Anda di halaman 1dari 32

BAB II

GAMBARAN UMUM PT DIRGANTARA INDONESIA


(Persero)

2.1 Pendirian Industri Pesawat Terbang

2.1.1 Perintisan

Ada lima faktor menonjol yang menjadikan IPTN


berdiri, yaitu: ada orang-orang yang sejak lama
bercita-cita membuat pesawat terbang dan
mendirikan industri pesawat terbang di Indonesia, ada
orang-orang Indonesia yang menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi membuat dan
membangun industri pesawat terbang, adanya orang
yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berdedikasi tinggi menggunakan kepandaian dan
ketrampilannya bagi pembangunan industri pesawat
terbang, adanya orang yang mengetahui cara
memasarkan produk pesawat terbang secara nasional
maupun internasional, serta adanya kemauan
pemerintah.
Perpaduan yang serasi faktor-faktor di atas
menjadikan IPTN berdiri menjadi suatu industri
pesawat terbang dengan fasilitas yang memadai.
Awalnya seorang pria kelahiran Pare-Pare,
Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, Bacharudin Jusuf
Habibie. Ia menimba pendidikan di Perguruan Tinggi
Teknik Aachen, jurusan Konstruksi Pesawat Terbang,
kemudian bekerja di sebuah industri pesawat terbang
di Jerman sejak 1965.
Menjelang mencapai gelar doktor, tahun 1964,
ia berkehendak kembali ke tanah air untuk
berpartisipasi dalam pembangunan Indonesia. Tetapi
pimpinan KOPELAPIP menyarankan Habibie untuk
menggali pengalaman lebih banyak, karena belum
ada wadah industri pesawat terbang. Tahun 1966
ketika Menteri Luar Negeri, Adam Malik berkunjung ke
Jerman beliau meminta Habibie menemuinya dan ikut
memikirkan usaha-usaha pembangunan di Indonesia.
Menyadari bahwa usaha pendirian industri
tersebut tidak bisa dilakukan sendiri, maka dengan
tekad bulat mulai merintis penyiapan tenaga terampil
untuk suatu saat bekerja pada pembangunan industri
pesawat terbang di Indonesia yang masih dalam
angan-angan. Habibie segera berinisiatif membentuk
sebuah tim. Dari upaya tersebut berhasil dibentuk
sebuah tim sukarela yang kemudian berangkat ke
Jerman untuk bekerja dan menggali ilmu pengetahuan
dan teknologi di industri pesawat terbang Jerman
tempat Habibie bekerja. Awal tahun 1970 tim ini mulai
bekerja di HFB/MBB untuk melaksanakan awal rencana
tersebut.
Pada saat bersamaan usaha serupa dirintis oleh
Pertamina selaku agen pembangunan. Kemajuan dan
keberhasilan Pertamina yang pesat di tahun 1970 an
memberi fungsi ganda kepada perusahaan ini, yaitu
sebagai pengelola industri minyak negara sekaligus
sebagai agen pembangunan nasional. Dengan
kapasitas itu Pertamina membangun industri baja
Krakatau Steel. Dalam kapasitas itu, Dirut Pertamina,
Ibnu Sutowo (alm) memikirkan cara mengalihkan
teknologi dari negara maju ke Indonesia secara
konsepsional yang berkerangka nasional. Alih
teknologi harus dilakukan secara teratur, tegasnya.
Awal Desember 1973, terjadi pertemuan
antara Ibnu Sutowo dan BJ. Habibie di Dusseldorf -
Jerman. Ibnu Sutowo menjelaskan secara panjang lebar
pembangunan Indonesia, Pertamina dan cita-cita
membangun industri pesawat terbang di Indonesia.
Dari pertemuan tersebut BJ. Habibie ditunjuk sebagai
penasehat Direktur Utama Pertamina dan kembali ke
Indonesia secepatnya.
Awal Januari 1974 langkah pasti ke arah
mewujudkan rencana itu telah diambil. Di Pertamina
dibentuk direktorat baru yang berurusan dengan
teknologi maju dan teknologi penerbangan. Dua
bulan setelah pertemuan Dusseldorf, 26
Januari 1974 BJ. Habibie diminta menghadap
Presiden Soeharto. Pada pertemuan tersebut Presiden
mengangkat Habibie sebagai penasehat Presiden di
bidang teknologi. Pertemuan tersebut merupakan hari
permulaan misi Habibie secara resmi.
Melalui pertemuan-pertemuan tersebut di atas
melahirkan Direktorat Advanced Technology &
Teknologi Penerbangan Pertamina (ATTP) yang
kemudian menjadi cikal bakal BPPT. Dan berdasarkan
Instruksi Presiden melalui Surat Keputusan Direktur
Pertamina dipersiapkan pendirian industri pesawat
terbang.
September 1974, Pertamina - Direktorat
Advanced Technology menandatangani perjanjian
dasar kerjasama lisensi dengan MBB - Jerman dan
CASA - Spanyol untuk memproduksi BO-105 dan C-212.

2.1.2 Pendirian

Ketika upaya pendirian mulai menampakkan


bentuknya dengan nama Industri Pesawat Terbang
Indonesia/IPTN di Pondok Cabe Jakarta, timbul
permasalahan dan krisis di tubuh Pertamina yang
berakibat pula pada keberadaan Direktorat ATTP,
proyek serta program industri pesawat terbang. Akan
tetapi karena Direktorat ATTP dan proyeknya
merupakan wahana guna pembangunan dan
mempersiapkan tinggal landas bagi bangsa
Indonesia pada Pelita VI, Presiden menetapkan untuk
meneruskan pembangunan industri pesawat terbang
dengan segala konsekuensinya.
Maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12,
tanggal 15 April 1975 dipersiapkan pendirian industri
pesawat terbang. Melalui peraturan ini, dihimpun segala
aset, fasilitas dan potensi negara yang ada yaitu:
aset Pertamina, Direktorat ATTP yang semula
disediakan untuk pembangunan industri pesawat
terbang dengan aset Lembaga Industri Penerbangan
Nurtanio/LIPNUR, AURI, sebagai modal dasar pendirian
industri pesawat terbang Indonesia. Penggabungan aset
LIPNUR ini tidak lepas dari peran Bpk. Ashadi Tjahjadi
selaku pimpinan AURI yang mengenal BJ. Habibie
sejak tahun 1960an. Dengan modal ini diharapkan
tumbuh sebuah industri pesawat terbang yang mampu
menjawab tantangan jaman.
Tanggal 28 April 1976 berdasar Akte Notaris
No. 15, di Jakarta didirikan PT. Industri Pesawat Terbang
Nurtanio dengan Dr. BJ. Habibie selaku Direktur Utama.
Selesai pembangunan fisik yang diperlukan untuk
berjalannya program yang telah dipersiapkan, pada
23 Agustus 1976 Presiden Soeharto meresmikan
industri pesawat terbang ini. Dalam perjalanannya
kemudian, pada 11 Oktober 1985, PT. Industri
Pesawat Terbang Nurtanio berubah menjadi PT.
Industri Pesawat Terbang Nusantara atau IPTN.
Dari tahun 1976 cakrawala baru tumbuhnya
industri pesawat terbang modern dan lengkap di
Indonesia di mulai. Di periode inilah semua aspek
prasarana, sarana, SDM, hukum dan regulasi serta
aspek lainnya yang berkaitan dan mendukung
keberadaan industri pesawat terbang berusaha ditata.
Selain itu melalui industri ini dikembangkan suatu
konsep alih/transformasi teknologi dan industri
progresif yang ternyata memberikan hasil optimal
dalam penguasaan teknologi kedirgantaraan dalam
waktu relatif singkat, 24 tahun.
IPTN berpandangan bahwa alih teknologi harus
berjalan secara integral dan lengkap mencakup
hardware, software serta brainware yang berintikan
pada faktor manusia. Yaitu manusia yang berkeinginan,
berkemampuan dan berpendirian dalam ilmu, teori dan
keahlian untuk melaksanakannya dalam bentuk kerja.
Berpijak pada hal itu IPTN menerapkan filosofi
transformasi teknologi "Bermula di Akhir, Berakhir di
Awal". Suatu falsafah yang menyerap teknologi maju
secara progresif dan bertahap dalam suatu proses yang
integral dengan berpijak pada kebutuhan ob yektif
Indonesia. Melalui falsafah ini teknologi dapat dikuasai
secara utuh menyeluruh tidak semata-mata
materinya, tetapi juga kemampuan dan keahliannya.
Selain itu filosofi ini memegang prinsip terbuka, yaitu
membuka diri terhadap setiap perkembangan dan
kemajuan yang dicapai negara lain.
Filosofi ini mengajarkan bahwa dalam membuat
pesawat terbang tidak harus dari komponen dulu, tapi
langsung belajar dari akhir suatu proses (bentuk
pesawat jadi), kemudian mundur lewat tahap dan
fasenya untuk membuat komponen. Tahap alih
teknologi terbagi dalam:
1. Tahap penggunaan teknologi yang sudah ada/lisensi.
2. Tahap integrasi teknologi.
3. Tahap pengembangan teknologi.
4. Tahap penelitian dasar.
Sasaran tahap pertama, adalah penguasaan
kemampuan manufacturing, sekaligus memilih dan
menentukan jenis pesawat yang sesuai dengan
kebutuhan dalam negeri yang hasil penjualannya
dimanfaatkan menambah kemampuan berusaha
perusahaan. Di sinilah dikenal metode "progressif
manufacturing program". Tahap kedua dimaksudkan
untuk menguasai kemampuan rancang bangun
sekaligus manufacturing. Tahap ketiga, dimaksudkan
meningkatkan kemampuan rancang bangun secara
mandiri. Sedang tahap keempat dimaksudkan untuk
menguasai ilmu-ilmu dasar dalam rangka mendukung
pengembangan produk-produk baru yang unggul.

2.1.3 Paradigma Baru dan Nama Baru

Selama 24 tahun IPTN relatif berhasil


melakukan transformasi teknologi, sekaligus
menguasai teknologi kedirgantaraan dalam hal
design, pengembangan, serta pembuatan pesawat
komuter regional kelas kecil dan sedang.
Dalam rangka menghadapi dinamika jaman serta
sistem pasar global, IPTN meredifinisi diri ke dalam
"DIRGANTARA 2000" dengan melakukan orientasi
bisnis, dan strategi baru menghadapi perubahan-
perubahan yang terjadi. Untuk itu IPTN melaksanakan
program retsrukturisasi meliputi reorientasi bisnis, serta
penataan kembali sumber daya manusia yang
menfokuskan diri pada pasar dan misi bisnis.
Kini dalam masa "survive" IPTN mencoba menjual
segala kemampuannya di area engineering dengan
menawarkan jasa design sampai pengujian,
manufacturing part, komponen serta tools pesawat
terbang dan non-pesawat terbang, serta jasa pelayanan
purna jual.
Seiring dengan itu IPTN merubah nama menjadi PT.
DIRGANTARA INDONESIA atauIndonesian Aerospace/IAe
yang diresmikan Presiden Abdurrahman Wahid, 24
Agustus 2000 di Bandung. Kita berkeyakinan bahwa
industri ini harus terus mengikuti dinamika
perkembangan jaman dan perubahan, agar upaya
yang dirintis para pendahulu ini bisa tetap lestari
serta memberi manfaat optimal bagi generasi
mendatang. Untuk itu kita tetap berpijak pada
sejarah.

2.2 Sejarah Singkat PT Dirgantara Indonesia (Persero)

PT Dirgantara Indonesia (Persero) sebenarnya telah


muncul sejak masa awal kemerdekaan. Dimana tujuan awal
dari perusahaan ini adala untuk kelancaran pertahanan dan
keamanan yang sangat diperhatikan pada masa itu.
Diawali dengan membangun sebuah bengkel kecil
yang dikenal dengan seksi percobaan di magetan pada tahun
1946, pemuda-pemuda seperti Wiweko Supomo (mantan
Direktur Utama Garuda) dan Nurtanio Pringgo Adisuryo
mampu dan berhasil merencanakan serta membuat pesawat
terbang yang pertama dengan nama SIKUMBANG.
Seiring dengan berjalannya waktu serta pertumbuhan
dan perkembangan Negara Kesatuan Republik Indonesia
maka kesadaran akan pentingnya penerbangan pun semakin
meningkat. Maka dari itu pada tanggal 16 Desember 1961
dibentuklah LAPIP (Lembaga Persiapan Industri Pesawat
Terbang) yang bertujuan untuk mempersiapkan
pembangunan Unit Industri Penerbangan yaitu membuat
pesawat terbang serta menyediakan suku cadang pesawat
terbang. Pada Tanggal 21 Maret 1966 LAPIP merubah
namanya menjadi LIPNUR (Lembaga Industri Pesawat Terbang
Nurtanio) untuk menghormati gugurnya Komandan Udara
Nurtanio Pringgo Adisuryo karena kecelakaan pesawat
terbang ditengah Kota Bandung. Pada masa itu LIPNUR hanya
memiliki kurang lebih 500 personil, kemudian berdasarkan
Akta Notaris No 15 tanggal 28 April 1976 di Jakarta
didirikanlah sebuah perusahaan perseroan yang kita ketahui
dengan nama PT IPTN. Dengan begitu PT IPTN secara resmi
memiliki kawasan industri dan produksi yang terdiri dari
kawasan produksi I, II, III, dan IV. Pengembangan personil
dimulai dengan hanya 500 karyawan pada tahun 1976, dan
900 karyawan pada tahun 1983 dan akhir tahun 1990 sampai
tahun 1997 sudah mencapai 16000 karyawan. Sejak tahun
2003 sampai sekarang jumlah karyawannya kurang lebih
4500 orang dengan kualifikasi tertentu.
Untuk memperoleh karyawan yang memiliki
kemampuan yang tinggi seperti ini, PT IPTN melakukan
program pendidikan dan pelatihan didalam maupun diluar
negeri. Selain itu PT IPTN juga memiliki pusat pendidikan dan
pelatihan untuk teknisi muda, sedangkan diluar negeri
melalui program beasiswa maupun Praktek Kerja
diperusahaan yang bekerja sama dengan PT IPTN.
Melalui kerjasama dengan perusahaan pesawat
terbang lainnya sampai saat ini PT IPTN berhasil membuat
pesawat sendiri baik fixed maupun rotary wing melalui
kerjasama alih teknologi. Adapun jenis pesawat terbang
tersebut adalah NC-212, NC-235, NBO-105, NSA-330 (PUMA),
NAS-332 (SUPER PUMA), NBK-117, NBELL-412. Selain
pembuatan pesawat, PT IPTN juga melakukan sub-kontrak
dengan perusahaan lain seperti Boeing dan Airbus untuk
pembuatan komponen pesawat terbang seperti Boeing 767
dan Boeing 737. Sampai yang terbaru adalah pembuatan
komponen pesawat jumbo Airbus 380.
Dengan semakin meningkatnya penguasaan teknologi
yang dimiliki PT IPTN, keinginan untuk melakukan bisnis
industri pesawat terbang yang sesunggunya mulai
direalisasikan. Hal ini membuktikan dengan
dikembangkannya suatu produk baru yaitu pesawat N-250
yang sepenuhnya hasil rancangan bangsa Indonesia. Dan
masih disusul dengan rancangan pesawat lainnya seperti N-
219 dan N-2130.
Selama 24 tahun PT IPTN telah berkembang dengan
pesat, untuk itu guna memperluas bidang usahanya PT IPTN
dirubah menjadi PT Dirgantara Indonesia (Persero) pada
tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Dengan nama
yang baru, PT Dirgantara Indonesia tidak dikhususkan dalam
pembuatan pesawat terbang saja tetapi usaha-usaha lain,
akan tetapi sekarang ini bentuk usaha-usaha dirubah menjadi
5 Direktorat:
1. Direktorat Integration
2. Direktorat Aerostructure
3. Direktorat Aircraft Services
4. Direktorat Teknologi dan Pengembangan
5. Direktorat Keuangan dan Administrasi
Kini PT Dirgantara Indonesia (Persero) tidak hanya
khusus memproduksi pesawat terbang tetapi juga
memproduksi berbagai produk lainnya seperti, sistem
persenjataan untuk mendukung pertahanan dan keamanan
Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Divisi Sistem
Persenjataan (Div. Sista) dan disamping itu telah membangun
klinik dan hotel. Dengan demikian diharapkan industri ini
menjadi institusi bisnis yang adaptif dan efisien.

2.3 Visi dan Misi Perusahaan


2.3.1 Visi PT Dirgantara Indonesia (Persero)

Menjadi perusahaan industri kelas dunia dalam


industri dirgantara yang berbasis pada penguasaan
teknologi tinggi dan mampu bersaing dalam pasar global
dengan mengandalkan keunggulan biaya.

2.3.2 Misi PT Dirgantara Indonesia (Persero)

1. Menjalankan usaha dengan berorientasi pada aspek


bisnis dan komersil serta dapat menghasilkan produk
dan jasa yang memiliki keunggulan biaya.
2. Sebagai pusat keuntungan dibidang industri dirgantara
terutama dalam rekayasa, rancang bangun
manufaktur, produksi dan pemeliharaan untuk
kepentingan komersial dan militer serta untuk aplikasi
diluar industri dirgantara.
3. Menjadikan perusahaan kelas dunia di industri global
yang mampu bersaing dan mampu melakukan aliansi
strategi dengan industri dirgantara lainnya.

2.4 Bidang Usaha di PT Dirgantara Indonesia (Persero)


2.4.1 Direktorat Aircraft Integration

Memproduksi beragam pesawat untuk memenuhi


berbagai misi sipil, militer, dan juga misi khusus.
Pesawat tersebut adalah NC-212, CN-235, NBO-105,
SUPER PUMA NAS-332, dan NBELL-421.
NC-212 adalah pesawat berkapasitas 19-24
penumpang dengan beragam versi, dapat lepas landas
dan mendarat dalam jarak pendek, serta mampu
beroperasi pada landasan rumput, tanah dan lain-lain
(unpaved runway).
CN-235 adalah pesawat komuter serbaguna
dengan kapasitas 35 penumpang, dapat digunakan
dalam berbagai misi, dapat lepas landas dan mendarat
dalam jarak pendek, serta mampu beroperasi pada
landasan rumput, tanah, dan lain-lain (unpaved runway).
NBO-105 adalah helikopter multi guna yang
mampu membawa 4 penumpang, sangat baik untuk
berbagai misi, mempunyai kemampuan hovering dan
manouver dalam situasi penerbangan apapun.
SUPER PUMA NAS-332 adalah helikopter modern
yang mampu membawa penumpang, dilengkapi aplikasi
multi yang aman dan nyaman.
NBELL-412 adalah helikopter yang mampu
membawa 13 penumpang, memiliki prioritas rancangan
yang rendah resiko, keamanan yang tinggi, biaya
perawatan dan biaya operasi yang rendah.

2.4.2 Directorat Aerostructure


Didukung oleh tenaga ahli yang berpengalaman
dan mempunyai kemampuan tinggi dalam manufaktur
pesawat, dilengkapi pula dengan fasilitas manufaktur
dengan ketepatan tinggi (high precision), seperti mesin-
mesin canggih, bengkel sheet metal dan welding,
composite dan bonding centre, jig dan tool shop,
calibration, testing equipment dan quality inspection
(peralatan tes dan uji kualitas), pemeliharaan dan lain
sebagainya. Bisnis Satuan Usaha Aerostucture meliputi :
1. Pembuatan komponen Aerostructure (Machined part,
Sub-Assembly, Assembly).
2. Pengembangan rekayasa (engineering package)
pengembangan aerostucture yang baru.
3. Perancangan dan pembuatan alat-alat (tooling design
and manufacturing).
Memberikan program-program kontrak tambahan
(subcontract program) dan offset untuk Boeing, Airbus
Industries, Bae System, Korean Airlines Aerospace
Division, Mitsubishi Heavy Industries, AC CTRM Malaysia.

2.4.3 Direktorat Aircraft Services

Dengan keahlian dan pengalaman bertahun-


tahun, SBU Aircraft Services menyediakan service
pemeliharaan pesawat dan helicopter berbagai jenis
meliputi penyediaan suku cadang, pembaharuan dan
modifikasi struktur pesawat, pembaharuan interior,
maintenance dan overhaul. Mulai tahun 2004 Aircraft
Services menangani maintenance Boeing 737-200 dan
Boeing 737-Series dan sudah mendapatkan AMO (Aircraft
Maintenance Organization) dari DSKU.
Dilengkapi dengan peralatan perangcangan dan
analisis yang canggih, fasilitas uji berteknologi tinggi,
serta tenaga ahli yang berlisensi dan berpengalaman
standar internasional. Satuan Usaha Engineering Service
siap memenuhi kebutuhan produk dan jasa bidang
engineering.

2.4.4 Direktorat Teknologi dan Pengembangan

Dilengkapi dengan peralatan perancangan dan


analisis yang canggih, fasilitas uji berteknologi tinggi,
serta tenaga ahli yang berlisensi dan berpengalaman
standar internasional. Satuan Usaha Engineering
Services siap memenuhi kebutuhan produk dan jasa
bidang engineering.
Bisnis utama Satuan Usaha Defence terdiri dari
produk-produk militer, perawatan, perbaikan, pengujian
bahan kalibrasi baik secara mekanik maupun elektrik
dengan tingkat akurasi yang tinggi, itegrasi alat-alat
perang, produksi beragam system senjata abtara antara
lain FFAR 2,75 rocket, SUT Terpedo, dll.

2.4.5 Direktorat Keuangan dan Administrasi

Direktorat keuangan dan administrasi


membawahi 4 divisi yang meliputi: Divisi
perbendaharaan, Divisi Akuntansi, Divisi Sumber Daya
Manusia, dan Divisi jasa material dan fasilitas.

2.5 Kerjasama Internasional PT Dirgantara Indonesia


(Persero)

Berikut ini adalah daftar kerjasama PT Dirgantara Indonesia


(Persero) dengan dunia penerbangan Internasional:
1. PT DI CASA (Spanyol) Lisensi NC-212 aviocar dan
kerjasama design CN-235 (1979).
2. PT DI DASA (Jerman) Lisensi elicopter NBO-105 (1976).
3. PT DI Bell Textron (Amerika) Lisensi Helikopter Nbell-412
(1982).
4. PT DI Aerospatile (Perancis) Lisensi helicopter NSA-331
Puma dan NAS 332 Super Puma.
5. PT DI Boeing (Amerika Serikat), Qualified Boeing Bidder &
sub kontrak Boeing 737 dan 767 (1987).
6. PT DI FIAS (Perancis) Pembuatan Fasilitas Diklat.
7. PT DI General Dynamic Komponen F-16 (1987).
8. PT DI FZ (Belgia) Roket FFAR.
9. PT DI Bae (Inggris) komponen Rafier (1987).
10. PT DI AEG Telefunken SUT (Surface Under Water
Target Torpedo).
11. PT DI General Electric (Amerika) Overhaul Engine
CT-7.
12. PT DI GARET (Amerika) perawatan engine TPE 331.
13. PT DI Turbomecca.
14. PT DI Alison (Amerika).
15. PT DI - Rolls Royce.
16. PT DI Lycomming (Amerika).
17. PT DI Prat & Whitney (Amerika) perawatan dan
pembuatan part Engine PT6.
18. PT DI Massier Bugati, pembuatan dan perawatan
landing gear CN-235 dan N-250.
19. PT DI Hugnas (Amerika) General Satelit Palapa C
dan Satelit Palapa D.
20. PT DI Fokker (Belanda) Pembuatan F-100.
21. PT DI Lucas Aerospace.
22. PT DI Hamilton Standard (Amerika) perancangan
dan pembuatan mesin proppeler.
23. PT DI Lockhed (Amerika).
24. PT DI NDO (Jerman) kerjasama NSI di bidang
perangkat lunak.
25. PT DI Airbus (Uni Eropa).
26. PT DI Dowty Aerospace (Inggris) propeller untuk N-
250.
2.8 Struktur Organisasi PT Dirgantara Indonesia
(Persero)
2.9 Struktur Organisasi Divisi Perawatan dan Modifikasi
SBU Aircraft Services (ACS) PT Dirgantara Indonesia
(Persero)
2.9 Profil Pesawat CN 235

Berdasarkan kutipan yang di ambil dari katalog perjalanan


PT. Dirgantara Indonesia yang dikeluarkan langsung oleh PT.
Dirgantara Indonesia yang dikeluarkan pada tahun 2012.
Pesawat jenis CN 235 merupakan hasil kerjasama antara PT.
Dirgantara Indonesia dengan perusahaan penerbangan Casa di
Spanyol (sekarang menjadi Airbus Military), Kedua perusahaan
penerbangan ini mendirikan usaha patungan yang diberi nama
Aircraft Technology atauA irtech untuk merancang-bangun
pesawat CN 235, dengan saham masing - masing 50%. Pesawat
ini dirancang untuk multiguna, mampu melakukan short take of
and landing (STOL), dan dioperasikan di landasan perintis yang
pendek (800 meter), mudah untuk bongkar muat barang
karena ada ramp door, serta biaya pemeliharaannya yang
rendah.

Gambar 2.1 STOL


CN 235 merupakan pesawat komuter 35-40 penumpang
multiguna yang dapat digunakan untuk berbagai misi atau
operasi, antara lain sebagai pengangkut orang atau VVIP atau
penerjunan, pengangkut barang dan penjatuh barang dari
ketinggian rendah, patroli maritim atau udara, pembuat hujan,
dan peng-evakuasi medis. CN 235 mampu terbang pada
ketinggian 10.000m maksimum, dengan kecepatan jelajah
236ktas, dan jarak jangkau 2.170nm atau lama terbang 8,55 jam
pada kecepatan 150ktas. CN 235 dapat menjatuhkan muatan
yang terikat diatas palet seberat 3.000kg pada ketinggian rendah
(low altitude parachute extraction system / LAPES) untuk operasi
militer atau bencana alam.

CN 235 seri 10 dan 100 adalah varian pertama dan kedua


yang di produksi, selanjutnya PTDI mengembangkan dan
memproduksi seri 110 dan 220 yang dapat sertifikasi dari JAA
(sekarang EASA) dari Uni Eropa. Sedangkan Airbus Military
mengembangkan dan memproduksi seri 200 dan 300 yang
mendapat sertifikasi FAA dari Amerika Serikat.

CN 235 seri 10 dan 100 menggunakan mesin General


Electric (GE) CT7-7A sedangkan seri 100 dan 220 menggunakan
GE CT7-9C yang lebih kuat tenaganya yaitu 1.750 SHP dengan
propeler berdiameter 3,35 m. CN 235 seri 110 dikembangkan
dari CN 235 seri 100 dengan penyempurnaan pada sistem
avionik dan interior. Kemudian pengembangan dilanjutkan pada
kemampuan dayaberat lepas landas atau maximum take of
weight (MTOW) yang naik menjadi 4.000kg dari 3.500 kg dan
kinerja terbang pesawat yang diterapkan pada CN 235-220.

2.9.1 Sejarah Pesawat CN 235

Pesawat prototipe pertama diterbangkan pada 11


November 1983 oleh CASA dan prototipe kedua
diterbangkan pada 30 Desember 1983 oleh PT Dirgantara
Indonesia. Produksi serial dimual pada tahun 1986 dengan
varian pertama adalah CN 235 seri 10 dan 100. Setelah itu
PT.DI mengembangkan CN 235 seri 110dan 220. Sedangkan
Airbus Military mengembangkan CN 235 seri 200 dan 300.
Sampai saat ini sudah diproduksi sekitar 300 unit CN 235
dengan berbagai varian. Pesawat CN 235 varian terakhir
menggunakan dua masin buatan General Electric tipe CT7-
9C yang masing - masing berdaya 1750SHP. Sejarah
tersebut dikutip dari katalog perjalanan PT. Dirgantara
Indonesia yang dikeluarkan langsung oleh PT. Dirgantara
Indonesia.

2.9.2 Jenis-Jenis Pesawat CN

Pesawat CN 235 memiliki berbagai jenis dengan


kegunaan atau fungsi masing-masing, dari setiap jenis
pesawat CN 235 memiliki kelebihan masing- masing yang
disesuaikan dengan kebutuhan yang diharapkan. Sehingga
pesawat CN 235 ini merupakan pesawat yang multi fungsi.
Berikut jenis-jenis pesawat CN235 menurut katalog
perjalanan PT. Dirgantara Indonesia.

2.9.2.1 CN 2235 MPA / MSA

Gambar 2.2.CN 235 MPA

CN 235 Patroli Maritim (Maritime Patrol / MPA) atau


Pengawasan maritim (Maritime survelance / MSA),
membawa peralatan untuk pengawasan dan
pengamanan maritim yang berupa radar ke permukaan
laut dan kamera beresolusi tinggi.
Pesawat CN 235 tipe ini mampu melakukan misi
pengawasan maritim dan zona ekonomi eklusif,
pencarian dan penyelamatan (search & resque / SAR),
pencegahan dan pengendalian pencemaran laut, serta
anti kapal selam dan kapal laut. Perbedaan CN 235 MPA
dan MSA adalah fokus radarnya dimana MPA
memfokuskan radar ke permukaan laut dan MSA
memfokuskan radar lebih ke udara. CN 235 MPA
dioperasikan oleh TNI Angkatan Laut dan Turkey Air
Force.

2.9.2.2 CN 235 Transportasi Sipil

Di operasikan sebagai transportasi sipil oleh antara


lain Merpati Airlines (15 unit), Asian Spirit Philippines (2
unit), Air Venezuela (2 unit), Binter Canarias (4 unit)
dan Binter Mediterraneo (6 unit) dengan
menggunakan CN 234 seri 10 dan 100.

Gambar 2.3.CN 235 Sipil

2.9.2.3 CN 235 Pembuat Hujan / Rain Maker

Di operasikan oleh Thailand Minister of Agriculture sebanyak 2 unit.


Gambar 2.4.CN 235 Pembuat Hujan / Rain Maker

2.9.2.4 CN 235 Coast Guard

Gambar 2.5.CN 235 Coast Guard

CN 235 Penjaga Pantai mirip dengan CN 235 MPA yang juga


membawa peralatan untuk pengawasan dan penjagaan pantai yang
berupa radar ke permukaan laut dan kamera beresolusi tinggi.
Bedanya CN 235 Penjaga Pantai tidak mengawasi daerah seluas CN
235 MPA dan tidak perlu memiliki kemampuan serang. CN 235
Penjaga pantai dioperasikan oleh Korea Coast Guard (KGC) dan USA
Coast Guard.

2.9.2.5 CN 235 Military Version

Gambar 3.6.CN 235 Military


Dioperasikan sebagai transportasi militer oleh antara lain TNI
Angkatan Udara (8 unit), Tentara Udara Diraja Malaysia (8 unit),
Republic of Korea Air Force (20 unit), Royal Brunei Air Force (1
unit), United Arab Emirates Air Force (7 unit), Pakistan Air Force (4
unit), Burkina Faso Air Force (1 unit), Thailand Police (1 unit), dan
Mexico Police (2 unit), dll. Semua seri CN 235 dapat digunakan
sebagai transportasi militer

2.9.3 CN 235 Next Generation

Adalah rencana pengembangan pesawat CN 235 yang


berkesinambungan untuk mempertahankan kemampuannya memenuhi
tuntutan operasi atau misi yang terus tumbuh dan berubah serta menerapkan
berbagai teknologi pesawat terbang yang baru untuk meningkatkan efisiensi
dan efektifitas. Pesawat CN 235 Next Generation akan memakai seri 400

Gambar 2.7.CN 235 Next Generation

2.9.4 Fungsi

CN 235 merupakan pesawat komuter multiguna yang dapat digunakan


untuk berbagai misi atau operasi, antara lain sebagai pengangkut orang atau
VVIP atau penerjunan, pengangkut barang dan penjatuh barang dari
ketinggian rendah, patrol maritime atau udara, pembuat hujan, dan peng-
evakuasi medis.

2.9.5 Media Interaktif

Media adalah alat atau sarana komunikasi seperti, koran,majalah,


poster dan lainnya yang terletak di antara dua belah pihak seperti orang
dengan orang ata orang dengan golongan dan sebagainya. Sehingga berguna
sebagai perantara atau penghubung diantaranya. Sedangkan interaktif adalah
sesuatu hal yang bersifat saling melakukan aksi atau saling aktif di antara
kedua belah pihak atau lebih yang bersangkutan. Seperti itulah arti dari
media dan interaktif menurut kamus besar bahasa Indonesia. Dan data yang
telah dimilik akan dibuat ke dalam media ini nteraktif yang dirancang
sedemikian rupa sehingga terlihat menarik, yang di dalamnya berisikan
informasi profil pesawat CN 235 juga sejarahnya.

2.9.6 Permasalahan dan Solusi

Sebuah perancangan tentulah pada dasarnya berangkat dari sebuah masalah,


sehingga disusunlah suatu perancangan yang dengan maksud memecahkan
atau memberikan solusi untuk permasalahan yang ada. Sama dengan
perancangan media informasi ini, berangkat dari permasalahan yang
ditemukan yakni mengenai kurangnya informasi yang ada mengenai
pesawat CN 235, sehingga masyarakat pun menjadi kurang mengenali
akan keadaan CN 235. Padahal pesawat CN 235 telah dibuat oleh tangan-
tangan kreatif masyarakat Indonesia.

Dalam permasalahan tersebut tentu mesti ada jalan keluar atau solusi
dari permasalahan tersebut, sesuai dengan permasalahan umum yang
ada yakni kurangnya informasi yang ada mengenai pesawat CN 235. Maka
di haruskan agar dapat memberikan sebuah informasi tambahan mengenai
CN 235, informasi yang akan menjadi sarana bagi masyarakat untuk
mendapatkan pengetahuan yang lebih mengenai dunia penerbangan
khususnya pesawat CN 235. Media informasi berupa media interaktif
yang di desain semenarik mungkin

2.9.7 Konfigurasi Pesawat CN-235

Setiap pesawat memiliki karakteristik berbeda yang dapat dibedakan


dengan melihat perbandingan dari konfigurasi dari pesawat tersebut.
Adapun konfigurasi dari pesawat CN-235 adalah sebagai berikut:
Gambar 2.8 Dimensi Pesawat CN-235

2.9.7.1 Aircraft

Span : 25.810 m (84.68 ft)

Length : 21.400 m (70.21 ft)

Height Vertical Stabilizer : 8.177 m (26.83 ft)

Height Propeller Trip : 4.900 m (16.08 ft)

MTW : 14450 kg (31856 lbs)

MTOW : 14400 kg (31746 lbs)


MLW : 14200 kg (31305 lbs)

MZFW : 13600 kg (29982 lbs)

2.9.7.2 Fuselage

2.9.7.2.1 Main Compartment

Width (Max. Internal) : 2.700 m (8.86 ft)

Width (At floor level) : 2.366 m (7.76 ft)

Length : 9.350 m (30.68 ft)

Height : 1.900 m (6.23 ft)

Floor Area : 22.122 m2 (238.92 ft2)

Volume (nominal) : 42.032 m3 (1448.35 ft3)

2.9.7.2.2 Doors

Crew Dimensions : 0.732 m x 1.266 m


(2.40 ft x 4.15 ft)

Crew - Distance from ground : 1.215 m (3.99 ft)

Passanger - Dimensions : 0.732 m x 1.701 m


(2.40 ft x 5.58 ft)

Passanger - Distance from ground : 1.215 m (3.99 ft)


Emergency - Dimensions : 0.508 m x 0.915 m
(1.67 ft x 3.00 ft)

Cargo Doors Dimensions

Ramp Door : 3.042 m x 2.349 m


(9.98 ft x 7.71 ft)

Ventral Door : 2.366 m x 2.349 m


(7.76 ft x 7.71 ft)

2.9.7.3 Wing

Wing Type : High Cantilever

Profil No. : NACA 65.218

Surface Area : 59.100 m2 (636.17 ft2)

Aspect Ratio : 10.156

MAC : 2.561 m (8.40 ft2)

Root Chord : 3.000 m (9.84 ft2)

Tip Chord : 1.200 m (3.94 ft2)

Wing Incidence : 3o

Dihedral outer wing : 3o

Dihedral center wing : 0o

Aileron span : 4.500 m (14.76 ft)

Inboard flap span : 2.800 m (9.19 ft)

Outboard flap span : 3.500 m (11.48 ft)

2.9.7.4 Stabilizer

2.9.7.4.1 Horizontal

Profil No. : 641A212


Span (including tips) : 10.600 m (34.78 ft)

Surface area (gross) : 21.500 m2 (231.43 ft2)

Aspec ratio : 5.033

MAC : 2.101 m (6.89 ft)

Dihedral : 0o

Chord : 1.850 m (6.07 ft)

Tip Chord : 1.300 m (4.27 ft)

Elevator Span : 3.906 m (12.86 ft)

2.9.7.4.2 Vertical

Profile No. : 641A012

Length (tip to fuselage) : 4.600 m (15.09 ft)

Surface area (basic) : 11.110 m2 (119.59 ft2)

Aspect Ratio : 1.743

MAC : 2.650 m (8.69 ft)

Tip Chord : 1.550 m (5.09 ft)

2.9.7.5 Landing Gear

2.9.7.5.1 Main Landing Gear (MLG)

Main Landing Gear (LH/RH) dapat dengan bebas ditarik


kembali dengan dua swing leg kembar dengan tandem satu roda
dan unit pengereman. Tiap leg terdapat satu unit shock absorber.

Wheel track : 3.900 m (12.80 ft)


Wheel base : 6.919 m (22.70 ft)

Shock absorber type : Oleopneumatic, double-acting

Fluid type : MIL-H-83282 or MIL-H-5606

Wheel type : AHA 1291 (LP) AHA 1297 (STD)

Tire type :

-Low pressure (LP) : DR 10624T (28 x 11.00-1.2110 PR)

-Standard (STD) : DR 11323T (28 x 9.00-12/12 PR)

Brake Unit : AHA 1292

Pressure :
-Shock absorber :

-Front : 20.39 kg.cm2 (290 psi) (fully extended)

-Rear : 45.85 kg.cm2 (652 psi)

-Tire, low pressure : 3.73 kg.cm2 (53 psi)

-Tire, standard : 5.70 kg.cm2 (81 psi)

2.9.7.5.2 Nose Landing Gear

Nose Landing Gear dapat ditarik kembali dengan perakitan tuas


kaki dengan alat anti-getar, mekanisme kemudi dan satu as roda. Tiap
kaki memiliki shock absorber unit.

Shock absorber type : Oleopneumatic, double-acting

Fluid type : MIL-H-83282 or MIL-H-5606

Wheel type : AHA 1349

Tire type:

-Low pressure (LP) : DR 8603T (24 x 8.50 - 10112 PR)

-Standard (STD) : DR 15842T (24x 7.70 - 12 PR)

Pressure :
-Shock absorber : 16.31 kg.cm2 (232 psi) (fully extended)

-Tire, low pressure : 5.00 kg.cm2 (72 psi)

-Tire, standard : 6.19 kg.cm2 (88 psi)

2.9.7.6 Power Plant

2.9.7.6.1 Engine

Manufacturer : General Electric

Type : CT7-9C

2.9.7.6.2 Propeller

Manufacturer : Hamilton Standard

Type : 14RF21

Diameter : 3.354 m (11.00 ft)

Clearance to static ground line : 1.606 m (5.27 ft)

Clearance to fuselage : 0.647 m (2.12 ft)

Anda mungkin juga menyukai