Anda di halaman 1dari 58

Page 23

MODUL # 2

SISTEM PENANGGULANGAN BENCANA

DI INDONESIA
Untuk Pelatihan Dasar Penanggulangan Bencana

Oleh:

Krishna S. Pribadi

Inin Wahdiny

Kerjasama IOM dengan PPMB-ITB

2013
Page 24

I. PENDAHULUAN

I.1 Ringkasan Materi Secara Umum


Modul Sistem Penanggulangan Bencana di Indonesia memperkenalkan
kepada peserta mengenai system penanggulangan bencana di Indonesia
berdasarkan UU No.24 tahun 2007 mengenai penanggulangan bencana.
Modul ini antara lain berisikan mengenai definisi umum system
penanggulangan bencana, perubahan paradigma penanggulangan
bencana di Indonesia, komponen system penanggulangan bencana serta
contoh kasus penanggulangan bencana di Indonesia selama ini.

I.2 Tujuan
Setelah mengikuti sesi modul ini, peserta pelatihan diharapkan mampu
untuk:
1. Memahami sistem, kebijakan dan mekanisme penanggulangan
bencana di Indonesia
2. Mampu menjelaskan tahap dan kegiatan dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana di Indonesia
3. Memahami dan menjelaskan tugas dan fungsi masing-masing
instansi/lembaga dalam penanggulangan bencana
4. Mampu menyebutkan inisiatif, platform dan regulasi
penanggulangan bencana di tingkat nasional dan daerah

1.3 Waktu
Waktu yang dibutuhkan dalam penyampaian modul ini adalah 5 jam
(300 menit) dengan metode penyampaian sebagai berikut :
1. Kuliah dan Tanya jawab selama 2 jam (120 menit)
2. Diskusi kelompok selama 2 jam (120 menit)
3. Presentasi kelompok dan Tanya jawab selama 1 jam (60 menit)

1.4 Alat dan Bahan


Alat yang dibutuhkan dalam penyampaian modul adalah LCD Proyektor,
Laptop, Kertas Plano dan Metaplan, Spidol, Modul Materi.
Page 25

II. PENGENALAN SISTEM MANAJEMEN BENCANA DI INDONESIA

2.1 Definisi Sistem Penanggulangan Bencana

Sistem penanggulangan bencana adalah sistem pengaturan yang menyeluruh


tentang kelembagaan, penyelenggaraan, tata kerja dan mekanisme serta
pendanaandalam penanggulangan bencana yang ditetapkan dalam pedoman
atau peraturan dan perundangan.

Di Indonesia sistem penanggulangan bencana didasarkan pada UU No. 24/2007


yang berupaya untuk menuju sistem penanggulangan bencanayang tepat di
Indonesia.Dengan dikeluarkannyaundang-undang ini, pengelolaanbencana dari
tingkat nasional hingga daerah diatur dalam berbagai aspek yaitu
hukum,peraturan dan perundangan, kelembagaan, perencanaan,
penyelenggaraan PB,pengembangan kapasitas dan pendanaan.

2.2 Perubahan paradigma penanggulangan bencana di Indonesia

Konsep penanganan bencana di Indonesia saat ini telah mengalami pergeseran


dalam cara pandang (perubahan paradigma). Pergeseran atau perubahan
paradigma ini didasari antara lain oleh berbagai kejadian bencana besar di
Indonesia antara lain Gempa dan Tsunami Aceh tahun 2004 yang mengakibatkan
pemerintah menganggap perlu adanya perubahan mendasar dalam sistem
penanggulangan bencana. Selain itu perubahan ditengarai karena isu sentral bahwa
penanggulangan bencana belum menjadi bagian arus utama pemerintahan dan
pembangunan.

Di Indonesia, kondisi Penanggulangan bencana yang dilakukan secara reaktif tidak


terencana, hanya terfokus pada aspek tanggap darurat, bersifat sentralistis, dan
selalu dianggap menjadi tanggung jawab pemerintah, merupakan paradigma lama
penanggulangan bencana yang sudah mulai ditinggalkan. Paradigma baru
penanggulangan bencana yang berkembang adalah penekanan terhadap pentingnya
pemahaman bencana dalam pembangunan, manajemen terpadu penanganan
bencana, mengembangkan mitigasi bencana berbasis masyarakat, dan mengelola
Page 26

bencana dengan otonomi daerah. Kesemuanya mengedepankan pentingnya


perubahan dan perbaikan dalam penanganan bencana.

Pergeseran paradigma penanggulangan bencana di Indonesia antara lain


tergambarkan pada 1 gambar berikut :

Gambar 1 :Perubahan
Perubahan Paradigma Penanggulangan Bencana Indonesia (Pribadi, 2012)

1. Saat ini titik tumpu penanggulangan bencana terletak pada pemerintah daerah
yang bertanggung jawab secara penuh dan merupakan titik pusat dalam upaya
penanggulangan bencana (Desentralisasi).. Berbagai strategi yang dikembangkan
dalam penanggulangan bencana mengacu pada kebijakan di tingkat pusat dan
menyesuaikan
ikan pada kondisi lokal. Hal ini berbeda dengan paradigma lama
dimana upaya penanggulangan bencana bertumpu pada pemerintah pusat
(Sentralisasi) dan daerah hanya sebagai pelaksana. Strategi-strategi
Strategi strategi yang ada
menggunakan strategi teknokrasi yang tunggal.
2. Penanggulangan
nanggulangan bencana tidak lagi terfokus pada penanggulangan bencana
saat terjadi bencana dan setelahnya (tanggap
(tanggap darurat
darurat, rehabilitasi,
rekonstruksi) tetapi lebih kepada keseluruhan tahapan manajemen bencana
Page 27

yang juga memperhatikan penanggulangan sebelum terjadi bencana (aspek


kesiapsiagaan, pencegahan dan mitigasi).
3. Sebelumnya penanggulangan bencana merupakan tindakan khusus pada kondisi
darurat (manajemen dampak bencana) yang dilakukan oleh para pakar saja,
kompleks dan mahal serta cepat. Paradigma ini berubah ke arah manajemen
risiko dimana penanganan bencana harus dilihat secara menyeluruh sebagai
paket kegiatan baik pada kondisi darurat maupun tidak sehingga dampak
bencana yang merugikan dapat diminimalisir.
4. Tanggung jawab penanggulangan bencana dalam paradigma baru bersifat dan
berlaku umum dan mengikat seluruh departemen, masyarakat dan lembaga non
pemerintah (multi sector) sementara dalam paradigma lama bersifat sektoral
dan terbatas (single sector).
5. Pendekatan penanggulangan bencana saat ini tidak hanya fokus pada satu jenis
bahaya saja (single hazard) tetapi juga melibatkan bahaya lain yang mungkin
timbul (multi hazard)
6. Paradigma baru penanggulangan bencana membuka diri terhadap peran serta
masyarakat dan dunia usaha pada berbagai tahap penanganan bencana.
Penanganan bencana bukan lagi menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi
menjadi urusan bersama masyarakat. Hal ini berkaitan dengan bagaimana
penanganan bencana menjadi urusan publik dan urusan bersama antara
pemerintah dan berbagai komponen masyarakat yang ada. Semua aspek
penanganan, mulai dari kebijakan, kelembagaan, koordinasi dan mekanisme
berubah sedemikian rupa sehingga melibatkan partisipasi dan peran serta
masyarakat luas dan dunia usaha.

Secara tabular, dimensi baru perubahan sistem penanggulangan bencana Indonesia


berdasarkan Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
adalah seperti terlihat pada tabel 1.
Page 23

Table 1 : Perubahan Sistem Penanggulangan Bencana Indonesia (BNPB, 2012)

SISTEM LAMA SISTEM BARU


Dasar Hukum Bersifat sektoral Berlaku umum dan mengikat seluruh
departemen, masyarakat dan lembaga
non pemerintah
Paradigma Tanggap darurat Mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi
dan rekonstruksi
Lembaga Bakornas PB, Satkorlak BNPB, BPBD PROPINSI, BPBD Kab/Kota
dan Satlak
Peran Masyarakat Terbatas Melibatkan masyarakat secara aktif
Pembagian Tanggung Sebagian besar Tanggung jawab pemerintah pusat,
Jawab pemerintah pusat propinsi dan kabupaten

Perencanaan Belum menjadi bagian Rencana Aksi Nasional Pengurangan


Pembangunan aspek perencanaan Resiko Bencana (RAN PRB)
pembangunan Rencana Penanggulangan Bencana
(RPB)
Rencana Aksi Daerah Pengurangan
Resiko Bencana (RAD PRB)
Pendekatan Mitigasi Kerentanan Analilsa resiko (menggabungkan antara
kerentanan dan kapasitas)
Forum kerjasama Belum ada National Platform (akan)
antar pemangku
kepentingan Provincial Platform (akan)
Alokasi Anggaran Tanggung jawab Tergantung pada tingkatan bencana
pemerintah pusat
Pedoman Terpecah dan bersifat Mengacu pada pedoman yang dibuat
Penanggulangan sektoral oleh BNPB dan BPBD
Bencana
Keterkaitan Dengan Belum menjadi aspek Aspek bencana harus diperhitungkan
Tata Ruang dalam penyusunan tata ruang

2.3 Komponen Sistem Nasional Penanggulangan Bencana

Sistem penanggulangan bencana di Indonesia secara umum terdiri dari


komponen-komponen yang dapat dilihat pada gambar 2.
Page 24

Gambar 2 : Sistem Penanggulangan Bencana Indonesia (BNPB, 2010)

Komponen-komponen
komponen tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Legislasi
Pelaksanaan sistem
stem penanggulangan bencana di Indonesia yang ada saat
ini didasarkan pada perangkat hukum/perund
hukum/perundangan yang
ada.Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang
Undang Nomor
24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.UU
Bencana.UU No. 24/2007 ini
merupakan peraturan tertinggi yang memberikan kepastian hukum
sistem penanggulangan bencana di Indonesia. Undang-undang
Undang No. 24
tahun 2007 terdiri dari 13 bab dan 85 pasal, yaitu: pembahasan antara
lain mengenai i), pembagian umum ii), tujuan iii), tanggungjawab dan
kekuasan pemerintah iv), stuktur lembaga v), kewajiban dan hak
masyarakat vi), peran badan internasional dan dunia usaha vii),
organisasi penanggulangan bencana viii), bantuan dana dan
penanggulangan bencana dan pengaturan sangsi dan denda.
Pelaksanaan sistem penanggulangan bencana semakin jelas dengan
dikeluarkannya aturan-aturan
aturan aturan turunan UU No. 24/2007 dalam bentuk
be :
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah No. 21/2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana.
Page 25

Peraturan Pemerintah No. 22/2008 tentang Pendanaan dan


Pengelolaan Bantuan Bencana.
Peraturan Pemerintah No 23/2008 tentang Peran Serta
LembagaInternasional dan Lembaga Asing Non Pemerintah Dalam
Penanggulangan Bencana
Peraturan Presiden (Perpres)
Peraturan Presiden No 8/2008 tentang Badan Nasional
Penanggulangan Bencana
Keputusan Presiden (Kepres)
Keputusan Presiden No 59/2009 tentang Anggota Unsur Pengarah
Penanggulangan Bencana dari Instansi Pemerintah
Keputusan Presiden No 24/P 2009 tentang Anggota Unsur
Pengarah Penanggulangan Bencana dari Masyarakat Profesional
Peraturan Kepala BNPB
Peraturan Kepala BNPB No. 15/ 2012 tentang Pedoman Pusat
Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops PB)
Peraturan Kepala BNPB No.07 /2012 tentang Pedoman
Pengelolaan Data dan Informasi Bencana Indonesia
Peraturan Kepala BNPB No. 04/2012 tentang Pedoman
Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana
Peraturan Kepala BNPB No.01/2012 tentang Pedoman Umum
Desa/Kelurahan Tangguh Bencana
Peraturan Kepala BNPB No.02/ 2012 tentang Pedoman Umum
Pengkajian Risiko Bencana
Peraturan Kepala BNPB No.03/2012 tentang Panduan Penilaian
Kapasitas Daerah Dalam Penanggulangan Bencana
Peraturan Kepala BNPB No.03/ 2011 tentang Rencana Aksi
Rehabilitasi dan Rekrontruksi Pascabencana Gempabumi serta
Percepatan Pembangunan Wilayah Kepulauan Mentawai Provinsi
Sumatera Barat 2011-2013
Peraturan Kepala BNPB No.02 /2011 tentang Rencana Aksi
Rehabilitasi dan Rekronstruksi Pascabencana Banjir Bandang
Page 26

Wasior Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat tahun


2010-2011
Peraturan Kepala BNPB No.01/2011 tentang Rencana Aksi
Rehabilitasi dan Rekontruksi Pasca Bencana Gempa Bumi Yapen -
Waropen Provinsi Papua Tahun 2010-2011
Peraturan Kepala BNPB No.6A/ 2011 tentang Pedoman
Penggunaan Dana Siap Pakai Pada Status Keadaan Darurat
Bencana
Peraturan Kepala BNPB No.14/2011 tentang Pedoman
Penghapusan Logistik dan Peralatan Penanggulangan Bencana
Peraturan Kepala BNPB No.14 /2011 tentang Petunjuk Teknis
Tatacara Pengajuan dan Pengelolaan Dana Bantuan Sosial
Berpola Hibah Kegiatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca
Bencana Tahun 2011
Peraturan Kepala BNPB No.06/ 2011 tentang Penetapan Struktur
Organisasi Tim Pendukung Teknis Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Wilayah Pasca Bencana Erupsi Gunung Merapi di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah
Peraturan Kepala BNPB No.05/2011 tentang Penetapan Rencana
Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Bencana Erupsi
Gunung Merapi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan
Provinsi Jawa Tengah
Peraturan Kepala BNPB No.17/2011 tentang Pedoman Relawan
Penanggulangan Bencana
Peraturan Kepala BNPB No.08/2011 tentang Standarisasi Data
Kebencanaan
Peraturan Kepala BNPB No.15/2011 tentang Pedoman
Pengkajian Pasca Bencana
Peraturan Kepala BNPB No.19/2010 tentang Pedoman
Penghapusan Logistik dan Peralatan Penanggulangan Bencana
Peraturan Kepala BNPB No.13/2010 tentang Pedoman
Mekanisme Pemberian Bantuan Perbaikan Darurat
Page 27

Peraturan Kepala BNPB No.14/2010 tentang Pedoman


Pembentukan Pos Komando Tanggap Darurat Bencana
Peraturan Kepala BNPB No.15/2010 tentang Pedoman Pemberian
dan Besaran Bantuan Santunan Kecacatan
Peraturan Kepala BNPB No.13/2010 tentang Pedoman
Perencanaan, Pertolongan dan Evakuasi
Peraturan Kepala BNPB No.24/2010 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Operasi Darurat Bencana
Peraturan Kepala BNPB No.18/2010 tentang Pedoman Distribusi
Bantuan Logistik dan Peralatan Penanggulangan Bencana
Peraturan Kepala BNPB No.22/2010 tentang Pedoman Peran
Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing non Pemerintah
pada saat Tanggap Darurat
Peraturan Kepala BNPB No.17/2010 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana
Peraturan Kepala BNPB No.07/2009 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Tata Naskah Dinas di Lingkungan BNPB
Peraturan Kepala BNPB No.06/2009 tentang Pedoman
Pergudangan
Peraturan Kepala BNPB No.05/2009 tentang Pedoman Bantuan
Peralatan
Peraturan Kepala BNPB No.04/2009 tentang Pedoman Bantuan
Logistik
Peraturan Kepala BNPB No.18/2009 tentang Pedoman
Standarisasi Logistik PB
Peraturan Kepala BNPB No.17/2009 tentang Pedoman
Standarisasi Peralatan PB
Peraturan Kepala BNPB No.12/2008 tentang Kajian
Pembentukan dan Penyelenggaraan Unit Pelaksana Teknis
Peraturan Kepala BNPB No.11/2008 tentangPedoman Rehabilitasi
dan Rekonstruksi Pasca Bencana
Peraturan Kepala BNPB No.04/2008 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana
Page 28

Peraturan Kepala BNPB No.03/2008 tentang Pedoman


Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Peraturan Kepala BNPB No.01/2008 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Peraturan Kepala BNPB No.09/2008 tentang Prosedur Tetap Tim
Reaksi Cepat Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Peraturan Kepala BNPB No.10/2008 tentang Komando Tanggap
Darurat Bencana
Peraturan Kepala BNPB No.13/2008 tentang Pedoman
Manajemen Logistik dan Peralatan Penanggulangan Bencana
Peraturan Kepala BNPB No.08/2008 tentang Pedoman
Pemberian dan Besaran Bantuan Santunan Duka Cita
Peraturan Kepala BNPB No.06/2008 tentang Pedoman
Penggunaan Dana Siap Pakai
Keputusan Menteri Dalam Negeri
Kepmendagri No.131 Tahun 2003 tentang Pedoman
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi di Daerah :
dalam keputusan ini disebutkan isu-isu dominan mengenai
penggolongan bencana, tahapan penanggulangan bencana,
kelembagaan, dan bantuan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri
Permendagri No.46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisai dan
Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah : dalam
peraturan ini antara lain terdapa pembentukan, kedudukan,
tugas dan fungsi BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/kota,
susunan organisasi BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/kota,
eselon dan kepegawaian BPBD Provinsi dan BPBD
Kabupaten/kota, tata kerja, pembinaan dan pengawasan dan
pembiayaan.

Di tingkat daerah, legislasi penanggulangan bencana adalah dalam


bentuk peraturan daerah (Perda mengenai Penanggulangan Bencana di
Daerah dan Perda Pembentukan BPBD) serta peraturan
Page 29

gubernur/bupati/walikota (Rencana Daerah Penanggulangan Bencana


dan Prosedur Tetap Kedaruratan Daerah).

2. Perencanaan
Perencanaan penanggulangan bencana dalam UU No. 24/2007 antara
lain tercantum dalam Pasal 35, Pasal 36, Pasal 40 dan Pasal 65. Pasal
35 menyatakan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana
dalam situasi tidakterjadi bencana meliputi salah satunya perencanaan
penanggulangan bencana.Sementara Pasal 36 menyatakan bahwa:
Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 huruf a ditetapkan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
Penyusunan perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Badan.
Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan melalui penyusunan data tentang risiko
bencana pada suatu wilayah dalam waktu tertentu berdasarkan
dokumen resmi yang berisi program kegiatan penanggulangan
bencana.
Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi (a) pengenalan dan pengkajian ancaman
bencana; (b) pemahaman tentang kerentanan masyarakat; (c)
analisis kemungkinan dampak bencana; (d) pilihan tindakan
pengurangan risiko bencana; (e) penentuan mekanisme kesiapan
dan penanggulangan dampan bencana dan (f) alokasi tugas,
kewenangan, dan sumber daya yang tersedia.
Pasal 40 :
Rencana penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (3) ditinjau secara berkala.
Penyusunan rencana penanggulangan bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Badan.
Setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang
menimbulkan bencana dilengkapi dengan analisis risiko bencana
Page 30

sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana sesuai


dengan kewenangannya.
Pasal 65 :
Pengelolaan sumber daya
daya bantuan bencana meliputi perencanaan,
penggunaan, pemeliharaan, pemantauan, dan pengevaluasian terhadap
barang, jasa, dan/atau uang bantuan nasional maupun internasional.

Lingkup bahasan rencana penanggulangan bencana dapat dilihat pada


gambar 3.

RENCANA KONTIJENSI RENCANA OPERASI


TANGGAP DARURAT
TANGGAP
KESIAPSIAGAAN DARURAT

PENCEGAHAN
PEMULIHAN
DAN MITIGASI
RENCANA PENANGGULANGAN
RENCANA PEMULIHAN
BENCANA
(REHAB DAN REKON)

Gambar 3 : Lingkup Bahasan Rencana Penanggulangan Bencana (Pribadi, 2012)

Perencanaan dalam sistem penanggulangan bencana di Indonesia


mengacu pada serangkaian kegiatan penanggulangan bencana
sebelum, pada saat dan setelah terjadi bencana.Selain itu
perencanaan penanggulangan bencana harus diintegrasikan kedalam
rencana pembangunan nasional dan daerah. Pembuatan perencanaan
terkait penanggulangan bencana dapat diaplikasikan kedalam bentuk:
a. Pemaduan Penanggulangan Bencana dalam Perencanaan
Pembangunan baik di tingkat
tingkat nasional maupun daerah.
- Penanggulangan Bencana dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (Nasional dan Daerah), Rencana Pembangunan Jangka
Page 31

Menengah (Nasional dan Daerah) dan Rencana Kerja


Pemerintah (Nasional dan Daerah)
- Penyusunan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana
(RAN-PRB) dan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko
Bencana (RAD-PRB) yang berdasarkan Kerangka Aksi Hyogo.
b. Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana dalam setiap
tahapan penanggulangan bencana antara lain berupa:
- Rencana Penanggulangan Bencana (Disaster Management Plan)
: merupakan rencana umum dan menyeluruh yang meliputi
seluruh tahapan / bidang kerja kebencanaan. (Perka BNPB No.
4/2008). Rencana Penanggulangan Bencana dilakukan pada
tahap Prabencana dalam situasi tidak terjadi bencana
- Rencana Kesiapsiagaan (Preparedness Plan) : Rencana yang
dibuat untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana
dan dilakukan pada saat sebelum terjadinya bencana.
- Rencana Kontinjensi (Contingency Plan) :suatu proses
perencanaan ke depan terhadap keadaan yang tidak menentu
untuk mencegah, atau menanggulangi secara lebih baik dalam
situasi darurat atau kritis dengan menyepakati skenario dan
tujuan, menetapkan tindakan teknis dan manejerial, serta
tanggapan dan pengerahan yang telah disetujui bersama.
- Rencana Operasi (Operation Plan) :adalah suatu proses
perencanaan tindakan operasi darurat bencana dengan
menyepakati tujuan operasi dan ketetapan tindakan teknis dan
manejerial untuk penanganan darurat bencana dan disusun
berdasarkan berbagai masukan penanganan bencana termasuk
rencana kontinjensi dan informasi bencana untuk mencapai
tujuan penanganan darurat bencana secara aman, efektif dan
akuntabel.
- Rencana Pemulihan (Recovery Plan) : rencana yang berisikan
prosedur dan aktivitas pemulihan yang akan dilakukan dalam
rangka normalisasi semua aspek kehidupan masyarakat pada
wilayah paskabencana.
Page 32

Seperti yang sudah diketahui bahwa di tingkat pusat, Indonesia telah


memiliki Rencana Nasional Penanggulangan Bencana untuk tahun
2010-2014 (RENAS PB 2010-2014) serta Rencana Aksi Nasional
Pengurangan Risiko Bencana 2010-2012 (RAN PRB 2010-2012).

Gambar 4 : RENAS PB 20120-2014 dan RAN PRB 2010-2012

RENAS PB 2010-2014 merupakan acuan bagi BNPB dan kementerian


dan lembaga terkait dalam melaksanakan setiap upaya
penanggulangan bencana sejak dari pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, tanggap darurat dan pemulihan. Dalam penerapannya,
rencana/program yang disusun dalam RENAS PB 2010-2014 dituangkan
dalam rencana strategis masing-masing kementerian dan lembaga
terkait. RENAS PB 2010-2014 ini terdiri dari 7 bab utama yaitu Bab 1
pendahuluan yang memberikan gambaran umum tentang latar
belakang, tujuan, kedudukan dokumen dan landasan hukum, proses
penyusunan dan kaidah pelaksanaan. Bab 2 adalah mengenai
gambaran umum kebencanaan baik dilihat dari ancaman (hazard),
kerentanan dan kapasitas serta risiko bencana.Bab 3 adalah
permasalahan, tantangan dan peluang yang dihadapi terkait
penanggulangan bencana di Indonesia.Bab 4 mengenai kebijakan
Page 33

penanggulangan bencana yang mencakup visi dan misi, penataan


kelembagaan, kebijakan dan strategi. Bab 5 mengenai program-
program yang akan dilaksanakan. Bab 6 mengenai anggaran dan
pendanaan serta bab 7 mengenai pemantauan, evaluasi dan
pelaporan.

RAN-PRB 2010-2012 dimaksudkan sebagai pedoman dan acuan bagi


semua pihak dalam penjabaran kebijakan pengurangan risiko bencana
di tingkat nasional dalam periode yang ditetapkan dalam 3 (tiga)
tahun anggaran, dan memuat landasan, prioritas, rencana aksi serta
mekanisme pelaksanaan dan kelembagaan dalam implementasi
rencana aksi. RAN-PRB menjadi dasar pelaksanaan yang kuat dan
sistematis bagi prioritas yang bersifat lintas-sektoral dan lintas-
wilayah dalam mengurangi risiko dari beragam ancaman bencana.

Dokumen RAN-PRB 2010-2012 terdiri dari 9 bab sebagai berikut:


Bab 1 : pendahuluan
Bab 2 : kondisi kebencanaan di indonesia
Bab 3 : landasan pengurangan risiko bencana
Bab 4: pembelajaran pengurangan risiko bencana
Bab 5 : hasil evaluasi pelaksanaan ran-prb tahun 2006 - 2009
Bab 6 : rencana aksi pengurangan risiko bencanatahun 2010
2012
Bab 7 : pelaksanaan
Bab 8 : pemantauan dan evaluasi
Bab 9 : penutup

3. Kelembagaan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana, lembaga utama yang khusus menangani
penanggulangan bencana di tingkat nasional adalah Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB). BNPB merupakan Lembaga
Pemerintah non-Kementerian yang dipimpin oleh pejabat setingkat
menteri.Lembaga ini bertugas untuk merumuskan dan menetapkan
Page 34

kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi


dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien, serta
melakukan pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.

Tugas BNPB antara lain (1) Memberikan pedoman dan pengarahan


terhadap PB, (2) Menetapkan standarisasi dan kebutuhan
penyelenggaraan PB, (3) Menyampaikan informasi kegiatan kepada
masyarakat, (4) Melaporkan penyelenggaraan PB kepada Presiden 1
kali per bulan dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi
darurat bencana, (5) Menggunakan dan mempertanggungjawabkan
sumbangan/bantuan nasional dan internasional, (6)
Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), (7) Melaksanakan
kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan (8)
Menyusun pedoman pembentukan BPBD.

Di dalam BNPB terdapat dua unsur utama yaitu Unsur Pengarah dan
UnsurPelaksana.Keduanya berada di bawah Kepala BNPB.Unsur
pengarah terdiridari unsur pejabat pemerintah dan unsur masyarakat
profesional. Sementara unsurpelaksana merupakan kewenangan
pemerintah yang komposisinya terdiri daritenaga profesional dan ahli
yang secara struktural terbagi ke dalam empat deputi :
Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan
Deputi Tanggap Darurat
Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Deputi Logistik dan Peralatan
Page 35

Gambar 5 : Struktur Organisasi BNPB (Sriutomo, 2007)

Unsur Pengarah

Gambar 6 : Struktur Organisasi Unsur Pengarah BNPB (Sriutomo, 2007)


Page 23

Unsur Pelaksana

Gambar 7 : Struktur Organisasi Unsur Pelaksana BNPB (BNPB, 2013)

Sementara itu, focal point penanggulangan bencana di tingkat


provinsi dan kabupaten/kota adalah Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD).Tugas BPBD antara lain (1) Memberikan pedoman dan
pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan BNPB
terhadap PB, (2) Menetapkan standarisasi dan kebutuhan
penyelenggaraan PB, (3) Menyusun, menetapkan, dan
menginformasikan peta rawan bencana, (4) Menyusun dan
menetapkan prosedur tetap (protap) PB, (5) Melaksanakan
penyelenggaraan PB di wilayahnya, (6) Melaporkan penyelenggaraan
PB kepada kepala daerah 1 kali per bulan dalam kondisi normal dan
setiap saat dalam kondisi darurat bencana, (7) Mengendalikan
pengumpulan dan penyaluran uang dan barang, (8)
Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan (9)
Page 24

Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-


perundang
undangan.

Saat ini telah terbentuk 33 BPBD di tingkat Propinsi dan 369 BPBD di
tingkat kota/kabupaten (dari total 497 kota/kabupaten di
Indonesia).Distribusi pendirian BPBD di tingkat lokal dapat dilihat
pada gambar berikut.

Gambar 8 : Peta
a Wilayah Kabupaten Yang Telah Memiliki BPBD (BNPB
(BNPB)

4. Pendanaan
Saat ini kebencanaan bukan hanya isu lokal atau nasional, tetapi
melibatkan internasional.Komunitas internasional mendukung
Pemerintah Indonesia dalam membangun manajemen penanggulangan
bencana menjadi lebih baik. Di sisi lain, kepedulian dan keseriusan
Pemerintah Indonesia terhadap masalah bencana sangat tinggi dengan
dibuktikan dengan penganggaran yang signifikan khususnya untuk
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam pembangunan.

Anggaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam tahun 2008-


2008
2012 dapat dilihat pada gambar 9.
Page 25

Alokasi Anggaran
Pengeluaran Aktual

Gambar 9 : Anggaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana 2008-2012


2008 (BNPB, 2012)

erikut
Berikut beberapa sumber pendanaan yang terkait dengan
penanggulangan bencana di Indonesia:
a. Dana DIPA (APBN/APBD)
b. Dana Kontijensi :dana yang dicadangkan untuk menghadapi
kemungkinan terjadinya bencana tertentu.
c. Dana Siap Pakai/On-call
Pakai/ : dana yang selalu tersedia dan
dicadangkan oleh Pemerintah untuk digunakan pada saat tanggap
darurat bencana sampai dengan batas waktu tanggap darurat
berakhir.
d. Dana Bantual Sosial Berpola Hibah : dana yang disediakan
Pemerintah kepada pemerintah daerah sebagai bantuan
penanganan pascabencana.
e. Dana yang bersumber dari masyarakat
f. Dana dukungan komunitas internasional

Khusus untuk penggunaan dana siap pakai/on call, BNPB telah


mengeluarkan Perka khusus
khusus yaitu Perka No. 6A/2011 tentang
Page 26

Pedoman Penggunaan Dana Siap Pakai Pada Status Keadaan Darurat


Bencana. Pedoman Penggunaan Dana Siap Pakai pada Status Keadaan
DaruratBencana ini mengatur pengelolaan dan penggunaan Dana Siap
Pakaipada Status Keadaan Darurat Bencana yang bersumber dari
APBNyang dialokasikan pada anggaran BNPB sebagaimana
dimaksuddalam Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (3) huruf b Peraturan
PemerintahNomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan
BantuanBencana.

Dana Siap Pakai digunakan sesuai kebutuhan penanganan darurat


pada status keadaan darurat bencana yang dimulai sejak siaga
darurat, tanggap darurat, dan transisi darurat ke
pemulihan.Pengguna Dana Siap Pakai adalah lembaga yang
mempunyai tugaspokok dan fungsi penanggulangan bencana sebagai
berikut: (1) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
daninstansi/lembaga terkait penanggulangan bencana di tingkat
pusat;(2) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tingkat
Provinsi; (3) Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
tingkatKabupaten/Kota; (4) Perangkat daerah yang memiliki tugas
dan fungsipenanggulangan bencana (khusus bagi daerah yang belum
memiliki BPBD); (5) Instansi/lembaga/organisasi terkait.

Prosedur penggunaan dana siap pakai ini antara lain adalah bahwa
Pemerintah/Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota yang
telahmenyatakan diri dalam Status Siaga Darurat
Bencana/TanggapDarurat Bencana dapat mengusulkan bantuan
DanaSiap Pakai kepada Kepala BNPB dengan menyampaikan
laporankejadian, hasil/informasi tentang kondisi ancaman bencana
darilembaga terkait, jumlah korban/prakiraan jumlah
pengungsi,kerusakan, kerugian dan bantuan yang diperlukan.
Pengelola bantuan ini adalah :
1. Pejabat yang berwenang mengelola bantuan Dana Siap Pakai di
daerah adalah Kepala/Kepala Pelaksana BPBD tingkat Provinsi
Page 27

dan/atau Kepala/Kepala Pelaksana BPBD tingkat Kabupaten/Kota.


Jika di daerah tersebut belum dibentuk BPBD, pengelolaannya
langsung berada di bawah wewenang Gubernur/Bupati/Walikota.
2. Instansi/lembaga pemerintah terkait dalam mengelola bantuan
Dana Siap Pakai dapat melimpahkan kewenangannya kepada
pejabat yang ditunjuk.
3. Instansi/lembaga/organisasi tertentu.

Pertanggungjawaban penggunaan Dana Siap Pakai diberikanperlakuan


khusus, yaitu pengadaan barang/jasa untukpenyelenggaraan pada
Status Keadaan Darurat Bencanadilakukan secara khusus melalui
pembelian/pengadaan langsung sesuai dengan kondisi pada Status
Keadaan Darurat Bencana. Pertanggungjawaban baik keuangan
maupun kinerja dilaporkanpaling lambat 3 (tiga) bulan setelah Status
Keadaan Darurat Bencana berakhir, dilengkapi dan dilampiri bukti-
buktipengeluaran.

5. Peningkatan Kapasitas
Salah satu komponen penting dalam sistem penanggulangan bencana
Indonesia adalah peningkatan kapasitas. Peningkatan kapasitas antara
lain dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan terkait
bencana. Berbagai program dalam peningkatan kapasitas melalui
pendidikan dan pelatihan antara lain berupa memasukkan pendidikan
kebencanaan dalam kurikulum sekolah, membuka program
manajemen bencana di perguruan tinggi, menyusun standar modul
pelatihan manajemen bencana, melakukan pelatihan manajer dan
teknis penanggulangan bencana serta mencetak tenaga professional
dan ahli penanggulangan bencana.
Page 23

6. Penyelenggaraan penanggulangan bencana

Gambar 9.. Penyelenggaraan sistem penanggulangan bencana (Suprayoga Hadi, 2010)

Penyelenggaraan penanggulangan bencana terbagi menjadi tiga tahapan


yaitu pra bencana, saat tanggap darurat dan paska bencana.

Prabencana
Penanggulangan bencana prabencana meliputi situasi tidak terjadi bencana
dan situasi terdapat potensi bencana.Dalam hal tidak terjadi bencana
pemerintah dapat melakukan perencanaan penanggulangan bencana,
pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan
pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, pelaksanaan dan
penegakan tata ruang, pendidikan dan pelatihan dan persyaratan standar
teknis penanggulangan bencana.

Penanggulangan bencana dalam hal terdapat potensi bencana meliputi :


Page 24

1. Mitigasi bencana
Merupakan upaya mengurangi resiko bencana dengan melalui pembangunan
fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi
bencana.Kegiatan mitigasi yang dilakukan dapat berupa mitigasi yang
bersifat fisik yaitu pembangunan infrastruktur tahan bencana maupun
mitigasi yang bersifat non fisik seperti kegiatan pendidikan, penyuluhan,
serta pelatihan bencana untuk meningkatkan pengetahuan.

2. Peringatan dini
Upaya pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang
potensi dan kemungkinan terjadinya bencana pada suatu lokasi oleh badan
yang berwenang.Pemantauan bencana secara intensif oleh petugas atau
badan yang telah ditunjuk pemerintah merupakan upaya awal dari
peringatan dini.Hasil pemantauan dianalisis oleh para ahli dan menjadi
rekomendasi untuk penetapan status bencana sehingga informasi ini dapat
disebarluaskan kepada khalayak ramai dan dijadikan dasar dalam
pengambilan tindakan oleh masyarakat.

3. Kesiapsiagaan
Dilakukan dengan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian dan melalui langkah yang tepat guna dan
berdaya guna. Upaya kesiapsiagaan dilakukan antara lain dengan
mempersiapkan sarana dan prasarana untuk menghadapi bencana,
melakukan simulasi bencana dengan memberikan pengetahuan bagi warga
mengenai proses evakuasi serta tempat evakuasi dan sebagainya.

Tanggap darurat
Keadan tanggap darurat merupakan keadaan dimana bencana benar-benar
terjadi pada saat itu.Ketika bencana terjadi segera dilakukan analisa untuk
mengidentifikasi cakupan lokasi bencana, jumlah korban, kerusakan
bangunan, gangguan terhadap pelayanan umum dan pemerintahan, serta
kemampuan sumberdaya alam maupun sumber daya buatan.
Page 25

Hal yang paling penting ketika terjadi bencana dalah proses evakuasi atau
penanganan bencana. Pada bencana alam kegiatan evakuasi harus dilakukan
agar menghindarkan jumlah korban jiwa yang banyak.

Dalam situasi darurat bencana, sering terjadi kesimpang-siuran data dan


informasi korban maupun kerusakan, sehingga mempersulit pengambilan
kebijakan penanganan darurat.Pelaksanaan tanggap darurat juga sering
kurang saling mendukung, distribusi bantuan dan pelayanan kurang cepat,
kurang merata, sulit terpantau dengan baik, sehingga kemajuan hasil
kegiatan tanggap darurat bencana kurang bisa terukur secara objektif.
Situasi-situasi tersebut disebabkan antara lain karena kurangnya koordinasi
antar instansi terkait dalam kegiatan tanggap darurat bencana.

Dalam kondisi seperti ini, diperlukan suatu institusi yang menjadi pusat
komando kedaruratan bencana sesuai dengan lokasi dan tingkatan bencana
yaitu Pos Komando Tanggap Darurat Bencana. Pos Komando ini berfungsi
sebagai pusat komando operasi tanggap darurat bencana, untuk
mengkoordinasikan, mengendalikan, memantau dan mengevaluasi
pelaksanaan tanggap darurat bencana. Pos komando tanggap darurat
bencana dapat dilengkapi dengan pembentukan pos komando lapangan
tanggap darurat bencana dan pos pendukung tanggap darurat bencana, yang
merupakan satu kesatuan sistem penanganan tanggap darurat
bencana.Jangka waktu keberadaan pos komando tanggap darurat bencana
bersifat sementara selama masa tanggap darurat dan beroperasi selama 24
(dua puluh empat) jam setiap hari serta dapat diperpanjang atau
diperpendek waktunya sesuai dengan pelaksanaan tanggap darurat.

Struktur organisasi pos komando tanggap darurat bencana nasional adalah


sebagai berikut:
Page 26

Gambar 10 : Struktur Organisasi Pos Komando Tanggap Darurat Bencana Nasional

Pasca bencana
Kegiatan pasca bencana meliputi kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi.Fungsi pemerintah pada saat paskabencana pada dasarnya
untuk mengembalikan pada
pada keadaan semula dan melakukan normalisasi
fungsi kehidupan masyarakat dalam setiap aspek kehidupan.

1. Rehabilitasi
Kegiatan perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana
dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar
Page 27

semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pasca bencana.


Kegiatan rehabilitasi mencakup (1) perbaikan lingkungan daerah bencana;
(2) perbaikan prasarana dan sarana umum; (3) pemberian bantuan perbaikan
rumah masyarakat; (4) pemulihan sosial psikologis; (5) pelayanan kesehatan;
(6) rekonsiliasi dan resolusi konflik; (7) pemulihan sosial ekonomi budaya;
(8) pemulihan keamanan dan ketertiban; (9) pemulihan fungsi pemerintahan
dan (10) pemulihan fungsi pelayanan publik.

2. Rekonstruksi
Pembangunan kembali semua sarana dan prasarana, kelembagaan pada
wilayah pascabencana, baik pada tingkatan pemerintah maupun masyarakat
dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian,
sosial, budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta
masyarakat dalam segala aspek kehidupan di wilayah pasca bencana.
Kegiatan rekonstruksi adalah berupa: (1) pembangunan kembali prasarana
dan sarana; (2) pembangunan kembali sarana social masyarakat; (3)
pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat; (4) penerapan
rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan
tahan bencana; (5) partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi
kemasyarakat, dunia usaha dan masyarakat; (6) peningkatan kondisi social,
ekonomi dan budaya (7) peningkatan fungsi pelayanan publik dan (8)
peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.

Dalam fase pascabencana ini peran dan partisipasi masyarakat dan lembaga
usaha dapat diberdayakan antara lain melalui:
Peran masyarakat :
Berpartisipasi dalam pembuatan rencana aksi rehabilitasi dan
rekonstruksi, dan
Berpartisipasi dalam upaya pemulihan dan pembangunan sarana dan
prasarana umum
Peran lembaga usaha:
Terlibat dalam pembuatan rencana aksi rehabilitasi dan rekonstruksi,
Page 28

Membantu pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi sesuai dengan


kapasitasnya, dan
Membangun sistem jaringan pengaman ekonomi.

Pada masa pascabencana ini hal penting lainnya adalah pemberian dan
penanganan bantuan kepada masyarakat.Pada saat paskabencana ini
beberapa jenis bantuan adalah dalam bentuk bantuan perbaikan rumah
masyarakat yang dapat berupa bahan material, komponenrumah atau uang
yang besarnya ditetapkanberdasarkan hasil verifikasi dan evaluasi
tingkatkerusakan rumah yang dialami.Bantuan Pemerintah untuk perbaikan
rumahmasyarakat diberikan dengan pola pemberdayaan masyarakatdengan
memperhatikan karakter daerah dan budayamasyarakat, yang mekanisme
pelaksanaannyaditetapkan melalui koordinasi BPBD.Perbaikan rumah
mengikuti standar teknis sesuai denganketentuan peraturan perundang-
undangan dan pelaksanaan pemberian bantuan perbaikan rumahmasyarakat
dilakukan melalui bimbingan teknis danbantuan teknis oleh
instansi/lembaga yang terkait.

2.4 Inisiatif dan Platform nasional

Selain kelembagaan yang bersifat formal yaitu BNPB dan BPBD, baik di tingkat
nasional dan daerah bermunculan lembaga-lembaga non formal yang
memperhatikan dan memperkuat penyelenggaraan penanggulangan bencana
di Indonesia.Di tingkat pusattelah dibentuk Platform Nasional Pengurangan
Risiko Bencana (Planas PRB). Selain Planas PRB di tingkat pusat, ada pula
platform-platform atau forum PRB sektoral yang dibentuk oleh para pihak
berkepentingan menurut sektor atau isu-isu tertentu sepertiForum Perguruan
Tinggi Pengurangan Risiko Bencana (FPT PRB), Konsorsium Pendidikan
Bencana (KPB), dan sebagainya. Informasi singkat mengenai forum-forum
tersebut adalah sebagai berikut:
Page 29

Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana (Planas PRB)


Planas PRB adalah sebuah forum independen untuk mendorong serta
memfasilitasikerjasama antar pihak dalam upaya pengurangan risiko bencana
diIndonesia. Planas PRB yang dideklarasikan di Jakarta pada tanggal
20November 2008 berupaya mewadahi semua kepentingan
terkaitkebencanaan serta membantu menyelaraskan berbagai
kebijakan,program dan kegiatan PRB di tingkat pusat, agar dapat
mendukungtercapainya tujuan-tujuan PRB Indonesia dan terwujudnya
ketahanandan ketangguhan bangsa terhadap bencana, selaras dengan
tujuanKerangka Aksi Hyogo. Pembentukan PLANAS PRB merupakan saran dan
kesepakatan semua peserta dalam Konferensi Dunia Pengurangan Risiko
Bencana di Kobe Jepang pada awal tahun 2005 dimana konferensi ini juga
melahirkan Kerangka Aksi Hyogo atau Hyogo Framework for Action 2005-2015
Membangun Ketahanan Bangsa dan Komunitas terhadapBencana.HFA 2005-
2015 memiliki 5 prioritas aksi sebagai berikut (1) memastikan bahwa
pengurangan risiko bencana (PRB) merupakan sebuah prioritas nasional dan
local dengan dasar kelembagaan yang kuat; (2) Mengidentifikasi, menjajagi
dan memonitor risiko-risiko bencana dan meningkatkan peringatan dini; (3)
Menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun
membangun sebuah budaya keselamatan dan ketahanan di semua tingkat; (4)
Mengurangi factor-faktor risiko yang mendasari; dan (5) Memperkuat
kesiapsiagaan terhadap bencana untuk respon yang efektif di semua tingkat.

Visi dari PLANAS PRB adalah Terciptanya ketahanan dan ketangguhan bangsa
terhadap bencana.Sedangkan misinya adalah untuk meningkatkan
keikutsertaan serta tindakan terpadu berbagai pemangku kepentingan dan
pelaku dalam rangka pengarusutamaan PB/PRB ke dalam kebijakan-kebijakan,
perencanaan, dan program-program pembangunan sesuai dengan pelaksanaan
Kerangka Aksi Hyogo.

Forum Perguruan Tinggi Pengurangan Risiko Bencana (FPT PRB)


FPT-PRB dibentuk pada tanggal 11 November 2008 di Jakarta dalam
pertemuan perwakilan dari pusat-pusat studi bencana yang berasal dari
Page 30

berbagai perguruan tinggi dengan didukung oleh Badan Nasional


Penanggulangan Bencana (BNPB) dan United Nations Development Programme
(UNDP).

Latar belakang pembentukan FPT-PRB dilandasi oleh semakin meningkatnya


jumlah dan jenis kejadian bencana di Indonesia pada akhir-akhir ini, dengan
jumlah kerugian yang sangat besar dan berdampak buruk bagi keberlanjutan
pembangunan di Indonesia.Untuk meningkatkan rasa aman dari risiko bencana
upaya PRB secara sistematis sudah menjadi sesuatu hal yang sangat mendasar
bagi bangsa Indonesia. Selain itu ada kebutuhan-kebutuhan tertentu bagi
terbentuknya FPT-PRB antara lain sebagai berikut:
1. Mengembangkan pengetahuan PRB melalui pendidikan dan penelitian
serta penerapannya di masyarakat.
2. Membangun kemampuan pendidikan PRB untuk memenuhi kebutuhan di
masyarakat.
3. Membangun sinergi antara peneliti dan praktisi PRB di lapangan.
4. Menyampaikan pengetahuan PRB yang berkembang di perguruan tinggi
kepada masyarakat luas.

Visi dari FPT PRB adalahIndonesia menjadi negara yang terkemuka dalam
pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
pengurangan risiko bencana di Indonesia. Sementara misinya adalah:

Keunggulan akademis (academic exellence),


Peningkatan kapasitas (capacity building)
Advokasi

Konsorsium Pendidikan Bencana (KPB)


Konsorsium Pendidikan Bencana (KPB) dibentuk pada bulan Oktober 2006
sebagai tindak lanjut dariperingatan Hari Pengurangan Resiko Bencana
(Internasional) 2006 dengantema Pengurangan Resiko Bencana Mulai dari
Sekolah.
Page 31

KPB bertujuan mendukung pengembangan kebijakan dan praktik pendidikan


PRB di tingkat nasional dan daerah yang berkelanjutan baik formal, non
formal, maupun informal melalui peningkatan kapasitas, kordinasi, dan sinergi
antar pihak yang berkomitment dalam pendidikan PRB.

Jaringan KPB memungkinkan para anggota untuk saling melengkapi antara


satu dengan lainnya dan juga bersama mitra lain yang relevan dengan
dukungan upaya pengembangan dan pendokumentasian dari materi
belajarmengajar; sesi pembelajaran bersama dan pertukaran informasi untuk
meningkatkan pengetahuan sumber daya manusia dalam hal pendidikan
bencana serta menjamin tercapainya program pendidikan bencana yang
berkelanjutan di Indonesia.

Keanggotaan KPB antara lain terdiri dari badan-badan PBB, Pemerintah,


Masyarakat Palang Merah, perguruan tinggi dan LSM yang melaksanakan
kegiatan dalam Pengurangan Resiko Bencana Berbasiskan Sekolah.

2.5 Inisiatif dan platform daerah

Pada tingkat daerah/lokal, juga sudah terbentuk forum-forum pengurangan


risiko bencana di berbagai propinsi. Pembentukan forum PRB sejak tahun 2009
dan saat ini sudah 11 provinsi yang telah membentuk forum PRB, diantaranya
Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu,
DI Yogyakarta, NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali, dan Kalimantan
Timur.

Dengan adanya forum PRB ini, diharapkan dapat menjadi forum koordinasi
seluruh lintas instansi dan stakeholder yang peduli terhadap upaya-upaya
pengurangan risiko bencana, seperti dari LSM, orsosmas, perguruan tinggi,
tokoh masyarakat, lembaga usaha, media massa, dan instansi pemerintah.

Forum-forum tematik di tingkat daerah juga sudah terbentuk antara lain


Forum Merapi, Forum Citarum, Forum Semeru. Adanya forum-forum seperti
Page 32

ini diharapkan akanmeningkatkan kualitas penanggulangan bencana di tingkat


daerah di seluruh Indonesia.

Forum PRB Yogyakarta


Forum Pengurangan Risiko Bencana D.I. Yogyakarta (F-PRB DIY) merupakan
wadah yang menyatukan pelbagai organisasi pemangku kepentingan (stake
holders) D.I.Yogyakarta yang bergerak dan mendukung pengarusutamaan
pengurangan risiko bencana di wilayah D.I. Yogyakarta.Sebagai Platform
Pengurangan Risiko Bencana di tingkat provinsi yang menyediakan mekanisme
koordinasi untuk meningkatkan kolaborasi & koordinasi berbagai pemangku
kepentingan dalam keberlanjutan aktivitas-aktivitas PRB melalui proses
konsultatif dan partisipatif yang selaras dengan pelaksanaan kerangka kerja
PRB sebagaimana ditetapkan kebijakan nasional.

Forum Pengurangan Risiko Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta secara formal


didirikan untuk menjadi platform PRB Provinsi pada tahun 2009 untuk waktu
yang tidak ditentukan. Pendirian dilakukan atas prakarsa dari pegiat dan
mitra Forum Pengurangan Risiko Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta yang
terdiri dari organisasi masyarakat, pemerintah, bisnis, media, perguruan
tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga internasional yang bekerja
di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada waktu didirikan Forum Pengurangan
Risiko Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi bagian dari Platform
Nasional Pengurangan Risiko Bencana (PLANAS PRB).

Visi dari forum PRB Yogya adalah Menjadi komunitas Daerah Istimewa
Yogyakarta yang memiliki sistem sosial, ekonomi dan budaya yang tangguh
terhadap bencana sebagai bagian dari upaya-upaya pengurangan risiko
bencana di Negara Republik Indonesia. Sedangkan misinya adalah :
Mendorong terciptanya lingkungan yang mendukung bagi pengembangan
budaya pencegahan, melalui advokasi dan penumbuhan kesadaran dan
pengetahuan tentang pengurangan risiko bencana; Memfasilitasi
pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam pembangunan;
Menggunakan berbagai perspektif dan aksi yang bersifat multi sektor dan
Page 33

multi disiplin ilmu; Menjadi wadah kerjasama efektif multi-pihak dan lintas
bidang/sektor dalam proses-proses pembangunan berkelanjutan; Memberikan
sumbangan pemikiran tentang pengurangan risiko bencana melalui upaya yang
terpadu dan terkoordinasi dalam proses penyusunan kebijakan, perencanaan,
administrasi dan pengambilan keputusan pembangunan; Memobilisasi sumber
daya dan kapasitas pemangku kepentingan lokal, lembaga-lembaga nasional,
regional dan internasional/struktur Perserikatan Bangsa-Bangsa yang relevan;
Menjadi center of excellence dalam pengurangan risiko bencana.

Forum Merapi
Forum Merapi didirikan untuk memfasilitasi kerjasamadalam pengelolaan
Gunung Merapi secara menyeluruh pada aspekancaman, daya dukung
lingkungan dan sosial-budaya masyarakatnya.Forum ini antara lain melibatkan
pemerintah daerah beserta PMI diKabupaten Klaten, Boyolali, Magelang dan
Sleman, paguyubanmasyarakat Pasag Merapi, Balai Penelitian dan
Pengembangan TeknikKegunungapian (BPPTK), sebuah perguruan tinggi dari
Yogyakarta danbeberapa lembaga donor.

Forum DAS Citarum


Forum ini dibentuk Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) untuk
mengawasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Forum ini berupaya
memobilisasi sejumlah stake holder, LSM, dan masyarakat untuk melakukan
normalisasi DAS Citarum dari hulu Cisanti, Kabupaten Bandung sampai hilir
yang bermuara di Muara Gembong Bekasi.

Forum Semeru
Forum Semeru adalah sebuah wadah yang merupakan forum pertemuan,
komunikasi, pengkajian, penelitian, dan pengembangan keahlian dalam
penanganan bencana terpadu berbasis masyarakat, baik secara individu
maupun kelembagaan. Forum ini berasal dari berbagai latar belakang dan
budaya antara lain : masyarakat, praktisi, ilmuwan, akademisi, professional,
lembaga-lembaga kemanusiaan, LSM, birokrat, relawan dan donatur serta
kontributor yang mempunyai perhatian terhadap peristiwa, penanganan dan
Page 34

pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction management) dengan


sentuhan kearifan lokal (traditional wisdom) yang berorientasi pada
pembangunan berkelanjutan (sustainable development), dan selalu
menempatkan korban bencana sebagai subyek dan sekaligus sasaran
utamanya.

Forum Semeru merupakan wadah kebersamaan untuk menyatukan kekuatan-


kekuatan dan menjembatani informasi dan komunikasi pemangku kepentingan
dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan bersama dalam mengelola potensi dan
pengurangan risiko bencana letusan Gunungapi Semeru. Pendukung Forum
Semeru melibatkan perwakilan pemerintah antara lain : Kabupaten Lumajang,
Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, dan
Pemerintah Propinsi Jawa Timur bekerja sama dengan Badan nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), kemudian Perwakilan Masyarakat Kawasan
Rawan Bencana Gunungapi Semeru, Lembaga Penelitian, LSM, dan Dunia
Usaha.

2.6 Tugas dan Peran Institusi Pemerintah dalam Penanggulangan


Bencana

Dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, sebenarnya


tidak hanya institusi pemerintah saja yang melakukan upaya penanggulangan
bencana.Terdapat tiga pelaku utama penanggulangan bencana di Indonesia yaitu
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, masyarakat, dan lembaga usaha. Peran
pemerintah dan pemerintah daerah diatur dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7;
peran masyarakat diatur dalam Pasal 26 dan Pasal 27; dan peran lembaga usaha
diatur dalam Pasal 28 dan Pasal 29 UU No. Peran ketiga pelaku ini adalah dalam
semua tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana baik pra bencana, saat
bencana dan paska bencana.

Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam


penyelenggaraan PB.Secara khusus tanggung jawab itu dilaksanakan oleh Badan
Page 35

Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat pemerintah pusat dan Badan


Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat pemerintah daerah.

Tugas pemerintah daerah dalam hal ini BPBD tingkat provinsi/kota/kabupaten


dalam setiap tahapan bencana berdasarkan PP No. 21/2008 tentang
penyelenggaraan penanggulangan bencana antara lain sebagai berikut:

Pra-bencana
1. Mengkoordinasikan penyusunan rencana penanggulangan bencana di tingkat
daerah
2. Mengkoordinasikan penyusunan rencana aksi daerah pengurangan risiko bencana
yang menyeluruh dan terpadu dalam suatu forum yang meliputi unsur dari
pemerintah daerah, non pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha di daerah
yang bersangkutan.
3. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan analisis risiko
bencana.
4. Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan kesiapsiagaan yang dilakukan oleh
instansi/lembaga yang berwenang dalam bentuk penyusunan dan uji coba
rencana penanggulangan kedaruratan bencana; pengorganisasian, pemasangan,
dan pengujian sistem peringatan dini; penyediaan dan penyiapan barang
pasokan pemenuhan kebutuhan dasar; pengorganisasian, penyuluhan,
pelatihan, dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat; penyiapan lokasi
evakuasi; penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap
tanggap darurat bencana; dan penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan
peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana.
5. Menyusun secara terkoordinasi rencana penanggulangan kedaruratan bencana
6. Membangun sistem manajemen logistik dan peralatan untuk kesiapsiagaan
dalam penyediaan, penyimpanan serta penyaluran logistik dan peralatan ke
lokasi bencana.
7. Mengkoordinir tindakan yang diambil masyarakat dalam peringatan dini dalam
rangka menyelamatkan dan melindungi masyarakat

Saat bencana
Page 36

1. Mengendalikan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap


darurat yang meliputi pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi,
kerusakan, kerugian, dan sumber daya; penentuan status keadaan darurat
bencana; penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana; pemenuhan
kebutuhan dasar; perlindungan terhadap kelompok rentan; dan pemulihan
dengan segera prasarana dan sarana vital.
2. Menugaskan tim kaji cepat untuk melakukan pengkajian secara cepat dan tepat
melalui identifikasi terhadap: cakupan lokasi bencana; jumlah korban bencana;
kerusakan prasarana dan sarana; gangguan terhadap fungsi pelayanan umum
serta pemerintahan; dan kemampuan sumber daya alam maupun buatan.
3. Mengerahkan sumber daya manusia, peralatan, dan logistik dari
instansi/lembaga dan masyarakat untuk melakukan tanggap darurat meliputi
permintaan, penerimaan dan penggunaan sumber daya manusia, peralatan dan
logistic
4. Mengerahkan peralatan dan logistik dari depo regional yang terdekat ke lokasi
bencana yang dibentuk dalam sistem manajemen logistik dan peralatan
dibawah kendali BNPB
5. Menggunakan dana siap pakai yang dapat disediakan dalam APBD dan
ditempatkan dalam anggaran BPBD untuk pengadaan barang dan/atau jasa pada
saat tanggap darurat bencana.
6. Membuat laporan pertanggungjawaban uang dan/atau barang yang diterima
dari masyarakat
7. Untuk memudahkan penyelamatan korban bencanadan harta benda, kepala
BPBDmempunyai kewenangan:a. menyingkirkan dan/atau memusnahkan
barangatau benda di lokasi bencana yang dapatmembahayakan jiwa;b.
menyingkirkan dan/atau memusnahkan barangatau benda yang dapat
mengganggu prosespenyelamatan; c memerintahkan orang untuk keluar dari
suatu lokasi atau melarang orang untuk memasuki suatu lokasi; d. mengisolasi
atau menutup suatu lokasi baik milik publik maupun pribadi; dan e.
memerintahkan kepada pimpinan instansi/lembaga terkait untuk mematikan
aliran listrik, gas, atau menutup/membuka pintu air.
Page 37

8. BPBD sesuai dengan kewenangannya mempunyai kemudahan akses berupa


komando untuk memerintahkan sektor/lembaga dalam satu komando untuk
pengerahan sumber daya manusia, peralatan, logistik, dan penyelamatan.
9. Mengkoordinasikan upaya perlindungan terhadap kelompok rentan yang
dilaksanakan oleh instansi/lembaga terkait dengan pola
pendampingan/fasilitasi.
10. Mengkoordinasikan pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital yang
dilakukan oleh instansi/lembaga terkait.
11. Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital

Paska bencana
1. Mengkoordinasikan kegiatan rehabilitasi yang dilakukan satuan kerja
pemerintah daerah dan instansi/lembaga terkait.
2. Mengkoordinasikan penetapan mekanisme pelaksanaan bantuan pemerintah
untuk perbaikan rumah masyarakat
3. Mengkoordinasikan pelayanan social psikologis yang dilaksanakan oleh
instansi/lembaga terkait
4. Mengkoordinasikan upaya pemulihan kondisi kesehatan masyarakat yang
dilaksanakan melalui pusat/pos layanan kesehatan yang ditetapkan oleh
instansi terkait.
5. Melakukan koordinasi dengan instansi/lembaga terkait dalam pelaksanaan
kegiatan rekonsiliasi dan resolusi konflik, pemulihan social, ekonomi dan
budaya, pemulihan keamanan dan ketertiban, yang dilakukan oleh
instansi/lembaga tersebut.
6. Mendukung kegiatan pemulihan fungsi pemerintahan
7. Mendukung pelaksanaan kegiatan pemulihan fungsi pelayanan public
8. Mengkoordinasikan kegiatan rekonstruksi yang dilaksanakan oleh satuan kerja
pemerintah daerah dan instansi/lembaga terkait
9. Melakukan koordinasi dengan instansi/lembaga terkait dalam pelaksanaan
kegiatan pembangkitan kembali kehidupan social budaya masyarakat yang
dilakukan oleh instansi/lembaga tersebut
Page 38

10. Melakukan koordinasi dengan instansi/lembaga terkait dalam pelaksanaan


peningkatan kondisi social ekonomi yang dilakukan oleh instansi/lembaga
tersebut

Di tingkat pusat, dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana BNPB tidak


bekerjasendiri tetapi bekerja sama dengan Kementerian, Lembaga dan
instansiterkait. Secara garis besar, peran dan fungsi Kementerian dan
LembagaPemerintah di tingkat pusat adalah sebagai berikut (Renas PB 2010-2014):
1. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat :mengkoordinasikan
program-program dan kegiatanpenanggulangan bencana lintas kementerian
dan lembaga.
2. Kementerian Dalam Negeri :mengendalikan kegiatan pembinaanpembangunan
daerah yang berkaitan dengan penanggulanganbencana.
3. Kementerian Luar Negeri :mendukung program-program dankegiatan
penanggulangan bencana yang berkaitan dengan mitrainternasional.
4. Kementerian Pertahanan :mendukung pengamanan daerah-daerahyang terkena
bencana, baik pada saat tanggap daruratmaupun pasca bencana.
5. Kementerian Hukum dan HAM :mendorong peningkatan danpenyelarasan
perangkat-perangkat hukum terkait kebencanaan.
6. Kementerian Keuangan :penyiapan anggaran biaya kegiatanpenyelenggaraan
penanggulangan bencana pada masa pra, saatdan pasca bencana.
7. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral : merencanakandan
mengendalikan upaya mitigasi di bidang bencana geologidan bencana akibat
ulah manusia yang terkait dengan bencanageologi.
8. Kementerian Pertanian :merencanakan dan mengendalikanupaya mitigasi di
bidang bencana kekeringan dan bencana lainterkait bidang pertanian.
9. Kementerian Kehutanan :merencanakan dan mengendalikanupaya mitigasi
khususnya kebakaran hutan/lahan.
10. Kementerian Perhubungan :merencanakan dan melaksanakandukungan
kebutuhan transportasi.
11. Kementerian Kelautan dan Perikanan :merencanakan danmengendalikan upaya
mitigasi di bidang bencana tsunami danabrasi pantai.
Page 39

12. Kementerian Pekerjaan Umum :merencanakan tata ruang daerahyang peka


terhadap risiko bencana, penyiapan lokasi dan jalurevakuasi dan kebutuhan
pemulihan sarana dan prasarana publik.
13. Kementerian Kesehatan :merencanakan pelayanan kesehatan danmedik
termasuk obat-obatan dan tenaga medis/paramedis.
14. Kementerian Pendidikan Nasional :merencanakan danmengendalikan
penyelenggaraan pendidikan darurat untukdaerah-daerah terkena bencana dan
pemuliah sarana-prasaranapendidikan, serta mengkoordinasikan pendidikan
sadar bencana.
15. Kementerian Sosial :merencanakan kebutuhan pangan, sandang,dan kebutuhan
dasar lainnya untuk para pengungsi.
16. Kementerian Komunikasi dan Informatika :merencanakan danmengendalikan
pengadaan fasilitas dan sarana komunikasidarurat untuk mendukung tanggap
darurat bencana danpemulihan pasca bencana.
17. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi :merencanakanpengerahan dan
pemindahan korban bencana ke daerah yangaman bencana.
18. Kementerian Riset dan Teknologi :melakukan kajian danpenelitian sebagai
bahan untuk merencanakan penyelenggaraanpenanggulangan bencana pada
situasi tidak terjadi bencana,tahap tanggap darurat, dan tahap rehabilitasi dan
rekonstruksi.
19. Kementerian Koperasi dan UKM :menyelenggarakan program-programusaha
kecil dan kegiatan ekonomi produktif bagi wargamasyarakat miskin di daerah-
daerah pasca bencana untukmempercepat pemulihan.
20. Kementerian Lingkungan Hidup :merencanakan danmengendalikan upaya yang
bersifat preventif, advokasi dandeteksi dini dalam pencegahan bencana terkait
lingkunganhidup.
21. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal :merencanakandan
mengendalikan program-program pembangunan di daerahtertinggal yang
berdasarkan kajian risiko bencana.
22. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional :mendukungperencanaan
program-program pembangunan yang peka risikobencana.
23. Kementerian Perumahan Rakyat mengkoordinasikan pengadaanperumahan
untuk warga-warga yang menjadi korban bencana.
Page 40

24. Tentara Nasional Indonesia membantu dalam kegiatan pencariandan


penyelamatan (SAR) dan mendukung pengkoordinasianupaya tanggap darurat
bencana.
25. Kepolisian Republik Indonesia membantu dalam kegiatan SARdan pengamanan
saat darurat termasuk mengamankan lokasiyang ditinggalkan karena
penghuninya mengungsi.
26. Basarnas mendukung BNPB dalam mengkoordinasikan danmenyelenggarakan
kegiatan pencarian dan penyelamatan (SAR).
27. Bakosurtanal merencanakan dan mengendalikan pemetaan risikobencana
bekerja sama dengan kementerian/lembaga teknis.
28. BMKG membantu dalam bidang pemantauan potensi bencanayang terkait
dengan meteorologi, klimatologi dan geofisika.
29. BPPT membantu dalam bidang pengkajian dan penerapanteknologi khususnya
teknologi yang berkaitan denganpenanggulangan bencana.
30. BPS membantu dalam bidang penyiapan data-data statistik.
31. BPN membantu dalam bidang penyediaan data-data pertanahan.
32. LIPI membantu dalam bidang pengkajian ilmu pengetahuan yangberkaitan
dengan penanggulangan bencana.
33. LAPAN membantu dalam bidang penyediaan informasi dan dataspasial
khususnya dari satelit.
34. BSN membantu dalam bidang standarisasi pedoman-pedomanmaupun panduan
penanggulangan bencana.
35. Bapeten membantu dalam bidang pemantauan, pemanfaatandan pengendalian
bahaya nuklir.
36. BATAN membantu dalam bidang pemantauan, pemanfaatan danpengendalian
bahaya akibat tenaga atom.

Gambar berikut adalah contoh matriks pembagian tugas penanggulangan bencana


secara sederhana.
Page 41

Gambar 11 : Contoh Matriks Penyelenggara Penanggulangan Bencana (BNPB, 2012)

2.7 PENGALAMAN PENANGGULANGAN BENCANA DI INDONESIA

2.7.1 Pengalaman kejadian bencana Indonesia

Indonesia adalah negara rawan bencana. Berbagai bencana telah terjadi di


Indonesia mulai dari gempa dan tsunami Aceh 2004, gempa Bantul/Jogja 2006,
Tsunami Pangandaran, 2006, Banjir Jakarta 2007, gempa Sumbar 2009 dan
sebagainya. Berbagai kejadian bencana ini telah mengakibatkan korban jiwa
manusia, kerusakan dan kerugian yang sangat besar bagi bangsa Indonesia.Tabel 2
memperlihatkan perbandingan dampak bencana dari kejadian bencana tersebut.

Table 2 : Perbandingan dampak bencana (korban jiwa, kerusakan dan kerugian) dari bencana besar di
Indonesia (Pribadi, 2012)

Kejadian Bencana Waktu Bencana Korban Jiwa dan Kerusakan Kerugian


Gempa dan Tsunami 26 Desember 2004 165,708 meninggal 4,450 million USD
Aceh
Gempa Jogja Mei 2006 5,716 meninggal dan156,662 3,134 million USD
rumah rusak
Tsunami Juli 2006 645 meninggal dan1,908 138.7 million USD
Pangandaran rumah rusak
Banjir Jakarta Februari 2007 145,742 rumah tergenang 967 USD
Gempa Sumbar 30 September 2009 1.119 meninggal dan250.578 2.219 million USD
rumah rusak
Page 42

Berikut ini adalah contoh dua penanganan kejadian bencana di Indonesia yaitu
Gempa dan Tsunami Aceh 2004 serta Gempa Jogja Mei 2006.

Gempa dan Tsunami Aceh 2004


Tsunami Aceh 2004 didahului oleh gempa dahsyat yang terjadi tepatnya tanggal 26
Desember 2006 pukul 00:58:50.76 AM (GMT) atau 07.58 WIB.Magnitude gempa
adalah M=9.0 pada hypocenter dengan kedalaman 30 km dibawah permukaan laut.
Epicenter gempa berlokasi pada 3.3160 LU, 95.8540BT, sekitar 149 km selatan Kota
Meulaboh dan 250 km sebelah utara Kota Banda Aceh, Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) (Sumber : USGS).

Bencana besar ini telah menjadi perhatian dunia internasional karena merupakan
bencana global terbesar dalam abad ini. Tugaspenanganan bencana besar ini telah
dilakukanoleh berbagai pihak nasional dan internasional.PemerintahIndonesia,
militer, ribuan orang Indonesiadarisemua lapisan masyarakat,
lembagainternasional, pemerintah asingdan LSM berkontribusi besar dalam upaya-
upaya tanggap darurat bencana seperti memberi makan dan memberikan
perlindungan kepada pengungsi, membersihkanpuing-puinguntuk memungkinkan
aksesdan memastikan bahwajalur pasokanlogistikutamabisa terbuka seperti
untukbantuan pangan, air, obat-obatandan sejenisnya.

Sebelum terjadinya peristiwa gempa dan tsunami Aceh ini tidak ada sama sekali
upaya-upaya pencegahan dan mitigasi yang dilakukan sampai terjadi bencana
dahsyat di bumi Aceh sehingga jumlah korban, kerusakan dan kerugian menjadi
sangat besar. Kerusakan dan kerugian gempa dan tsunami Aceh dapat dilihat pada
table berikut ini:

Table 3: Kerusakan dan kerugian gempa dan tsunami Aceh, 2004 dalam billions USD
(Sumber: Bappenas, 2005)
Page 43

Proses tanggap darurat di Aceh berlangsung sekitar 3-4 bulan. Dengan skala
bencana dan kerusakan yang dahsyat, muncul kepanikan dan ketidakpastian.
Ketiadaan koordinasi dan komando yang jelas dan tegas menyebabkan semua pihak
melakukan upaya secara sporadis, melakukan semuanya sendiri, sesuai dengan apa
yang dapat dilakukan. Terputusnya hubungan komunikasi dan jalur perhubungan
menyebabkan banyak wilayah tidak segera mendapatkan bantuan.

Kelangkaan alat-alat berat juga menyebabkan proses evakuasi korban menjadi


lama, bahkan sampai beberapa minggu setelah bencana masih banyak mayat yang
tidak sempat dievakuasi, diidentifikasi dan dimakamkan. Selain itu persoalan
keamanan yang belum jelas di Aceh juga menambah sulit dan kompleksnya
pemberian bantuan dalam masa tanggap darurat.

Kapasitas pemerintah daerah Aceh dalam proses tanggap darurat bencana saat itu
lumpuh total dan upaya tanggap darurat mengandalkan sukarelawan dari luar
Page 44

daerah bahkan luar negeri. Kegiatan tanggap darurat Aceh terdiri dari lima
kegiatan yaitu :
1. Kegiatan utama dan pertama yang dilakukan saat itu adalah pertolongan
pertama pada korban yang segera membutuhkan pengobatan baik karena luka
dan membutuhkan bahan makanan.
2. Pencarian, pengumpulan, pembersihan dan penguburan mayat-mayat korban
tsunami.
3. Perbaikan sarana-prasarana dasar yang segera diperlukan khususnya
komunikasi, perhubungan, listrik dan air minum.
4. Bantuan shelter berupa tenda-tenda dan terpal-terpal.
5. Bantuan psikologis kepada korban bencana.

Proses tanggap darurat tersebut mengalami beberapa hambatan seperti jumlah


yang tidak seimbang antara yang memerlukan pertolongan dan mereka yang dapat
membantu, hal ini mengakibatkan terdapat korban meninggal karena tidak
mendapat pertolongan medis yang cepat. Selain itu jumlah korban yang banyak
dan tersebar dalam cakupan geografis yang sangat luas dan kondisi yang hancur
akibat bencana.Pada saat itu juga muncul persoalan penguburan mayat yang harus
berdasarkan syariat islam, namun hal ini dapat diselesaikan dengan peran MUI yang
memberikan fatwa diperbolehkannya penguburan massal karena kondisi darurat.

Sarana dan prasarana yang rusak seperti jaringan komunikasi, jalan, jembatan,
pelabuhan laut dan udara mempersulit proses tanggap darurat bencana yaitu
menghambat proses pertolongan pertama pada korban, mempersulit proses
pertolongan kesehatan, evakuasi mayat, dan bantuan makanan.

Sementara proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh diawali dengan penyusunan


Dokumen Blue Print Rehab/rekon di Aceh dan Nias yang disiapkan oleh Bappenas.
Dalam dokumen dijelaskan secara rinci dan komprehensif tentang besaran dan
jenis kerusakan dan kerugian yang diakibatkan Tsunami dan direncanakan berbagai
program aksi untuk rehabilitasi dan rekonstruksinya, beserta kebutuhan
dananya.Rencana ini menjadi panduan program rehab rekon yang dalam
Page 45

pelaksanaannya kemudian dikoordinasikan oleh Badan Rehabilitasi dan


Rekonstruksi Aceh Nias (BRR).

Sesuai Blue Print Rencana Aksi Program Rehab Rekons di Aceh, diperlukan total
dana sebesarUS $ 6,1 milyar yang terdiri dari beberapa program. Program pertama
adalah perumahan dimana perlu dibangun sekitar 110.000 rumah baru, program
kedua adalah pembangunan kembali kembali sarana-prasarana permukiman dan
wilayah termasuk berbagai bangunan dan fasilitas umum yang melibatkan dana
sebesar 300 juta US $.Program selanjutnya adalah dibidang pelayanan social
khususnya pendidikan dan kesehatan.Sektor produktif juga mendapat perhatian
dalam program rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh.Program lainnya adalah program
penataan kembali pola, pemilikan dan sertifikasi tanah.

Gambar 12 : Tantangan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh (BRR, 2005)

Gempa Yogyakarta Mei 2006

Gempa Yogjakarta terjadi pada tanggal 27 Mei 2006, pukul 22:54:1.18 (UTC) atau
pukul 05:55 (WIB) waktu setempat, dengan moment magnitude Mw = 6.3 dengan
kedalaman 17 Km pada posisi 7.977 Lintang Selatan dan 110.318 Bujur Timur
(Sumber : USGS), sekitar 25 km sebelah selatan Jogjakarta.
Page 46

Gempabumi ini mengakibatkan kerusakan berbagai prasarana dan sarana fisik serta
lebih dari 6000 orang korban jiwa manusia di Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta
(DIY) dan Jawa Tengah (Jateng).

The image cannot be display ed. Your computer may not hav e enough memory to open the image, or the image may hav e been corrupted. Restart y our computer, and then open the file again. If the red x still appears, y ou may hav e to delete the image and then insert it again.

Gambar 13 : Kerusakan dan Kerugian Gempa Yogja 2006 (Bappenas, Pemprov DIY, 2006)

Masyarakat dan Pemerintah Yogyakarta khususnya Slemansebenarnya sudah


memiliki kesiapan dalam menghadapi bencana yaitu Gunung Merapi. Sudah
bertahun-tahun pemerintah menyiapkan system dan mekanisme untuk merespon
meletusnya gunung Merapi. Namun di luar dugaan yang terjadi justru adalah
gempa dari selatan Jogja yang merupakan gempa tektonik.Gempa yang terjadi di
Jogja adalah situasi yang benar-benar tidak siaga dalam menghadapi bencana.

Dalam situasi ketidaksiapan menghadapi bencana dalam skala besar, yang akhirnya
bergerak cepat, meskipun sumber daya seadanya adalah masyarakat lokal. Pada
jam-jam pertama setelah gempa, warga masyarakat terlibat aktif dalam proses
pencarian, evakuasi dan penyelamatan korban.Proses ini terhambar karena adanya
isu tsunami setelah gempa, dimana banyak warga berhamburan melarikan diri
kearah utara, sesuatu yang tidak perlu terjadi seandainya masyarakat
mendapatkan informasi dan pengetahuan yang cukup mengenai gempa dan
tsunami.
Page 47

Pemerintah relatif tidak dapat memberikan tindakan tanggap darurat yang


memadai pada jam pertama gempa. Pemerintah Bantul saat itu tidak mempunyai
kapasitas dan sumber daya untuk melakukan pertolongan pertama.Respon tanggap
darurat saat itu dilakukan begitu saja, mengalir, sporadis dan tanpa koordinasi dan
komando yang jelas.

Selang sehari setelah gempa, Presiden SBY memindahkan kantornya ke Jogja dan
selama empat hari melakukan koordinasi langsung di Jogja.

Jenis-jenis kegiatan yang dilaksanakan pada masa tanggap darurat dan pemulihan
meliputi utamanya penyelamatan jiwa dengan rincian kegiatan sebagai berikut :
(1) penyelamatan korban; (2) penanganan korban luka-luka; (3) pembentukan tim
tanggap darurat; (4) pembentukan pusat-pusat layanan; (5) distribusi suplai logistic
(tenda dll); (6) penyediaan hunian sementara; (7) penguatan jalur distribusi; (8)
pendataan korban dan kerugian; (9) pendampingan psikologis; dan (10) persiapan
program rehabilitasi dan rekonstruksi.

Secara keseluruhan, masa tanggap darurat di Jogja tersebut berlangsung selama


sekitar dua bulan dari 27 Mei sampai akhir Juli 2006.

Rencana rehab/rekon Jogja tertuang dalam tiga dokumen yaitu (1) Rencana Induk
Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi Akibat Bencana Alam Gempa Bumi di DIY
Jogja Bangkit yang disiapkan oleh Pemprov DIY dan Mitra Manajemen Jogja
Bangkit; (2) Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Paska Bencana di Daerah
Istimewa Yogyakarta yang disiapkan oleh Bappeda Propinsi DIY; (3) Rencana Aksi
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Yogyakarta dan Jawa Tengah yang disiapkan oleh
Bappenas.

Program rehab rekon membutuhkan dana sebesar 29,1 trilyun rupiah dengan focus
pelaksanaan pada beberapa program. Program pertama adalah program perumahan
dengan tantangan membangun kembali rumah sebanyak paling tidak 200.000
unit.Kemudian proram rekonstruksi bidang sosial, khususnya aspek kesehatan dan
Page 48

pendidikan.Program pelayanan social yang penting dicatat selama rehab rekons di


Jogja adalah pendampingan bagi orang yang cacat dimana beberapa donor dan LSM
memberikan pendampingan dan bantuan khusus bagi orang cacat meliputibantuan
alat, maupun pembangunan rumah.

Model dan mekanisme rekonstruksi pembangunan rumah yang efektif dan efisien
telah diberlakukan di Jogjakarta yaitu rekonstruksi berbasis masyarakat melalui
kelompok masyarakat atau POKMAS.Skema, organisasi pelaksana dan langkah
program rehabilitasi dan rekonstruksi rumah paska gempa Yogya 2006, dapat
dilihat pada gambar-gambar berikut:

Gambar 14: Skema Program Rehab Rekon Rumah (Satker Rehab Rekon Rumah DIY)
Page 49

Gambar 15 : Organisasi Pelaksanaan Program Rehab Rekon Rumah (Satker Rehab Rekon Rumah DIY)

Gambar 16 : Langkah-Langkah Pelaksanaan Program Rehab Rekon Rumah (Satker Rehab Rekon Rumah DIY)
Page 50

Meski terdapatbeberapa hambatan dalam pelaksanaan rekonstruksi berbasis


masyarakat yaitu (1) keterlambatan pencairan dan penerimaan dana ke Pokmas (2)
ketersediaan tenaga dan material; (3) kesulitan pengurusan IMB dan gambar
rencana (4) kurang optimalnya fasilitatordan (5) persoalan koordinasi dalam
Pokmas, namun proses rekonstruksi rumah berbasis masyarakat terbukti cukup
berhasil. Hanya dalam waktu setahun setelah gempa telah berhasil dibangun 80%
unit rumah dengan bantuan hanya 15 juta rupiah. Proses rekonstruksi berbasis
masyarakat telah menghasilkan sesuatu yang baik dan bisa dijadikan best practise
program rekonstruksi bencana di berbagai tempat.

2.7.2 Lesson Learned Dari Pengalaman Penanganan Bencana Di


Indonesia

Penanganan bencana di Aceh dan Jogja menyadarkan betapa banyaknya aktor-


aktor dan lembaga yang sangat peduli terhadap setiap kejadian bencana baik dari
luar negeri, dalam negeri dan juga daerah dan komunitas sendiri. Aktor-aktor dan
lembaga-lembaga ini secara spontan, sporadis dan berduyun-duyun datang di
daerah bencana dan langsung memberikan berbagai bentuk bantuan, tindakan yang
diperlukan oleh korban bencana. Berbagai aktor dan lembaga ini dapat
dikelompokkan menjadi empat jenis yakni (1) lembaga internasional; (2) lembaga
nasional; (3) lembaga regional; dan (4) lembaga lokal.

Di Aceh kedatangan berbagai lembaga internasional ini memberikan respon positif


dari aspek proses globalisasi dan memfasilitasi proses solidaritas global. Hal ini
telah memfasilitasi keterbukaan dan jaringan masyarakat Aceh dengan pihak luar
melewati batas-batas negara, suku dan agama.

Selain itu di Aceh telah dibentuk badan khusus yakni Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Aceh dan Nias (BRR) yang mempunyai tugas utama membangun
kembali sumber-sumber penghidupan dan prasarana serta memperkuat masyarakat
di Aceh dan Nias dengan memimpin pelaksanaan dan program rekonstruksi dan
pembangunan yang terkoordinasi.
Page 51

Di Jogja, proses koordinasi program rehab/rekon diupayakan ditingkatkan melalui


pembentukan Tim Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Bencana
Gempa Bumi di Propinsi DIY dan Jawa Tengah. Tim ini dibentuk dengan Kepres No.
9/2006 dan dibentuk Tim Pengarah dan Tim Pelaksana. Tim Pengarah diketuai oleh
Menko Bidang Perekonomian dengan wakil ketua Menko Kesra dan mempunyai 12
anggota terdiri dari 10 kementerian yang terkait dan Gubernur DIY dan Jateng.
Sementara Tim Pelaksana rehab/rekon langsung diketuai Gubernur yang
mempunyai kewenangan untuk menggerakkan seluruh aparat di wilayahnya untuk
melaksanakan seluruh program rehab/rekon.

Beberapa kemungkinan mengapa Indonesia tidak mempunyai kesiapan dalam


antisipasi bencana terutama kedua bencana Aceh dan Jogjakarta adalah sebagai
berikut:
1. Kondisi sosial, politik dan ekonomi Indonesia yang masih belum stabil. Sumber
daya yang ada diorientasikan untuk berbagai upaya pengentasan dari kiris
ekonomi, transformasi politik dan sosial. Khususnya di Aceh, konflik pemerintah
pusat dengan GAM menjadi tambahan permasalahan sehingga upaya-upaya
mitigasi terhadap bencana menjadi sangat terbatas
2. Kondisi sebagian besar masyarakat yang masih dan cenderung tidak memiliki
perspektif jangka panjang. Perspektif untuk melakukan upaya-upaya
pencegahan dan mitigasi bencana masih jarang dan masih terbatas dimiliki oleh
masyarakat Indonesia.
3. Sikap dan pandangan sebagian besar masyarakat Indonesia yang melihat
kejadian bencana sebagai suatu takdir semata sehingga tidak ada upaya-upaya
untuk mengantisipasi dan melakukan upaya-upaya mitigasi terhadap
kemungkinan bencana
4. Sistem pendidikan yang belum benar-benar memasukkan isu bencana kedalam
satu bentuk pengetahuan yang harus diketahui masyarakat terutama yang
tinggal di wilayah bencana
5. Tidak adanya leadership yang secara sadar dan konsisten menggugah kesadarah
kolektif bangsa ini untuk waspada terhadap segala bentuk bencana.
Page 52

Ketidakpedulian pemimpin bangsa kemungkinan menyebabkan seluruh negeri


juga tidak concern terhadap isu penanggulangan bencana.

Dari pengalaman penanganan bencana di Indonesia, beberapa pembelajaran yang


dapat diambil seperti yang dinyatakan oleh Presiden SBYdalam International
Conference "Lessons from Indonesia's Experience in Reconstruction and
Preparedness" yang diselenggarakan di Jakarta, tanggal 12 November 2012adalah:

o Pentingnya kecepatan dan ketepatan dalam pengelolaan bencana,


mengedepankan sense of urgency.
o Pentingnya sharing informasi dan komunikasi publik yang cepat, akurat dan
tepat. Hal ini mendukung penyaluran bantuan yang terbuka dan tepat sasaran.
o Pentingnya koordinasi pada seluruh tahapan penanggulangan, mulai respon
tanggap darurat hingga rehabilitasi dan rekonstruksi.
o Pentingnya kepemimpinan.
o Pentingnya mekanisme pendanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi
yang transparan, dan professional.
o Kesiapsiagaan yang bertumpu pada kemampuan sumber daya manusia,
partisipasi masyarakat, dan alat-alat penunjang, agar mitigasi bencana dapat
dilakukan secara cepat dan maksimal.

III. Rangkuman

Modul ini memberikan gambaran umum dari sistem penanggulangan bencana di


Indonesia.Perjalanan panjang Indonesia dalam membangun sistem ini diawali
dengan adanya kejadian bencana dahsyat yaitu gempa dan tsunami Aceh pada
tanggal 24 Desember 2004.Sejak saat inilah Indonesia mulai disadarkan pada
pentingnya sistem penanggulangan bencana yang terpadu dan menyeluruh, yang
tidak hanya berfokus pada saat bencana saja namun juga sebelum dan setelah
bencana.

Lahirnya UU no.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana mencirikan adanya


perubahan mendasar dalam paradigma penanggulangan bencana di
Indonesia.Perubahan dari sistem lama menjadi sistem baru terlihat dari berbagai
Page 53

aspek mulai dari dasar hukum, kelembagaan, peran masyarakat, pembagian


tanggung jawab, perencanaan pembangunan dan sebagainya.

Berdasarkan UU baru tersebut, terdapat enam (6) komponen utama system


penanggulangan bencana yaitu legislasi, perencanaan, kelembagaan, pendanaan,
peningkatan kapasitas dan penyelenggaraan penanggulangan bencana.Masing-
masing komponen ini memberikan gambaran utuh dari keseluruhan system
penanggulangan bencana di Indonesia yang ada saat ini.

Dari sisi kelembagaan, selain institusi formal yaitu BNPB/BPBD yang menjadi focal
point penanggulangan bencana di Indonesia, mulai juga bermunculan inisiatif dan
platform-platform yang mendukung penyelenggaraan penanggulangan bencana di
Indonesia. Inisiatif/platform ini terbentuk baik di tingkat nasional maupun daerah.
Di tingkat nasional antara lain Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana
(Planas PRB), Forum Perguruan Tinggi Pengurangan Risiko Bencana (FPT PRB),
danKonsorsium Pendidikan Bencana (KPB). Sementara di tingkat daerah forum PRB
tingkat provinsi, diantaranya Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Sumatera Barat,
Sumatera Utara, Bengkulu, DI Yogyakarta, NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,
Bali, dan Kalimantan Timur. Forum-forum tematik di tingkat daerah juga sudah
terbentuk antara lain Forum Merapi, Forum Citarum, Forum Semeru. Adanya
inisiatif/platform tersebut diharapkan akan meningkatkan kualitas penanggulangan
bencana di Indonesia.

Indonesia telah mengalami banyak kejadian bencana.Berbagai kejadian bencana ini


telah mengakibatkan korban jiwa, kerusakan dan kerugian yang sangat besar.
Beberapa kejadian bencana yang mungkin masih melekat dalam ingatan adalah
bencana gempa dan tsunami Aceh 2004, gempa Jogja 2006, Tsunami Pangandaran
2006, banjir Jakarta 2007, Gempa Sumbar 2009 dan sebagainya. Dua contoh kasus
penanganan bencana ditampilkan dalam modul ini yaitu gempa tsunami Aceh 2004
dan gempa Jogja 2006.Dari dua contoh kasus ini kita dapat belajar bagaimana
penanganan bencana di Indonesia masih harus diperbaiki dan ditingkatkan
terutama bagaimana pentingnya kesiapan sebelum terjadi bencana. Pembelajaran
yang dapat diambil dari berbagai penanganan bencana di Indonesia seperti yang
Page 54

disampaikan oleh Presiden SBY dalam International Conference "Lessons from


Indonesia's Experience in Reconstruction and Preparedness" yang diselenggarakan
di Jakarta, tanggal 12 November 2012 adalah: (1) Pentingnya kecepatan dan
ketepatan dalam pengelolaan bencana, mengedepankan sense of urgency; (2)
Pentingnya sharing informasi dan komunikasi publik yang cepat, akurat dan tepat.
Hal ini mendukung penyaluran bantuan yang terbuka dan tepat sasaran; (3)
Pentingnya koordinasi pada seluruh tahapan penanggulangan, mulai respon tanggap
darurat hingga rehabilitasi dan rekonstruksi; (4) Pentingnya kepemimpinan; (5)
Pentingnya mekanisme pendanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi
yang transparan, dan professional (6) Kesiapsiagaan yang bertumpu pada
kemampuan sumber daya manusia, partisipasi masyarakat, dan alat-alat
penunjang, agar mitigasi bencana dapat dilakukan secara cepat dan maksimal.

IV. BAHAN KERJA KELOMPOK

4.1 Pembagian Kelompok


Peserta dibagi ke dalam beberapa kelompok berdasarkan daerahnya masing-
masing (menjadi empat kelompok yaitu Kabupaten Bogor, Kabupaten
Cianjur, Kabupaten Sukabumi dan Provinsi Jawa Barat)
Masing-masing kelompok dapat menunjuk salah satu anggotanya untuk
menjadi ketua kelompok untuk mengatur proses jalannya diskusi serta juru
bicara kelompok yang akan mempresentasikan hasil dari diskusi kelompok

4.2 Waktu Diskusi Kelompok:


Waktu keseluruh dari kerja kelompok ini adalah selama 3 jam (180 menit)
yang terdiri dari :
o Proses diskusi kelompok selama 1,5 jam/90 menit
o Presentasi kelompok dimana masing-masing kelompok maksimal
memiliki waktu 10 menit untuk mempresentasikan hasil diskusi (Total
40menit)
o Tanya Jawab : masing-masing kelompok diminta memberikan minimal
1 pertanyaan kepada kelompok lainnya (total 40 menit)
o Review/komentar dari narasumber/pembicara terhadap keseluruhan
presentasi kelompok (10 menit)
Page 55

4.3 Proses Diskusi


Peserta diminta untuk melakukan diskusi kelompok dengan tema menyusun
bagaimana sistem penanggulangan bencana di daerah masing-masing yang
saat ini berjalan
Dengan bekal data kebencanaan dan profil daerah yang telah dibawa
masing-masing peserta, diskusi kelompok diarahkan dengan menjawab
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Peraturan-peraturan daerah apa saja yang sudah ada terkait
penanggulangan bencana di daerah masing-masing
2. Menyebutkan dan memberikan gambaran umumisi dari rencana-
rencana yang ada di daerah yang sudah memasukkan isu-isu
penanggulangan bencana
3. Menyebutkan dan memberikan gambaran umum mengenai forum-
forum yang sudah terbentuk di daerahnya terkait penanggulangan
bencana/pengurangan risiko bencana
4. Mengkaji ulang dan mengintegrasikan upaya-upaya penanggulangan
bencana yang sudah ada di masing-masing instansi di daerahnya
kedalam suatu rencana penanggulangan bencana yang utuh yang
meliputi semua tahapan bencana (pra bencana, saat bencana dan
paska bencana). Termasuk dalam item ini adalah :
bagaimana koordinasi dalam setiap tahapan bencana
bagaimana pendanaan masing-masing kegiatan
Page 56

DAFTAR PUSTAKA

1. Bappenas, 2008, Telaah Sistem Penanggulangan Bencana di Indonesia


(Kebijakan, Strategi dan Operasi)
2. BNPB, 2012, Buku Panduan Fasiltiator :Modul Pelatihan Dasar Penanggulangan
Bencana, Diterbitkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional
Cetakan Pertama.
3. BNPB, 2008, Implementation of Disaster Risk Reduction in Indonesia 2007-2008
4. BNPB, 2010, Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014
5. KPB, 2011, Profil Konsorsium Pendidikan Bencana Indonesia
6. Pribadi, K.S., 2012, Disaster Management in Indonesia, Special Lectures on
Development for Construction of Disaster Resilient Countries, Kyoto
University, 16-26 August 2012.
7. Pribadi, K.S., 2012, Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan
Rencana Aksi (RA), Pelatihan Mitigasi Bencana Angkatan I, Bappenas-SAPPK ITB,
Bandung, 17-28 September 2012
8. Setiawan, B., 2007, Pelajaran dari Yogya dan Aceh, Kapasitas Tata Kelola
Resiko Bencana, Partnership for Government Reform - Yogyakarta
9. SCDRR, Bappenas, UNDP, 2008, Laporan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Aksi
Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) Tahun 2007-2008
10. Sriutomo, S., 2007, Sistem Nasional Penanggulangan Bencana, Menuju Upaya
Penanggulangan Bencana yang Tepat Di Indonesia Berdasarkan UU No. 24 Tahun
2007

Perundangan dan perangkat hukum


1. UU No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana
2. PP No. 21/2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
3. Perka BNPB No. 17/2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi
dan Rekonstruksi
4. Perka BNPB No.24/2010 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Operasi Darurat
Bencana
Page 57

Situs Internet
1. Beritajatim.com : BNPB Minta Jatim Bentuk Forum Pengurangan Risiko Bencana,
Selasa 26 Februari 2013
2. Prbdiy.net : Profil Forum PRB DIY
3. Ftbibencana.blogspot.com : Forum Semeru
4. www.bnpb.go.id
5. Sindonews.com : Normaliasi sungai, Jabar bentuk Fordas Citarum, 6 Februari
2013
6. Kompas.com : Indonesia Beri Pelajaran Penanganan Bencana Pada Dunia, 12
November 2012

Anda mungkin juga menyukai