Anda di halaman 1dari 40

Page 65

MODUL # 3

GENDER DAN KELOMPOK RENTAN


DALAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA
DI INDONESIA
Untuk Pelatihan Dasar Penanggulangan Bencana

Oleh:

Ayu Krishna Yuliawati

Bayu Novianto

Kerjasama IOM dengan PPMB-ITB

2013
Page 66

I. PENDAHULUAN

I.1 Ringkasan Materi Secara Umum

Modul ini akan menjelaskan mengenai Gender dan Kelompok Rentan


dalam Praktek Pengurangan Risiko Bencana dan Pembangunan di
Indonesia. Penjelasan mengenai fenomena yang terjadi di Indonesia,
dan peraturan perundangan yang berlaku mengenai gender dan
kelompok rentan. Modul ini juga akan menyajikan materi mengenai
bagaimana pengarusutamaan gender dan kelompok rentan dalam PRB
dan pembangunan.

I.2 Tujuan

Setelah mengikuti sesi modul ini, peserta pelatihan diharapkan mampu


untuk :

1. Memahami definisi serta konsep Gender dan Kelompok Rentan


dalam konteks bencana dan pembangunan
2. Memahami peraturan perundangan yang berlaku mengenai gender
dan kelompok rentan
3. Memahami perlunya belajar gender dan kelompok rentan dalam PRB
4. Memahami Pengarusutamaan Gender (PUG) dan kelompok rentan
dalam Pengurangan Risiko Bencana (PRB)
5. Memahami peran pemerintah dalam pengarusutamaan gender dan
kelompok rentan

I.3 Pokok Bahasan

1. Definisi dan Konsep Gender dan Kelompok Rentan


2. Gender, Kelompok Rentan Dan Bencana
3. Peran Pemerintah Dalam Pengarusutamaan Gender (PUG) dan
Kelompok Rentan
4. Analisis Gender dalam program pemerintah
Page 67

I.4 Metode Penyampaian

1. Pemaparan dan Tanya Jawab


2. Studi Kasus dan Diskusi

I.5 Waktu

1. Pamaparan (Kuliah) : 120 menit


2. Simulasi/Latihan : 180 menit

I.6 Alat dan Bahan

LCD Proyektor, Laptop, Kertas Plano dan Metaplan, Spidol, Modul


Materi

II. DEFINISI DAN KONSEP GENDER DAN KELOMPOK RENTAN

Apa Itu GENDER ?

Istilah gender berkaitan dengan peran dan tanggung jawab antara perempuan
dan laki-laki. Lebih jelasnya gender merupakan perbedaan peran, fungsi, dan
tanggungjawab laki-laki dan perempuan dari hasil konstruksi sosial, tidak
bersifat kodrat, dapat berubah, dan tergantung oleh waktu dan budaya
setempat. Seringkali terjadi salah pengertian bahwa gender dan jenis kelamin
adalah istilah yang sama padahal konsepnya berbeda. Jenis kelamin adalah
perbedaan secara kodrati (biologis), dimana ciptaan Tuhan yang tidak akan
dapat dirubah dan berlaku sepanjang masa. Gender adalah sifat, perilaku,
peran-peran dan tanggungjawab perempuan (anak-anak perempuan) dan laki-
laki (anak laki-laki) yang dipelajari di dalam keluarga, masyarakat dan
budaya. Gagasan/harapan tentang laki-laki dan perempuan ini bersifat tidak
universal, artinya bisa berbeda-beda berdasar ruang (tempat) dan waktu.
Selain juga bisa berubah dari waktu ke waktu, dari satu komunitas ke
Page 68

komunitas lain, dari satu kelas sosial ke kelas sosial yang lain. Karena gender
merupakan konstruksi sosial budaya.1

Kita perlu memisahkan perbedaan jenis kelamin secara biologis dan gender,
karena tidak dapat digunakan sebagai alat analisis yang berguna untuk
memahami realitas kehidupan dan dinamika perubahan relasi laki-laki dan
perempuan. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran,
tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia
beraktifitas. Menurut Elaine Enarson (2000) Gendermerupakan faktor yang
kompleks dan berubah didasarkan perbedaan dengan melihat biologis
(reproduksi, kesehatan, seksualitas), identitas gender dimana menerima
sosialisasi (kepribadiam, interaksi,norma gender) dan hubungan relasi gender
dalam masyarakat (kesempatan, keamanan, pencapaian, deteminasi diri).
Walaupun pengertian jenis kelamin, dan gender berbeda tapi saat ini
memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari kita. Gender dapat
menentukan bagaimana kita memandang realitas yang ada saat ini.

Tabel 1. Perbedaan Seks dan Gender

Jenis Kelamin/Seks Gender


Secara biologis, kita telah Kita belum memilikinya pada saat lahir. Gender
memilikinya sejak lahir, yang selalu dibangun dari proses sosial, merupakan perilaku
tidak berubah. yang dipelajari dan ditanamkan, dan bisa diubah.

Contoh:
1. Perempuan hanya tinggal di rumah dan
Contoh: mengurus anak, tetapi laki-laki dapat pula
1. Hanya perempuan yang tinggal di rumah dan mengurus anak seperti
memiliki indung telur, rahim halnya perempuan.
dan bisa melahirkan. 2. Salahsatu jenis pekerjaan bagi laki-laki
2. Hanya laki-laki yang memiliki adalah sopir bis, tapi perempuan bisa juga
testis dan memproduksi mengemudikan bis sebaik yang dilakukan
sperma. laki-laki.

1
Modul Pelatihan Dasar Penanggulangan Bencana, BNPB (2012)
Page 69

Kelompok Rentan

Blaikie,P. et.al. (2004)2 mendefinisikan bahwa kerentanan merujuk pada


karakteristik orang atau sekelompok dan situasi yang mempengaruhi kapasitas
mereka untuk mengantisipasi, berhadapan dan kemampuan pulih dari dampak
ancaman. Dengan demikian dari sisi kerentanan, setidaknya terdapat tiga hal:

Kekurangmampuan untuk menghindari ancaman


Lebih mudah terdampak ancaman
Kekurangmampuan untuk beradaptasi dengan dampak

Kelompok yang rentan secara sosial seringkali diperlakukan sebagai kelompok


dengan kebutuhan khusus, pendekatan ini mengurangi orang menjadi
penerima pasif. Diperlukan kebijakan pemerintah yang dapat mengurangi
kerentanan bagi kelompok rentan tersebut, dengan demikian maka kelompok
rentan masuk dalam Undang-Undang No.24 tahun 2007 pasal 55, kelompok
rentan itu terdiri atas : Bayi, balita dan anak-anak, Ibu yang sedang
mengandung atau menyusui, Orang dengan kebutuhan khusus (penyandang
cacat) dan orang lanjut usia.

1. Anak-anak
Menurut UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (UUPA)
menyebutkan anak sebagai : seseorang yang belum berusia 18 tahun
termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sementara menurut Konvensi
PBB tentang hak anak (United Nation Convention on the Right of the
Clihdren/UNCRC) memberikan batasan, bahwa Anak adalah setiap orang
yang di bawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang
berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal3.

2
At Risk: Natural Hazards, Peoples Vulnerability, and Disasters Piers Blaikie, Terry Cannon, Ian
nd
Davis,and Ben Wisner New York, NY: Routledge, 2004, 2 Edition,

3
Modul Pelatihan Dasar Penanggulangan Bencana BNPB
Page 70

Anak-anak masuk ke dalam kelompok rentan karena kondisi fisik mereka


yang kurang dapat bertahan terhadap perubahan secara tiba-tiba, kondisi
psikologis mereka untuk menghadapi peristiwa yang traumatis dan mereka
kurang memiliki pengalaman serta pengetahuan terhadap bencana. Pada
saat bencana anak-anak karena fisik lebih lemah dibandingkan orang
dewasa maka mengalami kesulitan untuk menyelamatkan diri. Saat
pemulihan pasca bencana menurut hasil penelitian Baez dan Santos (2007)
terhadap bencana topan Mitch, anak-anak keadaannya memburuk dalam
rumah tangga namun nutrisi dan pola konsumsi orangtuanya tidak terlalu
terganggu. Hal ini berarti alokasi sumber daya untuk rumah tangga lebih
ditujukan untuk kebutuhan orang dewasa dibandingkan dengan anak.
Bahkan kemungkinan anak menderita gangguan gizi meningkat dua kali
lipat pasca bencana. Dari berbagai situasi bencana yang terjadi di
Indonesia dan dunia, anak-anak, merupakan kelompok paling rentan yang
menjadi korban pertama dan paling menderita daripada orang dewasa.
Keterbatasan pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti pangan,
mengakibatkan mereka mengalami kekurangan gizi; pelayanan kesehatan,
sanitasi, dan air bersih di tempat penampungan (pengungsian) yang
terbatas. Tempat penampungan seringkali tidak dilengkapi fasilitas yang
memadai untuk anak-anak, demikian juga bantuan yang diberikan
umumnya adalah kebutuhan orang dewasa, sehingga anak-anak kurang
memperoleh makanan yang bergizi. Seringkali bantuan untuk anak-anak
diberikan melalui orang dewasa dan keputusan penting mengenai investasi
dan alokasi sumber daya pasca bencana diputuskan oleh orang dewasa
namun memiliki dampak besar bagi anak-anak. Hasil penelitian di
Nicaragua pada bencan topan Mitch ternyata anak-anak yang sakit 30%
kemungkinanannya tidak dibawa ke dokter untuk memperoleh layanan
medis. (Baez dan Santo,2007)
Page 71

Pengungsi Banjir Baleendah (Cieunteung), Doc.Bayu Novianto 2010


Gambar di atas menunjukan ketika di tempat pengungsian masih belum
diperhatikan fasilitas yang memadai untuk kebutuhan anak-anak.

Untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi sulit


tersebut, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
mengamanatkan dalam beberapa pasal, sebagai berikut: Pertama, pada
pasal 59, diamanatkan bahwa pemerintah dan lembaga negara lainnya,
berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan
khusus kepada anak dalam situasi darurat. Kedua, pada pasal 60
dinyatakan antara lain bahwa anak dalam situasi darurat adalah anak
korban bencana alam. Ketiga, pada pasal 62 dinyatakan bahwa
perlindungan khusus tersebut dilaksanakan melalui: Pemenuhan kebutuhan
dasar yang terdiri atas pangan, sandang, pemukiman, pendidikan,
kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan
perlakuan; dan Pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang
cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial.

2. Perempuan

Perempuan lebih rentan karena terjadinya kesenjangan gender.


Perempuan yang sedang hamil atau menyusi menjadi lebih rentan lagi saat
Page 72

bencana terjadi karena secara fisik berada pada kondisi lemah. Pada saat
bencana gunung api Sinabung (2010), banyak ibu hamil dan menyusui yang
tidak memperoleh bantuan yang sesuai bagi kebutuhan mereka seperti
pakaian dalam perempuan, susu, vitamin, dan air bersih, sehingga
mengurangi daya tahan fisik mereka. Pada saat bencana Tsunami di Aceh
(2004) perempuan masih mengalami ketidaksetaraan gender terlihat ketika
perempuan tidak mendapat peringatan dini sebelum bencana alam terjadi
sehingga mereka tidak sempat meninggalkan rumahnya untuk
menyelamatkan diri. Menurut Women`s Environment and Development
Organization (2008) perempuan paling rentan menjadi korban bencana
karena memiliki keterbatasan untuk siaga bencana, seperti kemampuan
berlari dan berenang.

Pada Gempa dan Tsunami Aceh 2004, berdasarkan data dari UNIFEM tahun
20064 menunjukan stastistik korban yang meninggal adalah lebih banyak
perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Hali ini disebabkan karena
sebagian besar perempuan ketika kejadian sedang berada di dalam rumah
yang menjadikan mereka lebih rentan ketimbang laki-laki.

Bencana berdampak pula pada sektor ekonomi perempuan yang menopang


hidupnya dari alam seperti nelayan atau petani, ditambah lagi adanya
perempuan-perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga.
Berdasarkan data dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Aceh, kepala keluarga miskin yang dikepalai perempuan terbanyak
terdapat di Kabupaten Aceh Selatan yaitu sebesar 21,50%. Keluarga miskin
yang dikepalai perempuan terbanyak kedua terdapat di Kabupaten Pidie,
yaitu sebesar 20,63%, diikuti oleh Kabupaten Aceh Utara sebesar 16,46%.
Sedangkan yang paling sedikit terdapat di Kabupaten Gayo Lues yaitu
sebesar 0,05%, dikuti oleh Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Aceh
Besar masing-masing sebesar 0,09% dan 0,19% (ADRM, edisi 22 Desember
2010).

4
Gender dalam Bencana dan Adaptasi Iklim
Page 73

Keterlibatan perempuan dalam menentukan kebijakan dalam pengurangan


dan penanggulangan bencana penting untuk dilakukan sehingga perempuan
mempunyai akses informasi tentang bencana sehingga adanya peringatan
dini untuk siap siaga dalam menghadapi bencana yang akan terjadi.
Perempuan harus dilibatkan dalam penentuan respon sebelum bencana,
saat bencana dan sesudah bencana, membangun jalur mitigasi bencana
bagi perempuan juga harus diperhatikan dalam penentuan kebijakan ke
depan.

Pada saat pasaca bencana, perempuan menjadi lebih rentan karena


adanya ketimpangan gender, yang dapat memunculkan hambatan dalam
akses dan control sumber daya, misalnya kesempatan mendapatkan
pelatihan kebencanaa (pra-bencana), ketersediaan fasilitas seperti MCK
yang kurang memperhatikan kebutuhan perempuan (pasca bencana).
Perempuan juga kerapkali menjadi korban kekerasan atau pun pelecehan
seksual di tempat pengungsian. Untuk penerima bantuan pun di masa
tanggap darurat, mereka diwakilkan oleh suami ataupun kerabat laki-
lakinya.

MCK di tempat pengungsian Baleendah. Doc. Bayu Novianto, 2010.


Gambar di atas merupakan salah satu contoh, pembuatan MCK darurat yang tidak
memperhatikan gender.
Page 74

3. Penyandang Cacat/Disabilitas

Berdasarkan Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Asasi Penyandang Cacat dan


Protokol Opsional terhadap Konvensi, penyandang cacat termasuk merek
yang memiliki kerusakan fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka
panjang yang dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat
merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif
berdasarkan pada asas kesetaraan (UNCRD, 2008, Pasal 1). Kelompok ini
memiliki kebutuhan khusus yang pada saat kondisi sebelum bencana
terjadi sudah banyak mengalami ketidakadilan dalam penyediaan fasilitas
umum untuk mereka, seperti kamar mandi khusus yang memiliki handel
railing dan toilet duduk untuk penyandang disabilitas di pusat keramaian,
adanya ramp di trotoar jalan sehingga memudahkan penyandang
disabilitas untuk mobilitasnya, pengetahuan mengenai pengurangan risiko
bencana, dan ketidaktersediaan buku khusus untuk penyandang tuna netra
mengenai PRB. Saat bencana terjadi mereka kurang dapat menyelamatkan
diri karena keterbatasan fisik mereka,dan pasca bencana terjadi mereka
kelompok yang terpinggirkan dimana seringkali mengalami kekurangan
gizi, terkena penyakit dan kekurangan perawatan serta pemenuhan
kebutuhan khusus untuk mereka.

Faktanya saat ini situasi penyandang disabilitas di Indonesia menurut hasil


penelitian maupun hasil review program Rencana Aksi Nasional (RAN)
Penyandang Cacat (Penyandang Disabilitas) 2004-2013, ditemukan bahwa
masih terjadi kesenjangan dalam menikmati hasil-hasil pembangunan dan
pelibatan proses pembangunan terhadap penyandang disabilitas dibanding
dengan warga negara non penyandang disabilitas baik di bidang
pendidikan, ketenagakerjaan, penggunaan fasilitas transportasi,
pemanfaatan informasi dan teknologi komunikasi serta akses dalam
layanan kesehatan, serta sektor-sektor lainnya.
Page 75

4. Manusia Lanjuta Usia

Menurut UU No. 13 tahun 1998 Pasal 1 Ayat 2 tentang Kesejahteraan


Lanjut Usia menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah
mencapai usia 60 tahun ke atas (Notoatmojo, 2007)5. Sedangkan dalam
Hardywinoto (2005) mengatakan yang dimaksud dengan kelompok lanjut
usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas.
Departemen Kesehatan RI membagi lansia sebagai berikut : kelompok
menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa vibrilitas, kelompok usia
lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium, kelompok usia lanjut (kurang dari
65 tahun) sebagai senium. Organisasi kesehatan dunia (WHO), usia lanjut
dibagi menjadi empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age)
ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74
tahun, usia tua (old) antara 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) di atas
90 tahun. Badan kesehatan dunia WHO bahwa penduduk lansia di Indonesia
pada tahun 2020 mendatang sudah mencapai angka 11,34% atau tercatat
28,8 juta orang, balitanya tinggal 6,9% yang menyebabkan jumlah
penduduk lansia terbesar i dunia. Badan Pusat Statistik (BPS)

Permasalahan yang berkaitan dengan lanjut usia secara individu, proses


menua dapat menimbulkan berbagai masalah baik secara fisik, biologi,
mental, maupun sosial ekonomi. Semakin lanjut usia seseorang, mereka
akan mengalami kemunduran terutama di bidang kemampuan fisik, yang
dapat mengakibatkan peranan sosialnya. Hal ini mengakibatkan timbulnya
gangguan di dalam mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga dapat
meningkatkan ketergantungan yang memerlukan bantuan orang lain.
Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan
melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan
fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan
keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses
kemunduran (Bondan, 2006). Pembatasan aktivitas fisik terjadi dimana
semakin lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran,

Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu PrilakuJakarta: PT Rineka Cipta.


5
Page 76

terutama di bidang kemampuan fisik yang dapat mengakibatkan penurunan


pada peranan-peranan sosialnya. Hal ini mengakibatkan timbulnya
gangguan dalam hal mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga dapat
meningkatkan ketergantungan yang memerlukan bantuan orang lain.
Keempat, kesehatan mental; Selain mengalami kemunduran fisik, lansia
juga mengalami kemunduran mental. Semakin lanjut seseorang, kesibukan
sosialnya akan semakin berkurang dan dapat mengakibatkan berkurangnya
6
integrasi dengan lingkungannya.

Studi Kasus : Orang tua dan Bencana (Hutton, 2008)1

1. Pada tahun 2003 badai panas menghantam Eropa dan mengakibatkan lebih dari 14.800 orang
meninggal Di Perancis, ketika suhu mencapai 40 derajat celcius atau lebih. Dari jumlah tersebut 70%
diantaranya adalah orang tua yang berusia lebih dari 75 tahun. Mereka meninggal baik di rumah sendiri
ataupun rumah penampungan. Meskipun negara tersebut terkenal dengan sistem kesehatan yang
canggih, namun sistem kesehatan tersebut ternyata tidak dirancang untuk menghadapi situasi panas
yang ekstrem.

2. Sementara pada kasus badai Katrina sekitar 1.330 orang meninggal dan sebagian besar diantaranya
adalah orang tua. Di negara bagian Louisiana misalnya 71% dari mereka yang meninggal berusia di atas
60 tahun.; dan 47% dari kelompok tersebut berusia diatas 77 tahun.

3. Sementara The United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) memperkirakan bahwa
orang tua mencakup sekitar 8,5% dari seluruh pengungsi

4. Pada tahun 2005, sekitar 2,7 juta orang yang berusia diatas 60 tahun hidup di pengungsian atau
menjadi pengungsi di negara sendiri.

Perempuan lansia di Indonesia berpotensi mengalami diskriminasi


ganda,baik karena statusnya sebagai perempuan maupun karena statusnya
sebagai penduduk yang usianya sudah lanjut. Sebagai perempuan,
diskriminasi yang disebabkan oleh struktur sosial dan budaya masyarakat
sebenarnya sudah terjadi sejak usia muda. Hal ini kita ketahui sebagai
akibat dari perbedaan yang sifatnya kodrati maupun sebagai akibat dari
perbedaan gender. Perbedaan tersebut juga tercermin dari status

6
Bondan Ranah Penelitian Keperawatan Gerontik. http://www.yahoo.com 15 Juli 2006
Page 77

perkawinan lanjut usia perempuan yang sebagian besar berstatus cerai


mati dan cerai hidup. Karena usia harapan hidup perempuan yang lebih
panjang dibandingkan laki-laki, maka lebih banyak lanjut usia perempuan
yang ditinggal meninggal lebih dulu oleh suaminya, dan karena perbedaan
gender menyebabkan perempuan terbiasa mengurus dirinya sendiri.

Undang-undang, Konvensi dan Peraturan yang Berlaku Mengenai Gender


dan Kelompok Rentan

1. The Universal Declaration of Human Rights (1948);


2. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against
Women (1979);
3. Agenda 21 (UN Conference on Environment and Development (1992);
4. The Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building Resilience of
Nations and Communities to Disasters (2005);
5. The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People
(2007).
6. Instruksi Presiden RI No.9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan
Nasional
7. UU No.7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
8. UU No. 13 tahun 1998
9. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
10. UU no.24 tahun 2007 pasal 55 mengenai perlindungan kelompok rentan
11. Hyogo Framework for Action, 2005
12. Konvensi Penghapusan kekerasan dan diskriminasi thd perempuan
(Convention on the Elimination of all forms of Discriminations Against
Women =CEDAW( tahun 1979;
13. Permendagri No. 15 Tahun 2008 ttg Pedum pelaksanaan PUG di Daerah
14. Konvensi Hak-hak Anak PBB 1984 (Convention of the right of Children
=CRC);
15. Konferensi Kependudukan dan Pembangunan tahun 1994 di Kairo;
Page 78

16. Konferensi Dunia tentang Perempuan ke-4 Tahun 1995 di Beijing yang
mencuatkan 12 permasalahan perempuan;
17. Millenium Developments Goals (MDGs) tahun 2000.
18. UUD 1945, Ps 27 : Negara menjamin persamaan hak dan kewajiban bagi
WN (Laki2 dan Prp);
19. Amandemen II UUD 1945 (2000) Ps. 28 ayat 2 : Setiap orang berhak bebas
dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan thd perlakuan yang bersifat diskriminatif

Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender dan Kelompok Rentan

Menurut Kemeneg PP (2012) terdapat beberapa bentuk terjadi perbedaan


gender, perbedaan kemampuan dan umur, menimbulkan ketidakadilan atau
tidak. Istilah-Istilah yang berhubungan dengan bentuk bentuk ketidakadilan
gender dan kelompok rentan adalah sebagai berikut:

1. Subordinasi
Subordinasi adalah suatu penilaian atas suatu peran , dimana peran yang
satu dianggap lebih rendah dari peran yang lain. Penilaian ini muncul
akibat adanya prasangka atas keadaan, status seseorang. Misalnya di
dalam masyarakat ada pandangan bahwa perempun derajatnya lebih
rendan dari pada laki-laki, juga penyandang disabilitas dianggap tidak
kompeten dibandingkan orang yang bukan penyandang disabilitas.
Pandangan-pandangan yang menempatkan peran satu kelompok lebih
rendah dibandingkan peran kelompok lain merupakan bentuk ketidaka
diadilah pada kelompok tersebut. Perlakuan yang berbeda dalam bidang
pendidikan baik murid laki-laki maupun murid perempuan yang memiliki
disabilitas juga merupakan bentuk subordinasi, misalnya satu kelompok
dipandang tidak perlu meraih pendidikan tinggi dibandingkan kelompok
lainnya.
Page 79

2. Marjinalisasi
Marjinalisasi adalah suatu proses peminggiran peran ekonomi seseorang
atau suatu kelompok yang mengakibatkan proses pemiskinan. Dii
masyarakat beredar anggapan bahwa perempuan yang menikah hanyalah
ibu rumah tangga, maka ketika mereka bekerja di luar rumah seringkali
dinilai sebagai pencari nafkah tambahan dan akan menimbulkan beban
ganda bagi mereka.

3. Kekerasan

Kekerasan (violence) artinya tindak kekerasan, baik fisik maupun non


fisik yang dilakukan oleh individu atau sebuah institusi keluarga,
masyarakat atau negara terhadap orang lain. Peran gender telah
membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap
feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam
ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan
sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan
sebagainya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu.
Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan
kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan
sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan
kekerasan. Contoh: anak-anak kemungkinan lebih besar mengalami
kekerasan fisik, oleh orangtua yang stress akibat bencana. Kekerasan
fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di
dalam rumah tangga. Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang
mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan pada seseorang.

4. Beban Ganda

Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang diterima


salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin
lainnya. Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang
statis dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah
perempuan yang bekerja diwilayah public, namun tidak diiringi dengan
Page 80

berkurangnya beban mereka di wilayah domestic. Upaya maksimal yang


dilakukan mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada
perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga
perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap
berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang
berlipat ganda.

5. Stereotype

Semua bentuk ketidakadilan gender di atas sebenarnya berpangkal pada


satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotype gender laki-laki dan
perempuan. Stereotype itu sendiri berarti pemberian citra baku atau
label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu
anggapan yang salah atau sesat.Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua
hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk
membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok
lainnya.7Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang
timpang atau tidak seimbang yang bertujuan untuk menaklukkan atau
menguasai pihak lain. Pelabelan negatif juga dapat dilakukan atas dasar
anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negatif ditimpakan kepada
perempuan. Contoh : Perempuan dianggap cengeng, suka digoda,
Perempuan tidak rasional, emosional. Perempuan tidak bisa mengambil
keputusan penting. Perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pencari
nafkah tambahan.Laki-laki sebagai pencari nafkah utama.

7
Menneg PP.go.id
Page 81

III. MEMAHAMI GENDER DAN KELOMPOK RENTAN DALAM PENGURANGAN RISIKO


BENCANA

Pada saat terjadi bencana di berbagai daerah di Indonesia, terjadi banyak


ketidakadilan gender dan kelompok rentan. Banyak dari mereka tidak
memperoleh bantuan yang selayaknya sampai pada mereka yang membutuhkan.
Misalnya perempuan mengalami kesulitan berhubungan dengan kebersihan diri
karena tidak ada bantuan berupa pembalut, atau pakaian dalam untuk
perempuan. Untuk para penyandang tuna netra dan tuna rungu tidak
memperoleh pelatihan Pengurangan Risiko Bencana atau tidak tersedianya
buku khusus untuk mereka mengenai PRB. Bahkan di negara maju sekalipun
seperti Amerika Serikat pun FEMA masih memiliki gender bias dalam kebijakan
pemberian bantuan yang lebih ditujukan pada laki-laki yang diasumsikan
sebagai kepala keluarga. Morrow and Enarson (1996) menunjukkan bahwa bias
gender diinstitusionalisasikan dalam kantor birokrasi seperti FEMA. Mereka
membuat asumsi bahwa kepala keluarga inti adalah laki-laki, bahkan rumah
tangga/ keluarga-single dalam distribusi bantuan setelah bencana badai
Andrew, tidak masuk dalam pertimbangan terhadap imigran yang banyak tinggal
di kota Miami.8

Dengan banyaknya kelompok masyarakat yang tidak memperoleh kesamaan


akses dan kontrol terhadap sumber daya dan pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintahan, hal tersebut mendorong kita untuk memahami betapa
pentingnya mempertimbangkan isu gender dan kelompok rentan dalam program
pembangunan. Menurut Twigg agar tercipta masyarakat yang tahan bencana
maka diperlukan lingkungan yang mendukung berupa pemahaman isu-isu lintas
sektor serti gender dan kelompok rentan. Bencana dapat menantang norma
gender yang selama ini diterima. PRB yang berkeadilan gender dapat
meningkatkan ketahanan masyarakat, terutama karena dapat mengurandi

8
Elaine Enarson, Cheryl Childers, Betty Hearn Morrow, Deborah Thomas, and Ben Wisner. 2003. Session 30:
New Ideas About Disasters. A Social Vulnerability Approach to Disasters. Emmitsburg, Maryland: Emergency
Management Institute, Federal Emergency Management Agency.
(http://www.training.fema.gov/emiweb/edu/completeCourses.asp). p. 8
Page 82

kemungkinan terjadinya ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender. Padangan


yang sama ini juga berlaku untuk kelompok rentan.

Laki-laki dan perempuan perlu bekerjasama secara berkeadilan bekerja keras


membangun masyarakat yang aman dan tahan bencana. Ada tiga faktor utama
mengapa pemahaman gender masih dirasakan kurang di kalangan pemerintah:
1. Konsep gender merupakan hal yang relatif baru
2. Konsep kelompok rentan belum banyak disosialisasikan
3. Tidak semua aparat pemerintahan tahu apa yang harus dilakukan
4. Tidak semua aparat pemerintahan tahu bagaimana melakukannya

Tabel 2. Contoh Permasalahan Terkait Gender dan Kelompok Rentan

Kondisi Upaya

Media (TV, Koran, Majalah, Perlunya berwawasan gender agar dapat


Internet) lebih banyak mengelola/menyaring informasi informal.
mengeksploitasi perempuan
sebagai obyek bisnis.

Data terpilah gender masih belum Meningkatkan pemahaman tentang manfaat


memadai. mudahnya menggunakan data terpilah dalam
Data mengenai kelompok rentan penyusunan kebijakan, program dan pemahaman
lainnya juga belum lengkap tentang Gender Analysis Pathway.
(lansia, penyandang
cacat/disabilitas)

Mitos yang menempatkan laki-laki Propgram pelatihan untuk penentu kebijakan yang
lebih berkuasa dari perempuan. isinya yang membuka wawasan tentang
pentingnya memahami gender.
Page 83

Apabila kita adalah penyusun kebijakan dan perencana program Manajemen


bencana maka perlu direnungkan beberapa pertanuaan dasar mengenai gender,
kelompok rentan dan bencana:

1. Bagaimana perbedaan dampak bencana terhadap perempuan dan laki-laki?


2. Bagaimana perbedaan dampak bencana terhadap penyandang disabilitas
dan bukan penyandang disabilitas?
3. Bagaimana perbedaan dampak bencana terhadap anak-anak dan orang
dewasa?
4. Bagaimana perbedaan dampak bencana terhadap manusia lanjut usia ?
5. Bagaimana agar perempuan dan laki-laki, penyandang cacat, anak-anak dan
lansia dapat dilibatkan dalam kegiatan pengurangan risiko bencana?

IV. PENGARUSUTAMAAN GENDER, KELOMPOK RENTAN DALAM PENGURANGAN


RISIKO BENCANA

Pengarusutaman Gender (PUG) dalam PRB merupakan strategi untuk


mendorong terwujudnya program PRB yang adil dan setara dengan
memperhatikan masalah, kebutuhan, dan aspirasi perempuan dan laki-laki
dengan memperhatikan faktor budaya, sosial ekonomi, geografi, dan anak-anak
dengan kebutuhan khusus termasuk anak dengan disabilities . Padahal isu
kesetaraan gender telah menjadi pembicaraan sejak 1979 di PBB dengan adanya
Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women
(CEDAW) yang menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Saat
ini sudah ada Undang-Undang dan peraturan pemerintah mengenai gender dan
kelompok rentan. Menurut Menneg PP pengarusutamaan gender, yang
selanjutnya disebut PUG, adalah strategi yang dibangun untuk
mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan,
program, dan kegiatan pembangunan. Saat ini belum banyak terintegrasi
mengenai kebijakan PRB yang sensitive gender dan kelompok rentan. Dalam
mengurangi kerentanan dan risiko terhadap ancaman bahaya, diperlukan
Page 84

kebijakan dan pengambil keputusan yang mengerti akan keuntungan (benefits)


dan efisiensi yang diperoleh dari pengarusutamaan gender (PUG) ke dalam PRB.

Pengarusutumaan Gender ke dalam PRB akan melibatkan proses dan isi. Proses
dalam artian memastikan bahwa terdapat partisipasi dari perempuan dan laki-
laki dalam setiap tahapan Program Pengurangan Risiko Bencana. Isi atau konten
melihat dampak yang berbeda dari bahaya dan kerentanan dari perempuan dan
laki-laki, serta memecahkan permasalah tersebut dengan memperhatikan
kebutuhan perempuan dan laki-laki pada tahap sebelum, saat dan pasca
bencana. Hubungan gender memberikan kontribusi terhadap daya tahan
masyarakat untuk mengatasi bencana dan dampak bencana, seperti yang
disampaikan dalam UNISDR, bahwa gender merupakan isu lintas sektor yang
berhubungan dengan semua aspek sosial seperti status ekonomi, usia, etnik dan
kemampuan. Gender merupakan isu cross cutting yang masuk kedalam setiap
kegiatan Hygo Framework for Action (HFA) sehingga perlu diturunkan pada
kebijakan dan program-program yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun
organisasi kemasyarakatan karena telah menjadi kesepakatan global untuk
melaksanakannya. Pengarusutamaan gender (PUG) dalam PRB memberikan
peluang untuk mengkaji kembali hubungan anatra masyarakat dari sudut yang
berbeda dan meningkatkan kesetaraan gender dalam pembangunan sosial dan
ekonomi, sehingga memungkinkan masyarakat dan Negara memiliki ketahanan
terhadap bencana. Konsep PUG ini juga berlaku untuk kelompok rentan dimana
terdapat pengarusutamaan untuk disabilitas, karena disabilitas bukan hanya
masalah kesehatan tetapi isu intas sektor termasuk dalam kesejahteraan sosial
pendidikan kesehatan dan juga lingkungan termasuk dalam pengurangan risiko
bencana. Saat ini upaya PRB yang selama ini dikembangkan hampir tidak
mencakup kecacatan (belum inklusif). PRB yang inklusif ditandai oleh adanya
keterlibatan kelompok rentan yakni penyandang cacat dalam seluruh tahap
penanganan bencana yakni prabencana, saat tanggap darurat, dan
pascabencana (Handicap International Federation, 2008). PRB yang inklusif juga
berarti mempertimbangkan hak-hak dan kebutuhan penyandang cacat dalam
setiap tahapan PRB. Dengan demikian, penyandang disabilitas dapat membantu
diri sendiri dan orang lain ketika bencana terjadi. Saat ini dilakukan upaya
Page 85

untuk mengaurustutamakan isu disabilitas dalam program PRB maupun dalam


program pembangunan nasiaonal.9

Pengalaman menunjukan bahwa mereka yang termasuk kelompok rentan


dapat berkontribusi secara efektif dalam inisiatif PRB, dengan
mengidentifikasi solusi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan pengalaman
mereka yang kemudian akan meningkatkan kapasitas mereka secara
menyeluruh dalam menghadapi ancaman bahaya. Maka, menjadi penting
dalam mengedepankan prinsif inklusif dalam pelaksanaan program bagi
seluruh masyarakat.

Lahirnya PUG maupun pengarusutamaan untuk kelompok rentan tidak


dimaksudkan untuk hanya mendorong penduduk perempuan dan kelompok
rentan untuk mendapatkan akses terhadap program PRB yang lebih baik,
tetapi untuk meyakinkan semua orang dengan latar belakang apapun, dapat
menikmati layanan yang baik dari pemerintah.

Dalam konteks pengurangan risiko bencana, pengarusutamaan gender:


"mengacu untuk mendorong kesadaran tentang kesetaraan gender dan
keadilan, untuk membantu mengurangi dampak bencana, dan untuk
menggabungkan analisis gender dalam penanganan bencana, pengurangan
risiko dan pembangunan berkelanjutan untuk mengurangi kerentanan.
Pengarusutamaan gender dalam pengurangan bencana bukanlah proses paralel
tetapi saling terkait dengan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke
dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan dan kegiatan.
Definisi dari "Gender dan Jaringan Bencana" 2009 Jenewa

9
Handicap international 2011
Page 86

V. PERAN PEMERINTAH DALAM PENGARUSUTAMAKAN GENDER DAN KELOMPOK


RENTAN PADA MANAJEMEN BENCANA

Hasil penelitian world bank selama 5 tahun terakhir (2012) negara-negara


miskin di dunia menjadi semakin miskin dikarenakan kebijakan pemerintahnya
(jumlah anggaran, sektor pembangunan, strategi) belum sepenuhnya sensitif
dan pro gender. Negara-negara maju di dunia menjadi semakin maju
dikarenakan kebijakan pemerintahnya (anggaran, sektor pembangunan,
strategi) memiliki sensitivitas dan sangat pro gender.Perempuan dan laki-laki
adalah mahkluk yang memiliki potensi sama. Begitupula dengan kelompok
rentan yang memiliki potensi apabila dilibatkan dalam PRB, Kerjasama
mereka dapat mempercepat kemajuan pembangunan di segala bidang.
Pemerintah Indonesia menyadari hal inni dan sejak tahun 2000 telah
mengeluarkan kebijakan mengenai pengarusutamaan gender dalam
pembangunan nasional sehingga menjadi kewajiban pemerintah untuk
merancang dan mengimplemetasikan program pembangunan yang sensitive
gender. Konsep pengarusutamaan ini juga diterapkan untuk penyandang
disabilitas, dengan adanya RAN Penyandang Cacat (Penyandang Disabilitas)
2004-2013.

Dalam melaksanakan PUG pada tahun 2000 telah dikeluarkan Instruksi


Presiden No.9 Tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam pembangunan
Nasional. Melalui instruksi ini Presiden Republik Indonesia telah
mengintruksikan kepada seluruh Kementerian/Lembaga serta pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota untuk melaksanakan PUG kedalam perencanaan,
pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program yang
berperspektif gender diseluruh aspek pembangunan. Undang-undang No. 17
tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
Tahun 2005-2025. Dalam UU tersebut peningkatan kesetaraan gender
merupakan salah satu tujuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Ke-2 (2010-2014). Hal ini berarti PUG sudah harus dilaksanakan oleh
pemerintah baik nasional maupun daerah. Di BNPB khususnya dalam Renas
BNPB disebutkan adanya program pengurangan risiko untuk kelompok dengan
kebutuhan khusus. Pendekatan khusus juga akan diterapkan untuk mendorong
Page 87

kesetaraan gender dalam program-program kebencanaan dan pengurangan


risiko, melalui program-program spesifik yang diperuntukkan bagi kaum
perempuan dan anak. Selain itu perhatian juga akan diberikan untuk
masyarakat miskin, kaum minoritas dan mereka yang terpinggirkan, serta para
penyandang cacat maupun kelompok dengan kebutuhan khusus lainnya, agar
program-program pengurangan risiko bencana tidak meningkatkan kerentanan
mereka, tetapi sebaliknya mendukung ketangguhan mereka terhadap
10
bencana.

Untuk penyandang disabilitas masih terdapat kesenjangan dalam program


pemerintah. Salah satu penyebab terjadinya kesenjangan dalam pemenuhan
hak-hak penyandang disabilitas adalah masih adanya anggapan bahwa
disabilitas merupakan persoalan kesejahteraan yang menjadi tanggungjawab
Dinas Sosial. Sementara, alokasi ketersediaan anggaran pada Dinas Sosial
untuk rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas masih terbatas.
Perencanaan Penganggaran harus dilaksanakan secara simultan spesifik
disabilitas faktor (untuk pemberdayaan penyandang disabilitas) dan yang
ditujukan sebagai bagian dari pengarusutamaan disabilitas dalam
pembangunan selain itu perlu adanya mekanisme teknis dalam upaya
mengimplementasikan peraturan perundangan tersebut dalam dokumen
perencanaan penganggaran. namun pemerintah terus dilakukan berbagai
upaya untuk segera mendorong implementasi pembangunan dan
pengembangan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas sebagai bentuk
kesetaraan dan persamaan Hak Penyandang Disabilitas.

Hasil penelitian Saut Sagala dkk. (2010)11 mengenai peran gender dan PRB di
Jawa Barat menemukan bahwa akses dan kontrol, untuk urusan domestik
seperti pangan maka perempuan memilikinya, namun untuk rehabilitasi dan
rekonstruksi rumah serta aset (rumah, keuangan) kontrol berada pada laki-
laki. Namun telah ada upaya untuk meningkatkan keterlibatan perempuan
dalam PRB oleh pemerintah dan masyarakat dengan menunjuk salah satu
kelompok perempuan sebagai focal point NGO dan BPBD. Hal ini memberikan

10
Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (2010-2014) disusun oleh BNPB
11
Saut Sagala (2010) Dealing with Disasters, Oxfam Research Report
Page 88

dampak baik bagi anggota kelompok dalam hal peningkatan kapasitas.


Pengarusutamaan gender dalam kegiatan PRB belum banyak dilaksanakan
aktif. Dalam kegiatan PRB laki-laki diidentifikasi memiliki peran untuk
menghadiri pertemuan dalam rapat komunitas dan juga menyusun rencana
evakuasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemerintah perlu
meningkatkan peranannya dalam mengarusutamakan gender dan kelompok
rentan ke dalam program PRB yang dilaksanakannya.

Untuk meningkatkan pelaksanaan PUG pemerintah telah menetapkan


diberlakukannya Anggaran yang Responsive Gender dalam program-program
pemerintah. Dasar hukum bagi anggaran yang responsive gender (ARG)
adalah:
a. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;

b. PP No. 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan RKA-KL;

c. Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender

d. PMK No. 93/PMK.02/2011 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan


RKA-KL.

Penerapan ARG merupakan strategi yang dibangun pemerintah untuk


mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan
program pembangunan nasional. Melalui penerapan ARG diharapkan dapat
mengakomodasi keadilan bagi perempuan dan laki-laki (dengan
mempertimbangkan peran dan hubungan gendernya) dalam memperoleh
akses, manfaat (dari program pembangunan), berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan dan mempunyai kontrol terhadap sumber-sumber
daya dan kesetaraan bagi perempuan dan laki-laki terhadap kesempatan/
peluang dalam memilih dan menikmati hasil pembangunan.
Page 89

Tabel 3. Tindakan Aktif untuk Meningkatkan Kesetaraan Gender

Wilayah Kebijakan Pilihan Kebijakan


Meningkatkan kesetaraan gender dalam akses ke
sumberdaya produktif dan kapasitas penghasilan
Pendidikan Perbaikan fasilitas sekolah dan melatih staf pengajar mengarahkan
masalah budaya menyekolahkan anak perempuan.
Menyediakan subsidi untuk sasaran tertentu, mencakup :
Hibah, uang sekolah, beasiswa, voucher untuk biaya pelajaran dan
biaya lain (seperti di Bangladesh)
Hibah Kapitasi, subsidi biaya sekolah atau pondokan anak perempuan
(seperti di Pakistan)
Sumberdaya Pembiayaan Reformasi institusi keuangan untuk memberikan perempuan akses ke
(Simpan dan Pinjam) layanan simpan pinjam (misalnya, bisa mengganti persyaratan agunan
tradisional), menyederhanakan prosedur, mengurangi jarak (seperti
Bangladesh dan Ghana). Menyediakan dukungan langsung dan tidak
langsung dari Negara (atau donor) untuk membantu upaya organisasi
swadaya masyarakat atau sector swasta menaikkan akses perempuan ke
jasa mediasi keuangan (seperti Bangladesh)
Kebijakan Memulai program tindakan aktif dalam rekruitmen dan seleksi pekerja
untuk sector public dan perusahaan swasta dengan kontrak pemerintah
(seperti di Amerika Serikat)
Megurangi beban pribadi perempuan atas peran domestic
mereka
Hak reproduktif dan Meningkatkan posisi tawar perempuan dan pilihan keputusan reproduktif
pelayanan dengan meningkatkan kendali sumberdaya dan penghasilan (seperti di
atas). Menjamin akses ke layanan kesehatan reproduktif, termasuk bahan-
bahan KB. Memulai informasi, pendidikan, dan komunikasi kampanye
tentang hak reproduktif dan keluarga berencana bagi laki-laki dan
perempuan.
Panti penitipan anak Menyediakan subsidi untuk panti penitipan anak, mencakup voucher dan
hibah kapitasi untuk pengembangan anak balita dan fasilitas pengasuhan
anak lainnya.
Kebijakan pasar-kerja Menyediakan peraturan kehamilan untuk kepentingan perempuan,
mencakup cuti bersalin (dengan tunjangan sebesar sebagian gaji
terakhir), perlindungan atas pemberhentian di masa cuti, dan hak jam
menyusui yang tetap dibayar. Menawarkan cuti istri bersalin bagi laki-laki
(seperti di Norwegia). Menyediakan dukungan Negara untuk membayar
tunjangan melahirkan yang dibayar dari penerimaan pajak umum atau
Page 90

Wilayah Kebijakan Pilihan Kebijakan


dinas social (seperti di Costa Rica). Menggunakan asuransi dan mekanisme
lain untuk memperluas pemikul beban nayaran cuti bersalin agar lebih
merata bagi pekerja laki-laki dan perempuan serta perusahaan (seperti di
Amerika Serikat).
Prasarana penghemat waktu Investasi prasaran air bersih, energy, dan transportasi, terutama di
pedesaan. Meningkatkan penyediaan dan akses fisik ke layanan kesehatan
dan layanan lain.
Menyediakan perlindungan social yang tepat gender
Pekerjaan umum dan Merancang skema kesempatan kerja umum dan jarring pengaman social
program upah-kerja lain yang mempertimbangkan perbedaan gender dalam jenis pekerjaan
yang pantas bagi perempuan dan laki-laki
Jaring pengaman untuk Menyediakan dukungan jangka pendek, beasiswa atau bantuan lain untuk
melindungi investasi meringankan kerugian pendidikan dan kesehatan anak-anak, terutama
pengembangan diri pereumpuan akibat guncangan ekonomi (seperti di Indonesia).
Jaminan hari tua Merancang atau memperbaiki system pension yang memperhitungkan
perbedaan gender dalam riwayat kerja dan tingkat harapan hidup,
mencakup :
Persyaratan pengalaman kerja lebih singkat bagi perempuan
Anuitas bersama dan tunjangan ahli waris
Jaminan pension minimum atau mekanisme redistributive lain
Pengindeks-an harga secara tepat
Penetapan batas usia minimum
Menyediakan (teruji rata-rata) bimbingan social pada janda dan
perempuan lansia yang tidak mendapat hak tunjangan pension (seperti di
Chili)
Pendampingan social lain Menawarkan program pelatihan ulang yang mempertimbangkan perbedaan
atau asuransi social gender di bidang pendidikan, keterampilan, dan penempatan dalam
angkatan kerja.
Pelatihan hakim dan petugas hokum lainnya untuk lebih menjaga hak-hak
hokum perempuan, termasuk perlindungan terhadap kekerasan gender.
Pelatihan untuk menghapus buta hokum untuk perempuan.
Memulai kampanye informasi dan program penanganan mengatasi pelaku
kekerasan domestic (seperti di Argentina, Kanada, Meksiko, Swedia, dan
Amerika Serikat).
Memulai kampanye kesehatan umum yang mengarahkan resiko spesifik
gender berkaitan dengan meningkatnya tingkat kematian.
Memperkuat suara dan partisipasi politik perempuan
Reservaasi politik Mencadangkan jabatan perempuan dalam partai politik dan badan-badan
Page 91

Wilayah Kebijakan Pilihan Kebijakan


perwakilan rakyat (seperti di Argentina, Ekuador, India, Filipina, Uganda).
Inisiatif Anggaran Gender Me-review dampak gender alokasi anggaran pemerintah untuk akses
perempuan ke sumberdaya dan layanan umum seperti (seperti di
Australia, Barbados, Fiji, Mozambik, Afrika Selatan, Srilanka, Uganda).
Mendukung kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat sipil yang
memajukan kepedulian gender dalam pengeluaran Negara dan
memperkuat suara perempuan dalam penyusunan kebijakan (seperti di
Afrika Selatan dan Uganda).
Partisipasi perempuan dalam Meningkatkan partisipasi perempuan dan konsultasi dengan organisasi
perencanaan dan perempuan dalam merancang intervensi pemerintah (seperti di India).
pelaksanaan program Mendukung audit local atas pelaksanaan program pemerintah (seperti
yang disoroti oleh kalangan LSM di India).
Sumber : Buku Pembangunan Berperspektif Gender, Hal.251-252

VI. HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PENGURANGAN RISIKO


BENCANA BERKAITAN DENGAN GENDER DAN KELOMPOK RENTAN

TAHAP PRA-BENCANA

1. Membangun komitmen pemerintah dan pemerintah daerah, lembaga


swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, dunia usaha, media massa
dan masyarakat untuk perlindungan perempuan, anak, penyadang
disabilitas dan lansia serta pemenuhan hak perempuan, anak , lansia dan
penyandang disabiltias (setiap tahapan bencana).
2. Penyediaan dan pemutakhiran data terpilah berdasarkan jenis kelamin dan
usia.
3. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan kelompok rentan dalam PRB
4. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan kelompok rentan dalam
PRB.
5. Penyediaan sistem peringatan dini yang dapat menjangkau semua
kelompok rentan dalam masyarakat.
6. Penyediaan sarana yang diperlukan pada setiap tahap penanggulangan
bencana.
7. Sosialisasi pencegahan dan kesiapsiagaan bencana.
Page 92

8. Pengarusutamaan gender dalam setiap Risko Bencana yang responsif


gender kebijakan.
9. Pelaksanaan kegiatan lainnya:
10. Penyusunan rencana kontingensi
11. Penyusunan peta risiko bencana
12. Penyusunan peta, jalur dan lokasi evakuasi yang responsif gender dan
memperhatikan kelompok rentan

TAHAP TANGGAP DARURAT

1. Kajian cepat tentang situasi dan kondisi bencana oleh Satuan Reaksi
Cepat PB.
2. Pencarian, penyelamatan, dan evakuasi korban bencana sesuai dengan
aturan yang berlaku.
3. Penyediaan dan pendistribusian logistik sesuai kebutuhan korban bencana
perempuan dan kelompok rentan
4. Pemenuhan hak-hak perempuan dan kelompok rentan di daerah
pengungsian.
5. Kordinasi rutin dengan semua instansi terkait.
6. Pemeliharaan kesehatan lingkungan di lokasi pengungsian.

TAHAP PASCA BENCANA

1. Kordinasi rutin dipimpin oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana/


BPPD sesuai skala bencana

2. Kajian mendalam aspek sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, kesehatan,


lingkungan perempuan dan anak

3. Pemulihan psikososial perempuan dan anak korban bencana


Page 93

Untuk menemukenali apakah gender sudah diarustumakan dalam suatu


organisasi maka dapat diisi ceklist ini. Semakin banyak menjawab ya, berarti
organisasi semakin banyak melakukan praktek pengarusutamaan gender
dalam organisasinya.

TABEL 4. DAFTAR PERIKSA PELAKSANAAN PUG DALAM ORGANISASI DAN


PROGRAM PRB

No Pertanyaan Ya Tidak Keterangan


A. SDM dan Peningkatan Kapasitas
1. Apakah peluang tersedia dalam organisasi Anda
untuk laki-laki dan perempuan dalam posisi
nontradisional (untuk menjadi
pemimpin/ketua)?
2. Apakah SDM merepresentasikan perwakilan dari
populasi lokal dalam hal etnis, tingkat
pendapatan, keahlian bahasa dst.
3. Apakah organisasi merekrut personel/SDM
untuk peran non-tradisional?
4. Apakah perempuan dalam organisasi memiliki
peluang untuk mengikuti pelatihan atau
mengajukan diri untuk posisi yang relevan
dengan ketrampilan dan pengalaman mereka?
5 Apakah SDM dalam organisasi memperoleh
pelatihan mengenai bagaimana dampak isu
gender/PUG terhadap perencanaan dan
kebijakan?
6 Apakah kegiatan organisasi seperti pelatihan
atau kegiatan sosial yang diadakan dapat
diakses (dalam hal waktu dan tempat) bagi
karyawan yang memiliki tanggungjawab
keluarga ?
Page 94

No Pertanyaan Ya Tidak Keterangan

7 Apakah budaya informal dalam organisasi Anda


mendukung peranan perempuan sebagai
pengambil keputusan?
B. Pengembangan Kebijakan/Program Kerja
1. Apakah perempuan terlibat secara aktif dalam
perencanaan kebijakan dan program juga
dalam implementasinya?
2. Apakah program organisasi dievaluasi dalam hal
bagaimana dampak program terhadap
perempuan, contoh dalam peran sebagai orang
yang selamat dari bencana, komunikator risiko,
atau caregiver?
3 Apakah program didasarkan pada status
ekonomi, tempat tinggal, ukuran dan struktur
keluarga, kesehatan dan kondisi kehidupan yang
layak untuk perempuan?
4 Apakah dewan memperhatikan perencanaan
program, bantuan dan rehabilitasi program
mentargetkan kelompok yang perempuan
berisiko seperti imigran, perempuan kepala
rumah tangga dan perempuan berpenghasilan
rendah?
5 Apakah organisasi bekerjasama dengan
kelompok perempuan mewakili populasi yang
rentan ketika program baru dirancang dan
diimplementasikan, contoh rekonstruksi dan
rehabilitasi rumah penduduk?
6 Apakah pusat bantuan dan tempat evakuasi
dapat diakses secara budaya oleh semua
perempuan dan aman bagi perempuan
berkebutuhan khusus, seperti perempuan
Page 95

No Pertanyaan Ya Tidak Keterangan

penyandang cacat dan perempuan yang


memerlukan relokasi rumah aman perempuan?
7 Apakah organisasi memastikan adanya
pengaturan tenda darurat/rumah sementara
memenuhi kebutuhan perempuan untuk
mengurus anak, keamanan pribadi, transportasi,
dan memperoleh pelayanan kesehatan,dst?
8 Apakah organisasi memastikan perempuan yang
memperoleh bantuan makanan dan logistic
lainnya terlibat aktif dalam distribusi dan
pengelolaan bantuan?
9 Apakah organisasi memantau semua keluarga
dalam suatu rumah tangga mendaftarkan diri
secara independen untuk bantuan?
10 Apakah kebijakan SDM organisasi menangani
konflik social di daerah bencana?

C. Program Kerja
1. Apakah perempuan dan kelompok rentan
terlibat dalam organisasi sebagai mitra dalam
perencanaan program kerja?
2. Apakah perencanaan organisasi merefleksikan
sumber daya perempuan ddari segi pendidikan,
kedermawanan, social, professional, politik dan
asosiasi lain?
3. Apakah kelompok/organisasi perempuan
dilibatkan dalam menyusun program
kerja/regulasi?
4. Apakah sektor swasta, institusi
pendidikan/Universitas dan LSM/CBO termasuk
dalam jaringan komunikasi organisasi?
Page 96

VII. ANALISIS GENDER

Pra-syarat bagi ARG adalah: kemauan politik (terdapat dalam prioritas


pemerintah: RPJMN, RKP, RENJA K/L); Partisipasi (keterlibatan semua pihak);
adanya ketersediaan data yang terpilah menurut jenis kelamin; dan
terdapatnya sumber daya manusia yang memadai (perencana anggaran yang
12
mampu melakukan analisis gender. Dalam menyusun ARG maka perlu
dilakukan analisis gender misalnya dengan menggunakan metode GAP (Gender
Analysis Pathway). GAP merupakan alat analisis gender yang dapat
membantu para perencana dalam melakukan pengarusutamaan gender dalam
perencanaan kebijakan atau program pembangunan. dimaksudkan untuk
mengetahui kesenjangan gender dengan melihat aspek akses, peran, kontrol
dan manfaat yang diperoleh laki-laki dan perempuan dalam program-program
pembangunan. Dengan GAP dapat diidentifikasi kesenjangan gender dan
permasalahan gender serta sekaligus menyusun rencana/kebijakan/ program/
kegiatan yang responsif gender. Kesenjangan gender dapat diukur dari output
yang ada.

Langkah-langkah dalam melakukan GAP Analysis secara singkat adalah sebagai


berikut:
1. Analisis kebijakan/program/kegiatan
2. Data pembuka wawasan
3. Temukenali faktor kesenjangan
4. Sebab terjadinya kesenjangan internal
5. Sebab terjadinya kesenjangan eksternal
6. Reformulasikan tujuan
7. Tentukan rencana aksi
8. Susun data dasar (baseline)
9. Tentukan indicator gender

12
Ismi Dwi Astuti Nurhaeni 2012
Page 97

Dalam merencanakan kebijakan/program/kegiatan maka Rencana/kebijakan/


program/ kegiatan yang ditujukan untuk mewujudkan kesetaraan dan
keadilan gender dengan cara merespon perbedaan aspirasi, kebutuhan,
kepentingan perempuan dan laki-laki dalam kebijakan/program/ kegiatan
yang dibuat

Untuk membantu menyusun analisis gender dengan metode gender pathway


maka dapat diikuti langkah-langkah dalam Tabel 5.Gender Anaylisi Pathway
Page 98

Langkah Langkah Langkah Langkah Langkah Langkah Langkah Langkah Langkah


1 2 3 4 5 6 7 8 9

Analisis Kebijakan yang Responsif Gender


Perumusan
Pilih Isu Gender: Kebijakan dan Pengukuran Hasil
Kebijak Apa, Dimana, Mengapa, Rencana Aksi
an/ Bagaimana
Program
/ Data
Kegiata Pembuk
n a Sebab Sebab Data
Pemban Wawasa Faktor Reform Indikato
Kesenjan Kesenjan Rencana Dasar
gunan n Kesenja ulasi r
gan gan Aksi (Baselin
yang ngan Tujuan Gender
Internal Eksternal e)
Akan
Dianalisi
s
Identifik Sajikan Temuke Temuken Temuken Rumuska Susun Tetapka Tetapka
asi dan data nali isu ali isu ali isu n rencana n base- n
tuliskan pembuk gender gender di gender di kembali aksi line indikato
tujuan a di internal eksternal tujuan yang r gender
dari wawasa proses lembaga lembaga kebijaka responsi
kebijaka n, yang perenca dan/atau pada n/ f gender
n/ terpilah naan budaya proses program
program menurut dengan organisasi pelaksan /
/ jenis memper yang aan kegiatan
kegiatan kelamin: hatikan dapat pemban
pemban kuantita 4 menyeba gunan
gunan tif (empat) bkan sehingga
kualitati faktor terjadiny menjadi
f kesenja a isu responsi
ngan gender f gender
yaitu:
akses,
partisipa
si,
kontrol,
dan
manfaat
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Page 99

Menganalisa Kebutuhan Kelompok Rentan

Kelompok rentan memiliki kebutuhan khusus yang harus diperhatikan,


terutama dalam kondisi kebencanaan. Orang dengan kebutuhan khusus seperti
yang tidak dapat melihat atau mendengar tidak dapat mendapatkan
peringatan dan kesulitan untuk evakuasi ketika terjadi bencana.

Contoh Analisa Kebutuhan untuk Kelompok Rentan Pra-Bencana


Kelompok Rentan Risiko/Kerentanan Apa yang Harus
Dilakukan
Bayi, Balita, Anak-
anak
Perempuan
Menyusui dan
hamil
Orang Disable
Manula

Contoh Analisa Kebutuhan untuk Kelompok Rentan Saat Bencana


Kelompok Rentan Risiko/Kerentanan Apa yang Harus
Dilakukan
Bayi, Balita, Anak-
anak
Perempuan
Menyusui dan
hamil
Orang Disable
Manula
Page 100

Contoh Analisa Kebutuhan untuk Kelompok Rentan Pasca Bencana


Kelompok Rentan Risiko/Kerentanan Apa yang Harus
Dilakukan
Bayi, Balita, Anak-
anak
Perempuan
Menyusui dan
hamil
Orang Disable
Manula
Page 101

LATIHAN

Peserta dibagi ke dalam beberapa kelompok berdasarkan daerahnya masing-masing


untuk melakukan analisis gender mengisi tabel GAP analisis dan menyusun
program/kegiatan PRB yang mengarusutamakan gender dan kelompok rentan di
suatu wilayah.

Peserta dibagi ke dalam beberapa ke dalam tiga kelompok.

Kelompok pertama diminta memberikan studi kasus yang mengarusutamakan


gender dan kelompok rentan di wilayah Tasikmalaya.
Kelompok kedua memberikan studi kasus yang mengarusutamakan gender dan
kelompok rentan di wilayah Ciamis.
Dan kelompok ketiga memberikan studi kasus yang mengarusutamakan gender
dan kelompok rentan di wilayah Garut.
Page 102

DAFTAR PUSTAKA

Baez, Javier dan Santos, 2007, Childrens Vulnerability to Weather Shocks:A


Natural Disaster as a Natural Experiment, paper in Development Lunch of the
Economics Department (Harvard University), the Eleventh Annual Meeting of the
Latin American and Caribbean EconomicAssociation (LACEA, Mexico),

Blaikie Piers , Terry Cannon, Ian Davis,and Ben Wisner , 2004,At Risk: Natural
Hazards, Peoples Vulnerability, and Disasters, New York, NY: Routledge, 2nd
Edition,

BNPB, 2012,Buku Panduan Fasiltiator :Modul Pelatihan Dasar Penanggulangan


Bencana, Diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional
Cetakan Pertama.

Morrow and Enarson (1996) Hurricane Andrew through women's eyes in


International Journal of Mass Emergencies and Disaster, March 1996, Vol 14. No 1.

Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu PrilakuJakarta: PT Rineka Cipta.

Dian Rakyat. 2005. Pembangunan Berperspektif Gender.

Undang-Undang Dan Peraturan Pemerintah serta Konvensi Internasional

The Universal Declaration of Human Rights (1948);

Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women


(1979);

Agenda 21 (UN Conference on Environment and Development (1992);

The Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building Resilience of Nations and
Communities to Disasters (2005);

The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People (2007).


Page 103

Instruksi Presiden RI No.9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional

UU No.7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala


Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita

UU No. 13 tahun 1998 tentang

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

UU no.24 tahun 2007 pasal 55 mengenai perlindungan kelompok rentan

Konvensi Penghapusan kekerasan dan diskriminasi thd perempuan (Convention on


the Elimination of all forms of Discriminations Against Women =CEDAW( tahun
1979;

Permendagri No. 15 Tahun 2008 ttg Pedum pelaksanaan PUG di Daerah

Konvensi Hak-hak Anak PBB 1984 (Convention of the right of Children =CRC);

Konferensi Kependudukan dan Pembangunan tahun 1994 di Kairo;

Konferensi Dunia tentang Perempuan ke-4 Tahun 1995 di Beijing yang mencuatkan
12 permasalahan perempuan;

Millenium Developments Goals (MDGs) tahun 2000.

UUD 1945, Ps 27 : Negara menjamin persamaan hak dan kewajiban bagi WN (Laki2
dan Prp);

Amandemen II UUD 1945 (2000) Ps. 28 ayat 2 : Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan thd perlakuan yang bersifat diskriminatif

Situs internet

Bondan, Ranah Penelitian Keperawatan Gerontik. http://www.yahoo.com 15 Juli


2006
Page 104

Elaine Enarson, Cheryl Childers, Betty Hearn Morrow, Deborah Thomas, and Ben
Wisner. 2003. Session 30: New Ideas About Disasters. A Social Vulnerability
Approach to Disasters. Emmitsburg, Maryland: Emergency Management Institute,
Federal Emergency Management Agency.
(http://www.training.fema.gov/emiweb/edu/completeCourses.asp). p. 8

www.Menneg PP.go.id

Anda mungkin juga menyukai