Abstract
Disaster mitigation is the initial phase of disaster management more leads to disaster risk reduction for
disaster-prone areas to reduce the larger impact caused by natural disasters. The purpose of this study
discusses disaster mitigation policies in disaster-prone areas in terms of medium-term Regional
development plan (RPJMD) in Pacitan Ponorogo and Trenggalek regency. The descriptive method was
chosen to provide the description about mitigation of disaster-prone areas in the further theoretical and
comparative analysis of secondary data document RPJMD. The results showed, disaster mitigation
conceptually as output, disaster-prone areas of empirical conditions as input, process the Executive and the
legislature as a process in the public policy cycle. In addition, disaster mitigation included in the agenda of
the policy in the RPJMD, Pacitan Ponorogo and Trenggalek Regency through development programs of
prevention and disaster preparedness to enhance the capacity of local governments in the face of natural
disasters.
Volume 3, Nomor 2, Oktober 2018 PUBLISIA: Jurnal Ilmu Administrasi Publik | 123
secara teoritis ini akan dipadukan dalam konseptual (conceptual approach). Pendekatan
kerangka pembangunan Jawa Timur di ini dibahas dengan menghubungkan konsep
daerah yang rawan bencana meliputi mitigasi bencana dengan teori siklus kebijakan
Kabupaten Pacitan, Kabupaten Ponorogo dan public; dan 2). Pendekatan komparatif
Kabupaten Trenggalek dilihat dari Rencana (comparative approach) dengan
Pembangunan Jangka Menengah Daerah di membandingkan agenda kebijakan mitigasi
masing-masing Kabupaten Tersebut. bencana di daerah rawan bencana melalui
Menurut data dari Informasi Kinerja Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Pengelolaan Lingkugan Hidup Daerah Jawa Daerah di Kabupaten Pacitan, Ponorogo dan
Timur Tahun 2016 ketiga kabupaten tersebut Trenggalek.
terdapat desa paling banyak rawan tanah
longsor, termasuk kategori daerah rawan KAJIAN PUSTAKA
banjir dan rawan gempa bumi, untuk bencana Mitigasi Bencana dan Kebijakan Publik
tsunami terdapat di Kabupaten Pacitan dan Kejadian bencana tak luput dari kajian
Kabupaten Trenggalek, dan ketiga Kabupaten kebijakan publik karena menyangkut
termasuk kategori rawan kekeringan yang tindakan yang harus dilakukan atau yang
tinggi. Dipilihnya ketiga Kabupaten tersebut tidak dilakukan (do or not to do) oleh
dikarenakan Kabupaten Pacitan secara pemerintah. Pasal 1 (9) UU 24/ 2007 Tentang
empiris mengalami kejadian bencana alam Penanggulangan Bencana, mitigasi bencana
yang cukup besar di akhir tahun 2017 didefinisikan sebagai; “Upaya untuk
sehingga peneliti melihat dari aspek mitigasi mengurangi risiko bencana, baik melalui
(pengurangan dampak) bencana sebagai pembangunan fisik maupun penyadaran
upaya preventif pemerintah daerah terhadap dan peningkatan kemampuan menghadapi
bencana kemudian dibandingkan dengan ancaman bencana”. Berdasarkan atas
Kabupaten terdekat yaitu Kabupaten pemahaman pada ketentuan pasal di atas
Ponorogo dan Kabupaten Trenggalek. maka mitigasi bencana terbagi atas 2 (dua)
pola: (1) Mitigasi struktural: upaya untuk
METODE meminimalkan bencana yang dilakukan
Kajian ini menggunakan metode melalui pembangunan berbagai prasarana
deskriptif yang bertujuan melukiskan secara fisik dan menggunakan pendekatan
sistematis fakta atau karakteristik populasi teknologi (seperti pembuatan kanal khusus
tertentu secara faktual dan cermat untuk untuk pencegahan banjir, alat pendeteksi
memperoleh gambaran sacara umum aktivitas gunung berapi, bangunan yang
mengenai suatu peristiwa. Teknik bersifat tahan gempa, ataupun Early Warning
pengumpulan data dari peneltian ini yaitu System yang digunakan untuk memprediksi
melalui data sekunder yaitu berbagai literatur terjadinya gelombang tsunami). Dan (2)
yang relevan dengan topik penelitian, jurnal, Mitigasi non-struktural: upaya mengurangi
dan dokumen RPJMD masing-masing dampak bencana, selain dari upaya fisik
Kabupaten. Pendekatan yang digunakan sebagaimana yang ada pada mitigasi
untuk membahas yakni 1) Pendekatan struktural.
124 | PUBLISIA: Jurnal Ilmu Administrasi Publik Volume 3, Nomor 2, Oktober 2018
Dalam mitigasi non struktural dapat permasalahan terkait pendefinisian dan
dilakukan dengan pembuatan tata ruang kota, memasukkan masalah ke agenda, selanjutnya
capacity building masyarakat, legislasi, kebijakan dikembangkan, diadopsi dan
perencanaan wilayah, dan asuransi. diimplementasikan dan akhirnya kebijakan
Kebijakan mitigasi baik yang bersifat dinilai menurut efektivitas dan efisiensi secara
struktural maupun yang bersifat non berulang/diulangi sebagai suatu siklus.
struktural harus saling terintegrasi. Penilaian secara berulang tersebut kemudian
Pemanfaatan teknologi untuk memprediksi, menjadi siklus kebijakan. Perspektif siklus
mengantisipasi dan mengurangi risiko menekankan pada proses (lingkaran) umpan
terjadinya suatu bencana harus diimbangi balik antara output dan input pembuat
dengan penciptaan dan penegakan kebijakan) yang menyebabkan siklus
perangkat peraturan yang memadai yang kebijakan publik tidak berhenti. Sistem
didukung oleh rencana tata ruang yang penganggulangan bencana semula bersifat
sesuai. responsif saat bencana (sebagai output)
Sebagai acuan teoritis pemaduan antara berdampak luas pada masyarakat luas dan
mitigasi bencana dengan siklus kebijakan akan berubah menjadi input (tuntutan dan
publik maka penulis memilih teori siklus dukungan) pada proses kebijakan selanjutnya
David Easton (dalam Fischer dkk, 2014: 63). yaitu mitigasi (pencegahan).
Secara ringkas, teori siklus merupakan model Kontribusi model input-ouput ini juga
proses dari kebijakan publik yang memberikan kontribusi pada diferensiasi
disederhanakan dimulai oleh Lasswell (1956). lebih lanjut proses kebijakan. Secara eksplisit,
Lasswell mengemukakan bahwa proses ketika keputusan ingin mengadopsi tindakan
kebijakan terdapat tujuh tahap yakni mitigasi bencana tertentu maka fokus
kecerdasan, promosi, rumusan, seruan, tindakan mitigasi tersebut harus diperluas
penerapan, penghentian dan penilaian. Model lagi mencakup pelaksanaan/ tindakan
tersebut telah berhasil sebagai kerangka dasar mitigasi, reaksi kelompok yang terkena
bidang studi kebijakan dan menjadi titik awal dampak bencana dan dampak yang lebih luas
dari berbagai tipologi proses kebijakan lagi semisal pada sektor sosial. Selain itu efek
meskipun terdapat pertentangan: tahap samping (konsekuensi yang tidak diinginkan)
penghentian mendahului penilaian. dari mitigasi bencana adalah faktor yang
Setelahnyastudi kebijakan mengalami perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
perkembangan hingga sampai saat ini Oleh karena itu, mitigasi bencana
penggambaran proses kebijakan lebih umum merupakan sebuah tuntutan bagi
dikenal melalui penyusunan agenda, daerah/kabupaten yang memiliki tingkat
perumusan kebijakan, pengambilan kerawanan bencana rendah hingga tingkat
keputusan, pelaksanaan dan evaluasi. kerawanan yang tinggi. Secara umum mitigasi
Evaluasi disini adalah mendorong bencana belum menjadi sebuah keharusan
pemberhentian suatu kebijakan. sebagai prioritas pembangunan. Kenihilan
Easton dengan teori siklus kebijakan tersebut bisa dilihat melalui visi dan misi
melihat tahap kebijakan merupakan sebuah pembangunan dari daerah yang memiliki
Volume 3, Nomor 2, Oktober 2018 PUBLISIA: Jurnal Ilmu Administrasi Publik | 125
potensi rawan bencana. Dengan kemungkinan terdapat proses kebijakan awal
mempertimbangkan aspek mitigasi bencana dan akhir yang kurang jelas.
berarti mitigasi bencana juga sebagai proses Pada saat yang bersamaan, mitigasi
kebijakan evaluatif yang menyebabkan bencana dikaji ulang, dikontrol, dimodifikasi,
perumusan ulang kebijakan (Faturahman, bahkan bisa dihentikan, mitigasi bencana bisa
2017). Meskipun secara teoritis saja terus-menerus dirumuskan, dilaksanakan,
penanggulangan bencana memiliki tahap dievaluasi dan disesuaikan. Tetapi proses ini
sendiri yaitu; prabencana-tanggap darurat- tidak terjadi dan berkembang pada urutan
pasca bencana. Konsep ini cukup jelas dalam yang jelas melainkan tahap-tahapnya terus
mengevaluasi tindakan yang seharusnya bercampur dan terikat dalam proses yang
dilakukan akan tetapi tidak menutup berkelanjutan. Berikut dipaparkan kejelasan
mitigasi bencana dalam siklus kebijakan:
Gambar 1.
Mitigasi Bencana dalam Perspektif Siklus Kebijakan
126 | PUBLISIA: Jurnal Ilmu Administrasi Publik Volume 3, Nomor 2, Oktober 2018
masalah sosial dikenali dan ditangkap dalam Implementasi, merupakan tahap
agenda publik. eksekusi atau pelaksanaan kebijakan oleh
Langkah penting dalam proses lembaga yang bertanggungjawab dan
penetapan agenda ini adalah berubahnya organisasi yang sering melakukannya namun
pengenalan isu (sering diungkapkan oleh tidak menjadi bagian dari sektor publik.
kelompok kepentingan atau aktor-aktor yang Implementasi kebijakan diartikan secara luas
terkena dampak) menjadi agenda politik sebagai “apa yang terjadi antara penetapan
formal. Langkah ini meliputi beberapa sub tujuan yang secara jelas berada di pihak
tahap dimana dilakukan pilihan isu-isu pemerintah untuk melakukan suatu tindakan
selanjunya jika kapasitas pengenalan masalah atau berhenti melakukan dan dampak utama
dan pemecahan masalah tidak memadai. dari tindakannya”. Tahap ini menempatkan
Ringkasnya, sebuah isu dapat masuk ke posisi politik dan administrasi di garis depan
dalam agenda publik bukan dari masalah yang sangat sulit dikendalikan secara
objektif (contoh: kebijakan lingkungan-polusi sempurna oleh tujuan, program, hukum dan
udara) melainkan pendefinisian yang masuk lainnya. Oleh karena itu maksud
akal akan masalah dan penciptaan gambar implementasi sering terjadi perubahan
kebijakan tertentu yang memungkinkan (bahkan terdistorsi), tertunda atau dihalangi
menghubungkan solusi tertentu pada masalah sepenuhnya. Adapun proses ideal
tersebut. Variabel inilah yang implementasi kebijakan mencakup: a)
diidentifikasikan sebagai variabel kunci bisa Spesifikasi rincian program (bagaimana dan
mempengaruhi penetapan agenda. oleh lembaga mana program harus
Perumusan kebijakan dan pengambilan dilaksanakan, bagaimana seharusnya hukum/
keputusan, merupakan pertimbangan yang program ditafsirkan); b) Alokasi sumber daya
melibatkan beberapa aktor dalam (bagaimana anggaran didistribusikan, siapa
pengambilan keputusan. Alih-alih yang akan menjalankan program, unit
memutuskan kebijakan secara rasional dari organisasi mana yang bertanggungjawab
tawar-menawar diantara aktor yang berbeda, melaksanakan nya); c) Keputusan (bagaimana
justru hasil ditentukan oleh konstelasi keputusan satu kasus dilakukan).
kekuatan dan kuatnya sumber kepentingan Implementasi mengenal istilah top-down
dari para aktor sehingga kebijakan ini menjadi dan bottom-up. Top-down merupakan
incrementalism. Pada tahap ini dikenal istilah pendekatan dalam studi implementasi jalur
“jaringan kebijakan” ditandai oleh hubungan hierarkis dan kronologis dan berusaha menilai
horizontal non hierarkis diantara aktor-aktor sejauh mana tujuan dan sasaran yang
dalam jaringan. Aspek penting lainnya dari ditetapkan oleh pusat tercapai ketika sampai
perumusan kebijakan adalah peran saran implementasi. Faktor-faktor yang
kebijakan (ilmiah). Aspek ini berasal dari para menyebabkan penyimpangan tujuan menjadi
teknokratis dan model keputusan dari perhatian studi implementasi. Selain itu
hubungan ilmu/kebijakan, pemahaman maslaah koordinasi intra dan antar organisasi
normatif dan kooperatif. dan interaksi lembaga dengan kelompok
sasaran menjadi variabel yang menonjol
Volume 3, Nomor 2, Oktober 2018 PUBLISIA: Jurnal Ilmu Administrasi Publik | 127
dalam kegagalan implementasi (Putra, posisi dan kepentingan dasar, nilai-nilai dari
Mindartati, & Faturahman, 2018). Bottom-up aktor tertentu. Secara khusus menyalahkan
menyajikan sejumlah re-orientasi analisis kinerja buruk adalah bagian dari rutinitas
kebijakan tandingan dari analisis top-down. politik. Kedua, pendefinisian yang kurang
Pertama, peran sentral ditujukkan tepat mengenai tujuan dan sasaran kebijakan
organisasi/aparatur tingkat bawah (lapangan) menjadi masalah serius evaluasi. Dengan
berhasil membentuk hasil kebijakan nyata pertimbangan menghindari-disalahkan,
khususnya menghadapi tututan yang pemerintah terdorong untuk menghindari
beragam dan seringkali tema yang terulang definisi persis tujuan karena jika tidak politisi
dalam implementasi. Kedua, fokus kebijakan akan menyalahkan kegagalan dengan jelas.
tunggal dianggap sebagai proses masukan, Dengan melihat serang- kaian proses
diganti dengan perspektif yang berasal dari kebijakan tersebut, didapat pemahaman
interaksi antar aktor yang berbeda dan secara umum bahwa mitigasi bencana perlu
program-program yang berbeda. ditetapkan pada tahap agenda kebijakan.
Evaluasi dan penghentian, pembuatan Penempatan mitigasi pada tahap agenda
kebijakan diharapkan memberikan kontribusi kebijakan dinilai mampu memberikan
untuk memecahkan masalah atau dapat pengenalan masalah yang mensyaratkan
mengurangi beban masalah tersebut. Selama bahwa masalah mitigasi bencana telah
tahap evaluasi hasil-hasil kebijakan yang didefinisikan dan perlunya intervensi
dimaksudkan ini beralih menjadi pusat pemerintah untuk mendukung agenda telah
perhatian. Normatifnya, pembuat kebijakan ditentukan. Selanjutnya, masalah yang
harus dinilai menurut tujuan dan dampak diidentifikasikan (mitigasi bencana) benar-
yang diinginkan membentuk titik awal benar dimasukkan dalam agenda untuk
evaluasi kebijakan. Namun, evaluasi tidak pertimbangan serius aksi publik (penyusunan
hanya terkait pada tahap akhir yang berakhir agenda) dengan menyusun daftar subjek
dengan penghentian kebijakan atau rincian masalah mitigasi pada waktu tertentu
mendesain ulang persepsi masalah dan Penetapan mitigasi bencana dalam agenda
penyusunan agenda yang berubah. Pada saat kebijakan dilakukan baik secara formal dan
yang bersamaan, evaluasi membentuk sub informal, sarana dan mekanisme pengenalan
disiplin yang terpisah berfokus pada hasil masalah dan pemilihan isu terkait erat dengan
yang diharapkan dan konsekuensi yang tidak cara masalah mitigasi bencan dikenali dan
diinginkan dari kebijakan. Studi evaluasi ditangkap dalam agenda publik.
tidak terbatas pada tahap tertentu melainkan Berikut disajikan konsep mitigasi
diterapkan untuk seluruh proses pembuatan bencana dikaitkan dengan proses kebijakan
kebijakan dan dari perspektif yang berbeda publik. Mitigasi bencana adalah sebagai
dari segi waktu. perubahan paradigma manajemen bencana
Kegiatan evaluasi ini juga bergantung baik tanggap darurat maupun pasca bencana
pada logika tertentu dan proses politik dalam memiliki posisi strategis pada tahap agenda
dua cara yakni: pertama, terjadi bias penilaian kebijakan. Agenda kebijakan sendiri
output dan hasil kebijakan sesuai dengan merupakan langkah awal terbentuknya
128 | PUBLISIA: Jurnal Ilmu Administrasi Publik Volume 3, Nomor 2, Oktober 2018
kesepakatan/ komitmen seluruh stakeholder kebijakan selanjutnya (perumusan,
yang secara serius menetapkan masalah implementasi dan evaluasi) berperan serta
mitigasi bencana ke dalam agenda publik untuk mewujudkan menjadi program dengan
untuk dimengerti dan dipahami secara luas tujuan mengurangi resiko bencana
oleh seluruh elemen masyarkat. Dengan (pengurangan resiko bencana) di tingkat
dimasukkannya isu mitigasi bencana pada pemerintah daerah.
tahap agenda kebijakan maka proses
Gambar 2.
Proses Penetapan Agenda Mitigasi Bencana dalam Kebijakan Publik
Volume 3, Nomor 2, Oktober 2018 PUBLISIA: Jurnal Ilmu Administrasi Publik | 129
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Kabupaten Pacitan merupakan salah
tentang Penanggulangan Bencana satu daerah di Provinsi di Jawa Timur yang
mendefinisikan bencana adalah rangkaian rawan terkena bencana alam. Kondisi
peristiwa yang memberikan ancaman dan geografis daerah yang didominasi oleh
mengganggu kehidupan dan penghidupan perbukitan (Berbukit (kelas kelerengan 31-
masyarakat disebabkan baik oleh faktor alam 50%) dengan luas 722,73 km2 atau 52% dari
dan atau faktor non alam maupun fakor 1.389,87 km2 luas wilayah Kabupaten Pacitan)
manusia sehingga berakibat jatuhnya korban serta berbatasan langsung dengan pesisir
jiwa, kerusakan lingkungan sekitar, kerugian membuat Kabupaten Pacitan memiliki resiko
material dan dampak psikologis. tinggi terkena dampak bencana alam. Data
Dimensi sosial, budaya, politik, dan dari IKPLHD Jawa Timur (2016) menujukkan
hukum sangat penting dan mendasar dalam potensi rawan bencana di Kabupaten Pacitan
konteks pengelolaan lingkungan hidup yang sebagaiberikut:
berbasis pada pembangunan berkelanjutan. Tabel 1. Potensi Rawan Bencana Kabupaten
Dengan terbitnya UU No 24 Tahun 2007 maka Pacitan, Ponorogo, Trenggalek
Kabupaten Kabupaten Kabupaten
lahirlah kebijakan turunan serta Pacitan Ponorogo Trenggalek
pengarusutamaan perencanaan dan Kecamatan Rawan Tanah Longsor
pendanaan penggulangan bencana. UU Potensi Potensi Potensi
menengah- menengah- menengah-
tersebur secara garis besar mengandung tinggi: tinggi: tinggi:
pemahaman penting yaitu pertama, adanya Nawangan, Ngrayun, sawoo, Bendungan,
perubahan paradigma kebencanaan yang bandar, sampung, sambit, munjungan,
tegalombo, slahung, bungkal, tugu, durenan,
difokuskan pada prabencana atau ngadirojo, badegan, soko, karangan, pule,
pengurangan resiko . Kedua, tulakan, mlarak, pulung, pangul, dongko,
arjosari, ngebel. kampak,
penanggulangan bencana tidak lagi bersifat kebonagung, watulimo,
reaktif namun lebih terencana dan proaktif. pacitan, munjungan
pringkuku,
Ketiga, posisi pemerintah pada paradigma punung,
baru ini tidak lagi bersifat dominan akan donorojo.
tetapi lebih mengedepankan partisipasi Kecamatan Rawan Banjir
Potensi Potensi Potensi
masyarakat(Faturahman, 2018), dengan menengah: menengah: menengah:
menempatkan masyarakat sebagai subjek, ngadirojo, Jetis, kauman, pule
kebonagung siman
tidak lagi sebagai objek penanggulangan
Rawan Gempa Bumi (Kriteria Skala VII S.D XII
bencana. Keempat , domain penanggulangan PP No.26/ 2008)
bencana tidak lagi menjadi hak mutlak - Kabupaten Kabupaten
Ponorogo Trenggalek
pemerintah pusat tetapi telah Rawan Tsunami
terdesentralisasi ke daerah. Dengan kata lain, Potensi tingi: Potensi rendah: Potensi tinggi:
dalam konteks otonomi daerah, pengurusan Kabupaten Kabupaten Kabupaten
Pacitan Ponorogo Trenggalek
penanggulangan bencana juga telah menjadi Rawan Kekeringan
tanggungjawab daerah, baik dalam wilayah Potensi tinggi: Potensi tinggi: Potensi tinggi:
Kabupaten Kabupaten Kabupaten
anggaran maupun kebijakan.
Pacitan Ponorogo Trenggalek
Sumber: IKPLHD Jawa Timur , 2016
130 | PUBLISIA: Jurnal Ilmu Administrasi Publik Volume 3, Nomor 2, Oktober 2018
Tingkat kerawanan bencana ketiga Kabupaten Pacitan 545.290 dan Kabupaten
Kabupaten tersebut menunjukkan bahwa Trenggalek sebanyak 696.680 (BNPB, 2015).
perlunya koordinasi dan implementasi yang Dari gambaran tersebut, kegiatan mitigasi
terpadu pada tingkat kabupaten. Kabupaten bencana sebagai pola yang selaras dengan
Pacitan sendiri termasuk daerah rawan pembangunan di daerah selanjutnya
longsor disamping potensi bencana lainnya. diwujudkan pada Rencana Pembangunan
Namun, bencana tanah longsor masih Jangka Mengengah Daerah (RPJMD). Berikut
dianggap sebagai kejadian yang terpisah dari disajikan tabel RPJMD Masing-masing
pembangunan. Untuk tahun 2015, potensi Kabupaten.
jiwa terpapar akibat tanah longsor di
Volume 3, Nomor 2, Oktober 2018 PUBLISIA: Jurnal Ilmu Administrasi Publik | 131
operasional TRC dan Bimjas TRC
Sosialisasi dan Fasilitasi Pembentukan Desa
Tangguh Bencana
Indikator keluaran:
Jumlah desa tangguh bencana terbentuk dan
mendapat sosialisasi
Rencana Kontijensi (Renkon) Bencana
Indikator keluaran:
Jumlah dokumen renkon banjir yang disusun
Sosialisasi Sekolah Peduli Bencana (PENA)
Indikator keluaran:
Jumlah siswa sekolah yang mendapat sosialisasi
PENA
Sumber: RPJMD Kabupaten Pacitan 2016-2021, RPJMD Kabupaten Ponorogo 2016-2021,
RPJMD Kabupaten Trenggalek 2016-2021, RKPD Kabupaten Trenggalek 2017
Telah dipaparkan keterkaitan antara visi pemerintah juga memiliki kewajiban dan
dan misi serta program pembangunan daerah tanggung-jawab pada publik Jika otonomi
dalam penanggulangan bencana di daerah. daerah dimaksudkan sebagai pemberian
Tahap pra bencana yaitu pencegahan dan wewenang pada pemerintah daerah untuk
kesiapsiagaan merupakan bagian dari mitigasi membawa pembangunan langsung pada
bencana di masing-masing Kabupaten, masuk publiknya, maka perlu pula dikembangkan
pada pelayanan kepada masyarkat. Mitiagasi nilai -nilai kewajiban dan tanggungjawab
bencana dilakukan sebagai peningkatan yang menjadi dasar kewenangannya tersebut.
kapasitas aparatur Pemerintah Daerah di Penanggulangan bencana di daerah
Kabupaten Pacitan dan Kabupaten menyangkut penyelenggaraan secara bersama
Trenggalek. Sedangkan Kabupaten Ponorogo seluruh elemen masyarakat untuk itu tata
memberikan penekanan mitigasi bencana pemerintahan yang baik (good governance)
pada aspek lingkungan. Hal ini menunjukkan dalam mewujudkan budaya sadar bencana
agenda seting dari kebijakan penanggulangan sebagai bagian dari pembangunan memiliki
bencana di Kabupaten Pacitan, Ponorogo dan tiga aspek penting:
Trenggalek masuk kedalam agenda 1. Sistem administrasi yang melibatkan
pembangunan daerah sehingga dengan banyak pelaku (multistakeholders) dari
masuknya agenda mitigasi bencana menjadi unsur pemerintah dan non pemerintah
perhatian serius seluruh pemangku karena sumber legitimasinya selain
kepentingan daerah untuk mewujudkan berasal dari konstitusi dan regulasi juga
masyarakat sadar bencana. berasal dari nilai-nilai yang berkembang
Peran kelembagaan dalam dalam masyarakat.
penanggulangan bencana sendiri adalah 2. Dikembangkan untuk merespon masalah
tuntutan dari otonomi daerah dimana dan kepentingan publik sebagai sebuah
kewenangan administrasi pemerintahan kolektifitas
sangat diperlukan sebagai penghantar 3. Pola hubungan antar pelaku tidak harus
perubahan, namun ada nilai-nilai yang selama berupa struktur kelembagaan yang formal
ini dilupakan bahwa selain kewenangan, dan ketat, tapi bisa bersifat sangat
132 | PUBLISIA: Jurnal Ilmu Administrasi Publik Volume 3, Nomor 2, Oktober 2018
longgar, berupa mekanisme, prosedur dan
jaringan.
Tabel 3. Kerangka Penanggulangan Bencana di Daerah
Fase Pra Bencana Tanggap Darurat Pasca Bencana
Fungsi Koordinasi Komando Koordinasi
Implementasi Koordinasi Implementasi
Implementasi
Aktivitas Pencegahan Tanggap Darurat Rehabilitasi
Mitigasi Pemulihan Awal Rekonstruksi
Kesiapsiagaan
Pendekatan Sektoral Terpusat Sektoral
Aktor Dominan BPBD BPBD BPBD
Bappeda Bappeda
Dinas Teknis Dinas Teknis
Warga Warga
DPRD DPRD
Sumber: Hidayah (2015)
Volume 3, Nomor 2, Oktober 2018 PUBLISIA: Jurnal Ilmu Administrasi Publik | 133
Pangan Kabupaten Pacitan. JISPO, Rencana Pembangunan Jangka Menengah
7(2), 43–62. Daerah Kabupaten Pacitan 2016-
2021Rencana Pembangunan Jangka
Faturahman, B. M. (2018). Aktualisasi Nilai
Menengah Daerah Kabupaten
Demokrasi dalam Perekrutan dan
Ponorogo 2016-2021
Penjaringan Perangkat Desa. SOSPOL,
4(1), 132–148. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Daerah Kabupaten Trenggalek 2016-
Fischer, F., Miller, G.J., Sidney, M. (2014).
2021
Handbook Analisis Kebijakan Publik:
Toeri, Politik Dan Metode. Bandung: Susanto. (2006), Disaster Management: Di
Nusa Media. Negeri Rawan Bencana. Jakarta, Eka
Tjipta Foundation.
Hidayah, K. (2015). Kebijakan
Penanggulangan Bencana di Era Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
Otonomi Daerah. Kajian Terhadap tentang Penanggulangan Bencana.
Penanganan Kasus Luapan Lumpur
Lapindo Brantas. Jurnal Borneo
Administrator/Volume 11/No.
3/2015 (298-315)
Informasi Kinerja Pengelolaan Lingkungan
Hidup Daerah (IKPLHD) 2016
Provinsi Jawa Timur.
Lasswell, H., D. (1956). The Decision Process:
Seven Categories of Functional
Analysis. College Park: Univesity of
Maryland Press.
Nazzamudin. (2007). Kebijakan Ekonomi
Untuk Mitigasi Bencana Dan
Pemulihan Pascabencana : Pelajaran
Dari Bencana Tsunami Di Aceh.
Kongres Ilmu Pengetahuan Wilayah
Indonesia Bagian Barat Tahun 2007.
Universitas Sriwijaya, LIPI.
Nurjanah, R. S., Kuswanda D., Siswanto B.,P.
dan Adikoesoemo. (2012). Manajemen
Bencana. Bandung: Alfabeta.
Peraturan Bupati Trenggalek Nomor 12 Tahun
2017 Tentang Rencana Kerja
Pemerintah Daerah Tahun 2017
Putra, A. E., Mindartati, L. I., &Faturahman, B.
M. (2018). Policy Implementation of
City Park Utilization in Malang City.
MADANI Jurnal Politik Dan Sosial
Kemasyarakatan, 10(2), 30–49.
134 | PUBLISIA: Jurnal Ilmu Administrasi Publik Volume 3, Nomor 2, Oktober 2018