Anda di halaman 1dari 21

i

DAFTAR ISI

BAB I TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................1

A. Definisi...................................................................................................1

B. Epidemiologi..........................................................................................1

C. Anatomi Esofagus..................................................................................1

D. Etiopatogenesis......................................................................................3

E. Gejala Klinis...........................................................................................6

F. Diagnosis................................................................................................7

G. Penatalaksanaan Akalasia.....................................................................11

H. Diagnosis Banding...............................................................................15

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21
1

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Istilah achalasia dalam bahasa Yunani berarti lack of relaxation, pertama

kali di kenalkan oleh Arthur Hurst di awal tahun 1927. Akalasia didefinisikan sebagai

gangguan motilitas esofagus ditandai dengan aperistalsis atau gangguan peristalsis

esofagus dan relaksasi yang inadekuat pada sfingter esofagus bagian bawah (lower

esophageal sphincter/LES) yang disebabkan karena kerusakan pleksus myenterikus

(saraf yang ada di musculus longitudinal dan musculus sirkular).

B. Epidemiologi

Akalasia merupakan kasus yang jarang. Insidensi akalasia sekitar 1-

10:100.000 penduduk dengan distribusi laki-laki perempuan sama. Tidak ada

predileksi berdasarkan ras. Akalasia terjadi pada semua umur dengan kejadian dari

lahir sampai dekade 7-8 dan puncak kejadian pada umur 30 - 60 tahun.

C. Anatomi Esofagus

Esofagus manusia dewasa merupakan tabung muskuler panjang sekitar 25 cm

yang terdiri atas bagian servikal, torakal, dan abdominal. Dinding esofagus terdiri

dari otot lurik di bagian atas, otot polos di bagian bawah, dan campuran keduanya

dibagian tengah. Spingter esophagus bawah (LES) merupakan zona tekanan tinggi

yang terletak di bagian esofagus yang menyatu dengan lambung. LES adalah spingter

fungsional terdiri dari komponen intrinsik dan ekstrinsik. Komponen ekstrinsik terdiri
2

dari otot diafragma yang berfungsi sebagai ajuvan spingter eksternal. Saraf motorik

esofagus didominasi saraf vagus.

Otot polos esofagus distal dan LES dipersarafi oleh preganglionik, serat

kolinergik yang berasal dari inti motorik dorsal (Dorsal Motorik Neuron/DMN) di

batang otak dan berakhir di pleksus myenterikus (Auerbach). Peristaltik merupakan

hasil dari relaksasi terkoordinasi dan kontraksi yang dimediasi oleh neuron pleksus

myenterikus inhibisi dan eksitasi di sepanjang esophagus.

1) Oesophagus pars cervical membentang dari pharyngoesophageal junction

hingga tepi bawah Vertebra Cervical VII.

2) oesophagus pars thoracica membentang dari Vertebrae Thoracica I sampai

pada hiatus oesophagus pada diaphragma yang terletak setinggi Vertebrae

Thoracica X.

3) oesophagus pars abdominalis membentang dari hiatus oesophagus sampai

pada orificium cardiaca gaster


3

D. Etiopatogenesis

1 Akalasia primer

Etiologi akalasia primer masih belum diketahui, namun beberapa hipotesis

menyatakan akalasia disebabkan karena genetika, infeksi virus, autoimun, dan

neurodegenerasi. Setiap hipotesis berusaha menghubungkan dengan tidak adanya

ganglia pleksus myentericus di esophagus, meskipun terdapat kemungkinan bahwa

teori teori tersebut terjadi bersamaan.

a Teori genetika

Kasus akalasia pada anak dan karena keturunan sangat jarang. Sehingga teori

genetika tidak mendukung sebagai penyebab akalasia primer. Beberapa kasus

akalasia lahir dari orang tua atau kerabat dengan akalasia telah dilaporkan. Hanya ada

satu laporan kasus kembar monozigot dengan akalasia yaitu Sindrom Allgrove.
4

merupakan penyakit resesif autosomal pada anak-anak dengan gejala alacrima,

insufisiensi adrenal, keterbelakangan mental, dan neuropati otonom dan perifer

b Teori hipotesis viral

Sejumlah penelitian mengaitkan agen virus dalam patogenesis akalasia.

Etiologi ini tampaknya masuk akal mengingat distribusi usia pasien akalasia seragam.

Selain itu, penyakit Chagas merupakan contoh patogen menular yang dapat

menyebabkan akalasia. Sebuah laporan awal mencatat peningkatan signifikan secara

statistik pada titer antibodi terhadap virus campak pada pasien dengan akalasia

dibandingkan dengan kontrol, namun penelitian ini belum dibuktikan. Virus lain yang

di duga bearkaitan dengan akalasia adalah virus varicella zoster. Penelitian terbaru

lain menggunakan teknik polymerase chain reaction tidak mendeteksi adanya

campak, herpes atau virus papiloma pada spesimen myotomy pasien akalasia.

Penelian dengan hasil yang negatif tidak mengesampingkan adanya specimen virus

yang lain sebagai etiologi dari akalasia. Kemungkinan yang mendukung etiologi ini

adalah penelitian terbaru yang menunjukkan immunoreaktif sel-sel inflamasi pasien

akalasia sebagai respon terhadap antigen virus meskipun peneliti tidak dapat

mendeteksi virus dalam sampel.

c Teori hipotesis autoimmun

Adanya infiltrasi inflamasi di esofagus yang terkena akalasia menimbulkan

spekulasi adanya patogenesis autoimun. Infiltrasi inflamasi pada pleksus myentericus

terdapat pada 100% specimen. Adanya infiltrasi sel pada imunohistokimiawi ditandai

dengan adanya sel T positif CD3 dan CD8. Infiltrasi eosinofilik yang signifikan juga
5

dibuktikan pada beberapa pasien dengan akalasia. Storch et al menunjukkan adanya

antibody yang melawan pleksus myentericus di serum 37 dari 58 pasien akalasia dan

hanya ada empat dari 54 kontrol pada serum pasien sehat. Penelitian ini gagal

mendeteksi antibodi dalam serum pasien dengan penyakit Hirschsprung atau kanker

esofagus dan hanya satu dari 11 pasien dengan esofagitis peptikum. Namun, karena

defek dalam akalasia primer cukup spesifik di esophagus, makna antibodi yang

beredar mempunyai target tidak hanya esofagus tetapi juga neuron di usus. Namun,

derajat immunostaining pada serum ditunjukkan oleh 8 dari 16 pasien dengan

penyakit gastroesophageal reflux. Hal ini menunjukkan bahwa antibodi antineuronal

terdeteksi mungkin merupakan fenomena yang tidak spesifik atau fenomena sekunder

yang tidak memainkan peran dalam patogenesis akalasia.

d Teori hipotesis neurodegenerasi

Neurodegenerasi merupakan hipotesis ketiga yang diusulkan sebagai etiologi

akalasia primer. Pada akalasia disebutkan terjadi hilangnya neuron dalam inti motorik

vagal dan terjadi perubahan degeneratif dari serabut saraf vagal. Lesi yang dibuat

secara eksperimental di batang otak dan saraf vagus pada hewan menghasilkan

kelainan motilitas esofagus yang menyerupai akalasia. Sehingga peneliti berspekulasi

tempat yang berkaitan dengan akalasia primer adalah di inti motorik dorsal dan saraf

vagus yang menyebabkan kelainan myentericus sekunder. Mayoritas penelitian

patologis menemukan kelainan dominan akalasia di dalam pleksus myentericus

dengan ditandai adanya berkurangnya atau tidak adanya sel ganglion serta adanya

infiltrasi inflamasi plexus myenterikus. Defek di persarafan vagal diperkirakan


6

menyebabkan kelainan klinis di luar esofagus termasuk gangguan pengosongan

lambung, yang jarang terlihat pada pasien akalasia. Sangat mungkin adanya

perubahan neurodegeneratif di akalasia merupakan sekunder dari adnaya virus atau

kerusakan karena autoimun diganglia enterik1.

2 Akalasia sekunder / pseudo akalasia

Pseudoakalasia adalah sindrom klinis yang mirip dengan akalasia. Kejadian

pseudoakalasia sekitar 2% -4% dari pasien dengan curiga akalasia. Secara umum,

pasien dengan pseudoakalasia lebih tua dengan riwayat disfagia lebih singkat dan

disertai penurunan berat badan. Namun, tiga tanda ini memiliki spesifitas yang

rendah. Penyebab umum pseudoakalasia adalah keganasan yang menginfiltrasi

gastroesophageal junction. Oleh karena itu, pasien dengan dugaan akalasia perlu

berhati-hati dalam melakukan tindakan endoskopi gastrointestinal bagian atas,

khususnya di dekat kardia dan gastroesophageal junction. Jika masih dicurigai

pseudoakalasia, USG endoskopik dengan probe 20 mHz atau Computed Tomography

scan dada dapat membantu penegakan diagnosis.

Penyebab patologi selain keganasan yang diyakini menyebabkan akalasia

sekunder antara lain penyakit chagas, juvenile sjogrens, amyloidosis, chronik

idiopathic intestinal, sarcoidosis, neurofibromatosis, dan scleroderma

E. Gejala Klinis

Pasien dengan akalasia, terlepas dari penyebabnya primer atau sekunder

mempunyai gejala klinis yang hampir sama. Gejalanya antara lain kelainan menelan /

disfagia progresif, odynofagia, regurgitasi, nyeri dada, dan penurunan berat badan.
7

Diagnosis akalasia harusnya disuspekkan pada tiap pasien yang mempunyai keluhan

disfagia makanan padat dan cair disertai regurgitasi makanan dan saliva. Terjadinya

disfagia biasanya bertahap, awalnya digambarkan sebagai "rasa penuh di dada" atau

"sticking sensation" dan terjadi setiap hari atau setiap kali makan. Awalnya, disfagia

terutama pada makanan padat, namun seiring waktu terjadi disfagia pada makanan

padat dan cair terutama minuman dingin. Mekanisme nyeri dada tidak diketahui,

tetapi gejala ini bukan hanya merupakan kontraksi simultan dari episode yang

berulang, namun dapat menyebabkan lumen esofagus tersumbat. Pelebaran

pneumatik atau pembedahan dapat mengurangi disfagia dan regurgitasi. Heartburn

atau rasa seperti terbakar di dada merupakan keluhan yang sering terjadi di akalasia,

meskipun faktanya akalasia tidak berhubungan dengan peningkatan episode refluks

asam. Kebanyakan pasien akalasia memiliki beberapa derajat penurunan berat badan

namun biasanya dalam jangka lama bulan sampai tahun.

F. Diagnosis

1 Endoskopi gastrointestinal bagian atas

Pemeriksaan endoskopi dilakukan dengan ketentuan harus menyingkirkan

adanya keganasan. Saat endoskop masuk melewati LES tekanan yang di berikan

mudah dan lancar, tidak ada striktur yang disebabkan karena neoplasia atau fibrosis.

Kesan adanya peristaltik esofagus dan LES pada pemeriksaan endoskopi tidak

akurat. Kesan berkurangnya peristalsis dan LES tidak sensitif maupun spesifik.

Retensi makanan di esofagus dapat dianggap sebagai parameter yang lebih spesifik
8

dalam mendiagnosis akalasia, tetapi hanya terjadi pada pasien dengan penyakit lanjut

dan gangguan transit yang berat.

akalasia esofagus jika dilihat secara: A. Anatomis, B. Endoskopi, C. Esofagografi

2 Pemeriksaan dada x-ray

Pemeriksaan dada x-ray merupakan pemeriksaan awal pada pasien dengan

akalasia. Pemeriksaan dada x-ray akalasia berat menunjukkan adanya pelebaran

mediastinum yang disebabkan esofagus yang membesar dan melebar dengan

gambaran air fluid level di setinggi arkus aorta atau diatasnya disertai adanya

esofagus yang melebar. Selain itu pada akalasia tidak didapatkan gelembung udara di

lambung yang disebabkan karena kegagalan relaksasi LES.


9

Gambaran foto toraks pada akalasia esofagus menunjukkan esofagus yang

berdilatasi

3 Esofagogram

Esophagogram mempunyai kemampuan mengetahui gangguan fungsional

akalasia, yaitu gangguan pengosongan esofagus. Pemeriksaan esofagografi pada

penderita akalasia esofagus, menunjukkan esofagus bagian distal yang menyerupai

paruh burung (bird-beak appereance) atau ekor tikus (mouse tail appereance)
10

4 Manometri esofagus

Manometri esofagus merupakan gold standart dalam penegakan diagnosis

akalasia dan harus dilakukan pada setiap pasien yang akan dilakukan perawatan

invasif seperti pelebaran pneumatik atau myotomy bedah. Karena akalasia hanya

melibatkan otot polos esofagus, kelainan manometri terbatas pada 2/3 esofagus

bagian distal. Diagnosis akalasia diperlukan jika ditemukan tekanan LES yang

meningkat pada fase istirahat, relaksasi LES inkomplet dan tidak adanya peristaltik.

Pemeriksaan tekanan LES dengan manometri memiliki negatif palsu 48%.

Adanya manometri resolusi tinggi membantu membuat diagnosis akalasia secara teliti

dengan mengevaluasi LES dan relaksasi esofagogastric junction menggunakan

tekanan relaksasi terintegrasi.

tekanan yang tinggi pada spinchter esofagus bawah

G. Penatalaksanaan akalasia

1 Terapi Non-Bedah
11

a Medikamentosa
Pemberian obat yang bersifat merelaksasikan otot polos, seperti
nitrogliserin 5 mg sublingual atau 10 mg per oral, dan juga
methacholine, dapat membuat spinchter esofagus bawah berelaksasi
sehingga membantu membedakan antara suatu striktur esofagus distal
dan suatu kontraksi spinchter esofagus bawah. Selain itu, dapat juga
diberikan calcium channel blockers (nifedipine 10-30 mg sublingual),
dimana dapat mengurangi tekanan pada spinchter esofagus bawah.
Namun demikian, hanya sekitar 10% pasien yang berhasil dengan terapi
ini. Terapi ini sebaiknya digunakan untuk pasien lanjut usia yang
mempunyai kontraindikasi terhadap pneumatic dilation atau tindakan
pembedahan.

b Injeksi Botulinum Toksin


Suatu injeksi botulinum toksin intra-spinchter dapat digunakan untuk
menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian spinchter esofagus
bawah, yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara
neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik. Dengan menggunakan
endoskopi, toksin diinjeksi dengan memakai jarum skleroterapi yang
dimasukkan ke dalam dinding esophagus dengan sudut kemiringan 45,
di mana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di atas
squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat
di atas batas proksimal dari spinchter esofagus bawah dan toksin
tersebut diinjeksi secara kaudal ke dalam spinchter. Dosis efektif yang
digunakan, yaitu 80-100 unit/ml yang dibagi dalam 20-25 unit/ml untuk
diinjeksikan pada setiap kuadran dari spinchter esofagus bawah. Injeksi
diulang dengan dosis yang sama 1 bulan kemudian untuk mendapatkan
hasil yang maksimal. Namun demikian, terapi ini mempunyai penilaian
yang terbatas, di mana 60% pasien yang telah diterapi masih tidak
12

merasakan disfagia 6 bulan setelah terapi; persentasi ini selanjutnya


turun menjadi 30% walaupun setelah beberapa kali penyuntikan dua
setengah tahun kemudian. Sebagai tambahan, terapi ini sering
menyebabkan reaksi inflamasi pada bagian gastroesophageal junction,
yang selanjutnya dapat membuat miotomi menjadi lebih sulit. Terapi ini
sebaiknya diaplikasikan pada pasien lanjut usia, yang mempunyai
kontraindikasi terhadap pneumatic dilation atau tindakan pembedahan.
Baru-baru ini, injeksi intra-sphincter dari toksin botulinum neurotoksin
telah berhasil digunakan pada pasien dengan achalasia.

Gambar : Teknik injeksi intrasphincteric pada achalasia

c Pneumatic Dilation
Pneumatic dilation telah menjadi bentuk terapi utama selama bertahun-
tahun. Suatu balon dikembangkan pada bagian gastroesophageal
junction yang bertujuan untuk merupturkan serat otot dan membuat
mukosa menjadi intak. Persentase keberhasilan awal adalah antara 70%
dan 80%, namun akan turun menjadi 50% pada 10 tahun kemudian,
13

walaupun setelah beberapa kali dilakukan dilatasi. Rasio terjadinya


perforasi sekitar 5%. Jika terjadi perforasi, pasien segera dibawa ke
ruang operasi untuk penutupan perforasi dan miotomi yang dilakukan
dengan cara thorakotomi kiri.

Gambar : Teknik pneumatic dilation pada achalasia (dikutip dari kepustakaan 18)

2 Terapi Bedah
Suatu laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication adalah suatu
prosedur pilihan untuk achalasia esofagus. Operasi ini terdiri dari suatu
pemisahan serat otot (miotomi) dari spinchter esofagus bawah (5 cm) dan
bagian proksimal lambung (2 cm), yang diikuti oleh partial fundoplication
untuk mencegah refluks. Pasien dirawat di rumah sakit selama 24-48 jam,
dan kembali beraktivitas sehari-hari setelah kira-kira 2 minggu. Secara
efektif, terapi pembedahan ini berhasil mengurangi gejala sekitar 85-95%
dari pasien, dan insidens refluks postoperatif adalah antara 10% dan 15%.
Oleh karena keberhasilan yang sangat baik, perawatan rumah sakit yang
14

tidak lama, dan waktu pemulihan yang cepat, maka terapi ini dianggap
sebagai terapi utama dalam penanganan achalasia esofagus.

Gambar : Tindakan laparoskopik miotomi Heller dan partial fundoplication

H. Diagnosis Banding

Pemeriksaan yang
Jenis Penyakit Perbedaan Gejala dan Tanda Dilakukan untuk
Menegakkan Diagnosis
Karsinoma Disfagia pada makanan- Pemeriksaan esofagografi dan
esofagus makanan padat terjadi lebih endoskopi menunjukkan
awal, meskipun kesulitan adanya obtruksi pada
untuk menelan makanan esofagus akibat adanya tumor
cair dapat terjadi jika
15

progresifitas penyakit sudah


lanjut
Kehilangan berat badan
dengan cepat
Pemeriksaan endoskopi
Disfagia dapat terjadi akibat menunjukkan esofagitis
adanya pembengkakan refluks, dengan atau tanpa
ataupun striktur fibrosis striktur peptikum.
peptikum, dengan atau Mungkin terdapat hernia
tanpa kelainan pada hiatus yang terletak di
Esofagitis refluks endoskopi bawah striktur.
Pasien biasanya Pemeriksaan esofagografi
mengeluhkan heartburn memiliki sensitivitas yang
dan/atau regurgitasi sebagai rendah
gejala tambahan dari Terdapat perbedaan pH
disfagia pada esofagus distal jika
terjadi refluks
Pemeriksaan antibodi
antinuklear, faktor
Penyakit jaringan Terdapat nyeri pada otot dan
rheumatoid, dan kreatin
konektif sendi, Raynauds phenomenon,
kinase dapat menjadi skrining
(misalnya: dan perubahan pada kulit
dalam mendiagnosis
sklerosis sistemik) (rash, pembengkakan kulit)
penyakit-penyakit jaringan
konektif.
Spasme esofagus Gejala nyeri dada lebih Pemeriksaan manometri
menonjol daripada gejala esofagus menunjukkan
disfagia kontraksi esofagus dengan
amplitudo yang tinggi,
dibandingkan dengan
16

gambaran aperistaltik yang


ditunjukkan pada achalasia
esofagus.
Gejala klinis berupa disfagia Biopsi pada esofagus
Esofagitis intermitten, lebih sering terjadi menunjukkan infiltrasi
eosinofilik pada laki-laki muda dengan eosinofil (>15 eosinofil per
riwayat atopi lapangan pandang)
Biopsi gastroskopik pada
Gejala klinis serupa dengan gastroesophageal junction
achalasia esofagus idiopatik dan kardia menunjukkan
(tidak dapat dibedakan suatu malignansi
secara klinis) Hasil pemeriksaan
Penyakit ini disebabkan endoskopi, esofagografi,
Pseudoachalasia
oleh suatu malignansi dan manometri esofagus
Penderita biasanya berusia mungkin tidak
tua, dan kehilangan berat menunjukkan perbedaan
badan terjadi lebih besar dibandingkan dengan
dan cepat achalasia esofagus
idiopatik
Merupakan penyakit
Pemeriksaan mikroskopik
endemik di Amerika Tengah
pada darah segar
dan Selatan, terdapat
menunjukkan adanya
manifestasi klinis pada
Trypanosoma cruzi
Penyakit Chagas berbagai organ berupa
Pewarnaan Giemsa pada
atonia kolon, miokarditis,
sediaan apusan darah tepi
dan pembengkakan kelopak
menunjukkan adanya
mata pada fase akut
parasit
(Romana sign)
17

BAB II

PEMBAHASAN

Akalasia merupakan gangguan motilitas esofagus yang ditandai tidak adanya

peristaltik primer dan relaksasi inkomplet dari lower esophageal sphincter / LES.

Kebanyakan pasien merupakan akalasia primer (idiopatik) dan disebabkan karena

hilangnya sel-sel ganglion dalam pleksus myenterikus esofagus. Akalasia sekunder

(pseudoakalasia) disebabkan karena keganasan tumor di gastroesophageal junction

atau pada beberapa kasus disebabkan karena kondisi jinak seperti penyakit chagas,

scleroderma. Hampir 75 % pasien akalasia sekunder disebabkan karena karsinoma

kardia lambung, yang lain disebabkan karsinoma esofagus atau metastasis dari

karsinoma paru, payudara, pankreas, rahim, dan kelenjar prostat ke mediastinum atau

ke gastroesophageal junction.

Tiga kriteria yang digunakan oleh radiologist untuk diagnosis akalasia adalah

dilatasi esofagus, penyempitan bentuk bird beak di gastroesophageal junction atau

rat tail appearance dan adanya bukti stasis dari sisa makanan dan air liur. Sedangkan

menurut penelitian amaravadi dkk, temuan secara radiologi diagnosis akalasia adalah

tidak adanya peristaltik primer, kegagalan pembukaan LES, dilatasi esofagus,

pengosongan barium yang tertunda dan adanya kontraksi nonperistaltik.

Sulit membedakan akalasia primer dari akalasia sekunder dengan pemeriksaan

barium esofagogram. Hanya sedikit data di literatur yang menyebutkan pemeriksaan


18

barium berguna untuk membedakan akalasia primer dari sekunder. Pada pemeriksaan

barium hallmark akalasia primer ditandai tidak adanya peristaltik primer dan adanya

penyempitan bertahap, mengerucut, bentuk lonjong di distal esofagus yang sifatnya

halus, simetris dengan panjang sekitar 1-3 cm. Gambaran tersebut disebabkan karena

relaksasi inkomplet sfingter esofagus bagian bawah (gastroesophageal junction).

Selain itu pada akalasia primer segmen esofagus lentur, kontur mukosa mulus tanpa

nodul, tanpa perubahan kontur yang tiba-tiba, dan tanpa bukti massa intraluminal.

Selain sifat penyempitan didistal esofagus, panjang penyempitan didistal

esofagus dan lebar diameter esofagus yang mengalami dilatasi dapat membedakan

akalasia primer dari sekunder. Pada akalasia sekunder penyempitan segmen didistal

esofagus lebih panjang (>3,5 cm) dan diameter esofagus mengalami dilatasi lebih

pendek (<4 cm) dibanding akalasia primer. Meskipun pengukuran tersebut sering bias

akibat adanya magnifikasi yang tergantung dari tinggi fluoroskopi diatas meja

pemeriksaan.

Pada waktu yang lampau, pemeriksaan radiografi sederhana dapat

membedakan akalasia primer dengan pseudoakalasia, yaitu dengan pemberian

inhalasi amil nitrat, bubuk seidlitz atau mecholyl. Pemberian agen ini harus dibawah

fluoroskopi untuk mengetahui perubahan jelas di esofagus. Pemberian amil nitrat

(relaksan otot polos) menyebabkan peningkatan diameter spingter yang menyempit

kurang lebih 2,0 mm atau lebih. Mecholyl (asetilkolin sintetis) menyebabkan

peningkatan peristaltik oleh karena hipersensitifitas denervasi pada pasien akalasia


19

primer (gambar 21). Pada akalasia sekunder pemberian agen ini tidak berpengaruh

pada esofagus (esofagus tidak mengalami peningkatan diameter).

Gambaran radiografi akalasia sekunder pada pemeriksaan barium bervariasi

tergantung etiologi. Keganasan primer atau metastasis sering dikaitkan dengan

ulserasi mukosa atau modularitas. Segmen yang terlibat dapat menunjukkan

penyempitan yang tidak teratur atau asimetris. Karsinoma kardia lambung merupakan

penyebab paling sering akalasia sekunder dan sering terdiagnosis pada pemeriksaan

barium. Adanya protusio atau lesi eksofitik yang menetap saat barium melewati

esofagus merupakan indikasi kuat akalasia sekunder. Temuan lain meliputi kekakuan

gastroesophageal juncion, deformitas kontur fundus, atau peningkatan ketebalan

jaringan lunak antara fundus dan diafragma. Adanya distorsi, obliterasi, atau

pembesaran regio cardia dengan gambaran "rosette" cenderung mengarah pada

akalasia sekunder. Massa mukosa jinak seperti leiomioma sering menunjukkan

adanya efek massa dan pelebaran esofagus proksimal tanpa adanya invasi ke esofagus

atau abnormalitas lain..

Manometri esofagus merupakan standar emas untuk diagnosis akalasia. Tiga

ciri klasik akalasia pada pemeriksaan manometrik adalah: aperistalsis di badan

esofagus, peningkatan tekanan LES lebih besar dari 45 mmHg (normal 15-30 mmg

Hg) dan gangguan relaksasi LES saat menelan. Endoskopi pada pasien dengan

akalasia bukan sebagai alat diagnosis, namun untuk mengecualikan adanya entitas

penyakit lain dan mengetahui adanya komplikasi. Temuan endoskopi pada akalasia
20

primer adalah mukosa esofagus normal dengan tingkat resistensi tekanan endoskopi

saat melalui persimpangan EG derajat ringan sampai moderat.

DAFTAR PUSTAKA

Wikipedia. Achalasia [online]. 2012 [cited 2012 April 6]. Available from: URL:
http://en.wikipedia.org/wiki/Achalasia

Ismail, Ali. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid ll. Edisi Ketiga. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta.

Rasad, Syahriar. 2005. Radiologi Diagnostik. Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Jakarta.

Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Rastuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher edisi keenam. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.

http://imaging.consult.com/

http://radiographics.rsna.org/content/23/4/897.full

Anda mungkin juga menyukai