Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOGNOSI II DAN FITOTERAPI

Oleh

DORA ROSALINA S.
EMNOVERICI UMAR
FAKHRIYA AULIA
LIDYA ANNISA
RAESA TARTILLA

DOSEN:
Dr.EMRIZAL,M.Si.,Apt

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan penulisan laporan akhir farmakognosi dan fitoterapi.

Laporan ini disusun sebagai upaya memenuhi kebutuhan materi belajar-mengajar


untuk mata kuliah Farmakognosi dan Fitoterapi.

Dalam penulisan makalah ini juga tidak lepas dari dukungan berbagai pihak sehingga
penulisan makalah ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan kepada
dosen mata kuliah Toksikologi yang telah membimbing penulis. Tidak lupa kepada teman-
teman yang telah memberi dukungan dan semangat kepada penulis.

Penulis menyadari walaupun sudah berusaha sekuat kemampuan yang maksimal,


mencurahkan segala pikiran dan kemampuan yang dimiliki, makalah ini masih banyak
kekurangan dan kelemahannya, baik dari segi bahasa, pengolahan, maupun dalam
penyusunan.Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik yang sifatnya membangun demi
tercapai suatu kesempurnaan dalam memenuhi kebutuhan dalam bidang mata kuliah
Farmakognosi dan Fitoterapi.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua.

Pekanbaru , Januari 2017

Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang................................................................................ 1
1.2. Tujuan Praktikum............................................................................ 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian obat .............................................................................. 2
2.2. Obat tradisional............................................................................... 2
2.2.1. Pengertian Obat Tradisional.............................................. 2
2.2.2. Cara Produksi Obat Tradisional yang baik ....................... 3
2.3. Jamu ............................................................................................... 6
2.5. Ekstraksi Cair-cair .......................................................................... 12
2.6. Kromatografi Lapis Tipis ............................................................... 12
2.6.1. Keuntungan Kromatografi Lapis Tipis ............................. 13
2.6.2. Komponen-komponen KLT .............................................. 14
2.6.3. Aplikasi (penotolan sampel) ............................................. 15
2.6.4. Perhitungan Rf .................................................................. 15
BAB III. METODOLOGI PERCOBAAN
3.1. Alat dan Bahan................................................................................. 17
3.1.1. Alat.................................................................................... 17
3.1.2. Bahan ................................................................................ 17
3.2. Prosedur Kerja.................................................................................. 17
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data dan Perhitungan........................................................................ 20
4.2 Hasil Pengataman ............................................................................. 21
BAB V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan ...................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 31

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jamu diartikan sebagai obat yang dibuat dari akar-akaran, daun-daunan, dan
sebagainya. Jamu merupakan obat tradisional Indonesia. Obat tradisional adalah bahan atau
ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian
atau galenik, atau campuran bahan-bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Obat tradisional merupakan produk yang dibuat dari bahan alam yang jenis dan sifat
kandungannya sangat beragam sehingga untuk menjamiun mutu obat tradisional diperlukan
cara pembuatan yang baik dengan lebih memperhatikan proses produksi dan penanganan
bahan baku.
Bahan baku adalah simplisia, sediaan galenik, bahan tambahan atas bahan lainnya,
baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat, yang berubah maupun tidak berubah, yang
digunakan dalam pengolahan obat tradisional.
Dari pengertian diatas telah jelas bahwa sediaan obat tradisional yang diproduksi
harus memenuhi mutu yang baik guna memenuhi persyaratan keamanan dan khasiat, namun
tidak diperbolehkan mengandung senyawa kimia lain untuk menekan khasiatnya. Oleh
karena itu produk-produk obat tradisional yang beredar harus bebas dari senyawa kimia
dalam sediaannya dan karena itu dilakukan beberapa uji terhadap simplisia yang dibuat dan
produk jamu yang beredar di pasaran.

1.2. Tujuan Percobaan


Mahasiswa mampu dan memahami cara pengujian berdasarkan parameter mutu
standart terhadap simplisia dan produk jamu .

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Simplisia
Simplisia adalah bahan alam yang di gunakan sebagai bahan obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah di
keringkan. (FI III, 1979)
Simplisia terbagi atas 3, yaitu :
1. Simplisia Nabati
Simplisia yang dapat berupa tanaman utuh, bagian tanaman, eksudat tanaman, atau
gabungan ketiganya. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman
atau dengan cara tertentu sengaja dikeluarkan dari selnya, berupa zat-zat atau bahan-bahan
nabati lainnya dengan cara tertentu dipisahkan, diisolasi dari tanamannya.
2. Simplisia Hewani
Simplisia berupa hewan utuh atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan
belum berupa bahan kimia mumi (minyak ikan / Oleum iecoris asselli, dan madu / Mel
depuratum).
3. Simplisia Mineral
Simplisia berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah atau telah diolah
dengan cara sederhana dan belum berupa bahan kimia murni (serbuk seng dan serbuk
tembaga) (Gunawan, 2004).

Dalam hal simplisia sebagai bahan baku (awal) dan produk siap dikonsumsi langsung,
dapat dipertimbangkan tiga konsep untuk menyusun parameter standar mutu simplisia yaitu
sebagai berikut (Dirjen POM, 1989):
1. Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya mempunyai tiga parameter mutu
umum suatu bahan (material), yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian (bebas dari
kontaminasi kimia dan biologis), serta aturan penstabilan (wadah, penyimpanan dan
transportasi).
2. Bahwa simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi manusia sebagai obat tetap
diupayakan memiliki tiga paradigma seperti produk kefarmasian lainnya, yaitu Quality-
Safety-Efficacy (mutu-aman-manfaat).
3. Bahwa simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang bertanggung jawab
terhadap respons biologis untuk mempunyai spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi
(jenis dan kadar) senyawa kandungan.
2.1.1 Rimpang kencur
Bahan alamiah kering berupa rimpang (rhizoma) dari tanaman kencur (Kaempferia
galanga L.) yang gunakan untuk obat dan belum mengalami pengolahan apapun. Tanaman
ini sudah berkembang di Pulau Jawa dan di luar Jawa seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara
dan Kalimantan Selatan. Sampai saat ini karakteristik utama yang dapat dijadikan sebagai
pembeda kencur adalah daun dan rimpang. Berdasarkan ukuran daun dan rimpangnya,
dikenal 2 tipe kencur, yaitu kencur berdaun lebar dengan ukuran rimpang besar dan kencur
berdaun sempit dengan ukuran rimpang lebih kecil.
Rimpang mengandung minyak atsiri yang tersusun -pinene (1,28%), kampen (2,47%),
benzene (1,33%), borneol (2,87%), pentadecane (6,41%), eucaliptol (9,59%), karvon
(11,13%), metilsinamat (23,23%), dan etil-p-metoksisinamat (31,77%) (Tewtrakul et al.,
2005). Selain itu, terdapat pula golongan senyawa flavonoid dalam rimpang ini (Gunawan,
1989; Duke, 1985; Pandji, 1993).
Ekstrak rimpang kencur (Kaempferia galanga) berpotensi aktif terhadap infeksi bakteri
(Tewtrakul et al., 1983). Ekstrak aseton memiliki efek inhibisi pada monoamina oksidase
(Noro et al., 1983). Selain itu, ekstrak etanol 95% tanaman ini memiliki aktivitas antibakteri
terhadap Staphylococcus aureus dan ekstrak air panas terhadap Escherichia coli
(Songklanakarin et al., 2005). Rimpang kencur ditemukan memiliki aktivitas antikanker,
antihipertensi dan aktivitas larvacidal dan untuk berbagai penyakit kulit, rematik dan diabetes
mellitus (Tara et al., 1991).
Kencur (Kaempferia galanga L.) banyak digunakan sebagai bahan baku obat
tradisional (jamu), fitofarmaka, industri kosmetika, penyedap makanan dan minuman,
rempah, serta bahan campuran saus rokok pada industri rokok kretek. Secara empirik kencur
digunakan sebagai penambah nafsu makan, infeksi bakteri, obat batuk, disentri, tonikum,
ekspektoran, masuk angin, sakit perut.
Minyak atsiri didalam rimpang kencur mengandung etil sinnamat dan metil p-metoksi
sinamat yang banyak digunakan didalam industri kosmetika dan dimanfaatkan sebagai obat
asma dan anti jamur. Banyaknya manfaat kencur memungkinkan pengembangan
pembudidayaannya dilakukan secara intensif yang disesuaikan dengan produk akhir yang
diinginkan.

Produksi, mutu dan kandungan bahan aktif didalam rimpang kencur ditentukan oleh
varietas yang digunakan, cara budidaya dan lingkungan tempat tumbuhnya. Selain itu, karena
kualitas mutu simplisia bahan baku industri ditentukan oleh proses budidaya dan
pascapanennya, maka perlu disosialisasikan GAP (Good Agricultural Practices) dan GMP
(Good Manufacture Practices), melalui penerapan standar prosedur operasional (SPO)
budidaya tanaman.
Etil p-metoksi sinamat (EPMS) adalah salah satu senyawa hasil isolasi rimpang kencur
( Kaempferia galanga L.) yang merupakan bahan dasar senyawa tabir surya yaitu pelindung
kulit dari sengatan sinar matahari. EPMS termasuk dalam golongan senyawa ester yang
mengandung cincin benzena dan gugus metoksi yang bersifat nonpolar dan juga gugus
karbonil yang mengikat etil yang bersifat sedikit polar sehingga dalam ekstraksinya dapat
menggunakan pelarut-pelarut yang mempunyai variasi kepolaran yaitu etanol, etil asetat,
metanol, air, dan heksana. Dalam ekstraksi suatu senyawa yang harus diperhatikan adalah
kepolaran antara pelarut dengan senyawa yang diekstrak, keduanya harus memiliki kepolaran
yang sama ataumendekati (Firdausi, 2009).
Kelarutan suatu zat padat dan zat cair pada suatu pelarut akan meningkat seiring dengan
kenaikan suhu bila proses pelarutannya adalah endoterm, sedangkan untuk proses pelarutan
yang bersifat eksoterm pemanasan justru menurunkan harga kelarutan zat. Fenomena yang
kedua ini jarang dijumpai di alam yang umum adalah proses pelarutan yang bersifat endoterm
yaitu memerlukan kalor. Beberapa zat dalam larutan akan rusak atau terurai dam menguap
dengan pemanasan sehingga suhu ekstraksi harus diperhatikan agar senyawa yang diharapkan
tidak rusak. Oleh karena itu ekstraksi etil p-metoksi sinamat dari kencur tidak boleh
menggunakan suhu yang lebih dari titik lelehnya yaitu 48 49oC. (Bachtiar,2005).
Salah satu reaksi yang mudah dilakukan terhadap etil-p-metoksi sinamat
adalahmenghidrolisisnya menghasilkan asam p-metoksi sinamat. NaOH yang ditambahkan
pada hidrolisis etil p-metoksi sinamat, akan terurai menjadi Na+ dan OH-. Ion OH- ini
akanmenyerang gugus C karbonil yang bermuatan positif yang menyebabkan kelebihan
elektron. Hal ini akan menyebabkan pemutusan ikatan rangkap antara atom O dan atom C
sehingga atom O akan bermuatan negatif. Namun, atom O akan membentuk ikatan rangkap
lagi dengan atom C, sehingga atom C akan menstabilkan diri dengan melepaskan -OC2H5.
Hal ini akan menyebabkan terbentuknya asam p-metoksisinamat.

2.2. Obat Tradisional


Obat merupakan bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi untuk manusia (Anonim, 2009).
Undang-undang No. 23 Tahun 1992 mendefinisikan obat tradisional adalah bahan
atau ramuan berupa bahan tanaman, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik)
atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk
pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional baik berupa jamu maupun tanaman
obat keluarga masih banyak digunakan oleh masyarakat, terutama dari kalangan menengah ke
bawah. Bahkan dari masa ke masa obat tradisional mengalami perkembangan semakin
meningkat, terlebih dengan munculnya isu kembali ke alam (back to nature) (Sinaga, 2009).

Obat tradisional awalnya digunakan berdasarkan warisan turun temurun dari nenek
moyang secara konvensional. Pemakaiannya pun berdasarkan pengalaman dan kepercayaan
secara empiris di kalangan masyarakat. Dalam perkembangannya obat tradisional telah mulai
diteliti secara ilmiah guna membuktikan khasiatnya melalui uji praklinik dan uji klinik.
Namun kedokteran modern sekarang ini masih terasa kuat peranannya dalam menempatkan
obat tradisional sebagai pendamping obat modern.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI: 4-6), menyebutkan obat tradisional
dapat dikelompokkan enjadi 3 jenis, yaitu:
a Jamu (Empirical Based Herbal Medicine) adalah obat tradisional yang berisi seluruh bahan
tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut. Jamu disajikan dalam bentuk serbuk
seduhan, pil atau cairan, mengandung dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya antara 5-
10 macam, bahkan bisa lebih. Jamu harus memenuhi persyaratan keamanan dan standar
mutu, tetapi tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai uji klinis, cukup dengan bukti
empiris. Kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu sediaan jamu adalah: aman, klaim khasiat
dibuktikan berdasarkan data empiris dan memenuhi persyaratan mutu.

b. Obat herbal terstandar (Standarized Based Herbal Medicine) merupakan obat tradisional
yang disajikan dari hasil ekstraksi atau penyarian bahan alam, baik tanaman obat, binatang,
maupun mineral. Proses pembuatan obat herbal terstandar membutuhkan peralatan yang tidak
sederhana dan lebih mahal dari jamu. Pembuktian ilmiah merupakan penunjang obat herbal
berstandar berupa penelitian praklinis yang meliputi standardisasi kandungan senyawa
berkhasiat dalam bahan penyusun, standardisasi pembuatan ekstrak yang higienis serta uji
toksisitas maupun kronis.
c. Fitofarmaka (Clinical Based Herbal Medicine) merupakan obat tradisional yang dapat
disejajarkan dengan obat modern. Proses pembuatan fitofarmaka telah terstandardisasi yang
didukung oleh bukti ilmiah sampai uji klinis pada manusia. Pembuatannya diperlukan
peralatan berteknologi modern, tenaga ahli, dan biaya yang tidak sedikit.

Menurut Suharmiati dan Handayani (2006: 2-3) dikutip oleh Sinaga (2009), obat
tradisional industri diproduksi dalam bentuk sediaan modern berupa herbal terstandar atau
fitofarmaka seperti tablet dan kapsul, juga bentuk sediaan lebih sederhana seperti serbuk, pil,
kapsul, dan sirup. Bentuk sediaan obat tradisional seperti serbuk, pil, kapsul, dan sirup harus
menjamin mutu yang sesuai dengan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).

Penerapan CPOTB merupakan persyaratan kelayakan dasar untuk menerapkan sistem


jaminan mutu yang diakui dunia internasional. Untuk itu sistem mutu hendaklah dibangun,
dimantapkan dan diterapkan sehingga kebijakan yang ditetapkan dan tujuan yang diinginkan
dapat dicapai. Dengan demikian penerapan CPOTB merupakan nilai tambah bagi produk
obat tradisional Indonesia agar dapat bersaing dengan produk sejenis dari negara lain baik di
pasar dalam negeri maupun internasional.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam CPOTB adalah:
1. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian atau galenik, atau campuran daribahan tersebut,
yang secara turun menurun telah digunakan untuk pengobatanberdasarkan pengalaman.
2. Bahan awal adalah bahan baku dan bahan pengemas yang digunakan dalam pembuatan
suatu produk obat tradisional.
3. Bahan baku adalah simplisia, sediaan galenik, bahan tambahan atau bahan lainnya, baik
yang berkhasiat maupun yang tidak berkhasiat, yang berubah maupun yang tidak
berubah, yang digunakan dalam pengolahan obat tradisional,walaupun tidak semua bahan
tersebut masih terdapat didalam produk ruahan.
4. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat tradisional yang belum
mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain merupakan bahan yang
dikeringkan.
5. Bahan pengemas adalah semua bahan yang digunakan untuk pengemasan produk ruahan
untuk menghasilkan produk jadi.
6. Produk antara adalah bahan atau campuran bahan yang masih memerlukan satu atau lebih
tahap pengolahan lebih lanjut untuk menjadi produk ruahan.
7. Produk ruahan adalah bahan atau campuran bahan yang telah selesai diolah yang masih
memerlukan tahap pengemasan untuk menjadi produk jadi.
8. Produk jadi adalah produk yang telah melalui seluruh tahap proses pembuatan obat
tradisional.
9. Pembuatan adalah seluruh rangkaian kegiatan yang meliputi pengadaan bahan awal
termasuk penyiapan bahan baku, pengolahan, pengemasan, pengawasan mutu sampai
diperoleh produk jadi yang siap untuk didistribusikan.
10. Produksi adalah semua kegiatan pembuatan dimulai dari pengadaan bahan awal termasuk
penyiapan bahan baku, pengolahan, sampai dengan pengemasan untuk menghasilkan
produk jadi.
11. Pengolahan adalah seluruh rangkaian kegiatan mulai dari penimbangan bahan baku
sampai dengan dihasilkannya produk ruahan.
12. Pengemasan adalah kegiatan mewadahi, membungkus, memberi etiket dan atau kegiatan
lain yang dilakukan terhadap produk ruahan untuk menghasilkan produk jadi.
13. Pengawasan dalam proses adalah pemeriksaan dan pengujian yang ditetapkan dan
dilakukan dalam suatu rangkaian proses produksi, termasuk pemeriksaan dan pengujian
yang dilakukan terhadap lingkungan dan peralatan dalam rangka menjamin bahwa produk
akhir (jadi) memenuhi spesifikasinya.
14. Pengawasan mutu (quality control) adalah semua upaya pemeriksaan dan pengujian
selama pembuatan untuk menjamin agar obat tradisional yangdihasilkan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan.
15. Sanitasi adalah segala upaya yang dilakukan untuk menjamin kebersihan sarana
pembuatan, personil, peralatan dan bahan yang ditangani.
16. Dokumentasi adalah catatan tertulis tentang formula, prosedur, perintah dan catatan
tertulis lainnya yang berhubungan dengan pembuatan obat tradisional.
17. Verifikasi adalah suatu tindakan pembuktian dengan cara yang sesuai bahwa tiap bahan,
perlengkapan, prosedur kegiatan yang digunakan dalam pembuatan obat tradisional
senantiasa mencapai hasil yang diinginkan.
18. Inspeksi diri adalah kegiatan yang dilakukan untuk menilai semua aspek, mulai dari
pengadaan bahan sampai dengan pengemasan dan penetapan tindakan perbaikan yang
dilakukan oleh semua personal industri obat tradisional sehingga seluruh aspek
pembuatan obat tradisional dalam industri obat tradisional tersebut selalu memenuhi
CPOTB.
19. Bets adalah sejumlah produk obat tradisional yang diproduksi dalam satu siklus
pembuatan yang mempunyai sifat dan mutu yang seragam.
20. Lot adalah bagian tertentu dari suatu bets yang memiliki sifat dan mutu yang seragam
dalam batas yang telah ditetapkan.
21. Kalibrasi adalah kombinasi pemeriksaan dan penyetelan suatu instrumen agar memenuhi
syarat batas keakuratan menurut standar yang diakui.
22. Karantina adalah status suatu bahan atau produk yang dipisahkan baik secara fisik
maupun secara sistem, sementara menunggu keputusan pelulusan atau penolakan untuk
diproses, dikemas atau didistribusikan.
23. Nomor bets atau nomor lot adalah suatu rancangan nomor dan atau huruf yang menjadi
tanda riwayat suatu bets atau lot secara lengkap, termasuk pemeriksaan mutu dan
pendistribusiannya.
24. Diluluskan (released) adalah status bahan atau produk yang boleh digunakan untuk
diproses, dikemas atau didistribusikan.
25. Produk kembalian adalah produk yang dikembalikan dari semua mata rantai distribusi ke
pabrik.
26. Penarikan kembali (recall) adalah kegiatan menarik kembali produk dari semua mata
rantai distribusi apabila ditemukan adanya produk yang tidak memenuhi persyaratan
mutu, keamanan dan penandaan atau adanya efek yang merugikan kesehatan.
27. Keluhan adalah suatu pengaduan dari pelanggan atau konsumen mengenai kualitas,
kuantitas, khasiat dan keamanan.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
a. Bejana kromatografi
b. Lempeng KLT
c. Pipa kapiler
d. Lampu UV
e. Spatula
f. Corong pisah
g. Vial
h. Pisau
i. Kurs
j. Furnes
k. Oven
l. Pipet tetes
m. Tabung rx
n. Gelas ukur

3.1.2 Bahan
a. Rimpang kencur
b. Produk jamu EXTILO
c. Kloroform
d. Etil asetat
e. H2SO4
f. Alkohol 96 %

3.2 Prosedur kerja


3.2.1 pembuatan simplisia
Bahan baku yang telah disiapkan dikumpulkan dan ditimbang dengan seksama
sebanyak 50 gram, catat beratnya kemudian tempatkan diatas nampan.
Sortasi basah, dilakukan terhadap tanah dan kerikil, rumput-rumputan, bahan tanaman
lain, dan bagian tanaman yang rusak.
Pencucian simplisia
Pengubahan bentuk meliputi: perajangan (rimpang, daun, herba), pengupasan (buah,
biji-bijian yang besar), pemotongan (akar, batang, dan ranting).
Tempatkan dinampan dan keringakan dengan cara yang sesuai berdasarkan jenis
bagian tanaman dan kandungan zat aktifnya.
Sortasi kering
Timbang lagi dan catat beratnya
Haluskan.Lakukan pengepakan, dimasukan kedalam kertas dan disimpan ditempat
kering
3.2.2 parameter spesifik
Mikroskopis
1. Ambil sampel (Gambir yang telah dihaluskan) seujung spatel lalu letakkan dikaca
objek, tambahkan aquadest 1 tetes lalu tutup dengan cover glass.
2. Amati dibawah mikroskop.
KLT
1. Siapkan plt KLT dengan ukuruna 5 x 1 cm dengan batas atas dan bawah masing-
masing 0.5 cm. beri tanda titik di tengah pada bagian batas bawah dengan pensil.
2. Siapkan chamber yang berisi fase geraknya yaitu 5 ml asam asetat 15 %, lalu
masukkan kertas saring kedalam chamber, biarkan hingga jenuh.
3. Timbang 1 gram gambir lalu masukkan dalam tabung reaksi tambahkan dengan
beberapa tetes methanol aduk atau kocok ad homogeny, lalu saring dengan kertas
saring.
4. Hasil filtrate ditotolkan dengan pipa kapiler pada tanda titik yang telah ditandai
pada plat KLT.
5. Lalu masukkan plat KLT ke dalam chamber, biarkan hingga meresap sampai tanda
batas atas.
6. Keluarkan plat, lalu keringanginkan, lalu periksa noda dibawah sinar UV. Tandai
noda yang terbentuk.
7. Hitung nilai RF dengan rumus :
jarak yang ditempuh noda
Harga Rf =
jarak yang ditempuh eluent

3.2.3 Parameter non spesifik


Susut pengeringan
1. Cuci dan keringkan krus kosong
2. Lalu krus kosong panaskan dengan oven selama 30 menit dengan susu 105C.
3. Setelah 30 menit lalu keluarkan dan masukkan kedalam desikator selama 5
menit, lalu timbang.
4. Timbang gambir sebanyak 2 gram lalu masukkan kedalam krus yang telah dioven
dan ditimbang sebelumnya.
5. Lalu masukkan kembali krus yang telah berisi sampel ke dalam oven dengan suhu
105C selama 30 menit.
6. Setelah 30 menit, keluarkan krus lalu masukkan ke dalam desikator selama 5
menit dan timbang.
7. Hitung kadar susut pengeringan dari gambir dengan rumus :
AB
Susut Pengeringan= x 100
B

Keterangan
A : Berat Krus Kosong Konstan + sampel (Sebelum dioven)
B : Berat Akhir (Setelah dioven + Sampel)

Kadar abu
I. Bersihkan Krus kosong
II. Lalu masukkan kedalam oven selama 30 menit dengan suhu 105C.
III. Lalu timbang krusnya (yang telah dioven) yang sebelumnya telah dimasukkan
kedalam desikator selama 5 menit, dan masukkan sampel sebanyak 2 gram.
IV. Masukkan krus yang telah berisi sampel kedalam furnice selama 30 menit
dengan suhu 600C.
V. Timbang hasil yang diperoleh, lalu % Kadar Abu Total dengan rumus :
( A+ B )C
Kadar AbuTotal= x 100
( A+ B)

Kadar abu tidak larut asam


I. Hasil dari kadar abu total ditambahkan dengan 25 ml HCl encer didalam beker
gelas
II. Lalu didihkan selama 5 menit.
III. Angkat dan saring dengan kertas saring, lalu cuci dengan air panas.
IV. Ambil bagian yang tertinggal pada kertas saring lalu pindahkan dalam krus
dan pijarkan lagi didalam furnace selama 30 menit dengan suhu 600C.
V. Timbang hasil yang diperoleh, lalu % Kadar Abu tidak Larut Asam dengan
rumus
Kadar Abu tidak Larut asam = A B x 100 %
Kadar sari larut air
I. Timbang gambir sebanyak 2.5 gram
II. Masukkan kedalam Erlenmeyer lalu tambahkan 25 ml aguadest dan 25 ml
kloroform, kemudian diaduk-aduk selama 6 jam pertama, kemudian biarkan
selama 18 jam
III. Lalu saring menggunakan kapas, hasil filtratnya masukkan dalam corong
pisah.
IV. Didalama corong biarkan larutan menjadi 2 bagian yaitu bagiat atas untuk air
dan bagian bawah untuk kloroform.
V. Buang bagian kloroformnya, lalu ambil 10 ml bagian airnya lalu masukkan
kedalam cawan yang sebelumnya sudah di timbang.
VI. Lalu panaskan diatas penangas air/waterbath sampai kering, biarkan dingin
lalu timbang.
VII. Hitung kadar sari larut air dengan rumus :
Berat Ekstrak = Berat Akhir Berat Cawan Kosong
Berat Ekstrak x Berat Sampel
Kadar Sari Larut Air = x 100
Berat Sampel

Kadar sari larut etanol


I. Timbang gambir sebanyak 2.5 gram
II. Masukkan kedalam Erlenmeyer lalu tambahkan50 ml etanol 95%, kemudian
diaduk-aduk selama 6 jam pertama, kemudian biarkan selama 18 jam
III. Lalu saring menggunakan kapas, hasil filtratnya diambil 10 ml.
IV. Masukkan kedalam cawan penguap yang sebelumnya telah ditimbang.
V. Lalu panaskan diatas penangas air/waterbath sampai kering, biarkan dingin
lalu timbang
VI. Hitung kadar sari larut etanol dengan rumus :
Berat Ekstrak = Berat Akhir Berat Cawan Kosong
Berat Ekstrak x Berat Sampel
Kadar Sari Larut Etanol= x 100
Berat Sampel

Kadar air
I. Hidupkan alat Moisture Analyzer Balance
II. Buka penutup alat, masukkan gambir yang telah ditimbang 1 gram, lalu tutup
kembali penutupnya.
III. Tekan tombol start, lalu tunggu sampai berbunyi yang menandakan pengujian
telah selesai.
IV. Amati hasil kadar air yang didapat (tertera pada alat)
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil

4.2 Pembahasan
Pada pratikum ini, dilakukan percobaan pembuatan sampel simplisia yaitu kencur
(kaempferia galanga). Pertama-tama kencur mengalami proses sortasi basah yang bertujuan
untuk memisahkan hasil panen tanaman yang masih segar dari bahan bahan kontaminan.
Setelah itu dilakukan pencucian untuk membersihkan kencur dari kotoran yang melekat.
Pencucian dilakukan agar pada pencucian tidak ada penambahan mikroba. Setelah dilakukan
pencucian, kencur dirajang. Fungsi dari perajangan adalah untuk memperkecil ukuran kencur.
Perajangan tidak boleh terlalu tipis ataupun terlalu tebal. Perajangan tidak boleh terlalu tipis
karena dapat menyebabkan berkurang atau hilangnya zat aktif yang mudah menguap.
Perajangan juga tidak boleh terlalu tebal karena dapat menyebabkan bagian luar bahan saja
yang sudah kering sedangkan bagian dalam masih basah. Perajangan berada antara range tipis
dan tebal agar bahan aktif pada kencur tidak menguap. Perajangan tidak boleh menggunakan
pisau kater karena biasanya pisau kater mengalami perkaratan sehingga bila
menggunakannya ada kemungkinan karat pada pisau kater menempel pada kencur. Jika karat
menempel maka berarti kencur sudah terkontaminasi.

Setelah mengalami perajangan, selanjutnya dilakukan pengeringan pada sampel.


Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air kencur sehingga sampel tidak mudah
ditumbuhi oleh kapang dan bakteri, menghilangkan aktifitas enzim yang dapat menguraikan
lebih lanjut kandungan zat aktif serta memudahkan pengolahan selanjutnya. Pengeringan
sebaiknya tidak dilakukan secara langsung dibawah sinar matahari karena dapat
memungkinkan penghilangan senyawa aktif yang ada di dalam kencur mengalami kerusakan
dan penguapan akibat sinar matahari yang suhunya terlalu tinggi. Pengeringan dilakukan
dengan menaburkan hasil perajangan kencur diatas kertas perkamen. Pengeringan tidak boleh
dilakukan diatas kertas koran karena apabila hasil rajangan kencur yang telah dilakukan
proses pencucian ditaburkan diatas koran, ditakutkan tinta pada kertas koran dapat bercampur
dengan air sehingga tinta dapat luntur dan menempel pada hasil rajangan kencur.

Pada pratikum ini dilakukan pengujian mikroskopik. Hal ini bertujuan untuk dapat
melihat unsur-unsur anatomi yang khas pada kencur seperti sel parenkim, sel gabus, sel pati
dan lain-lain. Uji mikroskop ini dilakukan dengan cara mengiris kencur setipis tipisnya agar
sel-sel anatomi yang khas pada kencur dapat jelas terlihat pada mikroskop. Setelah kencur
diiris tipis lalu hasil irisan kencur diletakkan di kaca objek lalu ditambahkan reagen aquadest,
lalu ditutup coverglass. Setelah itu dilakukan pengujian unsur apa yang terdapat pada kencur.
Pada pratikum ini juga dilakukan standarisasi simplisia dengan pengujian parameter
spesifik dan parameter nonspesifik. Untuk parameter spesifik yang dilakukan antara lain :
penetapan susut pengeringan, penetapan kadar air, penetapan kadar abu total dan kadar abu
tidak larut asam, serta penetapan kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol. Untuk
parameter non spesifik yaitu parameter kromatografi lapis tipis.

Pertama-tama dilakukan uji penetapan susut pengeringan. Sampel yang sudah


dikeringkan dimasukkan kedalam oven dengan suhu yang telah diatur yaitu 105 0c selama 30
menit. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui berapa jumlah pengurangan berat bahan
setelah dikeringkan. Hasil yang didapat untuk pengujian ini tidak boleh lebih dari 10%.
Sedangkan hasil dari uji ini adalah 0,7998%. Hal ini membuktikan bahwa simplisia kencur
kelompok kami sesuai dengan hasil susut pengeringan yang seharusnya. Pada pengujian
parameter kadar abu total sama susut pengeringan tapi bukan dimasukkan kedalam oven
tetapi simplisia dimasukkan kedalam alat yang bernama furnes dengan suhu 600 0c. Pada
pengujian parameter kadar abu total pada kencur tidak boleh lebih dari 8,7%. Dalam hal ini
simplisia yang diuji diperoleh hasil kadar abu total yaitu 4,2125%. Dan ini membuktikan
bahwa kencur ini sesuai dengan yang seharusnya. Kadar abu tidak larut asam adalah 2,29%
kecil dari maksimal kadar abu tidak larut asam yaitu 2,5%. Pengujian kadar abu bertujuan
untuk mengetahui sisa bahan organik atau bahan yang tidak menguap dari suatu simplisia
pada saat pembakaran. Sedangkan tujuan penentuan kadar abu tidak larut asam yaitu untuk
mengetahui jumlah pengotor yang berasal dari tanah maupun dari tanah silikat. Selanjutnya
penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui batasan maksimal atau rentang besarnya
kandungan air dalam bahan.

Penentuan selanjutnya yaitu penentuan kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol.
Pengerjaan ini dilakukan pengocokan selama 16 jam lalu didiamkan selama 8 jam. Hasil
pengujian kadar sari larut air adalah 26,01%. Hasil pengujian kadar sari larut etanol adalah
6,1%. Kadar sari larut air dan etanol pada kencur sebenarnya tidak boleh kurang dari 14,2%
dan tidak boleh kurang dari 4,2%. Pada pengujian kadar sari larut air digunakan pelarut yaitu
25 ml kloroform dan 25 ml aquadest. Kegunaan dari kloroform ini yaitu untuk memisahkan
aquadest dengan simplisia. Karena berat jenis air lebih rendah daripada berat jenis kloroform
maka pada corong pisah yang berada di lapisan bawah adalah kloroform dan yang berada
dibagian atas adalah air. Dari khasus ini untuk mendapat aquadest kita dapat mengeluarkan
lapisan kloroform dan yang akan tinggal adalah lapisan aquadest. Pada saat campuran
simplisia, air, dan kloroform dimasukkan kedalam corong digunakan kapas. Guna kapas
adalah untuk menyaring simplisia yang tertinggal. Sehingga yang masuk kecorong pisah
hanyalah air dan kloroform begitu pula dengan uji kadar sari larut etanol. Penentuan kadar
sari larut etanol dan kadar sari larut air adalah untuk mengetahui jumlah senyawa yang daplat
tersari dengan air dan etanol dari suatu simplisia.

Selanjutnya dilakukan uji parameter spesifik yaitu penentuan kromatografi lapis tipis.
Pada pengujian ini digunakan 2 fase yaitu fase gerak dan fase diam. Fase diamnya adalah
silika gel sedangkan fase geraknya adalah toluen dengan etil asetat dengan pembandingan
(95:5). Pada pengujian ini sampel ditambahkan alkohol. Untuk uji ini yang dilihat adalah
noda pada silika gel. Jarak yang ditempuh noda pertama yaitu 3,1 sedangkan jarak yang
ditempuh pelarut adalah 4 maka harga Rf1 adalah 0,715. Sedangkan jarak yang ditempuh
noda kedua adalah 3,5 sedangkan jarak yang ditempuh pelarut adalah 4 maka harga Rf 2
adalah 0,875. Guna pengujian ini adalah untuk memberi gambaran awal komposisi
kandungan kimia berdasarkan pola kromatografi. Seharusnya harga Rf yang bagus adalah
antara 0,2-0,8. Tetapi pada pengujian ini didapat harga Rf2 yang tidak sesuai dengan teori.

B. FITOTERAPI JAMU

Pada pratikum ini dilakukan uji fitoterapi obat tradisional yaitu jamu. Jamu yang
digunakan pada pratikum ini adalah jamu ex-tilo. Adapun bahan yang berfungsi sebagai
senyawa aktif obat jamu ini adalah ekstrak manggis (Garcinia mangostana), mengkudu (),
dan temulawak (). Pada fitoterapi jamu ini dilakukan pengujian parameter spesifik dan
parameter non spesifik. Untuk parameter spesifik yang dilakukan antara lain : penetapan
susut pengeringan, penetapan kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam, serta penetapan
kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol. Untuk parameter non spesifik yaitu parameter
kromatografi lapis tipis.

Pertama-tama dilakukan uji penetapan susut pengeringan. Sampel yang sudah


dikeringkan dimasukkan kedalam oven dengan suhu yang telah diatur yaitu 105 0c selama 30
menit. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui berapa jumlah pengurangan berat bahan
setelah dikeringkan. Hasil yang didapat dari uji ini adalah 0,14%. Pada pengujian parameter
kadar abu total sama pengerjaannya dengan susut pengeringan tapi yang membedakannya
adalah pada parameter kadar abu sampel bukan dimasukkan kedalam oven tetapi sampel
dimasukkan kedalam alat yang bernama furnes dengan suhu 600 0c. Dalam hal ini jamu yang
diuji diperoleh hasil kadar abu total yaitu 2,1799. Pengujian kadar abu bertujuan untuk
mengetahui sisa bahan organik atau bahan yang tidak menguap dari suatu sampel pada saat
pembakaran. Kadar abu tidak larut asam yang didapat adalah 1,915%. Tujuan penentuan
kadar abu tidak larut asam yaitu untuk mengetahui jumlah pengotor yang berasal dari tanah
maupun dari tanah silikat.

Penentuan selanjutnya yaitu penentuan kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol.
Hasil pengujian kadar sari larut air adalah %. Hasil pengujian kadar sari larut etanol adalah
%.

Selanjutnya dilakukan uji parameter spesifik yaitu penentuan kromatografi lapis tipis.
Pada pengujian ini digunakan 2 fase yaitu fase gerak dan fase diam. Fase diamnya adalah
silika gel sedangkan fase geraknya adalah toluen dengan etil asetat dengan pembandingan
(95:5). Untuk uji ini yang dilihat adalah noda pada silika gel. Jarak yang ditempuh noda
pertama yaitu 3,2 sedangkan jarak yang ditempuh pelarut adalah 4 maka harga Rf 1 adalah 0,8.
Sedangkan jarak yang ditempuh noda kedua adalah 3,4 sedangkan jarak yang ditempuh
pelarut adalah 4 maka harga Rf2 adalah 0,850. Guna pengujian ini adalah untuk memberi
gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatografi. Seharusnya
harga Rf yang bagus adalah antara 0,2-0,8. Tetapi pada pengujian ini didapat harga Rf 2 yang
tidak sesuai dengan teori. Semakin tinggi nilai Rf maka semakin besar jarak senyawa
bergerak pada plat KLT. Saat membandingkan dua sampel yang berbeda dibawah kondisi
kromatografi yang sama, nilai Rf akan besar bila senyawa tersebut kurang polar dan
berinteraksi dengan adsorben polar pada plat KLT.

Pada pratikum ini juga dilakukan pengujian mikroskopik. Hal ini bertujuan untuk
dapat melihat unsur-unsur anatomi yang khas pada sampel seperti sel parenkim, sel gabus, sel
pati dan lain-lain. Uji mikroskop ini dilakukan dengan cara meletakkan sampel yang
berbentuk serbuk di atas kaca objek lalu ditambahkan reagen aquadest, lalu ditutup cover
glass. Setelah itu dilakukan pengujian unsur apa yang terdapat pada sampel.

Adapun kesalahan yang mungkin terjadi pada pratikum pembuatan simplisia dan
fitoterapi obat tradisional (jamu) adalah :

1. Kesalahan pada saat menimbang bahan yang akan diuji


2. Kesalahan pada saat pengujian misalnya kesalahn pada pengaturan suhu dan waktu
3. Kesalahan pada alat, misalnya alat kotor.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2002, Tanaman Obat Indonesia, Cakrawala Iptek, Jakarta,.

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2005, Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional
Yang Baik, Jakarta.

Maryani, H. 2003, Tanaman Obat Untuk Mengatasi Penyakit Pada Usila, Agro Media,
Jakarta,.
Muchtadi, D. 1992, Fisiologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-buahan. PAU Pangan dan
Gizi, IPB. Bogor. halaman 565

Mursito, B. 2000. Ramuan Tradisional Untuk Kesehatan Anak. Penebar Swadaya, Jakarta
Lampiran

Anda mungkin juga menyukai