DI SUSUN OLEH :
Mahasiswi
Mengetahui,
Kusdarwati, SST
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu melakukan Asuhan Kebidanan Pada An. K Umur 13 Tahun
Dengan Marfan Syndrome + Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Non Sianotik Di
Ruang HCU RSU dr. Saiful Anwar Malang.
1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai salah satu bahan kepustakaan pada penanganan kasus kesehatan anak sakit
dengan Asuhan Kebidanan Pada An. K Umur 13 Tahun Dengan Marfan
Syndrome + Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Non Sianotik Di Ruang HCU RSU
dr. Saiful Anwar Malang.
1.3.2 Bagi Lahan Praktek
Dapat memberikan suatu masukan dalam upaya peningkatan mutu dan pelayanan
pada anak sakit dengan Asuhan Kebidanan Pada An. K Umur 13 Tahun Dengan
Marfan Syndrome + Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Non Sianotik Di Ruang HCU
RSU dr. Saiful Anwar Malang.
1.3.3 Bagi Penulis
Diharapkan mampu melaksanakan dan menerapkan asuhan kebidanan pada anak
sakit dengan Asuhan Kebidanan Pada An. K Umur 13 Tahun Dengan Marfan
Syndrome + Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Non Sianotik Di Ruang HCU RSU
dr. Saiful Anwar Malang. Sesuai dengan criteria teori yang sudah di dapat dan
mampu mendokumentasikan dalam bentuk tulisan serta dapat menambah
pengetahuan penulis dan tindakan asuhan kebidanan pada pasien dengn kasus
tersebut.
BAB II
TINJAUAN TEORI
Sindrom Marfan pada neonatus lebih berat daripada anak yang lebih tua dan
dapat mempunyai kesamaan klinis dengan araknodaktili (jari-jari tangan dan kaki
yang panjang dan kelangsingannya abnormal) kontraktural kongenital, dimana
dislokasi sendi, kontraktur fleksi, iridodonesis, megalokornea, dilatasi katup aorta,
dan prolaps katup mitral merupakan tanda-tanda yang paling lazim ditemukan.
Perawakan yang panjang dan langsing mungkin terdapat sejak lahir dan
menetap pascalahir. Pengurangan lemak subkutan dapat menunjukkan gagal
pertumbuhan pada awal masa bayi. Hipotonia dan kelemahan ligamentum
menunjukkan adanya kelambatan motorik; namun, kemampuan kognitif biasanya
normal. Penderita yang lebih tua sering mempunyai wajah lonjong, tipis dengan
maksila sempit, palatum sangat melengkung dan gigi berdesakan.
Kisaran malformasi skeleton yang lebar telah dilaporkan. Tungkai panjang
dan ramping (dolikostenomelia), rentang lengan sangat lebih besar daripada
panjangnya. Jarak dari pubis ke tumit (segmen bawah) meningkat dan turut
menyebabkan pengurangan rasio segmen atas terhadap segmen bawah. Temuan-
temuan pada tangan kurang spesifik, meliputi jari-jari yang panjang, kurus
(araknodaktili), hiperektensi. Jempol teradduksi menyilang telapak tangan yang
sempit, tanda Steinberg. Tanda pergelangan tangan lain, jempol dan jari ke-5 jelas
tumpang tindih ketika melingkari pergelangan tangan yang tipis (tanda Walker).
Kosta panjang, langsing dapat turut menyebabkan kelainan toraks anterior
seperti depresi sternum (pektus ekskavatum) atau menonjol (pektus karinatum,
dada burung). Skoliosis dapat menjadi masalah pada anak yang lebih tua dan
remaja.
Kelainan okuler menggambarkan defek jaringan, meliputi ektopia lentis,
sklera biru, dan miopia. Ectopia lentis biasanya bilateral dan simetris. Diagnosis
dapat dibuat dengan melihat iridodonesis (tremor iris), phacodonesis (pergerakan
abnormal dari lensa), dan bilik depan mata yang dalam pada mata yang tidak
berdilatasi. Dislokasinya mungkin komplit, dengan lensa yang mengapung bebas
di dalam kavitas vitreus. Penampakan lain yang tidak spesifik dari sindrom Marfan
adalah miopia, mata yang panjang, kornea datar dan retinal detachment.
Selain itu, striae dapat muncul pada bahu dan bokong. Hernia inguinal dapat
terjadi. Manifestasi paru-paru termasuk pneumotoraks spontan dan bleb apikal
(vesikel flaksid besar pada bagian apikal paru). Dilatasi sakus dura dapat terlihat
pada CT scan atau MRI, tetapi kondisi ini biasanya asimptomatik.
2.1.6 Tanda dan Gejala Marfan Syndrome
Gejala dari sindrom ini dapat diketahui dalam jangka lama. Sindrom ini
mempengaruhi kerangka, mata, jantung dan pemubuluh darah, sistem saraf, kulit,
dan paru-paru. Tidak ada tanda tunggal pathognomic untuk MFS, mengingat
expressivity variabelnya. Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis berdasarkan
kelainan khas. Sistem jantung, rangka, dan okular umumnya lebih terfokus pada
kriteria diagnostik MFS, namun jaringan lain, termasuk otot rangka, lemak, kulit,
fasia, dan saluran pernapasan, mungkin akan terpengaruh dalam kondisi ini juga.
Daftar berikut ini menjelaskan temuan klinis yang paling umum dan Berlin revisi
kriteria (1986) untuk diagnosis MFS. Kriteria Ghent (1996) memperbarui
pedoman sebelumnya untuk memasukkan penekanan lebih besar pada temuan
rangka, serta mereka tentang sejarah keluarga dan genetik. [16, 17] (Lihat juga
artikel eMedicine Sindrom Marfan di bagian Pediatrics untuk lebih rinci deskripsi
kriteria Ghent.)
1. Sistem Rangka Tulang
Untuk keterlibatan sistem kerangka untuk digunakan sebagai kriteria
untuk diagnosis, minimal 2 kriteria mayor atau 1 kriteria utama ditambah 2
kriteria minor harus ada. Kriteria sistem kerangka adalah sebagai berikut:
a. Pectus carinatum
b. Excavatum pectus yang membutuhkan pembedahan
c. Sebuah atas-ke-rendah mengurangi rasio segmen (yaitu, jarak dari kepala
ke simfisis pubis dibagi dengan jarak simfisis pubis pada sol) kurang dari
0,85
d. Lengan meningkat rentang-ke-tinggi rasio yang lebih besar dari 1,05
e. Sebuah tanda positif pergelangan tangan (misalnya, ibu jari dan jari
telunjuk ketika tumpang tindih melingkari pergelangan tangan
kontralateral.
f. Sebuah jempol tanda (Steinberg) positif (yaitu, ibu jari melampaui
perbatasan ulnaris dari tangan ketika angka tersebut dipegang tertekuk di
telapak tangan.)
g. Scoliosis torakolumbalis lebih dari 20 atau spondylolisthesis
h. Runtuhnya Progresif hindfoot, menyebabkan deformitas planovalgus pes
i. rotrusio acetabuli dari tingkat apapun (terlihat pada anteroposterior (AP)
radiografi panggul)
Kriteria Minor sistem kerangka adalah sebagai berikut:
a. Pectus excavatum keparahan moderat
b. Hipermobilitas
c. Tinggi langit-langit melengkung, dengan crowding gigi
d. Wajah (dolichocephaly, malar hipoplasia, enophthalmos, retrognathia,
turun-miring fisura palpebral
2. Sistem Okular
Untuk keterlibatan okular sistem yang akan digunakan sebagai kriteria
diagnostik, kriteria utama atau minimal 2 kriteria minor harus ada
1. Sistem mata kriteria mayor adalah ectopia lentis (dislokasi lensa).
2. Kriteria mata minor adalah sebagai berikut:
a. Kornea normal datar
b. Panjang aksial peningkatan dunia, yang diukur dengan US
c. Otot iris atau hipoplasia hipoplasia silia, menyebabkan myopia
3. Sistem Kardiovaskular
Untuk keterlibatan sistem kardiovaskular harus dipertimbangkan kriteria
diagnostik, hanya salah satu kriteria mayor atau minor harus hadir.
Kriteria Mayorvsistem kardiovaskular adalah sebagai berikut:
a. Dilatasi aorta asendens, dengan atau tanpa regurgitasi, dan melibatkan
setidaknya sinus dari Valsava
b. Diseksi dari aorta asendens
Kriteria Minor sistem kardiovaskular adalah sebagai berikut:
a. Katup mitral prolaps, dengan atau tanpa regurgitasi
b. Dilatasi arteri pulmonalis utama tanpa adanya stenosis pulmonal valvular
atau perifer atau penyebab yang jelas lain pada pasien yang lebih muda
dari 40 tahun
c. Kalsifikasi anulus katup mitral pada pasien yang lebih muda dari 40 tahun
d. Dilatasi atau diseksi dari aorta dada atau perut menurun pada pasien lebih
muda dari 50 tahun
4. Sistem Paru
Untuk keterlibatan sistem paru diperhatikan koteria diagnostic, salah
satu kriteria minor harus ada.
Kriteria Minor sistem paru adalah sebagai berikut:
a.Spontan pneumotoraks
b. Apikal blebs
5. Kulit dan Intergumen
Untuk kulit dan keterlibatan intergumen diperhatikan kriteria diagnostik.
Kriteria utama atau salah satu dari kriteria minor harus ada. Kulit utam dan
criteria intergumen adalah dural lumbosakral ectesia, seperti yang digambarkan
oleh dihitung (CT) scanning tomography atau magnetic resonance imaging
(MRI). Kulit kecil dan kriteria intergumen adalah sebagai berikut :
a. Stirae atropicae yang tidak berhubungan dengan kehamilan atau stress yang
berulang
b. Berulang atau hernia insisional.
2.1.7 Diagnosis Marfan Syndrome
Kriteria diagnosis sindrom Marfan yang disepakati secara internasional
(Ghent criteria). Diagnosis Sindrom Marfan berdasarkan riwayat keluarga dan
kombinasi dari indikator mayor dan minor dari gangguan yang terjadi dalam satu
individu.
Beberapa pemeriksaan fisik dapat dilakukan. Pemeriksaan skeletal harus
mencakup pengukuran antropometri untuk tinggi badan, rasio rentang lengan dan
tinggi, rasio segmen atas ke segmen bawah, pengukuran tangan dan kaki. Segmen
atas tubuh diukur dari atas kepala sampai atas ramus pubis, dan segmen bawah
diukur dari atas ramus pubis ke lantai. Rasio segmen atas dan bawah tubuh pada
pasien sindrom Marfan biasanya kurang dari 0.85. Pasien juga harus diperiksa
untuk melihat arachnodactyly; tanda Walker / wrist positif, tanda Steinburg /
thumb positif. Pemeriksaan mata dengan dilatasi pupil harus dilakukan untuk
melihat ectopia lensa. Evaluasi jantung dilakukan dengan auskultasi dan
echocardiography.
2.1.8 Diagnosis Banding Marfan Syndrome
Diagnosis banding dari sindrom Marfan adalah:
1. Congenital Contractur Arachnodactyly (CCA; Beals sindrom)
Sindrom Beals, atau araknodaktili kontraktural bawaan (CCA), adalah
kondisi genetik disebabkan oleh perubahan (mutasi) pada gen (FBN2) yang
erat kaitannya dengan gen (FBN1) yang menyebabkan sindrom Marfan. Hal
ini mirip namun berbeda dari sindrom Marfan. Beals sindrom dapat
menyebabkan kontraktur sendi (ketidakmampuan untuk sepenuhnya
memperpanjang sendi) dan telinga berbentuk tidak normal. Orang dengan
sindrom Beals memiliki banyak masalah skeletal dan pembesaran aorta yang
juga berefek pada orang dengan sindrom Marfan, dan pengobatan masalah ini
adalah sama. Namun sistem okular tidak terpengaruh.
2. Homocystinuria
Homocystinuria adalah kelainan bawaan di mana tubuh tidak mampu
untuk memproses blok bangunan tertentu dari protein (asam amino) dengan
benar. Ada berbagai bentuk homocystinuria, yang dibedakan oleh tanda-tanda
dan gejala dan penyebab genetik. Bentuk yang paling umum dari
homocystinuria ditandai dengan rabun jauh (miopia), dislokasi lensa di bagian
depan mata, peningkatan risiko pembekuan darah yang abnormal, dan tulang
rapuh yang rentan terhadap fraktur (osteoporosis) atau kelainan tulang
lainnya. Beberapa individu yang terkena juga memiliki keterlambatan
perkembangan dan masalah belajar.
Kedua penyakit ini secara klinis serupa tetapi scoliosis biasa pada
sindrom Marfan, sedangkan pelebaran dan epifisis metafisis tulang panjang
merupakan ciri khas dari homocystinuria.
Pasien dengan homocystinuria sering mengalami osteoporosis pada
usia muda dengan tingginya insiden keterlibatan vertebra. Keterbelakangan
mental dan trombosis yang umum di homocystinuria dan jarang terjadi pada
sindrom Marfan. Homocystinuria ini sangat mungkin diwariskan sebagai
resesif autosomal dan sindrom Marfan sebagai dominan autosomal.
3. MASS phenotype
Fenotip MASS adalah gangguan jaringan ikat yang mirip dengan
sindrom Marfan yang melibatkan katup Mitral, Aorta, Skin (kulit), Skeletal
(rangka) mirip dengan sindrom Marfan tetapi tidak melibatkan dislokasi lensa.
Beberapa gejala dari MASS phenotype antara lain :
Tungkai yang panjang
Deformitas iga
Striae pada kulit
Prolaps katup mitral
Dilatasi aorta yang ringan
4. Loeys-Dietz syndrome
Loeys-Dietz Syndrome adalah sindrom yang baru ditemukan genetik
autosomal dominan yang memiliki banyak fitur yang mirip dengan sindrom
Marfan, tetapi sindrom ini disebabkan oleh mutasi pada gen yang mengkode
transforming GH beta reseptor 1 (TGFR1) atau 2 (TGFR2).
Loeys-Dietz syndrome (LDS) ditandai dengan temuan pembuluh darah
(aneurisma arteri otak, dada, dan perut) dan manifestasi skeletal (pectus
excavatum atau pectus carinatum, scoliosis, kelemahan sendi, araknodaktili).
Sekitar 75% dari individu yang terkena LDS tipe I dengan manifestasi
kraniofasial (hypertelorism okular, bifid uvula / celah palatum,
craniosynostosis); sekitar 25% memiliki LDS tipe II dengan manifestasi kulit
(kulit beludru dan tembus; mudah memar; melebar, bekas luka atrofi).
Banyak Loeys-Dietz sindrom sebelumnya telah didiagnosis dengan
sindrom Marfan. Penting untuk membedakan antara sindrom Marfan dan
Loeys-Dietz sindrom karena ada beberapa perbedaan dalam penanganannya.
Pertama, individu dengan Loeys-Dietz sindrom tidak berisiko memiliki
dislokasi lensa. Manajemen operasi pembesaran aorta juga berbeda.
5. Shprintzen-Goldberg syndrome
Shprintzen-Goldberg syndrome (SGS) ditandai dengan craniosinostosis,
fitur kraniofasial khas, perubahan skeletal (dolikostenomelia, araknodaktili,
pes planus, pectus excavatum atau carinatum, skoliosis, hipermobilitas sendi,
atau kontraktur), kelainan neurologis, ringan sampai sedang cacat intelektual,
dan anomali otak (hidrosefalus, dilatasi ventrikel lateral). Anomali jantung
(prolaps katup mitral, regurgitasi mitral dan regurgitasi aorta) bisa terjadi,
tetapi dilatasi aorta kemungkinan besar tidak ditemukan. Lemak subkutan
minimal, cacat dinding perut, kriptorkismus pada laki-laki, dan miopia juga
merupakan temuan yang khas.
Pasien dilaporkan memiliki ectopia lentis (khas untuk sindrom Marfan
dan tidak SGS), juga memiliki craniosinostosis, strabismus, telinga yang
abnormal, hipotonia, dan kelainan bentuk kaki (khas SGS dan tidak sindrom
Marfan).
6. Stickler syndrome
Sindrom Stickler adalah sekelompok kelainan genetik yang
mempengaruhi jaringan ikat, khususnya kolagen . Ciri-ciri penderita sindrom
ini adalah :
Orang dengan sindrom ini memiliki masalah yang mempengaruhi hal-hal
lain selain mata dan telinga.
Arthritis, kelainan untuk ujung tulang panjang, kelainan tulang belakang,
kelengkungan tulang belakang, skoliosis, nyeri sendi adalah semua
masalah yang dapat terjadi di tulang dan sendi.
Karakteristik fisik orang dengan Stickler dapat mencakup pipi datar,
jembatan hidung datar, rahang atas kecil, rahang bawah kecil, dan kelainan
palatum.
7. Ehler-Danlos syndrome
Sindroma Ehler-Danlos adalah suatu penyakit jaringan ikat keturunan
yang sangat jarang terjadi dan ditandai oleh:
Persendian yang sangat lentur/longgar
Kulit yang sangat elastis, rapuh dan mudah memar
Jaringan yang rapuh
Pembuluh darah yang mudah mengalami kerusakan
Pecahnya organ dalam (jarang).
2.1.9 Prognosis Marfan Syndrome
Sindrom Marfan adalah penyakit seumur hidup (longlife disorder). Prognosis
pasien dengan sindrom Marfan bergantung pada keparahan komplikasi
kardiovaskular dan hal ini ditentukan terutama oleh progresifitas dilatasi aorta,
yang berpotensi menimbulkan diseksi aorta dan kematian pada usia muda.
Kelangsungan hidup dapat diperpanjang dengan deteksi yang lebih baik,
teknik pembedahan dan waktu pembedahan yang lebih baik, dan penggunaan -
bloker sebagai profilaksis. Berdasarkan data tahun 1995, rata-rata kelangsungan
hidup pasien wanita sindrom Marfan adalah 74 tahun dan untuk laki-laki 70 tahun.
Hal ini sama dengan data tahun 2011 yang menunjukkan bahwa rata-rata
kelangsungan hidup pasien sindrom Marfan adalah 70 tahun.
2.1.10 Komplikasi Marfan Syndrome
Komplikasi yang mengenai aorta merupakan penyabab kematian utama.
a. Diseksi aorta dapat menyebabkan perdarahan letal, akut insufisiensi katup
aorta, insufisiensi mitral, tamponade pericardium, atau iskemik viseral.
b. Prolaps katup mitral dapat menyebabkan mitral regurgitasi yang merupakan
penyebab kematian pada anak dengan sindrom marfan.
c. Endokarditis bakterial biasanya terjadi setelah pembedahan.
d. Pektus ekskavatum yg berat dapat menurunkan fungsi jantung dan paru-paru.
2.1.11 Pemeriksaan Penunjang Marfan Syndrome
1. Uji laboratorium:
a. Hasil tes lab rutin adalah normal.
b. Uji genetik untuk mutasi pada fibrillin tersedia. Hasil negatif palsu masih
mungkin dengan tes ini. Oleh karena itu, pengujian genetik tidak
digunakan secara rutin dalam praktek klinis.
2. Imaging:
a. Echocardiography: kunci untuk menilai struktur utama pada risiko dalam
sindrom ini, seperti katup jantung dan aortaasendens.
b. MRI: berguna untuk pencitraan seluruh aorta, tetapi juga dapat digunakan
untuk mengevaluasi tulang belakang untukdural ektasia.
c. Radiografi: radiografi tulang belakang digunakan untuk diagnosis scoliosis,
jika dicurigai. Pasien juga harus memiliki radiografi AP dari pelvis untuk
mengevaluasi protrusi asetabulum. Radiografi tangan dapat dilakukan
untuk menghitung indeks metakarpal, yang ditentukan dengan membagi
panjang tiap-tiap 4 metakarpal terakhir dengan lebar dari titik tengahnya
dan membuat rata-rata dari jumlahnya. Indeks metakarpal pada pasien
sindrom Marfan biasanya lebih dari 8.5 dimana pada orang normal hanya 8
atau kurang dari 8.
d. Temuan patologis: diseksi aorta menunjukan lapisan medial pada beberapa
pasien. Dura pada tulang belakang lumbal bawah kadang-kadang
menunjukan tonjolan dari sisi dandepan kanalis tulang belakang.
2.1.12 Penatalaksanaan Marfan Syndrome
Tidak ada pengobatan untuk sindrom Marfan. Pengobatan ditujukan untuk
mencegah atau menghambat terjadinya komplikasi. Seorang dokter anak harus
bekerja bersama dengan subspesialis anak untuk menyelaraskan pendekatan
rasional dalam memonitor dan mengobati komplikasi.
Bagian yang penting dalam pengobatan sindrom Marfan adalah sistem
skeletal (tulang dan sendi), sistem okular (mata), sistem kardiovaskular (jantung
dan pembuluh darah), sistem saraf, paru-paru, dan aktivitas fisik atau latihan.
1. Sistem kardiovaskular
Ada beberapa isu penting dalam pengobatan kardiovaskular:
a. Terapi -bloker
Terapi -bloker harus dipertimbangkan pada usia berapapun jika aorta
berdilatasi, tetapi terapi profilaksis mungkin lebih efektif pada pasien
dengan diameter aorta kurang dari 4 cm.
Faktor resiko terjadinya diseksi aorta, yaitu diameternya lebih dari 5
cm, kecepatan dilatasi yang besar (45% per tahun) dan riwayat
keluarga mengalami diseksi aorta.
Evaluasi tahunan harus dilakukan, yaitu untuk anamnesis,
pemeriksaan fisik dan echocardiography.
Untuk pengobatan dengan -bloker, yang penting diketahui:
Antagonis reseptor -adrenergik telah diterima sebagai agen potensial
untuk menghambat ekspansi aorta dan menghambat progresifitas ruptur
atau diseksi aorta.
Terapi -bloker memperlambat pertumbuhan aorta pada anak-anak dan
remaja dengan sindrom Marfan.
Terapi dengan antagonis kalsium (calcium channel blocker / CCB) juga
menghambat pertumbuhan aorta, namun dosis yang direkomendasikan
belum ada.
Usia optimal untuk memulai terapi dengan -bloker belum ditentukan.
Butuh lebih banyak penelitian dan pengalaman untuk menentukan dosis
optimal -bloker untuk meminimalisir pertumbuhan aorta.
ACE inhibitor (ACEI) mengurangi tekanan arteri sentral, dan mungkin
berguna untuk sindrom Marfan.
-bloker bekerja dengan menghambat kronotropik, inotropik dan respons
vasodilator dari stimulasi -adrenergik.
Contoh obat yang dapat dipakai adalah Atenolol (Tenormin) yang adalah
antagonis selektif -1, Propranolol HCl (Inderal) sebagai antagonis -
adrenergik non-selektif, Verapamil HCl (Isoptin) sebagai penghambat
influks ion kalsium.
Beberapa orang mempunyai efek samping terhadap -bloker misalnya
kelelahan dan mual. Jika terjadi efek samping tersebut, maka dapat
diberikan ACEI atau CCB.
b. Bedah:
Indikasi untuk pembedahan profilaksis akar aorta pada orang dewasa
(paling sedikit ada 1 kriteria):
Diameter akar aorta lebih dari 55 mm dan diameter akar aorta lebih dari
50 mm pada pasien dengan resiko tinggi komplikasi pada aorta, yaitu
pasien dengan riwayat keluarga diseksi aorta, ada lebih dari regurgitasi
aorta ringan, regurgitasi mitral berat.
Rasio diameter akar aorta dengan aorta desendens lebih dari 2.
Pada anak-anak, jika memungkinkan ditunda pembedahan profilaksis
kardiovaskular hingga remaja.
Bedah yang dilakukan:
Composite valve graft. Untuk pembedahan ini, bagian dari aorta dan
katup aorta diangkat, kemudian aorta diganti dengan cangkokan (graft).
Aortic valve-sparing surgery. Ini dilakukan jika katup aorta pasien
bekerja dengan baik. Dilakukan penggantan bagian yang membesar
dari aorta dengan cangkokan (graft).
Setelah operasi aorta dilakukan, penderita membutuhkan antikoagulan
misalnya warfarin, yang berfungsi untuk mencegah terbentuknya
gumpalan darah pada daerah cangkokan. Antikoagulan digunakan
seumur hidup. Tetapi untuk jenis operasi aortic valve-sparing surgery,
hanya digunakan beberapa saat.
Penderita harus melakukan CT scan atau MRI rutin untuk mengecek
aorta yang telah dioperasi.
Terapi lain:
Pemberian terapi antibiotik sebagai pencegahan endokarditis.
Antibiotik diberikan selama prosedur invasif yang berhubungan dengan
kardiak ataupun tidak.
Menurut buku Farmakologi Katzung, antibotik yang dapat diberikan
sebagai profilaksis endokarditis adalah Amoxicillin atau Clindamycin
(untuk prosedur gigi, mulut, saluran napas) serta Ampicillin atau
Vancomycin dan Gentamycin (untuk prosedur genitourinaria atau
gastrointestinal).
2. Sistem skeletal
a. Brace:Bracing
(peralatan ortopedik yang digunakan untuk menyokong atau
mempertahankan bagian-bagian tubuh pada posisi yang tepat) efektif untuk
menstabilkan tulang belakang dan untuk menghindari pembedahan.
b. Hormonal
Terapi estrogen dan progesteron telah digunakan untuk menginduksi
puberts dan mengurangi tinggi badan terakhir pasien bila terapi hormonal
dimulai sebelum pubertas. Tapi belum ada data yang menunjukkan kalau
terapi ini berguna untuk skoliosis. Sumber lain mengatakan bahwa dengan
pemberian hormon eksogen, dapat membatasi derajat kurvatur dan
deformitas yang dikarenakan kifoskoliosis atau skoliosis.
c. Bedah:
Pembedahan dilakukan untuk memperbaiki bagian toraks yang masuk atau
menonjol, sehingga dapat menghindari penekanan pada paru-paru atau
jantung. Skoliosis yang berat membutuhkan intervensi bedah. Bracing
mempunyai peran yang terbatas dalam menangani skoliosis infantil berat.
Bedah sebaiknya tidak dilakukan pada anak usia kurang dari 4 tahun,
karena banyak pasien dengan kurva yang besar sebelum usia 4 tahun,
meninggal secara spontan akibat komplikasi kardiak. Bedah protrusi
asetabuli dapat dilakukan untuk mengembalikan fungsi pinggul melalui
penutupan kartilagotri-iradiate pada pasien anak dan remaja.
3. Sistem okular
Kacamata atau lensa kontak : Bisa digunakan untuk mengoreksi miopi.
Perlindungan mata:Ini dilakukan karena pasien sindrom Marfan mempunyai
resiko tinggi untuk terjadi retinal detachment. Mata dilindungi dari injuri,
misalnya dari olahraga seperti tinju atau sepakbola.
Laser : Dapat digunakan untuk retinal detachment.
Operasi : Untuk mengangkat lensa yang mengalami subluksasi.
4. Sistem saraf
Jika dural ektasia (bengkak pada duramater pembungkus korda spinalis)
berkembang, maka pengobatan perlu untuk mengurangi nyeri yang
berhubungan.
5. Paru-paru
Chest tube : Sebagai terapi inisial untuk pneumotoraks.
Operasi : Bleb resection atau pleurodesis dilakukan jika terjadi pneumotoraks
berulang.
6. Aktivitas fisik / latihan
Secara umum disampaikan agar pasien membatasi kegiatan fisik,
terutama apabila terdapat adanya keluhan. Beberapa pendidikankesehatan yang
diperlukan, meliputi hal-hal berikut:
Adaptasi gaya hidup, seperti menghindari aktivitas ataukegiatan fisik yang
melelahkan atau olahraga kontak (misalnya bola basket). Hal
ini diperlukan untuk menghindaripembedahan diseksi aorta.
Hindari perubahan tekanan langsung, misalnya menghindari lift,
menyelam atau terbang dengan aircraft. Hal ini
dilakukan untuk mencegah terjadinya pneumotoraks.
Olahraga dan aktivitas fisik yang dianjurkan adalahmemancing, golf
dan berjalan.
Terapi lain adalah konseling genetik dan konseling psikologik. Konseling
genetik dilakukan karena individu yang terkena akan menurunkan
kondisinya ke 50% keturunannya. Resiko berulang 50% jika salah satu
orang tua terkena. Selama konseling genetik, harus dijelaskan tentang
variasi penyakit karena anak yang lahir yang terkena dapat lebih parah atau
lebih baik daripada orang tuanya. Konseling psikologik dilakukan karena
dapat muncul masalah jika seseorang didiagnosis menderita sindrom
Marfan, berhubungan dengan perasaan ditolak, penyangkalan, kemarahan,
depresi atau rasa bersalah. Selain itu, strategi terapi masa depan untuk
sindrom Marfan adalah dengan menggunakan TGF- antagonis.
2. Penyakit jantung bawaan non sianotik dengan lesi obstruktif tanpa pirau
Obstruksi di alur keluar ventrikel kiri dapat terjadi pada tingkat
subvalvar, valvar ataupun supravalvar sampai ke arkus aorta. Akibat kelainan
ini ventrikel kiri harus memompa lebih kuat untuk melawan obstruksi sehingga
terjadi beban tekanan pada ventrikel kiri dan hipertrofi otot miokardium.
Selama belum terjadi kegagalan miokardium, biasanya curah jantung masih
dapat dipertahankan, pasien asimptomatik dan ukuran jantung masih normal.
Tergantung beratnya obstruksi presentasi klinis penderita kelompok ini dapat
asimptomatik atau simptomatik. Yang simptomatik umumnya adalah gagal
jantung yang gejalanya sangat bervariasi tergantung dari beratnya lesi dan
kemampuan miokard ventrikel. Gejala yang ditemukan antara lain sesak nafas,
sakit dada, pingsan atau pusing saat melakukan aktivitas fisik dan mungkin
kematian mendadak. Pada keadaan yang berat dengan aliran darah sistemik
yang tidak adekwat, sebelum terjadi perburukan akan ditandai dahulu sesaat
dengan kemampuan mengisap susu yang cepat menurun dan bayi terlihat
pucat, takipnoe, takikardia dan berkeringat banyak. Adanya penurunan perfusi
perifer ditandai dengan nadi yang melemah, pengisian kapiler yang lambat dan
akral yang dingin.
Obstruksi pada alur keluar ventrikel kanan juga dapat berada di tingkat
subvalvar atau infundibular, valvar dan supravalvar sampai ke percabangan
arteri pulmonalis. Obstruksi ini akan menyebabkan terjadinya beban tekanan
dan hipertrofi ventrikel kanan. Penderita kelompok PJB ini umumnya juga
asimptomatik kecuali bila obstruksinya berat dan kemampuan miokard
ventrikel kanan menurun. Presentasi klinisnya dapat berupa gagal jantung
kanan seperti edema perifer, hepatomegali dan asites, atau sindroma curah
jantung rendah seperti sulit bernafas, lemah, sakit dada, sinkop dan mungkin
kematian mendadak akibat aritmia. Bila bayi dan anak dengan Patent Foramen
Ovale (PFO) maka mungkin akan terlihat sianosis akibat pirau dari kanan ke
kiri melalui celah ini.
a. Aorta Stenosis
AS derajat ringan atau sedang umumnya asimptomatik sehingga
sering terdiagnosis secara kebetulan karena saat pemeriksaan rutin
terdengar bising sistolik ejeksi dengan atau tanpa klik ejeksi di area aorta;
parasternal sela iga 2 kiri sampai ke apeks dan leher. Bayi dengan AS
derajat berat akan timbul gagal jantung kongestif pada usia minggu-
minggu pertama atau bulan-bulan pertama kehidupannya.
Pada AS yang ringan dengan gradien tekanan sistolik kurang dari
50 mmHg tidak perlu dilakukan intervensi. Intervensi bedah valvotomi
atau non bedah Balloon Aortic Valvuloplasty harus segera dilakukan pada
neonatus dan bayi dengan AS valvular yang kritis serta pada anak dengan
AS valvular yang berat atau gradien tekanan sistolik 90 100 mmHg.
b. Coarctatio Aorta
CoA pada anak yang lebih besar umumnya juga asimptomatik
walaupun derajat obstruksinya sedang atau berat. Kadang-kadang ada
yang mengeluh sakit kepala atau epistaksis berulang, tungkai lemah atau
nyeri saat melakukan aktivitas. Tanda yang klasik pada kelainan ini
adalah tidak teraba, melemah atau terlambatnya pulsasi arteri femoralis
dibandingkan dengan arteri brakhialis, kecuali bila ada PDA besar
dengan aliran pirau dari arteri pulmonalis ke aorta desendens. Selain itu
juga tekanan darah lengan lebih tinggi dari pada tungkai.
Obstruksi pada AS atau CoA yang berat akan menyebabkan gagal
jantung pada usia dini dan akan mengancam kehidupan bila tidak cepat
ditangani. Pada kelompok ini, sirkulasi sistemik pada bayi baru lahir
sangat tergantung pada pirau dari kanan ke kiri melalui PDA sehingga
dengan menutupnya PDA akan terjadi perburukan sirkulasi sistemik dan
hipoperfusi perifer. Pemberian Prostaglandin E1 (PGE1) dengan tujuan
mempertahankan PDA agar tetap terbuka akan sangat membantu
memperbaiki kondisi sementara menunggu persiapan untuk operasi
koreksi.
c. Pulmonal Stenosis
Status gisi penderita dengan PS umumnya baik dengan
pertambahan berat badan yang memuaskan. Bayi dan anak dengan PS
ringan umumnya asimptomatik dan tidak sianosis sedangkan neonatus
dengan PS berat atau kritis akan terlihat takipnoe dan sianosis. Penemuan
pada auskultasi jantung dapat menentukan derajat beratnya obstruksi.
Pada PS valvular terdengar bunyi jantung satu normal yang diikuti
dengan klik ejeksi saat katup pulmonal yang abnormal membuka. Klik
akan terdengar lebih awal bila derajat obstruksinya berat atau mungkin
tidak terdengar bila katup kaku dan stenosis sangat berat. Bising sistolik
ejeksi yang kasar dan keras terdengar di area pulmonal. Bunyi jantung
dua yang tunggal dan bising sistolik ejeksi yang halus akan ditemukan
pada stenosis yang berat.
Intervensi non bedah Balloon Pulmonary Valvuloplasty (BPV)
dilakukan pada bayi dan anak dengan PS valvular yang berat dan bila
tekanan sistolik ventrikel kanan supra sistemik atau lebih dari 80 mmHg.
Sedangkan intervensi bedah koreksi dilakukan bila tindakan BPV gagal
atau disertai dengan PS infundibular (subvalvar).
2.2.2 Etiologi Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Non Sianotik
Pada sebagian besar kasus, penyebab PJB tidak diketahui. Pelbagai jenis obat,
penyakit ibu, pajanan terhadap sinar Rontgen, diduga merupakan penyebab eksogen
penyakit jantung bawaan. Penyakit rubela yang diderita ibu pada awal kehamilan
dapat menyebabkan PJB pada bayi. Di samping faktor eksogen terdapat pula faktor
endogen yang berhubungan dengan kejadian PJB. Pelbagai jenis penyakit genetik
dan sindrom tertentu erat berkaitan dengan kejadian PJB seperti sindrom Down,
Turner, dan lain-lain.
2.2.3 Manifestasi Klinis Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Non Sianotik
Gangguan hemodinamik akibat kelainan jantung dapat memberikan gejala
yang menggambarkan derajat kelainan. Adanya gangguan pertumbuhan, sianosis,
berkurangnya toleransi latihan, kekerapan infeksi saluran napas berulang, dan
terdengarnya bising jantung, dapat merupakan petunjuk awal terdapatnya kelainan
jantung pada seorang bayi atau anak.
a. Gangguan pertumbuhan. Pada PJB nonsianotik dengan pirau kiri ke kanan,
gangguan pertumbuhan timbul akibat berkurangnya curah jantung. Pada PJB
sianotik, gangguan pertumbuhan timbul akibat hipoksemia kronis. Gangguan
pertumbuhan ini juga dapat timbul akibat gagal jantung kronis pada pasien
PJB.
b. Sianosis. Sianosis timbul akibat saturasi darah yang menuju sistemik rendah.
Sianosis mudah dilihat pada selaput lendir mulut, bukan di sekitar mulut.
Sianosis akibat kelainan jantung ini (sianosis sentral) perlu dibedakan pada
sianosis perifer yang sering didapatkan pada anak yang kedinginan. Sianosis
perifer lebih jelas terlihat pada ujungujung jari.
c. Toleransi latihan. Toleransi latihan merupakan petunjuk klinis yang baik
untuk menggambarkan status kompensasi jantung ataupun derajat kelainan
jantung. Pasien gagal jantung selalu menunjukkan toleransi latihan berkurang.
Gangguan toleransi latihan dapat ditanyakan pada orangtua dengan
membandingkan pasien dengan anak sebaya, apakah pasien cepat lelah, napas
menjadi cepat setelah melakukan aktivitas yang biasa, atau sesak napas dalam
keadaan istirahat. Pada bayi dapat ditanyakan saat bayi menetek. Apakah ia
hanya mampu minum dalam jumlah sedikit, sering beristirahat, sesak waktu
mengisap, dan berkeringat banyak. Pada anak yang lebih besar ditanyakan
kemampuannya berjalan, berlari atau naik tangga. Pada pasien tertentu seperti
pada tetralogi Fallot anak sering jongkok setelah lelah berjalan.
d. Infeksi saluran napas berulang. Gejala ini timbul akibat meningkatnya aliran
darah ke paru sehingga mengganggu sistem pertahanan paru. Sering pasien
dirujuk ke ahli jantung anak karena anak sering menderita demam, batuk dan
pilek. Sebaliknya tidak sedikit pasien PJB yang sebelumnya sudah diobati
sebagai tuberkulosis sebelum di rujuk ke ahli jantung anak.
e. Bising jantung. Terdengarnya bising jantung merupakan tanda penting dalam
menentukan penyakit jantung bawaan. Bahkan kadang-kadang tanda ini yang
merupakan alasan anak dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Lokasi bising, derajat serta penjalarannya dapat menentukan jenis kelainan
jantung. Namun tidak terdengarnya bising jantung pada pemeriksaan fisis,
tidak menyingkirkan adanya kelainan jantung bawaan. Jika pasien diduga
menderita kelainan jantung, sebaiknya dilakukan pemeriksaan penunjang
untuk memastikan diagnosis.
2.2.4 Diagnosis Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Non Sianotik
Diagnosis penyakit jantung bawaan ditegakkan berdasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang dasar serta lanjutan. Pemeriksaan
penunjang dasar yang penting untuk penyakit jantung bawaan adalah foto rontgen
dada, elektrokardiografi, dan pemeriksaan laboratorium rutin. Pemeriksaan
lanjutan (untuk penyakit jantung bawaan) mencakup ekokardiografi dan
kateterisasi jantung. Kombinasi ke dua pemeriksaan lanjutan tersebut untuk
visualisasi dan konfirmasi morfologi dan pato-anatomi masing-masing jenis
penyakit jantung bawaan memungkinkan ketepatan diagnosis mendekati seratus
persen. Kemajuan teknologi di bidang diagnostik kardiovaskular dalam dekade
terakhir menyebabkan pergeseran persentase angka kejadian beberapa jenis
penyakit jantung bawaan tertentu. Hal ini tampak jelas pada defek septum atrium
dan transposisi arteri besar yang makin sering dideteksi lebih awal.
Makin canggihnya alat ekokardiografi yang dilengkapi dengan Doppler
berwarna, pemeriksaan tersebut dapat mengambil alih sebagian peran pemeriksaan
kateterisasi dan angiokardiografi. Hal ini sangat dirasakan manfaatnya untuk bayi
dengan PJB kompleks, yang sukar ditegakkan diagnosisnya hanya berdasarkan
pemeriksaan dasar rutin dan sulitnya pemeriksaan kateterisasi jantung pada bayi.
Ekokardiografi dapat pula dipakai sebagai pemandu pada tindakan septostomi
balon transeptal pada transposisi arteri besar. Di samping lebih murah,
ekokardiografi mempunyai keunggulan lainnya yaitu mudah dikerjakan, tidak
menyakitkan, akurat dan pasien terhindar dari pajanan sinar X. Bahkan di rumah
sakit ang mempunyai fasilitas pemeriksaan ekokardiografi, foto toraks sebagai
pemeriksaan rutinpun mulai ditinggalkan. Namun demikian apabila di tangan
seorang ahli tidak semua pertanyaan dapat dijawab dengan menggunakan sarana
ini, pada keadaan demikian angiografi radionuklir dapat membantu. Pemeriksaan
ini di samping untuk menilai secara akurat fungsi ventrikel kanan dan kiri, juga
untuk menilai derasnya pirau kiri ke kanan. Pemeriksaan ini lebih murah daripada
kateterisasi jantung, dan juga kurang traumatis.
Tingginya akurasi pemeriksaan ekokardiografi, membuat pemeriksaan
kateterisasi pada tahun 1980 menurun drastis. Sarana diagnostik lain terus
berkembang, misalnya digital substraction angiocardiography, ekokardiografi
transesofageal, dan ekokardiografi intravaskular. Sarana diagnostik utama yang
baru adalah magnetic resonance imaging, dengan dilengkapi modus cine sarana
pemeriksaan ini akan merupakan andalan di masa mendatang.
2.2.5 Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Non Sianotik
Dengan berkembangnya ilmu kardiologi anak, banyak pasien dengan
penyakit jantung bawaan dapat diselamatkan dan mempunyai nilai harapan hidup
yang lebih panjang. Umumnya tata laksana penyakit jantung bawaan meliputi tata
laksana non-bedah dan tata laksana bedah. Tata laksana non-bedah meliputi tata
laksana medikamentosa dan kardiologi intervensi.
Tata laksana medikamentosa umumnya bersifat sekunder sebagai akibat
komplikasi dari penyakit jantungnya sendiri atau akibat adanya kelainan lain yang
menyertai. Dalam hal ini tujuan terapi medikamentosa untuk menghilangkan
gejala dan tanda di samping untuk mempersiapkan operasi. Lama dan cara
pemberian obat-obatan tergantung pada jenis penyakit yang dihadapi.
Hipoksemia, syok kardiogenik, dan gagal jantung merupakan tiga penyulit
yang sering ditemukan pada neonatus atau anak dengan kelainan jantung bawaan.
Perburukan keadaan umum pada dua penyulit pertama ada hubungannya dengan
progresivitas penutupan duktus arterious, dalam hal ini terdapat ketergantungan
pada tetap terbukanya duktus. Keadaan ini termasuk ke dalam golongan penyakit
jantung bawaan kritis. Tetap terbukanya duktus ini diperlukan untuk (1)
percampuran darah pulmonal dan sistemik, misalnya pada transposisi arteri besar
dengan septum ventrikel utuh, (2) penyediaan darah ke aliran pulmonal, misalnya
pada tetralogi Fallot berat, stenosis pulmonal berat, atresia pulmonal, dan atresia
trikuspid, (3) penyediaan darah untuk aliran sistemik, misalnya pada tenosis aorta
berat, koarktasio aorta berat, interupsi arkus aorta dan sindrom hipoplasia jantung
kiri. Perlu diketahui bahwa penanganan terhadap penyulit ini hanya bersifat
sementara dan merupakan upaya untukmenstabilkan keadaan pasien, menunggu
tindakan operatif yang dapat berupa paliatif atau koreksi total terhadap kelainan
struktural jantung yang mendasarinya.
Jika menghadapi neonatus atau anak dengan hipoksia berat, tindakan yang
harus dilakukan adalah (1) mempertahankan suhu lingkungan yang netral misalnya
pasien ditempatkan dalam inkubator pada neonatus, untuk mengurangi kebutuhan
oksigen, (2) kadar hemoglobin dipertahankan dalam jumlah yang cukup, pada
neonatus dipertahankan di atas 15 g/dl, (3) memberikan cairan parenteral dan
mengatasi gangguan asam basa, (4) memberikan oksigen menurunkan resistensi
paru sehingga dapat menambah aliran darah ke paru, (5) pemberian prostaglandin
E1 supaya duktus arteriosus tetap terbuka dengan dosis permulaan 0,1 g/kg/menit
dan bila sudah terjadi perbaikan maka dosis dapat diturunkan menjadi 0,05
g/kg/menit. Obat ini akan bekerja dalam waktu 10 30 menit sejak pemberian
dan efek terapi ditandai dengan kenaikan PaO2 15-20 mmHg dan perbaikan pH.
Pada PJB dengan sirkulasi pulmonal tergantung duktus arteriosus, duktus
arteriosus yang terbuka lebar dapat memperbaiki sirkulasi paru sehingga sianosis
akan berkurang. Pada PJB dengan sirkulasi sistemik yang tergantung duktus
arteriosus, duktus arteriosus yang terbuka akan menjamin sirkulasi sistemik lebih
baik. Pada transposisi arteri besar, meskipun bukan merupakan lesi yang
bergantung duktus arteriosus, duktus arteriosus yang terbuka akan memperbaiki
percampuran darah.
Pada pasien yang mengalami syok kardiogenik harus segera diberikan
pengobatan yang agresif dan pemantauan invasif. Oksigen harus segera diberikan
dengan memakai sungkup atau kanula hidung. Bila ventilasi kurang adekuat harus
dilakukan intubasi endotrakeal dan bila perlu dibantu dengan ventilasi mekanis.
Prostaglandin E1 0,1 g/kg/menit dapat diberikan untuk melebarkan kembali dan
menjaga duktus arteriosus tetap terbuka. Obat-obatan lain seperti inotropik,
vasodilator dan furosemid diberikan dengan dosis dan cara yang sama dengan tata
laksana gagal jantung.
Pada pasien PJB dengan gagal jantung , tata laksana yang ideal adalah
memperbaiki kelainan struktural jantung yang mendasarinya. Pemberian obat-
obatan bertujuan untuk memperbaiki perubahan hemodinamik, dan harus
dipandang sebagai terapi sementara sebelum tindakan definitif dilaksanakan.
Pengobatan gagal jantung meliputi
1. Penatalaksanaan umum yaitu istirahat, posisi setengah duduk, pemberian
oksigen, pemberian cairan dan elektrolit serta koreksi terhadap gangguan asam
basa dan gangguan elektrolit yang ada. Bila pasien menunjukkan gagal napas,
perlu dilakukan ventilasi mekanis
2. Pengobatan medikamentosa dengan menggunakan obat-obatan. Obat obat
yang digunakan pada gagal jantung antara lain
a. Obat inotropik seperti digoksin atau obat inotropik lain seperti dobutamin
atau dopamin. Digoksin untuk neonatus misalnya, dipakai dosis 30 g/kg.
Dosis pertama diberikan setengah dosis digitalisasi, yang kedua diberikan 8
jam kemudian sebesar seperempat dosis sedangkan dosis ketiga diberikan 8
jam berikutnya sebesar seperempat dosis. Dosis rumat diberikan setelah 8-
12 jam pemberian dosis terakhir dengan dosis seperempat dari dosis
digitalisasi. Obat inotropik isoproterenol dengan dosis 0,05-1 g/kg/menit
diberikan bila terdapat bradikardia, sedangkan bila terdapat takikardia
diberikan dobutamin 5-10 g/ kg/menit atau dopamin bila laju jantung
tidak begitu tinggi dengan dosis 2-5 g/kg/menit. Digoksin tidak boleh
diberikan pada pasien dengan perfusi sistemik yang buruk dan jika ada
penurunan fungsi ginjal, karena akan memperbesar kemungkinan
intoksikasi digitalis.
b. Vasodilator, yang biasa dipakai adalah kaptopril dengan dosis 0,1-0,5
mg/kg/hari terbagi 2-3 kali per oral.
c. Diuretik, yang sering digunakan adalah furosemid dengan dosis 1-2 mg/kg/
hari peroral atau intravena.
b. Palpasi
Leher : Normal
Abdomen : Normal
Ektremitas : Atas : Lebih panjang dari normal
Bawah : Lebih panjang dari normal
c. Auskultasi
Dada : Jantung : Terdengar suara mur-mur dan gallop
Paru-paru : Terdengar suara ronchi
d. Perkusi
Abdomen : Hipertympani
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto rontgen dada.
Foto rontgen dada didapatkan kardiomegali dengan pembesaran
ventrikel kiri., vaskularisasi paru meningkat (plethora) dan bila terjadi
penyakit vaskuler paru tampak pruned tree (seperti pohon tanpa ada
cabang-cabangnya), disertai penonjolan.
b. Elektrokardiografi
Pada EKG sumbu QRS hampir selalu berdeviasi ke kanan. Tampak
pula hipertrofi ventrikel kanan. Pada anak besar dijumpai P pulmonal..
c. Pemeriksaan laboratorium rutin
Ditemukan adanya peningkatan hemoglobin dan hematokrit (Ht)
akibat saturasi oksigen yang rendah. Pada umumnya hemoglobin
dipertahankan 16-18 gr/dl dan hematokrit antara 50-65 %. Nilai BGA
menunjukkan peningkatan tekanan partial karbondioksida (PCO2),
penurunan tekanan parsial oksigen (PO2) dan penurunan PH.pasien
dengan Hn dan Ht normal atau rendah mungkin menderita defisiensi
besi.
d. Echokardiografi
Memperlihatkan dilatasi aorta, overriding aorta dengan dilatasi
ventrikel kanan,penurunan ukuran arteri pulmonalis & penurunan aliran
darah ke paru-paru.
2.3.2 Identifikasi Diagnosa, Masalah dan Kebutuhan Segera
Pengembangan mengenai masalah dari interpretasi data dasar kedalam
identifikasi spesifik mengenai masalah atau diagnosa. Diagnosa adalah hasil dari
perumusan masalah merupakan keputusan yang ditegakkan oleh bidan.
Diagnosa : An. Umur Dengan Marfan Syndrome + Penyakit Jantung
Bawaan (PJB) Non Siantik.
Data Subyektif : Pertumbuhan tinggi badan tidak terkontrol, berat badan tetan
bahkan turun, gangguan pada mata, nyeri pada dada, pusing, sesak,
jantung berdebar-debar, mudah lelah.
Data Obyektif :
1. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Lemah
Kesadaran : Composmentis
Tanda-tanda vital : TD : 120/80-130/90 mmHg- hipotensi <
90/60 mmHg
Nadi : Takikardia > 100 x/ menit
RR : Tadipnea > 24 x/menit
Suhu : 36,5 37,5 0C
2. Pemeriksaan Fisik
Hidung : Terpasang O2 nasal canul 2 lpm
Leher : Tampak lebih panjang dari normal
Dada : Ada retraksi dinding dada
Jantung : Terdengar suara mur mur dan
gallop
Paru-paru : Terdengar suara ronchi
Genetalia : Tampak adanya rambut pubis, terpasang dower
cateter
Ekstrimitas : Atas : Tampak lebih panjang dari normal
Bawah: Tampak lebih panjang dari normal,
terpasang CVC pada femoralis kiri
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto rontgen dada.
Foto rontgen dada didapatkan kardiomegali dengan
pembesaran ventrikel kiri., vaskularisasi paru meningkat
(plethora) dan bila terjadi penyakit vaskuler paru tampak
pruned tree (seperti pohon tanpa ada cabang-cabangnya),
disertai penonjolan.
b. Elektrokardiografi
Pada EKG sumbu QRS hampir selalu berdeviasi ke
kanan. Tampak pula hipertrofi ventrikel kanan. Pada anak
besar dijumpai P pulmonal.
c. Pemeriksaan laboratorium rutin
Ditemukan adanya peningkatan hemoglobin dan
hematokrit (Ht) akibat saturasi oksigen yang rendah. Pada
umumnya hemoglobin dipertahankan 16-18 gr/dl dan
hematokrit antara 50-65 %. Nilai BGA menunjukkan
peningkatan tekanan partial karbondioksida (PCO2),
penurunan tekanan parsial oksigen (PO2) dan penurunan
PH.pasien dengan Hn dan Ht normal atau rendah mungkin
menderita defisiensi besi.
d. Echokardiografi
Memperlihatkan dilatasi aorta, overriding aorta
dengan dilatasi ventrikel kanan,penurunan ukuran arteri
pulmonalis & penurunan aliran darah ke paru-paru.
2.3.3 Antisipasi Masalah Potensial
1. Syok kardiogenik
2.3.4 Identifikasi Kebutuhan Segera
1. Pemberian Oksigen
2. Kolaborasi dengan dokter dan tim medis lainnya
2.3.5 Intervensi
Diagnosa : An. Umur Dengan Marfan Syndrom + Penyakit Jantung
Bawaan (PJB) Non Sianotik
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan kebidanan selama 3 x 24 jam di harapkan
KU dapat berangsur membaik.
Kriteria hasil : Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
TTV dalam batas normal : TD : 120/80-130/90 mmHg
Nadi : 60-100 x/menit
Suhu : 36,5 37,5 0C
RR : 16-24 x/menit
Intervensi :
1. Lakukan pendekatan terapeutik dengan pasien dan kelaurga.
Rasional : Terjalin hubungan yang baik antara petugas kesehatan dengan
pasien dan keluarga.
2. Lakukan pemeriksaan TTV dan pemeriksaan fisik pada pasien.
Rasional : Mendeteksi adanya kelainan pada tubuh.
3. Jelaskan hasil pemeriksaan pada pasien dan orang tua.
Rasional : Pasien dan orang tua dapat mengetahui kondisi anaknya.
4. Beri Oksigen Nasal Canul 2 liter/menit.
Rasioanl : Pemberian oksigen secara adekuat dapat mensuplai dan
memberikan cadangan oksigen.
5. Kolaborasi dengan dokter dan tim medis lainnya dalam pemberian terapi.
Rasional : Terapi injeksi dan oral dapat membantu pemulihan keadaan
pasien.
6. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diit nutrisi.
Rasional : Membantu dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi.
2.3.6 Implementasi
1. Lakukan pendekatan terapeutik dengan pasien dan kelaurga.
2. Lakukan pemeriksaan TTV dan pemeriksaan fisik pada pasien.
3. Jelaskan hasil pemeriksaan pada pasien dan orang tua.
4. Beri Oksigen Nasal Canul 2 liter/menit.
5. Kolaborasi dengan dokter dan tim medis lainnya dalam pemberian terapi.
6. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diit nutrisi.
2.3.7 Evaluasi
Seperangkat tindakan yang paling berhubungan untuk menilai pelaksanaan
asuhan kebidanan serta didasarkan pada tujuan dan kriteria.
Dalam evaluasi menggunakan format SOAP yaitu :
S : Orang tua pasien mengerti tentang semua penjelasan dan pelayanan yang
diberikan.
O : Sudah dilakukan pemberian O2, terapi injeksi, dan peroral.
A : An. Usia Dengan Marfan Syndrom + Penyakit Jantung Bawaan (PJB)
Non Sianotik.
P : 1. Mengobservasi TTV, dan pemeriksaan fisik.
2. Memberikan Kolaborasi dengan dokter dan tim medis lainnya dalam
pemberian terapi.
3. Memberikan diit sesuai dengan apa yang diberikan oleh tim gizi.
BAB III
TINJAUAN KASUS
Nama Mahasiswa : Iva Rosalia Dewi Sri Tempat Praktik : Ruang HCU
NIM : 130803014 Tanggal Praktik : 01-14 November 2015
I. PENGKAJIAN
A. IDENTITAS KLIEN
No RM : 11150227
Tgl MRS / Jam : 21-10-2015 / 08.08 WIB
Tgl Pengkajian / Jam : 02-11-2015 / 21.00 WIB
Nama : An. K
Usia : 13 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Lowokwaru Malang
Sumber Informasi : Keluarga dan Rekam Medis
B. STATUS KESEHATAN SAAT INI
1. Keluhan Utama :
Ibu mengatakan anaknya mengeluh mual muntah.
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Ibu mengatakan awalnya sejak 5 hari sebelum MRS anaknya panas, demam
tinggi, dan menggigil kemudian diobati sendiri dengan obat penurun panas
namun tidak kunjung sembuh. Dan 2 hari kemudian anaknya mengeluh nyeri
perut bagian kiri atas, mual muntah, nafsu makan menurun, nafas terasa berat dan
cepat. Kemudian dibawa ke RS UNISMA dan dilakukan pemeriksaan didapatkan
suspek DHF, kemudian dirujuk ke RSSA karena alat yang tidak memadai.
E. POLA NUTRISI-METABOLIK
Di Rumah Di Rumah Sakit
Makan
Frekuensi 3-4 x / hari 3 x / hari
Jenis Nasi, lauk, sayur, buah, Nasi, lauk, sayur, buah,
susu susu
Jumlah yang Porsi sedang 1 piring habis Porsi sedang 1 piring tidak
dihabiskan habis
Nafsu makan Baik Menurun
Kesulitan Tidak ada Mual
Minum
Frekuensi 600 cc / hari 200 cc / hari
Jenis Air putih dan susu Air putih dan susu
Jumlah yang 600 cc 200 cc
dihabiskan
Kesulitan Tidak ada Tidak ada
F. POLA ELIMINASI
Deskripsi
Item
Di Rumah Di Rumah Sakit
BAB
Frekuensi/pola 1x / hari 3x / hari
Konsistensi Lembek Lembek
Warna kekuningan, bau khas Warna kekuningan, bau khas
Warna/bau
feses feses
Kesulitan Tidak ada Tidak ada
Upaya mengatasi Tidak ada Tidak ada
BAK
5-6 x / hari Via kateter 980 cc
Frekuensi/pola
Konsistensi Cair Cair
Kuning jernih, bau khas Kuning jernih, bau khas urine
Warna/bau
urine
Kesulitan Tidak ada Tidak ada
Upaya mengatasi Tidak ada Tidak ada
H. RIWAYAT MENSTRUASI
Menarche : 10 tahun
Siklus : 20 hari
Lamanya : 7-12 hari
Banyaknya : 3 x ganti pembalut saat hari 1-5, selanjutnya 2 x ganti pembalut
Bau : Anyir
Warna : Merah
Dismenorrhea : +
Flour Albus : Tidak pernah
I. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaaan Umum : Lemah
Kesadaran : Composmentis
GCS : 4-5-6
TTV : TD : 60/40 mmHg
Nadi : 120 x / menit
RR : 25 x / menit
Suhu : 36,4 C
1. Kepala & Wajah:
Inspeksi : Bentuk simetris, rambut hitam, lurus, distribusi merata, rambut tidak
mudah dicabut, lesi (-), tidak ada kelumpuhan otot-otot facialis.
Palpasi : Masa (-), oedema (-).
2. Mata:
Inspeksi dan palpasi : Bentuk simetris, oedem palpebra (-/-), peradangan (-/-), luka
(-/-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), gangguan penglihatan (+/+).
3. Hidung:
Inspeksi dan palpasi : Bentuk simetris, pembengkakan (-), oedema (-), polip (-),
perdarahan (-), pernafasan cuping hidung (-), sputum (-), terpasang O2 nasal canul
2 lpm.
4. Mulut dan Tenggorokan:
Inspeksi dan palpasi : Mukosa bibir lembab, lesi (-), perdarahan gusi (-), gangguan
menelan (-), sianosis (-).
5. Telinga:
Inspeksi dan palpasi : bentuk simetris, lesi (-/-), peradangan (-/-), kotoran dalam
telinga (-/-), perdarahan (-/-), gangguan pendengaran (-).
6. Leher:
Inspeksi dan Palpasi : Bentuk leher simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran vena jugularis (-), pembesaran kelenjar limfe (-), pembesaran tiroid
(-), kaku kuduk (-), tampak lebih panjang dari normal (+).
7. Dada
Pigeont chest (+), retraksi dinding dada (+), penggunaan otot
Inspeksi
bantu nafas (-), lesi (-)
Palpasi Nyeri tekan (-)
Perkusi Hipertympani (+)
Auskultasi Paru
Suara Nafas Vesikuler
Suara Ucapan Dapat dievaluasi Dapat
dievaluasi
Bronkoponi / Pectoryloquy / Egophoni (-) (-)
Suara Tambahan Rhonchi Wheezing
Rhonchi / Wheezing
+ + - -
+ + - -
+ + - -
8. Jantung
Pemeriksaaan Jantung
Inspeksi dan Palpasi Prekordium
Area Aorta-Pulmonum Pulsasi: Ada
Area tricuspid- Pulsasi: Ada
Ventrikelkanan
Letak Ictus Cordis Ictus cordis tidak terlihat
Perkusi
Suara Batas atas : ICS II Mid sternalis
Batas bawah : ICS VIII
Batas Kiri : ICS VII Mid Clavikula Sinistra
Batas Kanan : ICS V Mid Sternalis Dextra
Auskultasi
Bunyi Jantung I S1 Tunggal
Bunyi Jantung II S2 Tunggal
Bunyi Jantung III Murmur (+), gallop (+)
Bunyi Jantung IV (-)
Kelainan (-)
9. Punggung :
Inspeksi dan palpasi : Bentuk tulang belakang normal, tampak adanya striae pada
punggung (+), masa (-), oedem (-)
10. Mamae dan Axila:
Inspeksi dan palpasi : Putting susu menonjol (+), masa (-)
11. Abdomen
Inspeksi Massa (-), scar (-), lesi (-) asites (-).
Auskultasi Bising usus (-)
Palpasi Nyeri tekan (-), distensi abdomen (-)
Perkusi Hipertympani
Lain-lain Tidak ada
12. Genetalia
Inspeksi: Tampak adanya rambut pubis (+), terpasang dower cateter (+), lesi (-),
eritema (-), peradangan (-).
13. Anus
Inspeksi : Perdarahan (-) benjolan (-), hemoroid (-).
14. Ekstremitas
Kiri :
Lesi (-), Hematom (-), Kontraktur (-), Edema (-), Nyeri
(-), Clubbing finger, (-) Spasme otot (-), Sianosis (-), plug
(-), CRT < 2 detik, lebih panjang dari normal (+).
Atas
Kanan:
Lesi (-), Hematom (-), Kontraktur (-), Edema (-), Nyeri
(-), Clubbing finger (-), Spasme otot (-), Mountoux test,
CRT < 2 detik, lebih panjang dari normal (+).
Kiri :
Lesi (-), Hematom (-), Kontraktur (-), Spasme otot (-),
Edema (-), Nyeri (-), Clubbing finger (-), Sianosis (-),
CRT < 2 detik, lebih panjang dari normal (+).
Bawah
Kanan :
Lesi (-), Hematom (-), Kontraktur (-), Spasme otot (-),
Edema (-), Nyeri (-), Clubbing finger (-), Sianosis (-),
CRT < 2 detik, lebih panjang dari normal (+).
Kekuatan 5 5
Otot 5 5
15. Metabolisme/integumen
Kulit
Warna : Pucat (-), Sianotik (-), Abu-abu (-), Ikterik (-), Lain-lain
Suhu : 36,4 C
Pitting edema : (-)
CRT : < 2 detik
Memar : Tidak ada
Kemerahan : Tidak ada
Pruritus : Tidak ada
16. Kuku
Inspeksi dan palpasi : Tampak bersih, CRT < 2 detik.
17. Neurosensori
1. Pupil : Isokor.
2. Reaktif terhadap cahaya : Refleks cahaya pada mata kanan dan kiri baik.
J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto rontgen dada
Tanggal : 21 Oktober 2015
Hasil :
Tampak perlubangan pada hemithorax kanan yang menutupi sinus
costaphenis kanan, hemidiafragma kanan, Cor: bentuk, ukuran, posisi
normal, aorta normal, trachea: terjan, pulmo: corakan vascular normal,
hilus normal, tampak intinit pada lapang terjal bawah paru kanan,
hemidiafragma s: demerhapin, sinus astophe s: lanap, skeleton dan solttral:
normal. Kesimpulan: efusi pleura kanan dan pneumonia
b. Elektrokardiografi
Tanggal : 22 Oktober 2015
Hasil :
Pada VSD dengan defek besar didapatkan adanya hipertrofi ventrikel
kanan dengan atau abnormalitas atrium kanan.
c. USG
Tanggal : 31 Oktober 2015
Hasil :
Ren D : Ukuran 11,24 x 4,85 cm, echo cortex meningkat dengan
pyramida prominen, batas cortex medulla kabar, system
pelviocalyceal tak melebar, tidak tampak batu/kista.
Ren S : Ukuran 11,9 x 4,7 cm, echo cortex meningkat dengan
pyramida prominen, batas cortex medulla kabar, system
pelviocalyceal tak melebar, tidak tampak batu/kista.
UU : Tidak terisi urine, tidak tampak jenis balon kateter (tertutup
gambaran udara usus)
Uterus : Tidak dapat dievaluasi
Kesimpulan : Acute parenchymatous renal disease bilateral
d. Laboratorium
Tanggal : 31 Oktober 2015
Hasil :
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Dewasa
Normal
Urinalisis
Kekeruhan Jernih
Warna Kuning
Ph 7,5 4,5 - 8,0
Berat Jenis 1,015 1,005-1,030
Glukosa - Negatif
Protein 2+ Nilai Negatif
Rujukan Dewasa
Jenis Keton
Pemeriksaan TraceSatuan
Hasil Negatif
Bilirubin - NormalNegatif
Hematologi
Urobilinogen - Negatif
Hemoglobin
Nitrit (HGB) 8,60
- g/dL 11,4 Negatif
15,71
6
Eritrosit (RBC)
Lekosit 3,41
1 +10 /L 4,0 Negatif
5,0
3
Leukosit
Darah(WBC) 10,25
3 + 10 /L 4,7 Negatif
11,3
Hematokrit
10 X 25,00 % 38 42
Trombosit (PLT)
Epitel 434 103/L
16,3 142 4241
MCV Silinder 73,30-fL LPK 80 93
MCH - Hialin 25,20-pg LPK 27 31
2
MCHC - Berbutir 34,40-g/dL LPK 32 36
Negatif
RDW - Lain-lain 14,40-% LPK 11,5 14,5
PDW40 X 13,1 fL 9 13
MPV Eritrosit 11,3 fLLPB
27,9 7,2 11,1
3
P LCR Eumorfik 34,9 %
+ LPB 15,0 25,0
PCT Dismorfik 0,49 %- LPB 0,150 0,400
3
NRBC Absolute
Lekosit 0,00
14,010LPB/L 5
NRBC Kristal
Percent 0,0 %- LPB
LED Bakteri 3854,2
mm/jam
x 103/L 23 x / 103/mL
Hitungan Jenis
Lain-lain -
Eosinofil 0,8 % 04
Basofil 0,2 % 01
Neurofil 80,8 % 51 67
Limfosil 11,0 % 25 33
Monosit 7,2 % 25
Lain lain
Kimia Klinik
BJ Plasma 1,025 W/V 1,025 1,029
Faal Hati
Albumin 3,40 g/dL 3,5 5,5
Metabolisme
Karbohidrat
Glukosa Darah Sewaktu 83 mg/dL < 200
Faal Ginjal
Ureum 138,60 mg/dL 16,6 48, 5
Kreatinin 4,69 mg/dL < 1,2
Elektrolit
Kalsium (Ca) 8,8 mg/dL 7,6 11,0
Phospor 6,6 mg/dL 2,7 4,5
Imunoserologi
ASTO + (Positif) : 200 IU/mL < 200
Elektrolit Serum
Natrium (Na) 117 mmol/L 136 145
Kalium (K) 3,50 mmol/L 3,5 5,0
Klorida (Cl) 82 mmol/L 98 - 106
K. PROGRAM TERAPI
Tanggal : 02 November 2015
a. Oksigen nasal canul 2 lpm
b. Via syring pump :
1. Dobutamin 250 mg
2. Furosemide 200 mg
c. Injeksi :
1. Meropenem 500 mg
d. Peroral :
1. Captropil 25 mg
2. KSR 600 mg
3. Lactulosa 75 mg
4. Multi Vitamin syr 125 mg
5. Sucralfat 2 g
Kimia Klinik
BJ Plasma 1,025 W/V 1,025 1,029
Faal Hati
Albumin 3,40 g/dL 3,5 5,5
Metabolisme
Karbohidrat
Glukosa Darah Sewaktu 83 mg/dL < 200
Faal Ginjal
Ureum 138,60 mg/dL 16,6 48, 5
Kreatinin 4,69 mg/dL < 1,2
Elektrolit
Kalsium (Ca) 8,8 mg/dL 7,6 11,0
Phospor 6,6 mg/dL 2,7 4,5
Imunoserologi
ASTO + (Positif) : 200 IU/mL < 200
Elektrolit Serum
Natrium (Na) 117 mmol/L 136 145
Kalium (K) 3,50 mmol/L 3,5 5,0
Klorida (Cl) 82 mmol/L 99 - 106
MASALAH POTENSIAL
1. Syok kardiogenik
IV. IDENTIFIKASI KEBUTUHAN SEGERA
1. Pemberian oksigen
V. INTERVENSI
Tanggal: 02 November 2015 Jam: 21.30 WIB
Diagnosa : An. K Usia 13 Tahun Dengan Marfan Syndrome Dan Penyakit
Jantung Bawaan (PJB) Non Sianotik
Kriteria hasil :
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
TTV dalam batas normal : TD : 120/80 - 130/90 mmHg, N : 60-
100 x / menit, RR : 16-24 x / menit, S :
36,5-37,5 oc
Tidak ada komplikasi : Syok kardiogenik
Intervensi :
1. Lakukan pendekatan terapeutik dengan pasien dan kelaurga
Rasional : Terjalin hubungan yang baik antara petugas kesehatan dengan pasien
dan keluarga.
2. Lakukan pemeriksaan TTV dan pemeriksaan fisik pada anak
Rasional : Mendeteksi adanya kelainan pada tubuh.
3. Jelaskan hasil pemeriksaan pada pasien dan keluarga
Rasional : Mengetahui kondisi saat ini.
4. Lakukan pengukuran intake dan output cairan
Rasional : Mengetahui banyak cairan yang masuk dan keluar.
5. Kolaborasi dengan dokter dan tim medis lainnya dalam pemberian terapi.
Rasional : Membantu pemulihan keadaan pasien.
6. Kolaborasi dengan tim gizi
Rasional : Pemenuhan kebutuhan nutrisi.
VI. IMPLEMENTASI
Tanggal : 02 November 2015 Jam : 21.45 WIB
1. Melakukan pendekatan terapeutik dengan pasien dan kelaurga
Hasil : Keluarga merespon petugas dengan baik.
2. Melakukan pemeriksaan TTV dan pemeriksaan fisik pada anak
Hasil :
TTV : TD : 90/60 mmHg
Nadi : 120 x/menit
RR : 25 x/menit
Suhu : 36,4C
3. Menjelaskan hasil pemeriksaan pada pasien dan keluarga
Hasil : Keluarga mengerti tentang kondisi anaknya saat ini.
4. Melakukan pengukuran intake dan output cairan
Hasil : Balance cairan / 6 jam :
Input / 6 jam
Infus : 37,2 cc
Minum : 200 cc
Total : 237,2 cc
Output / 6 jam
Urine : 300 cc
IWL : 112 cc
Total : 412 cc
Balance : Input - Output = 237,2 cc 412 cc = - 174,8
5. Berkolaborasi dengan dokter dan tim medis lainnya dalam pemberian terapi.
Hasil :
a. Memberikan oksigen nasal canul 2 lpm
b. Via syring pump :
1. Dobutamin 250 mg
2. Furosemide 200 mg
c. Injeksi :
1. Meropenem 500 mg
d. Peroral :
1. Captropil 25 mg
2. KSR 600 mg
3. Lactulosa 75 mg
4. Multi Vitamin syr 125 mg
5. Sucralfat 2 g
6. Berkolaborasi dengan tim gizi dalam pemenuhan nutrisi
Hasil : Diit TKTP 3 x porsi, nefrisol 200 cc
VII. EVALUASI
Tanggal : 03 November 2015 Jam : 07.00 WIB
S : Ibu mengatakan bahwa anaknya masih sesak dan ada tarikan dinding dada
O :
Keadaaan Umum : Tampak lemah
Kesadaran : Composmentis
TTV : TD : 60/40 mmHg, N : 125 x/menit, RR : 51 x/menit, S :
36,5 oc
Hidung : Terpasang O2 nasal canul 2 lpm
Leher : Tampak lebih panjang dari normal
Dada : Ada retraksi dinding dada, peagont chest
Jantung : Terdengar suara mur-mur dan gallop
Paru-paru : Terdengar suara ronchi
Mamae : Puting susu menonjol
Genetalia : Terpasang dower cateter, produksi urine 300 cc
Ekstrimitas : Atas : Tampak lebih panjang dari normal, plug pada
tangan kanan
Bawah : Tampak lebih panjang dari
normal, terpasang CVC pada femoralis kiri
A : An. K usia 13 tahun dengan Marfan Syndrome Dan Penyakit Jantung Bawaan
(PJB) Non Sianotik
P :
1. Mengukur TTV dan melakukan pemeriksaan fisik
Hasil : TD : 60/40 mmHg, N : 125 x/menit, RR : 51 x/menit, S : 36,5 oc
2. Mengukur intake dan output cairan
Hasil : Balance cairan :
Input / 6 jam
Infus : 37,2 cc
Minum : 200 cc
Total : 237,2 cc
Output / 6 jam
Urine : 300 cc
IWL : 112 cc
Total : 412 cc
Balance : Input - Output = 237,2 cc 412 cc = - 174,8
3. Berkolaborasi dengan dokter dan tim medis lainnya dalam pemberian terapi.
Hasil :
a. Memberikan oksigen nasal canul 2 lpm
b. Via syring pump :
1. Dobutamin 250 mg
2. Furosemide 200 mg
c. Injeksi :
1. Meropenem 500 mg
d. Peroral :
1. Captropil 25 mg
2. KSR 600 mg
3. Lactulosa 75 mg
4. Multi Vitamin syr 125 mg
5. Sucralfat 2 g
4. Berkolaborasi dengan tim gizi dalam pemenuhan nutrisi
Hasil : Diit TKTP 3 x porsi, nefrisol 200 cc
CATATAN PERKEMBANGAN
Kimia Klinik
Faal Ginjal
Ureum 201,30 mg/dL 16,6 48, 5
Kreatinin 13,05 mg/dL < 1,2
Asam urat 9,4 mgdL 2,4 - 5,7
Elektrolit
Kalsium (Ca) 4,6 mg/dL 7,6 11,0
Phospor 7,2 mg/dL 2,7 4,5
Elektrolit Serum
Natrium (Na) 127 mmol/L 136 145
Kalium (K) 4,53 mmol/L 3,5 5,0
Klorida (Cl) 100
97 mmol/L
106
A : An. K Usia 13 Tahun Dengan Marfan Syndrome Dan Penyakit Jantung Bawaan (PJB)
Non Sianotik
P :
1. Mengukur TTV dan melakukan pemeriksaan fisik
Hasil : TD : 90/60 mmHg, N : 124 x/menit, RR : 28 x/menit, S : 36,7 oc
2. Membantu menyeka pasien
Hasil : Pasien sudah diseka
3. Mengukur intake dan output cairan
Hasil : Balance cairan / 6 jam :
Input / 6 jam
Infus : 37,2 cc
Minum : 350 cc
Total : 387,2 cc
Output / 6 jam
Urine : 550 cc
IWL : 112 cc
Total : 662 cc
Balance : Input - Output = 387,2 cc 662 cc = -274,8
4. Berkolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian nutrisi
Hasil : Diit nasi TKTP 3 x porsi, diit nefrisol 8 x 200 cc
5. Berkolaborasi dengan dokter dan tim medis lainnya dalam pemberian terapi
Hasil : a. Memberikan oksigen nasal canul 2 lpm
b. Via syring pump :
1. Dobutamin 250 mg
2. Furosemide 200 mg
c. Injeksi :
1. Meropenem 900 mg
d. Peroral :
1. Captropil 25 mg
2. KSR 600 mg
3. Lactulosa 75 mg
4. Multi Vitamin syr 125 mg
5. Sucralfat 2 g
CATATAN PERKEMBANGAN
Retikulosit
Retikulosit Absolut 0,0164 106/L
Retikulosit 0,57 % 0,5-2,5
Kimia Klinik
Faal Ginjal
Ureum 256,90 mg/dL 16,6 48, 5
Kreatinin 3,80 mg/dL < 1,2
Asam Urat 6,7 mg/dL 2,4-5,7
A : An. K Usia 13 Tahun Dengan Marfan Syndrome Dan Penyakit Jantung Bawaan (PJB)
Non Sianotik
P :
1. Mengukur TTV dan melakukan pemeriksaan fisik
Hasil : TD : 70/40 mmHg, N : 118 x/menit, RR : 20 x/menit S : 37,6C
2. Melakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan DL dan kimia darah
Hasil : Darah berhasil diambil pada tangan kanan
3. Mengantar pasien echo.
Hasil : Pasien sudah di echo tinggal tunggu hasil
4. Memberikan bedak gatal.
Hasil : Pasien masih tetap gatal.
5. Mengukur intake dan output cairan
Hasil : Balance cairan / 6 jam :
Input / 6 jam
Infus :-
Minum : 600 cc
Total : 600 cc
Output / 6 jam
Urine : 450 cc
IWL : 112 cc
Total : 342 cc
Balance : Input - Output = 600 cc 342 cc = + 258 cc
6. Berkolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian nutrisi
Hasil : Diit TKTP 3x 1 porsi, Nefrisol 8 x 200 cc, jus buah 1x1 200 cc
7. Berkolaborasi dengan dokter dan tim medis lainnya dalam pemberian terapi
Hasil : a. Memberikan oksigen nasal canul 2 lpm
b. Via syring pump :
1. Furosemide 200 mg
e. Injeksi :
1. Meropenem 900 mg
2. Paracetamol 500 mg
g. Peroral :
1. Captropil 25 mg
2. KSR 450 mg
3. Lactulosa 75 mg
4. Multi Vitamin syr 125 mg
5. Sucralfat 2 g
2. Mengkonsulkan ke THT
Hasil : Pasien sudah dilakukan THT
3. Mengkonsulkan ke alergi
Hasil : Pasien sudah dikonsulkan
CATATAN PERKEMBANGAN
Kimia Klinik
Faal Ginjal
Ureum 201,30 mg/dL 16,6 48, 5
Kreatinin 13,05 mg/dL < 1,2
Asam urat 9,4 mgdL 2,4 - 5,7
Elektrolit
Kalsium (Ca) 4,6 mg/dL 7,6 11,0
Phospor 7,2 mg/dL 2,7 4,5
Elektrolit Serum
Natrium (Na) 127 mmol/L 136 145
Kalium (K) 4,53 mmol/L 3,5 5,0
Klorida (Cl) 101
97 mmol/L
106
A : An. K Usia 13 Tahun Dengan Marfan Syndrome Dan Penyakit Jantung Bawaan (PJB)
Non Sianotik
P :
1. Mengukur TTV dan melakukan pemeriksaan fisik
Hasil : TD : 60/40 mmHg, N : 122 x/menit, RR : 21 x/menit S : 37,4 C
2. Menyeka pasien dan membantu menggosok gigi
Hasil : Pasien sudah diseka
3. Mengkonsulkan ke kulit
Hasil : konsultasi sudah dikirim
4. Melakukan tranfusi PRC 200 cc
Hasil : Pasien ditranfusi labu 1 masuk 13.45 WIB
5. Mengukur intake dan output cairan
Hasil : Balance cairan / 6 jam :
Input / 6 jam
Infus :-
Minum : 600 cc
Total : 600 cc
Output / 6 jam
Urine : 440 cc
IWL : 112 cc
Total : 328 cc
Balance : Input - Output = 600 cc 328 cc = + 272 cc
6. Berkolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian nutrisi
Hasil : Diit TKTP 3x 1 porsi, Nefrisol 8 x 200 cc, jus buah 1x1 200 cc
7. Berkolaborasi dengan dokter dan tim medis lainnya dalam pemberian terapi
Hasil : a. Memberikan oksigen nasal canul 2 lpm
b. Via syring pump :
1. Dopamin 200 mg
2. Furosemide 200 mg
c. Injeksi :
1. Meropenem 900 mg
2. Ceftriaxone 1 gr
d. Peroral :
1. Bisoprolol 4,5 mg
2. Captropil 25 mg
3. KSR 450 mg
4. Lactulosa 75 mg
5. Multi Vitamin syr 125 mg
6. Sucralfat 2 g
7. Zink 20 mg
BAB IV
PEMBAHASAN
Marfan syndrome (MFS) adalah gangguan spektrum yang disebabkan oleh cacat genetik
diwariskan dari jaringan ikat yang memiliki mode dominan autosomal transmisi cacat itu
sendiri telah diisolasi dengan gen FBN1 pada kromosom 15 yang mengkode untuk protein
jaringan ikat fibrillin. Marfan dapat mempengaruhi banyak sistem tubuh, termasuk kerangka,
mata, jantung dan pembuluh darah, sistem saraf, kulit, dan paru-paru. Sindrom Marfan
mempengaruhi pria, wanita, dan anak-anak, dan telah ditemukan di antara orang-orang dari
semua ras dan latar belakang etnis. Kelainan protein jaringan ikat fibrillin menyebabkan
berbagai masalah pada individu yang terkena.
Penyakit jantung bawaan (PJB) non sianotik adalah kelainan struktur dan fungsi jantung
yang dibawa lahir yang tidak ditandai dengan sianosis; misalnya lubang di sekat jantung
sehingga terjadi pirau dari kiri ke kanan, kelainan salah satu katup jantung dan penyempitan
alur keluar ventrikel atau pembuluh darah besar tanpa adanya lubang di sekat jantung.
Setelah dilakukan Asuhan Kebidanan Pada An. K Umur 13 Tahun Dengan Marfan
Syndrome + Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Non Sianotik Di Ruang HCU dr. Saiful Anwar
Malang diantaranya telah dilakukan perbaikan KU dan pemberian terapi injeksi dan peroral
sehingga keadaan pasien dapat berangsuur membaik.
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Dari pengkajian pada An. K tidak ditemukan kesenjangan antara teori dan
praktek. Dengan demikian penulis dapat memberikan asuhan kebidanan dengan
memperhatikan gejala, keluhan, dan diagnosis yang terjadi sehingga diharapkan tidak
terjadi masalah lain yang dapat merugikan pasien.
Asuhan ini bertujuan untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditas anak
melalui system kesehatan untuk menjamin akses terhadap intervensi yang aktif. Dan
apabila ditemukan adanya masalah maka dapat segera tertangani dengan segera dan
tidak terjadi komplikasi.
5.2 SARAN
5.2.1 Untuk Lahan Praktek
Dengan dilakukannya pengkajian ini, diharapkan lahan praktek lebih bisa
memberikan pelayanan yang lebih baik dan meningkat lagi, supaya dapat
mengatasi masalah yang dihadapi pasien.
5.2.2 Untuk Institusi Pendidikan
Diharapkan institusi pendidikan dapat menambah kepustakaan untuk
mahasiswanya.
5.2.3 Untuk Penulis
Diharapkan mahasiswa dapat lebih mendalami dan memahami kasus serta
pelaksanaan dalam pengkajiannya, agar dapat memberikan asuhan dan
pelayanan sesuai standart.
DAFTAR PUSTAKA
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. 2007. Nelson Textbook Of Pediatrics
18 th Ed. Philadephia: Saunders Elsevier.
Berhman, Kliegman Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Ed 15 Vol 13. Jakarta: EGC.
Helmi ZN. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Wahidiat, Iskandar. 1985. Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Staf Pengajar Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.