Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Arbitrase
Dosen : Dr. Imam Haryanto, SH. MH
Disusun oleh : Afwan Rosmi Fikriyuddin
PASCA SARJANA ILMU HUKUM
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
2016 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan ekonomi yang berkembang dengan pesat membuat sistem perdagangan,
perindustrian, ikut pula maju dengan pesat, baik dalam hubungan nasional maupun hubungan internasional. Hal ini sering menjadi pemicu timbulnya sengketa diantara para pihak pelaku usaha dan bisnis, yang mengharuskan para pihak untuk menyelesaikannya baik melalui jalur pengadilan maupun jalur diluar pengadilan, sehingga diharapkan tidak menggangu iklim bisnis antara pihak yang bersengketa. Maka Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan kemudahan dengan proses yang cepat, murah dan diselesaikan sebaik-baiknya, melalui Arbitrase, Negosiasi, Mediasi, dan Konsiliasi. Di dalam makalah ini, saya mengambil salah satu contoh penyelesaian sengketa yaitu Arbitrase. Pengertian arbitrase menurut UU No.30 tahun 1999 adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sedangkan definisi perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Klausula arbitrase berdasarkan akta compromittendo dan akta kompromis. Di Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang tercantum dalam pasal 1320 sebagai syarat sahnya suatu perjanjian adalah : sepakat,cakap, hal, tertentu, sebab yang halal. Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah- masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah- masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akanmenjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawananterhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun. Putusan Arbitrase bersifat mandiri,final dan mengikat (seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap)sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah disebutkan di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas selanjutnya, yaitu : 1. Apa faktor-faktor yang dapat membatalkan putusan arbitrase? 2. Bagaimana cara melaksanakan putusan Arbitrase Internasional? 3. Bagaimana pembatalan putusan BANI terkait kasus PT. Cipta Kridatama dan Bulk Trading oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara No.270/Pdt.P/2009/Pn.Jkt.Sel? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat membatalkan putusan arbitrase. 2. Untuk mengetahui cara melaksanakan putusan Arbitrase Internasional. 3. Untuk mengetahui putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada perkara No.270/Pdt.P/2009/Pn.Jkt.Sel terhadap putusan BANI pada kasus PT. Cipta Kridatama dan Bulk Trading. BAB II Tinjauan Umum A. Pengertian Arbitrase Arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang paling disukai oleh para pengusaha, karena dinilai sebagai cara yang paling serasi dengan kebutuhan dalam dunia bisnis. Bahkan, arbitrase dinilai sebagai suatu pengadilan pengusaha yang independen guna menyelesaikan sengketa yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), schiedspruch (Jerman), dan arbitrage (Perancis), yang berarti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit. Arbiter sebagai pihak ketiga yang menengahi dalam menjalankan tugasnya dan menyelesaikan sengketa dengan cara memberikan putusan. Dalam hal ini arbiter harus berada di posisi netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa. Selain dari itu yang paling esensi adalah indepensi dari arbiter dalam melaksanakan tugasnya, sehingga dapat diperoleh suatu putusan yang adil dan cepat bagi para pihak yang berbeda pendapat, berselisih paham maupun bersengketa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arbitrase mempunyai arti sebagai usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Dari pengertian tersebut, dapatlah ditarik beberapa unsur penting dari arbitrase, yaitu: 1. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan 2. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak 3. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi 4. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang mengambil keputusan. 5. Sifat putusannya adalah final dan mengikat. Penjelasan secara etimologi ini menekankan tentang keberadaan pihak ketiga yang memiliki tugas untuk menengahi kedua belah pihak yang sedang menghadapi sengketa dan memberikan jalan keluar bagi penyelesaian sengketa tersebut. Pihak ketiga ini berperan sebagai jembatan bagi para pihak dalam menyelesaikan sengketanya dimana pihak ketiga ini dapat memberikan putusan yang sifatnya final dan mengikat yang diharapkan dapat menemukan kesepakatan serta memberikan kepuasan terhadap para pihak. Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. an arrangement for taking anabiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, thedelay, the expense and vexation of ordinary litigation". Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrasedapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu: 1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo) 2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis) Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat(1) Undang- Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan. B. Jenis-jenis Arbitrase Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase. Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti TheRules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan- badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri. BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausul arbitrase sebagai berikut: "Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan- peraturan prosedur arbitrase BANI,yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir". Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission of International Trade Law) adalah sebagai berikut: "Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjianakan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL. Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu: 1. Factum de compromitendo yaitu klausa arbitrase yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa. 2. Akta Kompromis yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali adalah klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul. C. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum UndangUndang Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan. Keunggulan itu adalah : 1. Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin; 2. Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari; 3. Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil; 4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya, para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase; 5. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan. Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara H.MN Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah: 1. Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat. 2. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak. 3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak. 4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahuitentang kelemahan-kelemahan perushaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha. Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase jugamemiliki kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas. Meskipun penyelesaian melalui arbitrase diyakini memiliki keunggulan-keunggulan dibandingkan dengan jalur pengadilan, tetapi penyelesaian melalui Arbitrase juga memiliki kelemahan-kelemahan. Beberapa kelemahan dari Arbitrase dan ADR adalah : 1. Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupunmasyarakat bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagaicontoh masyarakat masih banyak yang belum mengetahui keberadaan dankiprah dari lembaga-lembaga seperti BANI, BASYARNAS dan P3BI. 2. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga engganmemasukkan perkaranya kepada lembaga-lembaga Arbitrase. Hal ini dapatdilihat dari sedikitnya perkara yang diajukan dan diselesaikan melaluilembaga-lembaga Arbitrase yang ada. 3. Lembaga Arbitrase dan ADR tidak mempunyai daya paksa ataukewenangan melakukan eksekusi putusannya. 4. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yangdicapai dalam Arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan teknik mengulur-ulur waktu, perlawanan,gugatan pembatalan dan sebagainya. 5. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanismeextra judicial, Arbitrase hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, sepertikejujuran dan kewajaran. D. Perjanjian Arbitrase Perjanjian arbitrase bukan perjanjian bersyarat. perjanjian arbitrase tidak termasuk pada pengertian ketentuan pasal 1253-1267 KUHPerdata. Oleh karena itu, pelaksanaan perjanjian arbitrase tidak digantungkan kepada sesuatu kejadian tertentu di masa yang akan datang. Perjanjian arbitrase tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara pihak. Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi suatu kesatuan dengan materi materi pokok perjanjian. Perjanjian arbitrase yang lazim disebut klausula arbitrase merupakan tambahan yang diletakkan pada perjanjian pokok. Jadi perjanjian arbitrase bersifat asesoir, dimana keberadaannya hanya sebagai tambahan pada perjanjian pokok dan sama sekali tidak mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan perjanjian pokok. Walaupun tanpa perjanjian arbitrase, perjanjian pokok dapat berjalan terus dan berdiri sendiri dengan sempurna. Sebaliknya tanpa adanya perjanjian pokok, tidak akan pernah ada perjanjian arbitrase. Dari berbagai sumber undang-undang, peraturan dan konvensi internasional, dijumpai dua bentuk perjanjian arbitrase sebagai berikut: 1. Pactum De Compromittendo Bentuk klausula arbitrase yang pertama, disebut Pactum de compromittendo yang berarti kesepakatan setuju dengan putusan arbiter atau wasit. Pactum de kompromiteendo atau disebut juga Akta kompromitendo merupakan suatu klausula dalam perjanjian pokok dimana ditentukan bahwa para pihak diharuskan mengajukan perselisihannya kepada seorang atau majelis arbitrase Dalam klausula arbitrase yang berbentuk pactum de compromittendo, para pihak mengikat kesepakatan akan menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul melalui forum arbitrase. Pada saat mereka mengikat dan meneyetujui klausula arbitrase, sama sekali belum terjadi perselisihan, seakan-akan klausula arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul di masa yang akan datang. Jadi, sebelum terjadi perselisihan yang nyata, para pihak telah sepakat dan mengikat diri untuk menyelesaikan perselisihan yang akan terjadi oleh arbitrase. Bentuk klausula pactum de compromittendo diatur dalam pasal 7 UU Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi: Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikanmelalui arbitrase. Cara pembuatan klausula pactum de compromittendo ada dua cara a. Dengan mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan dalam perjanjian pokok. b. Klausula pactum de compromittendo dibuat terpisah dalam akta tersendiri. 2. Akta Kompromis Bentuk perjanjian Arbitrase yang kedua disebut akta kompromis atau compromise and settlemen (perdamaian yang dicapai di luar pengadilan). Akta kompromis adalah perjanjian khusus yang dibuat setelah terjadinya perselisihan guna mengatur tentang cara mengajukan perselisihan yang telah terjadi itu kepada seorang atau beberapa orang arbiter untuk diselesaikan. Akta kompromis harus dibuat dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, atau bisa juga dibuat di depan notaris. Akta kompromis diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi: 1. Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. 2. Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris. 3. Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat : a. Masalah yang dipersengketaan; b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; c. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau mejelis arbitrase; d. Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; e. Nama lengkap sekretaris; f. Jangka waktu penyelesaian sengketa; g. Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan h. Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase. 4. Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum. BAB III PEMBASAHAN A. Faktor-Faktor yang Dapat Membatalkan Putusan Arbitrase Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, dalam artian tidak ada upaya hukum seperti perlawanan, banding, kasasi atau peninjauan kembali. Namun karena beberapa hal dimungkinkan pemabatalan putusan arbitrase tersebut. Pembatalan putusan arbitrase ini dapat dilakukan jika terdapat hal-hal yang bersifat luar biasa. Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 menentukan Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Selanjutnya dalam Pasal 71 dan Pasal 72 beserta penjelasannya menyebutkan permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Pengajuannya disampaikan secara tertulis dalam jangka waktu 30 hari sejak dari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan negeri. Ini berarti permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di PN. Kewenangan untuk memeriksa tuntutan pembatalan putusan arbitrase ada di tangan Ketua PN. Pemeriksaannya dilakukan menurut proses peradian perdata. Pihak yang mengajukan tuntutan pembatalan putusan arbitrase harus mengemukakan alasan-alasan disertai dengan buktinya. Ketua PN dapat mengabulkan atau menolak permohonan tuntutan pembatalan putusan arbitrase. Putusan tersebut harus sudah ditetapkan oleh Ketua PN dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan pembatalan putusan arbitrase dimaksud diterima. Terhadap putusan (Ketua) PN tersebut, hanya dapat diajukan permohonan banding (kasasi) ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung. B. Pelaksanakan Putusan Arbitrase Internasional Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga diwilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UNConvention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamahAgung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing. Pelaksanaan terhadap keputusan arbitrase asing didasarkan pada Pasal 65-69 UU Nomor 30 Tahun 1999. Pasal 65 menyebutkan Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Secara lebih rinci Pasal 66 menjelaskan bahwa Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional; b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan; c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum; d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Teknis dari pelaksanaan putusan arbitrase internasional diatur dalam Pasal 67, yaitu pada ayat (1) dinyatakan Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada ayat (2) nya Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan: a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia; b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan Negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. Suatu putusan eksekusi arbitrase internasional baru dapat dilaksanakan eksekusinya dengan putusan Ketua PN Jakarta Pusat dalam bentuk perintah pelaksanaan (eksekuator). Setelah Ketua PN Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya. Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi yang mana tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata. C. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.270/Pdt.P/2009/Pn.Jkt.Sel Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengadili perkara perdata Permohonan Pembatalan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) telah menjatuhkan penetapan sebagai berikut dalam perkara antara: a). PT. Cipta Kridatama, selaku Pemohon; melawan, b). Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), selaku Termohon, c). Bulk Trading, SA, selaku Turut Termohon. Bahwa pemohon dan telah sepakat membuat perjanjian untuk kegiatan penambangan batubara yang dituangkan dalan Kontrak Pekerjaan Penambangan Batubara No. 01/CK- BT/KON-TAMB/XII/2006 tertanggal 20 Februari 2007 (selanjutnya disebut Kontrak). Berdasarkan kontrak ini pekerjaan penambangan akan dilakukan oleh PT. Cipta Kridatama dalam jangka waktu 60 bulan atau apabila sudah tercapai target produksi 5,7 juta MT (metrik ton). Adapun pekerjaan yang wajib dilakukan oleh PT. Cipta Kridatama dibagi dalam 2 tahap, yaitu masa Pra-Produksi dilaksanakan pada 3 (tiga) bulan pertama yaitu Maret, April, Mei 2007 yaitu melakukan persiapan produksi (penambangan) berupa pengangkutan tanah, pasir, batuan yang menutupi batubara (overburden), dan masa Produksi dimulai setelah lewatnya masa Pra-Produksi, dimulai sejak Juni 2007 untuk jangka waktu 57 bulan. Selama masa produksi, PT. Cipta Kridatama wajib memenuhi produksi batubara bulanan pada jumlah 80.000 MT. Untuk mengukur dan mengetahui pekerjaan-pekerjaan apa saja yang telah dilakukan oleh PT. Cipta Kridatama, maka seluruh pekerjaan dicatat dalam Berita Acara yang ditandatangani oleh PT. Cipta Kridatama dan Bulk Trading, SA. Selama persidangan di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Bulk Trading, SA mengakui telah menandatangani Berita Acara, baik selama masa Pra-Produksi maupun Produksi. Adapun setiap jenis dan beberapa harga dari setiap pekerjaan diatur secara terperinci di dalam kontrak. Akan tetapi dalam pelaksanaannya Bulk Trading, SA hanya melakukan pembayaran atas 3 (tiga) invoice pertama yang PT. Cipta Kridatama terbitkan dengan nilai total sebesar USD 955,704.00, dan selebihnya tidak dibayarkan. Untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi, PT. Cipta Kridatama mengajukan permohonan arbitrase terhadap Bulk Trading, SA melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), dengan mendalilkan bahwa Bulk Trading, SA telah melakukan wanprestasi karena Bulk Trading, SA telah melalaikan kewajibannya untuk membayar berdasarkan kontrak. Selanjutnya dalam proses arbitrase Bulk Trading, SA mengajukan permohonan Rekonvensi dengan dalil bahwa PT. Cipta Kridatama lah yang telah melakukan wanprestasi terhadap Bulk Trading, SA karena PT. Cipta Kridatama tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk memproduksi dan memasok batubara kepada Bulk Trading, SA yang sudah di sepakati dalam kontrak setiap bulannya rata-rata 80.000 MT (metrik ton). Untuk menyikapi permasalahan hukum yang terjadi antara PT. Cipta Kridatama dan Bulk Trading, SA, majelis arbitrase telah memberikan putusan dalam perkara arbitrase No. 300/II/ARB- BANI/2009 pada tanggal 22 Oktober 2009 dengan menyatakan menolak permohonan arbitrase pemohon (PT. Cipta Kridatama) dalam Konvensi dan menerima permohonan Rekonvensi termohon (Bulk Trading, SA) serta menyatakan bahwa PT. Cipta Kridatama lah yang telah melakukan wanprestasi. Merasa putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) jauh dari rasa keadilan, maka PT. Cipta Kridatama mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase No. 300/II/ARB-BANI/2009 pada tanggal 22 Oktober 2009 melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan alasan-alasan diantaranya sebagai berikut: Pertama, Bahwa pembacaan putusan arbitrase melebihi jangka waktu sebagaimana diatur dalam pasal 57 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam jangka waktu 30 hari sejak pemeriksaan sengketa berakhir atau ditutup, majelis arbitrase wajib mengucapkan putusannya, sebagai berikut: Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup. Kedua, PT. Cita Kridatama juga mendalilkan bahwa putusan BANI menyalahi prosedur administrasi yaitu sebagai berikut: a). Putusan tidak mencantumkan alamat masing- masing arbiter. Sebagaimana hal tersebut diwajibkan oleh pasal 54 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; b). Amar putusan keliru, dimana salah satu amar putusan dalam konvensi menghukum pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar USD 86.105 dan Rp 46.501.000. seharusnya sebesar USD 86.065 dan Rp 46.501.000. Dengan demikian menurut PT. Cipta Kridatama, terbukti bahwa putusan Majelis Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) No. 300/II/ARB-BANI/ 2009 tanggal 22 September 2009 cacat hukum sehingga patut untuk dibatalkan atau dinyatakan batal demi hukum. Alasan-alasan yang diajukan terhadap pembatalan putusan arbitrase yang diajukan oleh PT. Cipta Kridatama ini mendapat respon yang positif dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dimana Pengadilan Negeri berpendapat bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, dengan memperhatikan permohonan PT. Cipta Kridatama yang pada intinya adalah menuntut untuk membatalkan atau menyatakan batal demi hukum Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia No. 300/II/ARB-BANI/2009 tanggal 22 Oktober 2009 dengan alasan bahwa putusan tersebut diucapkan oleh majelis arbitrase telah melebihi jangka waktu 30 hari setelah pemeriksaan telah ditutup sebagaimana ketentuan pasal 57 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa. Keliru dalam pertimbangan hukum dan putusan tidak mencantumkan alamat masing-masing arbiter sebagaimana ketentuan pasal 54 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa. Serta keliru dalam menentukan jumlah biaya perkara yang seharusnya sebesar USD $ 86.065 dalam rupiah 46.501.000,- tetapi dalam amar putusan ditulis USD $ 86.105 dan 46.501.000.- Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.270/Pdt. P/2009/PN.Jkt.Sel, dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah mengabulkan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang dilakukan oleh PT. Cipta Kridatama dengan melihat pada pasal 54 ayat (1) huruf e berkaitan dengan putusan arbitrase yang tidak mencantumkan alamat arbiter, dan pasal 57 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, berkaitan dengan majelis arbitrase yang telah menjatuhkan putusan dengan jangka waktu melebihi 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat bahwa pelanggaran majelis arbitrase terhadap ketentuan pasal 54 dan pasal 57 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, merupakan alasan-alasan yang sah untuk membatalkan putusan arbitrase dan tidak menggunakan alasan- alasan yang tercantum dalam pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase. Sebagaimana penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut, dengan menggunakan pasal 54 dan pasal 57 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase, menurut penulis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah keliru mengabulkan permohonan pembatalan putusan arbitrase pemohon yang dasar permohonannya berdasarkan pasal 54 dan 57 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Hal tersebut dikarenakan pasal 54 dan pasal 57 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak memuat sanksi batalnya putusan arbitrase. Mengenai permohonan pemohon yang menyatakan bahwa putusan arbitrase tidak mencantumkan alamat arbiter, sehingga melanggar pasal 54 ayat (1) huruf e, hemat penulis hal tersebut tidak mengakibatkan putusan arbitrase menjadi batal. Kalaupun pemohon menganggap hal tesebut sebagai sesuatu kekurangan dalam putusan, maka pihak PT. Cipta ktidatama selaku pemohon memiliki hak untuk mengajukan koreksi terhadap kekeliruan administratif sebagaimana diatur dalam pasal 58 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam waktu 14 hari setelah putusan diterimanya. Dan mengenai melebihi jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup, sehingga melanggar pasal 57 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam kasus ini para pihak telah menyepakati secara tertulis tentang adanya penundaan putusan. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, satu satunya pasal yang mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase ada pada pasal 70 yaitu dengan alasan jika surat atau dokumen diakui atau dinyatakan palsu, ditemukan dokumen yang menentukan yang disembunyikan pihak lawan atau putusan yang diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak. Dengan adanya ketentuan dari pasal 70 ini maka tidak ada alasan diluar pasal 70 yang dapat membatalkan putusan arbitrase. Hal tersebut hemat penulis agar menjaga putusan arbiterse, mengingat bahwa putusan arbitrase bersifat final and binding, maka sewajarnya upaya permohonan pembatalan putusan arbitrase ini diatur dengan setegas mungkin. BAB IV PENUTUP Kesimpulan 1. Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 menentukan Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa 2. Pasal 66 menjelaskan bahwa Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional; b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan; c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum; d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 3. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat bahwa pelanggaran majelis arbitrase terhadap ketentuan pasal 54 dan pasal 57 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, merupakan alasan-alasan yang sah untuk membatalkan putusan arbitrase dan tidak menggunakan alasan-alasan yang tercantum dalam pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase. DAFTAR PUSTAKA Emrizon, Joni. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2001. Fuady, Munir. Arbitrase Nasional: Alternatif Penyelesaian sengketa Bisnis. Bandung: Citra Aditya, 2006. Harahap, M. Yahya. Arbitrase Ditinjau dari: Reglemen Acara Perdata, Peraturan Prosedur BANI, ICSID, dan Peraturan Arbitrase UNCITRAL. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. __________. Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Margono, Suyud. ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase, Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004. Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1999. Rajagukguk, Erman, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan. Jakarta: Chandra Pratama, 2000. Ricky W.Griffin dan Ronald J. Ebert. Bisnis edisi Ketujuh Jilid 1. Jakarta: Indeks. 2005 Sutiyoso, Bambang. Penyelesaian Sengketa Bisnis. Yogyakarta: Citra Media. 2006