Anda di halaman 1dari 19

PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL

OLEH PENGADILAN NEGERI


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Arbitrase

Dosen : Dr. Imam Haryanto, SH. MH


Disusun oleh : Afwan Rosmi Fikriyuddin

PASCA SARJANA ILMU HUKUM

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

2016
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan ekonomi yang berkembang dengan pesat membuat sistem perdagangan,


perindustrian, ikut pula maju dengan pesat, baik dalam hubungan nasional maupun hubungan
internasional. Hal ini sering menjadi pemicu timbulnya sengketa diantara para pihak pelaku
usaha dan bisnis, yang mengharuskan para pihak untuk menyelesaikannya baik melalui jalur
pengadilan maupun jalur diluar pengadilan, sehingga diharapkan tidak menggangu iklim
bisnis antara pihak yang bersengketa.
Maka Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan kemudahan dengan proses yang
cepat, murah dan diselesaikan sebaik-baiknya, melalui Arbitrase, Negosiasi, Mediasi, dan
Konsiliasi. Di dalam makalah ini, saya mengambil salah satu contoh penyelesaian sengketa
yaitu Arbitrase. Pengertian arbitrase menurut UU No.30 tahun 1999 adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Sedangkan definisi perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri dibuat para pihak setelah timbul
sengketa. Klausula arbitrase berdasarkan akta compromittendo dan akta kompromis. Di
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang tercantum dalam pasal 1320 sebagai
syarat sahnya suatu perjanjian adalah : sepakat,cakap, hal, tertentu, sebab yang halal.
Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa Sengketa yang
dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak
yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak
yang bersengketa. Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-
masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-
masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna
menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka.
Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan sebagai pilihan
penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat
(binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akanmenjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada lembaga arbitrase
tersebut). Setiap pendapat yang berlawananterhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut
berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu
tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun. Putusan Arbitrase
bersifat mandiri,final dan mengikat (seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap)sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau
pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah disebutkan di atas, penulis merumuskan beberapa
permasalahan yang akan dibahas selanjutnya, yaitu :
1. Apa faktor-faktor yang dapat membatalkan putusan arbitrase?
2. Bagaimana cara melaksanakan putusan Arbitrase Internasional?
3. Bagaimana pembatalan putusan BANI terkait kasus PT. Cipta Kridatama dan Bulk
Trading oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara
No.270/Pdt.P/2009/Pn.Jkt.Sel?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat membatalkan putusan arbitrase.
2. Untuk mengetahui cara melaksanakan putusan Arbitrase Internasional.
3. Untuk mengetahui putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada perkara
No.270/Pdt.P/2009/Pn.Jkt.Sel terhadap putusan BANI pada kasus PT. Cipta Kridatama
dan Bulk Trading.
BAB II
Tinjauan Umum
A. Pengertian Arbitrase
Arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
paling disukai oleh para pengusaha, karena dinilai sebagai cara yang paling serasi dengan
kebutuhan dalam dunia bisnis. Bahkan, arbitrase dinilai sebagai suatu pengadilan pengusaha
yang independen guna menyelesaikan sengketa yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
mereka.
Kata arbitrase berasal dari kata arbitrare (Latin), arbitrage (Belanda), arbitration
(Inggris), schiedspruch (Jerman), dan arbitrage (Perancis), yang berarti kekuasaan untuk
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan atau damai oleh arbiter atau wasit. Arbiter
sebagai pihak ketiga yang menengahi dalam menjalankan tugasnya dan menyelesaikan
sengketa dengan cara memberikan putusan. Dalam hal ini arbiter harus berada di posisi netral
dan tidak memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa. Selain dari itu yang paling
esensi adalah indepensi dari arbiter dalam melaksanakan tugasnya, sehingga dapat
diperoleh suatu putusan yang adil dan cepat bagi para pihak yang berbeda pendapat,
berselisih paham maupun bersengketa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arbitrase
mempunyai arti sebagai usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Dari pengertian tersebut,
dapatlah ditarik beberapa unsur penting dari arbitrase, yaitu:
1. Cara penyelesaian sengketa secara privat atau di luar pengadilan
2. Atas dasar perjanjian tertulis dari para pihak
3. Untuk mengantisipasi sengketa yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi
4. Dengan melibatkan pihak ketiga (arbiter atau wasit) yang berwenang mengambil
keputusan.
5. Sifat putusannya adalah final dan mengikat.
Penjelasan secara etimologi ini menekankan tentang keberadaan pihak ketiga yang
memiliki tugas untuk menengahi kedua belah pihak yang sedang menghadapi sengketa dan
memberikan jalan keluar bagi penyelesaian sengketa tersebut. Pihak ketiga ini berperan
sebagai jembatan bagi para pihak dalam menyelesaikan sengketanya dimana pihak ketiga ini
dapat memberikan putusan yang sifatnya final dan mengikat yang diharapkan dapat
menemukan kesepakatan serta memberikan kepuasan terhadap para pihak.
Menurut Black's Law Dictionary: "Arbitration. an arrangement for taking anabiding
by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to
establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, thedelay, the expense
and vexation of ordinary litigation". Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 30
tahun 1999 Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan
umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa. Pada dasarnya arbitrasedapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de compromitendo)
2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta
Kompromis)
Sebelum UU Arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615
s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat(1) Undang-
Undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan
bahwa penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit
(arbitrase) tetap diperbolehkan.
B. Jenis-jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun arbitrase melalui badan
permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan yang sengaja
dibentuk untuk tujuan arbitrase, misalnya UU No.30 Tahun 1999tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya
arbitrase ad-hoc direntukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis
arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase
Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan
arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai
aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti TheRules of Arbitration dari The
International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The
International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-
badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausul arbitrase
sebagai berikut:
"Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan- peraturan prosedur arbitrase
BANI,yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan
dalam tingkat pertama dan terakhir".
Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission of International
Trade Law) adalah sebagai berikut:
"Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan
perjanjian ini, atau wan prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjianakan diselesaikan
melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.
Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu:
1. Factum de compromitendo yaitu klausa arbitrase yang tercantum dalam perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.
2. Akta Kompromis yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa.
Menurut Priyatna Abdurrasyid, Ketua BANI, yang diperiksa pertama kali adalah
klausul arbitrase. Artinya ada atau tidaknya, sah atau tidaknya klausul arbitrase, akan
menentukan apakah suatu sengketa akan diselesaikan lewat jalur arbitrase. Priyatna
menjelaskan bahwa bisa saja klausul atau perjanjian arbitrase dibuat setelah sengketa timbul.
C. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui Penjelasan Umum UndangUndang
Nomor 30 tahun 1999 dapat terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase dibandingkan dengan pranata peradilan.
Keunggulan itu adalah :
1. Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin;
2. Keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif dapat dihindari;
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar belakang yang
cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur dan adil;
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian masalahnya, para pihak
dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase;
5. Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur
sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai keunggulan arbitrase. Menurut
Prof. Subekti bagi dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau
perwasitan, mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat,
oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara H.MN Purwosutjipto mengemukakan arti
pentingnya peradilan wasit (arbitrase) adalah:
1. Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan cepat.
2. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang
diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
3. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
4. Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahuitentang
kelemahan-kelemahan perushaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan
perwasitan inilah yang dikehendaki oleh para pengusaha.
Disamping keunggulan arbitrase seperti tersebut diatas, arbitrase jugamemiliki
kelemahan arbitrase. Dari praktek yang berjalan di Indonesia, kelemahan arbitrase adalah
masih sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk
eksekusi putusan arbitrase nasional maupun internasional sudah cukup jelas.
Meskipun penyelesaian melalui arbitrase diyakini memiliki keunggulan-keunggulan
dibandingkan dengan jalur pengadilan, tetapi penyelesaian melalui Arbitrase juga memiliki
kelemahan-kelemahan. Beberapa kelemahan dari Arbitrase dan ADR adalah :
1. Arbitrase belum dikenal secara luas, baik oleh masyarakat awam, maupunmasyarakat
bisnis, bahkan oleh masyarakat akademis sendiri. Sebagaicontoh masyarakat masih
banyak yang belum mengetahui keberadaan dankiprah dari lembaga-lembaga seperti
BANI, BASYARNAS dan P3BI.
2. Masyarakat belum menaruh kepercayaan yang memadai, sehingga engganmemasukkan
perkaranya kepada lembaga-lembaga Arbitrase. Hal ini dapatdilihat dari sedikitnya
perkara yang diajukan dan diselesaikan melaluilembaga-lembaga Arbitrase yang ada.
3. Lembaga Arbitrase dan ADR tidak mempunyai daya paksa ataukewenangan melakukan
eksekusi putusannya.
4. Kurangnya kepatuhan para pihak terhadap hasil-hasil penyelesaian yangdicapai dalam
Arbitrase, sehingga mereka seringkali mengingkari dengan berbagai cara, baik dengan
teknik mengulur-ulur waktu, perlawanan,gugatan pembatalan dan sebagainya.
5. Kurangnya para pihak memegang etika bisnis. Sebagai suatu mekanismeextra judicial,
Arbitrase hanya dapat bertumpu di atas etika bisnis, sepertikejujuran dan kewajaran.
D. Perjanjian Arbitrase
Perjanjian arbitrase bukan perjanjian bersyarat. perjanjian arbitrase tidak termasuk
pada pengertian ketentuan pasal 1253-1267 KUHPerdata. Oleh karena itu, pelaksanaan
perjanjian arbitrase tidak digantungkan kepada sesuatu kejadian tertentu di masa yang akan
datang. Perjanjian arbitrase tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi
hanya mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan
perselisihan yang terjadi antara pihak.
Perjanjian arbitrase tidak melekat menjadi suatu kesatuan dengan materi materi pokok
perjanjian. Perjanjian arbitrase yang lazim disebut klausula arbitrase merupakan tambahan
yang diletakkan pada perjanjian pokok. Jadi perjanjian arbitrase bersifat asesoir, dimana
keberadaannya hanya sebagai tambahan pada perjanjian pokok dan sama sekali tidak
mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan perjanjian pokok. Walaupun tanpa perjanjian
arbitrase, perjanjian pokok dapat berjalan terus dan berdiri sendiri dengan sempurna.
Sebaliknya tanpa adanya perjanjian pokok, tidak akan pernah ada perjanjian arbitrase.
Dari berbagai sumber undang-undang, peraturan dan konvensi internasional, dijumpai
dua bentuk perjanjian arbitrase sebagai berikut:
1. Pactum De Compromittendo
Bentuk klausula arbitrase yang pertama, disebut Pactum de compromittendo yang
berarti kesepakatan setuju dengan putusan arbiter atau wasit. Pactum de
kompromiteendo atau disebut juga Akta kompromitendo merupakan suatu klausula
dalam perjanjian pokok dimana ditentukan bahwa para pihak diharuskan mengajukan
perselisihannya kepada seorang atau majelis arbitrase
Dalam klausula arbitrase yang berbentuk pactum de compromittendo, para pihak
mengikat kesepakatan akan menyelesaikan sengketa yang mungkin timbul melalui forum
arbitrase. Pada saat mereka mengikat dan meneyetujui klausula arbitrase, sama sekali
belum terjadi perselisihan, seakan-akan klausula arbitrase dipersiapkan untuk
mengantisipasi perselisihan yang mungkin timbul di masa yang akan datang. Jadi,
sebelum terjadi perselisihan yang nyata, para pihak telah sepakat dan mengikat diri untuk
menyelesaikan perselisihan yang akan terjadi oleh arbitrase. Bentuk klausula pactum de
compromittendo diatur dalam pasal 7 UU Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi:
Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara
mereka untuk diselesaikanmelalui arbitrase.
Cara pembuatan klausula pactum de compromittendo ada dua cara
a. Dengan mencantumkan klausula arbitrase yang bersangkutan dalam perjanjian pokok.
b. Klausula pactum de compromittendo dibuat terpisah dalam akta tersendiri.
2. Akta Kompromis
Bentuk perjanjian Arbitrase yang kedua disebut akta kompromis atau
compromise and settlemen (perdamaian yang dicapai di luar pengadilan). Akta
kompromis adalah perjanjian khusus yang dibuat setelah terjadinya perselisihan guna
mengatur tentang cara mengajukan perselisihan yang telah terjadi itu kepada seorang atau
beberapa orang arbiter untuk diselesaikan. Akta kompromis harus dibuat dalam bentuk
tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, atau bisa juga dibuat di depan
notaris.
Akta kompromis diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi:
1. Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah
sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu
perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.
2. Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta
notaris.
3. Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat :
a. Masalah yang dipersengketaan;
b. Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau mejelis arbitrase;
d. Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e. Nama lengkap sekretaris;
f. Jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala
biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
4. Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal
demi hukum.
BAB III
PEMBASAHAN
A. Faktor-Faktor yang Dapat Membatalkan Putusan Arbitrase
Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, dalam artian tidak ada upaya hukum
seperti perlawanan, banding, kasasi atau peninjauan kembali. Namun karena beberapa hal
dimungkinkan pemabatalan putusan arbitrase tersebut. Pembatalan putusan arbitrase ini dapat
dilakukan jika terdapat hal-hal yang bersifat luar biasa. Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999
menentukan Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan
pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui
palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan ; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa.
Selanjutnya dalam Pasal 71 dan Pasal 72 beserta penjelasannya menyebutkan
permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
Pengajuannya disampaikan secara tertulis dalam jangka waktu 30 hari sejak dari penyerahan
dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan negeri. Ini berarti permohonan
pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di PN.
Kewenangan untuk memeriksa tuntutan pembatalan putusan arbitrase ada di tangan
Ketua PN. Pemeriksaannya dilakukan menurut proses peradian perdata. Pihak yang
mengajukan tuntutan pembatalan putusan arbitrase harus mengemukakan alasan-alasan
disertai dengan buktinya. Ketua PN dapat mengabulkan atau menolak permohonan tuntutan
pembatalan putusan arbitrase. Putusan tersebut harus sudah ditetapkan oleh Ketua PN dalam
jangka waktu 30 hari sejak permohonan pembatalan putusan arbitrase dimaksud diterima.
Terhadap putusan (Ketua) PN tersebut, hanya dapat diajukan permohonan banding
(kasasi) ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah
Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding dalam waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
B. Pelaksanakan Putusan Arbitrase Internasional
Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada
ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta
konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga diwilayah Indonesia. Pada
tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UNConvention on the Recognition and
Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York
tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar
di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981.
Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamahAgung
Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan
dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan
bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam
prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.
Pelaksanaan terhadap keputusan arbitrase asing didasarkan pada Pasal 65-69 UU
Nomor 30 Tahun 1999. Pasal 65 menyebutkan Yang berwenang menangani masalah
pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
Secara lebih rinci Pasal 66 menjelaskan bahwa Putusan Arbitrase Internasional hanya
diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu
negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral
maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional;
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada
putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum
perdagangan;
c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum;
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh
eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut
Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat
dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia
yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Teknis dari pelaksanaan putusan arbitrase internasional diatur dalam Pasal 67, yaitu
pada ayat (1) dinyatakan Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya
kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada ayat (2) nya Penyampaian berkas
permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan:
a. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal
otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase
Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan
resminya dalam bahasa Indonesia; dan
c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan
Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon
terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan Negara Republik
Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Suatu putusan eksekusi arbitrase internasional baru dapat dilaksanakan eksekusinya
dengan putusan Ketua PN Jakarta Pusat dalam bentuk perintah pelaksanaan (eksekuator).
Setelah Ketua PN Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi maka pelaksanaan selanjutnya
dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang
melaksanakannya. Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik
termohon eksekusi yang mana tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata
cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata.
C. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.270/Pdt.P/2009/Pn.Jkt.Sel
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengadili perkara perdata Permohonan
Pembatalan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) telah menjatuhkan
penetapan sebagai berikut dalam perkara antara: a). PT. Cipta Kridatama, selaku Pemohon;
melawan, b). Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), selaku Termohon, c). Bulk
Trading, SA, selaku Turut Termohon.
Bahwa pemohon dan telah sepakat membuat perjanjian untuk kegiatan penambangan
batubara yang dituangkan dalan Kontrak Pekerjaan Penambangan Batubara No. 01/CK-
BT/KON-TAMB/XII/2006 tertanggal 20 Februari 2007 (selanjutnya disebut Kontrak).
Berdasarkan kontrak ini pekerjaan penambangan akan dilakukan oleh PT. Cipta Kridatama
dalam jangka waktu 60 bulan atau apabila sudah tercapai target produksi 5,7 juta MT (metrik
ton). Adapun pekerjaan yang wajib dilakukan oleh PT. Cipta Kridatama dibagi dalam 2 tahap,
yaitu masa Pra-Produksi dilaksanakan pada 3 (tiga) bulan pertama yaitu Maret, April, Mei
2007 yaitu melakukan persiapan produksi (penambangan) berupa pengangkutan tanah, pasir,
batuan yang menutupi batubara (overburden), dan masa Produksi dimulai setelah lewatnya
masa Pra-Produksi, dimulai sejak Juni 2007 untuk jangka waktu 57 bulan. Selama masa
produksi, PT. Cipta Kridatama wajib memenuhi produksi batubara
bulanan pada jumlah 80.000 MT.
Untuk mengukur dan mengetahui pekerjaan-pekerjaan apa saja yang telah dilakukan
oleh PT. Cipta Kridatama, maka seluruh pekerjaan dicatat dalam Berita Acara yang
ditandatangani oleh PT. Cipta Kridatama dan Bulk Trading, SA. Selama persidangan di
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Bulk Trading, SA mengakui telah
menandatangani Berita Acara, baik selama masa Pra-Produksi maupun Produksi. Adapun
setiap jenis dan beberapa harga dari setiap pekerjaan diatur secara terperinci di dalam
kontrak. Akan tetapi dalam pelaksanaannya Bulk Trading, SA hanya melakukan pembayaran
atas 3 (tiga) invoice pertama yang PT. Cipta Kridatama terbitkan dengan nilai total sebesar
USD 955,704.00, dan selebihnya tidak dibayarkan.
Untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi, PT. Cipta Kridatama
mengajukan permohonan arbitrase terhadap Bulk Trading, SA melalui Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI), dengan mendalilkan bahwa Bulk Trading, SA telah melakukan
wanprestasi karena Bulk Trading, SA telah melalaikan kewajibannya untuk membayar
berdasarkan kontrak. Selanjutnya dalam proses arbitrase Bulk Trading, SA mengajukan
permohonan Rekonvensi dengan dalil bahwa PT. Cipta Kridatama lah yang telah melakukan
wanprestasi terhadap Bulk Trading, SA karena PT. Cipta Kridatama tidak dapat memenuhi
kewajibannya untuk memproduksi dan memasok batubara kepada Bulk Trading, SA yang
sudah di sepakati dalam kontrak setiap bulannya rata-rata 80.000 MT (metrik ton). Untuk
menyikapi permasalahan hukum yang terjadi antara PT. Cipta Kridatama dan Bulk Trading,
SA, majelis arbitrase telah memberikan putusan dalam perkara arbitrase No. 300/II/ARB-
BANI/2009 pada tanggal 22 Oktober 2009 dengan menyatakan menolak permohonan
arbitrase pemohon (PT. Cipta Kridatama) dalam Konvensi dan menerima permohonan
Rekonvensi termohon (Bulk Trading, SA) serta menyatakan bahwa PT. Cipta Kridatama lah
yang telah melakukan wanprestasi.
Merasa putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) jauh dari rasa keadilan,
maka PT. Cipta Kridatama mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase No.
300/II/ARB-BANI/2009 pada tanggal 22 Oktober 2009 melalui Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan dengan alasan-alasan diantaranya sebagai berikut:
Pertama, Bahwa pembacaan putusan arbitrase melebihi jangka waktu sebagaimana
diatur dalam pasal 57 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam jangka waktu 30 hari sejak pemeriksaan sengketa
berakhir atau ditutup, majelis arbitrase wajib mengucapkan putusannya, sebagai berikut:
Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan
ditutup.
Kedua, PT. Cita Kridatama juga mendalilkan bahwa putusan BANI menyalahi
prosedur administrasi yaitu sebagai berikut: a). Putusan tidak mencantumkan alamat masing-
masing arbiter. Sebagaimana hal tersebut diwajibkan oleh pasal 54 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; b). Amar putusan
keliru, dimana salah satu amar putusan dalam konvensi menghukum pemohon untuk
membayar biaya perkara sebesar USD 86.105 dan Rp 46.501.000. seharusnya sebesar USD
86.065 dan Rp 46.501.000.
Dengan demikian menurut PT. Cipta Kridatama, terbukti bahwa putusan Majelis
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) No. 300/II/ARB-BANI/ 2009 tanggal 22
September 2009 cacat hukum sehingga patut untuk dibatalkan atau dinyatakan batal demi
hukum.
Alasan-alasan yang diajukan terhadap pembatalan putusan arbitrase yang diajukan
oleh PT. Cipta Kridatama ini mendapat respon yang positif dari Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, dimana Pengadilan Negeri berpendapat bahwa alasan-alasan tersebut dapat
dibenarkan, dengan memperhatikan permohonan PT. Cipta Kridatama yang pada intinya
adalah menuntut untuk membatalkan atau menyatakan batal demi hukum Putusan Badan
Arbitrase Nasional Indonesia No. 300/II/ARB-BANI/2009 tanggal 22 Oktober 2009 dengan
alasan bahwa putusan tersebut diucapkan oleh majelis arbitrase telah melebihi jangka waktu
30 hari setelah pemeriksaan telah ditutup sebagaimana ketentuan pasal 57 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa. Keliru dalam
pertimbangan hukum dan putusan tidak mencantumkan alamat masing-masing arbiter
sebagaimana ketentuan pasal 54 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian sengketa. Serta keliru dalam menentukan jumlah biaya perkara
yang seharusnya sebesar USD $ 86.065 dalam rupiah 46.501.000,- tetapi dalam amar putusan
ditulis USD $ 86.105 dan 46.501.000.-
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.270/Pdt.
P/2009/PN.Jkt.Sel, dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah
mengabulkan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang dilakukan oleh PT. Cipta
Kridatama dengan melihat pada pasal 54 ayat (1) huruf e berkaitan dengan putusan arbitrase
yang tidak mencantumkan alamat arbiter, dan pasal 57 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, berkaitan dengan majelis
arbitrase yang telah menjatuhkan putusan dengan jangka waktu melebihi 30 (tiga puluh) hari
setelah pemeriksaan ditutup. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat bahwa
pelanggaran majelis arbitrase terhadap ketentuan pasal 54 dan pasal 57 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, merupakan
alasan-alasan yang sah untuk membatalkan putusan arbitrase dan tidak menggunakan alasan-
alasan yang tercantum dalam pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase.
Sebagaimana penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tersebut, dengan
menggunakan pasal 54 dan pasal 57 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase,
menurut penulis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah keliru mengabulkan permohonan
pembatalan putusan arbitrase pemohon yang dasar permohonannya berdasarkan pasal 54 dan
57 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Hal tersebut dikarenakan pasal 54 dan pasal 57 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak memuat sanksi batalnya
putusan arbitrase.
Mengenai permohonan pemohon yang menyatakan bahwa putusan arbitrase tidak
mencantumkan alamat arbiter, sehingga melanggar pasal 54 ayat (1) huruf e, hemat penulis
hal tersebut tidak mengakibatkan putusan arbitrase menjadi batal. Kalaupun pemohon
menganggap hal tesebut sebagai sesuatu kekurangan dalam putusan, maka pihak PT. Cipta
ktidatama selaku pemohon memiliki hak untuk mengajukan koreksi terhadap kekeliruan
administratif sebagaimana diatur dalam pasal 58 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam waktu 14 hari setelah putusan
diterimanya. Dan mengenai melebihi jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
pemeriksaan ditutup, sehingga melanggar pasal 57 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam kasus ini para pihak telah
menyepakati secara tertulis tentang adanya penundaan putusan.
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, satu satunya pasal yang mengatur tentang pembatalan putusan
arbitrase ada pada pasal 70 yaitu dengan alasan jika surat atau dokumen diakui atau
dinyatakan palsu, ditemukan dokumen yang menentukan yang disembunyikan pihak lawan
atau putusan yang diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak. Dengan
adanya ketentuan dari pasal 70 ini maka tidak ada alasan diluar pasal 70 yang dapat
membatalkan putusan arbitrase. Hal tersebut hemat penulis agar menjaga putusan arbiterse,
mengingat bahwa putusan arbitrase bersifat final and binding, maka sewajarnya upaya
permohonan pembatalan putusan arbitrase ini diatur dengan setegas mungkin.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
1. Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 menentukan Terhadap putusan arbitrase para pihak
dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung
unsur-unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan,
diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan ; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa
2. Pasal 66 menjelaskan bahwa Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat
dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu
negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral
maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional;
b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada
putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup
hukum perdagangan;
c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum;
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh
eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang
menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa,
hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
3. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat bahwa pelanggaran majelis arbitrase
terhadap ketentuan pasal 54 dan pasal 57 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, merupakan alasan-alasan yang sah untuk
membatalkan putusan arbitrase dan tidak menggunakan alasan-alasan yang tercantum
dalam pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase.
DAFTAR PUSTAKA
Emrizon, Joni. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 2001.
Fuady, Munir. Arbitrase Nasional: Alternatif Penyelesaian sengketa Bisnis. Bandung: Citra
Aditya, 2006.
Harahap, M. Yahya. Arbitrase Ditinjau dari: Reglemen Acara Perdata, Peraturan Prosedur
BANI, ICSID, dan Peraturan Arbitrase UNCITRAL. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
__________. Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Margono, Suyud. ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase, Proses Pelembagaan
dan Aspek Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Liberty,
1999.
Rajagukguk, Erman, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan. Jakarta: Chandra Pratama, 2000.
Ricky W.Griffin dan Ronald J. Ebert. Bisnis edisi Ketujuh Jilid 1. Jakarta: Indeks. 2005
Sutiyoso, Bambang. Penyelesaian Sengketa Bisnis. Yogyakarta: Citra Media. 2006

Anda mungkin juga menyukai