Anda di halaman 1dari 20

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS NASIONAL

FORMAT TUGAS : INDIVIDU 1

MATA KULIAH : Asuhan Kebidanan Terkini

SEMESTER : Genap

Nama :Nurlia Hanum


NPM : 16109
Prodi/kelas : Bidan Pendidik/CI

Buatlah Penatalaksanaan Kasus Obstetri di bawah ini :

1. Distosia Bahu
2. Pre Eklampsia dan Eklampsia
3. Prolaps Tali Pusat
4. Hemoragik Ante Partum:
a. Plasenta Previa
b. Solusio Plasenta
5. Hemoragik Post Partum :
a. Atonia Uteri
b. Robekan Jalan Lahir
c. Retentio Plasenta

1) PENATALAKSANAAN DISTOSIA BAHU

1. Kesigapan penolong persalinan dalam mengatasi distosia bahu sangat diperlukan.

2. Pertama kali yang harus dilakukan bila terjadi distosia bahu adalah melakukan traksi
curam bawah sambil meminta ibu untuk meneran.

3. Lakukan episiotomi.

Setelah membersihkan mulut dan hidung anak, lakukan usaha untuk membebaskan bahu
anterior dari simfsis pubis dengan berbagai maneuver :

1. Tekanan ringan pada suprapubic

2. Maneuver Mc Robert
3. Maneuver Woods

4. Persalinan bahu belakang

5. Maneuver Rubin

6. Pematahan klavikula

7. Maneuver Zavanelli

8. Kleidotomi

9. Simfsiotomi

1. Tekanan ringan pada suprapubic


Dilakukan tekanan ringan pada daerah suprapubik dan secara bersamaan dilakukan traksi
curam bawah pada kepala janin.

Tekanan ringan dilakukan oleh asisten pada daerah suprapubic saat traksi curam bawah
pada kepala janin.

2. Maneuver Mc Robert
Tehnik ini ditemukan pertama kali oleh Gonik dkk tahun 1983 dan selanjutnya William A
Mc Robert mempopulerkannya di University of Texas di Houston.
Maneuver ini terdiri dari melepaskan kaki dari penyangga dan melakukan fleksi sehingga
paha menempel pada abdomen ibu
Tindakan ini dapat menyebabkan sacrum mendatar, rotasi simfisis pubis kearah kepala
maternal dan mengurangi sudut inklinasi. Meskipun ukuran panggul tak berubah, rotasi
cephalad panggul cenderung untuk membebaskan bahu depan yang terhimpit.
Maneuver Mc Robert

Fleksi sendi lutut dan paha serta mendekatkan paha ibu pada abdomen sebaaimana terlihat pada
(panah horisontal). Asisten melakukan tekanan suprapubic secara bersamaan (panah vertikal)

Analisa tindakan Maneuver Mc Robert dengan menggunakan x-ray

Ukuran panggul tak berubah, namun terjadi rotasi cephalad pelvic sehingga bahu anterior terbebas
dari simfisis pubis
3. Maneuver Woods ( Wood crock screw maneuver )

Dengan melakukan rotasi bahu posterior 1800 secara crock screw maka bahu anterior yang terjepit
pada simfisis pubis akan terbebas.

Maneuver Wood. Tangan kanan penolong dibelakang bahu posterior janin. Bahu kemudian diputar
180 derajat sehingga bahu anterior terbebas dari tepi bawah simfisis pubis

4. Melahirkan bahu belakang

A. Operator memasukkan tangan kedalam vagina menyusuri humerus posterior janin dan kemudian
melakukan fleksi lengan posterior atas didepan dada dengan mempertahankan posisi fleksi siku

B. Tangan janin dicekap dan lengan diluruskan melalui wajah janin

C. Lengan posterior dilahirkan

5. Maneuver Rubin
Terdiri dari 2 langkah :
(1). Mengguncang bahu anak dari satu sisi ke sisi lain dengan melakukan tekanan pada abdomen ibu,
bila tidak berhasil maka dilakukan langkah berikutnya yaitu :
(2). Tangan mencari bahu anak yang paling mudah untuk dijangkau dan kemudian ditekan kedepan
kearah dada anak. Tindakan ini untuk melakukan abduksi kedua bahu anak sehingga diameter bahu

mengecil dan melepaskan bahu depan dari simfisis pubis


Maneuver Rubin II

A. Diameter bahu terlihat antara kedua tanda panah


B. Bahu anak yang paling mudah dijangkau didorong kearah dada anak sehingga diameter bahu
mengecil dan membebaskan bahu anterior yang terjepit

6. Pematahan klavikula dilakukan dengan menekan klavikula anterior kearah SP.

7. Maneuver Zavanelli : mengembalikan kepala kedalam jalan lahir dan anak dilahirkan melalui SC.
Memutar kepala anak menjadi occiput anterior atau posterior sesuai dengan PPL yang sudah terjadi.
Membuat kepala anak menjadi fleksi dan secara perlahan mendorong kepala kedalam vagina.

8. Kleidotomi : dilakukan pada janin mati yaitu dengan cara menggunting klavikula.

9. Simfisiotomi.

Hernandez dan Wendell (1990) menyarankan untuk melakukan serangkaian tindakan emergensi
berikut ini pada kasus distosia bahu

1. Minta bantuan asisten , ahli anaesthesi dan ahli anaesthesi.

2. Kosongkan vesica urinaria bila penuh.

3. Lakukan episiotomi mediolateral luas.

4. Lakukan tekanan suprapubic bersamaan dengan traksi curam bawah untuk melahirkan kepala.

5. Lakukan maneuver Mc Robert dengan bantuan 2 asisten.

Sebagian besar kasus distosia bahu dapat diatasi dengan serangkaian tindakan diatas. Bila tidak, maka
rangkaian tindakan lanjutan berikut ini harus dikerjakan :

1. Wood corkscrew maneuver


2. Persalinan bahu posterior

3. Tehnik-tehnik lain yang sudah dikemukakan diatas.

Tak ada maneuver terbaik diantara maneuver-maneuver yang sudah disebutkan diatas, namun
tindakan dengan maneuver Mc Robert sebagai pilihan utama adalah sangat beralasan.

2) Pre Eklampsia dan Eklampsia

Di Indonesia preeklamsia - eklamsia masih merupakan penyebab utama kematian maternal dan
kematian perinatal yang tinggi. Karena itu, diagnosisi dini preeklamsia yang merupakan tingkat
pendahuluan eklamsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka
kematian ibu (AKI) dan anak.

Preeklampsia - Eklampsia adalah penyakit pada wanita hamil, yang secara langsung disebabkan oleh
kehamilan. Preeklamsia adalah hipertensi disertai proteinuri dan edema, akibat kehamilan setelah usia
kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu.
Eklamsia adalah timbulnya kejang pada penderita preeklamsia, yang disusul dengan koma. Kejang di
sini bukan akibat kelainan neurologis.

Preeklamsia dan Eklamsia

Penanganan Umum
Segera rawat penderita dan lakukan pemeriksaan klinis terhadap keadaan umum, sambil mencari tahu
riwayat kesehatan sekarang dan terdahulu pasien atau keluarganya. Jika pasien tidak bernafas,
bebaskan jalan nafas, berikan O2 dengan sungkup dan lakukan intubasi jika perlu. Jika pasien
kehilangan kesadaran/koma, bebaskan jalan nafas, baringkan pada satu sisi, ukur suhu dan periksa
apakah ada kaku kuduk.

Jika pasien kejang (eklamsia)


Baringkan pada satu sisi, tempat tidur arah kepala ditinggikan sedikit untuk mengurangi kemungkinan
aspirasi sekret, muntahan atau darah, bebaskan jalan nafas. Pasang spatel lidah, untuk menghindari
tergigitnya lidah. Fiksasi untuk menghindari pasien jatuh dari tempat tidur.

Peeklampsia berat dan Eklampsia


Penanganan preeklampsia berat dan eklamsia sama, kecuali persalinan harus berlangsung dalam 6 jam
setelah timbulnya kejang pada eklampsia.

Penanganan kejang :

Beri obat kejang (antikonvulsan).

Perlangkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, pengisap lender, masker oksigen dan
oksigen).

Lindungi pasien dari kemungkinan trauma.

Aspirasi mulut dan tenggorokan.

Baringkan pasien pada sisi kiri, posisi tradelenburg untuk mengurangi risiko aspirasi.
Berikan O2 4-6 liter/menit.

Penanganan umum
Jika tekanan diastolik>110mmHg, berikan obat anti hipertensi sampai tekanan diastolik antara 90-
100mm/Hg. Pasang infus ringer laktat dengan jarum besar nomor 16 atau lebih. Ukur keseimbangan
cairan, jangan sampai terjadi overload. Kateterisasi urin untuk mengukur volum dan pemeriksaan
proteinuria. Infus cairan dipertahankan 1,5-2 liter/24 jam.

Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi dapat mengakibatkan kematian ibu dan
janin. Observasi tanda vital, reflex dan denyut jantung janin setiap 1 jam. Auskultasi paru untuk
mencari tanda edema paru. Adanya krepitasi merupakan tanda-tanda edema paru. Jika ada edema
paru, hentikan pemberian cairan dan berikan diuretic (misalnya furosemid 40 mg IV). Nilai
pembekuan darah dengan uji pembekuan. Jika pembekuan tidak terjadi setelah 7 menit, kemungkinan
terjadi koagulopati.

Persalinan
Pada preeklamsia berat, persalinan harus terjadi dalam 24 jam. Sedangkan pada eklamsia, persalinan
harus terjadi dalam 6 jam sejak eklamsia timbul. Jika terjadi gawat janin atau persalinan tidak dapat
terjadi dalam 12 jam (pada eklamsia), lakukan operasi Caesar. Jika bedah akan dilakukan, beberapa
hal harus diperhatikan :

Tidak terdapat koagulopati. Koagulopati berkontraindikasi dengan anestesi spinal.

Anestesi yang aman/terpilih adalah anestesi umum untuk eklamsia dan spinal untuk PEB.
Dilakukan anestesi lokal bila risiko anestesi terlalu tinggi.

Jika serviks telah mengalami pematangan, lakukan induksi dengan oksitosin 2-5 IU dalam
dextrose 10 tetes/menit atau dengan cara pemberian prostaglandin/misoprostol.

Perawatan Post Partum


Antikonvulsan diteruskan sampai 24 jam post partum atau kejang yang terakhir. Teruskan terapi
hipertensi, jika tekanan diastolik masih > 90 mmHg. Lakukan pemantauan jumlah urin.

Pada kasus preeklampsia berat, di masa setelah kelahiran dapat terjadi eklampsia. Dilaporkan lebih
dari 44% eklamsia dapat terjadi, terutama pada wanita yang melahirkan pada usia kehamilan aterm.
Wanita yang timbul hipertensi atau gejala preeklamsia setelah kehamilan (sakit kepala, gangguan
penglihatan, mual dan muntah, nyeri epigastrum), sebaiknya dirujuk ke spesialis.

Wanita dengan kelahiran yang disertai preeklampsia berat (atau eklampsia), sebaiknya
dilakukan pemantauan dengan optimal pasca melahirkan. Dilaporkan dapat terjadi eklampsia
setelah minggu ke-4.

Terapi anti-hipertensi sebaiknya tetap dilanjutkan pasca kehamilan. Walau pada awalnya
tekanan darah turun, biasanya akan kembali naik kurang lebih 24 jam setelah kehamilan.
Pengurangan terapi anti-hipertensi, sebaiknya dilakukan secara berjenjang.

Kortikosteroid digunakan pada pasien dengan sindrom HELLP. Hasil penelitian terbaru
memperkirakan, corticosteroid dapat memicu perbaikan gangguan biokimia dan menatology
secara cepat. Tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan kortikosteroid dapat menurunkan
morbiditas.

Rujukan
Rujuk ke fasilitas yang lebih lengkap jika :
Terdapat oliguria (<400ml/24 jam).

Terdapat sindrom HELLP.

Koma berlanjut lebih dari 24 jam setelah kejang.

Antikonvulsan
Magnesium sulfat merupakan obat pilihan untuk mencegah dan mengatasi kejang pada
preeklamsia dan eklamsia. Alternative lain adalah diazepam dengan risiko terjadinya depresi
neonatal.

Magnesium sulfat untuk preeklamsia dan eklamsia :


1. Dosis awal adalah 4 gram intravena sebagai larutan 40% selama 5 menit.
2. Diikuti dengan MgSO4 (40%) 5g IM dengan iml Lignokain (dalam semprit yang sama)
3. Sebelum pemberian MgSO4 ulangan, lakukan pemeriksaan :

Frekuensi pernafasan minimal 16 kali/menit

Ada reflek patella

Urin minimal 30ml/jam dalam 4 jam terakhir

Frekuensi pernafasan < 16 kali/menit

4. Cara pemberian MgSO4 IV/drip ialah :

Setelah pemberian dosis awal, diberikan 12 gram dalam 500 ml RL dengan tetes
15/menit (2 gram/jam).

Reflex patella tidak ada, bradipnea (16 kali/menit)

Urin < 30ml/jam pada hari ke 2

5. Hentikan pemberian MgSO4, jika :

Terjadi henti nafas bantu pernafasan dengan ventilator

Beri kalsium glukonas 2 gram (20ml dalam larutan 10%) IV. Perlahan-lahan samapai
pernafasan mulai lagi.

Diazepam untuk Preeklamsia dan Eklamsia

Dosis awal adalah 10mg IV. Diberikan secara perlahan selama 2 menit. Jika kejang
berulang, ulangi pemberian sesuai dosis awal.

Dosis pemeliharaan adalah 40 mg dalam 500 ml larutan ringer laktat melalui infus.
Depresi pernafasan ibu baru mungkin terjadi bila dosis 30 mg/jam. Jangan berikan
melebihi 100 mg/jam.
Anti Hipertensi
Pemberian antihipertensi sebaiknya dimulai pada wanita dengan tekanan darah sistolik lebih
dari 160 mmHg, atau tekanan darah diastolik lebih dari 110 mmHg. Pemberian labetalol
secara oral atau intravena, nifedipine secara oral atau intravena hydralazine dapat lakukan
untuk menatalaksana hipertensi berat.

Ada konsensus bersama, bila tekanan darah lebih dari 170/110 mmHg, lakukan penanganan
terhadap tekanan darah ibu. Obat terpilih yang digunakan adalah labetalol, nifedipine, atau
hydralazine. Labetalol memiliki keuntungan dapat diberikan awal lewat mulut, pada kasus
hipertensi berat dan jika diperlukan, bisa secara intravena.

Terdapat konsensus, bila tekanan darah dibawah 160/100, tidak dibutuhkan secara mendesak
pemberian terapi antihipertensi. Terdapat perkecualian, bila ditemukan indikasi untuk
penyakit dengan gejala yang yang lebih berat, yakni potenuria berat atau gangguan hari, atau
hasil tes darah. Pada kondisi demikian, peningkatan tekanan darah dapat diantisipasi, dengan
terapi antihipertensi pada level tekanan darah yang lebih rendah yang telah disesuaikan

3) Prolaps Tali Pusat

1. Tempatkan seluruh tangan ke dalam vagina wanita dan pegang bagian presentasi janin
ke atas sehingga tidak menyentuh tali pusat di pintu atas panggul.

2. Jangan mencoba mengubah letak tali pusat pada kondisi apapun karena manipulasi
dapat menyebabkan spasme tali pusat dan secara tidak sengaja dapat menyebabkan
kompresi tali pusat.

3. Berikan informasi kepada ibu tentang hal yang sedang terjadi dan minta
kerjasamanya.

4. Panggil bantuan. Beritahu wanita apa yang harus dilakukan, jika perlu meminta
tolong untuk mendapatkan bantuan.

5. Minta bantuan orang untuk mengatur posisi wanita sehingga gravitasi membatnu
menjauhkan bayi dari pintu atas panggul dan tidak menekan tali pusat; posisi lutut
dada atau trendelenburg.

6. Jika tali pusat keluar dari vagina, minta orang lain membungkusnya secara longgar
dengan kasa yang telah direndam dengan salin normal hangat.(Varneys, 2008).
Sedangkan menurut Walsh, jika tali pusat menjulur ke luar vagina maka dapat
dilindungi dengan cara merendamnya dengan menggunakan cairan salin hangat.

7. Jangan mempalpasi atau bergantung pada denyut tali pusat sebagai indikator
kesejahteraan janin atau janin hidup.

8. Ultrasound dapat digunakan untuk mendeteksi gerakan jantung janin jika denyut
jantung janin tidak terdengar.

9. Pada kondisi apapun jangan lepaskan tangan dari vagina ibu atau dari bagian
presentasi janin sampai bayi dilahirkan (kemungkinan dengan seksio sesarea).
Metode alternatif dapat digunakan untuk presentasi yang belum enganged. Metode ini
memasang kateter foley, mengisi kandung kemih dengan 500 cc air steril atau salin normal,
engan mengklem kateter sementara tangan pemeriksa di dalam memindahkan vagina
sehingga jauh dari tali pusat. Kandung kemih yang penuh kemudian menggeser letak bagian
presentasi dan mengurangi kompresi tali pusat. Teknik ini juga dapat digunakan apabila
bagian presentasi telah mengalami engagement pada wanita multipara. Namun pentig bahwa
anda menggeser bagian presentasi menjauhi pelvis dengan tangan pemeriksa seelum mengisi
kandung kemih. Tekanan pada bagian presentasi harus didistrubusikans ecara menyeluruh
selama perasat ini. Setelah kandung kemih terisi, pemeriksa harus kembali melalui vagina ibu
untuk menenukan bagian terbawah janin benar-benar berubah posisi. Jika bradikardi terjadi
kembali, masukan kembali tangan anda kedalam vagina untuk memastikan bahwa kepala
janin tidak menekan tali pusat.

Manajemen Kebidanan pada Prolapsus Tali Pusat Menumbang

1. Bidan tetap dengan pasien, dan tetap tenang, mendukung ibu dan pasangannya,
menjelaskan masalah dan meminta kerjasama

2. Catat waktu pecahnya ketuban dan prolaps tali pusat

3. Tali pusat tidak boleh disentuh karena mengakibatkan spasme. Jika tali pusat
menumbung ke vagina, dengan gentle dan hati-hati ke dalam vagina, menggunakan
teknik aspetik dan menggunakan swab yang hangat.

4. Dengan menggunakan sarung tangan steril, dengan lembut masukan jari ke dalam
vagina dan bagian presentasi didorong keluar dari panggul dan jauh dari tali pusat.

5. Lakukan pemantauan keadaan janin

6. Memposisikan ibu ke dalam posisi sims atau posisi trendelenburg

7. Berikan oksigen 40% menggunakan masker

8. Infus dengan menggunakan cairan elektrolit 20 tetes/menit

9. Melakukan rujukan ke rumah sakit dengan tetap melakukan pemantauan keadaan


janin selama diperjalanan.

10. Sangat penting bagi bidan untuk memberikan informasi secara lengkap mengenai
tindakan dan menjelaskan tentang hal yang mungkin terjadi saat ibu melahirkan dan
saat bayi dilahirkan. ( Seller, 1993).

4) Hemoragik Ante Partum


a. Plasenta Previa
Segera melakukan operasi persalinan untuk dapat menyelamatkan ibu dan anak atau
untuk mengurangi kesakitan dan kematian. Dengan seksio sesarea juga dimaksudkan
untuk mengosongkan rahim hingga dapat berkontraksi dan menghentikan perdarahan,
selain itu juga dapat mencegah terjadinya robekan serviks yang agak sering terjadi
pada persalinan pervaginam. Seksio sesarea dilakukan pada plasenta previa totalis dan
plasenta previa lainnya jika perdarahan hebat.
Memecahkan ketuban di atas meja operasi selanjutnya pengawasan untuk dapat
melakukan pertolongan lebih lanjut. Hal ini dapat dilakukan pada plasenta letak
rendah, plasenta previa marginalis, dan plasenta previa lateralis yang menutupi
sebagian dari ostium internum. Pada plasenta previa lateralis yang plasentanya
terletak di belakang lebih baik dilakukan seksio sesarea, karena pada pemecahan
ketuban kepala kurang menekan pada plasenta. Hal ini disebabkan kepala tertahan di
promontorium yang dilapisi oleh jaringan plasenta. Pemecahan ketuban dapat
menghentikan perdarahan karena :
a) Setelah pemecahan ketuban, uterus mengadakan retraksi hingga kepala anak
menekan pada plasenta.
b) Plasenta tidak tertahan lagi oleh ketuban dan dapat mengikuti gerakan dinding
rahim hingga tidak terjadi pergeseran antara plasenta dan dinding rahim.
Jika his tidak ada atau kurang kuat setelah pemecahan ketuban dapat diberikan infus
pitosin. Jika perdarahan tetap ada dilakukan seksio sesarea.
Bidan yang menghadapi perdarahan plasenta previa dapat mengambil sikap
melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih memadai. Dalam melakukan
rujukan penderita plasenta previa sebaiknya dilengkapi dengan :
a) Pemasangan infus untuk mengimbangi perdarahan
b) Sedapat mungkin diantar oleh petugas
c) Dilengkapi keterangan secukupnya
d) Dipersiapkan donor darah untuk transfusi darah.
Beberapa bentuk pertolongan lainnya pada plasenta previa, antara lain :
1) Versi Braxton Hicks
Tujuan dari braxton hicks ialah untuk mengadakan tamponade plasenta dengan
bokong dan untuk menghentikan perdarahan dalam rangka menyelamatkan ibu.
Versi braxton hicks biasanya dilakukan pada anak yang sudah mati ataupun
masih hidup. Mengingat bahayanya yaitu robekan pada serviks dan pada segmen
bawah rahim, perasat ini tidak pernah dilakukan lagi pada rumah sakit yang besar.
Akan tetapi, jika pasien berdarah banyak, anak sudah meninggal dan kita mendapat
kesulitan dalam memperoleh darah atau kamar operasi maka cara braxton hicks dapat
dipertimbangkan.
2) Cunam Willet Gauss
Tujuannya adalah untuk mengadakan tamponade plasenta dengan kepala.
Dimana kulit kepala janin dijepit dengan cunam willet gauss dan diberati dengan
timbangan 500 gram. Perasat ini sekarang tidak pernah dilakukan.

b. Solusio Plasenta

Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta sebelum waktunya dengan implantasi


normal pada kehamilan trimester ketiga. Terlepasnya plasenta sebelum waktunya
menyebabkan timbunan darah antara plasenta dan dinding rahim yang dapat
menimbulkan gangguan penyulit terhadap ibu maupun janin.
Solusio plasenta lebih berbahaya daripada plasenta previa bagi ibu hamil dan
janinnya. Pada perdarahan tersembunyi yang luas dimana perdarahan retroplasenta yang
banyak dapat mengurangi sirkulasi utero-plasenta dan menyebabkan hipoksia pada janin.
Selain itu, pembentukan hematoma retroplasenta yang luas bisa menyebabkan
koagulopati konsumsi yang fatal bagi ibu.

Diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan dengan melakukan :


1) Anamnesa
a) Terdapat perdarahan disertai rasa nyeri
b) Terjadi spontan atau karena trauma
c) Perut terasa nyeri
d) Diikuti penurunan sampai terhentinya gerakan janin dalam rahim
2) Pemeriksaan
a) Pemeriksaan fisik umum
o Keadaan umum penderita tidak sesuai dengan jumlah perdarahan
o Tekanan darah menurun, nadi dan pernapasan meningkat
o 1 Penderita tampak anemis
b) Pemeriksaan khusus
1. Palpasi abdomen
o Perut tegang terus menerus
o Terasa nyeri saat palpasi
o Bagian janin sukar ditentukan
2. Auskultasi
o Denyut jantung janin bervariasi dari asfiksia ringan sampai berat.
3. Pemeriksaan dalam
o Terdapatnya pembukaan
o Ketuban tegang dan menonjol
4. Pemeriksaan penunjang denga USG, dijumpai perdarahan antara plasenta dan
dinding abdomen.

Penatalaksanaan Solusio Plasenta


1. Penanganan solusio plasenta harus dilakukan rawat inap di rumah sakit yang
memadai.ketika masuk segera dilakukan pemeriksaan darah lengkap termasuk
kadar Hb dan golongan darah serta gambaran pembekuan darah. Jika diagnosis
belum jelas dan janin masih hidup tanpa tanda-tanda gawat janin observasi ketat
dengan kesiagaan dan fasilitas yang bisa segera diaktifkan untuk intervensi jika
sewaktu-waktu muncul kegawatan.
2. Persalinan mungkin pervaginam atau juga mungkin perabdominal tergantung pada
banyaknya perdarahan, telah ada tanda-tanda persalinan spontan atau belum, dan
tanda-tanda gawat janin. Penanganan terhadap solusio plasenta bisa bervariasi
sesuai berat ringannya penyakit, usia ibu, serta keadaan ibu dan janinnya. Jika
janin masih hidup dan cukup bulan serta belum ada tanda-tanda persalinan
pervaginam maka dilakukan bedah caesar. Pada perdarahan yang cukup banyak
segera lakukan resusitasi dengan pemberian transfusi darah dan kristaloid yang
cukup diikuti persalinan yang cepat untuk mengendalikan perdarahan dan
menyelamatkan ibu dan janin. Bedah caesar dilakukan pada kasus yang berat atau
telah terjadi gawat janin.
3. Jika janin telah mati dalam rahim maka lebih sering dipilih persalinan pervaginam
kecuali jika ada perdarahan berat yang tidak teratasi dengan transfusi darah atau
ada indikasi obstetrik untuk melakukan persalinan perabdominal. Pada persalinan
pervaginam diperlukan upaya stimulasi miometrium secara farmakologikatau
masase agar kontraksi miometrium baik. Hal ini untuk mencegah terjadinya
perdarahan sekalipun masih terjadi gangguan pembekuan darah.

5) Hemoragik Post Partum


a) Atonia Uteri

Yaitu pendarahan obstetri yang disebabkan oleh kegagalan uterus untuk berkontraksi
secara memadai setelah kelahiran (Cuningham, 2013:415).

Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan
merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi postpartum. Kontraksi
uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah
melahirkan.
Penatalaksanaan Atonia Uteri

1. Pakai sarung tangan desinfeksi tingkat tinggi atau steril, dengan lembut masukkan
secara obstetrik (menyatukan kelima ujung jari) melalui introitus dan ke dalam vagina
ibu.

2. Periksa vagina dan serviks. Jika ada selaput ketuban atau bekuan darah pada kavum
uteri mungkin hal ini menyebabkan uterus tak dapat berkontraksi secara penuh.

3. Kepalkan tangan dalam dan tempatkan pada forniks anterior, tekan dinding anterior
uterus, ke arah tangan luar yang menahan dan mendorong dinding posterior uterus kea
rah depan sehingga uterus ditekan dari arah depan ke belakang.

4. Tekan kuat uterus di antara kedua tangan. Kompresi uterus ini memberikan tekanan
langsung pada pembuluh darah yang terbuka (bekas implantasi plasenta) di dinding
uterus dan juga merangsang miometrium untuk berkontraksi.

5. Evaluasi keberhasilan :

Jika uterus bekontraksi dan pendarahan berkurang, terus melakukan KBI selama dua
menit, kemudian perlahan-lahan keluarkan tangan dan pantau ibu secara melekat
selama kala empat.

Jika uterus berkontraksi tetapi pendarahan masih berlangsung, periksa ulang


perineum, vagina dan serviks apakah terjadi laserasi. Jika demikian, segera lakukan
penjahitan untuk menghentikan pendarahan. Jika uterus tidak berkontraksi selama 5
menit, ajarkan keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksternal (KBE)
kemudian lakukan langkah-langkah penatalaksanaan atonia uteri selanjutnya. Minta
keluarga untuk mulai menyiapkan rujukan.

6. Berikan 0,2 mg ergometrin IM atau misoprostol 600-1000 mcg per rectal. Jangan
berikan ergometrin kepada ibu dengan hipertensi karena ergometrin dapat menaikkan
tekanan darah.

7. Gunakan jarum berdiameter besar (ukuran 16 atau 18), pasang infus dan berikan
500cc larutan Ringer Laktat yang mengandung 20 unit oksitosin.

8. Pakai sarung tangan steril atau desinfeksi tingkat tinggi dan ulangi KBI.

9. Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu 1 sampai 2 menit, segera rujuk ibu karena
ini merupakan bukan atonia uteri sederhana. Ibu membutuhkan tindakan gawatdarurat
di fasilitas kesehatan rujukan yang mampu melakukan tindakan operasi dan transfusi
darah.

10. Sambil membawa ibu ke tempat rujukan, teruskan tindakan KBI dan infus cairan
hingga ibu tiba di tempat rujukan. Infus 500 ml pertama dihabiskan dalam waktu 10
menit.Berikan tambahan 500 ml/jam hingga tiba di tempat rujukan atau hingga jumlah
cairan yang diinfuskan mencapai 1,5 L dan kemudian lanjutkan dalam jumlah
125cc/jam. Jika cairan infus tidak cukup, infuskan 500 ml (botol kedua) cairan infus
dengan tetesan sedang dan ditambah dengan pemberian cairan secara oral untuk
rehidrasi.

b) Robekan Jalan Lahir

Karena beberapa faktor baik secara maternal maupun dari fakto bayi saat persalinan,
dapat menyebabkan terjadinya robekan pada perinium. Robekan pada perinium dapat dibagi
menjadi 3 derajat atau tingkatan, yaitu:
a. Tingkat I
Robekan terjadi pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai kulit
perineum
b. Tingkat II
Robekan mengenai selaput lendir vagina tetapi tidak mengenai otot sfingerani.
c. Tingkat III
Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani
d. Tingkat IV
Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dan mukosa rectum.

D. Penatalaksanaan
Robekan perineum yang melebihi tingkat satu harus dijahit. Hal ini dapat dilakukan
sebelum plasenta lahir, tetapi apabila ada kemungkinan plasenta harus dilakukan secara
manual, tetapi lebih baik tindakan itu ditunda sampai plasenta lahir. Pasien dianjurkan untuk
berbaring dalam posisi litotomi dilakukan pembersihan luka dengan cairan antiseptic dan luas
robekan ditentukan dengan seksama.
Pada robekan perineum tingkat dua, setelah di beri anestesi local otot-otot diafragma
urogenetalis dihubungkan di garis tengah dengan jahitan dan kemudian luka pada vagina dan
kulit perineum ditutup dengan mengikutsertakan jaringan- jaringan di bawahnya.
Menjahit robekan tingkat tiga harus dilakukan dengan teliti, mula-mula dinding depan
rectum yang robek dijahit, kemudian vasia prarektal ditutup dan muskulus sfingter ani
eksternus yang robek dijahit. Selanjutnya dilakukan penutupan robekan perineum tingkat dua.
Penatalaksanaan Medis
PENJAHITAN ROBEKAN SERVIKS

Tinjau kembali prinsip perawatan umum dan oleskan larutan anti septik ke vagina dan
serviks

Berikan dukungan dan penguatan emosional. Anastesi tidak dibutuhkan pada sebagian
besar robekan serviks. Berikan petidin dan diazepam melalui IV secara perlahan
(jangan mencampur obat tersebut dalam spuit yang sama) atau gunakan ketamin
untuk robekan serviks yang tinggi dan lebar

Minta asisten memberikan tekanan pada fundus dengan lembut untuk membantu
mendorong serviks jadi terlihat

Gunakan retraktor vagina untuk membuka serviks, jika perlu

Pegang serviks dengan forcep cincin atau forcep spons dengan hatihati. Letakkan
forcep pada kedua sisi robekan dan tarik dalam berbagai arah secara perlahan untuk
melihat seluruh serviks. Mungkin terdapat beberapa robekan.

Tutup robekan serviks dengan jahitan jelujur menggunakan benang catgut kromik
atau poliglokolik 0 yang dimulai pada apeks(tepi atas robekan) yang seringkali
menjadi sumber pendarahan.

Jika bagian panjang bibir serviks robek, jahit dengan jahitan jelujur menggunakan
benang catgut kromik atau poliglikolik 0.

Jika apeks sulit diraih dan diikat, pegang pegang apeks dengan forcep arteri atau
forcep cincin. Pertahankan forcep tetap terpasang selama 4 jam. Jangan terus
berupaya mengikat tempat pendarahan karena upaya tersebut dapat mempererat
pendarahan. Selanjutnya :
- Setelah 4 jam, buka forcep sebagian tetapi jangan dikeluarkan.
- Setelah 4 jam berikutnya, keluarkan seluruh forcep.

PENJAHITAN ROBEKAN VAGINA DAN PERINIUM


Terdapat empat derajat robekan yang bisa terjadi saat kelahiran, yaitu :
Tingkat I : Robekan hanya pada selaput lender vagina dan jaringan ikat
Tingkat II : Robekan mengenai mukosa vagina, jaringan ikat, dan otot dibawahnya tetapi
tidak mengenai spingter ani
Tingkat III : Robekan mengenai transeksi lengkap dan otot spingter ani
Tingkat IV : Robekan sampai mukosa rectum.
PENJAHITAN ROBEKAN DERAJAT I DAN II
Sebagian besar derajat I menutup secara spontan tanpa dijahit.

Tinjau kembali prinsip perawatan secara umum.

Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anastesi lokal dengan lidokain.

Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa uterus berkontraksi.

Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat.

Jika robekan perinium panjang dan dalam, inspeksi untuk memastikan bahwa tidak
terdapat robekan derajat III dan IV.
- Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus
- Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter.
- Periksa tonus otot atau kerapatan sfingter

Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau DTT

Jika spingter cedera, lihat bagian penjahitan robekan derajat III dan IV.

Jika spingter tidak cedera, tindak lanjuti dengan penjahitan


PENJAHITAN ROBEKAN PERINEUM DERAJAT III DAN IV
Jahit robekan diruang operasi

Tinjau kembali prinsip perawatan umum

Berikan dukungan dan penguatan emosional. Gunakan anastesi lokal dengan lidokain.
Gunakan blok pedendal, ketamin atau anastesi spinal. Penjahitan dapat dilakukan
menggunakn anastesi lokal dengan lignokain dan petidin serta diazepam melalui IV
dengan perlahan ( jangan mencampurdengan spuit yang sama ) jika semua tepi
robekan dapat dilihat, tetapi hal tersebut jarang terjadi.

Minta asisten memeriksa uterus dan memastikan bahwa uterus berkontraksi.

Periksa vagina, perinium, dan serviks secara cermat.


Untuk melihat apakah spingter ani robek.
- Masukkan jari yang memakai sarung tangan kedalam anus
- Angkat jari dengan hati-hati dan identifikasi sfingter.
- Periksa permukaan rektum dan perhatikan robekan dengan cermat.

Ganti sarung tangan yang bersih, steril atau yang DTT

Oleskan larutan antiseptik kerobekan dan keluarkan materi fekal, jika ada.

Pastikan bahwa tidak alergi terhadap lignokain atau obat-obatan terkait.

Masukan sekitar 10 ml larutan lignokain 0,5 % kebawah mukosa vagina, kebah kulit
perineum dan ke otot perinatal yang dalam.

Pada akhir penyuntikan, tunggu selama dua menit kemudian jepit area robekan
dengan forcep. Jika ibu dapat merasakan jepitan tsb, tunggu dua menit lagi kemudian
lakukan tes ulang.

Jahit rektum dengan jahitan putus-putus menggunakan benang 3-0 atau 4-0 dengan
jarak 0,5 cm untuk menyatukan mukosa.

Jika spingter robek


- Pegang setiap ujung sfingter dengan klem Allis ( sfingter akan beretraksi jika robek ).
- Selubung fasia disekitar sfingter kuat dan tidak robek jika ditarik dengan klem.
- Jahit sfingter dengan dua atau tiga jahitan putus-putus menggunakan benang 2-0.

Oleskan kembali larutan antiseptik kearea yang dijahit.

Periksa anus dengan jari yang memakai sarung tangan untuk memastikan penjahitan
rektum dan sfingter dilakukan dengan benar. Selanjutnya, ganti sarung tangan yang
bersih, steril atau yang DTT.

Jahit mukosa vagina, otot perineum dan kulit.

c) Retentio Plasenta

Adalah tertahannya plasenta atau belum lahirnya plasenta liingga atau melebihi waktu
30 menit setelah bayi lahir (Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002:178)
Penanganan retensio plasenta atau sebagian plasenta adalah:

1. Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan kateter yang


berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid (sodium klorida isotonik atau
larutan ringer laktat yang hangat, apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi,
tekanan darah dan saturasi oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang
dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.
2. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan Ringer laktat atau
NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus berkontraksi.
3. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil lanjutkan dengan
drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.
4. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta. Indikasi manual
plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga persalinan kurang lebih 400 cc, retensio
plasenta setelah 30 menit anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti
forsep tinggi, versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan
lahir, tali pusat putus.
5. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan dapat dikeluarkan
dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret sisa plasenta. Pada umumnya
pengeluaran sisa plasenta dilakukan dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di
rumah sakit dengan hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan
dengan kuretase pada abortus.
6. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan dengan pemberian
obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.
7. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk pencegahan
infeksi sekunder

Anda mungkin juga menyukai