BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Etiologi
1. Emboli
Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan tetapi
dapat juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik.(5)
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-
sided circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli
kardiogenik adalah trombi valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis,
katup buatan), trombi mural (seperti infark miokard, atrial fibrilasi,
kardiomiopati, gagal jantung kongestif) dan atrial miksoma. Sebanyak 2-3
persen stroke emboli diakibatkan oleh infark miokard dan 85 persen di
antaranya terjadi pada bulan pertama setelah terjadinya infark miokard.(4)
4
2. Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar
(termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus
Willisi dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang paling sering
adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari
arteri karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya
turbulensi aliran darah (sehingga meningkatkan resiko pembentukan trombus
aterosklerosis (ulserasi plak), dan perlengketan platelet.(4)
3. Patofisiologi
d. Kelainan jantung
1) Menyebabkan menurunnya curah jantung a.l. fibrilasi, blok
jantung.
2) Lepasnya embolus menimbulkan iskemia di otak.
2.3 Klasifikasi
2.5 Penatalaksanaan
6
b. Circulation
Pasien dengan stroke iskemik akut membutuhkan terapi intravena dan
pengawasan jantung. Pasien dengan stroke akut berisiko tinggi mengalami
aritmia jantung dan peningkatan biomarker jantung. Sebaliknya, atrial
fibrilasi juga dapat menyebabkan terjadinya stroke.(11,12,13,14)
c. Pengontrolan gula darah
d. Posisi kepala pasien
e. Pengontrolan tekanan darah
f. Pengontrolan demam
g. Pengontrolan kejang
1) Terapi Trombolitik
Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara
intravena akan mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim
proteolitik yang mampu menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan protein
pembekuan lainnya. Pada penelitian NINDS (National Institute of
Neurological Disorders and Stroke) di Amerika Serikat, rt-PA diberikan
dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah onset stroke, dalam dosis 0,9
mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis tersebut diberikan secara
bolus IV sedang sisanya diberikan dalam tempo 1 jam.
7
2) Antikoagulan
1. Warfarin
Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein plasma.
Waktu paro plasma: 44 jam. Dimetabolisir di hati, ekskresi: lewat urin.
Dosis: 40 mg (loading dose), diikuti setelah 48 jam dengan 3-10
mg/hari, tergantung PT. Reaksi yang merugikan: hemoragi, terutama
ren dan gastrointestinal.(16)
2. Heparin
Merupakan acidic mucopolysaccharide, sangat terionisir. Normal
terdapat pada mast cells. Cepat bereaksi dengan protein plasma yang
terlibat dalam proses pembekuan darah. Heparin mempunyai efek
vasodilatasi ringan. Heparin melepas lipoprotein lipase. Dimetabolisir
di hati, ekskresi lewat urin. Wakto paro plasma: 50-150 menit.
Diberikan tiap 4-6 jam atau infus kontinu. Dosis biasa: 500 mg (50.000
unit) per hari.
3) Hemoreologi
Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu peningkatan
hematokrit, berkurangnya fleksibilitas eritrosit, aktivitas trombosit,
peningkatan kadar fibrinogen dan aggregasi abnormal eritrosit, keadaan ini
menimbulkan gangguan pada aliran darah. Pentoxyfilline merupakan obat
yang mempengaruhi hemoreologi yaitu memperbaiki mikrosirkulasi dan
oksigenasi jaringan dengan cara: meningkatkan fleksibilitas eritrosit,
menghambat aggregasi trombosit dan menurunkan kadar fibrinogen
plasma. Dengan demikian eritrosit akan mengurangi viskositas darah.
Pentoxyfilline diberikan dalam dosis 16/kg/hari, maksimum 1200 mg/hari
dalam jendela waktu 12 jam sesudah onset.(15)
4) Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)
1. Aspirin
2. Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)
penderita anak-anak. Anemia gravis dapat bersifat akut dan kronis. Anemia
kronis dapat disebabkan oleh anemia defisiensi besi (ADB), sickle cell anemia
(SCA), talasemia, spherocytosis, anemia aplastik dan leukemia. Anemia gravis
kronis juga dapat dijumpai pada infeksi kronis seperti tuberkulosis (TBC) atau
infeksi parasit yang lama, seperti malaria, cacing dan lainnya. Anemia gravis
sering memberikan gejala serebral seperti tampak bingung, kesadaran
menurun sampai koma, serta gejala-gejala gangguan jantung.
1. Prevalensi anemia
Menurut Organisasi Kesehatan dunia (WHO), tahun 2005 didapati
1.62 milyar penderita anemia di seluruh dunia. Angka prevalensi anemia di
Indonesia menurut Husaini dkk (2008) terdapat dalam tabel berikut.
Tabel 1. Pravalensi anemia di Indonesia
Malaria
10
Gambar 3.
Abnormalitas (bizzare) sel darah merah, poikilositosis (bentuk eritrosit
bermacam-macam) berat, hipokromi (eritosit tampak pucat),
mikrositosis (ukuran eritrosit lebih kecil), sel target, basofil Stippling
dan eritrosit berinti. (Hoffbrand et al, 2005)
Leukemia
5. Pembatasan Aktivitas
Aktivitas pasien dengan anemia berat harus dibatasi sampai sebagian
anemia dapat disembuhkan. Transfusi sering dapat dihindari dengan bed
rest, terapi dapat dilakukan untuk pasien dengan anemia yang dapat
disembuhkan (misalnya anemia pernisiosa).
13
2.9 Komplikasi
1. Gangguan Perkembangan Fisik dan Mental
2. Penyakit Kardiovaskular
3. Hipoksia Anemik
2.10 Prognosis
Biasanya, prognosis tergantung pada faktor penyebab anemia.
Bagaimanapun, keparahan anemia, etiologi, dan kecepatannya menjadi
parah memainkan peranan penting dalam menentukan prognosis. Demikian
pula, umur pasien dan faktor penyerta lainnya.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Achadi, Endang L., 2008. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada.
6. Baliwati, Y.F., dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya:
Jakarta.
7. Baradero M. 2008. Klien Gangguan Kardiovaskular: Seri Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC