Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Efusi pleura adalah penimbunan cairan didalam rongga pleura akibat transudasi
atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura bukan
merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit. 1 Akibat
adanya carian yang cukup banyak dalam rongga pleura, maka kapasitas paru akan
berkurang dan di samping itu juga menyebabkan pendorongan organorgan
mediastinum, termasuk jantung. Hal ini mengakibatkan insufisiensi pernafasan
dan juga dapat mengakibatkan gangguan pada jantung dan sirkulasi darah. 2

Di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung


kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di negara-
negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi
tuberkulosis. Efusi pleura keganasan merupakan salah satu komplikasi yang biasa
ditemukan pada penderita keganasan dan terutama disebabkan oleh kanker paru
dan kanker payudara. Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat
dijumpai pada sekitar 50-60% penderita keganasan pleura primer atau metastatik.
Sementara 5% kasus mesotelioma (keganasan pleura primer) dapat disertai efusi
pleura dan sekitar 50% penderita kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi
pleura. 2

Diperlukan penatalaksanaan yang baik dalam menanggulangi efusi pleura ini,


yaitu pengeluaran cairan dengan segera serta pengobatan terhadap penyebabnya
sehingga hasilnya akan memuaskan. 2

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis berkeinginan menyajikan


informasi mengenai efusi pleura agar dapat menjadi bahan masukan kepada diri
penulis dan kita semua dapat mendiagnosis serta memberikan terapi yang tepat
pada penderita efusi pleura.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Pleura


2.1.1 Anatomi Pleura
Pleura terletak dibagian terluar dari paru-paru dan mengelilingi paru. Pleura
disusun oleh jaringan ikat fibrosa yang didalamnya terdapat banyak kapiler limfa
dan kapiler darah serta serat saraf kecil. Pleura disusun juga oleh sel-sel (terutama
fibroblast dan makrofag). Pleura paru ini juga dilapisi oleh selapis mesotel. Pleura
merupakan membran tipis, halus, dan licin yang membungkus dinding anterior
toraks dan permukaan superior diafragma. Lapisan tipis ini mengandung kolagen
dan jaringan elastis.1
Ada 2 macam pleura yaitu pleura parietalis dan pleura viseralis. Pleura
parietalis melapisi toraks atau rongga dada sedangkan pleura viseralis melapisi
paru-paru. Kedua pleura ini bersatu pada hilus paru. Dalam beberapa hal terdapat
perbedaan antara kedua pleura ini yaitu pleura viseralis bagian permukaan luarnya
terdiri dari selapis sel mesotelial yang tipis (tebalnya tidak lebih dari 30 m).
Diantara celah-celah sel ini terdapat beberapa sel limfosit. Di bawah sel-sel
mesotelia ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit. Seterusnya
dibawah ini (dinamakan lapisan tengah) terdapat jaringan kolagen dan serat-serat
elastik. Pada lapisan terbawah terdapat jaringan intertitial subpleura yang sangat
banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari A. Pulmonalis dan A. Bronkialis
serta pembuluh getah bening. Keseluruhan jaringan pleura viseralis ini menempel
dengan kuat pada jaringan parenkim paru. Pleura parietalis mempunyai lapisan
jaringan lebih tebal dan terdiri dari sel-sel mesotelial juga dan jaringan ikat
(jaringan kolagen dan serat-serat elastik). Dalam jaringan ikat, terdapat pembuluh
kapiler dari A. Interkostalis dan A. Mammaria interna, pembuluh getah bening dan
banyak reseptor saraf-saraf sensorik yang peka terhadap rasa sakit dan perbedaan
temperatur. Sistem persarafan ini berasal dari nervus intercostalis dinding dada.
Keseluruhan jaringan pleura parietalis ini menempel dengan mudah, tapi juga
mudah dilepaskan dari dinding dada di atasnya. Di antara pleura terdapat ruangan

2
yang disebut spasium pleura, yang mengandung sejumlah kecil cairan yang
melicinkan permukaan dan memungkinkan keduanya bergeser secara bebas pada
saat ventilasi. Cairan tersebut dinamakan cairan pleura. Cairan ini terletak antara
paru dan thoraks. Tidak ada ruangan yang sesungguhnya memisahkan pleura
parietalis dengan pleura viseralis sehingga apa yang disebut sebagai rongga pleura
atau kavitas pleura hanyalah suatu ruangan potensial. Tekanan dalam rongga
pleura lebih rendah daripada tekanan atmosfer sehingga mencegah kolaps paru.
Jumlah normal cairan pleura adalah 10-20 cc.1

Gambar 1. Anatomi Pleura

2.1.2 Fisiologi Pleura


Cairan pleura berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura parietalis
dan pleura viseralis bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah pemisahan
toraks dan paru yang dapat dianalogkan seperti dua buah kaca objek yang akan
saling melekat jika ada air. Kedua kaca objek tersebut dapat bergeseran satu
dengan yang lain tetapi keduanya sulit dipisahkan. Cairan pleura dalam keadaan
normal akan bergerak dari kapiler di dalam pleura parietalis ke ruang pleura
kemudian diserap kembali melalui pleura viseralis. Hal ini disebabkan karena
perbedaan tekanan antara tekanan hidrostatik darah yang cenderung mendorong
cairan keluar dan tekanan onkotik dari protein plasma yang cenderung menahan

3
cairan agar tetap di dalam. Selisih perbedaan absorpsi cairan pleura melalui pleura
viseralis lebih besar daripada selisih perbedaan pembentukan cairan oleh pleura
parietalis dan permukaan pleura viseralis lebih besar dari pada pleura parietalis
sehingga dalam keadaan normal hanya ada beberapa mililiter cairan di dalam
rongga pleura.1

2.2 Definisi
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari
dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa
cairan transudat atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya
mengandung cairan sebanyak 10-20 ml, cairan pleura komposisinya sama dengan
cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah
yaitu < 1,5 gr/dl.5

Gambar 2. Efusi pleura

2.3 Epidemiologi

4
Estimasi prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang di negara-
negara industri, dengan distribusi etiologi terkait dengan prevalensi penyakit yang
mendasarinya.

Secara umum, kejadian efusi pleura adalah sama antara kedua jenis kelamin.
Namun, penyebab tertentu memiliki kecenderungan seks. Sekitar dua pertiga dari
efusi pleura ganas terjadi pada wanita. Efusi pleura ganas secara signifikan
berhubungan dengan keganasan payudara dan ginekologi. Efusi pleura yang
terkait dengan lupus eritematosus sistemik juga lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pada pria. 2

Efusi pleura sering terjadi di negara-negara yang sedang berkembang, salah


satunya di Indonesia. Hal ini lebih banyak diakibatkan oleh infeksi tuberkolosis.
Bila di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung
kongestif, keganasan, dan pneumonia bakteri. Di Amerika efusi pleura menyerang
1,3 juta orang/tahun. Di Indonesia, TB Paru adalah penyebab utama efusi pleura,
disusul oleh keganasan. 2/3 efusi pleura maligna mengenai wanita. Efusi pleura
yang disebabkan karena TB lebih banyak mengenai pria. Mortalitas dan
morbiditas efusi pleura ditentukan berdasarkan penyebab, tingkat keparahan dan
jenis biochemical dalam cairan pleura.2,3

2.4 Etiologi
2.4.1 Berdasarkan Jenis Cairan
a. Efusi transudatif
Merupakan cairan pleura yang bersifat transudat (kandungan konsentrasi
protein atau molekul besar lain rendah). Efusi transudatif terjadi karena
perubahan faktor sistemik yang mempengaruhi pembentukan dan absorpsi
cairan pleura. Dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif (gagal
jantung kiri), sindroma nefrotik, asites (oleh karena sirosis hepatis), sindroma
vena cava superior, tumor, sindroma Meig, hidronefrosis.5
b. Efusi eksudatif
Merupakan cairan pleura bersifat eksudat (konsentrasi protein lebih tinggi dari
transudat). Efusi eksudatif terjadi karena perubahan faktor lokal yang
mempengaruhi pembentukan dan absorpsi cairan pleura. Efusi pleura tipe

5
transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran kadar Laktat
Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan pleura. Dapat disebabkan
oleh infeksi, tuberkulosis, pneumonia, tumor, infark paru, radiasi, penyakit
kolagen.6

Efusi pleura eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria

berikut ini, sementara efusi pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga

kriteria ini :6

1. Protein cairan pleura / protein serum > 0,5


2. LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6
3. LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang normal

didalam serum.
2.4.2
Efusi pleura berupa :
a. Eksudat, disebabkan oleh :
1) Pleuritis karena virus dan mikoplasma
Efusi pleura karena virus atau mikoplasma agak jarang. Bila terjadi
jumlahnya pun tidak banyak dan kejadiannya hanya selintas saja. Jenis-jenis
virusnya adalah : Echo virus, Coxsackie group, Chlamidia, Rickettsia, dan
mikoplasma. Cairan efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-
6000 per cc.5
2) Pleuritis karena bakteri piogenik
Permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang berasal dari jaringan
parenkim paru dan menjalar secara hematogen, dan jarang yang melalui
penetrasi diafragma, dinding dada atau esophagus.
Aerob: Streptococcus pneumonia, Streptococcus mileri, Saphylococcus
aureus, Hemofilus spp, E. coli, Klebsiella, Pseudomonas spp.
Anaerob: Bacteroides spp, Peptostreptococcus, Fusobacterium.5
3) Pleuritis tuberkulosa
Permulaan penyakit ini terlihat sebagai efusi yang bersifat eksudat. Penyakit
kebanyakan terjadi sebagai komplikasi tuberkulosis paru melalui fokus
subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Cairan efusi yang
biasanya serous, kadang-kadang bisa juga hemoragis. Jumlah leukosit antara
500-2000 per cc. Mula-mula yang dominan adalah sel polimorfonuklear,

6
tapi kemudian sel limfost. Cairan efusi sangat sedikit mengandung kuman
tuberculosis.Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada
hemithoraks kiri dan jarang yang masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis
ditemukan gejala febris, penurunan berat badan, dyspneu, dan nyeri dada
pleuritik.5,6
4) Pleuritis karena fungi
Pleuritis karena fungi amat jarang. Biasanya terjadi karena penjalaran
infeksi fungi dari jaringan paru. Jenis fungi penyebab pleuritis adalah:
Aktinomikosis, Koksidioidomikosis, Aspergillus, Kriptokokus,
Histoplasmolisis, Blastomikosis, dll. Patogenesis timbulnya efusi pleura
adalah karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi.5
5) Pleuritis karena parasit
Parasit yang dapat menginfeksi ke dalam rongga pleura hanyalah amuba.
Bentuk tropozoit datang dari parenkim hati menembus diafragma terus ke
parenkim paru dan rongga pleura. Efusi pleura karena parasit ini terjadi
karena peradangan yang ditimbulkannya. Di samping ini dapat terjadi
empiema karena amuba yang cairannya berwarna khas merah coklat. Di sini
parasit masuk ke rongga pleura secara migrasi dari perenkim hati. Dapat
juga karena adanya robekan dinding abses amuba pada hati ke arah rongga
pleura.5
6) Efusi pleura karena neoplasma
Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru,
mammae, kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral
dengan ukuran jantung yang tidak membesar. Patofisiologi terjadinya efusi
ini diduga karena :5
a) Invasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi danterjadi
kebocoran kapiler.
b) Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,
bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan
aliran balik sirkulasi.
c) Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif
intra pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang
ditemukan berupa eksudat dan kadar glukosa dalam cairan pleura

7
tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam cairan pleura cukup
tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan sitologik cairan pleura dan
tindakan blopsi pleura yang menggunakan jarum (needle biopsy).
7) Efusi parapneumoni
Efusi parapneumonia adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia
bakteri, abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah
dijumpai predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita cairannya
berwarna purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus efusi
parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang
diperlukan pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut Light,
terdapat4 indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien
dengan efusi parapneumonik:5
a) Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura
b) Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
c) Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
d) Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah daripada
nilai pH bakteri.
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik
yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam
saja.5
8) Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,
Skleroderma.
a) Lupus eritematosus
Pleuritis adalah salah satu gejala yang timbul belakangan pada penyakit
lupus eritematosus sistemik (SLE). Dengan terjadinya efusi pleura yang
kadang-kadang mendahului gejala sistemik lainnya, diagnosis SLE ini
menjadi lebih jelas. Hampir 55% dari SLE disertai pleuritis dan 25%
daripadanya juga dengan efusi pleura.5
b) Artritis Reumatoid (RA)
Efusi pleura terdapat pada 5% RA selama masa sakit. Cairan efusi
bersifat eksudat serosa yang banyak mengandung limfosit. Faktor
reumatoid mungkin terdapat dalam cairan efusi tapi tidak patognomik
untuk RA, karena juga terdapat pada karsinoma, tuberkulosis ataupun
pneumonia. Kadar glukosa biasanya sangatlah rendah (kurang dari 20%

8
mg%), malah tidak terdeteksi sama sekali (demikian juga pada
tuberkulosis dan karsinoma). Umumnya efusi pleura RA sembuh sendiri
tanpa diobati, tapi kadang-kadang diperlukan juga terapi kortikosteroid.5
c) Skleroderma
Efusi pleura juga didapatkan pada penyakit skleroderma. Jumlah cairan
efusinya tidak banyak, tapi yang menonjol disini adalah penebalan pleura
atau adhesi yang terdapat pada 75% pasien skleroderma.5

b. Transudat, disebabkan oleh :


1) Efusi pleura karena gangguan sirkulasi
a) Gangguan kardiovaskuler
Payah jantung (decompensatio cordis) adalah penyebab terbanyak
timbulnya efusi pleura. Penyebab lainnya adalah perikarditis konstriktiva
dan sindrom vena kava superior. Patogenesisnya adalah akibat terjadinya
peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler pulmonal akan
menurunkan kapasitas reabsorbsi pembuluh darah subpleura dan aliran
getah bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke
rongga pleura dan paru-paru meningkat.5
b) Emboli pulmonal
Efusi pleura dapat terjadi pada sisi paru yang terkena emboli pulmonal.
Keadaan ini dapat disertai infark paru ataupun tanpa infark. Emboli
menyebabkan turunnya aliran darah arteri pulmonalis, sehingga terjadi
iskemia maupun kerusakan parenkim paru dan memberikan peradangan
dengan efusi yang berdarah (warna merah). Di samping itu permeabilitas
antara satu atau kedua bagian pleura akan meningkat, sehingga cairan
efusi mudah terbentuk. Cairan efusi biasanya bersifat eksudat, jumlahnya
tidak banyak, dan biasanya sembuh secara spontan, asal tidak terjadi
emboli pulmonal lainnya. Pada efusi pleura dengan infark paru jumlah
cairan efusinya lebih banyak dan waktu penyembuhan juga lebih lama.5
c) Hipoalbuminemia
Efusi pleura juga terdapat pada keadaan hipoalbuminemia seperti
sindrom nefrotik, malabsorbsi atau keadaan lain dengan asites serta
anasarka. Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotic protein cairan

9
pleura dibandingkan dengan tekanan osmotic darah. Efusi yang terjadi
kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat.5
2) Efusi pleura karena neoplasma
Neoplasma primer ataupun sekunder (metastasis) dapat menyerang pleura
dan umumnya menyebabkan efusi pleura. Keluhan yang paling banyak
ditemukan adalah sesak nafas dan nyeri dada. Gejala lain adalah adanya
cairan yang selalu berakumulasi kembali dengan cepat walaupun dilakukan
torakosentesis berkali-kali. Terdapat beberapa teori tentang timbulnya efusi
pleura pada neoplasma, yakni : 5
a) Menumpuknya sel-sel tumor akan meningkatnya permeabilitas pleura
terhadap air dan protein
b) Adanya massa tumor mengakibatkan tersumbatnya aliran pembuluh
darah vena dan getah bening, sehingga rongga pleura gagal
memindahkan cairan dan protein
c) Adanya tumor membuat infeksi lebih mudah terjadi dan selanjutnya
timbul hipoproteinemia
3) Efusi pleura karena sebab lain
a) Efusi pleura dapat terjadi karena trauma yaitu trauma tumpul, laserasi,
luka tusuk pada dada, rupture esophagus karena muntah hebat atau
karena pemakaian alat waktu tindakan esofagoskopi.5
b) Uremia
Salah satu gejala penyakit uremia lanjut adalah poliserositis yang terdiri
dari efusi pleura, efusi perikard dan efusi peritoneal (asites). Mekanisme
penumpukan cairan ini belum diketahui betul, tetapi diketahui dengan
timbulnya eksudat terdapat peningkatan permeabilitas jaringan pleura,
perikard atau peritoneum. Sebagian besar efusi pleura karena uremia
tidak memberikan gejala yang jelas seperti sesak nafas, sakit dada, atau
batuk.5

c) Miksedema
Efusi pleura dan efusi perikard dapat terjadi sebagai bagian miksedema.
Efusi dapat terjadi tersendiri maupun secara bersama-sama. Cairan
bersifat eksudat dan mengandung protein dengan konsentrasi tinggi.5
d) Limfedema

10
Limfedema secara kronik dapat terjadi pada tungkai, muka, tangan dan
efusi pleura yang berulang pada satu atau kedua paru. Pada beberapa
pasien terdapat juga kuku jari yang berwarna kekuning-kuningan.5
e) Reaksi hipersensitif terhadap obat
Pengobatan dengan nitrofurantoin, metisergid, praktolol kadang-kadang
memberikan reaksi/perubahan terhadap paru-paru dan pleura berupa
radang dan dan kemudian juga akan menimbulkan efusi pleura.5
f) Efusi pleura idiopatik
Pada beberapa efusi pleura, walaupun telah dilakukan prosedur
diagnostik secara berulang-ulang (pemeriksaan radiologis, analisis
cairan, biopsi pleura), kadang-kadang masih belum bisa didapatkan
diagnostik yang pasti. Keadaan ini dapat digolongkan dalam efusi pleura
idiopatik.5

c. Hemoragik
Cairan pleura mengandung darah, dan Ht cairan pleura >50% Ht arah tepi
keadaan ini dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru,
tuberkulosis.5

2.5 Patofisiologi

Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura
berfungsi untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis yang
saling bergerak karena pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu terjadi
filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pleura parietalis dan
diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura viseralis dengan kecepatan yang
seimbang dengan kecepatan pembentukannya.1

Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya kecepatan


proses pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan cairan secara
patologik di dalam rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan dengan
terjadinya efusi pleura yaitu : 7

1. Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi


kapiler
2. Penurunan tekanan kavum pleura

11
3. Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga pleura

Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara


cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura
dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini
terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan jaringan intertisial
submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura.
Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.5
Proses pembentukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh
peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah,
sehingga terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah
sekitar pleura dapat menyebabkan hemotoraks.5
Proses terjadinya pneumotoraks karena pecahnya alveoli dekat pleura parietalis
sehingga udara akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan
oleh trauma dada atau alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastis lagi seperti
pada pasien emfisema paru.5
Efusi pleura dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan
primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis
peritoneum, hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva,
keganasan, atelektasis paru dan pneumotoraks. Efusi eksudat terjadi bila ada
proses peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah
pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan
terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa
yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai
pleuritis eksudativa tuberkulosa. Sebab lain seperti parapneumonia, parasit
(amuba, paragonimiosis, ekinokokkus), jamur, pneumonia atipik (virus,
mikoplasma, fever, legionella), keganasan paru, proses imunologik seperti
pleuritis lupus, pleuritis rematoid, sarkoidosis, radang sebab lain seperti
pankreatitis, asbestosis, pleuritis uremia dan akibat radiasi.5

2.6 Gejala Klinis

12
Biasanya manifestasi klinisnya adalah yang disebabkan oleh penyakit dasar.
Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis,
sementara efusi malignan dapat mengakibatkan dispnea dan batuk. Ukuran efusi
akan menentukan keparahan gejala. Efusi yang luas akan menyebabkan sesak
napas. Area yang mengandung cairan atau menunjukkan bunyi napas minimal
atau tidak sama sekali mengandung bunyi datar, pekak saat perkusi. Suara
egophoni akan terdengar diatas area efusi. Deviasi trakea menjauhi tempat yang
sakit dapat terjadi jika penumpukan cairan pleural yang signifikan. Bila terdapat
efusi pleura kecil sampai sedang, dispnea mungkin saja tidak ditemukan.5,7
Efek yang ditimbulkan oleh akumulasi cairan di rongga pleura bergantung pada
jumlah dan penyebabnya. Efusi dalam jumlah yang kecil sering tidak bergejala.
Bahkan efusi dengan jumlah yang besar namun proses akumulasinya berlangsung
perlahan hanya menimbulkan sedikit atau bahkan tidak menimbulkan gangguan
sama sekali. Jika efusi terjadi sebagai akibat penyakit inflamasi, maka gejala yang
muncul berupa gejala pleuritis pada saat awal proses dan gejala dapat menghilang
jika telah terjadi akumulasi cairan. Gejala yang biasanya muncul pada efusi pleura
yang jumlahnya cukup besar yakni : nafas terasa pendek hingga sesak nafas yang
nyata dan progresif, kemudian dapat timbul nyeri khas pleuritik pada area yang
terlibat, khususnya jika penyebabnya adalah keganasan. Nyeri dada meningkatkan
kemungkinan suatu efusi eksudat misalnya infeksi, mesotelioma atau infark
pulmoner. Batuk kering berulang juga sering muncul, khususnya jika cairan
terakumulasi dalam jumlah yang banyak secara tiba-tiba. Batuk yang lebih berat
dan atau disertai sputum atau darah dapat merupakan tanda dari penyakit dasarnya
seperti pneumonia atau lesi endobronkial. Riwayat penyakit pasien juga perlu
ditanyakan misalnya apakah pada pasien terdapat hepatitis kronis, sirosis hepatis,
pankreatitis, riwayat pembedahan tulang belakang, riwayat keganasan, dll.
Riwayat pekerjaan seperti paparan yang lama terhadap asbestos dimana hal ini
dapat meningkatkan resiko mesotelioma. Selain itu perlu juga ditanyakan obat-
obat yang selama ini dikonsumsi pasien.5,7
Hasil pemeriksaan fisik juga tergantung dari luas dan lokasi dari efusi. Temuan
pemeriksaan fisik tidak didapati sebelum efusi mencapai volume 300 mL.

13
Gangguan pergerakan toraks, fremitus melemah, suara beda pada perkusi toraks,
egofoni, serta suara nafas yang melemah hingga menghilang biasanya dapat
ditemukan. Friction rub pada pleura juga dapat ditemukan. Cairan efusi yang
masif (> 1000 mL) dapat mendorong mediastinum ke sisi kontralateral. Efusi
yang sedikit secara pemeriksaan fisik kadang sulit dibedakan dengan pneumonia
lobaris, tumor pleura, atau fibrosis pleura. Merubah posisi pasien dalam
pemeriksaan fisik dapat membantu penilaian yang lebih baik sebab efusi dapat
bergerak berpindah tempat sesuai dengan posisi pasien. Pemeriksaan fisik yang
sesuai dengan penyakit dasar juga dapat ditemukan misalnya, edema perifer,
distensi vena leher, S3 gallop pada gagal jantung kongestif. Edema juga dapat
muncul pada sindroma nefrotik serta penyakit perikardial. Ascites mungkin
menandakan suatu penyakit hati, sedangkan jika ditemukan limfadenopati atau
massa yang dapat diraba mungkin merupakan suatu keganasan.5,7

2.7 Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan fisik


yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi dan
analisa cairan pleura.5

a. Manifestasi klinis
1) Gejala utama
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika paru
terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa rasa penuh
dalam dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak, berupa
nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab
seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi
(kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak. Deviasi
trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan
pleural yang signifikan.7

2) Pemeriksaan fisik
a) Inspeksi :Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih
cembung

14
b) Palpasi : Penurunan fremitus vocal atau taktil
c) Perkusi : Pekak pada perkusi
d) Auskultasi :Penurunan bunyi napas
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi atelektasis
kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas bronkus. 8
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena
cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam
pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah
pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung
(garis Ellis Damoiseu).5

Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani
dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak
karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini
didapati vesikuler melemah dengan ronki. Pada permulaan dan akhir penyakit
terdengar krepitasi pleura.9

Gambar 3. Garis melengkung (garis Ellis Damoiseu)

b. Pemeriksaanpenunjang
1) Foto thoraks
Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang terdapat dalam
rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan
daerah lateral lebih tinggi dari pada bagian medial, tampak sudut kostrofrenikus
menumpu. Pada pemeriksaan foto dada posisi lateral dekubitus, cairan bebas akan
mengikuti posisi gravitasi.10
Cairan dalam pleura bisa juga tidak membentuk kurva, karena terperangkap
atau terlokalisasi. Keadaan ini sering terdapat pada daerah bawah paru-paru yang

15
berbatasan dengan permukaan atas diafragma. Cairan ini dinamakan juga sebagai
efusi subpulmonik. Gambarannya pada sinar tembus sering terlihat sebagai
diafragma yang terangkat. Jika terdapat bayangan dengan udara dalam lambung,
ini cenderung menunjukkan efusi subpulmonik. Begitu juga dengan bagian kanan
di mana efusi subpulmonik sering terlihat sebagai bayangan garis tipis (fisura)
yang berdekatan dengan diafragma kanan. Untuk jelasnya bisa dilihat dengan foto
dada lateral dekubitus, sehingga gambaran perubahan efusi tersebut menjadi
nyata.5
Cairan dalam pleura kadang kadang menumpuk mengelilingi lobus paru
(biasanya lobus bawah) dan terlihat dalam foto sebagai bayangan konsolidasi
parenkim lobus, bisa juga mengumpul di daerah paramediastinal dan terlihat
dalam foto sebagai fisura interlobaris, bisa jga terdapat secara paralel dengan sisi
jantung, sehingga terlihat sebagai kardiomegali.5,6
Cairan seperti empiema dapat juga terlokalisasi. Gambaran yang terlihat adalah
sebagai bayangan dengan densitas keras di atas diafragma, keadaan ini sulit
dibedakan dengan tumor paru.5,6
Hal lain yang dapat terlihat dari foto dada pada efusi pleura adalah
terdorongnya mediastinum pada sisi yang berlawanan dengan cairan. Disamping
itu gambaran foto dada dapat juga menerangkan asal mula terjadinya efusi pleura
yakni bila terdapat jantung yang membesar, adanya massa tumor, adanya densitas
parenkim yang lebih keras pada pneumonia atau abses paru.5,6

16
Gambar 4. Gambaran thoraks dengan efusi pleura

2) Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik maupun
terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan
pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan jarum abbocath
nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500
cc pada setiap aspirasi. Untuk diagnosis cairan pleura dilakukan pemeriksaan:
a) Warna cairan
Cairan pleura secara makroskopik diperiksa warna, turbiditas dan baunya.
Transudat biasanya jernih transparan, berwarna kuning jerami dan tidak
berbau. Cairan pleura yang menyerupai susu biasanya mengandung kilus
(kilotoraks). Cairan pleura yang berbau busuk dan mengandung nanah biasanya
disebabkan oleh infeksi bakteri anaerob. Cairan yang berwarna merah biasanya
mengandung darah menimbulkan dugaan adanya trauma, keganasan, atau
emboli paru. Cairan pleura yang kental dan mengandung darah biasanya
disebabkan karena keganasan.20

b) Biokimia
Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang
perbedaannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:11, 5

Tabel 1. Perbedaan biokimia efusi pleura5

JENIS PEMERIKSAAN TRANSUDAT EKSUDAT

Rivalta - +

Berat jenis <1,016 >1,016

Proteinn <3 gr/dL >3 gr/dL


Rasio protein pleura dengan protein
serum <0,5 >0,5

Kadar LDH (Lactic Dehydrogenase) <200 IU >200 IU


Rasio LDH pleura dengan LDH
serum <0,6 >0,6

17
3) Sitologi
Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel
patologis atau dominasi sel-sel tertentu.
a) Sel neutrofil: menunjukkan adanya infeksi akut
b) Sel limfosit: menunjukkan adanyainfeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau
limfoma maligna)
c) Sel mesotel: bila jumlahnya meningkat, ini menunjukkan adanya pada
infark paru. Biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit
d) Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
e) Sel giant: pada arthritis rheumatoid
f) Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik
g) Sel maligna: pada paru/metastase5, 10

4) Bakteriologi
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung
mikroorganisme berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering pneumokokus,
E.coli, klebsiela, pseudomonas, enterobacter.5
5) Biopsi Pleura
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor
pleura. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi
atau tumor pada dinding dada.5

2.8 Penatalaksanaan

Efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa intubasi
melalui sela iga. Pengobatan secara sistemik hendaknya segera diberikan, tetapi
ini tidak berarti bila tidak diiringi pengeluaran cairan yang adekuat. Terapi
penyakit dasarnya antibiotika dan terapi paliatif (efusi pleura haemorrhagic). Jika
jumlah cairannya sedikit, mungkin hanya perlu dilakukan pengobatan terhadap
penyebabnya. Jika jumlah cairannnya banyak, sehingga menyebabkan penekanan
maupun sesak nafas, maka perlu dilakukan tindakan drainase (pengeluaran cairan
yang terkumpul). Cairan bisa dialirkan melalui prosedur torakosentesis, dimana
sebuah jarum (atau selang) dimasukkan ke dalam rongga pleura. Torakosentesis
biasanya dilakukan untuk menegakkan diagnosis, tetapi pada prosedur ini juga
bisa dikeluarkan cairan sebanyak 1,5 liter. Jika jumlah cairan yang harus

18
dikeluarkan lebih banyak, maka dimasukkan sebuah selang melalui dinding dada.5,
11

Pada empiema diberikan antibiotik dan dilakukan pengeluaran nanah. Jika


nanahnya sangat kental atau telah terkumpul di dalam bagian fibrosa, maka
pengaliran nanah lebih sulit dilakukan dan sebagian dari tulang rusuk harus
diangkat sehingga bisa dipasang selang yang lebih besar. Kadang perlu dilakukan
pembedahan untuk memotong lapisan terluar dari pleura (dekortikasi). Pada
tuberkulosis atau koksidioidomikosis diberikan terapi antibiotik jangka panjang.
Pengumpulan cairan karena tumor pada pleura sulit untuk diobati karena cairan
cenderung untuk terbentuk kembali dengan cepat. Pengaliran cairan dan
pemberian obat antitumor kadang mencegah terjadinya pengumpulan cairan lebih
lanjut. Jika pengumpulan cairan terus berlanjut, bisa dilakukan penutupan rongga
pleura. Seluruh cairan dibuang melalui sebuah selang, lalu dimasukkan bahan
iritan (misalnya larutan atau serbuk doxicycline) ke dalam rongga pleura. Bahan
iritan ini akan menyatukan kedua lapisan pleura sehingga tidak lagi terdapat ruang
tempat pengumpulan cairan tambahan. Jika darah memasuki rongga pleura
biasanya dikeluarkan melalui sebuah selang. Melalui selang tersebut bisa juga
dimasukkan obat untuk membantu memecahkan bekuan darah (misalnya
streptokinase dan streptodornase). Jika perdarahan terus berlanjut atau jika darah
tidak dapat dikeluarkan melalui selang, maka perlu dilakukan tindakan
pembedahan.5,11

1.8.1 Torakosentesis

Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis, aspirasi


juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat dilakukan
sebagai berikut:5, 10

1) Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau diletakkan
diatas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan pada
penderita dalam posisi tidur terlentang.

19
2) Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di daerah
sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di bawah
batas suara sonor dan redup.
3) Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan
jarum berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya
disebabkan karena penusukan jarum terlampaui rendah sehingga mengenai
diahfragma atau terlalu dalam sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum
tidak mencapai rongga pleura oleh karena jaringan subkutis atau pleura
parietalis tebal.
4) Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap
aspirasi. Untuk mencegah terjadinya edema paru akibat pengembangan paru
secara mendadak. Selain itu pengambilan cairan dalam jumlah besar secara
mendadak menimbulkan reflex vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi yang
berat, dan hipotensi.
5) Pungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan posterior, pada sela iga ke-8.
Didapati cairan yang mungkin serosa (serothoraks), berdarah (hemothoraks),
pus (piothoraks) atau kilus (kilothoraks), nanah (empiema). Bila cairan serosa
mungkin berupa transudat (cairan putih jernih) atau eksudat (cairan
kekuningan).

Gambar 5. Metode torakosentesis


1.8.2 Pemasangan WSD

20
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks
dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat dan
aman. Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut:5, 10

1) Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9 linea


aksilaris media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea medioklavikuralis.
2) Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar
kurang lebih 2 cm sampai subkutis.
3) Dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.
4) Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai mendapatkan
pleura parietalis.
5) Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian trokar
ditarik. Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks.
6) Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat dengan
kasa dan plester.
7) Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang
dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang diletakkan
dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar udara dari luar tidak dapat
masuk ke dalam rongga pleura.
8) WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada selang,
kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang. Untuk
memastikan dilakukan foto toraks.
9) Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan paru
telah mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.

1.8.3 Pleurodesis

Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan


penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan adalah
sitostatika seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil, adramisin,
dan doksorubisin. Setelah cairan efusi dapat dikeluarkan sbanyak-banyaknya, obat
sitostatika (misal; tiotepa 45 mg) diberikan selang waktu 710 hari; pemberian
obat tidak perlu pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil, akan terjadi
pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura, sehingga mencegah
penimbunan kembali cairan dalam rongga tersebut.5, 10

21
2.9 Komplikasi

2.9.1 Infeksi.
Pengumpulan cairan dalam ruang pleura dapat mengakibatkan infeksi (empiema
primer), dan efusi pleura dapat menjadi terinfeksi setelah tindakan torasentesis
{empiema sekunader). Empiema primer dan sekunder harus didrainase dan
diterapi dengan antibiotika untuk mencegah reaksi fibrotik. Antibiotika awal
dipilih gambaran klinik. Pilihan antibiotika dapat diubah setelah hasil biakan
diketahui.2

2.9.2 Fibrosis

Fibrosis pada sebagian paru-paru dapat mengurangi ventilasi dengan membatasi


pengembangan paru. Pleura yang fibrotik juga dapat menjadi sumber infeksi
kronis, menyebabkan sedikit demam. Dekortikasireseksi pleura lewat
pembedahan-mungkin diperlukan untuk membasmi infeksi dan mengembalikan
fungsi paru-paru. Dekortikasi paling baik dilakukan dalam 6 minggu setelah
diagnosis empiema ditegakkan, karena selama jangka waktu ini lapisan pleura
masih belum terorganisasi dengan baik (fibrotik) sehingga pengangkatannya lebih
mudah. 1,3,5

2.10 Prognosis

Prognosis pada efusi pleura bervariasi sesuai dengan etiologi yang mendasari
kondisi itu. Namun pasien yang memperoleh diagnosis dan pengobantan lebih
dini akan lebih jauh terhindar dari komplikasi daripada pasien yang tidak
memedapatkan pengobatan dini.

Efusi ganas menyampaikan prognosis yang sangat buruk, dengan kelangsungan


hidup rata-rata 4 bulan dan berarti kelangsungan hidup kurang dari 1 tahun. Efusi
dari kanker yang lebih responsif terhadap kemoterapi, seperti limfoma atau kanker
payudara, lebih mungkin untuk dihubungkan dengan berkepanjangan

22
kelangsungan hidup, dibandingkan dengan mereka dari kanker paru-paru atau
mesothelioma.

Efusi parapneumonic, ketika diakui dan diobati segera, biasanya dapat di


sembuhkan tanpa gejala sisa yang signifikan. Namun, efusi parapneumonik yang
tidak terobati atau tidak tepat dalam pengobatannya dapat menyebabkan fibrosis
konstriktif. 4,5

BAB III

23
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas
Nama : Tn. I
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : Petani
Pendidikan terakhir : Tidak sekolah
Alamat : Poso
Agama : Islam
Tanggal pemeriksaan : 10 Maret 2016
Ruangan : Bogenvile

1.2 Anamnesis
Keluhan utama :
Sesak napas

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien masuk ke IGD Undata Palu pada tanggal 5 Maret 2016 dengan
keluhan sesak napas 3 minggu sebelum masuk ke rumah sakit. Pasien
merasa sulit menarik napas di dada sebelah kanan dan terasa nyeri. Pasien
juga tidak kuat untuk berjalan, jika berjalan sedikit pasien langsung sesak.
Pasien juga sulit untuk tidur, ia hanya bisa tidur dalam posisi duduk dan
sering terbangun karena sesak, pasien lebih nyaman baring ke kanan di
banding kiri. Pasien juga mengeluh batuk-batuk berlendir dan susah untuk
dikeluarkan.
Sebelum sesak, pasien pernah batuk lama 6 bulan saat di rumah. Batuk
berlendir berwarna kuning tidak disertai darah. Pasien juga merasa nyeri dada
jika batuk, tidak ada jantung berdebar-debar. Pasien tidak demam, nafsu
makan berkurang, sering berkeringat pada malam hari. Pasien merasa berat
badannya menurun, namun ia belum pernah menimbang berat badannya.
Pasien tidak pernah memeriksa ke dokter dan belum pernah mengkonsumsi
obat OAT. Buang air kecil dan buang air besar biasa.

Riwayat penyakit dahulu :


Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes melitus dan hepatitis.
Pasien adalah perokok aktif dan baru berhenti saat ia batuk-batuk lama.

24
Riwayat penyakit keluarga :
Saudara pasien mengalami batuk-batuk lama dan telah meninggal dunia.

1.3 Pemeriksaan fisik


Keadaan umum
Kondisi : Sakit sedang
Kesadaran : E4M5V6 (compos mentis)
Berat badan : 58 kg
Tinggi badan : 165 cm
IMT :21,32 (normal)

Vital sign
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 92kali/menit
Suhu : 36,5C
Pernapasan : 28x kali/menit

Kepala
Wajah : Simetris
Deformitas : Tidak ada
Bentuk : Normocephale
Mata : Konjuctiva : Anemis -/-
Sclera : Ikterik -/-
Pupil : Bulat, isokor +/+, refleks cahaya +/+
Lensa : Jernih
Mulut : Bibir : Kering (-)
Faring : Hiperemis (-)
Leher
Kelenjar GB : Hipertrofi (-)
Tiroid : Hipertrofi (-)
JVP : R5 + 4 cm H2O
Massa lain : Tidak ada

Thorax
Pulmo
Inspeksi : Ekspansi dada asimetris di sebelah kanan
Palpasi : Nyeri tekan (-), vocal fremitus paru sebelah kanan
menurun dibanding paru sebelah kiri
Perkusi : Sonor pada lapang paru kiri dan redup pada lapang paru
kanan
Auskultasi : Vesikuler +/+, ronkhi +/+ bagian apex, wheezing -/-
Cor
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V
Perkusi :

25
Batas kanan atas :ICS II linea parasternalis dextra
Batas kanan bawah :ICS IV linea parasternalis dextra
Batas kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas kiri bawah : ICS V linea axillaris anterior
Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Kesan cembung, spider nevi (-)
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
Perkusi : Timpani (+), acites (+), shifting dullness (+)

Ekstremitas
Atas : Akral hangat, edema (+/+)
Bawah : Akral hangat, edema (+/+)

1.4 Pemeriksaan penunjang


1.4.1 Laboratorium
Darah rutin

Test Result Normal range


WBC 13,90 3,8 10,6 (10^3/ul)
RBC 4,55 4,4 5,9 (10^6/ul)
HGB 12,9 13,2 17,3 g/dl
HCT 39,9 40 52 %
PLT 140 150 440 (10^3/ul)

Elektrolit darah

Test Result Normal range


Natrium 139 135 145 mmol/L
Kalium 4,7 3,5 5,5 mmol/L
Chlorida 115 96 106 mmol/L

Kimia darah

Test Result Normal range


GDS 197 74 100 mg/dl
Creatinin 1,85 0,70 1,30 mg/dl
Urea 65,1 18,0 55,0 mg/dl

26
1.4.2 EKG

Gambar 6. EKG

Interpretasi :
Irama : sinus
Heart rate : 96 kali/menit
Regularitas : reguler
Aksis : normal

27
1.4.3 Foto thorax PA

Gambar 7. Foto thorax PA pre WSD

Foto thorax PA :
- Tampak bercak berawan pada kedua paru disertai cavitas
- Tampak perselubungan pada kedua paru terutama paru kanan
- Cor membesar, apex tertanam dan kalsifikasi aorta
- Kedua sinus tumpul dan diafragma sulit di evaluasi
- Tulang tulang intak

Kesan :

- TB paru aktif lesi luas


- Efusi pleura dextra
- Cardiomegaly
- Athetosclerosis aorta

28
Gambar 8. Foto thorax PA post WSD

Foto thorax PA post WSD :


- Tampak hiperlusen avaskuler pada paru kanan
- Cor membesar, apex tertanam dan kalsifikasi aorta
- Kedua sinus dan diafragma baik
- Tulang tulang intak

Kesan :

- Pneumothorax
- Cardiomegaly
- Atherosclerosis aorta

29
Gambar 9. Cairan pleura WSD
Keterangan :
Cairan pleura berwarna merah kecoklatan 1.200 cc

1.5 Resume

Pasien laki-laki masuk RS an.Tn I umur 50 tahun datang dengan keluhan


dyspneu 3 minggu SMRS. Sebelumnya pasien batuk lama 6 bulan. Nasfu
makan menurun, pasien adalah perokok aktif, TD 120/90, Nadi 92, suhu 36,5,
respirasi 28. Pada pemeriksaan fisik di temukan peningkatan JVP (+), ekspansi
paru asimetris pada hemithorax dextra, vocal fremitus munurun / melemah di
hemithorax dextra, bunyi pekak pada hemithorax dextra, rhonki +/+ bagian
apex pulmo dextra, bunyi napas menurun pada bagian basal pulmo dextra,

30
acites (+), shifting dullness (+), edema pada ekstremitas atas dan bawah (+).
Hasil lab darah rutin leukositosis, HCT menurun, platelet menurun, GDS
meningkat, urea & kreatinin sedikit meningkat, foto thorax PA kesan TB paru
aktif lesi luas, efusi pleura dextra, cardiomegaly, dan atherosclerosis aorta.

1.6 Diagnosa kerja :Efusi pleura dextra ec. Pleuritis TB


Diagnosa banding :
- Efusi pleura ec. Tumor paru
- Gagal jantung kongestif

1.7 Penatalaksanaan
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/IV
Inj. Furosemide 1 amp/8jam/IV
Ambroxol 3x1
Rencana terapi OAT Fase intensif : 2RHZE
Fase lanjutan : 4R3H3

1.8 Anjuran pemeriksaan


BTA dan kultur dari sputum
BTA dan kultur dari cairan pleura
Analisis cairan pleura
Biopsi jaringan pleura

1.9 Prognosis
Dubia ad malam

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini dari anamnesis didapatkan pasien laki-lakidatang ke UGD


dengan keluhan sesak napas 3 minggu sebelum masuk ke rumah sakit. Pasien
sulit menarik napas di dada sebelah kanan dan nyeri dada (+). Pasien juga tidak
kuat untuk berjalan, jika berjalan sedikit pasien langsung sesak. Pasien juga sulit

31
untuk tidur, ia hanya bisa tidur dalam posisi duduk dan sering terbangun karena
sesak.Pasien juga mengeluh batuk-batuk berlendir dan susah untuk dikeluarkan.
Sebelum sesak, pasien pernah batuk lama 6 bulan saat di rumah. Batuk
berlendir berwarna kuning tidak disertai darah. Pasien juga merasa nyeri dada jika
batuk, tidak ada jantung berdebar-debar. Pasien tidak demam, nafsu makan
berkurang, sering berkeringat pada malam hari. Pasien merasa berat badannya
menurun, namun ia belum pernah menimbang berat badannya. Pasien tidak
pernah memeriksa ke dokter dan belum pernah mengkonsumsi obat OAT. BAK
dan BAB biasa.Tidak ada riwayat Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi,
diabetes melitus dan hepatitis. Pasien adalah perokok aktif dan baru berhenti saat
ia batuk-batuk lama. Saudara kandung pasien ada yang mengalami batuk-batuk
lama dan telah meninggal dunia.
Pada pengukuran tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah 120/90, nadi 92
kali/menit, suhu 36,5C, pernapasan 28 kali/menit. Pemeriksaan fisik ditemukan
peningkatan JVP (+), ekspansi paru asimetris pada hemithorax dextra, vocal
fremitus menurun/melemah di hemithorax dextra, bunyi pekak pada hemithorax
dextra, bunyi napas ronkhi pada bagian apex pulmo dextra dan sinistra dan bunyi
napas menurun pada bagian basal pulmo dextra. Juga ditemukan acites (+),
shifting dullness (+), edemapada ektremitas atas dan ekstremitas bawah (+).
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil darah rutin leukositosis,
hematokrit menurun, platelet menurun. Hasil pemeriksaan elektrolit dalam batas
normal. Hasil pemeriksaan kimia darah gula darah sewaktu meningkat, urea dan
kreatinin sedikit meningkat. Hasil pemeriksaan EKG dalam batas normal. Hasil
pemeriksaan foto thorax kesan TB paru aktif lesi luas, efusi pleura dextra,
cardiomegaly dan atherosclerosis aorta.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis pasien ini didiagnosis efusi


pleura et causa pleuritis TB karena berdasarkan teori pada pleuritis TB terdapat
gejala respiratorik seperti gejala batuk yang paling sering dikeluhkan. Mula-mula
batuk bersifat non-produktif kemudian berdahak bercampur darah. Batuk darah
terjadi karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada
tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding

32
bronkus. Nyeri dada dapat menjalar ke daerah permukaan karena inervasi saraf
interkostalis dan segmen torakalis atau dapat menyebar ke lengan. Nyerinya
terutama pada waktu bernapas dalam, sehingga pernapasan penderita menjadi
dangkal dan cepat serta pergerakan pernapasan pada hemithorax yang sakit
menjadi tertinggal. Sesak napas terjadi pada waktu permulaan pleuritis disebabkan
nyeri dadanya dan apabila jumlah cairan efusinya meningkat, terutama jika
cairannya penuh. Gejala sistemik juga sering didapatkan seperti keringat malam,
demam, penurunan berat badan dan nafsu makan menurun.

Efusi pleura hampir selalu terjadi di sisi yang sama dengan kelainan parenkim
parunya.12 Adanya efusi pleura memberikan kelainan pada hemithorax yang sakit
dengan pergerakan pernapasan yang tertinggal, cembung, ruang antar iga yang
melebar dan mendatar, getaran napas pada perabaan menurun, trakea yang
terdorong, suara ketuk yang redup dan menghilangnya suara pernapasan pada
pemeriksaan auskultasi. Dari gambaran radiologis bisa dijumpai kelainan
parenkim paru. Bila kelainan paru terjadi di lobus bawah maka efusi pleura terkait
dengan proses infeksi TB primer. Dan bila kelainan paru di lobus atas, maka
kemungkinan besar merupakan TB pasca primer dengan reaktivasi fokus lama.
Gambaran radiologi posterior-anterior (PA) terdapat perselubungan pada
hemithorax yang terkena efusi, dari foto thorax lateral dekubitus dapat dilihat
gambaran permukaan datar cairan terutama untuk efusi pleura dengan cairan yang
minimal.5

Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan foto thorax PA, maka
membuktikan adanya efusi pleura dextra direncanakan untuk dilakukan
pemasangan WSD untuk mengurangi gejala sesak napas. Menurut Light, pasien
dengan efusi pleura yang telah dilakukan analisa cairan pleura dan didapatkan
hasil cairan eksudat, maka dibutuhkan pemeriksaan lanjutan untuk menentukan
etiologinya.13 Pada daerah endemis tuberkulosis seperti Indonesia, cairan eksudat
dari hasil aspirasi cairan pleura lazim diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis dan
keganasan. Dari hasil aspirasi cairan pleura, didapatkan cairan pleura berwarna
merah kecoklatan 1.200 cc, dimana bila suatu keganasan akan memberikan

33
cairan pleura khas berwarna merah (hemoragik) dan umumnya cepat terbentuk
kembali setelah diaspirasi, oleh karena itu jumlah cairan pleura pada keganasan
biasanya banyak sehingga mengakibatkan pendorongan mediastinum ke arah sisi
yang sehat. Pasien ini belum memberikan tanda-tanda penarikan trakea ke arah
kontralateral. Namun, belum dapat disingkirkan penyebab tuberkulosis.

Pleuritis TB tidak selalu mudah didiagnosis, karena tidak selalu ada gambaran
khas seperti adanya eksudat yang kaya limfosit pada cairan efusi, granuloma
nekrotik kaseosa pada biopsi pleura, hasil positif dari pewarnaan Ziehl Neelsen
atau kultur Lowenstein dari cairan efusi atau jaringan sampel dan sensitivitas kulit
terhadap PPD.14 Diagnosis dari pleuritis TB secara umum ditegakkan dengan
analisa cairan pleura dan biopsi pleura. Pada tahun-tahun terakhir ini, beberapa
penelitian meneliti adanya penanda biokimia seperti ADA, ADA isoenzim,
lisozim dan limfokin lain untuk meningkatkan efisiensi diagnosis.14

Hasil torakosintesis efusi pleura dari pleuritis TB primer mempunyai


karakteristik cairan eksudat dengan total kandungan protein pada cairan pleura
>3g/dL, rasio LDH cairan pleura dibanding serum >0,5 dan LDH total cairan
pleura >200 IU. Cairan pleura mengandung dominan limfosit (sering lebih dari
75% dari semua materi seluler), sering diikuti dengan kadar glukosa yang rendah.
Sayangnya, dari karakteristik di atas tidak ada yang spesifik untuk tuberkulosis,
keadaan lain juga menunjukkan karakteristik yang hampir mirip seperti efusi
parapneumonia, keganasan, dan penyakit rheumatoid yang menyerang
pleura.15Hasil pemeriksaan BTA cairan pleura jarang menunjukkan hasil positif
(0-1%). Isolasi M. Tuberculosis dari kultur cairan pleura hanya didapatkan pada
20-40% pasien pleuritis TB.16 Hasil pemeriksaan BTA dan kultur yang negatif dari
cairan pleura tidak mengeksklusi kemungkinan pleuritis TB.

Hasil pemeriksaan BTA pada sputum jarang positif pada kasus primer dan
kultur menunjukkan hasil positif hanya pada 25-33% pasien. Sebaliknya, pada
kasus reaktivasi pemeriksaan BTA sputum positif pada 50% pasien dan kultur
positif pada 60% pasien.17 Hasil tes tuberkulin yang positif mendukung

34
penegakkan diagnosis pleuritis TB di daerah dengan prevalensi TB yang rendah
(atau tidak divaksinasi), akan tetapi hasil tes tuberkulin negatif dapat terjadi pada
sepertiga pasien.18 Biopsi pleura parietal telah menjadi tes diagnostik yang paling
sensitif untuk pleuritis TB. Pemeriksaan histopatologis jaringan pleura
menunjukkan peradangan granulomatosa, nekrosis kaseosa dan BTA positif.19

Beberapa penelitian meneliti aktivitas ADA (adenosis deaminase) untuk


mendiagnosis pleuritis TB. Disebutkan bahwa kadar ADA >70 IU/L dalam
cairanpleura sangat menyokong ke arah TB, sedangkan kadar <40 IU/L
mengeksklusi diagnosis. Perjalanan alamiah dari efusi pelura TB yang tidak
diterapi akan terjadi resolusi spontan dalam 4-16 minggu dengan adanya
kemungkinan perkembangan TB paru aktif atau TB ekstra paru pada 43-65%
pasien.19 Data ini menyimpulkan pentingnya diagnosis dan terapi yang tepat untuk
kasus ini.

Dari hasil pemeriksaan di atas disimpulkan bahwa diagnosis pasien ini


mengalami efusi pleura et causa pleuritis exudative tuberculosis. Terapi pleuritis
TB sama dengan terapi TB. Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase yaitu fase intensif
dan fase lanjutan. Fase intensif ditujukan untuk membunuh sebagian besar bakteri
secara cepat dan mencegah resistensi obat. Sedangkan fase lanjutan bertujuan
untuk membunuh bakteri yang tidak aktif. Fase lanjutan menggunakan lebih
sedikit obat karena sebagian besar bakteri telah terbunuh sehingga resiko
pembentukan bakteri yang resisten terhadap pengobatan menjadi kecil.Pengobatan
yang diberikan adalah kategori I fase intensif dengan 4 macam obat yaitu INH,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol selama 2 bulan dan diikuti dengan fase
lanjutan selama 4 bulan dengan 2 macam obat yaitu INH dan Rifampisin.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine W. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit Volume 2 Edisi 6. Jakarta : Kedokteran EGC. 2005. Hal. 773-
779.
2. World Health Organization. Epidemiologi and Etiology of Pleural Effusion.
2008.
3. Rubins, J.Pleural Effusion. 2014. Available from:

36
http://emedicine.medscape.com/article/299959-overview diakses 2 Februari
2016.
4. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Cetakan Ke-1
Edisi Ke-2. Jakarta. 2006.
5. Sudoyo, A. W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta :
InternaPublishing. 2010. Hal 2329 2336.
6. Alsagaff, H dan Mukty, A. Dasar Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :
Airlangga University Press. 2010. Hal 143 153.
7. Jeremy, et al. Efusi Pleura At a Glance Medicine Edisi Kedua. Jakarta : EMS.
2008.
8. Firdaus, Denny. Efusi Pleura di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek. Bandar
Lampung. 2012.
9. Anonim. Efusi Pleura. 2007. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/299959-overview diakses 5 Februari
2016.
10. Ewingsa.Efusi Pleura. 2009.Available from : Diakses dari
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/efusipleura.pdf pada tanggal
5Februari 2016.
11. Fahri, M dan Prasenohadi. Peranan Bedah Pada Penatalaksanaan
Tuberkuloma Paru dalam Jurnal Respirologi Indonesia Volume 30 Nomor 3.
Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2010. Hal 166-171.
12. Rahajoe N, dkk. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Jakarta : UKK
Pulmonologi PP IDAI. 2005. Hal 51-52.
13. Light, RW. Clinical Practice. Pleural Effusions. N Eng Med. 2002. 346: page
1971-1977.
14. David M,epestein E.C.C.P, Lewis R, Kline, et all. Tuberculosis pleural
effusions. Chest 1987; 91: page 106-109.
Available at: http://www.chestjournal.org/cgi/reprint/91/1/106.pdf
15. Kim, HJ, Lee H J, Kwon S, et al. The prevalence of Pulmonary
parenchymaltuberculosis in patiens with tuberculosis pleuritis. Chest 2006;
129: page 1253-1258.

37
16. Morehead RS. Tuberculosis of the pleura. Southern medical jurnal 1998; 91:
page 630-634.
17. Khatami, K. Pleural tuberculosis. Shiraz E-Medical Journal 2002; Vol 3,
No.3. Available at: http://pearl.sums.ac.ir/semj/vol3/jul2002/PleuralTB.htm
18. Ferrer J. Pleural Tuberculosis. European Journal Respiratory 1997; 10: page
942-947.Available at:
http://www.erj.ersjournals.com/cgi/reprint/10/4/942.pdf
19. Gopi A, Madhavan SM, Sharma Sk, et al. Diagnosis and Treatment of
Tuberculosis Pleural effusion in 2006. Chest 2007; 131: page 880-889.
Available at :
http://www.mdconsult.com/das/article/body/791574825/jorg=journal&source
=MI&sp=18253710&sid=629243738/N/576778/1.html
20. Djojodibroto, D. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC. 2009.
Hal. 172 181.

38

Anda mungkin juga menyukai