Anda di halaman 1dari 40

Page 1

MODUL # 1

KONSEP DAN PRINSIP

MANAJEMEN BENCANA
Untuk Pelatihan Dasar Penanggulangan Bencana

Oleh:

Harkunti P. Rahayu

Pribasari Damayanti

Kerjasama IOM dengan PPMB-ITB

2013
Page 2

I. PENDAHULUAN

1.1 Tujuan
Setelah mengikuti pelatihan materi dalam modul ini, diharapkan
peserta mampu untuk:
1. Memahami konsep dasar terjadinya bencana
2. Memahami berbagai karakteristik bencana
3. Mengetahui berbagai model terjadinya bencana
4. Memahami konsep dasar manajemen bencana
5. Memahami bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan dalam setiap
tahapan manajemen bencana
6. Mengetahui model-model manajemen bencana
7. Mengetahui berbagai legal framework yang mendasari berbagai
kegiatan penanggulangan bencana

1.2 Sesi Pembelajaran


Pemberian materi di dalam modul ini terdiri ke dalam beberapa sesi
yaitu:
1. Materi konsep dasar terjadinya bencana dan karakteristik bencana
2. Materi model terjadinya bencana
3. Materi konsep dasar manajemen bencana
4. Materi Model Manajemen Bencana
5. Materi legal framework
6. Simulasi

1.3 Alat dan Bahan


Berbagai alat dan bahan yang akan digunakan dalam pembelajaran
modul ini yaitu:

1. Bahan bacaan dalam setiap sesi


2. Power Point materi setiap sesi
3. Metaplan, Kertas Plano, Spidol, Selotip
4. Film Dokumenter
Page 3

1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dengan adanya pembelajaran materi dalam
modul ini yaitu peserta mampu mengerti dan juga memahami konsep
dan prinsip dasar mengenai bencana dan bagaimana melakukan
pengurangan resiko bencana melalui prinsip manajemen bencana.
Selain itu peserta mampu memahami peran dan posisi mereka di dalam
manajemen bencana tersebut, baik dalam tahap pra, tanggap darurat,
ataupun paska bencana

II. KONSEP DASAR BENCANA DAN KARAKTERISTIKNYA

2.1 Definisi
Didalam UU No. 24 Taun 2007 dijelaskan bahwa Bencana adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Di dalam definisi
tersebut tertulis bahwa bencana dimulai karena ada sesuatu yang
mengancam, baik dari faktor alam atau non alam, ataupun manusia,
yang pada akhirnya menimbulkan kerugian, baik harta benda hingga
jiwa manusia.

Ancaman merupakan suatu hal yang berbeda dibandingkan dengan


bencana. Ancaman atau dapat pula disebut bahaya akan disebut
sebagai bencana apabila menimbulkan kerugian baik dari korban jiwa,
harta benda, kerusakan lingkungan, dan berbagai dampak lainnya. Hal
lainnya yaitu bencana mungkin tidak terjadi apabila manusia mampu
untuk menghadapi ancaman yang menjadi pemicu terjadinya bencana.
Page 4

Meksiko: Mexico City


19 September 1985, Magnitudo 8,1 SR

Jepang: Kobe
17 Januari 1995, Magnitudo 7,3 SR

Turki : Van dan Ercis Yogya


23 Oktober 2011, Magnitudo 7,2 SR 27 Mei 2006, Magnitudo 6,2 SR

Gambar 1,1
Berbagai Kejadian Gempa Bumi di Dunia
Page 5

Bencana seringkali memiliki berbagai dampak selain berupa kerusakan fisik dan
non-fisik, beberapa merupakan bentuk ancaman ikutan yang dapat menimbulkan
korban lebih besar dibandingkan bencana utamanya. Berbagai dampak ikutan dari
bencana yaitu:

Tabel I.1 Ancaman Ikutan dari Bencana

Bencana Ancaman Ikutan

Gempa Bumi Longsoran Tanah

Retakan Tanah

Gerakan Tanah

Retakan

Tsunami

Kebakaran

Letusan Gunung Api Awan Panas

Hujan Abu

Lahar Panas

Lahar Hujan

Aliran Lava

Loncatan Batu Pijar

Gas Beracun

Lumpur Panas

Tsunami

Banjir Wabah Penyakit

Longsor Banjir Bandang/ Banjir Lumpur


Page 6

Kekeringan Kebaran hutan

Kabut Asap

2.2 Pandangan mengenai Bencana dari Berbagai Sudut Ilmu


Terdapat beberapa pandangan mengenai bencana, yaitu

i. Pandangan konvensional, dimana bencana dipandang sebagai


suatu peristiwa yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan dan tidak bisa
dikendalikan sama sekali oleh manusia. Bencana dianggap sebagai
bagian dari kehidupan dan manusia bersikap pasrah tanpa
melakukan suatu tindakan yang berarti untuk mencegah atau
mengurangi dampak dari bencana.
ii. Pandangan Ilmu Pengetahuan Alam, pandangan ini menjelaskan
bahwa bencana merupakan gejala alam yang menyebabkan
kerusakan. Faktor manusia tidak diperhitungkan sebagai penyebab
bencana.
iii. Pandangan Ilmu Terapan, didalam pandangan ini menilai bahwa
bencana terjadi karena kurangnya infrastruktur dan prasarana
yang memadai. Faktor manusia sudah diperhitungkan namun lebih
kepada perangkat keras.
iv. Pandangan Ilmu Sosial, disini dianggap bahwa bencana terjadi
karena ketidakmampuan manusia dalam melakukan kesiapsiagaan
dan merespon terhadap ancaman alam. Kerentanan massyarakat
menjadi kunci besar atau kecilnya bencana
v. Pandangan Holistik, pandangan ini melihat bencana sebagai
fenomena kompleks antara fenomena alam dan perilaku manusia.
Ancaman alam dipandang memiliki karakteristik yang berbeda,
dan juga perilaku manusia yang berbeda-beda mempengaruhi
kerentanan.
Page 7

Pandangan mengenai bencana alam pun mengalami pergeseran, dimana


dulu bencana hanya ditanggulangi sebagai bentuk responsif terhadap
bencana, sedangkan saat ini penanggulangan bencana lebih ditekankan
sebagai bentuk proaktif dalam mengurangi resiko bencana tersebut.

Paradigma Sebelumnya Paradigma Saat Ini

Responsif Proaktif

Gambar 1.2
Perubahan Paradigma Penanggulangan Bencana

Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, dijelaskan bahwa potensi


penyebab bencana di wilayah negara kesatuan Indonesia dapat dikelompokkan
ke dalam 3 (tiga) jenis bencana, yaitu bencana alam, bencana non alam, dan
bencana sosial. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
alam seperti gempa bumi, tsunami, angina topan, kekeringan, banjir, dan
lain-lain. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa non alam seperti kegagalan teknologi, epidemic,
wabah penyakit, kejadian antariksa, dan lain-lain. Bencana sosial adalah
bencana yang diakibatkan oleh manusia seperti misalkan konflik sosial yang
terjadi di masyarakat. Kenyataannya bencana alam tidak dapat dipisahkan
secara pasti dengan berbagai perbuatan manusia, karena suatu bencana
terjadi karena ada ancaman yang bertemu dengan faktor manusia dan
perilakunya.
Page 8

2.3 Ancaman Bencana


Jenis bencana yang berbeda akan memiliki karakteristik yang berbeda.
Terdapat indikator-indikator dalam menilai karakteristik ancaman,
yaitu:

Pemicu
Unsur-unsur yang mengancam
Tipe, kecepatan dan jarak ancaman
Tanda-tanda
Frekuensi
Periode
Durasi
Akibat kerusakan
Akar penyebab

Setiap tempat pun akan memiliki karakteristik ancaman/bahaya yang


berbeda. Bahaya gempa bumi di suatu daerah tentu berbeda dengan
karakterisik ancaman/bahaya gempa bumi di daerah lain.
Pengidentifikasian dari bahaya menjadi sangat penting dalam
membantu masyarakat menentukan strategi penanggulangan bencana
di daerahnya.

Berdasarkan jenisnya, bahaya/ancaman terbagi menjadi beberapa,


yaitu:

Tabel I.2 Jenis Bencana Berdasarkan Sumber Ancaman

Geo-Hazard (Ancaman Gempa, tsunami, gunung api


Geofisik)

Hydro-Climatic Hazard Banjir, kebakaran hutan, el-nino


(Ancaman Hidroklimatis) (kekeringan)

Biological Hazards (Ancaman HIV/Aids, Ebola, dan epidemik


Biologis)
Page 9

Technological Hazard Industrial explosions, kebakaran,


(Ancaman Teknologi) polusi udara, waste exposure,
kecelakaan nuklir, lumpur Lapindo

Social Hazards (Ancaman Kriminialitas/kekerasan, perang,


Sosial) konflik, kemiskinan absolut,
terorisme

Kemudian berdasarkan proses terjadinya, bahaya dibagi berdasarkan 3


yaitu:
Slow-onset hazard: ancaman yang terjadi perlahan-lahan, contoh:
kekeringan, kelaparan, letusan gunung api, banjir
Sudden onset hazard: ancaman yang terjadi secara tiba-tiba
seperti: gempa, banjir bandang, longsoran, tsunami, puting beliung.
Ancaman ini terjadi tanpa peringatan dini yang menyebabkan
ketidaksiapan.

2.4 Konsep Terjadinya Bencana


Page 10

Gambar 1.3
Ilustrasi Konsep Terjadinya Bencana

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bencana terjadi ketika


terdapat ancaman/bahaya yang bertemu dengan faktor manusia. Faktor
manusia sendiri terbagi menjadi kondisi rentan, dan kapasitas masyarakat.
Ancaman atau bahaya merupakan suatu kondisi yang memiliki potensi
menimbulkan kerusakan atau kerugian dan kehilangan jiwa manusia.
Ancaman berpotensi menimbulkan bencana, namun tidak semua ancaman
atau bahaya selalu menjadi bencana. Setiap bencana menghasilkan dampak
yang selanjutnya disebut risiko bencana.

Ancaman/Bahaya x Kerentanan
Risiko Bencana =
Kapasitas
Page 11

Resiko Bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat


bencana pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang dapat berupa
kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi,
kerusakan atau kehilangan harta dan gangguan kegiatan masyarakat. Risiko
merupakan hubungan antara ancaman atau bahaya dengan kerentanan dan
juga kapasitas. Risiko bencana dapat berkurang, apabila kapasitas
ditingkatkan atau kerentanan dikurangi, sedangkan risiko bencana dapat
meningkat apabila kerentanan semakin tinggi dan kapasitas semakin rendah.
Hal lainnya yaitu, resiko bencana dapat dikurangi atau dihilangkan dengan
cara mengurangi atau menghilangkan ancaman/bahaya sebagai pemicu awal
terjadinya bencana sendiri. Resiko mengandung makna probabilitas terjadinya
kematian atau korban manusia dan kerugian materi yang diakibatkan oleh suatu
bencana alam tertentu.

Kerentanan merupakan suatu kondisi yang ditentukan oleh faktor-


faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang
mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat dalam menghadapi
bahaya. Kerentanan dapat terjadi karena banyak hal, seperti misalkan lokasi
yang berdekatan dengan ancaman bencana, ketidakpedulian terhadap
ancaman bencana, dan masih banyak hal lainnya. Kerentanan yang berada di
daerah urban dan rural dapat berbeda. Di daerah urban, kerentanan
penduduk dapat terjadi karena padatnya perumahan penduduk, daya dukung
lingkungan yang rendah, dan lainnya. Di daerah rural kerentanan penduduk
dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan, atau kurangnya akses, dan
lain-lain.

Kapasitas adalah penguasaan sumberdaya, cara dan kekuatan yang


dimiliki masyarakat yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan
dan mempersiapkan diri mencegah, menanggulangi, meredam, serta dengan
cepat memulihkan diri dari akibat bencana. Kapasitas dapat melingkupi
pencegahan terhadap terjadinya ancaman atau mengurangi
Page 12

kekuatan/volume
ume ancaman, ataupun
ataupun mengurangi kerentanan terhadap
ancaman itu sendiri. Kapasitas dapat berbeda antara satu tempat dengan
tempat yang lain. Kapasitas di daerah urban misalkan kondisi infrastruktur
yang lebih baik dibandingkan daerah rural. Sedangkan di daerah rural
misalkan modal sosial yang lebih tinggi dibandingkan daerah urban.

Gambar 1.4
Kapasitas dan Kerentanan yang berada di daerah Desa dan Kota

Risiko sebagai sebuah sistem

Risiko sebagai bentuk hasil dari pertemuan adanya ancaman/bahaya


dengan kapasitas dan kerentanan merupakan sebuah sistem tersendiri yang
harus diperhatikan. Apa yang dimiliki alam, baik dari segi potensi ataupun
bahaya akan memiliki zona konflik risiko tersendiri
tersendiri ketika bertemu dengan
manusia yang hidup dengan berbagai aktivitas di dalamnya.
Page 13

Sistim fisik bumi & potensi


bencana

Sistem kehidupan
manusia &
Lingkungan kerentanannya
Binaan Manusia

Zona Konflik Risiko

Gambar 1.5
Risiko sebagai Sistem

Resiko bencana pada suatu daerah bergantung kepada banyak faktor,


contohnya adalah:

Alam/Geografi/Geologi (Kemungkinan terjadinya fenomena)


Kerentanan masyarakat yang terpapar terhadap fenomena (karakteristik
dan banyaknya)
Kerentanan fisik daerah (kondisi, karakteristik dan banyaknya bangunan)
Konteks strategis daerah
Kesiapan masyarakat setempat untuk tanggap darurat
Koordinasi antar masyarakat dengan pemerintah setempat
Dll.
Page 14

2.5 Model Terjadinya Bencana

2.5.1 PAR MODEL


PAR Model ini menjelaskan bahwa bencana terjadi akibat hasil
pertemuan antara kondisi sosial ekonomi dengan keterpaparan fisik
oleh ancaman atau bahaya. Model ini membedakan tiga komponen dari
sisi sosial, yaitu penyebab utama, tekanan dinamis, dan yang
mendorong terjadinya kerentanan itu sendiri. Aspek-aspek yang
termasuk kedalam penyebab utama disini yaitu aspek ekonomi,
demografi, dan proses politik, yang nanti akan mempengaruhi alokasi
dari kelompok-kelompok penduduk, seperti bagaimana kekuatan
mereka, dan akses mereka terhadap sumber daya. Tekanan dinamis di
artikan yaitu kondisi ekonomi dan proses politik yang mempengaruhi
kondisi wilayah lokal, misalkan pola migrasi. Kerentanan sendiri dalam
model ini diartikan dalam bentuk lingkungan fisik, ekonomi lokal,
hubungan sosial, dan aksi publik, yang muncul dari penyebab utama
dan tekanan dinamis yang terjadi.
Page 15

Alur Kerentanan

Penyebab Tekanan Kerentanan Ancaman/Bahaya


Utama Dinamis
Gempa Bumi
Akses terbatas: Kekurangan: Fisik Lingkungan
Banjir
Kekuatan Pelatihan Ekonomi Lokal
Struktur Investasi Lokal Hubungan Sosial Longsor
Sumber Daya Kebebasan press Aksi Publik Erupsi Gn. Api
Ideologies Bencana Banjir
Sistem Politik Tekanan umum:
Virus dan Pes
Sistem Perubahan populasi
Ekonomi yang cepat Badai
Sistem ekonomi

Gambar 1.6
Model Terjadinya Bencana PAR MODEL

2.5.2 CRUNCH MODEL


Model ini ingin menjelaskan bahwa bencana terjadi hanya jika
ancaman/bahaya bertemu dengan situasi rentan. Diketahui bahwa
ancaman atau bahaya merupakan pemicu terjadinya bencana, baik itu
gempa bumi, erupsi gunung berapi, longsor, banjir, atau konflik sosial.
Kondisi rentan adalah ketika manusia atau properti terpapar resiko
dari bencana. Kondisi rentan dapat terbagi kedalam lingkungan fisik
ataupun non fisik. Lokasi fisik misalkan lokasi yang berbahaya dan
rumah serta infrastruktur yang tidak tahan bencana. Kemudian
Lingkungan non-fisik yang rentan misalkan pendapatan yang tidak
tetap atau rendah, kondisi kesehatan yang tidak baik, dan lain-lain.
Page 16

Kondisi Rawan Bencana

1. Lingkungan Fisik yang Rentan


Sumber Ancaman Bahaya
Lokasi berbahaya B
Rumah dan infrastruktur E Banjir
yang tidak tahan bencana N Angin Topan
C Gempa
Kerentanan Ancaman/Bahaya Gunung Api
A
N Longsor
2. Lingkungan Non- Fisik yang Kekeringan
A
Rentan
Pendapatan rendah/tidak
tetap
Tanpa tabungan

Gambar 1.7
Model Terjadinya Bencana CRUNCH MODEL

III. MANAJEMEN BENCANA


Penanggulangan bencana yang hanya fokus pada kegiatan paska bencana
tidaklah mencukupi, dan hal tersebut hanyalah bersifat reaktif. Masyarakat
akan terus menerus mengalami kerugian yang besar, dan kembali ke titik nol
setiap setelah terjadinya bencana. Diperlukan paradigma penanggulangan
bencana yang lebih bersifat proaktif, dimana fokus penanggulangan bencana
adalah mengurangi resiko sebelum terjadinya bencana.

Manajemen bencana atau penanggulangan bencana adalah seluruh kegiatan


yang meliputi aspek perencanaan penanganan dan penanggulangan bencana,
sebelum, pada saat dan sesudah terjadinya bencana.

MANAJEMEN BENCANA

Pra Bencana Tanggap Darurat Paska Bencana

Gambar 1.8
Manajemen Bencana
Page 17

Di dalam UU No. 24 Tahun 2007 dijelaskan bahwa penyelenggaraan


penanggulangan bencana adalah rangkaian upaya yang meliputi penetapan
kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan
pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi.

Manajemen bencana diperlukan karena bencana perlu untuk dikelola. Tujuan


utama manajemen bencana pada akhirnya adalah untuk mengurangi berbagai
resiko yang mungkin terjadi apabila terjadi bencana. Seperti yang pernah
dijelaskan sebelumnya, resiko dapat diturunkan dengan cara menghilangkan
atau mengurangi ancaman, menghilangkan dan atau mengurangi kerentanan,
dan meningkatkan kapasitas masyarakat.

Beberapa alasan mengapa bencana perlu dikelola, antara lain:

Bencana menyentuh suatu negara, pemerintah dan masyarakatnya


Pemerintah bertanggung jawab melindungi masyarakat dari terkena
bencana
Di pihak lain, pemerintah perlu dukungan dari masyarakat, sektor swasta,
LSM, negara-negara sahabat
Organisasi dan sumberdaya pemerintahan harus siap memikul beban-
beban tambahan akibat bencana
Diperlukan sistim pengelolaan bencana yang memadai, sesuai dengan
tahapan-tahapan bencana.
Pemerintah dan masyarakat harus bekerjasama dalam menghadapi
bencana secara terkoordinasi

Di dalam melakukan pengurangan resiko bencana sendiri terdapat beberapa


prinsip yang dapat diikuti yaitu:

Pengerahan sumber daya difokuskan pada kegiatan pencegahan,


kesiapsiagaan, dan perencanaan
Sinergi dengan berbagai komponen pemerintahan
Pelibatan semua pemangku kepentingan
Prioritas Penanggulangan Bencana
Page 18

3.1 Siklus Manajemen Bencana

BENCANA
Tanggap Darurat:
1. Penyelamatan & Evakuasi (SAR)
2. Bantuan Darurat
Kesiapsiagaan Disaster Risk Resilience

Paska
Bencana
Pra
Bencana
Mitigasi
Pemulihan:
1. Rehabilitasi
2. Rekonstruksi

Pencegahan

Pembangunan

Gambar 1.9
Siklus Manajemen Bencana

3.2 Fase Tanggap Darurat

Tanggap darurat atau emergency response adalah serangkaian kegiatan


yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan. Tujuan dari tanggap
darurat adalah:

Memastikan keselamatan korban sebanyak mungkin dan menjaga


kondisi mereka sebaik mungkin
Menyediakan pelayanan dasar secepat mungkin bagi semua
kelompok, terutama bagi mereka yang paling membutuhkan yaitu
Page 19

kelompok paling rentan baik dari sisi umur, jenis kelamin dan
keadaan fisik
Memperbaiki infrastruktur yang rusak atau hilang dan menggerakkan
kembali aktivitas ekonomi yang paling mudah
Melindungi dan membantu masyarakat sipil dalam menghadapi
kekerasan yang mungkin terjadi di masa setelah terjadinya bencana
Mencari solusi terbaik ketika di pengungsian

Berbagai stakeholder yang terlibat di dalam Fase Tanggap Darurat ini


adalah BPBD, Tni/Polri, PMI, Dinas Kesehatan, Masyarakat, LSM,
Perguruan Tinggi dan lain-lain.

Kegiatan tanggap darurat meliputi:

a) Penyelamatan dan evakuasi korban (SAR)


Di dalam kegiatan ini diupayakan berbagai pencarian dan
penyelamatan korban, dimana korban hidup didahulukan sebelum
korban meninggal. Setiap tipe bencana mempunyai Standard
Operating Procedure, dan kegiatan penyelamatan dan evakuasi ini
dilakukan oleh orang-orang terlatih.
b) Pengurusan pengungsi (relief)
Pemenuhan kebutuhan dasar
Perlindungan
Shelter

Didalam kegiatan pengurusan pengungsi, diperlukan kajian cepat


untuk menentukan jumlah korban dan pengungsi yang tentu saja
akan menentukan jenis, volume, dan space yang akan dibutuhkan
oleh pengungsi.

Kajian Cepat

Tujuan dari pengkajian cepat yaitu menyediakan gambaran situasi


paska bencana yang jelas dan akurat. Pengkajian cepat ini harus
responsif terhadap kebutuhan korban yang beragam dari sisi umur,
gender, keadaan fisik dan kebutuhan khususnya. Berbagai indikator
yang digunakan dalam kajian cepat ini antara lain:
Page 20

Jumlah korban meninggal dunia dan luka-luka


Tingkat kerusakan infrastruktur
Tingkat ketidakberfungsian pelayanan-pelayanan dasar
Cakupan wilayah bencana
Kapasitas pemerintah setempat dalam merespon bencana
tersebut

The Sphere Project

Didalam mengatur masalah logistik pengungsian, terdapat aturan


yang memang mengatur masalah standarisasi logistik tersebut. Aturan
tersebut tercantum di dalam sphere project yang berisi standar inti
dan standar minimum berbagai bantuan yang diperlukan oleh para
korban bencana. Sphere Project berlandaskan bahwa yang terkena
bencana atau konflik mempunyai hak asasi untuk hhidup bermartabat
dan oleh sebab itu berhak untuk mendapat bantuan. Semua langkah
yang memungkinkan harus diambil untuk meringankan beban
penderitaan manusia akibat bencana atau konflik.

Didalam sphere project terdapat beberapa hal yang diatur antara


lain:

Pasokan air, sanitasi, dan promosi kebersihan

Ketahanan pangan dan gizi

Hunian, permukiman dan bantuan non pangan

Kesehatan

Di masa tanggap darurat, dimana terdapat pengurusan pengungsi,


terdapat beberapa hal yang diatur antara lain, yaitu:

Jumlah tenda pengungsi : barak, tenda keluarga


Pelindungan kelompok rentan : anak-anak dan wanita
Air bersih (air minum)
Logistik
Dapur Umum
Page 21

Watsan
Kesehatan Lapangan

Berbagai standarisasi mengenai logistik didalam masa tanggap darurat


sendiri pun diatur didalam Peraturan Kepala BNPB No 13 Tahun 2008
mengenai Pedoman Manajemen Logistik dan Peralatan Penanggulangan
Bencana. Kemudian pula terdapat Peraturan Kepala BNPB No. 4 Tahun
2009 mengenai Pedoman Bantuan Logistik. Kemudian Peraturan Kepala
BNPB No. 18 Tahun 2009 mengenai standarisasi logistik penanggulangan
bencana. Dan juga Peraturan Kepala BNPB No. 19 Tahun 2010 mengenai
pedoman penghapusan logistik dan peralatan penanggulangan bencana.

c) Penyelamatan harta benda

3.3 Fase Pemulihan


Fase pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan
kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan
memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan
melakukan upaya rehabilitasi. Fase pemulihan ini terbagi lagi menjadi
dua, yaitu:

Rehabilitasi
Rekonstruksi

Fase pemulihan terjadi setelah fase tanggap darurat. Setelah fase


tanggap darurat terjadi, dilanjutkan dengan fase pemulihan yang
dimulai dengan rehabilitasi kemudian rekonstruksi.
Page 22

Gambar 1.10
Periode Pemulihan setelah Bencana

Rehabilitasi merupakan upaya perbaikan dan pemulihan semua aspek


pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada
wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau
berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan
masyarakat pada wilayah pasca bencana. Berbagai kegiatan rehabilitasi
yaitu:

Pemulihan prasarana dan sarana (termasuk lifelines)


Pemulihan fungsi pemerintahan
Mendirikan pelayanan kesehatan lapangan
Mendirikan fasilitas sosial dan fasilitas umum sementara, seperti
sekolah, tempat ibadah, dll.
Membantu menumbuhkan kehidupan ekonomi.
Page 23

Kegiatan rehabilitasi ini tentu memerlukan dukungan semua pihak,


antara lain BPBD, Masyarakat, Pemerintah Daerah, Dinas PU, Dinas
Kesehatan, LSM dan lain-lain

Rekonstruksi merupakan upaya pembangunan kembali semua prasarana


dan sarana, kelembagaan pada wilayah paska bencana, baik pada
tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama
tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan
budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta
masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah
paska bencana. Rekonstruksi antara lain didukung oleh pihak BPBD,
Pemerintah Daerah, Dinas PU, Dinas Perumahan dan Permukiman, LSM
dan lain-lain. Berbagai kegiatan rekonstruksi yaitu:

Memperbaiki, membangun kembali rumah yang terkena dampak


bencana
Relokasi daerah hunian ke lokasi aman (low risk)
Memperbaiki, membangun kembali infrastrutur kritis dan jaringan
vital kehidupan (lifelines) yang terkena dampak bencana.

3.4 Fase Pembangunan


Di dalam fase pembangunan, difokuskan agar segala kegiatan
penanggulangan bencana mengarah kepada pembangunan yang
berkelanjutan (Sustainable Development). Fase Pembangunan adalah
kegiatan yang berkelanjutan yang ditujukan untuk meningkatkan atau
menjaga kesejahteraan sosial dan ekonomi dari suatu masyarakat.
Dijelaskan bahwa setiap kegiatan pembangunan harus
mempertimbangkan unsur pengurangan resiko bencana. Fase ini
didukung oleh berbagai stakeholder pembangunan yang
mengintegrasikan pengurangan resiko bencana ke dalam program
instansi masing-masing.
Page 24

3.5 Fase Pencegahan (Preventive)

Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007, Pencegahan yaitu Serangkaian


kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau
mengurangi ancaman bencana. Pencegahan menekankan pada
ancaman-ancaman yang bisa dihilangkan sehingga bencana bisa
dicegah. Upaya menghilangkan ancaman disebut sebagai upaya
pencegahan . Pencegahan ini berlaku untuk komunitas maupun
lingkungan binaan (built environment) termasuk didalamnya adalah
infrastruktur dan fasilitas kritis.

Fase Pencegahan memerlukan berbagai peran stakeholder antara lain


BPBD, Masyarakat, Bappeda, Dinas Tata Kota, Dinas Perumahan dan
Permukiman, dan lain lain.

Berbagai kegiatan pencegahan yaitu:


Standard keselamatan (safety standard) untuk industri
Regulasi : Tata Ruang maupun Tata Guna Lahan
Bangunan tahan gempa

3.6 Fase Kesiapsiagaan (Preparedness)

Kesiapsiagaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk


menganitisipasi bencana melalui pengorganisasi serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna. Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007,
kesiapsiagaan adalah segala upaya untuk menghadapi situasi darurat
serta mengenali berbagai sumber daya untuk memenuhi kebutuhan saat
itu. Kemudian berdasarkan IFRC (2000), kesiapsiagaan adalah segala
upaya untuk menghadapi situasi darurat serta mengenali berbagai
sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan saat itu. Hal ini bertujuan
agar masyarakat memiliki persiapan yang lebih baik saat menghadapi
bencana. Terakhir menurut UNISDR (2007), kesiapsiagaan adalah
pengetahuan dan kapasitas yang dikembangkan oleh pemerintah,
Page 25

professional kebencanaan, komunitas dan individu untuk secara efektif


mengantisipasi, merespon dan mengatasi kejadian bencana.

Kegiatan kesiapsiagaan adalah langkah penting dalam penanggulangan


bencana. Kegiatan kesiapsiagaan berfungsi sebagai rencana kontijensi
(contingency plan). Rencana ini dibuat saat sebelum ancaman bencana
terjadi, sebagai bentuk antisipatif apabila ancaman bahaya benar-
benar muncul.

Fase Kesiapsiagaan memerlukan banyak peran stakeholder, seperti


tentu saja BPBD, Perguruan Tinggi, LSM, Dinas PU, Dinas Tata Kota,
dan lain-lain

Berbagai upaya kesiapsiagaan antara lain,

Pengembangan Rencana Kontijensi


Capacity Building
Early warning termasuk pembuatan rute dan prosedur evakuasi
Drill : Full Scale

Kegiatan kesiapsiagaan dalam penanggulangan bencana dikategorikan


ke dalam 9 aktivitas, yaitu:

1. Pengukuran awal
Pengukuran awal dapat dilakukan terhadap berbagai aspek yang
mempengaruhi resiko bencana, disertai pengumpulan data-data
pendukung.
2. Perencanaan
Perencanaan adalah proses untuk memperjelas tujuan dan arah
aktivitas kesiapsiagaan, kemudian mengidentifikasi tugas-tugas
serta tanggung jawab secara lebih spesifik dari setiap stakeholder.
3. Rencana Institusional
Disini ditekankan kerjasama antar berbagai lembaga dalam
kesiapsiagaan menghadapi bencana. Disini dihindarkan
pembentukan struktur kelembagaan yang baru dalam
penanggulangan bencana.
Page 26

4. Sistem Informasi
Sistem informasi mengkoordinasikan segala hal yang diperlukan
misalkan dalam koordinasi peralatan, menyebarkan sistem
peringatan, dan lain-lain.
5. Pusat Sumber Daya
Pusat sumber daya diperlukan untuk mendata berbagai barang dan
jasa yang dibutuhkan dan tersedia terkait penanggulangan
bencana.
6. Sistem Peringatan
Sistem peringatan memiliki peran penting dalam menyampaikan
peringatan kepada masyarakat luas, sehingga harus
dipertimbangkan berbagai cara yang efektif untuk menyampaikan
peringatan tersebut
7. Mekanisme Respon
Respon yang mungkin muncul terhadap terjadinya bencana akan
sangat banyak dan datang dari berbagai daerah sehingga harus
dipersiapkan dengan baik.
8. Pelatihan dan Pendidikan Terhadap Masyarakat
Setiap masyarakat yang rentan dan rawan terkena ancaman
bencana sebaiknya mempelajari banyak hal mengenai bencana
9. Praktek
Mempraktikkan hal-hal yang sudah dipersiapkan dalam rencana
kesiapsiagaan, sehingga dapat diidentifikasi kesenjangan yang
muncul dalam rencana kesiapsiagaan tersebut.

3.7 Fase Mitigasi (Mitigation)

Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2007, mitigasi yaitu serangkaian upaya


untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik
maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
ancaman bencana. Bencana mempunyai dampak yang memungkinkan
untuk dicegah, sedangkan untu dampak yang tidak memungkinkan
untuk dicegah dapat dikurangi dengan cara mitigasi. Upaya mengurangi
Page 27

dampak atau ancaman tersebut disebut sebagai upaya mitigasi. Mitigasi


berfokus pada pengurangan skala, besaran, intensitas dari sebuah
ancaman, bukan menghilangkannya. Mitigasi dapat berupa tindakan
struktural maupun non struktural. Stakeholder yang ikut berperan
antara lain, BPBD, Dinas-Dinas Terkait, Perguruan Tinggi, dan lain
sebagainya.

IV. MODEL MANAJEMEN BENCANA


Di dalam melakukan manajemen bencana terdapat berbagai model yang
digunakan demi mengurangi dampak yang terjadi akibat bencana tersebut.
Manajemen bencana dapat dilakukan dengan cara mengurangi kerentanan
ataupun dengan cara peningkatan kapasitas masyarakat. Berbagai model
manajemen bencana dapat digunakan sebagai acuan atau referensi bagi
program-program yang sejenis baik di tingkat nasional maupun di daerah.
Model manajemen bencana juga dapat berfungsi sebagai gambaran penangan
dan manajemen bencana yang terintegrasi dengan model-model untuk
mendukung pembangunan berkelanjutan yang lain di tingkat yang lebih tinggi.

4.1 DRR Master Plan

DRR Master Plan adalah alat bagi pemerintah setempat untuk menjalankan
agenda DRR secara sistematis, termasuk legalitas, kelembagaan, pembiayaan,
sosial, dan teknisnya. Disaster Risk Management Master Plan merupakan
model analitis yang mengintegrasikan upaya pengurangan resiko bencana
kedalam level kebijakan, strategi, dan aksi lokal. Disaster Risk Management
Master Plan akan meningkatkan komunikasi untuk pengurangan resiko,
kemudian disertai program-program peningkatan kapasitas, termasuk integrasi
antar sentor, organisasi professional atau NGO dalam seitap manajemen
bencana di perkotaan.

Tujuan dari DRR Master Plan adalah untuk (1) mencapai kerangka hukum dan
kelembagaan yang kuat untuk sistem manajemen risiko bencana yang efektif,
Page 28

dan (2) mengintegrasikan manajemen risiko bencana ke dalam pemerintahan,


bisnis, dan perekonomian di daerah setempat.

Berikut ini adalah contoh dari penerapan DRR Master Plan yang dilakukan oleh
Kota Metro Manila di Filipina untuk
untuk mengintegrasikan kajian pengurangan
risiko bencana dengan aktor-aktor
aktor aktor lain yang terlibat di kota tersebut. Tim
yang mengkaji pengurangan risiko bencana berhasil meyakinkan aktor-aktor
aktor
lain yang terlibat untuk mendukung program pengurangan risiko bencana.
Model ini juga mengambil keuntungan dari pemerintah pusat dan masyarakat
untuk meyakinkan pemerintah setempat untuk mengutamakan pengurangan
risiko bencana dalam kebijakan-kebijakan
kebijakan yang dikeluarkan.

Gambar 1.11

Gambar 1.11 Sumberdaya di suatu kota besar yang tersedia untuk Rencana
Pengurangan Risiko Bencana . Penerapan DRR Master Plan ini digunakan oleh
Kota Metro Manila di Filipina.
Page 29

Selain itu, terdapat model lain yang dibuat berdasarkan pembelajaran dari
kota Istanbul di Turki. Turki diguncang
diguncang gempa dengan kekuatan 7.2 skala
ritcher yang menewaskan 17.000 nyawa dan membuat 500.000 penduduk
lainnya kehilangan rumah. Model ini sukses diterapkan di Kota Istanbul selama
kurun waktu tahun 2000 hingga tahun 2006. Gambar di bawah ini
menunjukkan DRR Model yang terintegrasi dengan 4 komponen yaitu ilmu
pengetahuan dan sumber daya, partisipasi sosial, komitmen kelembagaan,
dan rencana aksi.

Gambar 1.12.. Model Rencana Pengurangan Risiko Bencana di Turki.


Pembelajaran dari Gempa Bumi pada tahun 1999. Model ini kemudian
diadaptasi oleh UNDP dan UNISDR sebagai sarana efektif untuk
pengurangan risiko bencana.
Page 30

4.2 Rencana Penanggulangan Bencana

Rencana Rencana Operasi


Kontijensi Tanggap Darurat

Tanggap
Kesiapsiagaan
Darurat

Pencegahan
Pemulihan
dan Mitigasi

Rencana Penanggulangan Rencana Pemulihan


Bencana (Rehab dan Rekon)

Gambar 1.13 Rencana dalam Penanggulangan Bencana

Rencana Operasi Tanggap Darurat adalah suatu proses perencanaan tindakan


operasi darurat bencana dengan menyepakati tujuan operasi, ketetapan
tindakan teknis dan manajerial untuk penanganan darurat bencana, dan
disusun berdasarkan berbagai masukan penanganan bencana termasuk
rencana kontijensi dan informasi bencana untuk mencapai tujuan penanganan
darurat bencana secara aman, efektif, dan akuntabel.

Rencana Pemulihan adalah rencana yang berisikan prosedur dan aktivitas


pemulihan pasca bencana yang akan dilakukan dalam rangka normalisasi
semua aspek kehidupan masyrakat pada wilayah terdampak bencana.

Rencana Penanggulangan Bencana merupakan rencana umum dan


menyeluruh yang meliputi seluruh tahapan/bidang kerja kebencanaan.
Rencana Penanggulangan Bencana dilakukan pada tahap pra bencana dalam
situasi tidak terjadi bencana
Page 31

Rencana Kontijensi adalah suatu suatu proses perencanaan ke depan


terhadap keadaan yang tidak menentu untuk mencegah, atau menanggulangi
secara lebih baik dalam situasi darurat atau kritis dengan menyepakati
scenario dan tujuan, menetapkan tindakan teknis dan manajerial, serta
tanggapan dan pengerahan yang telah disetujui bersama.

Tabel I.3 Prinsip Rencana dalam Penanggulangan Bencana

No Jenis Rencana Prinsip-Prinsip

1 Rencana Penanggulangan Disusun pada kondisi normal


Bencana
Bersifat Prakiraan umum

Cakupan kegiatan luas/umum


meliputi semua tahapan/bidang
kerja penanggulangan bencana

Dipergunakan untuk seluruh jenis


ancaman bencana (multi hazard)
pada tahapan pra, saat tanggap
darurat, dan pasca bencana.

Pelaku yang terlihat adalah semua


pihak yang terkait

Waktu yang tersedia cukup


banyak/panjang

Sumberdaya yang diperlukan masih


berada pada tahap inventarisasi

2 Rencana Mitigasi Disusun pada kondisi normal

Berisi tentang berbagai ancaman,


kerentanan, sumberdaya yang
dimiliki, pengorganisasian, dan
Page 32

peran/fungsi dari masing-masing


instansi/pelaku

Dipergunakan untuk beberapa jenis


ancaman (multi hazard)

Berfungsi sebagai panduan atau


arahan dalam penyusunan rencana
sektoral

Kegiatan terfokus pada aspek


pencegahan dan mitigasi

Tidak menangani kesiapsiagaan

3 Rencana Kontijensi Disusun sebelum


kedaruratan/kejadian bencana
Sifat rencana terukur
Cakupan kegiatan spesifik,
dititikberatkan pada kegiatan untuk
menghadapi keadaan darurat
Dipergunakan untuk 1 (satu) jenis
ancaman (single hazard)
Pelaku yang terlibat hanya terbatas
sesuai dengan jenis ancaman
bencananya
Untuk keperluan jangka/kurun
waktu tertentu
Sumberdaya yang dibutuhkan pada
tahapan ini bersifat penyiapan

4 Rencana Operasi Merupakan tindak lanjut atau


penjelmaan dari rencana kontijensi,
setelah melalui kaji cepat
Sifat rencana sangat spesifik
Cakupan kegiatan sangat spesifik,
dititik beratkan pada kegiatan
Page 33

tanggap darurat
Dipergunakan untuk 1 (satu) jenis
bencana yang benar-benar telah
terjadi
Pelaku yang terlibat hanya pihak-
pihak yang benar-benar menangani
kedaruratan
Untuk keperluan selama darurat
(sejak kejadian bencana sampai
dengan pemulihan darurat)
Sumberdaya yang diperlukan ada
pada tahap pengarahan/mobilisasi

5 Rencana Pemulihan Disusun pada tahapan pasca


bencana
Sifat rencana spesifik sesuai
karakteristik kerusakan
Cakupan kegiatan adalah pemulihan
awal (early recovery), rehabilitasi
dan rekonstruksi
Fokus kegiatan bisa lebih beragam
(fisik, sosial, ekonomi, dll)
Pelaku hanya pihak-pihak yang
terlibat dalam pelaksanaan
pemulihan awal, rehabilitasi dan
rekonstruksi
Untuk keperluan jangka
menengah/panjang, tergantung dari
besar dan luasnya dampak bencana
Sumberdaya yang diperlukan ada
pada tahapan aplikasi/pelaksanaan
kegiatan pembangunan jangka
menengah/panjang
Page 34

4.3 Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB)

Kejadian bencana akhir-akhir ini yang menerpa Indonesia mendorong


Pemerintah untuk membuat suatu kerangka dalam sebuah manajemen
bencana dari yang semula bersifat responsif dan kuratif ke arah upaya yang
preventif. Di dalam Hyogo Framework telah dibahas mengenai lima prioritas
aksi utama terhadap pentingnya pengarusutamaan pengurangan risiko
bencana ke dalam sistem perencanaan pembangunan. Undang-Undang no 24
tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana lahir pasca peristiwa-peristiwa
bencana besar yang melanda Indonesia yang di dalam peraturan perundangan
tersebut mengubah paradigma akan penangan bencana selama ini hanya
ditangani oleh pemerintah secara terpusat menjadi penanganan bencana yang
melibatkan seluruh pemangku kepentingan antar sektor yang terlibat.

Gambar 1.14 Kerangka Koordinasi Perencanaan Penanggulangan Bencana.


Page 35

Gambar ini menerangkan kedudukan Rencana Aksi Nasional Pengurangan


Risiko Bencana di dalam dokumen perencanaan lain. RAN-PRB disusun atas
bentuk komitmen dari Pemerintah Indonesia mengenai kesepakatan yang
telah disepakati bersama di dunia internasional yang tertuang dalam Hyogo
Framework for Action dan Beijing Action. Dokumen rencana aksi nasional ini
diharapkan menjadi acuan bagi seluruh aksi untuk pengurangan dan
penanggulangan bencana yang ada di Indonesia. RAN-PRB juga diharapkan
dapat mendukung UU no 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan bencana,
dimana salah satu komponen penanggulangan bencana adalah pengurangan
risiko bencana. RAN-PRB juga diharapkan dapat mengubah paradigma
penanganan bencana di Indonesia. Perubahan paradigma yang diharapkan
tersebut antara lain (1) penanganan bencana yang tidak hanya menekankan
pada tanggap darurat melainkan pada keseluruhan manajemen risiko, (2)
perlindungan masyarakat dari ancaman bencana oleh pemerintahmerupakan
wujud dari hak asasi rakyat dan bukan semata-mata karena kewajiban
pemerintah; dan (3) penanganan bencana bukan hanya menjadi tanggung
jawab pemerintah melainkan menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat.

4.4 Rencana aksi daerah

Tindak lanjut dari penyusunan rencana aksi nasional di tingkat pusat adalah
penyusunan rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana di tingkat daerah
(RAD-PRB). Rencana aksi daerah ini dokumen daerah yang disusun melalui
proses koordinasi dan partisipasi stakeholder yang memuat landasan,
prioritas, rencana aksi serta mekanisme pelaksanaan dan kelembagaannya
bagi terlaksananya pengurangan Risiko bencana di daerah. Secara umum,
daerah-daerah di Indonesia terdapat dua kondisi kebijakan penanggulangan
bencana yaitu:

1. Daerah yang belum memiliki kebijakan Penanggulangan Bencana.


2. Daerah yang sudah memiliki kebijakan Penanggulangan Bencana. Daerah
ini dapat dikelompokkan lagi menjadi daerah yang kebijakannya sesuai
dengan UU no.24/2007 dan daerah yang kebijakan disusun sendiri sesuai
dengan kebutuhan lokal.
Page 36

Sebelum turunan dari UU Penanggulangan Bencana muncul, wacana mengenai


landasan hukum dari RAD PRB adalah melalui peraturan/keputusan kepala
daerah tingkat I/II. Setelah disahkannya PP No. 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, maka situasinya menjadi berubah.
Berdasarkan PP tersebut diketahui bahwa: (i) untuk melakukan upaya
pengurangan risiko bencana dilakukan penyusunan rencana aksi pengurangan
risiko bencana (Pasal 8 ayat 1), (ii) rencana aksi pengurangan risiko bencana
terdiri dari rencana aksi nasional pengurangan risiko bencana (RAN PRB)
(Pasal 8 ayat 2a) dan rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana (RAD-
PRB) (Pasal 8 ayat 2b), (iii) RAD-PRB disusun secara menyeluruh dan terpadu
dalam suatu forum yang meliputi unsur dari pemerintah daerah, non
pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha di daerah yang bersangkutan yang
dikoordinasikan oleh BPBD (Pasal 8 ayat 5), (iv) RAD-PRB ditetapkan oleh
kepala BPBD setelah dikoordinasikan dengan instansi/lembaga yang
bertanggungjawab di bidang perencanaan pembangunan daerah dengan
mengacu pada rencana aksi nasional pengurangan risiko bencana (Pasal 8 ayat
6), dan (v) RAN-PRB dan RAD-PRB ditetapkan untuk jangka waktu 3 (tiga)
tahun dan dapat ditinjau sesuai dengan kebutuhan (Pasal 8 ayat 7).
Pemerintah daerah diharapkan dapat menindak lanjuti penyusunan RAN ini
dalam bentuk penyusunan Rencana Aksi Daerah PRB, baik ditingkat propinsi
maupun ditingkat kabupaten/kota. Komitmen seluruh instansi dan pemangku
kepentingan terkait mutlak dibangun dalam rangka implementasi RAD-PRB
yang sudah disusun.

Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan


Bencana dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah diwajibkan untuk
menyelenggarakan penanggulangan bencana di daerahnya. Tanggung jawab
Pemerintah Daerah tersebut meliputi pemenuhan hak masyarakat terkena
bencana, melindungi dari dampak bencana dan melakukan pembangunan baik
dalam bentuk fisik dan peningkatan kapasitas masyarakat untuk mengurangi
risiko bencana dengan dana yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD).
Page 37

V. LAW ENFORCEMENT/LEGAL FRAMEWORK


Di dalam pelaksanaan penanggulangan bencana terdapat kerangka hukum
atau peraturan perundangan yang menekankan pentingnya pelaksanaan
penanggulangan bencana di setiap wilayah di dunia. Legal Framework yang
pertama adalah Hygo Framework yang terumuskan pada tahun 2005 di
Jepang yang pada akhirnya menjadi Hyogo Framework for Action 2005-2015:
Building the Resilience of Nations and Communities to Disasters. Hyogo
Framework ini ikut berkontribusi terhadap pencapaian perjanjian
internasional seperti MDGs.
Page 38

5.1 Hyogo Framework

Keluaran yang diharapkan

Pengurangan yang substansial jika terjadi bencana dalam hal kehilangan/kerugian nyawa, kehidupan sosial,
ekonomi, dan aset sumberdaya yang ada di masyarakat dan negara.

Strategic Goals

Pengurangan Resiko bencana yang Pembuatan dan Penguatan Sistem yang jelas dalam pendekatan
terintegrasi dalam perencanaan dan kelembagaan, mekanisme dan Pengurangan Resiko Bencana dalam
peraturan pembangunan yang kapasitas untuk ketahanan terhadap hal implementasi kesiapsiagaan,
berkelanjutan bahaya respon, dan pemulihan bencana

Prioritas Aksi

1. Memastikan bahwa pengurangan resiko bencana merupakan sebuah prioritas nasional dan
lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat
2. Mengidentifikasi, menilai, dan memonitor resiko bencana dan meningkatkan peringatan dini
3. Menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun budaya keselamatan
dan ketahanan di setiap tingkat
4. Mengurangi faktor-faktor resiko yang mendasar
5. Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana untuk respon yang efektif di semua tingkatan

Cross Cutting Issues

Pendekatan untuk Perspektif akan Partisipasi Komunitas Pengembangan


bahaya lebih dari 1 perbedaan gender dan dan Relawan kapasitas dan transfer
budaya teknologi

Gambar 1.15. Kerangka Hyogo Framework 2005-2015

Hyogo Framework ini menjadi landasan awal berbagai kegiatan


penanggulangan bencana di seluruh dunia. Hyogo framework ini
kemudian diperjelas dan diperkuat posisinya dengan pembuatan
Undang-Undang yang mengatur masalah penanggulangan bencana dan
berbagai undang-undang lain yang terkait. Hyogo Framework
berorientasi untuk mengurangi resiko bencana dengan memaparkan
Page 39

aksi-aksi yang diprioritaskan didalam penanggulangan bencana. Hyogo


Framework menekankan bahwa pengurangan resiko bencana
merupakan sebuah prioritas nasional dan lokal dalam setiap negara.

5.2 Peraturan Perundangan

Di negara Indonesia, terdapat peraturan perundangan yang menegaskan


mengenai pelaksanaan penanggulangan bencana di Indonesia. Beberapa
Undang-Undang yang secara jelas menjelaskan mengenai kegiatan
penanggulangan bencana yaitu Undang Undang No. 24 Tahun 2007 dan
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 mengenai Tata Ruang.

Di dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 dijelaskan mengenai


kelembagaan di dalam penanggulangan bencana yang berada di bawah
wewenang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Didalam Undang-Undang No.
24 Tahun 2007 pun dijelaskan mengenai penyelenggaraan
penanggulangan bencana di masa pra bencana, tanggap darurat, dan
paska bencana.

Selain Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, terdapat pula Undang-


Undang No. 26 Tahun 2007 mengenai penataan ruang. Di dalam
undang-undang ini dijelaskan bahwa diperlukan penataan ruang yang
berbasis mitigasi bencana mengingat bahwa Indonesia berada pada
kawasan rawan bencana sehinga tercipta ruang yang mampu
meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan juga
penghidupan. Kemudian terdapat pula Undang-Undang No. 27 Tahun
2007 mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Undang-undang ini kemudian diturunkan lagi kedalam berbagai


peraturan pemerintah dan peraturan kepala menteri di masing-masing
sektor. Peraturan Pemerintah yang ikut mengatur mengenai
penanggulangan bencana yaitu Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun
2008 mengenai Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Kemudian
Page 40

Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2008 mengenai Pendanaan dan


Pengelolaan Bantuan Bencana. Terdapat pula peraturan dari kepala
BNPB sendiri, misalkan Peraturan Kepala BNPB No. 2 Tahun 2012
mengenai Pedoman Umum Pengkajian Resiko Bencana. Kemudian
Peraturan Kepala BNPB No. 3 Tahun 2013 mengenai Panduan Penilaian
Kapasitas Daerah dalam Penanggulangan Bencana.

VI. SIMULASI / LATIHAN

1. Simulasi dilakukan dengan maksud sebagai pemahaman bagi peserta


mengenai materi konsep dan prinsip manajemen bencana.
2. Didalam simulasi ini peserta akan dipersilahkan untuk menonton film
Tsunami Aceh atau Tohoku
3. Peserta akan dibagi ke dalam kelompok ganjil dan kelompok genap
4. Kelompok Ganjil Fokus pada Tanggap Darurat
5. Kelompok Genap Fokus pada Pra Bencana
6. Masing-masing identifikasi stakeholder yang berperan, kemudian kegiatan
yang dilakukan oleh stakeholder tersebut
7. Setelah selesai, kelompok 1 bergabung dengan kelompok 2, 3 dengan 4,
kemudian 5 dengan 6, dan 7 dengan 8.
8. Di kelompok yang sudah bersatu, identifikasi perbedaan kelompok yang
fokus pada tanggap darurat dengan yang fokus pada pra bencana
9. Identifikasi dampak positif dan negatif yang didapat dari kelompok yang
hanya fokus pada tanggap darurat dan pra bencana

Anda mungkin juga menyukai