Anda di halaman 1dari 45

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN SISTEM KETATANEGARAAN

Istilah atau terminologi sistem ketatanegaraan, terdiri atas dua kata yaitu
sistem dan ketatanegaraan. Sistem adalah sekelompok bagian-bagian yang bekerja
bersama-sama untuk melakukan suatu maksud. Apabila salah satu bagian rusak
atau tidak dapat menjalankan tugasnya maka maksud yang hendak dicapai tidak
akan terpenuhi atau setidak-tidaknya sistem yang sudah terwujud akan mendapat
gangguan. Sistem adalah satu kesatuan komponen yang satu sama lain saling
berkaitan dan saling berinteraksi untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan
secara optimal sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

Selain pengertian sistem menurut pendapat di atas, maka dapatlah dikatakan


bahwa sistem adalah sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya), yang
bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu maksud. Sedangkan, Kaelan
memberikan pengertian sistem yaitu suatu kesatuan bagian-bagian yang saling
berhubungan, saling bekerja sama untuk suatu tujuan tertentu dan secara
keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dengan demikian, dapatlah
dikatakan bahwa ciri-ciri dari sebuah sistem adalah sebagai berikut.

a. Suatu kesatuan bagian-bagian ;


b. Bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri;
c. Saling berhubungan dan saling ketergantungan;
d. Keseluruhannya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu
(tujuan sistem);
e. Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks.

Berdasarkan pengertian di atas maka sistem memiliki karakteristik,


Pertama, sistem pasti memiliki tujuanKedua, sistem selalu mengandung suatu
prosesKetiga, kegiatan dalam suatu sistem selalu melibatkan dan memanfaatkan
berbagai komponen atau unsur-unsur tertentu Kemudian lebih lanjut menurut
Maksudi yang memberikan pengertian tentang sistem, yaitu:
2

Sistem adalah sekumpulan objek (objectives) (unsur-unsur atau bagian-


bagian) yang berbeda-beda (diverse) yang saling berhubungan (interrelated),
saling bekerja sama (jointly) dan saling mempengaruhi (independently) satu
sama lain serta terikat pada rencana (planned) yang sama untuk mencapai
tujuan (output) tertentu dalam lingkungan (environment) yang kompleks.

Oleh karena itu, untuk mengenal dan memahami suatu sistem perlu dikenali
dan dipahami semua komponen yang terkandung di dalamnya
(Hamalik,2010;135). Tidak lain dikarenakan bahwa masing-masing komponen
tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain (Rusman,2012;1).
Lebih lanjut menurutnya bahwa untuk mengetahui apakah sesuatu itu dapat
dikatakan sistem, maka harus mencakup lima unsur utama, yaitu.

1. Adanya sekumpulan objek (objectives) (unsur-unsur, atau bagian-bagian,


atau elemen-elemen).
2. Adanya interaksi atau hubungan (interrealatedness) antar unsur-unsur
(bagian-bagian, elemen-elemen).
3. Adanya sesuatu yang mengikat unsur-unsur (working independtly and
jointly) (bagian-bagian, elemen-elemen saling tergantung dan bekerja
sama) tersebut menjadi suatu kesatuan (unity).
4. Berada dalam suatu lingkungan (environment) yang komplek (complex).
5. Terdapat tujuan bersama (output), sebagai hasil akhir (Maksudi,2012;8-
9).

Apabila kemudian pengertian sistem dikaitkan kembali dengan maksud


untuk memperoleh pengertian dari sistem ketatanegaraan, maka dapatlah
dikatakan bahwa sistem ketatanegaraan diartikan sebagai susunan ketatanegaraan,
yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan organisasi negara, baik yang
menyangkut tentang susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara maupun
yang berkaitan dengan tugas dan wewenangnya masing-masing maupun
hubungan satu sama lain (Yuhana,2009;67). Dalam hubungannya dengan sistem
ketatanegaraan, menurut Mahmud MD dalam Ghoffar (2011;48), yang
pendapatnya ternyata hampir menyamakan antara sistem ketatanegaraan dengan
pengertian sistem pemerintahan, yaitu secara sederhana Mahfud MD mengatakan
3

bahwa cara bekerja dan berhubungan ketiga poros kekuasaan, yaitu eksekutif,
legislatif, dan yudikatif dapat disebut sebagai sistem pemerintahan negara.
Sehingga yang dimaksud dengan sistem pemerintahan adalah sistem hubungan
dan tata kerja lembaga-lembaga negara. Oleh karena itu, dapatlah disimpulkan
bahwa pengertian sistem pemerintahan yang diberikan oleh Mahmud MD
sebagaimana dikutip kembali oleh Ghoffur, merupakan pengertian dari sistem
pemerintahan dalam arti luas, yang tentunya dalam hal ini memiliki kemiripan,
dengan pengertian sistem ketatanegaraan sebagaimana dimaksud Yuhana. Yang
dalam hal ini, juuga sama-sama menyangkut hubungan daripada lembaga-lembaga
negara, terutama antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya
dalam konstitusi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem dalam hal ini
diartikan secara sempit sebagai mekanisme berdasarkan suatu tata aturan. Antara
tata aturan dengan kelembagaan sesungguhnya merupakan suatu kesatuan, karena
kelembagaan dapat didefinisikan sebagai suatu struktur aturan yang diformalisasi
dalam seperangkat produk hukum (Asshiddiqie,2009;251)

Selanjutnya jika pengertian sistem ketatanegaraan, kemudian dikaitkan dengan


sistem ketatanegaraan Indonesia, maka dapatlah diartikan sebagai suatu susunan
ketatanegaraan Indonesia, yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan susunan
organisasi negara Republik Indonesia, baik yang menyangkut susunan dan
kedudukan lembaga-lembaga negara, tugas dan wewenang maupun hubungannya
satu sama lain menurut UUD 1945. Pengertian sistem ketatanegaraan yang kedua
tersebut atau menyangkut Indonesia, mungkin dapatlah disamakan dengan Ius
Constitutum adalah hukum positif suatu negara, yaitu hukum yang berlaku dalam
suatu negara tertentu pada saat tertentu (Dirdjosiworo,2003;163-164). Karena,
pengertian tersebut menunjuk pada suatu ketatanegaraan tertentu yaitu Indonesia,
yang juga bisa disebut dengan nama hukum tatanegara positif. Berbeda dengan
yang pengertian yang kedua, maka pengertian sistem ketatanegaraan yang
pertama dapat dikatakan tentang sistem ketatanegaraan suatu negara yang belum
pasti berlaku dalam negara tersebut, namun bisa saja sudah berlaku di negara lain,
4

seperti Ius Costituendum adalah hukum yang dicita-citakan oleh pergaulan hidup
dan negara tetapi belum merupakan kaidah (Dirdjosiworo,2003;164).

B. PENGERTIAN LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA

Negara sebagai organisasi yang menjalankan berbagai aktivitas kenegaraan


memerlukan lembaga atau organ negara. Menurut Hans Kelsen (dalam Siti
Awaliyah : 2011) organ negara adalah siapa saja yang menjalankan suatu fungsi
yang ditentukan oleh suatu tata hukum, selain itu organ negara dapat diartikan
sebagai setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum yang fungsinya untuk
menciptakan norma dan atau bersifat menjalankan norma. Lembaga secara
terminologi dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah badan (organisasi) yang
tujuannya melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha.
Sedangkan negara diistilahkan dengan organisasi dalam suatu wilayah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Sehingga
Lembaga negara adalah badan yang mengurusi masalah yang berhubungan
dengan sistem ketatanegaraan denga berdasarkan hukum yang berlaku. Dalam
sistem ketatanegaraan Negara Republik Indonesia sesuai dengan pokok pikiran
yang kita ulas pada point-point di atas, lembaga negara adalah sebagai penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia yang berdaulat yang disalurkan 8 melalui prosedur
perwakilan politik (political representation) melalui lembaga negara (DPR,
perwakilan daerah (DPD), dan perwakilan golongan). Sehingga tercermin pada
UUD 1945 sebagai konstitusi kita sebelum amandemen, MPR sebagai lembaga
yang mempunyai kedudukan yang tertinggi sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia. Dalam perkembangannya terjadi amandemen atau perubahan terhadap
UUD 1945 yang membuat adanya perubahan ketatanegaraan dalam kedudukan,
wewenang, tugas dan fungsi lembaga-lembaga Negara Republik Indonesia yang
selanjutnya akan kita bahas. Sedangkan dari segi hierarkinya lembaga-lembaga
negara tersebut dapat dibagi dalam tiga tingkatan berdasarkan UUD 1945 setelah
amandemen yaitu :

1. Lembaga Tinggi Negara Adalah lembaga tinggi negara yang dibentuk


berdasarkan konstitusi (UUD 1945).
5

2. Lembaga Negara Lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang,


PP bahkan Perpres. Contoh KPK, Dewan Pertimbangan Presiden,
Ombudsman dll.

3. Lembaga Daerah Lembaga negara yang kedudukan, kewenangan, tugas,


dan fungsinya hanya ditingkat daerah.

C. LEMBAGA KETATANEGARAAN INDONESIA

Untuk sistem ketatanegaraan di Indonesia yang tentunya hanya berkenaan


dengan lembaga-lembaga negara yang ditentukan dalam UUD, hal tersebut
dikarenakan berkaitan dengan sistem ketatanegaraan dalam arti sempit. Adapun
jika dimaksud juga dengan lembaga negara di luar UUD, hal ini berkenaan
dengan sistem ketatanegaraan dalam arti luas (Triwulan dan Widodo,2011;61).
Hal ini disebabkan UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia, tidaklah dapat
menampung pengaturan semua lembaga negara yang ada, karena di samping itu
proses kehidupan bernegara berjalan secara dinamis. sehingga mungkin pada saat
UUD 1945 dibentuk ataupun di amandemen, belumlah terpikirkan atau diperlukan
lembaga tersebut untuk dibentuk. Namun, dalam perkembangan kehidupan
ketatanegaraan kemudian ternyata dalam perjalannya kebutuhan yang mendesak
terkait dengan pembentukan lembaga negara tidaklah dapat dihindari, maka
diperlukan jalan keluar yang memuaskan untuk menyelesaikan permasalahan
tersebut, yaitu dengan cara mengatur keberadaan kelembagaan negara yang baru
tersebut di luar UUD 1945, seperti dalam bentuk undang-undang ataupun dalam
bentuk peraturan lain. Namun, tidaklah berarti bahwa lembaga negara yang
dibentuk di luar UUD 1945 yang berarti tidak ditentukan secara tegas dalam UUD
1945, dianggap sebagai lembaga negara yang kedudukannya berada di bawah
lembaga-lembaga negara yang telah ditentukan untuk dibentuk berdasarkan UUD
1945. Karena bisa saja, lembaga negara yang dibentuk kemudian tersebut
merupakan suatu lembaga yang ditentukan bebas dan mandiri dari pengaruh
kekuasaan lembaga negara lainnya. Dengan demikian, tentunya dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia lembaga ini memiliki kedudukan dan fungsi yang pada
dasarnya sejajar dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Tidak lain karena
6

lembaga ini memiliki arti penting secara konstitusional (constitutional important),


hal mana sebenarnya sangatlah tergantung daripada fungsi dan wewenang yang
diemban oleh lembaga tersebut, terkait dengan eksistensinya dalam
ketatanegaraan Indonesia.

Berkaitan dengan UUD 1945 yang merupakan sumber hukum ketatanegaraan


Indonesia, sebelum diadakannya amandemen terhadap UUD 1945, lembaga-
lembaga negara yang terdapat di dalamnya adalah MPR, Presiden, DPA, DPR,
BPK , dan MA. Dengan catatan bahwa MPR merupakan lembaga yang
mendapatkan kedudukan sangat istimewa di antara lembaga-lembaga negara yang
lainnya UUD 1945, dikarenakan telah ditentukan sebagai pemegang kedaulatan
rakyat, sehingga secara otomatis kedudukan lembaga negara yang lainnya
kemudian berada di bawah MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Namun,
setelah UUD 1945 diamandemen oleh MPR sendiri, maka kedudukan MPR
tidaklah lagi istimewa seperti dulu dimana ditentukan sebagai pemegang
kedaulatan rakyat. Dikarenakan kedaulatan rakyat telah dikembalikan kepada
pemilik kedaulatan yang sesungguhnya yakni melalui jalur konstitusi. Dengan
demikian, adanya perubahan terhadap UUD 1945 terkait kedudukan MPR
tentunya berakibat pula terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Perubahan
konstitusi tersebut telah mengubah paradigma kehidupan berbangsa dan bernegara
yang mengubah pula corak dan format kelembagaan serta mekanisme hubungan
antar lembaga negara yang ada (Asshiddiqie,2009;v). Dengan perubahan
konstitusi tersebut, banyak hal-hal yang baru yang sebelumnya memang tidaklah
dikenal dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kemudian berhasil diadopsi untuk
ditetapkan menjadi ketentuan dalam UUD 1945. Bahkan, jika kita kembali
melihat dengan cara saksama akan terlihatlah banyak pula perbedaan baik antara
isi UUD 1945 sebelum diamandemen dengan UUD 1945 sesudah di amandemen.
Apalagi jika membandingkan dari salah sudut lainnya, misalnya dengan
membandingkan antara sistem ketatanegaraan negara lain dengan yang dianut
oleh Indonesia, tentunya sudah dapat dipastikan akan berbeda pula. Oleh karena
7

itu, sistem ketatanegaraan republik Indonesia, menurut Undang-Undang Dasar


1945 ini, sama sekali tidak mengikuti ketatanegaraan lain (Joeniarto,1996;38).

D. Lembaga Negara Republik Indonesia

1. MPR Lembaga ini berdasarkan UUD psl 1,2,3. Anghota terdiri dari
anggota DPR dan DPD

2. Kekuasaan /fungsi MPR mengangkat ,melantik dan memberhentikan


presiden dan wakilnya. Dan berhak menetapkan dan mengubah
UUD(konstitusi),danGBHN Mempertahankan pembukaan

3. PRESIDEN memegang kekuasan menurut UUD,Kewajiban dibantu oleh


wapres dan sekaligus presiden sebagai kepala Negara dan kepala
pemerintah

4. Tugas dan tangungjawab sebagai kepala Negara :serimonial dan protokoler


kenegaraan

5. Kekuasaan dan kewenangan presiden sebagai kepala pemerintah, adalah


tugasnya karena fungsinya sebagai penyelenggaraan legislative

6. presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR dan menetapkan PP utk


mnjlnkn UU tersebut

7. MA/MK/KY, Kekuasaan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan


guna menegakan hokum dan peradilan MA badan peradilanlingkungan
bawah adalah peradilan umum,agama,militer,TU Negara oleh MK dan MA
Berwenang mengadili tgkt katasi danmenguji UU peraturan dibawah UU
dan 4 FUNGSI peradilan,pengawasan,pengaturan dan pemberian nasihat

KETATANEGARAAN SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945


8

1. UUD 1945

2. MPR (Konsultatif)

3. DPR (Legislatif)

4. Presiden (eksekutif)

5. BPK (Inspektif)

6. DPA dihapus

7. MA (Yudikatif)

KETATANEGARAAN SETELAH AMADEMEN UUD 1945

1. UUD 1945

2. BPK

3. LEGISLATIF terdiri dari MPR,DPD,dan DPR

4. EKSEKUTIF terdiri dari PRESIDEN dan WAPRES

5. YUDIKATIF terdiri dari MK,MA,dan KY

DALAM 4 KALI AMADEMEN UUD 1945, MAKA LAHIRLAH 3


LEMBAGA NEGARA

1. DPD : Dewan Perwakilan Daerah Berdasarkan UUD 1945 PSL


22 Tahun 2004 Ttg DPD

2. MK : Mahkamah Konstitusi Berdasar UURI No 24 Tahun 2003


Ttg Mahkamah Konstitusi
9

3. KY : Komisi Yudisial Berdasarkan UU RI No 22 Tahun 2004


Ttg Komisi Yudisial

BAB II
LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA INDONESIA MENURUT

UNDANG-UNDANG DASAR 1945 SEBELUM DI AMANDEMEN

A. PERKEMBANGAN KETATANEGARAAN

Sebelum perubahan UUD 1945, Republik Indonesia menganut prinsip


supremasi MPR yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang
berdaulat dan disalurkan melalui prosedur perwakilan politik (political
representation) melalui DPR, perwakilan daerah (Regional Representation)
melalui utusan daerah, dan perwakilan fungsional (Fungsional Representation)
melalui Utusan Golongan. Lembaga MPR disebut sebagai pelaku tertinggi
kedaulatan rakyat bahkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan
dirumuskan dengan kalimat: Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan
sepenuhnya oleh Mejelis Permusyawaratan Rakyat, MPR mendistribusikan
kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar
10

kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat


(DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

A.
MAJELIS
PERMUSYAWARATAN RAKYAT ( MPR)

Pada awal masa Orde Lama, MPR belum dapat dibentuk secara utuh karena
gentingnya situasi saat itu. Hal ini telah diantispasi oleh para pendiri bangsa
dengan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (pra Amendemen) menyebutkan, Sebelum Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan
Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya
dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Sejak
diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, terjadi perubahan-perubahan
yang mendasar atas kedudukan, tugas, dan wewenang KNIP. Sejak saat itu
mulailah lembaran baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP
diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan
Negara. Dengan demikian, pada awal berlakunya Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (pra Amendemen) dimulailah lembaran pertama
sejarah MPR, yakni terbentuknya KNIP sebagai embrio MPR.
11

Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan


Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), lembaga MPR tidak dikenal
dalam konfigurasi ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Desember
1955 diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota Konstituante yang
diserahi tugas membuat Undang-Undang Dasar. Namun, Konstituante yang
semula diharapkan dapat menetapkan Undang-Undang Dasar ternyata menemui
jalan buntu. Di tengah perdebatan yang tak berujung pangkal, pada tanggal 22
April 1959 Pemerintah menganjurkan untuk kembali ke UUD 1945, tetapi anjuran
ini pun tidak mencapai kesepakatan di antara anggota Konstituante.

Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden yang berisikan :

a) Pembubaran Konstituante,
b) Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara
1950,
c) Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Untuk melaksanakan Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan oleh


Dekret Presiden 5 Juli 1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2
Tahun 1959 yang mengatur Pembentukan MPRS sebagai berikut : MPRS terdiri
atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-
daerah dan golongan-golongan. Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah Swatantra
Tingkat I dan Golongan Karya.

Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah


menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan oleh
Presiden. MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang
diangkat oleh Presiden.Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari
257 Anggota DPR-GR, 241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.
12

Pada tanggal 30 September 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI.


Sebagai akibat logis dari peristiwa pengkhianatan G-30-S/PKI, mutlak diperlukan
adanya koreksi total atas seluruh kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya
dalam kehidupan kenegaraan. MPRS yang pembentukannya didasarkan pada
Dekret Presiden 5 Juli 1959 dan selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden
Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadi pemberontakan G-30-S/PKI, Penetapan
Presiden tersebut dipandang tidak memadai lagi. Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut maka diadakan langkah pemurnian keanggotaan MPRS dari unsur PKI,
dan ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1966 bahwa sebelum
terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipilih oleh rakyat, maka
MPRS menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan UUD 1945 sampai
MPR hasil Pemilihan Umum terbentuk. Rakyat yang merasa telah dikhianati oleh
peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI mengharapkan kejelasan
pertangungjawaban Presiden Soekarno mengenai pemberontakan G-30-S/PKI
berikut epilognya serta kemunduran ekonomi dan akhlak. Tetapi, pidato
pertanggungjawaban Presiden Soerkarno yang diberi judul Nawaksara ternyata
tidak memuaskan MPRS sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS
diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun 1966 yang meminta
Presiden Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya.

Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam


suratnya tertangal 10 januari 1967 yang diberi nama Pelengkap Nawaksara,
tetapi ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. Setalah membahas surat
Presiden tersebut, Pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah
alpa dalam memenuhi kewajiban Konstitusional. Sementara itu DPR-GR dalam
Resolusi dan Memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai
Nawaksara beserta pelengkapnya berpendapat bahwa Kepemimpinan Presiden
Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan
bangsa, negara, dan Pancasila. Dalam kaitan itu, MPRS mengadakan Sidang
Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan
Presiden/Mandataris MPRS dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto
13

sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor


IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk
mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum. Sejak saat
itu, maka semangat Orde Baru telah menggantikan Orde Lama yang tidak sesuai
dengan Demokrasi Pancasila.

Dalam UUD 1945 MPR merupakan salah satu lembaga Negara (sebelum
Amandemen dikenal dengan istilah lembaga tertinggi Negara). Anggota MPR
yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD menunjukan bahwa MPR masih
dipandang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena keanggotaannya dipilih
dalam pemilihan umum. Unsur anggota DPR untuk mencerminkan prinsip
demokrasi politik sedangkan unsur anggota DPD untuk mencerminkan prinsip
keterwakilan daerah agar kepentingan daerah tidak terabaikan. Dengan adanya
perubahan kedudukan MPR, maka pemahaman wujud kedaulatan rakyat tercermin
dalam tiga cabang kekuasaan yaitu lembaga perwakilan, Presiden, dan pemegang
kekuasaan kehakiman.

Adapun yang menjadi kewenangan MPR adalah mengubah dan


menetapkan UUD, memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam hal terjadi
kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden, melantik Presiden dan/atau
Wakil Presiden, serta kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut UUD. Dalam hubungannya dengan DPR, khusus mengenai
penyelenggaraan sidang MPR berkaitan dengan kewenangan untuk
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, proses tersebut hanya bisa
dilakukan apabila didahului oleh pendapat DPR yang diajukan pada MPR.

Dalam hubungannya dengan DPD. Seperti halnya peran DPR, peran DPD
dalam MPR juga sangat besar misalnya dalam hal mengubah UUD yang harus
dihadiri oleh 2/3 anggota MPR dan memberhentikan Presiden yang harus dihadiri
oleh 3/4 anggota MPR maka peran DPD dalam kewenangan tersebut merupakan
suatu keharusan. Dalam hal hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi (MK)
dapat dipahami dari Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu
14

wewenang Mahkamah Konstitusi adalah untuk memutus sengketa kewenangan


lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD. Karena kedudukan MPR
sebagai lembaga negara maka apabila MPR bersengketa dengan lembaga negara
lainnya yang sama-sama memiliki kewenangan yang ditentukan oleh UUD, maka
konflik tersebut harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.

B. PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN


a) Kedudukan Presiden Dan Wakil Presiden

Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga


memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif
(judicative power). Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar. Tidak
ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden
serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya, sehingga
presiden bisa menjabat seumur hidup .Presiden melaksanakan garis-garis besar
haluan Negara yang dibuat haluan Negara yang dibuat oleh MPR dalam
penjelasan UUD 1945 bahwa presiden dan wakil presiden itu merupakan
mandataris MPR. Sehingga kedudukan presiden dapat dikatakan dibawah MPR.

b) Dasar Hukum Tugas Dan Wewenang Presiden Dan wakil Presiden


Sebagai Kepala Negara, Presiden memiliki tugas-tugas khusus yang harus
dilakukan selaku Kepala Negara. Tugas Presiden sebagai Kepala Negara
tercantum dalam peraturan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) adalah:
Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut dan Angkatan Udara (Pasal 10)

Presiden mengangkat duta dan konsul (Pasal 13 ayat 1)

Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan


pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 13 ayat 3)
15

Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk


agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu (Pasal 29 Ayat 2)

Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua


puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional (Pasal 31 Ayat 4)

Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban


dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya (Pasal 32 Ayat 1)

Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan


budaya nasional (Pasal 32 Ayat 2)

Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34 Ayat
1)

Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan


memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan (Pasal 34 Ayat 2)

Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan


dan fasilitas pelayanan umum yang layak (Pasal 34 Ayat 3)

Tugas Presiden sebagai Kepala Pemerintahan


Tugas Presiden sebagai Kepala Pemerintahan berdasarkan UUD 1945 adalah:
Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar (Pasal 4 ayat 1)

Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-


undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat 2)

Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Pasal 17


ayat 2)
16

Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah


provinsi, kabupaten, dan kota, atau provinsi dan kabupaten dan kota, diatur
dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah (Pasal 18B Ayat 1)

Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam


dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur
dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang (Pasal
18B Ayat 2)

Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui


bersama untuk menjadi undang-undang (Pasal 20 Ayat 4)

Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara


diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat
dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (Pasal 23
Ayat 2)

Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan


Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan
diresmikan oleh Presiden (Pasal 23F Ayat 1)

Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan


Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai
hakim agung oleh Presiden (Pasal 24A Ayat 3)

Anggota Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan


persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 24B Ayat 3)

Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim


konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga
orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan
tiga orang oleh Presiden (Pasal 24C Ayat 3)

Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia


adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah (Pasal 28I Ayat 4)
17

Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah


wajib membiayainya (Pasal 31 Ayat 2)
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang
(Pasal 31 Ayat 3)
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia (Pasal 31 Ayat 5)

c) Hubungan Presiden & Wakil Presiden Dengan Lembaga Negara


Lainnya

Sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia telah telah dipergunakan tiga


undang-undang dasar, yaitu, pertama; Undang-Undang Dasar 1945,
periode pertama, (18 Agustus 1945 s/d 28 Oktober 1949), periode kedua (5
Juli 1959 s/d Oktober tahun 1999) dan periode ketiga (1999-
sekarang), kedua; Konstitusi Republik Indonesia Serikat ( 27 Desember
1949 s/d 16 Agustus 1950), dan ketiga; Undang-Undang Dasar Sementara
1950 (17 Agustus 1950 s/d 4 Juli 1959)
Pada periode pertama, berlakunya UUD 1945 sangat singkat dengan
menggunakan sistem pemerintahan berdasar undang-undang dasar
tersebut. Namun tidak berjalan baik karena masa revolusi dan perang
kemerdekaan. Kabinet pertama yang terbentuk berdasar UUD 1945 adalah
kabinet kuasi Presidensiil yang dibentuk pada tanggal 2 September
1945.1 Baru dua bulan kabinet terbentuk, keluarlah Maklumat Wakil
Presiden Nomor X Tahun 1945, yaitu penyerahan kekuasaan legislatif dari
MPR dan DPR kepada Komite Nasional Pusat (KNIP) sebelum MPR dan
DPR terbentuk, dan pembentukan Badan Pekerja KNIP. Atas usul Badan
Pekerja KNIP tanggal 11 November 1945 dikeluarkan Maklumat
Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang berisi perubahan sistem
pemerintahan menjadi sistem Parlementer.

1
18

Pada saat berlakunya Konstitusi RIS, dimana negara Indonesia berubah


menjadi Negara Serikat, menerapkan sistem pemerintahan parlementer.
Demikian juga pada masa berlakunya UUDS 1950 juga menerapkan
sistem pemerintahan parlementer, yaitu kabinet dipimpin oleh Perdana
Menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen.
Setelah kembali pada UUD 1945 dengan Dektrit Presiden 5 Juli 1959,
kembali berlaku UUD 1945, yang dalam perkembangan praktek
pemerintahan selanjutnya terjadi berbagai penyimpangan dari ketentuan
undang-undang dasar antara lain dengan sistem demokrasi terpimpin pada
masa Orde Lama dan menjadikan Presiden Soekarno sangat berkuasa dan
menjadi Presiden seumur hidup. Pada masa Orde Baru Presiden Soeharto
merubahnya menjadi demokrasi Pancasila namun pada akhirnya juga tidak
berjalan dengan baik. Untuk mengetahui sistem pemerintahan yang dianut
UUD 1945, perlu memperhatikan penjelasan UUD 1945 yang
menguraikan secara singkat sistem penyelenggaraan kekuasaan negara
yang dianut oleh undang-undang dasar tersebut. Dalam penjelasan itu
diuraikan tentang sistem pemerintahan negara yang terdiri beberapa
prinsip pokok, yaitu sebagai berikut :
Prinsip negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) bukan atas kekuasaan
belaka (machtstaat) dan prinsip sistem konstitusinal (berdasarkan atas
konstitusi) tidak berdasar atas absolutisme. Prinsip selanjutnya adalah
kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR). Penjelasan UUD 1945 menerangkan bahwa kedaulatan dipegang
oleh suatu badan, bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia. Majelis ini menetapkan UUD dan garis-garis besar haluan
negara, mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Presiden.
Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang
Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang
telah ditetapkan Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis bertunduk
dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah mandataris dari Majelis.
Presiden tidak neben tetapi untergeordnet kepada Majelis. MPR
19

adalah Lembaga Tertinggi Negara (TAP MPR NO. III/1978), sedangkan


lembaga negara yang lainnya adalah merupakan Lembaga Tinggi Negara
dan Presiden memegang posisi sentral karena dialah mandataris MPR.
Prinsip selanjutnya, Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara
tertinggi di bawah Majelis.Penjelasan UUD 1945 menguraikan bahwa
dibawah MPR, Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang
tertinggi dalam menjalankan pemerintahan negara. Kekuasaan dan
tanggung jawab adalah ditangan Presiden (concentration of power and
responsibility upon the presiden). Presiden adalah mandataris MPR, dia
tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Dengan posisi madataris
itulah Presiden memiliki diskresi kekuasaan dan kewenangan yang sangat
besar. Disamping memegang kekuasaan eksekutif (executive power),
Presiden juga sekaligus memegang kekuasaan legislatif (legislative
power). Meskipun demikian ditegaskan bahwa kekuasaan Presiden sebagai
kepala negara terbatas. Presiden dapat diawasi oleh DPR, dan Presiden
harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. Karena itu Presiden
harus dapat bekerja sama dengan DPR, akan tetapi Presiden tidak
bertanggungjawab kepada DPR.
Menteri-menteri negara adalah pembantu Presiden dan tidak bertanggung
jawab kepada DPR. Karena itu kedudukan menteri-menteri negara tidak
tergantung DPR akan tetapi tergantung Presiden. Meskipun mereka adalah
pembantu Presiden, tetapi Menteri-menteri negara bukan pegawai tinggi
biasa, karena menteri-menteri itulah yang menjalankan kekuasaan
pemerintah dalam praktek. Menteri-menteri negara memimpin
departemen.
Lebih lanjut, penjelasan UUD 1945 menguaraikan bahwa kedudukan DPR
adalah kuat. Disamping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat. DPR
tidak dapat dibubarkan oleh Presiden. Setiap saat DPR dapat mengawasi
Presiden, dan jika dalam pengawasan itu DPR menemukan bahwa
Presiden telah melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD
atau yang telah ditetapkan oleh MPR, maka MPR dapat diundang untuk
20

mengadakan persidangan istimewa agar bisa minta pertanggungan jawab


kepada Presiden.
Kewenangan DPR yang diatur dalam UUD 1945 sangat minim, yaitu
memberi persetujuan atas undang-undang yang dibentuk Presiden (pasal
20 ayat 1 dan 2 jo pasal 5), memberi persetujuan atas PERPU (pasal 22),
memberi persetujuan atas anggaran (pasal 23) dan persetujuan atas
pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang
dilakukan oleh Presiden. Kewenangan DPR untuk mengawasi
pemerintah/Presiden dan kewenangan untuk meminta MPR mengadakan
sidang istimewa untuk meminta pertanggungan jawab Presiden (fungsi
kontrol) hanya diterangkan dalam penjelasan.
Disamping itu UUD 1945, juga mengintrodusir badan-badan negara yang
lain seperti Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). DPA hanya untuk memberi nasihat belaka kepada
Presiden apakah diminta atau tidak diminta. DPA ini dijelaskan dalam
pejelasan UUD adalah semacan Council of State. Sedangkan BPK
adalah badan negara yang diberi tugas dan wewenang untuk memeriksa
tanggung jawab tentang keuangan negara, yaitu suatu badan yang terlepas
dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah, tapi tidak pula berdiri di atas
pemerintah.
Demikianlah sistem pemerintahan negara menurut UUD 1945 sebelum
perubahan. Dalam sistem seperti ini MPR merupakan lembaga negara
terpenting karena lembaga ini adalah penjelmaan seluruh rakyat. Setelah
itu adalah Presiden, karena Presiden adalah mandataris MPR. Dengan
demikian kelembagaan negara dalam sistem pemerintahan ini terstruktur,
yaitu MPR memegang kekuasaan negara tertinggi sebagai sumber
kekuasaan negara dan dibawahnya adalah Presiden sebagai penyelenggara
kekuasaan pemerintahan yang tertinggi di bawah MPR. Sistem seperti ini
tidak menganut prinsip check and balances, dan tidak mengatur
pembatasan yang tegas penyelenggaraan kekuasaan negara antara lembaga
negara. Karena kelemahan inilah dalam praktek ketatanegaraan Indonesia
21

banyak disalahgunakan dan ditafsirkan sesuai kehendak siapa yang


memegang kekuasaan.
Dengan demikian sistem perwakilan rakyat dalam periode UUD 1945,
sebelum perubahan khususnya MPR memiliki kewenangan yang sangat
besar, yaitu sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat dan dianggap
sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Dalam sistem perwakilan itu
sendiri terbagi dalam dua lembaga yaitu, pertama; MPR memiliki
kewenangan sangat besar yang anggotanya terdiri anggota DPR ditambah
dengan utusan daerah dan utusan golongan , dan kedua; DPR, yang
memiliki kewenangan hanya dalam bidang membahas dan menyetujui
rancangan undang-undang, rancangan Anggaran Belanja Negara dan
melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Posisi kedua lembaga
perwakilan MPR dan DPR tidak seperti posisi parlemen dua kamar
yang dikenal di negara-negara lain yaitu Senat dengan House di Amerika
Serikat, akan tetapi suatu sistem yang bersifat multicameral.

C. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ( DPR )


DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) adalah lembaga perwakilan rakyat yang
tidak dapat dibubarkan oleh Presiden. Anggota DPR adalah Anggota Partai
Politik peserta pemilu yang dipilih oleh rakyat. DPR tidak bertanggung
jawab terhadap Presiden. Sebelum diadakannya amandemen, tugas dan
wewenang DPR adalah: 1. Mengajukan rancangan undang-undang. 2.
Memberikan persetujuan atas Peraturan Perundang-undangan (Perpu). 3.
Memberikan persetujuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). 4. Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa.

D. MAHKAMAH AGUNG ( MA )
Sebelum amandemen Undang-undang Dasar 1945, kekuasaan
kehakiman dilakukan hanya oleh mahkamah agung. Lembaga mahkamah
agung bersifat mandiri dan tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh
cabang kekuasaan lainnya. Wewenang sebelum amandemen :
1. Berwenang mengadili pada tingkat kasasi.
2. Menguji peraturan perundang-undangan.
3. Mengajukan tiga orang hakim konstitusi.
22

4. Memberikan pertimbangan kepada presiden untuk memberikan grasi


dan rehabilitasi.

E. BADAN PEMERIKSA KEUANGAN ( BPK )


Sebelum amandemen tidak banyak dijelaskan menenai BPK. BPK
bertugas untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara. Hasil
dari pemeriksaan keuangan tersebut kemudian dilaporkan kepada DPR.

F. DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG ( DPA )


DPA memiliki kewajiban untuk memberi jawaban terhadap
pertanyaan Presiden. DPA juga serta berhak untuk mengajukan usulan
kepada pemerintah. Sama Seperti BPK, UUD 1945 tidak banyak
menjelaskan tentang DPA.

BAB III

LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA MENURUT

UNDANG-UNDANG DASAR 1945 PASCA AMANDEMEN

A. PERKEMBANGAN KETATANEGARAAN PASCA AMANDEMEN


Pasca diamandemenya UUD 1945 sebanyak empat kali, tatanegaraan
Indonesia mengalami perubahan konstitusi. Perubahan amandemen ini
mengakibatkan reformasi dibidang ketatanegaraan Indonesia. Beberapa
diantaranya adalah dibentuknya sebuah lembaga baru bernama Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPD). Sejak dibentuknya DPD maka sistem
perwakilan di Indonesia berubah dari unikameral menjadi bikameral.
23

Sebagaimana kita ketahui, bentuk Negara kesatuan lebih kompatibel


dengan sistem unikameral. Sedangkan bicameral hanya cocok diterapkan
di Negara federal. Namun demikian, keberadaan DPD tidak pula dapat
dikatakan sebagai bentuk bikameral yang lazim. Terkait dengan
kedudukannya, terdapat dua sifat bikameral yaitu Strong Bicameralism
jika DPR dan DPD sama kuat dan Soft Bicameralism jika keduanya tidak
sama kuat. Dan ternyata, bikameral di Indonesia tidak memenuhi kriteria
keduanya. Dalam urusan legislatif, DPD tidak memiliki kekuasaan
apapun. DPD hanya memberikan masukan, pertimbangan, usul, ataupun
saran. Sedangkan yang berhak memutuskan adalah DPR (Ashhiddiqie,
2003: 18). DPD yang tadinya dianggap dapat merepresentasikan
kepentingan daerah dalam kenyataannya belum berfungsi dengan baik. Ini
terlihat dari kebijakan-kebijakan di tingkat nasional masih saja kurang
memperhatikan rakyat daerah sehingga muncul ketidakpuasan dan
keinginan memisahkan diri dari beberapa daerah di Indonesia.
Ketidakpuasan ini disebabkan oleh reaksi serta ketidakpuasan terhadap
pembangunan secara fisik, sosial, budaya, dan ekonomi yang tidak
seimbang yang dijalankan oleh satu pemerintahan pusat terhadap satu
wilayah tertentu (Bahar ,1998: 187-188). Selanjutnya, pasca reformasi
banyak sekali lembaga-lembaga dan komisikomisi independen yang
dibentuk (Ashhiddiqie, 2006: 25-27) . Ini menyebabkan terjadinya
fragmentasi kekuasaan melihat terbagi-baginya kekuasan kedalam institusi
politik baru. Fragmentasi ini menyebabkan fungsi intitusional
lembagalembaga Negara saling tumpang tindih yang pada akhirnya
menimbulkan ketidakharmonisan antar lembaga. KPK misalnya, secara
perlahan-lahan justru mengambil alih fungsi lembaga hukum lainnya
seperti kejaksaan dan kepolisian.

B. LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA PASCA AMANDEMEN

Setelah UUD 1945 diamandemen mulai terjadi pergeseran lebih ke


arag presidensial murni. Presiden tidak lagi dipilih, diangkat, dan
24

diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Presiden langsung


dipilih oleh rakyat, MPR hanya melantik. Presiden tidak lagi bertanggung
jawab kepada MPR sebagai lembaga tertinggi negara, karena saat ini
kedudukannya sama yaitu sebagai lembaga tinggi negara. Jika presiden
dinyatakan melanggar UUD atau melakukan perbuatan tercela, maka yang
memutuskan bukan lagi MPR, MPR hanya 12 menetapkan saja
berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun struktur
lembaga negara pasca amanademen UUD 1945 adalah sebagai berikut :

Berikut Lembaga-lembaga Negara Pasca Amandemen:

1) MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT


a) Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Setelah amandemen, MPR adalah lembaga tinggi negara yang memiliki
kedudukan sejajar dengan lembaga tinggi lainnya. MPR juga kehilangan
wewenang untuk memilih presiden dan wakilnya. Selain itu diatur juga
mengenai sistem keanggotaan MPR yaitu:
1. MPR terdiri atas Anggota DPR dan DPD .
2. Anggota MPR memiliki masa jabat selama 5 tahun.
3. Mengucapkan sumpah atau janji sebelum menjalankan amanat sebagai
anggota MPR.
25

Dasar hukum lembaga negara Majelis Permusyawaratan Rakyat


adalah Pasal 2 UUD RI 1945 dan Pasal 3 UUD RI 1945.

b) Tugas dan Wewenang MPR setelah amandemen :

Perubahan tugas dan fungsi MPR dilakukan untuk melakukan


penataan ulang sistem ketatanegaraan agar dapat diwujudkan secara
optimal yang menganut sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi
antarlembaga negara dalam kedudukan yang setara, dalam hal ini antara
MPR dan lembaga negara lainnya seperti Presiden dan DPR.

Saat ini MPR tidak lagi menetapkan garis-garis besar haluan negara, baik
yang berbentuk GBHN maupun berupa peraturan perundang-undangan,
serta tidak lagi memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Hal
ini berkaitan dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menganut sistem pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat yang memiliki program yang
ditawarkan langsung kepada rakyat. Jika calon Presiden dan Wakil
Presiden itu menang maka program itu menjadi program pemerintah
selama lima tahun. Berkaitan dengan hal itu, wewenang MPR adalah
melantik Presiden atau Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh
rakyat. Dalam hal ini MPR tidak boleh tidak melantik Presiden dan/atau
Wakil Presiden yang sudah terpilih.

Wewenang MPR berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3)
UUD Tahun 1945 adalah:

1. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;

2. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;

3. memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya


menurut Undang-Undang Dasar;
26

4. memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden
apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya;

5. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara


bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua pasangan calon Presiden dan
calon Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan
partai politik yang pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presidennya
meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum
sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

c) Hubungan antar Lembaga Negara


Keberadaan MPR dalam sistem perwakilan dipandang sebagai ciri
yang khas dalam sistem demokrasi di Indonesia. Keanggotaan MPR yang
terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD menunjukan bahwa MPR
masih dipandang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena
keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur anggota DPR
untuk mencerminkan prinsip demokrasi politik sedangkan unsur anggota
DPD untuk mencerminkan prinsip keterwakilan daerah agar kepentingan
daerah tidak terabaikan. Dengan adanya perubahan kedudukan MPR,
maka pemahaman wujud kedaulatan rakyat tercermin dalam tiga cabang
kekuasaan yaitu lembaga perwakilan, Presiden, dan pemegang kekuasaan
kehakiman.
Sebagai lembaga, MPR memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan
UUD, memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam hal terjadi
kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden, melantik Presiden
dan/atau Wakil Presiden, serta kewenangan memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Dalam konteks pelaksanaan kewenangan, walaupun anggota DPR
mempunyai jumlah yang lebih besar dari anggota DPD, tapi peran DPD
dalam MPR sangat besar misalnya dalam hal mengubah UUD yang harus
dihadiri oleh 2/3 anggota MPR dan memberhentikan Presiden yang harus
27

dihadiri oleh 3/4 anggota MPR maka peran DPD dalam kewenangan
tersebut merupakan suatu keharusan.
Dalam hubungannya dengan DPR, khusus mengenai penyelenggaraan
sidang MPR berkaitan dengan kewenangan untuk memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden, proses tersebut hanya bisa dilakukan
apabila didahului oleh pendapat DPR yang diajukan pada MPR.
Selanjutnya, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu
wewenang Mahkamah Konstitusi adalah untuk memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD.
Karena kedudukan MPR sebagai lembaga negara maka apabila MPR
bersengketa dengan lembaga negara lainnya yang sama-sama memiliki
kewenangan yang ditentukan oleh UUD, maka konflik tersebut harus
diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi.

2. DEWAN PERMUSYAWARATAN RAKYAT ( DPR )


a) Kedudukan Dewan Permusyawaratan Rakyat
Pasca dilakukannya perubahan terhadap UUD, DPR semakin
diperkuat keberadaannya. Kini DPR memiliki wewenang untuk
membuat Undangundang. Wewenang ini sebelum amandemen dimiliki
oleh Presiden.

b) Dasar Hukum Dewan Permusyawaratan Rakyat

Dasar hukum lembaga negara Dewan Perwakilan Rakyat antara lain :

Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUD RI 1945,

Pasal 22 ayat (2) UUD RI 1945,

Pasal 23 ayat (2) UUD RI 1945,

Pasal 22D ayat (3) UUD RI 1945,

Pasal 22E ayat (2) UUD RI 1945,

Pasal 24B ayat (3) UUD RI 1945,


28

Pasal 24A ayat (3) UUD RI 1945,

Pasal 14 ayat (2) UUD RI 1945, dan

Pasal 11 ayat (2) UUD RI 1945.

c) Tugas, wewenang dan fungsi DPR setelah Amandemen:

Berikut tugas dan wewenang dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk


mendapat persetujuan bersama.

Membahas dan memberikan atau tidak memberikan persetujuan


terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Menerima dan membahas usulan Rancangan Undang-Undang


(RUU) yang diajukan oleh DPD yang berkaitan dengan bidang
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dan
mengikutsertakan dalam pembahasannya dalam awal pembicaraan
tingkat I.

Mengundang DPD untuk melakukan pembahasan RUU yang


diajukan oleh DPR maupun oleh pemerintah sebagaimana
dimaksud pada huruf c, pada awal pembicaraan tingkat I.

Memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU Anggaran


Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan RUU yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan, dan agama dalam awal pembicaraan
tingkat I.

Membicarakan APBN bersama presiden dengan memperhatikan


pertimbangan DPD

Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan


oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi
daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya
29

ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan


agama.

Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan


memperhatikan pertimbangan DPD.

Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas


pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh
Badan Pemeriksa Keuangan.

Mengajukan, memberikan persetujuan, pertimbangan / konsultasi,


dan pendapat.

Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi


masyarakat.

Melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan dalam


Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
undang-undang.

Membentuk UUD yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat


persetujuan bersama peraturan pemerintah pengganti UUD
menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang
berkaitan dengan bidang tertentu dalam pembahasan.

Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan


pertimbangan DPD.

Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, serta


kebijakan pemerintah.

Memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas


pertanggungjawaban keuangan Negara yang disampaikan oleh
BPK.

Memberikan persetujuan kepada Peresiden atas pengangkatan dan


pemberhentian anggota.

Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk


mendapat persetujuan bersama.
30

Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian


amnesti dan abolisi.

Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat


duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain.

Memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD

Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas


pertanggung jawaban keuangan negara yang disampaikan oleh
BPK.

Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan


pemberhentian anggota Komisi Yudisial.

Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan


Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden.

Memilih tiga orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada


Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden.

d) Hubungan Dengan Lembaga Negara Lainnya

Berdasarkan UUD 1945, kini dewan perwakilan terdiri dari


DPR dan DPD. Perbedaan keduanya terletak pada hakikat
kepentingan yang diwakilinya, DPR untuk mewakili rakyat
sedangkan DPD untuk mewakili daerah.
Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan
membentuk undang-undang. Selanjutnya untuk menguatkan posisi
DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif maka pada Pasal 20 ayat
(5) ditegaskan bahwa dalam hal RUU yang disetujui bersama tidak
disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut
disetujui, sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Dalam hubungan dengan DPD, terdapat hubungan kerja dalam hal
ikut membahas RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu, DPD
memberikan pertimbangan atas RUU tertentu, dan menyampaikan
hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR.
31

Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, terdapat


hubungan tata kerja yaitu dalam hal permintaan DPR kepada MK
untuk memeriksa pendapat DPR mengenai dugaan bahwa Presiden
bersalah. Disamping itu terdapat hubungan tata kerja lain misalnya
dalam hal apabila ada sengketa dengan lembaga negara lainnya,
proses pengajuan calon hakim konstitusi, serta proses pengajuan
pendapat DPR yang menyatakan bahwa Presiden bersalah untuk
diperiksa oleh MK.

3. DEWAN PERWAKILAN DAERAH ( DPD )


a) Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah
DPD (Dewan Perwakilan Daerah) merupakan lembaga yang dibentuk
setelah amandemen. DPD merupakan langkah untuk mengakomodir
kepentingan daerah di tingkat nasional.

b) Dasar Hukum Dewan Perwakilan Daerah

Dasar hukum lembaga negara Dewan Perwakilan Daerah antara


lain :

Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD RI 1945, dan

Pasal 23F ayat (1) UUD RI 1945

c) Tugas Dan Wewenang Dewan Perwakilan Daerah

Berikut tugas dan wewenang dari Dewan Perwakilan Daerah


(DPD).

Mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undang yang


berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah. DPR kemudian mengundang DPD untuk membahas RUU
tersebut..
32

Memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU


yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama

Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota


Badan Pemeriksa Keuangan.

Melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai


otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan
daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam,
dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
pendidikan, dan agama.

Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara dari BPK untuk


dijadikan bahan membuat pertimbangan bagi DPR tentang RUU
yang berkaitan dengan APBN

d) Hubungan Dengan Lembaga Negara Lainya


Tugas dan wewenang DPD yang berkaitan dengan DPR adalah
dalam hal mengajukan RUU tertentu kepada DPR, ikut membahas
RUU tertentu bersama dengan DPR, memberikan pertimbangan
kepada DPR atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil
pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR. Dalam kaitan itu,
DPD sebagai lembaga perwakilan yang mewakili daerah dalam
menjalankan kewenangannya tersebut adalah dengan
mengedepankan kepentingan daerah.
Dalam hubungannya dengan BPK, DPD berdasarkan ketentuan
UUD menerima hasil pemeriksaan BPK dan memberikan
pertimbangan pada saat pemilihan anggota BPK.
Ketentuan ini memberikan hak kepada DPD untuk menjadikan
hasil laporan keuangan BPK sebagai bahan dalam rangka
melaksanakan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, dan untuk
turut menentukan keanggotaan BPK dalam proses pemilihan
anggota BPK. Disamping itu, laporan BPK akan dijadikan sebagai
33

bahan untuk mengajukan usul dan pertimbangan berkenaan dengan


RUU APBN.
Dalam kaitannya dengan MK, terdapat hubungan tata kerja terkait
dengan kewenangan MK dalam hal apabila ada sengketa dengan
lembaga negara lainnya.

4. PRESIDEN & WAKIL PRESIDEN


1. Kedudukan Presiden & Wakil Presiden
Dalam sistem yang dianut oleh UUD 1945, Presiden

Republik Indonesia mempunyai kedudukan sebagai Kepala Negara

dan sekaligus Kepala Pemerintahan. Memang ada kedudukan lain

yang juga disebut dalam UUD 1945, yaitu dalam Pasal 10 yang

menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi

atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

Kedudukan ini biasa disebut sebagai Panglima Tertinggi atas ketiga

angkatan bersenjata atau ketiga angkatan Tentara Nasional Indonesia.

Selanjutnya dalam Pasal 10A (baru), dinyatakan pula bahwa

Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

Presiden juga tidak perlu lagi bertanggung jawab kepada


MPR karena posisi antara MPR dan Presiden kini sama tinggi.

2. Dasar Hukum Presiden dan Wakil Presiden

Dasar hukum lembaga negara Presiden antara lain :

Pasal 4 ayat (1) UUD RI 1945,

Pasal 5 ayat (1) dan (2 UUD RI 1945),


34

Pasal 11 ayat (1) UUD RI 1945,

Pasal 12 UUD RI 1945,

Pasal 13 ayat (1) UUD RI 1945,

Pasal 14 ayat (1) dan (2) UUD RI 1945,

Pasal 15 UUD RI 1945,

Pasal 16 UUD RI 1945,

Pasal 17 ayat 2 UUD RI 1945,

Pasal 20 ayat (2) UUD RI 1945,

Pasal 24A ayat (3) UUD RI 1945, dan

Pasal 24C ayat (3) UUD RI 1945.

3. Tugas Dan Wewenangnnya

Berikut tugas dan wewenang dari Presiden.

Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD.

Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat


(AD),Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU).

Mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada Dewan


Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden melakukan pembahasan dan
pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR serta mengesahkan
RUU menjadi UU.
35

Menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (dalam


kegentingan yang memaksa).

Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri.

Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan


negara lain dengan persetujuan DPR.

Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR

Menyatakan keadaan bahaya.

Mengangkat duta dan konsultan. Dalam mengangkat duta, Presiden


memperhatikan pertimbangan DPR.

Menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan


pertimbangan DPR.

Memberi grasi, rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan


Mahkamah Agung.

Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan


DPR.

Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya yang diatur
dengan UU.

Meresmikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang


dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD).

Menetapkan hakim agung dari calon yang diusulkan oleh Komisi


Yudisial (KY) dan disetujui DPR.
36

Menetapkan hakim konstitusi dari calon yang diusulkan Presiden,


DPR, dan Mahkamah Agung.

Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan


persetujuan DPR.

4. Hubungannya Dengan Lembaga Negara Lainnya

Setelah diadakannya perubahan pertama yang kemudian lebih


dilengkapi lagi dengan perubahan kedua, ketiga, dan keempat UUD
1945, konstitusi negara kita meninggalkan doktrin pembagian kekuasaan
dan mengadopsi gagasan pemisahan dalam arti horizontal (horizontal
separation of power).2 Pemisahan kekuasaan dilakukan dengan prinsip
check and balances diantara lembaga-lembaga konstitusional satu sama
lainnya yang kemudian diidealkan dengan saling mengendalikan satu
sama lain.

Setelah amandemen MPR tidak lagi diberikan sebutan sebagai lembaga


tertinggi negara, hanya sebagai lembaga negara sama seperti DPR,
Presiden, BPK dan MA. Dalam pasal 1 ayat (2) yang telah mengalami
perubahan perihal kedaulatan disebutkan bahwa kedaulatan berada
ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar
sehingga tampaklah bahwa MPR tidak lagi menjadi pelaku/pelaksana
kedaulatan rakyat. Susunan MPR juga telah berubah keanggotaanya,
yaitu terdiri atas anggota DPR dan Dewan Perakilan Daerah (DPD), yang
semuanya direkrut melalui pemilu.

Perlu dijelaskan bahwa susunan ketatanegaraan dalam kelembagaan


negara juga mengalami perubahan dengan pemisahan kekuasaan, antara
lain adanya lembaga negara yang dihapus maupun yang baru lahir, yaitu
sebagai badan legislative terdiri dari anggota MPR, DPR, DPD, badan
eksekutif Presiden dan wakil Presiden, serta badan yudikatif yang terdiri
2
37

atas kekuasaan kehakiman yaitu mahkamah konstitusi (MK) sebagai


lembaga baru, Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Yudisial (KY) juga
lembaga baru. Lembaga negara lama yang dihapus adalah Dewan
Pertimbangan Agung (DPA), dan Badan Pemeriksa Keuangan tetap ada
hanya saja diatur tersendiri.

Sistem ini tetap dalam frame sistem pemerintahan presidensial, bahkan


mempertegas sistem tersebut, yaitu Presiden tidak bertanggung jawab
kepada parlemen, akan tetap bertanggung kepada rakyat dan senantiasa
dalam pengawasan DPR dan DPD. Presiden hanya dapat diberhentikan
dalam masa jabatannya karena melakukan perbuatan melanggar hukum
yang jenisnya telah ditentukan dalam undang-undang dasar atau tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. DPR dapat mengusulkan untuk
memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya manakala ditemukan
pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden sebagaimana yang
ditentukan dalam undang-undang dasar.

Hasil dari amandemen UUD 1945:

- Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum (Pasal 1 ayat


(3)) dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan
yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi manusia serta
kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law.
- Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat
negara, seperti Hakim.
- Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check
and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang
berdasarkan fungsi masing-masing.
- Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
- Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk
beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem
konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum.
38

- Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing


lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara
demokrasi modern.3

5. MAHKAMAH AGUNG ( MA )
a) Kedudukan Mahkamah Agung
Pembentukan Mahkamah Agung (MA) pada pokoknya
memang diperlukan karena bangsa kita telah melakukan perubahan-
perubahan yang mendasar atas dasar undang-undang dasar 1945.
Dalam rangka perubahan pertama sampai dengan perubahan keempat
UUD 1945. Bangsa itu telah mengadopsi prinsip-prinsip baru dalam
system ketenegaraan, yaitu antara lain dengan adanya system prinsip
Pemisahan kekuasaan dan cheeks and balance sebagai pengganti
system supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya.
MA merupakan lembaga negara yang memiliki kuasa untuk
menyelenggarakan peradilan bersama-sama dengan MK. MA
membawahi badan peradilan dalam wilayah Peradilan Umum,
Peradilan militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN).

b) Dasar Hukum Mahkamah Agung

Dasar hukum lembaga negara Mahkamah Agung antara lain :

Pasal 24 ayat (2) UUD RI 1945,

Pasal 24A ayat (1) UUD RI 1945, dan

Pasal 24C ayat (3) UUD RI 1945

c) Tugas Dan Wewenang Mahkamah Agung


1. Memiliki fungsi yang berhubungan dengan kuasa kehakiman.
Fugsi ini diatur dalam UU.

3
39

2. Berwenang mengadili di tingkat kasasi, menguji peraturan


perundangundangan di bawah Undang-Undang.
3. Mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-
Undang.
4. Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan
rehabilitasi.
5. Mengajukan anggota Hakim Konstitusi sebanyak 3 orang

d) Hubungan Dengan Lembaga Negara Lainnya


Pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan dibawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Ketentuan tersebut menyatakan puncak kekuasaan kehakiman dan
kedaulatan hukum ada pada MA dan MK. Mahkamah Agung
merupakan lembaga yang mandiri dan harus bebas dari pengaruh
cabang-cabang kekuasaan yang lain.
Dalam hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi, MA mengajukan
3 (tiga) orang hakim konstitusi untuk ditetapkan sebagai hakim di
Mahkamah Konstitusi.

6. MAHKAMAH KONSTITUSI ( MK )
a) Kedudukan Mahkamah Konstitusi ( MK )
Keberadaan MK dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian
konstitusi. Bersama dengan MA, MK menjadi lembaga tinggi negara
yang memegang kuasa kehakiman. Anggota Hakim Konstitusi
ditetapkan oleh Presiden, sedang calonnya diusulkan oleh MA, DPR
dan pemerintah

b) Dasar Hukum Mahkamah Konstitusi ( MK )


Dasar hukum lembaga negara Mahkamah Agung adalah Pasal 24C
ayat (1) dan (2) UUD RI 1945.

c) Tugas Dan Wewenang Mahkamah Konstitusi ( MK )


Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
keputusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewewenangan lembaga Negara yang kewewenangannya
40

diberikan oleh UUD1945, memutus pembubaran partai politik,


dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
Wajib memberi keputusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden atau Wakil
Presiden menurut UUD 1945.
Menguji undang-undang terhadap UUD 19451.
Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Memutus pembubaran partai politik.
Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

d) Hubungan Dengan Lembaga Negara Lainnya


Kewenangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan
ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) adalah untuk mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji UU terhadap
UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan UUD, memutus pembubaran partai
politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Disamping itu, MK juga wajib memberikan putusan atas
pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden atau
Wakil Presiden menurut UUD.
Dengan kewenangan tersebut, jelas bahwa MK memiliki
hubungan tata kerja dengan semua lembaga negara yaitu apabila
terdapat sengketa antar lembaga negara atau apabila terjadi
proses judicial review yang diajukan oleh lembaga negara pada
MK.

7. KOMISI YUDISIAL
a) Kedudukan Komisi Yudisial
Komisi Yudisial berfungsi mengawasi perilaku hakim dan
mengusulkan nama calon Hakim Agung. KY merupakan
lembaga negara yang bersifat mandiri. Anggota Komisi
Yudisial terdiri atas 7 orang yaitu, dua orang mantan hakim,
dua orang akademisi hukum, dua orang praktisi hukum, dan
41

satu dari anggota masyarakat. Anggota Komisi Yudisial


memegang jabatan selama masa 5 (lima) tahun.

b) Dasar Hukum
Dasar hukum lembaga negara Mahkamah Agung adalah Pasal 24C ayat
(1) dan (2) UUD RI 1945.

c) Tugas Dan Wewenang


1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc
MA.
2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, martabat, serta
perilaku hakim.
3. Dengan MA, bersama menetapkan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim (KEPPH)
4. Menegakkan KEPPH

d) Hubungannya Dengan Lembaga Negara Lainyya


Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) menegaskan
bahwa calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada
DPR untuk mendapat persetujuan. Keberadaan Komisi Yudisial
tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Dari
ketentuan ini bahwa jabatan hakim merupakan jabatan
kehormatan yang harus dihormati, dijaga, dan ditegakkan
kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri.
Dalam hubungannya dengan MA, tugas KY hanya dikaitkan
dengan fungsi pengusulan pengangkatan Hakim Agung,
sedangkan pengusulan pengangkatan hakim lainnya, seperti
hakim MK tidak dikaitkan dengan KY.

8. BADAN PEMERIKSA KEUANGAN ( BPK )


a) Kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK )
BPK merupakan lembaga tinggi Negara yang memiliki
wewenang untuk mengawas serta memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara, temuan BPK dilaporkan
kepada DPR dan DPD, kemudian ditindak oleh penegak
hukum. BPK berkantor di ibukota negara dan memiliki
42

perwakilan di setiap provinsi. DPR memilih anggota BPK


dengan pertimbangan DPD. Barulah setelah itu Anggota baru
diresmikan oleh Presiden.

b) Dasar Hukum Badan Pemeriksa Keuangan

Dasar hukum lembaga negara Badan Pemeriksa


Keuangan antara lain :

Pasal 23E, 23F, 23G UUD RI 1945,

UU RI No. 15 tahun 2006 tentang badan pemeriksa keuangan


sebagai pengganti UU RI No. 5 tahun 1973 tentang badan
pemeriksa keuangan.

UU RI No. 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan


dan tanggung jawab keuangan negara.

UU RI No. 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara.

UU RI No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara.

c) Tugas Dan Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan

Berikut tugas dan wewenang dari Badan Pemeriksa Keuangan.

Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan


negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil
pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh
aparat penegak hukum.

Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal


departemen yang bersangkutan ke dalam BPK

e) Hubungan Dengan Lembaga Kenegaraan Lainnya


43

BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri untuk


memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan
negara dan hasil pemeriksaan tersebut diserahkan kepada DPR,
DPD, dan DPRD. dengan pengaturan BPK dalam UUD,
terdapat perkembangan yaitu menyangkut perubahan bentuk
organisasinya secara struktural dan perluasan jangkauan tugas
pemeriksaan secara fungsional. Karena saat ini pemeriksaan
BPK juga terhadap pelaksanaan APBN di daerah-daerah dan
harus menyerahkan hasilnya itu selain DPR juga pada DPD dan
DPRD.
Selain dalam kerangka pemeriksaan APBN, hubungan BPK
dengan DPR dan DPD adalah dalam hal proses pemilihan
anggota BPK.

DAFTAR PUSTAKA

Undang - Undang
44

Undang Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen)

Konstitusi RIS

Undang Undang Dasar Sementara 1950

Undang Undang Dasar 1945 (setelah amandemen)

UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan
DPRD

Buku

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta : FH UII Press, 2006

Hamdan Zoelva, Paradigma Baru Ketatanegaraan Pascaamandemen UUD 1945,


Makalah Diklat Departmen Dalam Negeri, 13 November 2003, Jakarta, dalam
Konsorium Reformasi Hukum Nasional dan Mahkamah Konsititusi

Jazim Hamidi, Hukum Lembaga Kepresidenan Indonesia, Bandung: PT. Alumni,


2010

Jimmly Ashsiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:


Konstitusi Press, 2005

Jimmly Ashidique, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara , Jakarta:


Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006

John Pieries, Pembatasan Konstitional Kekuasaan Presiden RI, Pelangi Cendikia,


Jakarta, 2007
45

Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketata Negaraan Indonesia, Edisi Revisi,
Jakarta: PT Bineka Cipta, 2001

Website

Mahkamah Konstitusi, Sejarah dan Perkembangan Konstitusi di Indonesia,


http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?
page=web.Berita&id=11776#.VyRyRTB96M8, diakses 20 MEI 2017

Anda mungkin juga menyukai