Dosen pengampuh
Erlinawati, M.Keb
Disusun Oleh:
Kelompok 4
Aulia Syafira
Dhea Wahdanillah
Gusti Citra Pratiwi
Masyah Naziroh
Nurindah Natasyah
S1 KEBIDANAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PAHLAWAN TUANKU TAMBUSAI
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami ucapkan
puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Kebutuhan khusus pada
permasalahan sosial(kehamilan dalam penjara,singel parent,lgbt)yang terdapat dalam mata
kuliah manajemen dan kepemimpinan dalam pelayanan kebidanan
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari
segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan
tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan
kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini.
Kelompok 4
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
3.1.6 Enam (6) karakter dalam Keluarga Single Parent yang Prima
3.1.9 Upaya Pencegahan Single Parent dan Pencegahan Dampak Negatif Single
Parent
4.1 LGBT
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus pun menginginkan situasi dan lingkungan yang
mendukung pertumbuhannya. Lingkungan yang tidak memberikan label negatif pada
kepribadiannya, dan tentunya lingkungan yang bisa menjadikannya berprestasi, tumbuh dan
berkembang seperti anak-anak normal lainnya, tanpa adanya rasa minder, malu, dan
rendah diri terhadap kekurangan-kekurangan yang dimiliki. Karena itu salah satu usaha
untuk mengaktualisasikan potensi dan perkembangan pada anak-anak berkebutuhan
khusus tersebut, Yayasan Lembaga Pendidikan Al-Firdaus (YLPF) menerapkan sistem
pendidikan inklusi, sebagaimana dikatakan Warsiki (2007) bahwa pendidikan inklusi ini
adalah pendidikan yang melibatkan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) atau anak
“cacat” ke dalam sistem pendidikan regular. Pernyataan tersebut senada dengan Aretha
(2007) bahwa di dalam sekolah inklusi ini anak yang berkelainan akan didik bersama anak
normal lainnya, untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki, sehingga dalam proses
pendidikan yang berlangsung, sekolah inklusi mengakomodasi semua peserta didik tanpa
mempertimbangkan kondisi fisik, intelektual, maupun emosional.
7. Bagaimana cara upaya pencegahan single parent dan pencegahan dampak negatif single
parent?
BAB II
PEMBAHASAN
Narapidana hamil memiliki kebutuhan perawatan kesehatan yang minimal dipenuhi oleh
sistem penjara. Banyak dari ibu-ibu ini memiliki kehamilan berisiko tinggi karena masalah
ekonomi dan sosial yang membuat mereka dipenjara: kemiskinan, kurangnya pendidikan,
perawatan kesehatan yang tidak memadai, dan penyalahgunaan zat. Pendidik dan doula
Lamaze memiliki kesempatan untuk mereplikasi program model yang memberikan
dukungan, informasi, dan penegasan yang memberdayakan kepada para wanita dan anak-
anak mereka yang meningkatkan hasil pengasuhan dan mengurangi residivisme.
Berita-berita baru-baru ini tentang tahanan hamil yang bekerja dalam belenggu menyoroti
sekali lagi kebutuhan khusus perempuan yang dipenjara dan konsekuensi bagi masyarakat
karena tidak memenuhi kebutuhan unik mereka. Tidak seperti sistem penjara di Finlandia, di
mana hilangnya kebebasan yang disebabkan oleh hukuman penjara dianggap sebagai
hukuman utama ( Roth, 2004 ), kondisi penjara di Amerika Serikat seringkali bersifat
menghukum dan mereplikasi perilaku buruk masyarakat yang sama yang coba diberantas
oleh sistem tersebut. Risiko kesehatan dan pelanggaran fisik di penjara adalah hukuman
yang tidak adil dan ekstrim yang tidak harus ditanggung oleh siapa pun ( Roth, 2004 ).
Pengalaman persalinan dan kelahiran perempuan yang dipenjara bahkan tidak mulai
mendekati kondisi yang dijelaskan dalam Lamaze International's (2007)Enam Praktik
Perawatan yang Mendukung Persalinan Normal, dan kurangnya pemeriksaan dan
perawatan medis yang tepat membuat para ibu dan bayi mereka berisiko mengalami
masalah kesehatan seumur hidup.
Meskipun wanita hanya terdiri dari sekitar 10% dari keseluruhan populasi penjara di Amerika
Serikat, mereka mewakili populasi dengan pertumbuhan tercepat di dalam penjara dan
penjara ( Fearn & Parker, 2004 ; Harrison & Beck, 2004 ; LaLonde & George, 2002 ). Salah
satu alasan peningkatan ini adalah penutupan rumah sakit jiwa pada tahun 1970-an,
sehingga memunculkan penjara sebagai salah satu institusi alternatif untuk orang sakit jiwa (
Mullen, Cummins, Velasquez, von Sternberg, & Carvajal, 2003 ). Pada tahun 2003, jumlah
wanita di penjara negara bagian atau federal meningkat 3,6%, sementara jumlah narapidana
pria meningkat 2,0% ( Harrison & Beck, 2004).). Sejak tahun 1995, peningkatan tahunan
narapidana wanita rata-rata 5,0%, lebih tinggi dari peningkatan 3,3% narapidana pria
( Harrison & Beck, 2004 ). Lebih dari dua pertiga wanita penjara memiliki anak di bawah usia
18 tahun ( Harrison & Beck, 2004 ). Sekitar 6% dari wanita ini sedang hamil pada saat
penangkapan ( Fearn & Parker, 2004 ; Harrison & Beck, 2004 ; LaLonde & George, 2002 ;
Martin, Kim, Kupper, Meyer, & Hays, 1997 ).
Kondisi penjara dan penjara beroperasi dengan kebijakan netral gender yang berdampak
negatif pada kesehatan mental dan fisik narapidana wanita. Karena kecilnya populasi
narapidana wanita, wanita sering ditempatkan di satu penjara dengan jarak yang sangat
jauh dari keluarga dan orang-orang terkasih. Jumlah perempuan narapidana yang relatif
kecil digunakan untuk membenarkan penyediaan program rehabilitatif dan perawatan
kesehatan yang lebih sedikit. Program yang diterima perempuan seringkali didaur ulang dari
fasilitas laki-laki dan gagal memenuhi kebutuhan perempuan ( Fearn & Parker, 2004 ).
Undang-undang hukuman yang ketat dan wajib yang disahkan oleh Kongres gagal
memperhitungkan bahwa ibu dan ayah yang dipenjara menghadapi keadaan yang berbeda.
Sembilan puluh persen dari ayah yang dipenjara melaporkan bahwa anak mereka tinggal
bersama ibu dari anak tersebut, sementara hanya 28% dari ibu yang dipenjara melaporkan
anak mereka tinggal bersama ayah selama ibunya dipenjara ( Mumola, 2000 ). Empat puluh
persen ayah dan 60% ibu di penjara negara melaporkan kontak mingguan dengan anak-
anak mereka ( Mumola, 2000). Kontak mereka lebih sering melalui surat atau telepon
daripada secara langsung, terutama ketika narapidana wanita dipenjara di fasilitas khusus
yang terletak lebih jauh dari keluarganya daripada fasilitas untuk narapidana pria. Ibu yang
dipenjara berada dalam keadaan ekonomi yang lebih buruk daripada pria yang dipenjara
atau wanita yang kurang beruntung secara ekonomi. Ibu di penjara negara bagian dua kali
lebih mungkin dibandingkan ayah (18% vs 8%) untuk melaporkan masa tunawisma pada
tahun sebelum masuk ( Mumola, 2000 ). Pemenjaraan, terutama terhadap perempuan,
menghancurkan jaringan keluarga. Ketika pria masuk penjara, panutan potensial hilang.
Ketika perempuan masuk penjara, keluarga paling sering berantakan ( Memahami
Perawatan Kesehatan Penjara, 2002 ).
Wanita di penjara berbeda secara signifikan dari rekan pria mereka dalam alasan
penahanan mereka. Kejahatan perempuan lebih kecil kemungkinannya menjadi
pelanggaran kekerasan dan lebih cenderung melibatkan alkohol, narkoba, dan pelanggaran
properti. Wanita jarang menjadi pengedar atau pengedar narkoba besar dan, ketika mereka
melakukan pelanggaran kekerasan, mereka paling sering melawan pria yang melecehkan
mereka dan, karenanya, mereka jarang menjadi ancaman kekerasan bagi masyarakat
umum (Covington, 2000 ) . Kemiskinan dan kecanduan tampaknya sering memotivasi
tindakan kriminal oleh perempuan ( Baldwin & Jones, 2000 ). Laki-laki lebih cenderung
menggunakan obat-obatan untuk kesenangan, tetapi perempuan lebih cenderung
menggunakan obat-obatan untuk mengobati rasa sakit dari riwayat pelecehan dan/atau
untuk menjalin hubungan ( Covington, 2000 ).
Dengan meningkatnya jumlah wanita dalam penjara yang sedang hamil, penting untuk
menyadari bahwa kegagalan untuk memberikan perawatan kesehatan preventif dan kuratif
bagi wanita ini mungkin lebih mahal bagi masyarakat daripada program pendanaan yang
dapat memperbaiki perilaku keterikatan dan pengasuhan, memfasilitasi rehabilitasi narkoba,
dan mengurangi residivisme di antara populasi ini. Sistem penjara saat ini meningkatkan
viktimisasi, ketidakberdayaan yang dipelajari, kepasifan, rasa malu, dan pelanggaran hak
asasi manusia ( Covington, 2000 ). Stres pasca trauma meningkat dengan penggeledahan
strip-and-cavity, borgol dan belenggu, pengurungan dalam sel kecil, isolasi, dan kontrol oleh
staf yang didominasi laki-laki ( Covington, 2000 ; Johnsen, 2006). Wanita yang dipenjara
menanggung kerusakan lebih lanjut dan trauma ulang dengan kurangnya privasi dalam
sistem patriarki yang terus-menerus mengamati mereka saat tidur dan perawatan pribadi
dan dengan pemisahan dari anak-anak mereka ( Covington, 2000 ). Menurut Baldwin dan
Jones (2000) , sebagian besar perempuan yang dipenjara telah menyalahgunakan alkohol
dan/atau narkoba; namun, sistem penjara kurang menyediakan terapi untuk kecanduan apa
pun. Selain itu, Baldwin dan Jones (2000) melaporkan bahwa narapidana yang hamil
kekurangan perawatan prenatal yang memadai yang menawarkan layanan medis, nutrisi,
pendidikan, lingkungan, dan dukungan keluarga. Ketika kelahiran terjadi di penjara,
pemisahan ibu dan anak segera terjadi, yang selanjutnya membahayakan masa ikatan yang
kritis (Baldwin & Jones, 2000 ).
Dalam hal pemenuhan hak bagi narapidana ini terselipkan salah satu hak yang sangat
krusial dan harus terpenuhi yaitu hak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan
yang layak. Narapidana wanita tentu berbeda dengan narapidana pria, karena narapidana
wanita mempunyai keistimewaan yang tentu tidak dimiliki oleh narapidana pria seperti siklus
menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui. Sehingga kebutuhan wanita lebih spesifik
terutama dalam hal pelayanan kesehatan khususnya untuk wanita yang sedang hamil
sampai melahirkan dan menyusui. Apabila narapidana wanita yang sedang hamil
menjalankan proses pembinaan di LAPAS ini mempunyai hak yang lebih spesifik dan
urgensinya lebih mendalam selama masa kehamilannya.
Tahanan perempuan menjadi objek yang paling dekat dengan kerentanan tersebut. Fasilitas
keruangan yang menunjang aktivitas perempuan tak terlengkapi. Ini menjadi salah stu
indikator kurang terpenuhinya hak-hak perempuan. Hasil pemantauan Komnas Perempuan
terhadap kondisi tahanan perempuann di Naangroe Aceh Darussalam (NAD) pada
tahun2006 memperkuat persepsi tersebut. Dari 65 tahanan perempuan di NAD, Komnas
Perempuan menyimpulkan bahwa pihak atau lembaga yang menahan telah mengabaikan
kebutuhan spesifik perempuan. Mulai kondisi ruangan, penerangan, ketersediaan air bersih,
sampai layanan kesehatan reproduksi. Kondisi ini tidak hanya dialami oleh tahanan
perempuan yang disekap di pos-pos militer, tetapi juga terjadi di rutan atau Lapas yang
notabenenya lembaga resmi penahanan. Dibedakan di Indonesia, tak ada perlakuan atau
penambahan hak khusus terhadap tahanan perempuan. Mereka diperlakukan seperti
umumnya tahanan laki-laki. Padahal, perempuan yang tingkat kekebalan tubuhnya tidak
sekuat laki-laki seharusnya mendapat fasilitas akomodatif di ruang tahanan, bahkan dalam
hal pelayanan medis (Musyafak Timur). Lebih memprihatinkan, menurut pemantauan
Komnas Perempuan, aparat pelaku penahanan tidak menjalankan kewajiban melindungi
tahanan perempuan. Bahkan, Komnas Perempuan menemukan kasus-kasus kekerasan
terhadap tahanan perempuan yang justru dilakukan aparat pelaku penahanan.
Manfred Nowak, pengacara HAM sekaligus pelapor khusus Perserikatan Bangsa- Bangsa
(PBB) bidang penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, melaporkan adanya perlakuan tak
wajar di penjara-penjara di Indonesia. Penjara di Indonesia, seperti laporan Nowak masuk
dalam daftar ''horror'' PBB. Menurutnya, tahanan di Indonesia kurang mendapatkan
makanan dan obat-obatan. Bahkan, tahanan dipaksa membayar uang harian untuk
akomodasi yang diterima selama di penjara. Semasa menjalani masa hukuman, tahanan
perempuan rawan sekali tertimpa pelecehan seksual. Untuk mengantisipasi hal itu, aparat
penahan di Lapas atau Rutan perempuan harus didominasi oleh perempuan. Peluang untuk
melakukan tindak kekerasan maupun pelecehan seksual di Rutan atau Lapas perempuan
menjadi sempit jika aparat yang bertugas menjaga dan membina adalah perempuan
Single parent adalah keluarga yang mana hanya ada satu orang tua tunggal, hanya ayah
atau ibu saja. Keluarga yang terbentuk biasa terjadi pada kelurga sah secara hukum
maupun keluarga yang belum sah secara hukum, baik hukum agama maupun hukum
pemerintah.Konsep keluarga bukan lagi kaku secara teori konvensional bahwa kelurga
terdiri dari ayah , ibu, dan anak-anak kandung. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat
yang terdiriatas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dalam suatu atap
dalam keadaan saling ketergantungan ( depkes RI 1991 )
a. Perceraian.
Adanya ketidakharmonisan dalam kelurga yang disebabkan adanya perbedaan persepsi
atau perselisihan yang tidak mungkin ada jalan keluar, masalahekonomi / pekerjaan, salah
satu pasangan selingkuh, kematangan emosional yangkurang, perbedaan agama, aktifitas
suami istri yang tinggi di luar rumah sehingga kurang komunikasi, problem seksual dapat
merupakan faktor timbulnya perceraian.
2. Mengisi Waktu.
Sebagai manusia biasa, kehilangan pasangan hidup bisa menimbulkanrasa kesepian, rasa
kesendirian yang mendalam biasanya muncul ketika dia sedangdilanda masalah.
1. Dampak Negatif
a. Perubahan Perilaku Anak.
Bagi seorang anak yang tidak siap ditinggalkan orang tuanya bisa menjadi mengakibatkan
perubahan tingkah laku. Menjadi pemarah, barkatakasar, suka melamun, agresif, suka
memukul, menendang, menyakiti temanya. Anakjuga tidak berkesempatan untuk belajar
perilaku yang baik sebagaimana perilakukeluagra yang harmonis. Dampak yang paling
berbahaya bila anak mencari pelarian diluar rumah, seperti menjadi anak jalanan,
terpengaruh penggunaan narkoba untukmelenyapkan segala kegelisahan dalam hatinya,
terutama anak yang kurang kasih sayang, kurang perhatian orang tua.
b. Perenpuan Merasa Terkucil.
Terlebih lagi pada perempuan yang sebagai janda atau yang tidak dinikahi, di masyarakat
terkadang mendapatkan cemooh dan ejekan.
c. Psikologi Anak Terganggu.
Anak sering mendapat ejekan dari teman sepermainan sehingga anak menjadi murung,
sedih. Hal ini dapat mengakibatkan anak menjadi kurang percaya diri dan kurang kreatif.
2. Dampak Positif
a. Anak terhindar dari komunikasi yang kontradiktif dari orang tua, tidak akan terjadi
komunikasi yang berlawanan dari orang tua, misalnya ibunya mengijinkan tetapi
ayahnya melarangnya, Nilai yang diajarkan ole ibu atau ayah diteriam penuh karena
tidak terjadi pertentangan.
b. Ibu berperan penuh dalam pengambilan keputusan dan tegar.
c. Anak lebih mandiri dan berkepribadian kuat, karena terbiasa tidak selalu hal
didampingi, terbiasa menyelesaikan berbagai masalah kehidupan.
3. Dampak Single Parent bagi Perkembangan Anak
1. Tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik sehingga anak kurang dapat
berinteraksi dengan lingkungan, menjadi minder dan menarik diri.
2. Pada anak single parent dengan ekonomi rendah, biasanya nutrisi tidak seimbang
sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan terganggu.
3. Single parent kurang dapat menanamkan adat istiadat dan murung dalam keluarga,
sehingga anak kurang dapat bersopan santun dan tidak meneruskan budaya keluarga,
serta mengakibatkan kenakalan karena adanya ketidakselarasan dalam keluarga.
4. Dibidang pendidikan, single parent sibuk untuk mencari nafkah sehingga pendidikan
anak kurang sempurna dan tidak optimal.
5. Dasar pendidikan agama pada anak single parent biasanya kurang sehingga anak jauh
dari nilai agama.
6. Single parent kurang bisa melindungi anaknya dari gangguan orang lain, dan bila
Dalam jangka waktu lama, maka akan menimbulkan kecemasan pada anak atau
Gangguan psikologis yang sangat berpengaruh pada perkembangan anak.
3.1.6 Enam (6) karakter dalam Keluarga Single Parent yang Prima
1. Adanya kualitas waktu yang dihabiskan bersama dalam anggota keluarga.
2. Memberikan perhatian lebih, termasuk dalam hal-hal kecil, seperti meninggalkan
Pesan yang melukiskan perhatian dari orang tua.
3. Keluarga yang prima adalah keluarga yang saling komitmen satu sama lainnya.
4. Menghormati satu sama lain, contohnya : dengan mengucapkan atau mengekspresikan
Rasa sayang kepada anak-anak, mengucapkan terima kasih pada saat anak-anak selesai
melakukan tugas yang diberikan.
5. Kemampuan berkomunikasi penting dalam membangun keluarga yang prima.
6. Kondisi krisis dan stress dianggap sebagai tahapan kesempatan untuk terus
berkembang.
3.1.9 Upaya Pencegahan Single Parent dan Pencegahan Dampak Negatif Single
Parent
1. Pencegahan terjadinya kehamilan di luar nikah.
2. Pencegahan perceraian dengan mempersiapkan perkawinan dengan baik dalam segi
psikologis , keuangan, spiritual.
3. Menjaga komunikasi dengan berbagai sarana teknologi informasi.
4. Menciptakan kebersamaan antar anggota keluarga.
5. Peningkatan spiritual dalam keluarga.
4.1 LGBT
Biseksual (bisexual) adalh individu yang dapat menikmati hubungan emosional dan
seksual dengan orang dari keduan jenis kelamin baik pria ataupun wanita.
Transgender adalah prilaku atau penampilan seseorang yang tidak sesuai dengan
peran gender pada umumnya. Seseorang transgender dapat mengidentifikaasi dirinya
sebagai seorang heteroseksual, homoseksual, biseksual maupun aseksual.
Dari semua definisi di atas walaupun berbeda dari sisi pemenuahan seksualnya,
akan tetapi kesamaanya adalah mereka memiliki kesenangan baik secara psikis ataupun
biologis dan orientasi seksual bukan saja dengan lawan jenis akan tetapi bisa juga dengan
sesama jenis.
Didikan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya memiliki peranan yang penting bagi
para anak untuk lebih cenderung menjadi seorang anggota LGBT daripada hidup normal
layaknya orang yang lainnya.
•Ketika seorang anak mendapatka perlakuan yang kasar atau perlakuan yang tidak baik
lainnya, maka pada akhirnya kondisi itu bisa menimbulkan kerenggangan hubungan
keluarga serta timbulnya rasa benci si anak pada orag tuanya. Sebagai contoh adalah ketika
seorang anak perempuan mendapatkan perlakuan yang kasar atau tindak kekerasan
lainnya dari ayah atau saudara laki-lakinya yang lain, maka akibat dari trauma tersebut
nantinya anak perempuan tersebut bisa saja memiliki sifat atau sikap benci terhadap semua
laki-laki.
•Akibat sikap orng tua yang terlalu mengidam-idamkan untuk memiliki anak laki-laki atau
perempuan, namun kenyataan yang terjadi justru malah sebaliknya. Kondisi seperti ini bisa
membuat anak akan cenderung bersikap seperti apa yang diidamkan oleh orang tuanya.
•Orang tua yang terlalu mengekang anak juga bisa malah menjerumuskan anak pada pilihan
hidup yang salah.
•Kurangnya pendidikan perihal agama dan masalah seksual dari orang tua kepada anak-
anaknya. Orang tua sering beranggapan bahwa membicarakan masalah yang menyangkut
seksual kepada anak-anak mereka adalah suatu hal yang tabu, padahal
hal itu justru bisa mendidik anak agar bisa mengetahui perihal seks yang benar.
Lingkungan serta kebiasaan seseorang dalam bergaul disinyalir telah menjadi faktor
penyebab yang paling dominan terhadap keputusan seseorang untuk menjadi bagian dari
komunitas LGBT. Beberapa point terkait dengan faktor ini adalah :
•Masuknya budaya-budaya yang berasal dari luar negri mau tidak mau telah dapat
mengubah pola pkir sebagian besar masyarakat kita dan pada akhirnya terjadilah
pergeseran norma-norma susila yang dianut oleh sebagian masyarakat. Sebagai contoh
adalah perilaku seks yang menyimpang seperti seks bebas maupun seks dengan sesama
jenis atau yang lebih dikenal dengan istilah LGBT.
3. Faktor Genetik
Dari beberapa hasil penelitian telah menunjukan bahwa salah satu faktor pendorong
terjadinya homoseksual, lesbian, atau perilaku seks yang menyimpang lainnya bisa berasal
dari dalam tubuh si pelaku yang sifatnya bisa menurun dari anggota keluarga terdahulu, ada
beberapa hal yang perlu kita ketahui terkait masalah ini, seperti :
•Dalam dunia kesehatan, pada umumnya seorang laki-laki normal memiliki kromosom XY
dalam tubuhnya, sedangkan wanita yang normal kromosomnya adalah XX, akan tetapi
dalam beberapa kasus ditemukan bahwa seorang pria bisa saja memiliki jenis kromosom
XXY, ini artinya bahwa laki-laki tersebut memiliki kelebihan suatu kromosom. Akibatnya,
lelaki tersebut bisa memiliki berprilaku yang agak mirip dengan perilaku perempuan.
•Keberadaan hormon testosteron dalam tubuh manusia memiliki andil yang besar terhadap
perilaku LGBT. Seseorang yang memiliki kadar hormon testosteron yang rendah dalam
tubuhnya, maka bisa mengakibatkan antara lain berpengaruh terhadap perubahan
perilakunya, seperti perilaku laki-laki menjadi mirip dengan perilaku perempuan.
4. Faktor Akhlak dan Moral
Faktor moral dan akhlak yang dimiliki seseorang juga memiliki pengaruh yang besar
terhadap perilaku LGBT yang dianggap menyimpang. Ada beberapa hal yang dapat
berpengaruh pada perubahan akhlak dan moral yang dimiliki manusia tersebut kepada
perilaku yang menyimpang seperti LGBT, yaitu :
•Iman yang lemah dan rapuh. Ketika seseorang memiliki tingkat keimanan yang lemah dan
rapuh, besar kemungkinan kondisi tersebut akan membuatnya lemah dalam hal
mengendalikan hawa nafsu. Kita tahu bahwa iman adalah benteng yang paling efektif dalam
diri seseorang untuk menghindari terjadinya perilaku seksual yang menyimpang. Jadi
dengan lemahnya iman, maka kekuatan seseorang untuk dapat mengendalikan bahwa
nafsunya akan semakin kecil, dan itu nantinya bisa menjerumuskan orang itu pada perilaku
yang menyimpang, salah satunya dalam hal seks.
•Semakin banyaknya rangsangan seksual. Banyak contoh yang bisa kita ambil sebagai
pemicu rangsangan seksual seseorang. Misalnya semakin maraknya VCD Porno, majalah
porno, atau video-video lain yang bisa kita akses melalui internet.
• Kutil kelamin, yaitu penyakit kelamin yang disebabkan oleh infeksi virus HPV (human
papilomavirus) yang menyebabkan kemunculan kutil di sekitar alat kelamin atau area dubur.
Mereka yang terinfeksi virus HPV bisa berpotensi terkena penyakit berbahaya seperti kanker
serviks, kanker penis, serta kanker rektum.
Menggangu Reproduksi
Perilaku LGBT juga bisa berakibat pada reproduksi si pelaku. Mereka yang gemar
melakukan kegiatan seks yang menyimpang bisa mengalami gangguan peranakan
(reproduksi). Bagi pelaku homoseksual, kondisi ini bisa menyebabkan berbagai sumber
utama pengeluaran mani menjadi semakin melemah. Selain itu, kondisi ini akan dapat
menimbulkan gangguan pada produksi sperma yang dihasilkan pada testis, di mana sperma
bisa terbunuh dan pada akhirnya akan menyebabkan kemandulan.
5.1 Kesimpulan
Menurut Baldwin dan Jones (2000) , sebagian besar perempuan yang dipenjara telah
menyalahgunakan alkohol dan/atau narkoba; namun, sistem penjara kurang menyediakan
terapi untuk kecanduan apa pun. Selain itu, Baldwin dan Jones (2000) melaporkan bahwa
narapidana yang hamil kekurangan perawatan prenatal yang memadai yang menawarkan
layanan medis, nutrisi, pendidikan, lingkungan, dan dukungan keluarga. Ketika kelahiran
terjadi di penjara, pemisahan ibu dan anak segera terjadi, yang selanjutnya membahayakan
masa ikatan yang kritis (Baldwin & Jones, 2000 ).
Single parent adalah keluarga yang mana hanya ada satu orang tua tunggal, hanya
ayah atau ibu saja. Keluarga yang terbentuk biasa terjadi pada kelurga sah secara hukum
maupun keluarga yang belum sah secara hukum, baik hukum agama maupun hukum
pemerintah.Konsep keluarga bukan lagi kaku secara teori konvensional bahwa kelurga
terdiri dari ayah , ibu, dan anak-anak kandung.
LGBT merupakan penyimpangan orientasi seksual yang dilarang oleh semua agama
terlebih lagi islam, karena perbuatan keji ini akan merusak kelestarian manusia. Oleh karena
itu sudah menjadi kewajiban manusia untuk melawan segala jenis opini atas nama HAM
yang membela kaum LGBT, akan tetapi sesungguhnya mereka membawa manusia menuju
kerusakan yang lebih parah.
5.2 Saran
Saran LGBT
Agar dimasa yang akan datang bisa jauh lebih baik lagi, kita harus lebih banyak belajar dan
belajar lagi, karena kunci kesuksesan adalah dengan cara belajar dan terus berusaha.
Semoga kita bisa menjaga diri kita dengan senantiasa menyadari bahwa kita senantiasa
diawasi oleh Allah SWT. Dan senantiasa saling berwhsiyat dalam taqwa dan kebaikan.
Karena kita semua adalah umat terbaik di akhir zaman yang senantiasa menyeru pada yang
makruf dan mencegah dari yang munkar.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI, 2001. Yang Perlu Diketahui Petugas Kesehatan tentang : Kesehatan
Reproduksi, Depkes, Jakarta.
Ali, Mohammad dan Muhammad Asrori. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta
Didik. Jakarta: P.T. Bumi Aksara, 2006.
Asrori, Muhammad. Psikologi Pembelajaran. Bandung: C.V. Wacana Prima, 2009.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Dikti HEDS-JICA.Per kem bangan
Peserta Didik. Jakarta: Tim Pembina Mata Kuliah Perkembangan Peserta
Didik, 2007.
Sunarto dan Hartono, B. Agung. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta:
Rineka Cipta, 2006.
Http//: Kesehatan reproduksi remaja.com
Http://Lusa_Blogspot.single-parent/kespro/.com
Kemeneg PP dan PA, 2015. Pandangan Masyarakat Terhadap LGBT di Jakarta, Bogor,
Depok, dan Tangerang, Jakarta: Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia.