Oleh
DORA ROSALINA S.
EMNOVERICI UMAR
FAKHRIYA AULIA
LIDYA ANNISA
RAESA TARTILLA
DOSEN:
Dr.EMRIZAL,M.Si.,Apt
Dalam penulisan makalah ini juga tidak lepas dari dukungan berbagai pihak sehingga
penulisan makalah ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan kepada
dosen mata kuliah Toksikologi yang telah membimbing penulis. Tidak lupa kepada teman-
teman yang telah memberi dukungan dan semangat kepada penulis.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ....................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang................................................................................ 1
1.2. Tujuan Praktikum............................................................................ 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian obat .............................................................................. 2
2.2. Obat tradisional............................................................................... 2
2.2.1. Pengertian Obat Tradisional.............................................. 2
2.2.2. Cara Produksi Obat Tradisional yang baik ....................... 3
2.3. Jamu ............................................................................................... 6
2.5. Ekstraksi Cair-cair .......................................................................... 12
2.6. Kromatografi Lapis Tipis ............................................................... 12
2.6.1. Keuntungan Kromatografi Lapis Tipis ............................. 13
2.6.2. Komponen-komponen KLT .............................................. 14
2.6.3. Aplikasi (penotolan sampel) ............................................. 15
2.6.4. Perhitungan Rf .................................................................. 15
BAB III. METODOLOGI PERCOBAAN
3.1. Alat dan Bahan................................................................................. 17
3.1.1. Alat.................................................................................... 17
3.1.2. Bahan ................................................................................ 17
3.2. Prosedur Kerja.................................................................................. 17
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data dan Perhitungan........................................................................ 20
4.2 Hasil Pengataman ............................................................................. 21
BAB V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan ...................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 31
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jamu diartikan sebagai obat yang dibuat dari akar-akaran, daun-daunan, dan
sebagainya. Jamu merupakan obat tradisional Indonesia. Obat tradisional adalah bahan atau
ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian
atau galenik, atau campuran bahan-bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah
digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Obat tradisional merupakan produk yang dibuat dari bahan alam yang jenis dan sifat
kandungannya sangat beragam sehingga untuk menjamiun mutu obat tradisional diperlukan
cara pembuatan yang baik dengan lebih memperhatikan proses produksi dan penanganan
bahan baku.
Bahan baku adalah simplisia, sediaan galenik, bahan tambahan atas bahan lainnya,
baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat, yang berubah maupun tidak berubah, yang
digunakan dalam pengolahan obat tradisional.
Dari pengertian diatas telah jelas bahwa sediaan obat tradisional yang diproduksi
harus memenuhi mutu yang baik guna memenuhi persyaratan keamanan dan khasiat, namun
tidak diperbolehkan mengandung senyawa kimia lain untuk menekan khasiatnya. Oleh
karena itu produk-produk obat tradisional yang beredar harus bebas dari senyawa kimia
dalam sediaannya dan karena itu dilakukan beberapa uji terhadap simplisia yang dibuat dan
produk jamu yang beredar di pasaran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Simplisia
Simplisia adalah bahan alam yang di gunakan sebagai bahan obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah di
keringkan. (FI III, 1979)
Simplisia terbagi atas 3, yaitu :
1. Simplisia Nabati
Simplisia yang dapat berupa tanaman utuh, bagian tanaman, eksudat tanaman, atau
gabungan ketiganya. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman
atau dengan cara tertentu sengaja dikeluarkan dari selnya, berupa zat-zat atau bahan-bahan
nabati lainnya dengan cara tertentu dipisahkan, diisolasi dari tanamannya.
2. Simplisia Hewani
Simplisia berupa hewan utuh atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan
belum berupa bahan kimia mumi (minyak ikan / Oleum iecoris asselli, dan madu / Mel
depuratum).
3. Simplisia Mineral
Simplisia berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah atau telah diolah
dengan cara sederhana dan belum berupa bahan kimia murni (serbuk seng dan serbuk
tembaga) (Gunawan, 2004).
Dalam hal simplisia sebagai bahan baku (awal) dan produk siap dikonsumsi langsung,
dapat dipertimbangkan tiga konsep untuk menyusun parameter standar mutu simplisia yaitu
sebagai berikut (Dirjen POM, 1989):
1. Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya mempunyai tiga parameter mutu
umum suatu bahan (material), yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian (bebas dari
kontaminasi kimia dan biologis), serta aturan penstabilan (wadah, penyimpanan dan
transportasi).
2. Bahwa simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi manusia sebagai obat tetap
diupayakan memiliki tiga paradigma seperti produk kefarmasian lainnya, yaitu Quality-
Safety-Efficacy (mutu-aman-manfaat).
3. Bahwa simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang bertanggung jawab
terhadap respons biologis untuk mempunyai spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi
(jenis dan kadar) senyawa kandungan.
2.1.1 Rimpang kencur
Bahan alamiah kering berupa rimpang (rhizoma) dari tanaman kencur (Kaempferia
galanga L.) yang gunakan untuk obat dan belum mengalami pengolahan apapun. Tanaman
ini sudah berkembang di Pulau Jawa dan di luar Jawa seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara
dan Kalimantan Selatan. Sampai saat ini karakteristik utama yang dapat dijadikan sebagai
pembeda kencur adalah daun dan rimpang. Berdasarkan ukuran daun dan rimpangnya,
dikenal 2 tipe kencur, yaitu kencur berdaun lebar dengan ukuran rimpang besar dan kencur
berdaun sempit dengan ukuran rimpang lebih kecil.
Rimpang mengandung minyak atsiri yang tersusun -pinene (1,28%), kampen (2,47%),
benzene (1,33%), borneol (2,87%), pentadecane (6,41%), eucaliptol (9,59%), karvon
(11,13%), metilsinamat (23,23%), dan etil-p-metoksisinamat (31,77%) (Tewtrakul et al.,
2005). Selain itu, terdapat pula golongan senyawa flavonoid dalam rimpang ini (Gunawan,
1989; Duke, 1985; Pandji, 1993).
Ekstrak rimpang kencur (Kaempferia galanga) berpotensi aktif terhadap infeksi bakteri
(Tewtrakul et al., 1983). Ekstrak aseton memiliki efek inhibisi pada monoamina oksidase
(Noro et al., 1983). Selain itu, ekstrak etanol 95% tanaman ini memiliki aktivitas antibakteri
terhadap Staphylococcus aureus dan ekstrak air panas terhadap Escherichia coli
(Songklanakarin et al., 2005). Rimpang kencur ditemukan memiliki aktivitas antikanker,
antihipertensi dan aktivitas larvacidal dan untuk berbagai penyakit kulit, rematik dan diabetes
mellitus (Tara et al., 1991).
Kencur (Kaempferia galanga L.) banyak digunakan sebagai bahan baku obat
tradisional (jamu), fitofarmaka, industri kosmetika, penyedap makanan dan minuman,
rempah, serta bahan campuran saus rokok pada industri rokok kretek. Secara empirik kencur
digunakan sebagai penambah nafsu makan, infeksi bakteri, obat batuk, disentri, tonikum,
ekspektoran, masuk angin, sakit perut.
Minyak atsiri didalam rimpang kencur mengandung etil sinnamat dan metil p-metoksi
sinamat yang banyak digunakan didalam industri kosmetika dan dimanfaatkan sebagai obat
asma dan anti jamur. Banyaknya manfaat kencur memungkinkan pengembangan
pembudidayaannya dilakukan secara intensif yang disesuaikan dengan produk akhir yang
diinginkan.
Produksi, mutu dan kandungan bahan aktif didalam rimpang kencur ditentukan oleh
varietas yang digunakan, cara budidaya dan lingkungan tempat tumbuhnya. Selain itu, karena
kualitas mutu simplisia bahan baku industri ditentukan oleh proses budidaya dan
pascapanennya, maka perlu disosialisasikan GAP (Good Agricultural Practices) dan GMP
(Good Manufacture Practices), melalui penerapan standar prosedur operasional (SPO)
budidaya tanaman.
Etil p-metoksi sinamat (EPMS) adalah salah satu senyawa hasil isolasi rimpang kencur
( Kaempferia galanga L.) yang merupakan bahan dasar senyawa tabir surya yaitu pelindung
kulit dari sengatan sinar matahari. EPMS termasuk dalam golongan senyawa ester yang
mengandung cincin benzena dan gugus metoksi yang bersifat nonpolar dan juga gugus
karbonil yang mengikat etil yang bersifat sedikit polar sehingga dalam ekstraksinya dapat
menggunakan pelarut-pelarut yang mempunyai variasi kepolaran yaitu etanol, etil asetat,
metanol, air, dan heksana. Dalam ekstraksi suatu senyawa yang harus diperhatikan adalah
kepolaran antara pelarut dengan senyawa yang diekstrak, keduanya harus memiliki kepolaran
yang sama ataumendekati (Firdausi, 2009).
Kelarutan suatu zat padat dan zat cair pada suatu pelarut akan meningkat seiring dengan
kenaikan suhu bila proses pelarutannya adalah endoterm, sedangkan untuk proses pelarutan
yang bersifat eksoterm pemanasan justru menurunkan harga kelarutan zat. Fenomena yang
kedua ini jarang dijumpai di alam yang umum adalah proses pelarutan yang bersifat endoterm
yaitu memerlukan kalor. Beberapa zat dalam larutan akan rusak atau terurai dam menguap
dengan pemanasan sehingga suhu ekstraksi harus diperhatikan agar senyawa yang diharapkan
tidak rusak. Oleh karena itu ekstraksi etil p-metoksi sinamat dari kencur tidak boleh
menggunakan suhu yang lebih dari titik lelehnya yaitu 48 49oC. (Bachtiar,2005).
Salah satu reaksi yang mudah dilakukan terhadap etil-p-metoksi sinamat
adalahmenghidrolisisnya menghasilkan asam p-metoksi sinamat. NaOH yang ditambahkan
pada hidrolisis etil p-metoksi sinamat, akan terurai menjadi Na+ dan OH-. Ion OH- ini
akanmenyerang gugus C karbonil yang bermuatan positif yang menyebabkan kelebihan
elektron. Hal ini akan menyebabkan pemutusan ikatan rangkap antara atom O dan atom C
sehingga atom O akan bermuatan negatif. Namun, atom O akan membentuk ikatan rangkap
lagi dengan atom C, sehingga atom C akan menstabilkan diri dengan melepaskan -OC2H5.
Hal ini akan menyebabkan terbentuknya asam p-metoksisinamat.
Obat tradisional awalnya digunakan berdasarkan warisan turun temurun dari nenek
moyang secara konvensional. Pemakaiannya pun berdasarkan pengalaman dan kepercayaan
secara empiris di kalangan masyarakat. Dalam perkembangannya obat tradisional telah mulai
diteliti secara ilmiah guna membuktikan khasiatnya melalui uji praklinik dan uji klinik.
Namun kedokteran modern sekarang ini masih terasa kuat peranannya dalam menempatkan
obat tradisional sebagai pendamping obat modern.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI: 4-6), menyebutkan obat tradisional
dapat dikelompokkan enjadi 3 jenis, yaitu:
a Jamu (Empirical Based Herbal Medicine) adalah obat tradisional yang berisi seluruh bahan
tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut. Jamu disajikan dalam bentuk serbuk
seduhan, pil atau cairan, mengandung dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya antara 5-
10 macam, bahkan bisa lebih. Jamu harus memenuhi persyaratan keamanan dan standar
mutu, tetapi tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai uji klinis, cukup dengan bukti
empiris. Kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu sediaan jamu adalah: aman, klaim khasiat
dibuktikan berdasarkan data empiris dan memenuhi persyaratan mutu.
b. Obat herbal terstandar (Standarized Based Herbal Medicine) merupakan obat tradisional
yang disajikan dari hasil ekstraksi atau penyarian bahan alam, baik tanaman obat, binatang,
maupun mineral. Proses pembuatan obat herbal terstandar membutuhkan peralatan yang tidak
sederhana dan lebih mahal dari jamu. Pembuktian ilmiah merupakan penunjang obat herbal
berstandar berupa penelitian praklinis yang meliputi standardisasi kandungan senyawa
berkhasiat dalam bahan penyusun, standardisasi pembuatan ekstrak yang higienis serta uji
toksisitas maupun kronis.
c. Fitofarmaka (Clinical Based Herbal Medicine) merupakan obat tradisional yang dapat
disejajarkan dengan obat modern. Proses pembuatan fitofarmaka telah terstandardisasi yang
didukung oleh bukti ilmiah sampai uji klinis pada manusia. Pembuatannya diperlukan
peralatan berteknologi modern, tenaga ahli, dan biaya yang tidak sedikit.
Menurut Suharmiati dan Handayani (2006: 2-3) dikutip oleh Sinaga (2009), obat
tradisional industri diproduksi dalam bentuk sediaan modern berupa herbal terstandar atau
fitofarmaka seperti tablet dan kapsul, juga bentuk sediaan lebih sederhana seperti serbuk, pil,
kapsul, dan sirup. Bentuk sediaan obat tradisional seperti serbuk, pil, kapsul, dan sirup harus
menjamin mutu yang sesuai dengan Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).
3.1.2 Bahan
a. Rimpang kencur
b. Produk jamu EXTILO
c. Kloroform
d. Etil asetat
e. H2SO4
f. Alkohol 96 %
Keterangan
A : Berat Krus Kosong Konstan + sampel (Sebelum dioven)
B : Berat Akhir (Setelah dioven + Sampel)
Kadar abu
I. Bersihkan Krus kosong
II. Lalu masukkan kedalam oven selama 30 menit dengan suhu 105C.
III. Lalu timbang krusnya (yang telah dioven) yang sebelumnya telah dimasukkan
kedalam desikator selama 5 menit, dan masukkan sampel sebanyak 2 gram.
IV. Masukkan krus yang telah berisi sampel kedalam furnice selama 30 menit
dengan suhu 600C.
V. Timbang hasil yang diperoleh, lalu % Kadar Abu Total dengan rumus :
( A+ B )C
Kadar AbuTotal= x 100
( A+ B)
Kadar air
I. Hidupkan alat Moisture Analyzer Balance
II. Buka penutup alat, masukkan gambir yang telah ditimbang 1 gram, lalu tutup
kembali penutupnya.
III. Tekan tombol start, lalu tunggu sampai berbunyi yang menandakan pengujian
telah selesai.
IV. Amati hasil kadar air yang didapat (tertera pada alat)
BAB IV
IV.1 Hasil
4.2 Pembahasan
Pada pratikum ini, dilakukan percobaan pembuatan sampel simplisia yaitu kencur
(kaempferia galanga). Pertama-tama kencur mengalami proses sortasi basah yang bertujuan
untuk memisahkan hasil panen tanaman yang masih segar dari bahan bahan kontaminan.
Setelah itu dilakukan pencucian untuk membersihkan kencur dari kotoran yang melekat.
Pencucian dilakukan agar pada pencucian tidak ada penambahan mikroba. Setelah dilakukan
pencucian, kencur dirajang. Fungsi dari perajangan adalah untuk memperkecil ukuran kencur.
Perajangan tidak boleh terlalu tipis ataupun terlalu tebal. Perajangan tidak boleh terlalu tipis
karena dapat menyebabkan berkurang atau hilangnya zat aktif yang mudah menguap.
Perajangan juga tidak boleh terlalu tebal karena dapat menyebabkan bagian luar bahan saja
yang sudah kering sedangkan bagian dalam masih basah. Perajangan berada antara range tipis
dan tebal agar bahan aktif pada kencur tidak menguap. Perajangan tidak boleh menggunakan
pisau kater karena biasanya pisau kater mengalami perkaratan sehingga bila
menggunakannya ada kemungkinan karat pada pisau kater menempel pada kencur. Jika karat
menempel maka berarti kencur sudah terkontaminasi.
Pada pratikum ini dilakukan pengujian mikroskopik. Hal ini bertujuan untuk dapat
melihat unsur-unsur anatomi yang khas pada kencur seperti sel parenkim, sel gabus, sel pati
dan lain-lain. Uji mikroskop ini dilakukan dengan cara mengiris kencur setipis tipisnya agar
sel-sel anatomi yang khas pada kencur dapat jelas terlihat pada mikroskop. Setelah kencur
diiris tipis lalu hasil irisan kencur diletakkan di kaca objek lalu ditambahkan reagen aquadest,
lalu ditutup coverglass. Setelah itu dilakukan pengujian unsur apa yang terdapat pada kencur.
Pada pratikum ini juga dilakukan standarisasi simplisia dengan pengujian parameter
spesifik dan parameter nonspesifik. Untuk parameter spesifik yang dilakukan antara lain :
penetapan susut pengeringan, penetapan kadar air, penetapan kadar abu total dan kadar abu
tidak larut asam, serta penetapan kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol. Untuk
parameter non spesifik yaitu parameter kromatografi lapis tipis.
Penentuan selanjutnya yaitu penentuan kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol.
Pengerjaan ini dilakukan pengocokan selama 16 jam lalu didiamkan selama 8 jam. Hasil
pengujian kadar sari larut air adalah 26,01%. Hasil pengujian kadar sari larut etanol adalah
6,1%. Kadar sari larut air dan etanol pada kencur sebenarnya tidak boleh kurang dari 14,2%
dan tidak boleh kurang dari 4,2%. Pada pengujian kadar sari larut air digunakan pelarut yaitu
25 ml kloroform dan 25 ml aquadest. Kegunaan dari kloroform ini yaitu untuk memisahkan
aquadest dengan simplisia. Karena berat jenis air lebih rendah daripada berat jenis kloroform
maka pada corong pisah yang berada di lapisan bawah adalah kloroform dan yang berada
dibagian atas adalah air. Dari khasus ini untuk mendapat aquadest kita dapat mengeluarkan
lapisan kloroform dan yang akan tinggal adalah lapisan aquadest. Pada saat campuran
simplisia, air, dan kloroform dimasukkan kedalam corong digunakan kapas. Guna kapas
adalah untuk menyaring simplisia yang tertinggal. Sehingga yang masuk kecorong pisah
hanyalah air dan kloroform begitu pula dengan uji kadar sari larut etanol. Penentuan kadar
sari larut etanol dan kadar sari larut air adalah untuk mengetahui jumlah senyawa yang daplat
tersari dengan air dan etanol dari suatu simplisia.
Selanjutnya dilakukan uji parameter spesifik yaitu penentuan kromatografi lapis tipis.
Pada pengujian ini digunakan 2 fase yaitu fase gerak dan fase diam. Fase diamnya adalah
silika gel sedangkan fase geraknya adalah toluen dengan etil asetat dengan pembandingan
(95:5). Pada pengujian ini sampel ditambahkan alkohol. Untuk uji ini yang dilihat adalah
noda pada silika gel. Jarak yang ditempuh noda pertama yaitu 3,1 sedangkan jarak yang
ditempuh pelarut adalah 4 maka harga Rf1 adalah 0,715. Sedangkan jarak yang ditempuh
noda kedua adalah 3,5 sedangkan jarak yang ditempuh pelarut adalah 4 maka harga Rf 2
adalah 0,875. Guna pengujian ini adalah untuk memberi gambaran awal komposisi
kandungan kimia berdasarkan pola kromatografi. Seharusnya harga Rf yang bagus adalah
antara 0,2-0,8. Tetapi pada pengujian ini didapat harga Rf2 yang tidak sesuai dengan teori.
B. FITOTERAPI JAMU
Pada pratikum ini dilakukan uji fitoterapi obat tradisional yaitu jamu. Jamu yang
digunakan pada pratikum ini adalah jamu ex-tilo. Adapun bahan yang berfungsi sebagai
senyawa aktif obat jamu ini adalah ekstrak manggis (Garcinia mangostana), mengkudu (),
dan temulawak (). Pada fitoterapi jamu ini dilakukan pengujian parameter spesifik dan
parameter non spesifik. Untuk parameter spesifik yang dilakukan antara lain : penetapan
susut pengeringan, penetapan kadar abu total dan kadar abu tidak larut asam, serta penetapan
kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol. Untuk parameter non spesifik yaitu parameter
kromatografi lapis tipis.
Penentuan selanjutnya yaitu penentuan kadar sari larut air dan kadar sari larut etanol.
Hasil pengujian kadar sari larut air adalah %. Hasil pengujian kadar sari larut etanol adalah
%.
Selanjutnya dilakukan uji parameter spesifik yaitu penentuan kromatografi lapis tipis.
Pada pengujian ini digunakan 2 fase yaitu fase gerak dan fase diam. Fase diamnya adalah
silika gel sedangkan fase geraknya adalah toluen dengan etil asetat dengan pembandingan
(95:5). Untuk uji ini yang dilihat adalah noda pada silika gel. Jarak yang ditempuh noda
pertama yaitu 3,2 sedangkan jarak yang ditempuh pelarut adalah 4 maka harga Rf 1 adalah 0,8.
Sedangkan jarak yang ditempuh noda kedua adalah 3,4 sedangkan jarak yang ditempuh
pelarut adalah 4 maka harga Rf2 adalah 0,850. Guna pengujian ini adalah untuk memberi
gambaran awal komposisi kandungan kimia berdasarkan pola kromatografi. Seharusnya
harga Rf yang bagus adalah antara 0,2-0,8. Tetapi pada pengujian ini didapat harga Rf 2 yang
tidak sesuai dengan teori. Semakin tinggi nilai Rf maka semakin besar jarak senyawa
bergerak pada plat KLT. Saat membandingkan dua sampel yang berbeda dibawah kondisi
kromatografi yang sama, nilai Rf akan besar bila senyawa tersebut kurang polar dan
berinteraksi dengan adsorben polar pada plat KLT.
Pada pratikum ini juga dilakukan pengujian mikroskopik. Hal ini bertujuan untuk
dapat melihat unsur-unsur anatomi yang khas pada sampel seperti sel parenkim, sel gabus, sel
pati dan lain-lain. Uji mikroskop ini dilakukan dengan cara meletakkan sampel yang
berbentuk serbuk di atas kaca objek lalu ditambahkan reagen aquadest, lalu ditutup cover
glass. Setelah itu dilakukan pengujian unsur apa yang terdapat pada sampel.
Adapun kesalahan yang mungkin terjadi pada pratikum pembuatan simplisia dan
fitoterapi obat tradisional (jamu) adalah :
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2005, Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional
Yang Baik, Jakarta.
Maryani, H. 2003, Tanaman Obat Untuk Mengatasi Penyakit Pada Usila, Agro Media,
Jakarta,.
Muchtadi, D. 1992, Fisiologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-buahan. PAU Pangan dan
Gizi, IPB. Bogor. halaman 565
Mursito, B. 2000. Ramuan Tradisional Untuk Kesehatan Anak. Penebar Swadaya, Jakarta
Lampiran