TUGAS KELOMPOK
PENDIDIKAN ANTI KORUPSI
Disusun Oleh :
1.Heriyanto 1161201000883
2.Fahrunisa 1161201000969
3.Halimah 1161201000901
4.Yuli Agustina 1161201000949
Siapa yang wajib berupaya menanggulangi korupsi.korupsi akan dapat diberantas jika
semua pihak mempunyai keinginan yang sama untuk memberantasnya. Pihak yang perlu turut
berperan dalam mengatasi masalah korupsi adalah Negara (melaui badan badan resmi),
penegak hukum dan masyarakat (melalui organisasi atau perorangan.
Budaya Korupsi Di Indonesia
Suharto telah menapakkan kekuasaanya pada fase saat korupsi telah menjadi budaya. Apa yang
terjadi setelah 35 tahun pemerintahannya adalah sebuah proses penguatan untuk menjadi sebuah
peradaban. Kata membudaya memberikan pemahaman bahwa perilaku korupsi ini telah masuk dalam
struktur kesadaran masyarakat sebagai proses wajar dan tak terbantahkan oleh relasi sosial, politik, dan
ekonomi. Karena korupsi secara kultural telah menjadi bagian struktur kesadaran dan budaya masyarakat
Indonesia, sikap anti korupsi dipahami sebagai anti atau memerangi budaya sendiri. Korupsi di Indonesia
saat ini semakin terbongkar kriminalitasnya, dimana kasus-kasus tersebut seringkali diberitakan media
massa, sehingga perspektif masyarakat terhadap kinerja pemerintah buruk dan kurang mempercayai
pengelolaan Negara.
Sejarah Korupsi Di Indonesia
Korupsi di Indonesia sudah 'membudaya' sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan,
di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan
untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api
a.Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh "budaya-tradisi korupsi" yang
tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak
bagaimana tradisi korupsi terjalin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai
tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-
Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-
lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari
ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai
terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan
Kekuasaan di Indonesia.
Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka
saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi
- memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan - belum nampak di permukaan
"Wajah Sejarah Indonesia".
Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram)
adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui
berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa.
Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha
Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram
Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor
intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah
sudah ada yang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu
menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit
bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan
aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan "character building", mengabaikan hukum
apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah
dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.
Belanda memahami betul akar "budaya korup" yang tumbuh subur pada bangsa
Indonesia, maka melalui politik "Devide et Impera" mereka dengan mudah menaklukkan
Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan
penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan
kekuasaan yang tiada berakhir, serta "berintegrasi' seperti sekarang. Gelaja korupsi dan
penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan
raja, sedangkan rakyat kecil nyaris "belum mengenal" atau belum memahaminya.
Perilaku "korup" bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya
orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar "mengkorup" harta institusi atau
pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena
korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan
korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan
termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda
juga gemar korup.
Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di
samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh,
upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan
standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya,
apalagi harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul
pajak cenderung berperilaku "memaksa" rakyat kecil, di pihak lain menambah "beban"
kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.
Kebiasaan mengambil "upeti" dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh
Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 - 1942) minus Zaman Inggris (1811 - 1816), Akibat
kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja
misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 - 1837), Aceh (1873 - 1904)
dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi
(rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja
misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem "Cuituur Stelsel (CS)" yang secara
harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan
tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.
Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat "manusiawi" dan
sangat "beradab", namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip
Dwang Stelsel (DS), yang artinya "Sistem Pemaksaan". Itu sebabnya mengapa sebagian besar
pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti
ungkapan "Sistem Pembudayaan" menjadi "Tanam Paksa".
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Presiden
Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga
segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa
Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad
itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa
Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK.
Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot
masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa
yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat
beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ
Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan
antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina.
Namun kornite ini hanya "macan ompong" karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di
Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib
(Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya
melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul
perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut
pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil
dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada
Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun
hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.
d. Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya "korupsi" lebih banyak dilakukan oleh
kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara
negara sudah terjangkit "Virus Korupsi" yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru,
korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan
meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan
DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama
rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara
murni, kecuali secara "konkesuen" alias "kelamaan".
Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi
atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya,
Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan
dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk
rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung,
TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya.
pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak
bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi.
Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di
tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan
masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi
dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki
Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun
menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi
sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya
menjual aset-aset negara.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum
semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya
konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri.
Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King,
lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA
kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak
serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi
perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan
perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan
kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
Pelajaran apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas korupsi
tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan
negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan
rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit
pemerintahan rnenjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua
itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa,
sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat. (amanahonline)
PEMBAHASAN
Mengapa Korupsi Masih Terjadi Di Indonesia
Korupsi dari segi bahasa berarti busuk, rusak, menyogok. Sedangkan secara istilah dapat
diartikan perbuatan melawan hukum dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan
sarana guna memperkaya diri sendiri, orang lain, atau kelompok yang berakibat kerugian
keuangan atau perekonomian negara atau kelompoknya. Korupsi di Indonesia telah terjadi sejak
jaman kerajaan-kerajaan berkuasa di Indonesia hingga kini dimana Indonesia telah menjadi
negara berdaulat dan merdeka selama 65 tahun.
Pada masa-masa kerajaan korupsi terlihat dari tumbangnya kerajaan-kerajaan besar
contohnya: Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, dan Kerajaan Mataram. Kerajaan Sriwijaya
berakhir karena tidak adanya pemimpin yang cakap sepeninggal Balaputra Dewa , Kerajaan
Majapahit hancur karena perang saudara sepeninggal Mahapatih Gajah Mada, lalu Kerajaan
Mataram terpecah belah karena diadu domba oleh VOC. Hal ini menunjukan pemimpin jaman
dulu juga lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan kerajaannya. Setelah
masa kerajaan usai nusantara dikuasai oleh VOC yang juga memiliki peranan dalam budaya
korupsi di Indonesia , mereka hancur karena korupsi para elitnya yang menggerogoti dari dalam.
Pada masa kemerdekaan pun tidak luput dari tindak korupsi contohnya kasus korupsi Ruslan
Abdulgani yang menyebabkan dibredelnya koran Indonesia Raya karena meliput kasus ini. Pada
masa orde baru korupsi semakin jelas terjadi, rakyat memang merasakan kemakmuran akan
tetapi utang negara semakin menjulang tinggi bahkan sampai saat ini belum dapat terlunasi dan
banyak sumberdaya alam potensial indonesia digadaikan pada pihak asing. Pada masa reformasi
hingga sekarang korupsi juga belum juga dapat diatasi bahkan malah timbul banyak korupsi gaya
baru seperti kasus BLBI, kasus Bank Century, kasus Gayus, dan kasus-kasus lainnya.
Jika ada pertanyaan mengapa korupsi sampai saat ini masih saja terus terjadi? Akan
timbul banyak jawaban yang saling berkaitan seperti sistem pemerintahan Indonesia, hukum
yang kurang tegas, aparat penegak hukum yang korup, dan mental para pemimpin yang buruk.
Keempat hal tersebut tidak dapat dipisahkan dan harus di benahi seluruhnya bila ingin
mengurangi dan menghilangkan tindak korupsi di Indonesia.
Sistem pemerintahan demokrasi yang dianut Indonesia memang sangat rentan terhadap
terjadinya korupsi karena banyak pihak yang dapat memepengaruhi pemerintahan, contohnya
hak prerogratif presiden dalam membentuk kabinet, presiden dapat memilih orang-orang yang
mau mendukungnya secara materiil sebagai menteri padahal orang tersebut belum tentu mampu
menjalankan tugasnya dan bahkan akan mencari keuntungan dari jabatanya untuk
mengembalikan dana yang telah ia sumbangkan kepada presiden saat pemilihan presiden, lalu
lembaga pengawas pemerintahan yaitu DPR juga sangat mungkin melakukan korupsi saat
merumuskan atau merubah suatu undang-undang. Dan pengawasan DPR terhadap pemerintah
juga sangat lemah sehingga pemerintah masih sangat mungkin melakukan korupsi.
Hukum pidana tentang tindak pidana korupsi yang diatur dalam KUHP dinilai masih
sangat lemah. Memang tidak perlu sampai diberlakukan hukuman mati bagi koruptor seperti
yang di berlakukan di Negara China, tapi untuk tindak pidana korupsi yang merugikan negara
dalam jumlah besar seharusnya diberi hukuman seumur hidup dan tanpa remisi ataupun grasi.
Agar terjadi efek jera dan juga sebagai pelajaran bagi pejabat-pejabat baru.
Selain hukum yang masih lemah terjadinya korupsi di Indonesia juga didukung dengan
aparat hukum yang korup mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, hingga Pengadilan. Kepolisian bisa
menghentikan penyelidikan bila koruptor mampu menyuapnya. Dan apabila tidak, Kejaksaan
dapat mengeluarkan Surat Pemberhentian Penyidikan Perkara (SP3) bila ada uang suap dari
koruptor. Apabila masih berlanjut ke Pengadilan vonis yang jatuh pasti akan ringan bahkan bebas
bila hakim berhasil disuap . Hal ini menyebabkan mudahnya para pejabat yang terjerat kasus
korupsi untuk membebaskan diri dari jeratan hukum dengan jalan menyuap dari hasil uang
korupsi. Sehingga sebanyak apapun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melimpahkan kasus
korupsi ke pihak kepolisian akan menjadi percuma. Bahkan beberapa waktu lalu ada upaya
pelemahan KPK oleh institusi hukum lain yang takut diselidiki mengenai kasus korupsi di
dalamnya.
Mental para pemimpin dan pejabat yang ada di Indonesia sebenarnya merupakan faktor
terpenting yang menyebabkan korupsi masih terjadi hingga saat ini. Kebanyakan pemimpin dan
pejabat yang memimpin saat ini adalah hasil didikan pada masa orde baru yang sangat korup
sehingga mental mereka masihlah mental korup. Dan sepertinya korupsi masih akan terus terjadi
apabila para pemimpin masih berasal dari generasi pemimpin saat ini.
Bagaimana Cara Untuk Mengatasi Korupsi Di Indonesia
Ada beberapa cara untuk mengatasi korupsi di Indonesia yaitu :
a.Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan
partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan tidak bersifat acuh tak acuh. Kesadaran rakyat
dalam memilih pemimpin sesuai dengan hati nurani yang dianggap paling baik dan tidak
menerima suap merupakan salah satu langkah untuk menghindari adanya kasus korupsi.
b.Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu dengan mengutamakan kepentingan
nasional. Penanaman nasionalisme sejak dini pada generasi penerus bangsa juga sangat
diperlukan agar mereka mencintai bangsa dan Negara Indonesia diatas kepentingan sendiri
sehingga kelak jika menjadi pemimpin ia akan menjadi sesosok pemimpin yang memikirkan
bangsa Indonesia diatas kepentingan pribadinya.
c.Para pemimpin dan pejabat memberikan tauladan, memberantas dan menindak korupsi.
Para pemimpin saat ini haruslah menjadi tauladan yang baik bagi penerus bangsa, yaitu sesosok
pemimpin yang jujur, adil, dan anti korupsi, serta berupaya keras dalam membongkar dan
memberikan sanksi yang tegas kepada para pelaku korupsi, bukan malah sebaliknya.
d.Adanya sangsi kekuatan untuk menindak, memberantas, dan menghukum tindak
korupsi. Sanksi yang tegas dan tidak memihak memang sangat diperlukan dalam menangani
kasus korupsi di Indonesia. Para pelaku korupsi harus dijatuhi hukuman setimpal yang dirasa
dapat memberikan efek jera takut baik bagi pelaku maupun orang lain yang akan melakukan
tindakan korupsi.
e.Pentingnya ajaran agama, kasus korupsi seperti sekarang ini sebenarnya tidak akan
terjadi apabila semua pemimpin atau birokrasi pemerintahan mempunyai landasan agama yang
kuat. Dalam semua ajaran agama pastinya melarang perbuatan korupsi. Korupsi sama saja
dengan mencuri, mencuri uang rakyat dan menyengsarakan mereka. Hal tersebut memrupakan
perbuatan dosa yang dapat membawa kita kelembah kesengsaraan yaitu neraka. Darah dan tubuh
dari pelaku korupsi beserta anggota keluarga yang menikmati harta hasil korupsi tersebut telah
tercemari oleh makanan haram hasil korupsi yang tidak akan berkah dalam menjalani kehidupan
sehari-hari. Jika seseorang memiliki landasan agama yang kuat, mereka pasti tahu dan akan takut
melakukan perbuatan korupsi sehingga secara otomatis mereka akan menjauhi perilaku ini
dengan sendirinya tanpa perlu adanya paksaan dan pengawasan khusus, sebab mereka telah
merasa diawasi Tuhan Yang Maha Kuasa. Maka dari itu pendidikan agama dan penanaman iman
dan takwa sangat diperlukan guna mengurangi atau bahkan menghilangkan terjadinya kasus
korupsi yang sekarang ini kian merajalela di Indonesia.
f.Pentingnya peran pendidikan, terlepas dari masalah korupsi itu sebagai budaya atau
bukan yang jelas peran pendidikan akan dapat membantu menigkatkan ketahanan masyarakat
dalam menghadapi dan memberantas korupsi. Pendidikan merupakan intrumen penting dalam
pembangunan bangsa baik sebagai pengembang dan peningkat produktifitas nasional maupun
sebagai pembentuk karakter bangsa. Buruknya manusia dapat tranformasikan kedalam hal yang
positif melalui pendidikan, karena pendidikan ialah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan Negara
PENUTUP
Kesimpulan
Korupsi yang terjadi di Indonesia disebabkan mental pemimpin yang buruk. Jadi
walaupun sebaik apapun sistem pemerintahan, setegas apapun hukum, dan sebersih apapun
aparat akan percuma bila mental pemimpin dan pejabat negeri ini masih buruk dan korupsi pasti
masih akan terus lestari. Untuk itu sekarang kita harus menyadarkan para pemimpin untuk
memperbaiki mentalnya, dan apabila sudah tidak dapat diperbaiki maka sebaiknya untuk diganti
dengan pemimpin yang amanah dan bermental baik serta siap susah demi rakyat. Kita sebagai
generasi muda calon pemimpin bangsa sudah seharusnya menjaga hati dan mental agar tetap
jujur dan tidak berubah menjadi mental koruptor.
Harapan
Kita sebagai mahasiswa (tidak semua orang bisa menuntut ilmu diperguruan tinggi)
harus bersukur dan bersungguh-sungguh dalam menutut ilmu kita, karena ditangan kitalah nasib
negara ini mau dibawa kearah mana, apakah menjadi Negara yang menempati pringkat tertinggi
di dunia dalam prestasi atau malah menjadikan negara ini lebih korup dari yang sekarang ini.
Dengan kita belajar pendidikan anti korupsi diharapkan kita dapat mempelajari,
memahami, mencegah, serta tidak melakukan tindak korupsi. Dengan begitu generasi muda
dimasa yang akan datang akan memiliki mental dan moral yang baik diantara penerapannya
sebagai pemimpin dan lain-lain, bukan mental atau moral koruptor seperti dalam sejarah korupsi
Indonesia yang membudaya sejak dahulu sebelum dan sesudah kemerdekaan ,diera orde lama,
orde baru dan era reformasi.
Poskan Komentar
Arsip Blog
2012 (7)
o Desember (1)
o November (1)
o Oktober (5)
Mengenai Saya
heri yanto
Lihat profil lengkapku
Template PT Keren Sekali. Gambar template oleh duncan1890. Diberdayakan oleh Blogger.