Anda di halaman 1dari 20

Keseimbangan cairan dan elektrolit: konsep dan terminologi

Keseimbangan cairan dan elektrolit berperan sentral dalam penanganan setiap pasien

yang sakit serius. Kadar natrium, kalium, urea, kreatinin, sering kali ditambah klorida dan

bikarbonat, dalam serum, merupakan profil biokimia yang paling lazim diperiksa, menghasilkan

informasi berharga mengenai status cairan dan elektrolit serta fungsi ginjal pasien.

Kompartemen cairan tubuh

Konstituen utama tubuh adalah air. Dalam tubuh individu rata-rata dengan berat badan 70

kg terkandung kurang lebih 42 liter air. Dua pertiganya (28 L) berupa cairan intraseluler (ICF)

dan sepertiga sisanya (14 L) berupa cairan ekstraseluler (ECF). Cairan ekstraseluler terbagi lagi

atas plasma (3,5 L) dan cairan interstisial (10,5 L).

Keseimbangan cairan digambarkan secara skematik melalui sebuah model bejana air

bersekat yang memiliki saluran masuk dan keluar (Gambar 2). Saluran masuk menggambarkan

cairan yang masuk secara oral atau melalui infuse intravena, sedangkan saluran keluar biasanya

adalah saluran urine. Kehilangan yang tidak terasa dapat dianggap sebagai kehilangan melalui

penguapan di permukaan.

Kehilangan cairan melalui masing-masing kompartemen menimbulkan tanda dan gejala

yang berbeda. Sebagai contoh, kehilangan cairan intraseluler menyebabkan disfungsi seluler,

dengan tanda yang paling menonjol berupa letargi, kebingungan, dan koma. Kehilangan darah,

suatu cairan ECF, menyebabkan kolaps sirkulasi, renal shutdown, dan syok. Kehilangan total air

dalam tubuh (total body water) akhirnya akan menimbulkan efek yang sama. Namun demikian,

tanda deplesi cairan pada awalnya tidak terlihat karena kehilangan air, kecuali dalam jumlah

besar, tersebar di antara kompartemen ECF dan ICF.


Model bejana air mengilustrasikan volume relative masing-masing kompartemen ini dan

dapat digunakan untuk membantu memvisualkan beberapa gangguan klinis keseimbangan cairan

dan elektrolit. Penting disadari bahwa penilaian volume kompartemen cairan tubuh bukan

tanggung jawab laboratorium kimia. Status hidrasi pasien, yaitu volume kompartemen cairan

tubuh, ditentukan berdasarkan alasan klinis. Istilah “dehidrasi” secara sederhana berarti terjadi

kehilangan cairan dari kompartemen-kompartemen tubuh. Overhidrasi terjadi apabila cairan

berakumulasi dalam kompartemen-kompartemen tubuh. Gambar 3 mengilustrasikan dehidrasi

dan overhidrasi dengan menggunakan model bejana air. Ketika menginterpretasikan kadar

elektrolit, “gambaran ahli biokimia” ini mungkin perlu dibuat untuk dapat memvisualkan

masalah apa yang terjadi dengan keseimbangan cairan pasien dan apa yang harus dilakukan

untuk mengatasinya. Ciri utama gangguan hidrasi ditunjukkan pada Tabel 1. Penilaian klinis

pada turgor kulit, tekanan intraokuler dan membrane mukosa tidak selalu dapat diandalkan. Usia

mempengaruhi elastisitas kulit dan membrane mukosa oral dapat terlihat kering pada pasien yang

bernapas lewat mulut.


Elektrolit

Permintaan pengukuran “elektrolit” serum biasanya meliputi pengukuran konsentrasi ion

natrium dan kalium, serta ion klorida dan bikarbonat. Ion natrium terdapat dalam konsentrasi

tertinggi sehingga memberikan kontribusi tertinggi terhadap osmolalitas plasma total. Meskipun

konsentrasi ion kalium di ECF relatif rendah dibandingkan konsentrasinya yang tinggi di dalam

sel, perubahan dalam konsentrasi plasma sangat penting dan dapat memiliki konsekuensi yang

membahayakan jiwa.

Konsentrasi urea dan kreatinin dapat menjadi petunjuk fungsi ginjal. Pengingkatan kedua

zat ini mengindikasikan penurunan laju filtrasi glomerulus.

Konsentrasi

Konsentrasi merupakan perbandingan dua variabel, yaitu jumlah solute (misalnya

natrium) dan jumlah air. Konsentrasi dapat berubah karena salah satu atau kedua variabel

tersebut berubah. Sebagai contoh, konsentrasi natrium 140 mmol/L dapat berubah menjadi 130

mmol/L karena jumlah natrium dalam larutan menurun atau karena jumlah air meningkat.

Osmolalitas

Cairan tubuh memiliki komposisi yang sangat beragam. Namun, sementara konsentrasi

zat-zat mungkin beragam dalam cairan tubuh yang berbeda, jumlah keseluruhan partikel solute,

osmolalitas, sama. Kompartemen-kompartemen tubuh dipisahkan oleh membrane

semipermeabel. Melalui membrane ini, air dapat berpindah-pindah secara bebas. Tekanan

osmotik akan selalu sama pada kedua sisi suatu membrane sel, dan air berpindah untuk

mempertahankan osmolalitas, meskipun perpindahan air ini menyebabkan volume sel menyusut
atau mengembang (Gambar 4). Osmolalitas ICF biasanya sama dengan DCF. Kedua

kompartemen ini mengandung larutan isotonik.

Osmolalitas larutan dinyatakan dalam mmol solute per kilogram pelarut, yang biasanya

adalah air. Pada pria, osmolalitas serum (dan semua cairan tubuh lain kecuali urine) sekitar 285

mmol/kg.

Omolalitas suatu sampel serum atau plasma dapat diukur langsung atau dapat dihitung

jika konsentrasi solut utama sudah diketahui. Banyak rumus yang dapat digunakan untuk

menghitung osmolalitas serum. Secara klinis, rumus yang paling sederhana adalah :

Osmolalitas serum (mmol/kg) = 2 x konsentrasi natrium dalam serum (mmol/L)

Rumus sederhana ini hanya boleh digunakan jika konsentrasi urea dan glukosa dalam

serum berada dalam interval yang diperbolehkan. Jika salah satu atau keduanya terlalu tinggi,

konsentrasi salah satu atau keduanya (dalam mmol/L) harus ditambahkan untuk memberikan

hasil perhitungan osmolalitas. Hasil perhitungan osmolalitas kadang menunjukkan perbedaaan

yang nyata. Ini dikenal sebagai osmlolal gap.


Tekanan onkotik

Sawar antara kompartemen intravascular dan interstisial adalah membrane kapiler.

Molekul-molekul kecil bergerak bebas melalui membrane ini maka tidak osmotik aktif ketika

melewatinya. Sebaliknya, protein plasma tidak bergerak bebas dan menunjukkan tekanan

onkotik (konsentrasi protein dalam cairan interstisial jauh lebih kecil dari dalam darah).

Keseimbangan gaya osmotik dan hidrostatik lintas membrane kapiler mungkin terganggu jika

konsentrasi protein plasma berubah secara signifikan.

Keseimbangan air dan natrium

Air tubuh dan elektrolit yang dikandungnya selalu berada dalam fluks yang konstan. Kita

minum, kita makan, kita berkemih, dan kita berkeringat; selama semua proses ini, penting bagi

kita untuk mempertahankan suatu keadaan yang tetap. Tangki bensin subuah mobil dapat

menampung 42 L, kurang lebih sama dengan kandungan air dalam tubuh seorang pria dengan

berat badan 70 kg. Jika dua liter cairan hilang dengan cepat dari tangki tersebut, indicator bensin

hamper tidak dapat menunjukkannya. Namun, jika kita kehilangan sejumlah volume yang sama

dari kompartemen intravascular, kita berada dalam masalah serius. Kita rentan terhadap

perubahan-perubahan dalam kompartemen cairan kita; karena itu, kita mempunyai sejumlah

mekanisme homeostatis yang penting untuk mencegah atau meminimalkan perubahan-perubahan

tersebut. Perubahan kadar elektrolit kita juga dipertahankan agar tetap minimum.

Air

Keseimbangan air yang normal diilustrasikan pada Gambar 1. Pemasukan air sangat

bergantung pada kebiasaan social dan sangat bervariasi. Beberapa orang minum kurang dari
setengah liter setiap hari, sedangkan beberapa orang lain minum sampai lebih dari 5 L dalam 24

jam tanpa bahaya. Rasa haus jarang menjadi faktor penentu pemasukan air di masyarakat Barat.

Pengeluaran air juga sama bervariasinya, variasi ini biasanya terlihat sebagai perubahan

volume urine yang diproduksi. Ginjal dapat member respons dengan cepat dalam memenuhi

kebutuhan tubuh untuk mengeluarkan air. Laju aliran urine dapat sangat bervariasi dalam waktu

singkat. Akan tetapi, walaupun tubuh sedang dalam kondisi perlu menahan air, manusia tetap

tidak dapat menghentikan produksi urine secara total. Kandungan air tubuh total tetap konstan

meskipun fluktuasi pemasukan air sangat besar. Ekskresi oleh ginjal diatur oleh argirin

vasopressin (AVP, disebut juga hormone antidiuretik, ADH) dengan sangat ketat.

Tubuh terus-menerus kehilangan air melalui kulit dalam bentuk perspirasi dan dari paru

dalam bentuk respirasi. Ini dikatakan pengeluaran air yang tidak dirasakan. Jumlah air yang

keluar melalui kedua jalan ini antara 500 dan 850 mL/hari. Air juga dapat keluar jika menderita

penyakit seperti fistula, diare, atau muntah yang berkepanjangan.

APV dan pengaturan osmolalitas

Sel-sel khusus di hipotalamus mendeteksi perbedaan osmolalitas antara cairan

ekstraseluler dan cairan intraseluler dan menyesuaikan ekskresi APV dari kelenjar hipofisis

posterior. Peningkatakan osmolalitas merangsang sekresi APV, sedangkan penurunan

osmolalitas menghentikan sekresi APV. APV menyebabkan penahanan air oleh ginjal.

Kekurangan cairan akan merangsang sekresi AVP endogen. APV ini akan menurunkan laju

aliran urine sampai sekecil 0,5 mL/menit untuk mempertahankan cairan tubuh. Sementara itu,

minum air 2 L dalam 1 jam dapat meningkatkan laju aliran urine sampai dengan 15 mL/menit
karena sekresi APV dihentikan. Karenanya, dengan mengatur ekskresi dan retensi air, APV

mempertahankan kadar elektrolit normal dalam tubuh.

Natrium

Kandungan natrium tubuh total seorang pria dengan berat rata-rata 70 kg kira-kira

sebesar 3.700 mmol, 75% diantaranya dapat tergantikan (Gambar 3). Seperempat bagian dari

natrium tubuh tersebut dikatakan tidak tergantikan, yang artinya natrium tersebut tergabung di

dalam jaringan, seperti tulang, dan memiliki laju pergantian yang rendah. Sebagian besar natrium

yang tergantikan berada dalam cairan ekstraseluler. Dalam cairan ekstraseluler, yang terdiri dari

plasma dan cairan interstisial, kadar natrium diatur dengan ketat pada konsentrasi 140 mmol/L.
Pemasukan natrium bervariasi, rentang kurang dari 100 mmol/hari sampai dengan lebih

dari 300 mmol/hari dapat dijumpai di masyarakat Barat. Dalam kondisi sehat, kadar natrium

tubuh total tidak akan berubah meskipun pemasukan natrium turun sampai sekecil 5 mmol/hari

atau lebih besar dari 750 mmol/hari.

Pengeluaran natrium sama variasinya dengan pemasukan natrium. Dengan kata lain,

ekskresi natrium dalam urine disesuaikan dengan pemasukan natrium. Sedangkan sebagaian

besar natrium diekskresi melalui ginjal. Sejumlah natrium hilang bersama dengan keringat (kira-

kira 5 mmol/hari) dan feses (kira-kira 5 mmol/hari). Dalam keadaan sakit, saluran cerna sering

kali menjadi rute utama kehilangan natrium. Ini merupakan hal yang sangat penting bagi klinis,

khususnya pada pelayanan pediatric, yaitu diare pada bayi dapat menyebabkan kematian akibat

deplesi natrium dan air.

Pengeluaran natrium melalui urine diatur oleh dua hormone :

 Aldosteron

 Peptide natriuretik atrial


Aldosteron

Aldosteron menurunkan ekskresi natrium melalui urine dengan meningkatkan reabsorpsi

natrium dalam tubulus ginjal dengan mengorbankan ion kalium dan hydrogen. Aldosteron juga

merangsang penyimpanan natrium melalui kelenjar keringat dan sel-sel mukosa kolon. Namun,

dalam keadaan normal, efek ini ringan. Strimulasi utama sekresi aldosteron adalah volume ECF.

Sel-sel khusus dalam alat jukstaglomerulus nefron merasakan penurunan tekanan darah

dan menyekresi rennin, tahap pertama dalam urutan peristiwa yang mengarah ke sekresi

aldosteron oleh zona glomerulus korteks adrenal (Gambar 4).

Peptide natriuretik atrial

Penting disadari bahwa air akan hanya berada di kompartemen ekstraseluler jika ditahan

dikompartemen itu oleh efek osmotic ion-ion. Karena natrium (dan anion-anion penyertanya,

khususnya klorida) terutama berada di kompartemen ekstraseluler, jumlah natrium dalam ECF

menentukan besar volume kompartemen ini. Ini merupakan konsep yang penting.
Aldosteron dan AVP berinteraksi untuk mempertahankan volume dan konsentrasi normal

ECF. Bayangkan seorang pasien yang muntah dan mengalami diare akibat infeksi saluran cerna.

Jika tidak ada asupan cairan, pasien ini akan mengalami deplesi cairan. Telah terjadi kehilangan

air dan natrium. Karena volume ECF rendah, sekresi aldosteron tinggi. Jadi, begitu pasien mulai

mendapatkan asupan cairan secara oral, setiap garam yang diingesti ditahan secara maksimal.

Karena ini akan menaikkan osmolalitas ECF, kerja APV memastikan bahwa air tertahan juga.

Dengan demikian, interaksi aldosteron dan APV berlanjut sampai volume dan komposisi cairan

ECF kembali normal.

Hiponatremia: patofisiologi

Hiponatremia didefenisikan sebagai konsentrasi natrium serum dibawah interval referensi

135-145 mmol/L. Hiponatremia merupakan abnormalitas yang paling sering ditemukan dalam

biokimia klinis.

Terjadinya hiponatremia

Konsentrasi natrium dalam serum hanyalah perbandingan natrium (dalam milimol)

terhadap air (dalam liter), dan hiponatremia dapat terjadi karena kehilangan ion natrium atau

retensi air.

 Kehilangan natrium. Natrium merupakan kation ekstraseluler utama dan sangat berperan

penting dalam mempertahankan volume dan tekanan darah, melalui pengaturan gerakan

pasif air secara osmotic. Jadi, ketika terjadi deplesi natrium yang signifikan, air hilang

bersama dengan natrium tersebut, dan menyebabkan timbulnya tanda klinis yang

karakteristik yang dengan deplesi kompartemen ECF (cairan ekstraseluler). Deplesi


natrium primer harus selalu diperhatikan secara aktif dan ditangani; gagal mengatasi hal

ini dapat berakibat fatal.

 Retensi air. Retensi air dalam kompartemen-kompartemen tubuh mengencerkan

konstituen-konstituen ruang ekstraseluler termasuk natrium sehingga menyebabkan

hiponatremia. Retensi air lebih sering terjadi dibandingkan kehilangan natrium. Jika tidak

ada bukti terjadi kehilangan cairan dari riwayat pemeriksaan, mekanisme yang sangat

mungkin terjadi adalah retensi air.

Retensi air

Retensi air biasanya disebabkan oleh gangguan ekskresi air dan, walaupun jarang, karena

peningkatan asupan (selalu ingin minum air). Sebagian besar pasien hiponatremia yang

disebabkan oleh retensi air menderita sindrom antidiuresis yang tidak sesuai (inappropriate

antidiuresis, SIAD). SIAD dapat terjadi dalam berbagai kondisi, misalnya infeksi, kanker,

penyakit di bagian dada, dan trauma (termasuk operasi); SIAD juga dapat disebabkan oleh obat.

SIAD terjadi karena sekresi arginin vasopressin (AVP) yang tidak sesuai. Sementara pada orang

yang sehat, konsentrasi AVP berfluktuasi antara 0 dan 5 pmol/L karena perubahan osmolalitas,

pada keadaan SIAD, dapat terlihat kenaikan besar (non-osmotik) hingga mencapai 500 pmol/L.

Stimulus non-osmotik yang kuat mencakup hipovolemia dan/atau hipotensi, mual dan muntah,

hipoglikemia, dan nyeri. Frekuensi terjadinya SIAD dalam praktik klinis mencerminkan luasnya

prevalensi stimulus ini. APV memiliki efek lain dalam tubuh selain mengatur penanganan air

dalam ginjal.
Kehilangan natrium

Deplesi natrium sangat jarang terjadi dan hanya terjadi jika ada kehilangan natrium

patologis, baik melalui saluran cerna atau melalui urine. Kehilangan melalui saluran cerna

biasanya meliputi kehilangan melalui muntah dan diare. Pada pasien yang mengalami fistula

karena penyakit usus, kehilangan natrium kemungkinan berat. Kehilangan melalui urine dapat

terjadi karena defisiensi mineralokortikoid (khususnya aldosteron) atau karena obat yang

mengantagonis aldosteron, misalnya spironolakton.

Dalam semua situasi diatas, kehilangan natrium awalnya diikuti dengan kehilangan air

dan konsentrasi natrium dalam serum tetap normal. Dengan berlanjutnya kehilangan natrium dan

air, penurunan ECF dan volume darah menstimulasi sekresi AVP secara non-osmotik,

melampaui mekanisme control osmotic. Peningkatan sekresi AVP menyebabkan retensi air

sehingga pasien mengalami hiponatremia. Alasan lain hiponatremia adalah karena deficit cairan

yang mengandung natrium isotonic hanya digantikan oleh air.

Seperti dijelaskan diatas, ketika terjadi deplesi natrium yang signifikan, air hilang

bersama natrium tersebut sehingga terjadi tanda klinis deplesi volume darah dan ECF yang

karakteristik. Dalam konteks hiponatremia, temuan ini dapat menjadi diagnosis deplesi natrium;

temuan klinis ini merupakan bukti deplesi cairan (air), sedangkan hiponatremia mengindikasikan

bahwa perbandingan natrium terhadap air menurun.

Deplesi natrium-hal yang perlu diperhatikan

Tidak semua pasien deplesi natrium mengalami hiponatremia. Pasien yang kehilangan

natrium karena dieresis osmotic dapat mengalami hipernatremia jika air yang lebih besar dari

antrium. Deplesi natrium yang dapat mengancam jiwa juga dapat terjadi pada keadaan
konsentrasi natrium dalam serum normal. Singkatnya, konsentrasi natrium dalam serum tidak

langsung memberikan bukti tentang terjadinya atau keparahan deplesi natrium (Gambar 2).

Dalam hal ini, anamnesis dan pemeriksaan klinis jauh lebih penting.

Pseudohiponatremia

Hiponatremia terkadang ditemukan pada pasien hiperproteinemia atau hiperlipidemia.

Pada pasien-pasien ini, jumlah protein atau lipoprotein yang mengikat menempati volume

plasma yang lebih luas dari pada biasanya, sedangkan air menempati volume yang lebih kecil

(Gambar 3). Natrium dan elektrolit-elektrolit lain hanya terdistribusi dalam fraksi air, dan pasien-

pasien ini memiliki konsentrasi natrium yang normal dalam air plasmanya. Namun, banyak

mentode yang digunakan dalam alat analisis mengukur konsentrasi natrium dalam volume

plasma total, dan tidak memperhitungkan fraksi air yang menempati volume plasma total yang

berkurang dibandingkan biasanya. Dengan demikian, natrium rendah palsu dapat terjadi dalam
kondisi ini. Harus dibuat dugaan pseudohiponatremia jika terjadi ketidaksesuaian antara tingkat

hiponatremia yang tampak dan gejala yang seharusnya ada akibat konsentrasi natrium yang

rendah, misalnya seorang pasien dengan konsentrasi 110 mml/L yang benar-benar asimtomatik.

Osmolalitas serum tidak dipengaruhi oleh perubahan apa pun pada fraksi volume plasma total

yang ditempati oleh protein atau lipid, karena tidak terlarut dalam fraksi air dan karenanya, tidak

mempengaruhi osmolalitas. Jadi, osmolalitas serum yang normal pada pasien hiponatremia verat

merupakan dugaan kuat pseudohiponatremia. Hal ini dapat ditentukan dengan menghitung

selisih osmolal, yaitu perbedaan antara osmolalitas hasil pengukuran dengan osmolalitas hasil

perhitungan.

Hiponatremia: penilaian dan penatalaksanaan

Penilaian klinis

Klinisi yang menilai seorang pasien menderita hiponatremia harus bertanya pada dirinya

sendiri beberapa pertanyaan berikut.


 Apakah saya berhadapan dengan hiponatremia yang berbahaya (membahayakan jiwa)?

 Apakah saya berhadapan dengan retensi air atau kehilangan natrium?

 Bagaimana saya harus mengobati pasien ini?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, klinisi harus menggunakan riwayat pasien,

temuan dari pemeriksaan klinis, dan hasil pemeriksaan laboratorium. Setiap informasi ini dapat

memberikan petunjuk yang berharga.

Keparahan

Dalam menilai risiko morbiditas atau mortilitas yang serius pada pasien hiponatremia,

beberapa informasi berikut harus digunakan:

 Konsentrasi natrium dalam serum

 Kecepatan konsentrasi natrium turun dari nilai normal ke nilainya sekarang

 Adanya tanda atau gejala yang dapat dikaitkan dengan hiponatremia

 Adanya bukti deplesi natrium

Konsentrasi natrium dalam serum itu sendiri memberikan suatu indikasi hiponatremia

yang berbahaya atau mengancam jiwa. Banyak klinisi berpengalaman menggunakan konsentrasi

120 mmol/L sebagai nilai ambang untuk mencoba menilai risiko (risiko menurun pada

konsentrasi jauh lebih besar dari 120 mmol/L; risiko meningkat tajam pada konsentrasi kurang

dari 120 mmol/L). Namun demikian, penetapan batas yang sembarang ini harus diberlakukan

secara hati-hati, khususnya jika tidak diketahui seberapa cepat konsentrasi natrium turun dari

nilai normal ke nilainya sekarang. Seorang pasien yang konsentrasi natrium dalam serumnya

turun dari 145 menjadi 125 mmol/L dalam 24 jam kemungkinan memiliki risiko besar.
Klinisi sering kali harus bergantung pada riwayat pasien semata, khususnya pemeriksaan

klinis, untuk menilai risiko pada pasien. Gejala-gejala akibat hiponatremia menceriminkan

disfungsi neurologis yang disebabkan oleh overhidrasi serebral yang dipicu oleh hipoosmolalitas.

Gejala-gejala tersebut tidak spesifik, antara lain nausea, malaise, sakit kepala, letargi, dan

penurunan kesadaran. Kejang, koma, dan tanda neurologis fokal biasanya tidak terjadi sampai

konsentrasi natrium kurang dari 110 sampai 115 mmol/L.

Jika ada bukti klinis deplesi natrium, risiko mortilitas tinggi jika pengobatan tidak segera

dilaksanakan.

Mekanisme

Anamnesis

Kehilangan cairan, misalnya melalui saluran cerna atau hinjal, harus selalu berusaha

ditemukan sebagai petunjuk yang mungkin ditemukan sebagai petunjuk yang mungkin mengarah

pada kehilangan natrium primer. Meskipun tidak ada sumber kehilangan yang dapat langsung

diidentifikasi, pasien harus ditanyakan mengenai adanya gejala-gejala yang mungkin

mencerminkan terjadi deplesi natrium, seperti pusing, lemah, dan kepala terasa ringan.

Jika tidak ada riwayat kehilangan cairan, kemungkinan besar terjadi retensi air. Banyak

pasien tidak akan begitu saja menyebutkan riwayat retensi air. Namun, pengambilan riwayat

harus ditunjukan untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab SIAD. Sebagai contoh, rigor

mungkin mengarah pada adnya infeksi atau kehilangan berat badan mengarahkan pada adanya

kanker.
Pemeriksaan klinis

Tanda klinis yang mencirikan deplesi ECF dan volume darah ditunjukkan pada Gambar

1. Tanda-tanda ini harus selalu ditemukan; pada pasien hiponatremia, tanda-tanda tersebut

merupakan diagnostic deplesi natrium. Jika tanda-tanda ini muncul dalam keadaan berbaring, ini

berarti terjadi deplesi natrium mengancam jiwa yang berat dan sangat dibutuhkan pengobatan

segera. Pada fase awal deplesi natrium, hipotensi postural kemungkinan merupakan tanda satu-

satunya. Sebaliknya, meskipun ada dugaan kuat terjadi retensi air, mungkin tidak ada bukti klinis

berlebihan beban air. Ada dua alasan yang logis untuk hal ini. Pertama, retensi air akibat SIAD

terjadi secara bertahap, seringkali berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Kedua, air

yang tertahan didistribusikan merata di seluruh kompartemen tubuh, dengan demikian,

peningkatan volume ECF diminimalkan.


Biokimia

Deplesi natrium sebagian besar didiagnosis berdasarkan alasan klinis, sementara pada

pasien dugaan retensi air, riwayat dan pemeriksaan mungkin tidak luar biasa. Namun demikian,

deplesi natrium dan SIAD menunjukkan gambaran biokimia yang sama (Tabel 1), yaitu

penurunan osmolalitas serum menggambarkan hiponatremia dan osmolalitas urine yang tinggi

menunjukkan sekresi AVP. Pada kondisi deplesi natrium, sekresi AVP sesuai dengan

hipovolemia yang disebabkan oleh kehilangan natrium dan air. Pada SIAD, hal itu tidak sesuai

(non-osmotik). Ekskresi natrium dalam urine seringkali menungkat pada kondisi SIAD (keadaan

hipervolemik). Deplesi natrium dapat kecil atau besar bergantung pada apakah kehilangan

patologis tersebut dari saluran cerna atau ginjal.

Edema

Edema adalah suatu akumulasi cairan komapartemen interstisial. Kondisi ini mudah

diketahui dengan melihat adanya pitting pada anggota gerak bawah pada pasien rawat jalan atau
pada daerah sacrum pada pasien rawat inap. Edema disebabkan oleh penurunan volume darah

efektif yang bersirkulasi akibat gagal jantung atau hipoalbuminemia.

Kedua kondisi tersebut mengakibatkan hiperaldosteronisme sekunder. Aldosteron

menyebabkan retensi natrium (dan air) sehingga meningkatkan volume ECF. Pasien edema

selanjutnya dapat mengalami hiponatremia meskipun retensi natrium akbiat hipovolemia efektif

juga merangsang sekresi AVP, yang akibatnya semakin memperbesar retensi air (Gambar 3).

Pengobatan

Pasien hipovolemia mengalami deplesi natrium dan harus mendapat sulih natrium. Pasien

normovolemia kemungkinan mengalami retensi air dan harus dibatasi asupan cairannya. Pasien

edema memiliki jumlah natrium dan air total yang berlebihan dalam tubuh. Pasien demikian

harus diberikan diuretic untuk memicu natriuresis dan dibatasi asupan cairannya. Pengobatan

yang lebih kuat mungkin perlu diberikan (biasanya membutuhkan salin hipertonik) jika tampak

gejala-gejala yang menunjukkan hiponatremia atau konsentrasi natrium kurang dari 110 mmol/L.

Anda mungkin juga menyukai