Anda di halaman 1dari 3

Usaha yang Telah Dilakukan oleh Penegak Hukum dalam

Pemberantasan Korupsi di Indonesia


Oleh Syarfina Andini, 1406557176

Fenomena korupsi sebagai business as usual sudah tidak asing lagi, namun tidak
ada seorang pun yang bisa dituduh melakukannya karena pembuktian korupsi
mengalami kesulitan. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur,
dan sejahtera, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin
ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kepentingan masyarakat. Banyak usaha yang telah dilakukan baik di tingkat legislasi,
kebijakan maupun implementasi oleh aparat penegak hukum di lapangan. Salah satu
yang dapat ditingkatkan adalah meningkatkan kemampuan pembuktian tindak pidana
korupsi sehingga tidak banyak lagi putusan korupsi yang pada akhirnya diputuskan
bebas oleh hakim di pengadilan. Berikut adalah segelintir contoh usaha yang telah
dilakukan penegak hukum dalam melawan korupsi;

1. Divonis 10 tahun, Puteh diberi hukuman tambahan


Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara kepada Abdullah
Puteh, Gurbernur Nanggroe Aceh Darussalam non-aktif, dan denda Rp 500 juta
subsider enam bulan. Khusus uang pengganti, majelis hakim mengharuskan Puteh
membayar Rp 6,654 miliar. Bila dalam waktu satu bulan sejak putusan dibacakan hal
itu tidak dilaksanakan, jaksa penuntut umum diperintahkan menyita harta benda
Puteh. Bahkan, jika hartanya tidak mencukupi nilai tersebut, hukuman Puteh
ditambah tiga tahun penjara.

2. Mantan Konjen Johor Bahru divonis dua tahun


Mantan Konsul Jendral RI di Johor Bahru, Malaysia, Eda Makmur, divonis dua
tahun penjara, denda Rp 50 juta subsider tiga bulan, dan membayar uang pengganti
Rp 791,414 juta. Eda dinilai bersalah melakukan korupsi dalam pemberian fasilitas
keimigrasian di Konjen RI di Johor Bahru.
Eda Makmur dinilai melanggar dakwaan subsider Pasar 3 UU No. 31 Tahun 1999.
Eda dianggap telah memungut biaya pengurusan dokumen keimigrasian melebihi
ketentuan secara terus-menerus. Dari pungutan yang terkumpul 3,114 juta ringgit
Malaysia atau Rp 8,096 miliar, Eda menerima 304,390 ringgit Malaysia atau Rp
791,419 juta. Sisanya mengalir ke mantan Kepala Subbidang Imigrasi Prihatna
Setiawan dan staf Konjen RI di Johor Bahru.

3. Rokhmin Dahuri divonis tujuh tahun penjara


Putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan mantan
Menteri Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri terbukti korupsi sehingga divonis
tujuh tahun penjara, hendaknya menjadi dasar pengusutan lebih lanjut bagi Komisi
Pemberantasan Korupsi. Siapa saja yang ikut menerima dana nonbudgeter
Departemen Kelautan dan Perikanan, termasuk para politik, baik atas nama pribadi
maupun partai politik, harus diusut.

4. Bupati Kendal Hendal Boedoro divonis lima tahun penjara


Bupati Kendal, Jawa Tengah, Hendy Boedoro divonis lima tahun penjara dan
membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 3,474 miliar. Vonis ini lebih
ringan dibandingkan tuntunan jaksa yang meminta terdakwa dipidana 10 tahun
penjara dan denda Rp 1 miliar. Hendy juga dituntut membayar uang pengganti Rp
13,121 miliar.
Hukuman ini dibacakan dalam sidang di Pengadilan Khusus Tindakan Pidana
Korupsi, Jakarta, Selasa (18/9/2007). Sidang yang dipimpin oleh ketua majelis hakim
Gusrizal ini menyatakan, dakwaan kesatu primer dari jaksa terhadap dakwa, yaitu
melanggar Pasal 2 Ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi tidak terbukti.

5. Mantan Dubes RI untuk Malaysia dihukum


Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Rabu (2/1/2008), menjatuhkan hukuman
penjara dan denda Rp 150 juta kepada mantan Duta Besar RI untuk Malaysia, Hadi A.
Wayarabi dan mantan Kepala Bidang Imigrasi KBRI Malaysia, Suparba W. Amiarsa.
Keduanya terbukti melakukan korupsi biaya kepengurusan dokumen keimigrasian
secara berkelanjutan (2000-2003) sehingga mengakibatkan kerugian Negara Rp 15
miliar atau 6,097 ringgit Malaysia.

Pimpinan berganti dengan akibat baik atau buruk, dan kekuatan politik dan
kekuatan-kekuatan lainnya dapat menyebabkan pegawai bermutu digantikan oleh
pegawai yang tidak mampu sama sekali mengelola sistem informasi, kontrol, dan
isentif. Tidak ada obat yang paling manjur untuk membasmi korupsi. Tetapi
kesinambungan upaya pemberantasan korupsi dapat diwujudkan bila:
Kita dapat membuat persaingan dalam penyediaan barang dan jasa semakin
sengit
Semua peraturan dan perizinan disederhanakan
Penilaian dari warga mengenai kinerja pemerintahan daerah dapat ditampung
secara lebih efesien
Penilaian warga dan imbalan uang dan non-uang bagi pejabat daerah makin
dapat dikaitkan satu sama lain sedekat-dekatnya
Kegiatan-kegiatan pemerintah daerah makin terbuka untuk dinilai masyarakat

Fenomena korupsi di Indonesia memang dapat dikatakan telah membudaya,


menjadi semacam way of life yang melibatkan banyak aktor, dan berlangsung dalam
jaring-jaring korupsi yang kompleks. Namun, ini tidak berarti bahwa korupsi sudah
tidak dapat ditanggulangi. Dengan perkataan lain, perlu ditanamkan kepada setiap
warga negara suatu pengertian untuk tidak menyerah dalam memberantas korupsi, dan
bahwa seolah-olah korupsi sesuatu yang sudah given (melekat) dan tidak dapat
diutak-atik lagi. Untuk itu perlu dibutuhkan suatu tekad yang kuat, komitmen, dan
keseriusan untuk menanggulangi korupsi. Dengan tekad dan keseriusan semacam ini,
tidaklah mustahil bahwa di masa yang akan datang, Indonesia benar-benar bisa
menjadi negara yang bersih dari korupsi.
DAFTAR PUSTAKA

Winarno, Budi. 2009. Globalisasi: Peluang atau Ancaman bagi Indonesia.


Jakarta: Erlangga

Faisal, Andy. 2010. Pembalikan Beban Pembuktian dalam Perkara Korupsi.


Medan: USU Press

Indrayana, Denny. 2008. Negeri Para Mafioso: Hukum di Sarang Koruptor.


Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS

Kristanto, Tri Agung, dkk. 2009. Jangan Bunuh KPK: Pelawanan terhadap
Usaha Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS

Klitgaard, Robert, Ronald Maclean-Abaroa, and H. Lindsey Parris. 2000.


Corrupt Cities: A Practical Guide to Cure and Prevention. (Terj. Masri
Maris). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Anda mungkin juga menyukai