MODUL 3
DIKLAT PERENCANAAN LOKASI TPA SAMPAH
BERBASIS GEOLOGI
Disampaikan dalam Diklat Perencanaan Lokasi TPA Sampah Berbasis Geologi yang
diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Geologi, Badan Diklat Energi Dan
Sumber Daya Mineral, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral.
Berdasarkan hasil evaluasi berbagai pihak terhadap keberadaan TPA Sampah selama ini
disepakati bahwa pemilihan lokasi TPA Sampah harus direncanakan sesuai dengan
parameter geologi dan non geologi yang tertuang dalam SNI No. 03-3241-1994 dan
Undang Undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Untuk memenuhi
kenginan tersebut telah disusun Kurikulum Standar Diklat Perencanaan Lokasi TPA
Sampah berbasis Geologi pada tahun 2008. Modul ini merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kurikulum standar diklat tersebut.
Kami sangat berterima kasih apabila terdapat kritik dan saran yang sangat bermanfaat di
dalam penyempurnaan modul Analisis Kelayakan Regional untuk TPA Sampah ini.
KATA PENGANTAR 3
DAFTAR ISI 4
PETA KEDUDUKAN MODUL 6
GLOSARIUM 7
BAB 1. PENDAHULUAN 8
1.1. Deskripsi 8
1.2. Prasyarat 8
Peran widyaiswara/instruktur 9
1.5. Kompetensi 9
BAB 2. PEMBELAJARAN 11
2.2.3. Rangkuman 1 15
2.2.4. Tugas 1 16
2.3.3. Rangkuman 2 27
2.3.4. Tugas 2 28
2.4.3. Rangkuman 3 34
2.4.4. Tugas 3 34
BAB 3. EVALUASI 37
BAB 4. PENUTUP 40
DAFTAR PUSTAKA 41
GEOLOGI LINGKUNGAN
UNTUK TPA SAMPAH 2
ANALISIS REGIONAL
UNTUK TPA SAMPAH 3
PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN PENGELOLAAN
SAMPAH 6
SISTEM PENGELOLAAN
TPA SAMPAH 7
GLOSARIUM
BAB 1
PENDAHULUAN
Modul ini berisi pengetahuan tentang analisis kelayakan regional untuk penentuan lokasi
Tempat Pengelolaan Akhir (TPA) Sampah berdasarkan kajian Geologi Lingkungan. Modul
ini sangat terkait dengan modul Geologi Lingkungan untuk TPA Sampah dan Metode
Pemilihan Lokasi TPA yang berperan sebagai dasar pengetahuan untuk analisis kelayakan
regional dalam pemilihan lokasi TPA Sampah. Dengan mempelajari modul ini diharapkan
peserta diklat dapat memilih calon lokasi TPA pada suatu wilayah dengan tepat, sehingga
dapat mengurangi terjadinya pencemaran terhadap lingkungan di daerah masing-masing.
1.2. PRASYARAT
Sebelum mempelajari modul ini, peserta diklat diharuskan untuk mempelajari modul
Geologi Lingkungan untuk TPA Sampah dan Metode Pemilihan Lokasi TPA, sebagai
pengetahuan dasar dalam merencanakan kegiatan penentuan lokasi TPA Sampah berbasis
geologi.
Dalam mempelajari modul ini, peserta diklat diarahkan untuk membaca dengan seksama
beberapa metode yang dipergunakan di dalam analisis kelayakan regional untuk penentuan
lokasi TPA Sampah. Kemudian mencoba menjawab beberapa pertanyaan dalam tes
formatif di akhir kegiatan belajar dan menyelesaikan tugas dalam lembar kerja praktik
dengan baik, tanpa melihat kunci jawabannya. Kunci jawaban dipergunakan untuk
mengukur kemampuan belajar peserta diklat apabila semua pertanyaan dalam tes formatif
selesai dikerjakan.
Setelah mempelajari modul ini dan menyelesaikan tugas contoh kasus, peserta diharapkan
dapat memilih calon lokasi TPA Sampah pada suatu wilayah sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
1.5. KOMPETENSI
Kompetensi yang akan dipelajari dalam modul ini adalah merencanakan kegiatan
penenuan lokasi TPA Sampah dengan elemen kompetensi memilih calon lokasi TPA
Sampah. Elemen kompetensi tersebut terdiri dari 3 (tiga) kriteria unjuk kerja (KUK)
sebagai berikut:
a. Kebutuhan lahan TPA dijelaskan.
b. Kelayakan regional TPA ditentukan.
c. Calon lokasi TPA Sampah dipilih.
Peserta dianggap telah siap untuk mempelajari modul ini, apabila dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a. Secara garis besar ada berapa macam metode pemilihan lokasi TPA Sampah?
b. Sebutkan parameter-parameter dalam Geologi Lingkungan yang dipergunakan dalam
perencanaan pemilihan lokasi TPA Sampah!
WAKTU
NO JENIS KEGIATAN URAIAN MATERI TEMPAT
TEORI PRAKTIK TOTAL
1 Menjelaskan kebutuhan 1. Permasalahan TPA Sampah dan Ruang 1 0 1
terhadap lahan TPA Sampah dampaknya terhadap lingkungan Kuliah
2. Timbunan sampah sebagai
sumber pencemaran dan contoh
kasus dari TPA Babylon
Sampah perkotaan akan tetap merupakan salah satu persoalan yang rumit yang dihadapi
oleh pengelola kota dalam menyediakan sarana dan prasarana perkotaannya. Di samping
persoalan bagaimana menyingkirkan sampah secara baik agar kota tersebut menjadi bersih
Limbah padat atau dengan istilah umumnya adalah sampah merupakan salah satu dampak
yang ditimbulkan oleh aktivitas masyarakat baik yang bersifat domestik maupun non-
domestik. Kehadiran sampah merupakan salah satu persoalan yang dihadapi oleh
masyarakat dan pengelola, terutama dalam pengelolaan, menyediakan sarana dan
prasarananya. Sarana pengelolaan limbah padat yang seringkali menjadi tumpuan akhir
pengelolaan adalah ketersediaan tempat Pengelolaan akhir. Tempat pembuangan akhir
seringkali menjadi dilematik baik secara teknis pengelolaan maupun keberadaannya
terhadap pencemaran lingkungan sekitar, termasuk dampak terhadap kehidupan sosial dan
budaya masyarakat di sekitar tempat Pengelolaan akhir.
Pemilihan lokasi Tempat Pengelolaan Akhir (TPA) Sampah secara langsung tanpa
didukung adanya informasi yang memadai dapat beresiko tinggi terhadap lingkungan.
Beberapa masalah yang dapat terjadi diantaranya seperti:
1. Pencemaran air tanah yang disebabkan oleh leachate.
Tidak adanya lapisan penutup sampah akan menyebabkan semakin banyaknya air yang
masuk ke dalam timbunan dan akan menimbulkan leachate yang semakin banyak.
Leachate ini akan dapat mencemari air tanah yang biasa digunakan sebagai sumber air
bersih penduduk.
2. Pencemaran udara akibat gas, bau dan debu.
Ketiadaan tanah penutup akan juga menyebabkan polutan dari sampah yang
menyebabkan polusi udara tidak teredam. Produksi gas yang timbul dari degradasi
Sumber kontaminasi dapat berada di udara maupun di darat (terestrial), dimana sumber
terestrial dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu satu titik sumber kontaminasi
(point sources) dan lebih dari satu titik sumber kontaminasi (nonpoint sources).
Pengelolaan sampah yang dipusatkan pada suatu lokasi TPA termasuk ke dalam kelompok
point sources.
Contoh Kasus : Kontaminasi dari TPA Babylon, Suffolk County, New York.
TPA Babylon (Babylon Landfill Site) dipergunakan sejak tahun 1947 untuk penimbunan
sampah rumah tangga dan limbah pabrik. Lokasinya terletak di atas endapan glasial yang
terdiri dari pasir dan gravel dengan ketebalan kurang lebih 30 m. Muka airtanah pada
endapan ini memotong bagian terbawah dari landfill selama paling sedikit satu bagian
pertahun. Muka airtanah tertinggi (50 ft) dicapai pada musim semi dan terendah pada
musim dingin tiap tahunnya. Kontaminasi air tanah dimonitor melalui penentuan bentuk
tiga dimensi dari air yang terkontaminasi, kecepatan air tanah yang terkontaminasi, dan
perbedaan antara pola kontaminasi yang teramati dengan pola yang diperkirakan dari
pemodelan aliran air tanah. Monitoring dilakukan melalui pengambilan sampel dari 90
buah sumur, yang masing-masing diukur kedalamannya. Komposisi kimiawi dari sampel-
sampel tersebut disebandingkan dengan komposisi kimiawi dari air tanah pada sumur yang
diyakini belum terkontaminasi. Hal ini kemudian memberikan suatu ukuran kontaminasi
dan pola penyebaran air lindian sampah (leachate plume).
Air tanah yang terkontaminasi mengandung ion-ion yang diencerkan langsung dari
material pada landfill dan juga mengandung senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh
dekomposisi material secara biologis. Ion-ion yang terdapat pada TPA Babylon diantaranya
adalah bikarbonat, sulfat, dan anion klorida, serta kation-kation sodium, potasium, kalsium
dan magnesium. Sebenarnya ion-ion ini juga terdapat pada kondisi normal air tanah di
wilayah tersebut, namun konsentrasinya lebih rendah. Sebagai contoh, ion klorida hadir
dengan konsentrasi tinggi pada air yang meninggalkan landfill, yaitu kurang lebih 1300
mg/l. Ion ini sangat berguna sebagai tracer ion, karena tidak berinteraksi dengan sedimen
Leachate yang telah bercampur dengan air tanah dan mengalir melewati suatu media poros
(akifer) cenderung untuk menjadi encer dalam hal konsentrasinya, namun memiliki volume
yang bertambah dan penyebaran yang cukup luas secara regional. Le Grand (1965), dalam
Todd (1980) telah menggambarkan suatu contoh penyebaran pencemaran dari suatu
landfill (Gambar 1), dengan aliran air tanah menuju ke suatu sungai.
L A N D F IL L
Gambar 1. Contoh bentuk sebaran kontaminasi dari suatu TPA (modifikasi dari Le
Grand, 1965, dalam Todd, 1980)
2.2.3. Rangkuman 1
Sampah merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas masyarakat baik
yang bersifat domestik maupun non-domestik. Sarana pengelolaan sampah yang seringkali
menjadi tumpuan akhir pengelolaan adalah ketersediaan tempat pengelolaan akhir (TPA).
Pemilihan lokasi TPA Sampah secara langsung tanpa didukung adanya informasi yang
memadai dapat beresiko tinggi terhadap lingkungan, seperti terjadinya pencemaran
airtanah, pencemaran udara, kebakaran, munculnya kabut asap, timbulnya berbagai vektor
2.2.4. Tugas 1
Berikan contoh kasus pencemaran terhadap lingkungan yang terjadi di Indonesia akibat
adanya pemilihan lokasi TPA Sampah yang tidak tepat! Daerah yang dijadikan contoh
kasus tidak boleh sama di antara masing-masing peserta diklat. Peserta diklat dapat
menggunakan fasilitas internet dan atau perpustakaan yang disediakan oleh penyelenggara
diklat, maupun sumber lainnya.
(1) Kebutuhan akan TPA Sampah diartikan sebagai kebutuhan masyarakat terhadap
ketersediaan tempat pengelolaan akhir akibat kehadiran sampah yang merupakan salah
satu dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas masyarakat baik yang bersifat domestik
maupun non-domestik. Kehadiran sampah merupakan salah satu persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat dan pengelola, terutama dalam pengelolaan, menyediakan
sarana dan prasarananya.
(2) Pemilihan lokasi TPA Sampah secara langsung tanpa didukung adanya informasi yang
memadai dapat beresiko tinggi terhadap lingkungan, seperti terjadinya pencemaran
airtanah, pencemaran udara, kebakaran, munculnya kabut asap, timbulnya berbagai
vektor penyakit, berkurangnya estetika lingkungan, dan lahan tidak dapat
dipergunakan kembali untuk jangka waktu yang cukup lama.
I. Landasan Teoritis
Langkah untuk melakukan penentuan kelayakan ini relatif mudah, cepat, dan murah dalam
menilai kelayakan suatu daerah untuk digunakan sebagai TPA sampah dimana sebagian
besar data yang diperlukan untuk dapat diolah berasal dari data sekunder, sedangkan
sebagian lainnya harus diperoleh dari lapangan (data primer). Data-data ini saling
ditumpang-tindihkan (superimposed) satu sama lain sehingga hasil akhirnya bisa diperoleh
suatu zonasi kelayakan lahan TPA secara regional. Daerah dengan tingkat sangat layak
bermakna bahwa TPA dapat dibangun dengan biaya rekayasa teknis minimal serta
Dalam tahap ini dikumpulkan data-data yang diperlukan dan dibutuhkan untuk kemudian
diolah dan diproses bagi keperluan untuk penentuan tempat pengelolaan akhir sampah.
Data sekunder dapat diperoleh dari Pusat Lingkungan Geologi di Bandung, yaitu terkait;
kondisi air tanah, stabilitas lereng, dan zona gerakan tanah. Selanjutnya data sekunder
berupa iklim dan curah hujan dapat diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika
(BMG), untuk data jenis dan sebaran tanah dapat diperoleh dari Departemen Pertanian.
Sedangkan data terkait banjir tahunan dapat diperoleh dari Peta Sebaran Banjir yang
dikeluarkan BAPPENAS. Semua data yang telah terkumpul kemudian dilakukan proses
penggabungan (overlay).
Dalam pekerjaan lapangan hal-hal yang dilakukan di lapangan untuk mendapatkan seluruh
data yang ditemukan meliputi:
1. Pengukuran muka air tanah yang dilakukan pada beberapa sumur gali setempat.
2. Pengambilan contoh batuan secara sistematis untuk uji laboratorium.
3. Pendokumentasian data lapangan.
Data yang diperlukan untuk analisis ini antara lain berupa data kemiringan lereng, kondisi
geologi, tekstur tanah, curah hujan, hidrogeologi, erosi, drainase dan kerentanan gerakan
tanah. Dalam analisis kelayakan regional berdasarkan Pedoman Pemilihan Lokasi TPA
(DGTL, 2004; lihat Tabel 2 dan 3), parameter yang dipertimbangkan dalam penilaian
kelayakan lahan TPA mencakup parameter-parameter geologi dan non-geologi. Beberapa
parameter dikelompokkan sesuai tingkat kelayakannya menjadi komponen penyisih dan
komponen geologi lingkungan (komponen ini diberi nilai kepentingan dan pembobotan).
b. Parameter Non-Geologi
Kawasan lindung: Kawasan lindung seperti hutan lindung, cagar alam, cagar budaya
dan sebagainya yang ditetapkan sebagai kawasan lindung oleh perundang-undangan
dinyatakan sebagai daerah tidak layak untuk dikembangkan menjadi TPA sampah.
Jarak terhadap pemukiman: Jarak TPA sampah terhadap pemukiman ditetapkan 300
meter sebagai buffer tidak layak. Buffer ini berfungsi untuk mencegah pencemaran air,
gangguan bau, lalat, dan bising yang ditimbulkan dari TPA sampah.
Jarak terhadap jalan raya: Jarak TPA sampah terhadap jalan raya ditetapkan 150
meter sebagai buffer tidak layak. Buffer ini berfungsi sebagai daerah penyangga
terhadap estetika. Jalan yang diberi buffer adalah jalan utama.
Jarak terhadap bandara: Jarak TPA sampah terhadap bandara ditetapkan 3000 meter
sebagai buffer tidak layak. Buffer ini berfungsi sebagai pencegah gangguan asap yang
berasal dari TPA sampah terhadap keselamatan penerbangan
Tabel 1. Pedoman Analisis Kelayakan Regional untuk penentuan TPA menurut SNI 03-3241-1994
I. Umum
1. Batas Administrasi 5
5. Bahaya banjir 2
- tidak ada bahaya banjir 10
- kemungkinan banjir > 25 tahunan 5
- kemungkinan banjir < 25 tahunan Tolak (kecuali dg -
teknologi)
6. Tanah penutup 4
- tanah penutup cukup 10
- tanah penutup cukup sampai umur pakai 5
- tanah penutup tidak ada 1
Catatan :
Lokasi dengan jumlah angka tertinggi dari perkalian antara bobot dan nilai merupakan pilihan pertama,
sedangkan lokasi dengan angka-angka yang lebih rendah merupakan alternatif yang dipertimbangkan.
41 205 151
96
Geologi berperan dalam menentukan kesesuaian lahan apakah sesuai untuk dijadikan
daerah tempat pengelolaan sampah, daerah pemukiman, daerah industri, daerah pariwisata,
daerah pertanian dan sebagainya, terutama di dalam penyajian data mengenai keadaan
tanah, sumberdaya air, bahan bangunan dan letak endapan mineral serta berbagai proses
yang mungkin akan berlangsung. Dalam penentuan kelayakan regional untuk suatu Tempat
Pengelolaan Akhir (TPA) Sampah, terdapat parameter geologi dan parameter non-geologi
yang dipertimbangkan, baik pada pedoman yang dikeluarkan oleh Direktorat Geologi Tata
Lingkungan (sekarang Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan) maupun
pada Standar Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pengelolaan Akhir Sampah yang
dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum (SNI 03-3241-1994). Data-data
berdasarkan parameter-parameter tersebut saling ditumpang-tindihkan (superimposed) satu
sama lain sehingga hasil akhirnya bisa diperoleh suatu zonasi kelayakan lahan TPA secara
regional.
Parameter geologi (dalam hal ini bisa disebut sebagai parameter Geologi Lingkungan)
terdiri dari litologi (sangat berperan dalam mencegah atau mengurangi pencemaran air
tanah dan air permukaan), kondisi air tanah, kemiringan lereng (berkaitan erat dengan
kemudahan pekerjaan konstruksi dan operasional TPA sampah), curah hujan (berkaitan
dengan tingkat kesulitan penyediaan sarana TPA sampah), jarak TPA sampah terhadap
sungai (ditetapkan 150 meter sebagai buffer tidak layak), jarak terhadap patahan
(ditetapkan 100 meter sebagai buffer tidak layak), kerentanan terhadap gerakan tanah,
erupsi gunung api, banjir (daerah yang layak untuk TPA sampah harus terbebas dari banjir
25 tahunan), dan jarak TPA sampah terhadap garis pantai (ditetapkan 250 meter sebagai
buffer tidak layak). Sementara itu, parameter non-geologi terdiri dari kawasan lindung,
jarak TPA sampah terhadap pemukiman (ditetapkan 300 meter sebagai buffer tidak layak),
jarak TPA sampah terhadap jalan raya (ditetapkan 150 meter sebagai buffer tidak layak),
dan jarak TPA sampah terhadap bandara (ditetapkan 3000 meter sebagai buffer tidak
layak). Semua parameter tersebut dianalisis untuk menilai lokasi calon TPA, sesuai dengan
acuan yang dipergunakan, melalui tahapan yang meliputi beberapa langkah seperti tahap
inventarisasi data, tahap pekerjaan lapangan, tahap analisis dan atau interpretasi data, dan
tahap pembuatan peta kelayakan regional untuk TPA Sampah.
Bandingkan metode penentuan lokasi TPA Sampah secara regional antara pedoman yang
dikeluarkan oleh Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan (dahulu DGTL)
dengan SNI 03-3241-1994 yang dipublikasikan oleh Departemen Pekerjaan Umum,
kemudian berikan ulasan atau kesimpulannya!
(1) Daerah dengan tingkat kelayakan sangat tinggi bermakna bahwa TPA dapat dibangun
dengan biaya rekayasa teknis minimal serta memiliki tingkat kerawanan minimum
baik dari sisi kebencanaan, aspek keteknikan, maupun dampaknya terhadap
lingkungan.
(2) Daerah dengan kemiringan > 20% tidak layak untuk dijadikan lokasi TPA, karena
semakin terjal suatu daerah semakin sulit pekerjaan konstruksi dan operasional TPA.
(3) Daerah yang layak untuk TPA sampah harus terbebas dari banjir 25 tahunan, artinya
daerah tersebut harus terbebas dari banjir berkala dengan periode ulang 25 tahun atau
lebih sering karena banjir dapat merusak sarana dan prasarana TPA sampah serta dapat
menyebabkan pencemaran.
(4) Jenis litologi sangat berperan sebagai peredam dalam mencegah atau mengurangi
pencemaran air tanah dan air permukaan secara alami yang berasal dari air lindi,
sehingga mendapat bobot kepentingan yang tinggi di dalam penilaian lokasi TPA
sampah secara regional. Tingkat peredaman sangat tergantung pada kemampuan
Praktik penilaian kelayakan regional suatu wilayah untuk calon lokasi TPA Sampah,
dikerjakan per kelompok:
Buatlah penilaian kelayakan suatu wilayah secara regional untuk lokasi TPA dengan
menggunakan Pedoman Pemilihan Lokasi TPA (DGTL, 2004), kemudian buat juga peta
zonasi kelayakan regionalnya dengan skala 1 : 50.000! Daerah yang dinilai bisa dimana
saja dan, asalkan tidak ada yang sama antara kelompok yang satu dan kelompok
lainnya.
Presentasikan di depan kelas, baik berupa tabel perhitungan maupun peta zonasi
kelayakan yang telah dibuat!
Penilaian tugas praktik ini menggunakan kriteria sebagai berikut:
NILAI HURUF MUTU
80 100 A
70 79 B
60 69 C
50 59 D
< 50 E
Setelah mengikuti Kegiatan Pembelajaran 3, peserta diklat diharapkan dapat memilih calon
lokasi TPA Sampah dengan tepat.
Hasil dari analisis regional untuk TPA Sampah adalah berupa zona kelayakan dengan
luasan yang bervariasi. Oleh karenanya dibutuhkan tahapan selanjutnya, sebelum
melakukan analisis tapak secara lebih detail (rinci). Tahapan dalam proses pemilihan lokasi
TPA tersebut adalah menentukan satu atau dua lokasi terbaik dari daftar lokasi yang
dianggap potensial. Dalam proses ini berbagai kriteria digunakan semaksimal mungkin
guna proses penyaringan dan memudahkan evaluasi pemilihan sebuah lahan yang dianggap
paling baik.
Proses pemilihan calon lokasi TPA perlu dilakukan mengingat kegiatan pada penyaringan
secara rinci tentu saja akan membutuhkan waktu dan biaya yang relatif besar dibanding
kegiatan pada penyaringan awal (regional). Berbagai kriteria penyisih dalam pemilihan
calon lokasi TPA berdasarkan SNI 03-3241-1994 atau pedoman dari DGTL (2004) dapat
dipergunakan kembali sebagai bahan pertimbangan dalam membandingkan setiap zona
yang dianggap layak untuk menjadi calon lokasi TPA Sampah. Dalam hal ini perpaduan
kedua pedoman tersebut di atas akan sangat memudahkan bagi upaya untuk mencari satu
atau dua lokasi yang memiliki nilai tertinggi dan layak untuk dianalisis secara lebih detail.
Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan dalam beberapa tahun terakhir ini
telah banyak melakukan penyelidikan mengenai tingkat kelayakan regional untuk TPA
Sampah dengan skala 1: 100.000 hingga 1 : 50.000. Hal tersebut dilakukan pada beberapa
kota di Indonesia dengan menggunakan metode pendekatan seperti yang telah dijelaskan di
atas. Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa ternyata kurang dari 20% dari luas daerah
yang diteliti mempunyai tingkat kelayakan baik hingga rendah untuk sebuah TPA,
sedangkan sisanya hampir mencapai 75% tidak layak untuk TPA. Kecilnya luas daerah
yang layak untuk TPA mempunyai arti bahwa pemilihan lokasi TPA Sampah secara
sembarangan dengan tidak memperhatikan pertimbangan parameter geologi lingkungan
dan parameter lainnya sangat berisiko tinggi. Terlebih jika TPA Sampah ternyata
ditempatkan pada daerah yang tidak layak, sehingga dapat menyebabkan biaya
penanggulangan resiko menjadi lebih tinggi.
Tersedianya informasi atau peta kelayakan untuk TPA sangat bermanfaat bagi Pemerintah
Kabupaten/Kota dalam perencanaan penataan ruang yang optimum dan berwawasan
lingkungan. Biaya penyusunan peta kelayakan tersebut relatif lebih murah dibandingkan
Contoh Kasus: Pemilihan Calon Lokasi TPA di daerah Nagreg, Kabupaten Bandung
Sebagai contoh kasus di bawah ini akan diberikan gambaran tentang bagaimana cara
memilih dua buah calon lokasi untuk TPA sampah di daerah Nagreg, Kabupaten Bandung,
yang terletak pada zona layak untuk TPA Sampah berdasarkan analisis regional. Pemilihan
calon lokasi TPA dilakukan berdasarkan parameter litologi, sistem akifer, dan kemiringan
lereng, yang dipadukan dengan parameter non-geologi.
a. Litologi dan sistem akifer di daerah Nagreg seperti terlihat pada Gambar 2 diuraikan
sebagai berikut:
Akifer Endapan Danau dan Aluvium terdapat di dataran kota Cicalengka
terdiri dari endapan danau berupa lempung tufan, batupasir tufan, dan kerikil tufan.
Memiliki sistem akifer produktif dan produktivitas sedang dengan aliran melalui
ruang antar butir. Kelulusan sedang hingga tinggi.
Akifer Endapan Volkanik Muda, Tua dan Tak Teruraikan terdiri dari tuf,
lahar, breksi, dan lava produk gunungapi, seperti dari G. Mandalawangi, G.
Sangiangtanjung dan G. Kaledong, tesebar di lereng hingga puncak gunung.
Kelulusan tinggi hingga sedang. Memiliki sistem akifer setempat produktif dan
produktif kecil setempat berarti, dengan aliran melalui ruang antar butir dan rekahan.
Mata air muncul pada pelapukan tanah dari batuan-batuan ini. Calon lokasi TPA
Citiis dan Legok Nangka sebagian terdapat pada sistem akifer ini.
Endapan Volkanik Tak Teruraikan. Campuran rempah gunungapi lepas dan
padu. Kelulusan rendah sampai dengan sedang.
Aliran Lava Andesit - Basalt. Umumnya memiliki kelulusan rendah.
Endapan Volkanik Tua terdiri dari tuf, breksi, dan lava. Umumnya kompak,
terutama batuan yang telah mengalami perlipatan. Kelulusan umumnya kecil sampai
sedang.
b. Kemiringan lereng di daerah Nagreg seperti terlihat pada Gambar 3 diuraikan sebagai
berikut:
0 5 % : Meliputi daerah dengan penyebaran di sekitar kota Kecamatan
Cicalengka yaitu di bagian barat dan utara.
5 10 % : Meliputi daerah tengah membentuk kaki dan antar gunung G. Kaledong
dan G. Mandalawangi. Calon lokasi TPA Citiis dan Legok Nangka sebagian
berkisar pada kemiringan lereng ini.
10 20 % : Meliputi daerah bagian timur dengan penyebaran menyempit.
Setempat memperlihatkan pola antar lembah di sebelah timur daerah kajian.
20 % : Meliputi bagian selatan barat dan sedikit timur laut pada daerah luas.
Daerah ini terdapat antara lain pada bagian puncak G. Kaledong, G. Mandalawangi
(pada ngarai-ngarainya). Calon Lokasi TPA Citiis dan Legok Nangka sebagian kecil
berkisar pada kemiringan lereng ini.
Kedua calon lokasi TPA berada pada daerah dengan tingkat kelayakan yang sama baik
ditinjau dari parameter litologi, sistem akifer, maupun kemiringan lerengnya. Namun
demikian calon lokasi TPA di daerah Citiis berada pada bentang alam punggungan,
sementara di daerah Legok Nangka berada pada lembah bukit. Oleh karena itu, jika
ditinjau dari sisi estetika lingkungan calon lokasi TPA di Legok Nangka lebih baik
daripada Citiis. Hal ini sangat didukung oleh aspek non-geologi seperti jarak lokasi TPA
dari jalan raya dan atau jalur rel kereta api, dimana calon lokasi TPA Citiis memiliki jarak
yang lebih dekat terhadap jalur rel kereta api (lihat Gambar 2 dan 3, garis berwarna hitam
adalah jalur rel kereta api dan garis merah adalah jalan raya). Terlebih lagi saat ini jalan
tembus Nagreg Garut sedang dibuat melewati Pasir Citiis kampung Jalan Cagak.
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menentukan bahwa calon lokasi TPA Legok Nangka
lebih layak untuk direkomendasikan sebagai calon lokasi terpilih, yang akan dianalisis
lebih lanjut pada tahap Analisis Tapak Rinci untuk mengevaluasi apakah lokasi terpilih
tersebut dapat diterima atau tidak.
Proses pemilihan calon lokasi TPA pada zona layak tetap perlu dilakukan mengingat
kegiatan pada penyaringan secara rinci tentu saja akan membutuhkan waktu dan biaya
yang relatif besar dibanding kegiatan pada penyaringan secara regional. Hasil penyelidikan
Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan menunjukkan bahwa ternyata
kurang dari 20% dari luas daerah yang diteliti mempunyai tingkat kelayakan baik hingga
rendah untuk sebuah TPA, sedangkan sisanya hampir mencapai 75% tidak layak untuk
TPA. Apabila TPA Sampah ternyata ditempatkan pada daerah yang tidak layak, dapat
menyebabkan biaya penanggulangan resiko menjadi lebih tinggi. Dalam hal ini, perpaduan
berbagai pedoman dalam penentuan kelayakan TPA secara regional akan sangat
memudahkan bagi upaya untuk mencari satu atau dua lokasi yang memiliki nilai tertinggi
dan layak untuk dianalisis secara lebih detail. Seperti contoh kasus dalam memilh calon
lokasi TPA di daerah Nagreg, antara calon TPA Citiis dan calon TPA Legok Nangka.
2.4.4. Tugas 3
Carilah lokasi TPA yang ada di Indonesia yang secara regional berada pada zona layak,
namun pada kenyataannya menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan di sekitarnya!
Identifikasi penyebabnya dan berikan solusi untuk mengatasinya.
(1) Proses pemilihan calon lokasi TPA pada zona layak masih perlu dilakukan mengingat
kegiatan pada penyaringan secara rinci tentu saja akan membutuhkan waktu dan biaya
yang relatif besar dibanding kegiatan pada penyaringan awal (regional).
(2) Berbagai kriteria penyisih dalam pemilihan calon lokasi TPA berdasarkan SNI 03-
3241-1994 atau pedoman dari DGTL (2004) dapat dipergunakan kembali sebagai
bahan pertimbangan dalam membandingkan setiap zona yang dianggap layak untuk
menjadi calon lokasi TPA Sampah, dalam hal ini perpaduan kedua pedoman tersebut
di atas akan sangat memudahkan pekerjaan pemilihan lokasi yang paling layak.
(3) Apabila hasil penilaian faktor geologi terhadap dua atau lebih calon lokasi TPA
Sampah memiliki nilai yang sama, maka kita harus mempertimbangkan faktor non-
geologi maupun faktor lainnya yang tidak terdapat dalam metode pemilihan yang
dipergunakan.
(4) Faktor yang paling mempengaruhi terjadinya kondisi yang sama di antara beberapa
calon lokasi TPA Sampah adalah skala yang masih bersifat regional.
(5) Kesimpulan yang dapat diambil dari analisis regional untuk TPA Sampah adalah
bahwa hasinya berupa zona kelayakan dengan luasan yang bervariasi, sehinga
dibutuhkan tahapan selanjutnya sebelum melakukan analisis tapak secara lebih detail
(rinci). Proses ini dilakukan semaksimal mungkin guna proses penyaringan dan
memudahkan evaluasi pemilihan sebuah lahan yang dianggap paling baik.
BAB 3
BAB 4
PENUTUP
Modul ini berisi pengetahuan tentang bagaimana cara menentukan calon lokasi TPA
Sampah secara regional, termasuk menjelaskan perbedaan dari beberapa metode yang
dipergunakan. Uraian materi yang diberikan mulai dari materi kebutuhan akan TPA
Sampah hingga bagaiamana cara memilih calon lokasi TPA secara regional perlu dibaca
secara seksama karena berisi hal-hal yang penting untuk dipahami dan agar peserta diklat
dapat memahami isi modul. Selain itu, rangkuman kegiatan belajar juga perlu dibaca
secara teliti.
Semua tugas, tes formatif, lembar kerja praktik, dan tes sumatif perlu dikerjakan dengan
baik sesuai petunjuk dari widyaiswara/instruktur, sebagai bagian dari cara untuk mengukur
pemahaman atas uraian materi. Oleh karena itu, jangan melihat jawabannya terlebih
dahulu.
Modul ini diperlukan untuk dapat melakukan analisis secara lebih rinci pada tahap
selanjutnya dalam menentukan lokasi TPA Sampah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Anonymous. 1994. SNI 03-3241-1994: Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pengelolaan
Akhir. Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.
Anonymous. 2004. Rancangan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
tahun 2004 tentang Pedoman Pemilihan Tempat Pengelolaan Akhir Sampah
berdasarkan Aspek Geologi Lingkungan. Direktorat Geologi Tata Lingkungan,
Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral, Bandung.
Bagchi, A. 1994. Design, construction and monitoring of landfills. John Wiley & Sons Inc.,
Canada.
Fetter, C.W. 1988. Applied hidrogeology, second edition. Merrill Publishing Company,
Ohio, USA.
Lundgren, Lawrence. 1986. Environmental geology. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New
Jersey, USA.
Rahn, Perry H. 1996. Engineering Geology, An Environmental Approach, second edition.
Prentice Hall Inc., A Simon & Schuster Company, Upper Saddle River, New
Jersey.
Suhendar, Rudi. 2005. Parameter geologi lingkungan dalam penentuan lokasi TPA
Sampah. Bahan Ajar Diklat Penentuan TPA Sampah berbasis Geologi, Pusdiklat
Geologi, Badiklat ESDM, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral,
Bandung.
Suhendar, Rudi. 2008. Bahan ajar Praktek Kerja Lapangan penentuan TPA Sampah di
daerah Nagrek. Pusdiklat Geologi, Badiklat ESDM, Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral, Bandung.
Todd, D. K. 1980. Groundwater hydrology. John Willey & Sons Inc., New York.
Wahyu Widyarsana, I Made. 2004. Kajian Integrasi Sistem Pengelolaan Akhir Sampah
Wilayah Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan). Tugas Akhir,
Departemen Teknik Lingkungan ITB, Bandung, tidak dipublikasikan.