhirnya
merangsang sekresi insulin.

B. Efek Samping
Efek samping utama dari sulfonilurea adalah hipoglikemia (terutama sulfonilurea
yang long acting) dan naiknya berat badan. Efek samping lainnya umumnya ringan dan
jarang, diantaranya gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah, diare dan konstipasi.
Sulfonilurea juga dapat menyebabkan gangguan fungsi hati, yang mungkin
menyebabkan jaundice kolestatik, hepatitis meski jarang. Dapat terjadi reaksi
hipersensitifitas, biasanya pada minggu ke 6-8 terapi, reaksi yang terjadi berupa alergi
kulit dan dermatitis eksfoliatif. Gangguan darah juga jarang yaitu leukopenia,
trombositopenia, agranulositosis, pansitopenia, anemia hemolitik, dan anemia aplastik.
Clinical Practice Guideline : Management of Diabetes Mellitus (DM).2010

C. Dosis Sulfonilurea (Menurut Dipiro, 2008)


D. Interaksi Obat
Sulfonilurea jika digunakan bersama obat lain (insulin, alkohol, fenilbutazon,
oksifenbutazon, probenezid, dikumarol, kloramfenikol, penghambat MAO,) akan
meningkatkan risiko hipoglikemia.
Obat Mekanism Efek Manajemen Level signifikan
e

Glipizid >< Antagonis HCTz dapat Memonitor Significance: 2


Diuretik farmako- menurunkan glukosa
thiazid dinamik efek dari darah, dan Onset: delayed
(HCTz) glipizid shg mungkin
menyebabka meningkatkan Severity: moderate
n dosis glipizid
hiperglikemi
a

Glipizid >< Sinergis Meningkatka Mengamati Significance: 2


ACE farmako- n efek gejala
Inhibitor dinamik hipoglikemia hipoglikemia Onset: rapid
(Captopril) saat memulai
terapi ACE Severity: moderate
Inhibitor pada
pasien yang
menerima
terapi
sulfonilurea.
(Drug Interaction Fact, 2009)

4. Golongan Biguanida (Metformin)

Metformin adalah anti hiperglikemik oral yang paling banyak digunakan dan saat ini
telah direkomendasikan sebagai first-line untuk semua pasien yang baru didiagnosis diabetes
tipe-2. Metformin secara luas telah digunakan dalam pengobatan diabetes tipe-2 selama lebih
dari 50 tahun dan telah terbukti aman dan efektif baik sebagai monoterapi atau kombinasi dengan
antidiabetik oral lain dan insulin. Metformin (N,N-dimethyl biguanide) termasuk ke dalam
golongan biguanida karena mengandung dua cincin guanidin. Metformin merupakan golongan
biguanida yang memiliki keamanan paling tinggi dan dapat ditoleransi dengan baik. Selain
metformin pada golongan biguanida terdapat obat lainnya, yaitu phenformin dan buformin,
dimana pada awal tahun 1970-an ditarik dari pasaran karena risiko asidosis laktat dan dapat
meningkatkan angka kematian akibat penyakit jantung.
A. Mekanisme Kerja
Metformin memberikan efek dapat menurunkan glukosa terutama dengan mengurangi
produksi glukosa hepatik melalui penghambatan glukoneogenesis. Selain itu dapat
meningkatkan sensitivitas insulin dan mengurangi penyerapan glukosa usus dan mungkin
meningkatkan penyerapan glukosa dan pemanfaatan oleh jaringan perifer, seperti otot
rangka dan jaringan adiposa.

Cell Metabolism Review. Metformin: From Mechanisms of Action to Therapies,2014

Metformin ditransport ke dalam hepatosit melalui Oct1 dan menghambat proses


mitochondrial respiratory-chain complex 1, sehingga mengurangi produksi ATP dan
meningkatkan produksi AMP. Proes glukoneogenesis berkurang karena ATP yang
dihasilkan sedikit, peningkatan kadar AMP juga dapat menyebabkan berkurangnya aktivitas
dari gluconeogenic enzim FBPase, penghambatan adenilat siklase, penghambatan cAMP-
PKA signaling, penghambatan mGPD dan mengurangi konversi gliserol menjadi glukosa.
B. Efek Samping
Menurut ACCP :
Umum : Mual, muntah, diare, nyeri epigastrium
Jarang : Penurunan kadar vitamin B12, asidosis laktat

Clinical Practice Guideline : Management of Diabetes Mellitus (DM).2010


C. Dosis Metformin
Menurut ACCP, 2011:
Awal : 500 mg 1-2x/hari (sekali sehari untuk formulasi extended-release)
Maksimum : 2550 mg (lebih umum 2000 mg/hari)
Menurut Dipiro, 2008 :

D. Interaksi Obat
Obat Mekanisme Efek Manajemen Level signifikan

Metformin Cimetidine Meningkatka Pantau glukosa Significance: 4


>< H2 clearance n konsentrasi darah dan
antagonis ginjal metformin, mengamati Onset: rapid
(Cimetidine) metformin shg tanda-tanda
dg meningkatkan hipoglikemia. Severity: moderate
menghamba efek Sesuaikan
t sekresi farmakologis. dosis
tubular Mengakibatka metformin
ginjal n yang
mengakibat- hipoglikemia diperlukan.
kan
akumulasi
metformin

Metformin acarbose Timbulnya Pantau glukosa Significance: 5


>< Akarbosa dapat efek darah, dan
menunda metformin tidak ada Onset: rapid
penyerapan mungkin pencegahan
usus tertunda khusus. Severity: minor
metformin. mengikuti
dosis awal.

(Drug Interaction Fact, 2009)


2.2.2 Pengobatan Non Farmakologi
BAB III
ASUHAN KEFARMASIAN

3.1 Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan


Kepatuhan merupakan fenomena multidimensi yang ditentukan oleh lima dimensi yang saling
terkait, yaitu :

Faktor pasien
Faktor terapi
Faktor sistem kesehatan

Faktor lingkungan
Faktor sosial ekonomi
Hal-hal yang perlu dipahami dalam meningkatkan tingkat kepatuhan :
1. Pasien memerlukan dukungan, bukan disalahkan !!

2. Konsekuensi dari ketidakpatuhan terhadap terapi jangka panjang adalah tidak tercapainya
tujuan terapi dan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan
3. Peningkatan kepatuhan pasien dapat meningkatkan keamanan penggunaan obat.

4. Kepatuhan merupakan faktor penentu yang cukup penting dalam mencapai efektifitas
suatu sistem kesehatan.
5. Memperbaiki kepatuhan dapat merupakan intervensi terbaik dalam penanganan secara
efektif suatu penyakit kronis

6. Sistem kesehatan harus terus berkembang agar selalu dapat menghadapi berbagai
tantangan baru

7. Diperlukan pendekatan secara multidisiplin dalam menyelesaikan masalah


ketidakpatuhan.
3.2 Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
Anjuran Untuk Pasien

Terapi nutrisi medis, pengonsumsian sumber karbo yg baik (gandum utuh, biji-bijian, dan
produk susu)

Batasi dan hindari minuman yg mengandung gula

Asupan serat makanan yg direkomendasikan sebesar 14g/1000kkal/hari


Pantau kadar gula darah secara berkala
Berhenti merokok

Hindari konsumsi minuman beralkohol


Berolahraga ringan dan rutin (jalan pagi, senam, dan bersepeda)

3.3 Pelayanan Informasi Obat


3.3.1 Aspirin

Indikasi: Mengurangi risiko kematian dan serangan infark miokard pd penderita


dengan riwayat IM, pada pasien dengan riwayat stroke

Perhatian: Gangguan fungsi hati, hamil, laktasi

Waktu Bersama makanan, telan utuh, jangan dikunyah atau dihancurkan


penggunaan

Dosis: Lazim : 80-160mg/ hari, IM : s/d 300mg/hari

Kontra Tukak peptik aktif, gangguan pendarahan dan hipersensitivitas


Indikasi:

Efek samping Iritasi GI, reaksi hipoprotrombinemia, hipersensivitas

Harga : Tab salut enterik : 80mg x 10 x 10 (Rp.71.500)

Penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat disimpan dalam suhu kamar (25-30C) terhindar dari
sinar matahari langsung
3.3.2 Amlodipin

Indikasi: Hipertensi, angina prinzmetal, angina pektoris, stabil kronik

Perhatian: -

Waktu Dengan atau tanpa makanan


penggunaan

Dosis: Hipertensi angina awal 5mg 1x/hari,dapat ditingkatkan hingga maks


10mg/hari, pasien (usia lanjut,tidak berdaya, atau bertubuh kecil) dosis
awal 2,5mg 1x/hari

Kontra Indikasi: Hipersensitif terhadap dihidropiridin, stenosis aorta, angina tdk stabil

Efek samping Sakit kepala, edema, lemah, mengantuk, mual

Harga : Tab : 5mg x 3 x 10 (Rp.28.276)

Penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat disimpan dalam suhu kamar (25-30C)
terhindar dari sinar matahari langsung

3.3.3 Captopril

Indikasi: Terapi hipertensi dan gagal jantung

Perhatian: Gangguan fungsi ginjal, penyakit renovaskular, gangguan vaskular,


penyakit kolagen, laktasi

Waktu Berikan 1 jam sebelum makan


penggunaan

Dosis: Hipertensi awal 12,5mg 2-3x/hari, dapat ditingkatkan hingga 25-50mg2-


3x/hari

Kontra Indikasi: hamil

Efek samping Proteinuria, demam, eusinofilia, neutropenia, ruam kulit, angina pektoris,
infark miokard

Harga : Tab : 12,5mg x 10 x 10 (Rp.18.000)

Penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat disimpan dalam suhu kamar (25-30C)
terhindar dari sinar matahari langsung
3.3.4 Glipizid GITS

Indikasi: Memperbaiki kontrol glukosa darah pada pasien diabetes militus

Perhatian: Gangguan fungsi ginjal atau hati, penyakit GI, hamil, laktasi

Waktu Bersama sarapan, telan utuh jangan dikunyah


penggunaan

Dosis: 5mg/hari, maks 20mg.hari

Kontra Indikasi: Hipersensitivitas, insufiensi hati, dan ginjal berat, DM tipe 1, ketoasidosis
diabetikum, koma diabetikum

Efek samping Sakit kepala, tremor, nyeri perut, mual, konstipasi,muntah, hipoglikemia

Harga : Tab GITS (gastro intestinal therapeutic system) 5mg x 30 (Rp.134.579)

Penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat disimpan dalam suhu kamar (25-30C)
terhindar dari sinar matahari langsung
3.3.5 Simvastatin

Indikasi: Penurun kadar kolesterol total dan L

Perhatian: Monitor fungsi hati dan miopati secara teratur

Waktu Dengan atau tanpa makanan, hindari konsumsi jus anggur(zat naringin) scr
penggunaan berlebihan (>1x/hari)

Dosis: Awal 5-10mg/Hari, dosis tunggal pada malam hari, penyesuaian jika
diperlukan dilakukan dg interval min 4minggu, maks 40mg/hari

Kontra Penyakit hati aktif atau peningkatan transminase yg tidak dapat dijelaskan,
Indikasi: hamil dan laktasi

Efek samping Nyeri abdomen, konstipasi, dan kembung, asteria dan sakit kepala, jarang
(miopati)

Harga : Tab 10mg x 3 x 10 (Rp. 48.000)

Penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat disimpan dalam suhu kamar (25-30C) terhindar
dari sinar matahari langsung

3.4 Drug Related Problem


Penatalaksanaan DM dengan terapi obat dapat menimbulkan masalah-masalah terkait
obat (drug related problems) yang dialami oleh penderita. Masalah terkait obat merupakan
keadaan terjadinya ketidaksesuaian dalam pencapaian tujuan terapi sebagai akibat pemberian
obat. Aktivitas untuk meminimalkannya merupakan bagian dari proses pelayanan kefarmasian
(Hepler, 2003).
Masalah terkait obat tersebut secara lebih rinci menurut Cipolle, Strand dan Morley
(1998) dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Adanya indikasi penyakit yang tidak tertangani
Penderita DM bisa mengalami komplikasi yang tidak diharapkan, oleh karena itu
perlu mencermati apakah ada indikasi penyakit yang tidak diobati. Adanya indikasi
penyakit yang tidak tertangani ini dapat disebabkan oleh:
a. Penderita mengalami gangguan medis baru yang memerlukan terapi obat
b. Penderita memiliki penyakit kronis lain yang memerlukan keberlanjutan terapi
obat
c. Penderita mengalami gangguan medis yang memerlukan kombinasi farmakoterapi
untuk menjaga efek sinergi/potensiasi obat
d. Penderita berpotensi untuk mengalami risiko gangguan penyakit baru yang dapat
dicegah dengan penggunaan terapi obat profilaktik atau premedikasi

2. Pemberian obat tanpa indikasi


Pemberian obat tanpa indikasi disamping merugikan penderita secara finansial juga
dapat merugikan penderita dengan kemungkinan munculnya efek yang tidak
dikehendaki. Pemberian obat tanpa indikasi ini dapat disebabkan oleh:
a. Penderita menggunakan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit pada saat
ini
b. Penyakit penderita terkait dengan penyalahgunaan obat, alkohol atau merokok
c. Kondisi medis penderita lebih baik ditangani dengan terapi non obat
d. Penderita memperoleh polifarmasi untuk kondisi yang indikasinya cukup
mendapat terapi obat tunggal
e. Penderita memperoleh terapi obat untuk mengatasi efek obat yang tidak
dikehendaki yang disebabkan oleh obat lain yang seharusnya dapat diganti dengan
obat yang lebih sedikit efek sampingnya

3. Pemilihan obat tidak tepat/salah obat


Pemilihan obat yang tidak tepat dapat mengakibatkan tujuan terapi tidak tercapai
sehingga penderita dirugikan. Pemilihan obat yang tidak tepat dapat disebabkan oleh:
a. Penderita memiliki masalah kesehatan, tetapi obat yang digunakan tidak efektif
b. Penderita alergi dengan obat yang diberikan
c. Penderita menerima obat tetapi bukan yang paling efektif untuk indikasi yang
diobati
d. Obat yang digunakan berkontraindikasi, misalnya penggunaan obat-obat
hipoglikemik oral golongan sulfonylurea harus hati-hati atau dihindari pada
penderita lanjut usia, wanita hamil, penderita dengan gangguan fungsi hati, atau
gangguan fungsi ginjal yang parah.
e. Obat yang digunakan efektif tetapi bukan yang paling murah
f. Obat yang digunakan efektif tetapi bukan yang paling aman
g. Penderita resisten dengan obat yang digunakan
h. Penderita menolak terapi obat yang diberikan, misalnya pemilihan bentuk sediaan
yang kurang tepat
i. Penderita menerima kombinasi produk obat yang tidak perlu, misalnya
polifarmasi sesama obat hipoglikemik oral yang bekerja pada titik tangkap kerja
yang sama dan diberikan pada saat yang bersamaan.
4. Dosis obat sub terapeutik
Pemberian obat dengan dosis sub terapeutik mengakibatkan ketidakefektifan terapi
obat. Hal ini dapat disebabkan oleh:
a. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang
dikehendaki
b. Konsentrasi obat dalam plasma penderita berada di bawah rentang terapi yang
dikehendaki
c. Saat profilaksis tidak tepat bagi penderita
d. Obat, dosis, rute, formulasi tidak sesuai
e. Fleksibilitas dosis dan interval tidak sesuai terapi obat dialihkan terutama untuk
uji klinis

5. Dosis obat berlebih (over dosis)


Pemberian obat dengan dosis berlebih mengakibatkan efek hipoglikemia dan
kemungkinan munculnya toksisitas. Hal ini dapat disebabkan oleh:
a. Dosis obat terlalu tinggi untuk penderita
b. Konsentrasi obat dalam plasma penderita di atas rentang terapi yang dikehendaki
c. Dosis obat penderita dinaikkan terlalu cepat
d. Penderita mengakumulasi obat karena pemberian yang kronis
e. Obat, dosis, rute, formulasi tidak sesuai
f. Fleksibilitas dosis dan interval tidak sesuai

6. Efek obat yang tidak dikehendaki (adverse drug reactions)


Munculnya efek obat yang tidak dikehendaki dapat disebabkan oleh:
a. Obat diberikan terlalu cepat, misalnya pada penggunaan insulin diberikan terlalu
cepat sering terjadi efek hipoglikemia.
b. Penderita alergi dengan pengobatan yang diberikan.
c. Penderita teridentifikasi faktor risiko yang membuat obat ini terlalu berisiko untuk
digunakan
d. Penderita pernah mengalami reaksi idiosinkrasi terhadap obat yang diberikan
e. Ketersediaan hayati obat berubah sebagai akibat terjadinya interaksi dengan obat
lain atau dengan makanan
Untuk terapi insulin, efek obat yang tidak dikehendaki yang paling sering terjadi
adalah hipoglikemia. Keadaan ini dapat terjadi akibat:
- Dosis insulin yang berlebihan
- Saat pemberian yang tidak tepat
- Pemakaian glukosa yang berlebihan misalnya olahraga anaerobik
berlebihan
Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan individu
terhadap insulin, misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis
7. Interaksi Obat
Interaksi obat yang mungkin timbul dari pemakaian insulin dengan obat hipoglikemik
oral atau dengan obat yang lain dapat dilihat pada referensi yang lebih detil, misalnya
BNF terbaru, Stokley's Drug Interactions dan lain sebagainya. Obat-obat tersebut di
bawah ini merupakan contoh obat-obat yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah
sehingga memungkinkan adanya kebutuhan peningkatan dosis insulin maupun obat
hipoglikemik oral yang diberikan.
8. Penderita gagal menerima obat
Penderita gagal menerima obat dapat disebabkan oleh:
a. Penderita tidak menerima pengaturan obat yang sesuai sebagai akibat kesalahan
medikasi (medication error) berupa kesalahan peresepan, dispensing, cara
pemberian atau monitoring yang dilakukan.
b. Penderita tidak mematuhi aturan yang direkomendasikan dalam penggunaan obat
c. Penderita tidak meminum obat yang diberikan karena ketidakpahaman
d. Penderita tidak meminum obat yang diberikan karena tidak sesuai dengan
keyakinan tentang kesehatannya.
e. Penderita tidak mampu menebus obat dengan alasan ekonomi.

Untuk meminimalkan masalah terkait obat, apoteker perlu melakukan identifikasi dengan
mengajukan empat pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah terapi obat sesuai dengan indikasinya?
Terapi obat dikatakan tidak sesuai bila obat yang diberikan tidak sesuai dengan
indikasinya atau penderita memerlukan terapi obat tambahan karena adanya indikasi yang
belum diobati (untreated indication)
2. Apakah terapi obat tersebut efektif?
Terapi obat dikatakan tidak efektif bila obat yang diberikan tidak tepat dalam
pemilihannya atau dosis yang digunakan terlalu kecil.
3. Apakah terapi obat tersebut aman?
Terapi obat dikatakan tidak aman, bila penderita mengalami reaksi obat yang tidak
dikehendaki atau penderita mendapatkan dosis obat yang terlalu tinggi atau penderita
menerima/menggunakan obat tanpa indikasi.
4. Apakah penderita mengikuti aturan yang telah disarankan?
Penderita tidak mengikuti aturan penggunaan obat yang disarankan dapat terjadi karena
ketidakpahaman penderita terhadap penyakit dan pengobatannya, alasan ekonomi, atau
ketidaknyamanan yang dialami.

3.5 Monitoring Efek Samping

Pemantauan terhadap kondisi penderita dapat dilakukan apoteker pada saat pertemuan
konsultasi rutin atau pada saat penderita menebus obat, atau dengan melakukan hubungan
telepon. Pemantauan kondisi penderita sangat diperlukan untuk menyesuaikan jenis dan dosis
terapi. Apoteker harus mendorong penderita untuk melaporkan keluhan ataupun gangguan
kesehatan yang dirasakannya sesegera mungkin. Apoteker harus bekerja sama dengan tim
kesehatan lainnya dalam penyesuaian dosis obat hipoglikemik oral (OHO). Kebanyakan
morbiditas dan mortalitas pada pasien diabetes disebabkan karena komplikasi, antara lain
komplikasi makrovaskular.
Hasil penelitian menunjukkan, penurunan kadar gula saja dapat tidak dapat menurunkan
komplikasi makrovaskular. Oleh karena itu ada area lain dari diabetes yang harus diperhatikan
untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas secara
keseluruhan, antara lain:
a. Tekanan darah (target < 130/80 mm Hg)
b. LDL kolesterol (target < 100 mg/dl)
c. Penggunaan aspirin untuk pasien DM dengan hipertensi dan resiko jantung
d. Pemeriksaan mata, kaki, gigi (1x/tahun)
e. Vaksinasi influenza dan pneumokokal
Penjelasan diberikan kepada pasien mengenai target dan diharapkan pasien mengerti
mengapa monitoring memegang peranan penting dalam terapi pencegahan.

Segala informasi yang dianggap perlu untuk meningkatkan kepatuhan dan kerjasama
penderita dan keluarganya terhadap program penatalaksanaan diabetes dapat disampaikan dalam
konseling. Namun dalam penyampaiannya harus mempertimbangkan kondisi penderita, baik
kondisi pengetahuan, kondisi fisik, maupun kondisi psikologisnya.
Berikut ini contoh beberapa bahan konseling yang dapat diberikan kepada pasien
menyangkut terapi Obat Hipoglikemik Oral (OHO).
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association (ADA). 2016. Standard of Medical Care in Diabetes. USA:
ADA.
Bare dan Suzanne. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal . Jakarta: EGC.
Brunner and Suddarth. 2002. Patofisiologi Diabetes Melitus. Dalam: Cyber Nurse. 2009. Konsep
Diabetes Melitus
Depkes R.I., 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta.
International Diabetes Federation. 2008. Sleep Apnoea and Type 2 Diabetes. Belgium:
International Diabetes Federation.
Kementrian Kesehatan RI. 2014. Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta: Infodatin Kemenkes RI.
Michael F. Greene, Caren G. Solomon dkk. 2005. Gestasional Diabetes Melitus -- Time to Treat.
Copyright 2005 Massachusetts Medical Society. . [Accessed 29 September 2016].
Available from: http//www.nejm.org
Riskesdas 2007 dan 2013
Soegondo, S, dkk., 2009. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Johnson, 1998. Diabetes-Terapi dan Pencegahannya. Bandung: Publishing House.
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus.
Jakarta : Depertemen Kesehatan RI.
Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.
Katzung, B.G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi 8 buku 2. Penerbit Salemba Medika :
Jakarta.
ISFI, 2006, Ilmu Spesialite Obat, Penerbit Ikatan Sarjana Farmasi, Jakarta.
https://www.drugs.com diakses pada 28/9/2016 13:16

Marc Foretz, Bruno Guigas. 2014. Cell Metabolism Review. Metformin: From Mechanisms of
Action to Therapies. Elsevier Inc : Institut Cochin, Paris.

Norbert Freinkel. 2016. The Journal Of Clinical And Applied Research And Education :
Standards Of Medical Care In Diabetes. American Diabetes Association : USA.

American College of Clinical Pharmacy. 2011. Pharmacotherapy Review Program for Advanced
Clinical Pharmacy Practice. Lenexa. United States of America.

Kimble, M., A., K., Young, L., Y., Alldredge, B., K., Corelli, R., L., Buglielmo, B., J., Kradjan,
W., A., Williams, B., R., 2009, Applied Therapeutics TheClinical Use Of Drugs, 9th
Edition, 64-1, 64-2, Wolters Kluwer Health,Lippincott Williams and Wilkins.

Anonim.2010. Clinical Practice Guideline : Management of Diabetes Mellitus (DM). The


Department of Veterans Affairs (VA) and The Department of Defense (DoD) : Washington,
DC.
Dipiro J. Talbert R.A. 2008. Pathophysiologic Approch ed. 7 . Pharmacotherapy. McGraw-Hill
Companies.New York.

Drug Interaction Fact, 2009

Anda mungkin juga menyukai