Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Manajemen & Kepemimpinan Dalam Pelayanan Kebidanan


''Kebutuhan Khusus Pada Permasalahan Sosial"

Dosen pengampuh
Erlinawati, M.Keb

Disusun Oleh:
Kelompok 4
Aulia Syafira
Dhea Wahdanillah
Gusti Citra Pratiwi
Masyah Naziroh
Nurindah Natasyah

S1 KEBIDANAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PAHLAWAN TUANKU TAMBUSAI

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami ucapkan
puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Kebutuhan khusus pada
permasalahan sosial(kehamilan dalam penjara,singel parent,lgbt)yang terdapat dalam mata
kuliah manajemen dan kepemimpinan dalam pelayanan kebidanan
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan baik dari
segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan
tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan
kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah Kebutuhan khusus pada


permasalahan sosial(kehamilan dalam penjara,singel parent,lgbt)ini dapat diambil hikmah dan
manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bangkinang, Maret 2023

Kelompok 4

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Rumusan Masalah 3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Kehamilan Dalam Penjara

3.1 Singel Parent

3.1.1 Pengertian Singel Parent

3.1.2 Sebab-Sebab Terjadinya Single Parent

3.1.3 Dampak Single Parent

3.1.4 Dampak Single Parent Terhadap Ibu

3.1.5 Ciri Keluarga Single Parent yang Berhasil

3.1.6 Enam (6) karakter dalam Keluarga Single Parent yang Prima

3.1.7 Pentingnya Konseling agar dapat


3.1.8 Penanganan Single Parent

3.1.9 Upaya Pencegahan Single Parent dan Pencegahan Dampak Negatif Single
Parent

4.1 LGBT

4.1.1 Pengertian LGBT

4.1.2 Penyebab LGBT

4.1.3 Dampak LGBT

4.1.4 Pencegahan LGBT

4.1.5 Cara Menyikapi LGBT

BAB III PENUTUP

5.1 Kesimpulan

5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hadis (2006) menjelaskan bahwa anak berkebutuhan khusus merupakan sebutan bagi
manusia yang memiliki kekurangan atau kelainan dan penyimpangan yang tidak dialami
oleh orang normal pada umumnya. Kelainan atau kekurangan yang dimiliki ini dapat berupa
kelainan dalam segi fisik, psikis, sosial, dan moral. Kelainan dari segi fisik dapat berupa
kecacatan fisik, misalnya tunanetra, tunadaksa, tunarungu, tunawicara dan sejenisnya.
Kelainan dari segi psikis misalnya orang yang menderita keterbelakangan mental akibat dari
intelligensi yang dimiliki di bawah normal. Kelainan dari segi sosial, misalnya orang yang 3
tidak dapat melakukan interaksi dan komunikasi sosial, sehingga tidak dapat diterima secara
sosial oleh masyarakat sekitar. Kelainan dari segi moral dapat berupa ketidakmampuan
seseorang untuk mengendalikan emosi dan hati nuraninya, sehingga orang tersebut berbuat
amoral di tengah masyarakat.

Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus pun menginginkan situasi dan lingkungan yang
mendukung pertumbuhannya. Lingkungan yang tidak memberikan label negatif pada
kepribadiannya, dan tentunya lingkungan yang bisa menjadikannya berprestasi, tumbuh dan
berkembang seperti anak-anak normal lainnya, tanpa adanya rasa minder, malu, dan
rendah diri terhadap kekurangan-kekurangan yang dimiliki. Karena itu salah satu usaha
untuk mengaktualisasikan potensi dan perkembangan pada anak-anak berkebutuhan
khusus tersebut, Yayasan Lembaga Pendidikan Al-Firdaus (YLPF) menerapkan sistem
pendidikan inklusi, sebagaimana dikatakan Warsiki (2007) bahwa pendidikan inklusi ini
adalah pendidikan yang melibatkan anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) atau anak
“cacat” ke dalam sistem pendidikan regular. Pernyataan tersebut senada dengan Aretha
(2007) bahwa di dalam sekolah inklusi ini anak yang berkelainan akan didik bersama anak
normal lainnya, untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki, sehingga dalam proses
pendidikan yang berlangsung, sekolah inklusi mengakomodasi semua peserta didik tanpa
mempertimbangkan kondisi fisik, intelektual, maupun emosional.

Sebagai upaya mengembangkan potensi pada anak berkebutuhan khusus tersebut,


Yayasan Lembaga Pendidikan Al-Firdaus (YPLF) menyelenggarakan Program Pusat
Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus (PUSPA). Program ini bertujuan untuk memberikan
pelayanan terhadap siswa didik yang memiliki kebutuhan khusus, yang ditangani oleh
tenaga guru-guru pendidikan luar biasa, terapis, okupasi dan psikolog. Diharapkan program
tersebut dapat mencegah, mengurangi, dan menghilangkan hambatan yang menyebabkan
tidak optimalnya potensi fisik, mental – intelektual, sosial, dan emosional sumber daya insan
(SDI), dengan adanya program PUSPA tersebut, diharapkan anak berkebutuhan khusus
dapat mengasah dan mengembangkan potensinya secara maksimal, seperti yang terjadi
pada siswa berinisial FA seorang anak penyandang autisme yang duduk di kelas VII SMP
Al-Firdaus Surakarta, ia mampu melakukan kompensasi terhadap berbagai kekurangan
yang dimiliki, sehingga dengan kekurangan yang dimiliki tetap mampu meraih prestasi
dalam olympiade matematika, mampu menghafal Al-Qur’an juz 30, dan kemampuan-
kemampuan lain yang ditujukan dalam acara hari anak autis tahun 2009 lalu.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian risiko kesehatan dan pelanggaran fisik di penjara?


2. Apa dampak negatif pada kesehatan mental dan fisik narapidana wanita selama di
penjara?

3. Apa pengertian single parent?

4. Apa saja sebab-sebab terjadi single parent?

5. Apa dampak negatif dan positif single parent?

6. Bagaimana penanganan single parent?

7. Bagaimana cara upaya pencegahan single parent dan pencegahan dampak negatif single
parent?

8. Apa yang dimaksud LGBT?

9. Apa penyebab LGBT?

10. Apa dampak LGBT?

11. Bagaimana cara pencegahan LGBT?

12. Bagaimana cara menyikapi masalah LGBT?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kehamilan Dalam Penjara

Narapidana hamil memiliki kebutuhan perawatan kesehatan yang minimal dipenuhi oleh
sistem penjara. Banyak dari ibu-ibu ini memiliki kehamilan berisiko tinggi karena masalah
ekonomi dan sosial yang membuat mereka dipenjara: kemiskinan, kurangnya pendidikan,
perawatan kesehatan yang tidak memadai, dan penyalahgunaan zat. Pendidik dan doula
Lamaze memiliki kesempatan untuk mereplikasi program model yang memberikan
dukungan, informasi, dan penegasan yang memberdayakan kepada para wanita dan anak-
anak mereka yang meningkatkan hasil pengasuhan dan mengurangi residivisme.
Berita-berita baru-baru ini tentang tahanan hamil yang bekerja dalam belenggu menyoroti
sekali lagi kebutuhan khusus perempuan yang dipenjara dan konsekuensi bagi masyarakat
karena tidak memenuhi kebutuhan unik mereka. Tidak seperti sistem penjara di Finlandia, di
mana hilangnya kebebasan yang disebabkan oleh hukuman penjara dianggap sebagai
hukuman utama ( Roth, 2004 ), kondisi penjara di Amerika Serikat seringkali bersifat
menghukum dan mereplikasi perilaku buruk masyarakat yang sama yang coba diberantas
oleh sistem tersebut. Risiko kesehatan dan pelanggaran fisik di penjara adalah hukuman
yang tidak adil dan ekstrim yang tidak harus ditanggung oleh siapa pun ( Roth, 2004 ).
Pengalaman persalinan dan kelahiran perempuan yang dipenjara bahkan tidak mulai
mendekati kondisi yang dijelaskan dalam Lamaze International's (2007)Enam Praktik
Perawatan yang Mendukung Persalinan Normal, dan kurangnya pemeriksaan dan
perawatan medis yang tepat membuat para ibu dan bayi mereka berisiko mengalami
masalah kesehatan seumur hidup.

Meskipun wanita hanya terdiri dari sekitar 10% dari keseluruhan populasi penjara di Amerika
Serikat, mereka mewakili populasi dengan pertumbuhan tercepat di dalam penjara dan
penjara ( Fearn & Parker, 2004 ; Harrison & Beck, 2004 ; LaLonde & George, 2002 ). Salah
satu alasan peningkatan ini adalah penutupan rumah sakit jiwa pada tahun 1970-an,
sehingga memunculkan penjara sebagai salah satu institusi alternatif untuk orang sakit jiwa (
Mullen, Cummins, Velasquez, von Sternberg, & Carvajal, 2003 ). Pada tahun 2003, jumlah
wanita di penjara negara bagian atau federal meningkat 3,6%, sementara jumlah narapidana
pria meningkat 2,0% ( Harrison & Beck, 2004).). Sejak tahun 1995, peningkatan tahunan
narapidana wanita rata-rata 5,0%, lebih tinggi dari peningkatan 3,3% narapidana pria
( Harrison & Beck, 2004 ). Lebih dari dua pertiga wanita penjara memiliki anak di bawah usia
18 tahun ( Harrison & Beck, 2004 ). Sekitar 6% dari wanita ini sedang hamil pada saat
penangkapan ( Fearn & Parker, 2004 ; Harrison & Beck, 2004 ; LaLonde & George, 2002 ;
Martin, Kim, Kupper, Meyer, & Hays, 1997 ).

Kondisi penjara dan penjara beroperasi dengan kebijakan netral gender yang berdampak
negatif pada kesehatan mental dan fisik narapidana wanita. Karena kecilnya populasi
narapidana wanita, wanita sering ditempatkan di satu penjara dengan jarak yang sangat
jauh dari keluarga dan orang-orang terkasih. Jumlah perempuan narapidana yang relatif
kecil digunakan untuk membenarkan penyediaan program rehabilitatif dan perawatan
kesehatan yang lebih sedikit. Program yang diterima perempuan seringkali didaur ulang dari
fasilitas laki-laki dan gagal memenuhi kebutuhan perempuan ( Fearn & Parker, 2004 ).

Undang-undang hukuman yang ketat dan wajib yang disahkan oleh Kongres gagal
memperhitungkan bahwa ibu dan ayah yang dipenjara menghadapi keadaan yang berbeda.
Sembilan puluh persen dari ayah yang dipenjara melaporkan bahwa anak mereka tinggal
bersama ibu dari anak tersebut, sementara hanya 28% dari ibu yang dipenjara melaporkan
anak mereka tinggal bersama ayah selama ibunya dipenjara ( Mumola, 2000 ). Empat puluh
persen ayah dan 60% ibu di penjara negara melaporkan kontak mingguan dengan anak-
anak mereka ( Mumola, 2000). Kontak mereka lebih sering melalui surat atau telepon
daripada secara langsung, terutama ketika narapidana wanita dipenjara di fasilitas khusus
yang terletak lebih jauh dari keluarganya daripada fasilitas untuk narapidana pria. Ibu yang
dipenjara berada dalam keadaan ekonomi yang lebih buruk daripada pria yang dipenjara
atau wanita yang kurang beruntung secara ekonomi. Ibu di penjara negara bagian dua kali
lebih mungkin dibandingkan ayah (18% vs 8%) untuk melaporkan masa tunawisma pada
tahun sebelum masuk ( Mumola, 2000 ). Pemenjaraan, terutama terhadap perempuan,
menghancurkan jaringan keluarga. Ketika pria masuk penjara, panutan potensial hilang.
Ketika perempuan masuk penjara, keluarga paling sering berantakan ( Memahami
Perawatan Kesehatan Penjara, 2002 ).

Wanita di penjara berbeda secara signifikan dari rekan pria mereka dalam alasan
penahanan mereka. Kejahatan perempuan lebih kecil kemungkinannya menjadi
pelanggaran kekerasan dan lebih cenderung melibatkan alkohol, narkoba, dan pelanggaran
properti. Wanita jarang menjadi pengedar atau pengedar narkoba besar dan, ketika mereka
melakukan pelanggaran kekerasan, mereka paling sering melawan pria yang melecehkan
mereka dan, karenanya, mereka jarang menjadi ancaman kekerasan bagi masyarakat
umum (Covington, 2000 ) . Kemiskinan dan kecanduan tampaknya sering memotivasi
tindakan kriminal oleh perempuan ( Baldwin & Jones, 2000 ). Laki-laki lebih cenderung
menggunakan obat-obatan untuk kesenangan, tetapi perempuan lebih cenderung
menggunakan obat-obatan untuk mengobati rasa sakit dari riwayat pelecehan dan/atau
untuk menjalin hubungan ( Covington, 2000 ).

Dengan meningkatnya jumlah wanita dalam penjara yang sedang hamil, penting untuk
menyadari bahwa kegagalan untuk memberikan perawatan kesehatan preventif dan kuratif
bagi wanita ini mungkin lebih mahal bagi masyarakat daripada program pendanaan yang
dapat memperbaiki perilaku keterikatan dan pengasuhan, memfasilitasi rehabilitasi narkoba,
dan mengurangi residivisme di antara populasi ini. Sistem penjara saat ini meningkatkan
viktimisasi, ketidakberdayaan yang dipelajari, kepasifan, rasa malu, dan pelanggaran hak
asasi manusia ( Covington, 2000 ). Stres pasca trauma meningkat dengan penggeledahan
strip-and-cavity, borgol dan belenggu, pengurungan dalam sel kecil, isolasi, dan kontrol oleh
staf yang didominasi laki-laki ( Covington, 2000 ; Johnsen, 2006). Wanita yang dipenjara
menanggung kerusakan lebih lanjut dan trauma ulang dengan kurangnya privasi dalam
sistem patriarki yang terus-menerus mengamati mereka saat tidur dan perawatan pribadi
dan dengan pemisahan dari anak-anak mereka ( Covington, 2000 ). Menurut Baldwin dan
Jones (2000) , sebagian besar perempuan yang dipenjara telah menyalahgunakan alkohol
dan/atau narkoba; namun, sistem penjara kurang menyediakan terapi untuk kecanduan apa
pun. Selain itu, Baldwin dan Jones (2000) melaporkan bahwa narapidana yang hamil
kekurangan perawatan prenatal yang memadai yang menawarkan layanan medis, nutrisi,
pendidikan, lingkungan, dan dukungan keluarga. Ketika kelahiran terjadi di penjara,
pemisahan ibu dan anak segera terjadi, yang selanjutnya membahayakan masa ikatan yang
kritis (Baldwin & Jones, 2000 ).

Dalam hal pemenuhan hak bagi narapidana ini terselipkan salah satu hak yang sangat
krusial dan harus terpenuhi yaitu hak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan
yang layak. Narapidana wanita tentu berbeda dengan narapidana pria, karena narapidana
wanita mempunyai keistimewaan yang tentu tidak dimiliki oleh narapidana pria seperti siklus
menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui. Sehingga kebutuhan wanita lebih spesifik
terutama dalam hal pelayanan kesehatan khususnya untuk wanita yang sedang hamil
sampai melahirkan dan menyusui. Apabila narapidana wanita yang sedang hamil
menjalankan proses pembinaan di LAPAS ini mempunyai hak yang lebih spesifik dan
urgensinya lebih mendalam selama masa kehamilannya.
Tahanan perempuan menjadi objek yang paling dekat dengan kerentanan tersebut. Fasilitas
keruangan yang menunjang aktivitas perempuan tak terlengkapi. Ini menjadi salah stu
indikator kurang terpenuhinya hak-hak perempuan. Hasil pemantauan Komnas Perempuan
terhadap kondisi tahanan perempuann di Naangroe Aceh Darussalam (NAD) pada
tahun2006 memperkuat persepsi tersebut. Dari 65 tahanan perempuan di NAD, Komnas
Perempuan menyimpulkan bahwa pihak atau lembaga yang menahan telah mengabaikan
kebutuhan spesifik perempuan. Mulai kondisi ruangan, penerangan, ketersediaan air bersih,
sampai layanan kesehatan reproduksi. Kondisi ini tidak hanya dialami oleh tahanan
perempuan yang disekap di pos-pos militer, tetapi juga terjadi di rutan atau Lapas yang
notabenenya lembaga resmi penahanan. Dibedakan di Indonesia, tak ada perlakuan atau
penambahan hak khusus terhadap tahanan perempuan. Mereka diperlakukan seperti
umumnya tahanan laki-laki. Padahal, perempuan yang tingkat kekebalan tubuhnya tidak
sekuat laki-laki seharusnya mendapat fasilitas akomodatif di ruang tahanan, bahkan dalam
hal pelayanan medis (Musyafak Timur). Lebih memprihatinkan, menurut pemantauan
Komnas Perempuan, aparat pelaku penahanan tidak menjalankan kewajiban melindungi
tahanan perempuan. Bahkan, Komnas Perempuan menemukan kasus-kasus kekerasan
terhadap tahanan perempuan yang justru dilakukan aparat pelaku penahanan.
Manfred Nowak, pengacara HAM sekaligus pelapor khusus Perserikatan Bangsa- Bangsa
(PBB) bidang penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, melaporkan adanya perlakuan tak
wajar di penjara-penjara di Indonesia. Penjara di Indonesia, seperti laporan Nowak masuk
dalam daftar ''horror'' PBB. Menurutnya, tahanan di Indonesia kurang mendapatkan
makanan dan obat-obatan. Bahkan, tahanan dipaksa membayar uang harian untuk
akomodasi yang diterima selama di penjara. Semasa menjalani masa hukuman, tahanan
perempuan rawan sekali tertimpa pelecehan seksual. Untuk mengantisipasi hal itu, aparat
penahan di Lapas atau Rutan perempuan harus didominasi oleh perempuan. Peluang untuk
melakukan tindak kekerasan maupun pelecehan seksual di Rutan atau Lapas perempuan
menjadi sempit jika aparat yang bertugas menjaga dan membina adalah perempuan

3.1 Singel Parent

3.1.1 Pengertian Singel Parent

Single parent adalah keluarga yang mana hanya ada satu orang tua tunggal, hanya ayah
atau ibu saja. Keluarga yang terbentuk biasa terjadi pada kelurga sah secara hukum
maupun keluarga yang belum sah secara hukum, baik hukum agama maupun hukum
pemerintah.Konsep keluarga bukan lagi kaku secara teori konvensional bahwa kelurga
terdiri dari ayah , ibu, dan anak-anak kandung. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat
yang terdiriatas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dalam suatu atap
dalam keadaan saling ketergantungan ( depkes RI 1991 )

Fungsi Keluarga menurut WHO :


• Fungsi biologis
• Fungsi psikologis
• Fungsi sosial budaya
• Fungsi sosial ekonomi
• Fungsi pendidikan
3.1.2 Sebab-Sebab Terjadinya Single Parent

1. Pada keluarga Sah

a. Perceraian.
Adanya ketidakharmonisan dalam kelurga yang disebabkan adanya perbedaan persepsi
atau perselisihan yang tidak mungkin ada jalan keluar, masalahekonomi / pekerjaan, salah
satu pasangan selingkuh, kematangan emosional yangkurang, perbedaan agama, aktifitas
suami istri yang tinggi di luar rumah sehingga kurang komunikasi, problem seksual dapat
merupakan faktor timbulnya perceraian.

b. Orang Tua Meninggal.


Takdir hidup dan mati manusia di tangan Tuhan. Manusiahanya bisa berdoa dan berupaya.
Adapun sebab kematian ada berbagai macam. Antaralain karena kecelakaan, bunuh diri,
pembunuhan, musibah bencana alam, kecelakaankerja, keracunan, penyakit dan lain-lain.

c. Orang Tua Masuk Penjara.


Sebab masuk penjara antara lain karena melakukan tindak kriminal seperti perampokan,
pembunuhan, pencurian, pengedar narkoba atau tindak perdata seperti hutang, jual beli,
atau karena tindak pidana korupsi sehingga sekian lama tindak berkumpul dengan keluarga.

d. Study ke Pulau lain atau ke Negara Lain.


Tuntutan profesi orang tua untuk melanjutkan study sebagai peserta tugas belajar
mengakibatkan harus berpisah dengan keluarga untuk sementara waktu, atau bisa terjadi
seorang anak yang meneruskan pendidikan di pulau lain atau luar negeri dan hanya
bersama ibu saja sehingga menyebabkan anak untuk sekian lama tidak didampingi oleh
ayahnya yang harus tetap kerja di negara atau pulau atau kota kelahiran.

e. Kerja di Luar Daerah atau Luar Negeri.


Cita-cita untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik lagi menyebabkan salah satu orang
tua meninggalkan daerah, terkadang ke luar negeri.

2. Pada Keluarga Tidak Sah


Dapat terjadi pada kasus kehamilan di luar nikah, pria yang menghamili tidak bertanggung
jawab. Rayuan manis saat pacaran menyebabkan perempuan terbuai dan terpedaya pada
sang pacar. Setelah hamil, tidak dikawini, dan ditinggal pergi sehingga perempuan
membesarkan anaknya sendirian. Kasus yang lain pada perempuan korbanperkosaan yang
akhirnya menerima kehamilannya ataupun perempuan WTS yang mempunyai anak
menyebabkan anak tidak pernah mengenal dan mendapatkan kasih ayah.
=> Hal-hal yang perlu dilakukan oleh Single Parent
1. Keterbukaan.
Menyandang status single parent (janda/duda) sebenarnya bukanlah suatu hal yang harus
ditutup-tutupi. Ketika masyarakat menilai status itu dengan prasangkanegatif, sebagian
orang justru bisa menunjukan bahwa menjadi single parent justrubukan sesuatu yang buruk.

2. Mengisi Waktu.
Sebagai manusia biasa, kehilangan pasangan hidup bisa menimbulkanrasa kesepian, rasa
kesendirian yang mendalam biasanya muncul ketika dia sedangdilanda masalah.

3. Membuka Diri Untuk Masa Depan.


Berbagi cerita dengan orang-orang yang bernasibsama adalah salah satu terapi yang bisa
dilakukan untuk mengurangi tekanan psikologis.Kegiatan ini juga dilakukan oleh mereka
yang tidak siap menjalani statusnya sebagaisingle parent (janda/duda). Melalui komunitas
berbagi ini mereka dapat membuka diriuntuk pergaulan meski tetap masih memilih-milih
teman.
=> Hal-hal yang harus di perlukan oleh Single Parent Berkaitan dengan Anaknya
1. Selain berharap ayah dan ibunya berumur panjang, anak-anak mengharapkan kedua
orang tuanya itu senantiasa hadir ditengah-tengah mereka.
2. Terjadinya kesepahaman antara suami dan isteri dalam berbagai hal yang berhubungan
dengan kehidupan pribadi dapat berpengaruh pada diri anak.
3. Terdapatnya sistem dan aturan yang sama dalam membina rumah tangga dan mendidik
anak bukan berarti meniadakan sistem dan aturan yang lain.
4. Tersedianya berbagai perlengkapan rumah tangga tentunya untuk kehidupan yang
Wajar dan tidak bermegah-megahan.
5. Adanya rasa kasih sayang yang bersumber dari keyakinan dan keimanan, inilah yang
Akan mempersatukan suami dan isteri dengan anggota keluarga yang lain.
=> Dilema Anak
Selain berbagi kiat cara menghadapi stigma sosial, komunitas tersebut juga dapat saling
memberikan masukan tentang bagaimana menjadi orang tua tunggal, untuk selalu terbuka
dengan anaknya dalam berbagai masalah.
=> Mental Anak
1. Ketidakhadiran ayah bagi anak perempuan tidak memberi dampak yang besar
dibandingkan dengan ketidakhadiran ayah pada anak laki-laki.
2. Jangan mengevaluasi anak dengan kata-kata yang negatif sehingga anak-anak
Kehilangan kepercayaan diri.
3. Libatkan dia dengan lingkungan keluarga yang memiliki anak laki-laki dan izinkan dia
untuk mengambil keputusan atas nama dan untuk dirinya sendiri.

3.1.3 Dampak Single Parent

1. Dampak Negatif
a. Perubahan Perilaku Anak.
Bagi seorang anak yang tidak siap ditinggalkan orang tuanya bisa menjadi mengakibatkan
perubahan tingkah laku. Menjadi pemarah, barkatakasar, suka melamun, agresif, suka
memukul, menendang, menyakiti temanya. Anakjuga tidak berkesempatan untuk belajar
perilaku yang baik sebagaimana perilakukeluagra yang harmonis. Dampak yang paling
berbahaya bila anak mencari pelarian diluar rumah, seperti menjadi anak jalanan,
terpengaruh penggunaan narkoba untukmelenyapkan segala kegelisahan dalam hatinya,
terutama anak yang kurang kasih sayang, kurang perhatian orang tua.
b. Perenpuan Merasa Terkucil.
Terlebih lagi pada perempuan yang sebagai janda atau yang tidak dinikahi, di masyarakat
terkadang mendapatkan cemooh dan ejekan.
c. Psikologi Anak Terganggu.
Anak sering mendapat ejekan dari teman sepermainan sehingga anak menjadi murung,
sedih. Hal ini dapat mengakibatkan anak menjadi kurang percaya diri dan kurang kreatif.

2. Dampak Positif
a. Anak terhindar dari komunikasi yang kontradiktif dari orang tua, tidak akan terjadi
komunikasi yang berlawanan dari orang tua, misalnya ibunya mengijinkan tetapi
ayahnya melarangnya, Nilai yang diajarkan ole ibu atau ayah diteriam penuh karena
tidak terjadi pertentangan.
b. Ibu berperan penuh dalam pengambilan keputusan dan tegar.
c. Anak lebih mandiri dan berkepribadian kuat, karena terbiasa tidak selalu hal
didampingi, terbiasa menyelesaikan berbagai masalah kehidupan.
3. Dampak Single Parent bagi Perkembangan Anak
1. Tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik sehingga anak kurang dapat
berinteraksi dengan lingkungan, menjadi minder dan menarik diri.
2. Pada anak single parent dengan ekonomi rendah, biasanya nutrisi tidak seimbang
sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan terganggu.
3. Single parent kurang dapat menanamkan adat istiadat dan murung dalam keluarga,
sehingga anak kurang dapat bersopan santun dan tidak meneruskan budaya keluarga,
serta mengakibatkan kenakalan karena adanya ketidakselarasan dalam keluarga.
4. Dibidang pendidikan, single parent sibuk untuk mencari nafkah sehingga pendidikan
anak kurang sempurna dan tidak optimal.
5. Dasar pendidikan agama pada anak single parent biasanya kurang sehingga anak jauh
dari nilai agama.
6. Single parent kurang bisa melindungi anaknya dari gangguan orang lain, dan bila
Dalam jangka waktu lama, maka akan menimbulkan kecemasan pada anak atau
Gangguan psikologis yang sangat berpengaruh pada perkembangan anak.

3.1.4. Dampak Single Parent Terhadap Ibu


1. Beban ekonomi
2. Fungsi seksual dan reproduksi
3. Hubungan dalam interaksi sosial

3.1.5 Ciri Keluarga Single Parent yang Berhasil


1. Menerima tantangan yang ada selaku single parent dan berusaha melakukan dengan
sebaik-baiknya.
2. Pengasuhan anak merupakan prioritas utama.
3. Disiplin diterapkan secara konsisten dan demokratis, orang tua tidak kaku dan tidak
longgar.
4. Menekankan pentingnya komunikasi terbuka dan pengungkapan perasaan.
5. Mengakui kebutuhan untuk melindungi anak-anaknya.
6. Membangun dan memelihara tradisi dan ritual dalam keluarga.
7. Percaya diri selaku orang tua dan independent.
8. Berwawasan luas dan beretika positif.
9. Mampu mengelola waktu dan kegiatan keluarga.

3.1.6 Enam (6) karakter dalam Keluarga Single Parent yang Prima
1. Adanya kualitas waktu yang dihabiskan bersama dalam anggota keluarga.
2. Memberikan perhatian lebih, termasuk dalam hal-hal kecil, seperti meninggalkan
Pesan yang melukiskan perhatian dari orang tua.
3. Keluarga yang prima adalah keluarga yang saling komitmen satu sama lainnya.
4. Menghormati satu sama lain, contohnya : dengan mengucapkan atau mengekspresikan
Rasa sayang kepada anak-anak, mengucapkan terima kasih pada saat anak-anak selesai
melakukan tugas yang diberikan.
5. Kemampuan berkomunikasi penting dalam membangun keluarga yang prima.
6. Kondisi krisis dan stress dianggap sebagai tahapan kesempatan untuk terus
berkembang.

3.1.7 Pentingnya Konseling agar dapat


1. Menyesuaikan diri terhadap lingkungan.
2. Penerimaan ibu dan anak dalam lingkaran keluarga.
3. Masuk dalam lingkungan keluarga/masyarakat secara wajar.
4. Upaya menyatukan kembali keluarga, bagi keluarga mereka yang ditelantarkan
suami/ayah

3.1.8 Penanganan Single Parent


1. Memberikan Kegiatan Yang Positif.
Berbagai macam kegiatan yang dapat mendukung anak untuk lebih bisa
mengaktualisasikan diri secara positif antara lain dengan penyaluran hobi, kursus sehingga
menghindarkan anak melakukan hal-hal yang positif.
2. Memberi Peluang Anak Belajar Berperilaku Baik .
Bertandang pada keluarga lain yang harmonis memberikan kesempatan bagi anak untuk
meneladani figur orang tua yang tidak diperoleh dalam lingkungan keluarga sendiri.
3. Dukungan Komunitas.
Bergabung dalam club sesama keluarga dengan orang tua tunggal dapat memberikan
dukungan karena anak mempunyai banyak teman yang bernasib sama sehingga tidak
merasa sendirian.

3.1.9 Upaya Pencegahan Single Parent dan Pencegahan Dampak Negatif Single
Parent
1. Pencegahan terjadinya kehamilan di luar nikah.
2. Pencegahan perceraian dengan mempersiapkan perkawinan dengan baik dalam segi
psikologis , keuangan, spiritual.
3. Menjaga komunikasi dengan berbagai sarana teknologi informasi.
4. Menciptakan kebersamaan antar anggota keluarga.
5. Peningkatan spiritual dalam keluarga.

4.1 LGBT

4.1.1 Pengertian LGBT


LGBT merupakan sebah singkatan dari LESBIAN, GAY, BISEKSUAL, dan
TRANSGENDER pengertian LGBT tersebut secara global akan kita bahas mengenal lebih
jauh tentang dunia LGBT:
Lesbian yaitu orientasi seksual seorang perempuan yang hanya mempunyai hasrat sesama
perempuan.
Gay yaitu orientasi seksual seorang pria yang hanya mempunyai hasrat sesama pria
Bisex yaitu orientasi sexual seorang Pria/Wanita yang menyukai dua jenis kelamin baik
Pria/Wanita
Tansgender yaitu orientasi seksual seorang Pria/wanita yang dengan mengidentifikasi
dirinya menyerupai Pria/Wanita (Misal:Waria)
Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender (LGBT) merupakan penyimpangan
orientasi seksual bertentangan dengan fitrah manusia, agama dan adat masyarakat
Indonesia.
Lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan orientasi seksualnya
kepada sesama perempuan. Istilah ini juga merujuk kepada perempuan yang mencintai
perempuan baik secara fisik, seksual, emosional, atau secara spiritual. Bisa juga lesbian
diartikan kebiasaan seorang perempuan melampiaskan nafsu seksualnya pada sesamanya
pula.
Sedangkan Gay adalah sebuah istilah yang umum digunakan untuk merujuk orang
homoseksual atau sifat-sifat homoseksual, sedikit berbeda dengan bisexual.

Biseksual (bisexual) adalh individu yang dapat menikmati hubungan emosional dan
seksual dengan orang dari keduan jenis kelamin baik pria ataupun wanita.
Transgender adalah prilaku atau penampilan seseorang yang tidak sesuai dengan
peran gender pada umumnya. Seseorang transgender dapat mengidentifikaasi dirinya
sebagai seorang heteroseksual, homoseksual, biseksual maupun aseksual.
Dari semua definisi di atas walaupun berbeda dari sisi pemenuahan seksualnya,
akan tetapi kesamaanya adalah mereka memiliki kesenangan baik secara psikis ataupun
biologis dan orientasi seksual bukan saja dengan lawan jenis akan tetapi bisa juga dengan
sesama jenis.

4.1.2 Penyebab LGBT


Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab LGBT tersebut, diantaanya :
1. Faktor keluarga

Didikan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya memiliki peranan yang penting bagi
para anak untuk lebih cenderung menjadi seorang anggota LGBT daripada hidup normal
layaknya orang yang lainnya.

•Ketika seorang anak mendapatka perlakuan yang kasar atau perlakuan yang tidak baik
lainnya, maka pada akhirnya kondisi itu bisa menimbulkan kerenggangan hubungan
keluarga serta timbulnya rasa benci si anak pada orag tuanya. Sebagai contoh adalah ketika
seorang anak perempuan mendapatkan perlakuan yang kasar atau tindak kekerasan
lainnya dari ayah atau saudara laki-lakinya yang lain, maka akibat dari trauma tersebut
nantinya anak perempuan tersebut bisa saja memiliki sifat atau sikap benci terhadap semua
laki-laki.

•Akibat sikap orng tua yang terlalu mengidam-idamkan untuk memiliki anak laki-laki atau
perempuan, namun kenyataan yang terjadi justru malah sebaliknya. Kondisi seperti ini bisa
membuat anak akan cenderung bersikap seperti apa yang diidamkan oleh orang tuanya.
•Orang tua yang terlalu mengekang anak juga bisa malah menjerumuskan anak pada pilihan
hidup yang salah.

•Kurangnya pendidikan perihal agama dan masalah seksual dari orang tua kepada anak-
anaknya. Orang tua sering beranggapan bahwa membicarakan masalah yang menyangkut
seksual kepada anak-anak mereka adalah suatu hal yang tabu, padahal
hal itu justru bisa mendidik anak agar bisa mengetahui perihal seks yang benar.

2. Faktor Lingkungan dan Pergaulan

Lingkungan serta kebiasaan seseorang dalam bergaul disinyalir telah menjadi faktor
penyebab yang paling dominan terhadap keputusan seseorang untuk menjadi bagian dari
komunitas LGBT. Beberapa point terkait dengan faktor ini adalah :

•Seorang anak dalam lingkungan keluarganya kurang mendapatkan kasih sayang,


perhatian, serta pendidikan baik masalah agama, seksual, maupun pendidikan lainnya sejak
dini bisa terjerumus dalam pergaulan yang tidak semestinya. Disaat anak tersebut mulai asik
dalam pergaulannya, maka ia akan beranggapan bahwa teman yang berada di dekatnya
bisa lebih mengerti, menyayangi, serta memberikan perhatian yang lebih padanya. Dan
tanpa ia sadari, teman tesebut justru membawanya ke dalam kehidupan yang tidak benar,
seperti narkoba, miras, perilaku seks bebas, serta perilaku seks yang menyimpang (LGBT).

•Masuknya budaya-budaya yang berasal dari luar negri mau tidak mau telah dapat
mengubah pola pkir sebagian besar masyarakat kita dan pada akhirnya terjadilah
pergeseran norma-norma susila yang dianut oleh sebagian masyarakat. Sebagai contoh
adalah perilaku seks yang menyimpang seperti seks bebas maupun seks dengan sesama
jenis atau yang lebih dikenal dengan istilah LGBT.

3. Faktor Genetik
Dari beberapa hasil penelitian telah menunjukan bahwa salah satu faktor pendorong
terjadinya homoseksual, lesbian, atau perilaku seks yang menyimpang lainnya bisa berasal
dari dalam tubuh si pelaku yang sifatnya bisa menurun dari anggota keluarga terdahulu, ada
beberapa hal yang perlu kita ketahui terkait masalah ini, seperti :

•Dalam dunia kesehatan, pada umumnya seorang laki-laki normal memiliki kromosom XY
dalam tubuhnya, sedangkan wanita yang normal kromosomnya adalah XX, akan tetapi
dalam beberapa kasus ditemukan bahwa seorang pria bisa saja memiliki jenis kromosom
XXY, ini artinya bahwa laki-laki tersebut memiliki kelebihan suatu kromosom. Akibatnya,
lelaki tersebut bisa memiliki berprilaku yang agak mirip dengan perilaku perempuan.

•Keberadaan hormon testosteron dalam tubuh manusia memiliki andil yang besar terhadap
perilaku LGBT. Seseorang yang memiliki kadar hormon testosteron yang rendah dalam
tubuhnya, maka bisa mengakibatkan antara lain berpengaruh terhadap perubahan
perilakunya, seperti perilaku laki-laki menjadi mirip dengan perilaku perempuan.
4. Faktor Akhlak dan Moral
Faktor moral dan akhlak yang dimiliki seseorang juga memiliki pengaruh yang besar
terhadap perilaku LGBT yang dianggap menyimpang. Ada beberapa hal yang dapat
berpengaruh pada perubahan akhlak dan moral yang dimiliki manusia tersebut kepada
perilaku yang menyimpang seperti LGBT, yaitu :
•Iman yang lemah dan rapuh. Ketika seseorang memiliki tingkat keimanan yang lemah dan
rapuh, besar kemungkinan kondisi tersebut akan membuatnya lemah dalam hal
mengendalikan hawa nafsu. Kita tahu bahwa iman adalah benteng yang paling efektif dalam
diri seseorang untuk menghindari terjadinya perilaku seksual yang menyimpang. Jadi
dengan lemahnya iman, maka kekuatan seseorang untuk dapat mengendalikan bahwa
nafsunya akan semakin kecil, dan itu nantinya bisa menjerumuskan orang itu pada perilaku
yang menyimpang, salah satunya dalam hal seks.

•Semakin banyaknya rangsangan seksual. Banyak contoh yang bisa kita ambil sebagai
pemicu rangsangan seksual seseorang. Misalnya semakin maraknya VCD Porno, majalah
porno, atau video-video lain yang bisa kita akses melalui internet.

5. Faktor Pendidikan dan Pengetahuan Tentang Agama


Faktor internal lainnya yang menjadi penyebab kemunculan perilaku seks menyimpang
seperti kemunculan LGBT adalah pengetahuan serta pemahaman seseorang tentang
agama yang masih sangat minim. Di atas dikatakan bahwa agama atau keimanan
merupakan bebteng yang paling efektif dalam mengendalikan hawa nafsu serta dapat
mendidik kita untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik. Untuk
itulah, sangat perlu ditanamkan pengetahuan serta pemahaman agama terhadap anak-anak
sejak usia dini untuk membentuk akal, akhlak, serta kepribadian mereka.

4.1.3 Dampak LGBT


Keberadaan komunitas LGBT mau tida mau menimbulkan dampak yang tidak sedikit, tidak
hanya terkait dengan masalah kesehatan saja, akan tetapi hal itu juga berpengaruh
terhadap kehidupan sosial si pelaku .
Berikut beberapa dampak negative dari LGBT, di antaranyai :

Dari Segi Kesehatan


Timbulnya fenomena LGBT mau tidak mau telah berdampak pada kesehatan diri si pelaku
tersebut bisa menyebabkan berbagai jenis infeksi penyakit yang berbahaya, seperti :
1. HIV / AIDS
HIV (Human Imumunodefiency Virus) atau yang juga dikenal dengan AIDS merupakan salah
satu infeksi penyakit yang sangat berbahaya bagi manusia, di mana akibat infeksi ini bisa
menghantarkan manusia tersebut pada kematian. Virus HIV bekerja dengan cara
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, sehingga tubuh tidak lagi bisa melakukan
perlawanan terhadap terjadinya infeksi maupun serangan penyakit lainnya.

2. Penyakit Kelamin Berbahaya


Kemunculan berbagai jenis penyakit kelamin menular yang disebabkan baik itu oleh bakteri
maupun virus merupakan salah satu dampak buruk dari kebiasaan LGBT, berikut ini
beberapa jenis penyakit tersebut :
• Sifilis ( raja singa), yaitu penyakit seksual yang disebabkan oleh adanya infeksi bakteri
treponema pallidum. Jika tidak ditangani, penyakit ini bisa menyebabkan kelumpuhan,
demensia, kebutaan, masalah pendengaran, impotensi, hingga kematian.
• Gonore (kencing nanah), yaitu penyakit seksual menular yang disebabkan oleh infeksi
bakteri Neisseria gonorrhoeae. Dampak dari penyakit ini bisa dirasakan beberapa daerah
bagian dalam tubuh kita seperti rektum, mata, atau tenggorokan.

• Kutil kelamin, yaitu penyakit kelamin yang disebabkan oleh infeksi virus HPV (human
papilomavirus) yang menyebabkan kemunculan kutil di sekitar alat kelamin atau area dubur.
Mereka yang terinfeksi virus HPV bisa berpotensi terkena penyakit berbahaya seperti kanker
serviks, kanker penis, serta kanker rektum.

Menggangu Reproduksi
Perilaku LGBT juga bisa berakibat pada reproduksi si pelaku. Mereka yang gemar
melakukan kegiatan seks yang menyimpang bisa mengalami gangguan peranakan
(reproduksi). Bagi pelaku homoseksual, kondisi ini bisa menyebabkan berbagai sumber
utama pengeluaran mani menjadi semakin melemah. Selain itu, kondisi ini akan dapat
menimbulkan gangguan pada produksi sperma yang dihasilkan pada testis, di mana sperma
bisa terbunuh dan pada akhirnya akan menyebabkan kemandulan.

Dari Segi Sosiologi


Kebiasaan Perilaku LGBT selain dapat menyebabkan masalah pada kesehatan juga dapat
berakibat pada kehidupan sosial, yaitu dapat mengikis keharmonisan hidup yang tumbuh di
masyarakat serta semakin meningkatkan angka tindak kemaksiatan yang pada akhirnya
sulit untuk dikendalikan.

Dari Segi Psikologis


Kebiasaan LGBT juga berdampak buruk bagi kondisi psikologis atau kejiwaan seseorang
serta dapat memberikan efek yang begitu kuat pada syaraf si pelaku. Seorang yang
dikategorikan LGBT bisa memiliki kepercayaan bahwa dirinya bukanlah seorang lelaki
ataupun perempuan yang sejati. Kondisi tersebut tentu akan berdampak pada timbulnya
rasa khawatir terhadap identitas diri serta seksualitasnya. Mereka itu akan lebih cenderung
memilih bersama dengan orang yang berkepribadian sejenis dengannya. Kebiasaan
tersebut akan mempengaruhi akal pelaku, dan akhirnya ia akan menjadi seorang yang
pemurung. Mereka yang memiliki kebiasaan seks menyimpang seperti homoseksual akan
selalu merasa tidak puas dengan pelampiasan hawa nafsunya.

4.1.4 Pencegahan LGBT


Islam tidak membenarkan perilaku LGBT, hal ini sebagaimana Firman Allah SWT dalam Al-
Qur’an Surat Hud ayat 82-83 yang artinya “Maka tatkala datang azab dari Kami, Kami
jadikan negri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikan) dan kami hujani mereka
dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhan-Mu
dan siksaan itu tidak jauh dari orang-orang dzalim.” jadi, sebagai umat islam kita harus
selalu berusaha untuk menghindari dan mencegah penyebaran perilaku LGBT di
masyarakat. Berikut ini ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mencegah LGBT,
yaitu:
1. Selalu berusaha meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT
2. Menanamkan dalam diri, keluarga, teman, dan warga masyarakat tentang bahayanya
perilaku LGBT, baik bagi kesehatan, psikologis, kehidupan sosial, dan lain sebagainya
3. Berpartisipasi dalam upaya penolakan legalisasi yang mendukung perilaku seksual yang
menyimpang yang akan dapat merusak moral generasi penerus bangsa.

4.1.5 Cara Menyikapi LGBT


LGBT bukanlah permasalahan sepele, bahkan Nabi Luth AS sempat merasakan
kesulitan ketika menghadapi kaumnya yang memiliki perilaku seks yang menyimpang
tersebut. Lalu bagaimanakah cara yang tepat untuk menghadapi kaum LGBT) haruskah kita
mencemooh mereka dengan cacian dan makian)? Tidak, menyikapi masalah LGBT dalam
bentuk cacian dan makian adalah salah, berikut ini caranya:
1. Hindari mencemooh mereka dengan caci maki, karena jika itu dilakukan maka pelaku
LGBT akan semakin merasa menjadi korban. Kita bisa belajar dari Nabi Luth As, dimana
meskipun menghadapi kaumnya Beliau tidak pernah sekalipun melontarkan kalimat cacian
pada kaum sodom.
2. Menyebarluaskan tentang bahya LGBT
3. Tidak mengucilkan kehidupan pelaku LGBT, baik dalam kehidupan keluarga maupun
lingkungan masyarakat
4. Menjadi pendukung serta penyemangat bagi pelaku LGBT agar mereka mau
meninggalkan kebiasaan tersebut dan kembali pada kehidupan normal
5. Memberikan hukuman untuk memberikan efek jera
6. Bukalah diri untuk menjadi penyembuh, bukan penyebar kebencian

BAB III PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Menurut Baldwin dan Jones (2000) , sebagian besar perempuan yang dipenjara telah
menyalahgunakan alkohol dan/atau narkoba; namun, sistem penjara kurang menyediakan
terapi untuk kecanduan apa pun. Selain itu, Baldwin dan Jones (2000) melaporkan bahwa
narapidana yang hamil kekurangan perawatan prenatal yang memadai yang menawarkan
layanan medis, nutrisi, pendidikan, lingkungan, dan dukungan keluarga. Ketika kelahiran
terjadi di penjara, pemisahan ibu dan anak segera terjadi, yang selanjutnya membahayakan
masa ikatan yang kritis (Baldwin & Jones, 2000 ).

Single parent adalah keluarga yang mana hanya ada satu orang tua tunggal, hanya
ayah atau ibu saja. Keluarga yang terbentuk biasa terjadi pada kelurga sah secara hukum
maupun keluarga yang belum sah secara hukum, baik hukum agama maupun hukum
pemerintah.Konsep keluarga bukan lagi kaku secara teori konvensional bahwa kelurga
terdiri dari ayah , ibu, dan anak-anak kandung.
LGBT merupakan penyimpangan orientasi seksual yang dilarang oleh semua agama
terlebih lagi islam, karena perbuatan keji ini akan merusak kelestarian manusia. Oleh karena
itu sudah menjadi kewajiban manusia untuk melawan segala jenis opini atas nama HAM
yang membela kaum LGBT, akan tetapi sesungguhnya mereka membawa manusia menuju
kerusakan yang lebih parah.

5.2 Saran

Saran Kehamilan Dalam Penjara


Kepada pihak Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIB Yogyakarta hendaknya lebih
meningkatkan pada kegiatan-kegiatan yang bermanfaat seperti keterampilan, olahraga dan
lain sebagainya, khususnya yang berkaitan dengan narapidana perempuan yang sedang
hamil di Lapas, yaitu sosialisasi untuk senam hamil ataupun kelas ibu hamil, Karena
kegiatan inilah yang akan lebih positif bagi mereka agar terjaminnya hak-hak narapidana
wanita.
Untuk di wilayah DIY sebaiknya pemerintah mendirikan LAPAS khusus
perempuan beserta sarana prasarana tanpa menginduk di Lapas kelas IIA Yogyakarta
sehingga lebih mandiri dan pemenuhan hak untuk narapidana perempuan akan lebih
terjamin dan terpunuhi.

Saran Single Parent


a. Bagi Mahasiswa
Diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan mahasiswa dalam memberikan
pelayanan kebidanan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

b. Bagi Petugas – petugas Kesehatan


Diharapkan dengan makalah ini dapat meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya
dalam bidang kebidanan sehingga dapat memaksimalkan kita untuk memberikan health
education dalam perawatan luka perineum untuk mencegah infeksi.

Saran LGBT
Agar dimasa yang akan datang bisa jauh lebih baik lagi, kita harus lebih banyak belajar dan
belajar lagi, karena kunci kesuksesan adalah dengan cara belajar dan terus berusaha.
Semoga kita bisa menjaga diri kita dengan senantiasa menyadari bahwa kita senantiasa
diawasi oleh Allah SWT. Dan senantiasa saling berwhsiyat dalam taqwa dan kebaikan.
Karena kita semua adalah umat terbaik di akhir zaman yang senantiasa menyeru pada yang
makruf dan mencegah dari yang munkar.
DAFTAR PUSTAKA

Heru Susetyo. 2010. “Kedudukan hukum perempuan di indonesia”. Jurnal Legislasi


Indonesia, Vol. 7 No.2. Agustus. Jakarta; Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan-
Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

Amnesti Internasional. 1999b. Hak Asasi Perempuan – Penganiayaan terhadap perempuan


dalam tahanan: Pelanggaran seksual dan belenggu perempuan hamil. Diambil 2 Januari
2008, dari
http://www.amnestyusa.org/Womens_Human_Rights/Abuse_of_Women_in_Custody/
page.do?id=1108288&n1=3&n2=39&n3=720 . [ Google Cendekia ]
Baldwin K. M, Jones J. 2000. Masalah kesehatan khusus untuk narapidana wanita:
Informasi untuk program kesehatan ibu dan anak negara bagian. Pusat Kebijakan
Kesehatan Wanita dan Anak, Sekolah Kesehatan Masyarakat Universitas Johns Hopkins.
Diambil 2 April 2006, dari http://www.jhsph.edu/wchpc/publications/prison.pdf . [ Google
Cendekia ]

Depkes RI, 2001. Yang Perlu Diketahui Petugas Kesehatan tentang : Kesehatan
Reproduksi, Depkes, Jakarta.
Ali, Mohammad dan Muhammad Asrori. Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta
Didik. Jakarta: P.T. Bumi Aksara, 2006.
Asrori, Muhammad. Psikologi Pembelajaran. Bandung: C.V. Wacana Prima, 2009.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dirjen Dikti HEDS-JICA.Per kem bangan
Peserta Didik. Jakarta: Tim Pembina Mata Kuliah Perkembangan Peserta
Didik, 2007.
Sunarto dan Hartono, B. Agung. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta:
Rineka Cipta, 2006.
Http//: Kesehatan reproduksi remaja.com
Http://Lusa_Blogspot.single-parent/kespro/.com

Kemeneg PP dan PA, 2015. Pandangan Masyarakat Terhadap LGBT di Jakarta, Bogor,
Depok, dan Tangerang, Jakarta: Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai