LAPORAN KASUS
SUB ARACHNOID BLOK PADA TINDAKAN DEBRIDEMENT
DISUSUN OLEH :
Yuritsa Sasti Pradita 161 0221 059
Vina Devi Octaviany 161 0221 063
Retno Astutik 151 0221 023
Nurul Khusnul 151 0221 005
PEMBIMBING :
dr. A. Setyo Heru Sucipto, Sp.An
PENGESAHAN
2
Pembimbing
dr. A. Setyo Heru Sucipto, Sp.An
Ditetapkan di : Semarang
Tanggal :
BAB I
3
STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. M
Umur : 46 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Tegal Sari 4/8 Bergas Lor
Tgl Masuk RS : 24 Maret 2017
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis kepada ibu pasien dan catatan medis tanggal
31 Maret 2017
Keluhan Utama dan Riwayat Penyakit Sekarang
Terdapat benjolan di perut kanan bawah. Pasien bercerita benjolan tersebut hilang timbul
dan terasa nyeri , benjolan terasa keluar ketika batuk, bersin, dan mengejan. Pasien tidak
mengeluhkan adanya mual dan muntah serta BAK dan BAB masih normal dan tidak ada
gangguan.
Riwayat sosial dan ekonomi
Pasien merupakan seorang pensiunan. Pelayanan BPJS yang dipilih pasien adalah BPJS
kelas I non-PBI
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti hipertensi, DM, Asma, dan penyakit
jantung sebelumnya.
Riwayat pengobatan
Pasien belum berobat selain ke poli bedah RSUD Ambarawa
Diagnosis Sementara
4
V. DIAGNOSIS AKHIR
DM + Ulkus Diabetikum Pedis Digiti I Dextra
VI. PLANNING
Pro op debridement
Inf. Nacl 40 tpm
Cek GDS ulang sebelum op
Puasa
Pre-Operatif :
Inform concent
Puasa dari jam 12 malam
Status fisik : ASA 2
Mallampati : 2
Infus : RL : 500 cc
Intra-Operatif :
Induksi: Bupivacaine 15 mg
Teknik anestesi:
- Pasien dalam posisi duduk dan kepala menunduk.
- Tindakan asepsis dan antisepsis di daerah vertebrae lumbal 3-4 dan
sekitarnya.
- Dilakukan subarachnoid block dengan menggunakan jarum spinal no. 26 G
pada L3-4.
- Setelah stilet dicabut, LCS (+) jernih, blood (-).
- Masukkan obat anastesi lokal Bupivacaine.
- Lalu cabut jarum lumbal, tutup daerah penyuntikan dengan plester.
- Pasien dibaringkan kembali.
- Dilakukan pemeriksaan untuk memastikan obat anestetik bekerja atau tidak.
Posisi operasi: Supine.
Respirasi: Spontan dengan maintenance O2 3 L/menit melalui kanul.
Pemberian medikasi berupa ondancetron dan ranitidin 1 ampul serta ketorolac 30 mg.
Pemantauan:
- Anestesi mulai jam: 10.30
- Operasi mulai jam: 10.35
- Operasi selesai jam: 11.00
7
FOLLOW UP
Hari/tanggal S O A P
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anestesi regional adalah penggunaan obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran
saraf sensorik, sehingga konduksi impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara
(reversible). Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, dan penderita tetap
sadar. (1),(3)
10
Spinal anetesia dihasilkan bila kita menyuntikan obat anestetik lokal langsung ke cairan
serebrospinal dalam ruang subarachnoid. Spinal anestesi disebut juga sebagai block spinal
intradural atau block intratechal. (3)
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kutis subkutis
ligamentum Supraspinosum ligamentum interspinosum ligamentum flavum ruang
epidural duramater ruang subarachnoid.
II.4.1 Indikasi
-
Pasien menolak: jelaskan kepada pasien mengenai indikasi dan alasan mengapa
dilakukan spinal anestesi, sehingga pasien dapat menerima pilihannya.
-
Infeksi pada tempat suntikan: apabila ada infeksi pada tempat penyuntikan, jarum yang
digunakan akan melewati infeksi tersebut dan beresiko terjadi menyebaran.
-
Hipovolemia berat, syok: spinal anestesi akan memperberat keadaan syok dan
hipovolemia karena pada spinal anestesi akan terjadi blokade pada saraf simpatis.
-
Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan: pada pasien yang menggunakan terapi
antikoagulan dapat terjadi spinal hematoma.
-
Tekanan intrakranial meninggi: apabila dilakukan pungsi saat tekanan intrakranial
meninggi dapat terjadi herniasi.
-
Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi): dapat ternjadi penyebaran dan mengakibatkan
meningitis. (2),(3),(4)
-
Deformitas pada kolumna vertebralis: dapat mempersulit penyuntikan. Penyuntikan
berulang dapat beresiko terjadi epidural hematoma.
-
Kelainan psikis
-
Bedah lama
-
Penyakit jantung
-
Hipovolemia ringan
-
Nyeri punggung kronis.(2),(4)
- Inform concent. Spinal anestesi tidak boleh dilakukan apabila pasien menolak.
- Pemeriksaan fisik. Dilakukan pemeriksaan pada tulang punggung.
- Pemeriksaan laboratorium anjuran. Hemoglobin, hematokrit, PT (prothrombine time) dan
PTT (partial thromboplastine time). (1),(2)
13
-
Peralatan monitor
-
Peralatan resusitasi
-
Jarum spinal : ujung runcing (Quincke-Babcock) atau ujung pinsil (pencil point,
whitecare)
-
Obat analgetik lokal, yang biasa digunakan pada spinal anestesi: (3),(4)
14
-
Obat tambahan yang digunakan untuk memperpanjang efek analgesik dari spinal
analgesia.(3)
- Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista iliaka kanan dan kiri
memotong garis tengah punggung setinggi L4-5
- Palpasi : untuk mengenali ruang antara vertebrae L2-3, L3-4, L4-5 dan L5-S1
- Posisi pasien : duduk atau berbaring lateral dengan punggung fleksi maksimal.
- -
- Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung pasien dan menggunakan sarung
tangan steril.
-
Gambar 1. Posisi Pasien pada Spinal Anestesi
Pungsi lumbal dilakukan dengan menyuntikan jarum lumbal pada bidang median dengan
arah 10-30 derajat terhadap bidang horizontal ke arah kranial pada ruang antar vertebrae
lumbalis yang sudah ditentukan.
Cara penyuntikan:
16
Midline
Paramedian (lateral)
\
17
- Setelah stylet dicabut, cairan cerebrospinal akan menetes, selanjutnya masukkan obat
analgetik lokal ruang subarachnoid tersebut.
- Lalu cabut jarum lumbal, tutup daerah penyuntikan lalu kembalikan pasien ke posisi
semula. (1),(2),(3),(4),(5)
- Volume obat analgetik lokal: semakin tinggi volume, semakin tinggi daerah analgesi.
- Konsentrasi obat: makin pekat obat, semakin tinggi batas daerah analgetik.
- Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas daerah analgetik.
- Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang tinggi.
- Manuver valsava: mengejan meninggikan tekana liquor cerebrospinalis dengan akibat
batas semakin tinggi.
- Tempat pungsi
- Berat jenis larutan
- Tekanan abdominal yang tinggi.
- Tinggi pasien.
A. Komplikasi Intra-Operatif
1) Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi karena
vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola
sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang
akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian
cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti ephedrin atau fenilephedrin.
(2),(4)
18
Cardiac arrest bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat
walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini, hipotensi atau
hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi merupakan dari mekanisme
reflek bradikardi dan asistol.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infus cairan kristaloid (NaCl, RL)
secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera setelah penyuntikan spinal anestesi.
Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor
seperti ephedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit sampai mencapai tekanan
darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau
karena blok simpatis, dapat diatasi dengan sulfas atropine 1/8-1/4 mg IV. (2),(4)
2) Komplikasi Respirasi
Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena hipotensi berat
dan iskemia medulla. Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas, merupakan
tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan buatan.
(3),(4)
B. Komplikasi Post-Operatif
1) Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan, pemakaian
obat narkotik, dan reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal. (1),(3),(5)
2) Nyeri kepala
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri kepala. Insiden terjadi
komplikasi ini tergantung beberapa faktor seperti ukuran jarum yang digunakan. Semakin besar
ukuran jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi terjadi nyeri
kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang dehidrasi. Nyeri kepala post
suntikan biasanya muncul dalam 6 48 jam selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang
19
berdenyut biasanya muncul di area oksipital dan menjalar ke retro orbital, dan sering disertai
dengan tanda meningismus, diplopia, mual, dan muntah. (2),(3),(4)
3) Nyeri punggung
Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat dari tusukan jarum
yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur dari struktur ligament dengan atau tanpa
hematoma intraligamentous. Nyeri punggung akibat dari trauma suntikan jarum dapat di obati
secara simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang singkat.
4) Komplikasi neurologik
Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah. Komplikasi neurologik
yang paling benign adalah meningitis aseptic. Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam setelah
anestesi spinal ditandai dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis aseptic hanya
memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan menghilang dalam beberapa hari. (2),(3)
Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok neuraxial. Sindrom ini mungkin
dapat menjadi permanen atau bisa regresi perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan. Ia
ditandai dengan defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat yang
bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah.
Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum maupun regional. Fungsi
kandung kemih merupakan bagian yang fungsinya kembali paling akhir pada analgesia spinal,
20
umumnya berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan komplikasi yang
sangat jarang terjadi. (2),(3),(4)
DAFTAR PUSTAKA
1. Latief SA, Suryadi KA,Dachlan MR. Analgesia Regional. In: Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Jakarta: FKUI; 2002. Hal: 105-112.
2. Gwinnutt CL. Anaestheia. In: Clinical Anaesthesia. Cornwall: Blackwell; 2004. Hal: 62-
69.
3. Pirkanon M. Spinal (Subarachnoid) Blockade. In: Cousins MJ, Carr DB, Horlocker TT,
Bridenbaugh PO. Neural Blockade in Clinical Anesthesia & Pain Medicine. 4th ed.
Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2009. Hal: 213-240.
4. Bernard CM. Epidural & Spinal Anethesia. In: Borash PG, Cullen BF, Stoelting RK,
Cahalan MK, Stock MC. Clinical Anesthesia. 6th ed. Philadelphia: Lippincott William &
Wilkins; 2009. Hal: 927-954.
5. Salinas FV. Spinal Anesthesia. In: Mulroy MF, Bernard CM, McDonald JB, Salinas FV.
Regional Anesthesia. 4th ed. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2009. Hal: 60
102