Anda di halaman 1dari 31

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa.
Karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini. Dalam makalah ini penulis mendapat sebuah judul Eksistensi
Kebiasaan Internasional Sebagai Sumber Hukum Internasional. Penulisan
makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Internasional.
Dalam penulisan makalah ini terdapat beberapa kesulitan yang penulis
hadapi. Namun penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik berkat
bantuan yang telah penulis dapat dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Ibu Mintarsih, S.H.,
M.H, selaku Dosen mata kuliah Hukum Internasional, yang dengan penuh
perhatian telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, petunjuk serta
nasehat-nasehat bagi penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Pada kesempatan
ini penulis penulispun mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kelas B
yang telah memberikan motivasi, semangat, dorongan serta bantuan yang
diberikan baik secara moral maupun materi.
Penulis sangat menyadari akan keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman serta wawasan berpikir, sehingga makalah ini tentunya masih jauh
dari sempurna. Dengan kerendahan hati penulis sangat membuka segala masukan
baik berupa saran maupun kritikan yang bersifat membangun. Akhirnya penulis
banyak mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penyelesain penulisan makalah ini. Semoga Tuhan memberikan berkat, anugerah
dan membalas kebaikan semua pihak.

Bandung, Oktober 2017


Penulis

1
DAFTAR ISI

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Telah diketahui secara umum, Hukum Internasional adalah bagian
hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya,
hukum internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan
antarnegara. Namun, dalam perkembangan pola hubungan internasional yang
semakin meluas, hukum internasional juga mengurus struktur dan perilaku
organisasi internasional, individu,dan perusahaan multinasional. .
Hukum internasional adalah hukum antarbangsa yang digunakan
untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam
hubungan antar penguasa dan menunjukkan pada kompleks kaidah dan asas
yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa.1
Perlu diketahui pula bahwa sumber hukum internasional adalah
tempat di mana kita dapat menemukan hukum internasional tersebut. Menurut
Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional, sumber formal hukum
internasional adalah traktat, kebiasaan-kebiasaan internasional yang diakui
sebagai hukum dan doktrin. Urutan Penyebutan sumber hukum dalam pasal 38
ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional diatas tidak menggambarkan urutan
pentingnya masing masing-sumber hukum itu sebagai sumber hukum formal.
Karena soal ini tidak diatur dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional.
Namun klasifikasi dapat dilakukan sebagai berikut: sumber hukum formal
dibagi menjadi sumber hukum primer dan subsider. Sumber hukum primer
meliputi perjanjian internasional, kebiasaan-kebiasaan internasional dan asas-
asas hukum umum. Sedangkan Yurisprudensi Internasioanal dan doktrin para
ahli tematik dalam golongan sumber hukum subsider. Kebiasaan Internasional
ada pada urutan kedua dalam Pasal 38 (1) namun kebiasaan internasional
merupakan sumber hukum yang tertua. Secara bergantian ada perbedaan

1
Agung Narendra, Ilmu Hukum Pendidikan (Jakarta : DKI Jakarta, 2014) .hlm 45

1
2

diantara keduanya. Kebiasaan mulai apabila adat-istiadat berakhir, adat


istiadat adalah suatu kebiasaan bertindak yang belum sepenuhnya memperoleh
pengesaha hukum. Viners Abrigement yang berkenaan dengan kebiasaan
hukum inggris dikemukakan kebiasaan sebagaimana dimaksudkan oleh
hukum dalah suatu adat-istiadat yang telah memperoleh kekuatan hukum.
Dalam pasal 38 ayat 1 sub b yang mengatakan : Intenational
custom,as evidence of a general practife accepted as law. Artinya hukum
kebiasaan Internasional adalah kebiasaan Internasional yang merupakan
kebiasaan umumyang di terima sebagai hukum. Tidak setiap kebiasaan
Internasional merupakan sumber hukum. Untuk dapat di katakana bahwa
kebiasaan Internasional itu merupakan sumber hukum perlu terdapat unsur-
unsur,sebagai berikut :2
1. Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum
2. Kebiasaan itu harus dapat diterima sebagai hukum
Dikatakan kebiasaan Internasional itu terdapat dua unsur, yang
dinamakan unsur materil dan unsur psikologis, yaitu kenyataan adanya suatu
kebiasaan yang bersifat umum dan di terimanya kebiasaan Internasional itu
sebagai hukum. Unsur Materil misalnya kebiasaan memberikan sambutan
kehormatan waktu menerima tamu Negara merupakan kebiasaan banyak
Negara. Unsur kedua yaitu unsur Psikologis menghendaki bahwa kebiasaan
Internasional dirasakan memenuhi suruhan kaidah atau kewajiban hukum,
atau seperti dikatakan dalam Bahasa latin Opinio Juris Sive Necessitatis
Terpenuhinya syarat yangpertama saja misalnya, namun tidak melahirkan
sebuah hukum, maka bisa jadi kebiasaan tersebut hanyalah merupakan
kesopanan internasional saja.
Dewasa ini istilah kebiasaan internasional menjadi suatu istilah
yang sangat penting bagi Hukum Internasional, bahkan sebagian besar Hukum
Internasionalterdiri dari kaidah - kaidah kebiasaan.3
Dalam hal ini penyusun ingin mengetahui perwujudan dari
Kebiasaan Internasional. Salah satunya dengan adanya Konsep Landas

2
Mochtar Kusumaatmadja, Buku 1Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: P.T. Alumni,
2003) hlm.102
3
J.G STARKE, pengantar hukum internasional (cet 1), (Jakarta : Sinar Grfika,2006,) ,hal.45
2

Kontinen4 yang berkembang menjadi Konvensi Hukum Laut. Negara-negara


yang sedang berkembang akan berusaha melakukan penguasaan atas laut guna
perluasan yurisdiksi untuk melindungi kepentingan-kepentingannya, apalagi
kemajuan teknologi yang semakin maju mendorong adanya keinginan untuk
memanfaatkan sumber daya alam yang akan dapat memberikan keuntungan
bagi suatu negara. Oleh karena itu, untuk mengimplementasikan keinginan-
keinginan dan mengatur kepentingan-kepentingan Negara-negara internasional
agar tidak terjadi tumpang tindih antar kepentingan tersebut maka diadakanlah
konvensi-konvensi hukum laut internasional, dimana terakhir telah berhasil
dilaksanakannya Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB)1982 yang telah menghasilkan United Nations Convention on the Law
of the Sea (UNCLOS) III, yang diantaranya mengatur terkait batas-batas
maritim meliputi batas-batas laut territorial (Territorial Sea), Zona Ekonomi
Eksklusif (Economic Exclusive Zone), dan begitu juga dengan batas-batas
Landas Kontinen (Continental Shelf) yang nantinya akan menjadi pokok
pembahasan dalam penulisan ini.
Konsep Landas Kontinen yang selanjutnya dikaitkan dengan
kekayaan alam yang terdapat didasar laut dan tanah dibawahnya, untuk
pertama kali dilihat dalam Proklamasi Presiden Amerika Serikat Harry S
Truman (1945-1955), memproklamasikan atas landas kontinennya dalam
pengertian turidis yang dikenal sebagai Proklamasi Truman pada tanggal 28
september 1945, dictum Proklamasi tersebut sejauh100 fhatoms (200 meter
laut) untuk dieksploitasi kekayaan mineral dan sumber minyaknya.Klaim ini
diikuti oleh sebgian besar negara lainnya. Dalam menananggapi klaim-klaim,
pada 1953 Komisi Hukum Internasional menyatakan bahwa tindakan-tindakan
tersebut bertentangan dengan hukum internasional, bahkan banyaknya negara
yang mengklaim landas kontinennya dan negara negara lainnya pun tidak
complain, maka yurisdiksi negara atas kekayaan alam dibagian laut
terkristalisasi menjadi Hukum Kebiasaan Internasional.5

4
Ramlan, Hukum Laut Internasional, ( Jambi : Universitas Jambi, 2006), hal 28
5
Ejournal,Upaya Hukum Indonesia Mengajukan Landas Kontinen Ekstens,(Jakarta :Bina Graha
Pustaka, 2011),hal 187
2

B. Identifikasi Masalah
Sehubungan dengan masalah-masalah tersebut, maka terdapat
masalah-masalah yang menarik untuk dibahas yang diidentifikasikan sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah Kebiasaan Internasional dapat dikatakan sebagai sumber
hukum internasional ?
2. Bagaimanakah konsep landas kontinen (Continental Shelf) yang
merupakan Kebiasaan Internasional dapat menjadi Konvensi Hukum
Laut?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan pokok-pokok permasalahan di atas,
maka penulisan ini mengandung tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan memahami peran kebiasaan internasion sehingga
dapat dikatakan sebagai sumber Hukum Internasional.
2. Untuk mengetahui konsep landas kontinen (Continental Shelf) yang
merupakan Kebiasaan Internasional dapat menjadi Konvensi Hukun
Laut.

D. Kegunaan Penulisan
Penulisan ini diharapkan akan mempunyai kegunaan sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan Ilmu Hukum
pada umumnya dan khususnya Hukum Internasional.
2. Manfaat Praktis
Penulisan ini diharapkan dapat berguna untuk penulis dan pada umumnha
dapat memberikan manfaat bagi kehidupan para pembaca.
BAB II
KERANGKA TEORI

A. Pengertian Hukum Internasional


Menurut para ahli hukum internasional, hukum internasional memiliki
makna sebagai berikut:
1. Prof Dr. Mochtar Kusumaatmadja
Keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan
atau persoalan yang melintasi batas-batas negara antara negara dengan
negara.

2. J.G Starke
Sekumpulan hukum (Body of Law) yang sebagian besar terdiri dari
asas-asas. Oleh karena itu, hukum internasional wajib ditaati oleh negara-
negara di seluruh dunia dalam menjalin hubungan internasional.

3.Wirjono Prodjodikoro
Hukum yang mengatur hubungan hukum antarberbagai bangsa di
berbagai negara.

4. Ivan A.Shearer
Sekumpulan peraturan hukum yang sebagian besar mengatur
tentang prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh negara-
negara.

5. Hugo de Groot
Hukum yang didasarkan pada kemauan bebas dan berdasarkan
persetujuan sebagian atau seluruh negara demi tercapainya kepentingan
bersama dari negara-negara yang menyertakan diri di dalamnya.

1
2

6. Rebecca M.Wallace
Peraturan dan norma yang mengatur tindakan negara-negara dan
kesatuan lain yang ada pada suatu saat diakui mempunyai kepribadian
internasional dan individu, dalam hal hubungan satu dengan yang lainnya.

Kesimpulannya, hukum internasional merupakan hukum yang


mengatur hubungan hukum antara negara dengan negara, subjek hukum bukan
negara, atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.6

B. Teori-Teori Hukum Internasional

1. Teori Hukum Alam ( Natural Law Theory )


Teori hukum alam diartikan sebagai hukum yang ideal yang
didasarkan atas hakekat manusia sebagai mahluk yang berakal atau satuan
kaidah yang diilhamkan alam pada akal manusia, prinsip-prinsip hukum
dapat ditemukan dalam sifat-sifat alamiah manusia.

2. Teori Positivisme
Teori ini mengatakan kekuatan mengikatnya hukum internasional
pada kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional.
Hukum internasional itu sendiri berasal dan kemauan negara dan berlaku
karena disetujui oleh negara.

3. Teori Kemauan Bersama Negara(Common Will Theory)


mengikat negara-negara bukan karena kehendak masing-masing
negara untuk tunduk pada hukum internasional, melainkan karena adanya
suatu kehendak bersama negara-negara untuk tunduk pada hukum
internasional.

6
IDTESIS Pengertian Hukum Internasional Menurut Para Ahli
https://tesishukum.com/pengertian-hukum-internasional-menurut-para-ahli/ , diakses pada
tanggal 13 Oktober 2017.
2

4. Norma Hukum (Mazhab Wina)

Teori ini menjelaskan bahwa, pada dasarnya dasar mengikatnya


hukum internasional bukanlah merupakan kehendak negara melainkan
berdasarkan pada norma hukum. Suatu kaidah pada dasarnya didasarkan
pada kaidah yang lebih tinggi diatasnya begitu pula seterusnya.

5. Fait Social (Mazhab Perancis)


Mazhab Perancis ini mendasarkan mengikatnya suatu hukum
termasuk hukum Internasional pada faktor-faktor biologis, sosial dan
sejarah kehidupan manusia yang oleh mereka diberi nama fakta-fakta
internasional(fait social). Jadi dasar kekuatan mengikatnya hukum
internasional terdapat dalam kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum
itu mutlak perlu, bagi dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa)
untuk bermasyarakat.

6. Pandangan Starke

Menurut starke unsur pokok yang memperkuat sifat wajib aturan-


aturan hukum internasional adalah fakta empiris bahwa negara-negara mau
bersihkeras mempertahankan hak-haknya menurut aturan-aturan tersebut
terhadap negara yang dianggapnya seharusnya menaati aturan-aturan itu. 7

Teoritis penggunaan asas-asas umum telah menyelesaikan masalah


non liqued, yaitu ketidakmampuan Mahkamah Internasional untuk
memutuskan suatu perkara dan bahwa asas-asas umum tidak mengadakan
peraturan baru, tapi hanya mengatakan apa yang sudah lama ada sebagai
praktek Mahkamah Internasional.

7
Sang Koeno Teori-Teori Hukum Internasional http://www.sangkoeno.com/2013/10/teori-teori-
hukum-internasional.html, diakses 13 Oktober 2017.
BAB III
EKSISTENSI KEBIASAAN INTERNASIONAL SEBAGAI
SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

A. Kebiasaan Internasional Sebagai Sumber Hukum Internasional


Kebiasaan internasional merupakan sumber hukum yang terpenting
dari hukum internasioanal. Tempat itu diduduki oleh perjanjian internasional
karena semakin makin banyak persoalan diatur diatur dengan perjanjian
internasional. Demikian kebiasaan internasional memegang peranan yang sangat
penting sebagai sumber hukum. Apakah setiap kebiasaan internasional itu
merupakan kaedah hukum yakni ketentuan yang mengikat negara-negara dalam
hubungan satu sama lainnya Untuk menjawab pertanyaan ini,kita melihat
perumusan yang didapat dalam pasal 38 ayat 1 sub b yang mengatakan:
International custom as evidence of a general practice accepted as law Artinya
hukum kebiasaan internasional adalah kebiasaan internasional yang merupakan
kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum. Jelas kiranya dari perumusan di
atas bahwa tidak setiap kebiasaan internasional merupakan sumber hukum. Untuk
dapat dikatakan bahwa kebiasaan internasional itu merupakan sumber hukum
perlu terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

1. Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum.


2. Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum.

Dari perincian di atas dapatlah dikatakan bahwa supaya kebasaan


internasional itu merupakan sumber internasional harus dipenuhi dua unsur, yang
masing-masing dapat kita namakaunsur materiil dan unsur psychologis, yaitu
kenyataan adanya kebiasaan yang bersifat umum dan diterimanya kebiasaan
internasional itu sebagai hukum. Jelaslah bahwa dipenuhinya unsur pertama saja
yaitu kebiasaan internasional tidak melahirkan-hukum. Jika kebiasaan itu tidak
diterima sebagai hukum maka terdapat suatu kebiasaan yang dapat merupakan
kesopanan internasional. Misalnya kebiasaan untuk memberikan sambutan

1
2

kehormatan waktu kedatangan tamu negara merupakan kebiasaan banyak negara.


Akan tetapi seorang tamu tidak dapat menuntut supaya ia disambut dengan
tembakan meriam. Karena kebiasaan itu tidak merupakan suatu ketentuan hukum
kebiasaan internasional itu. Mari kita telaah kedua unsur hukum kebiasaan
internasional lebih lanjut. Kapankah dapat dikatakan ada kebiasaan internasional
yang merupakan satu kebiasaan umum. Pertama-tama, perlu adanya satu
kebiasaan, yaitu suatu pola tindak yang berlangsung lama, yang merupakan
serangkaian tindakan-tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang
serupa pula. Kedua, kebiasaan atau pola tindak yang merupakan serangkaian
tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa di atas harus bersifat
umum dan bertalian dengan hubungan internasional. Hanya apabila unsur-unsur
tersebut di atas dipenuhi dapat dikatakan telah adanya kebiasaan internasional
yang bersifat umum.Unsur kedua, yaitu unsur psychologis menghendaki bahwa
kebiasaan internasional dirasakan memenuhi suruhan kaedah atau kewajiban
hukum, atau seperti dikatakan dalam bahasa Latin opinio juris sive necessitatis''.
Dilihat secara praktis suatu kebiasaan internasional dapat dikatakan diterima
sebagai hukum apabila negara-negara menerimanya sebagai demikian, artinya,
apabila negara-negara itu tidak menyatakan keberatan terhadapnya. Keberatan ini
dapat dinyatakan dengan berbagai cara misalnya dengan jalan diplomatik (protes)
atau dengan jalan hukum dengan mengajukan keberatan-keberatan di hadapan
suatu mahkamah. Contoh dari pada ketentuan hukum internasional yang terjadi
melalui proses kebiasaan internasional terdapat misalnya didalam hukum perang.
Penggunaan bendera putih sebagai bendera parlementer, yaitu bendera yang
memberi perlindungan kepada utusan yang dikirim untuk mengadakan hubungan
dengan fihak musuh, timbul karena kebiasaan demikian di masa lampau diterima
sebagai sesuai dengan hukum Hukum mengenai perlakuan tawanan perang
menurut peri-kemanusiaan pertama-tama timbul karena kebiasaan perlakuan
demikian sering terjadi dan karena kebiasaan lakuan tawanan peran demikian
dirasakan perlu keadilan dan perikemanusiaan sebagai sesuatu tindakan yang
memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan.

Sebaliknya di hukum perangpun ada contoh-contoh nya mengenai


kebiasaan-kebiasaan yang tidak pernah menjelma menjadi ketentuan hukum. Di
2

dalam Perang Dunia I dan kebiasaan bagi kapal-kapal selam Jerman untuk
menenggelamkan kapal-kapal dagang fihak lawan tanpa pemberitahuan terlebih
dahulu,dan tanpa memberi kesempatan kepada awak kapal untuk menyelamatkan
dirinya. Hal ini berlawanan dengan hukum perang di laut yang mengatakan bahwa
sebelum menenggelamkan kapal dagang musuh suatu kapal selam harus memberi
syarat peringatan dan kesempatan pada awak kapal untuk menyelamatkan
dirinya.Tidak dapat disangkal bahwa selama Perang Dunia I dan Perang Dunia II
telah terjadi suatu kebiasaan penenggelaman kapal-kapal niaga pihak lawan oleh
kapal selam Jerman tanpa memenuhi kedua syarat hukum perang di laut tersebut
di atas. Walaupun demikian, kebiasaan di atas tidak pernah diterima sebagai
hukum kebiasaan karena tidak dirasakan sebagai kebiasaan yang sesuai dengan
hukum dan keadilan. Perlu diperingatkan bahwa kebiasaan internasional sebagai
sumber hukum tidak berdiri sendiri. Kebiasaan internasional sebagai sumber
hukum yang pertama yaitu perjanjian internasional. Hubungan ini merupakan
hubungan timbal balik.8
Pertimbangan-timbangan mengenai prasyarat suatu kebiasaan internsional
dapat diterima secara umum adalah menurut penulis bahwa timbulnya suatu
kebiasaan bukan hanya factor pengulangan pengulangan yang sama, namun dalam
praktek mungkin bisa saja adanya factor konflik, dan penyimpangan-
penyimpangan terhadap aturan-aturan internasional.

1. Faktor Konflik
Hal ini bisa dilihat pada akhir-akhir ini banyak terjadi konflik berenjata
di timur tengah yang semula adanya perjanjian-pernjian untuk melindungi
korban perang namun ternyata hal ini tidak dapat efektif dilaksanakan maka
belum lama ini dilakukukan oleh (ICRC) Internasional Palang Merah untuk
International tentang Perlindungan Korban Perang yang diselenggarakan di
Jenewa pada bulan Agustus-September 1993 membahas secara khusus cara-
cara untuk menanggulangi pelanggaran Hukum Humaniter Internasional (HHI
tetapi tidak mengusulkan diadopsinya sebuah perjanjian internasional baru.
Akan tetapi yang berasal dari hukum kebisaan internsional. Kemudian

8
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Cet. Kesatu,
(Bandung: P.T. Alumni, 2003), hlm. 143.
2

kelompok Pakar Antarpemerintah untuk Perlindungan Korban Perang bertemu


di Jenewa pada bulan Januari 1995 dan mengadopsi sejumlah rekomendasi
yang bertujuan meningkatkan penghormatan terhadap HHI, terutama dengan
cara mengambil langkahlangkah preventif yang bisa menjamin bahwa HHI
akan diketahui dengan lebih baik dan dilaksanakan dengan lebih efektif.
Rekomendasi II dari Kelompok Pakar Antarpemerintah tersebut ialah:
bahwa ICRC perlu diminta untuk menyusun sebuah laporan tentang
aturanaturan HHI yang berasal dari Hukum Kebiasaan dan dapat berlaku
(applicable) dalam konflik bersenjata internasional maupun non-internasional,
dengan bantuan pakar HHI dari berbagai kawasan geografis dan berbagai
sistem hukum dan secara berkonsultasi dengan pemerintahpemerintah dan
organisasi-organisasi internasional, dan untuk mengedarkan laporan tersebut
ke Negara-negara dan lembaga-lembaga internasional yang kompeten. Hampir
sepuluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 2006, seusai dilakukan penelitian
yang ekstensif dan konsultasi yang meluas dengan para pakar, maka laporan
ini, yang sekarang disebut sebagai Studi Hukum Humaniter Internasional
Kebiasaan (Study on Customary International Humanitarian Law) (Jean-
Marie Henckaerts, Jurnal Hukum Internasional Volume 87 Nomor 857 Maret
2005 International Review of the Red Cross).

2. Penyimpangan-Penyimpangan Kecil
Dalam hukum internsional ada pula kebiasaan internsional yang timbul
akibat adanya penyimpangan-penyimpangan kecil sehingga muncul suatu
kaidah baru pada pratek Negara yang menggunakan kaidah internsional
dalam praktek-praktek Negara. Hal ini dapat dilihat pada contoh yang
terkenal adalah penambangan batu bara di Selat Inggris (Engglish Channel)
di Cornwall dan pengambilan mutiara dari dasar laut dekat pantai Ceylon dan
di teluk Persia yang didasarkan atas kebiasaan yang telah berlaky sejak dulu
kala. Contoh yang lain pada tahun 1951 terjadi adanya sengketa Perikananan
anatara Inggris dan Norwegia yang diselesaikan di Mahkamah Internasional
(Internatinal Court of Justice) yang dikenal dengan nama Anglo-Norwegian
Fisheries Cese tentang penarikan garis ukur, di mana pihak Norwegia
menganut sistem pengukuran yang telah dianut oleh Nowegia secara
2

tradisinal tanpa adanya tentangan dari Negara-negara lain termasuk Inggris


sendiri. Mahkamah Internasional menyatakan bahwa yang ditetapkan dalam
Firman Raja tahun 1935 (yang dianut Norwegia) tidak berteentangab dengan
hukum Internasional.Sehingga hal ini memungkinkan kaidah hukum itu dapat
diterima secara umum dan dengan demikian hal itu pula diikuti oleh negara-
negara lain maka timbullah kaidah hukum kebiasaaan
internsional.Perimbangan-pertimbangan yang lainya masih terkait dengan
pegulangan kebiasaan itu adalah lamanya usia tindakan-tindakan yang
dianggap perlu menjadi pertimbangan. Namun waktu yang singkat mungkin
mencukupi apabila praktek Negara itu telah meluas dan keseragaman dalam
semua tujuan praktis misalnya berkaitan dengan evolusi pada prinsip bahwa
suatu Negara partai memiliki hak-hak untuk mengeksploitasi, dan lain-lain,
landas kontinennya.9

Mengenai praktek-praktek dewasa ini terkait dengan kebisaaan


internasional bukan hanya saja traktat yang keberadaannya banyak menjadi
perbincangan pada era sekarang ini, namun keberadaan kebiasaan internasional
tidak dapat ditinggalkan begitu saja.Dalam praktek-praktek dewasa ini (actual
practice of state), bukti-bukti yang menunjukkan bahwa dalam praktek-praktek
internsional dapat ditemukan hal-hal yang menunjukkan bahwa dalam praktek-
praktek internasional dapat ditemukan halhal yang dapat menunjukkan tindakan-
tindakan atau peristiwa yang kemudian dianggap dianggap sebagai international
customary law yaitu :
1. Laporan-laporan di surat kabar
2. Pernyataan (statement) yang dibuat oleh pemerintah dalam suatu komprensi
hukum nasional Negara-negara
3. Keputusan-keputusan pengadilam (nasional-internasional)
4. Tulisan-tulisan para penulis terkenal terkemuka dari Negara-negara, termasuk
di dalamnya opinion juris

9
Desy Ariani, Eksistensi Kebiasaan Internasional Sebagai Sumber Hukum Internasional
https://kendesdesdotcom.wordpress.com/2011/01/05/kebiasaan-internasional-sebagai-sumber-
hukum-internasional/, diakses 10 Oktober 2017.
2

5. Praktek-praktek dari organ-organ internasional (universal-regional)


Dengan melihat praktek Negara-negara dewasa ini pada point a dan b
mengutip pendapatnya dari Starke mengenai penguman-pengumuman berita
(press release) ataupun pernyataan resmi oleh juru bicara pemerintah semuanya
akan menjadi bukti adat-istiadat yang diikuti oleh Negara-
negara.Dalam kaitannya ini baik tindakan maupun pernyataan-pernyataan tertulis
(tulisan atau lisan) mempunyai dasar yang sama.
Namun menurut pendapat penulis mengenai laporan-laporan di surat
kabar agaknya kurang bisa relevan dijadikan sumber hukum upaya menetapkan
hukum karena kemungkinan sering kali laporan-laoran di surat kabar banyak
ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu
dengan pemberitaan-pemberitaan yang kurang obyektif pada pokok permasalahan
dan hanya ditambahi-tambahi suatu isu yang berbau politik dengan begitu tidak
cukup relevan dijadikan sumber hukum kebiasaan Internsional walupun itu sudah
bayak Negara yang mempraktekkannya.Kalau pada point b cukuplah relevan
dijadikan sumber hukum karena yang demikian dibuat oleh pemerintah dalam
suatu komprensi hukum nasional Negara-negara.
Tidak terkecuali pada point c dan d menurut pendapat penulis
mengenai praktek-praktek di atas cukup relevan dijadikan sumber hukum karena
keputusan-keputusan yudisial dari pengadilan-pengadilan nasional atau praktek
Negara dan para penulis terkenal, akan memperlihatkan besarnya pemakaian
kaidah-kaidah yang sama untuk memperkirakan penakuan umum atas suatu
prinsip hukum yang luas. Begitu juga pada point lima praktek-praktek organ-
organ internasional dapat membawa pada berkembangnya kaidah-kaidah
kebiasaan hkum internsional mengenai status Negara-negara yang bersangkutan
dan wewenang-wewenang serta tanggung jawabnya sebagai contohnya mengutip
pendapatnya Starke menyebutkan dalam opini Nasihat yang menyatakan bahwa
Organisasi Buruh Internasional (ILO) mempunyai kewenangan untuk mengatur
syarat-syarat kerja secara internsional atas orang-orang yang dipekerjakakan di
bidang pertanian, permanent of Court of Justicemendasarkan pendapatnya pada
praktek organisasi tersebut. Dalam sebuah Opini Nasihatnya yang penting, yang
akan menyatakan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan personaliatas
2

hukum internsional, Internasional Court of Justice mendasarkan opininya itu


sebagaian pada praktek Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam membuat Traktat

B. Konsep Landas Kontinen (Continental Shelf) Yang Merupakan


Kebiasaan Internasional Dapat Menjadi Konvensi Hukun Laut

1. Sejarah Perkembangan Hukum Laut


Tidak ada cabang hukum internasional yang mengalami perubahan
selama empat dekade terakhir dan khususnya selama dua dekade
terakhir,selain daripada hukum laut dan Jalur-jalur maritim. Pada awal
sejarahperkembangan hukum laut, ada beberapa ukuran yang dipermasalahkan
orang untuk menetapkan lebar laut teritorial sebagai jalur yang berada
dibawah kedaulatan negara pantai. Hingga permulaan abad kedelapan belas
prinsip kedaulatan negara pantai atas jalur maritim ini benar-benar
berlaku.Pada tahun 1702, Bynkershoekmenerbitkankaryanya mengenai
kedaulatan atas laut, datam karyanya ini menyetujui peraturan bahwa negara
pesisir dapat menguasai laut sebatas lebar perairan pantai sejauh tembakan
peluru Meriam dari meriam meriam pantai (kurang lebih 3mil). Batas 3mil ini
memperoleh pengakuan luas dari para ahli hukum, juga oleh pengadilan-
pengadilan, serta mendapat pengesahan dalam praktek negara maritim utama.
Yang menjadi soal lainnya dalam hukum laut intrnasiooal adalah
apakah laut dapat dimiliki suatu negara atau tidak. Selama ini sejarah hukum
laut.internasional mengenal pertarungan antara dua konsepsi
a. Res Nullius yang mengatakan bahwa laut tidak ada yang memikinya dan
karena itu dapat diambil dan dimiliki masing-masing negara
b. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik masyarakat
dunia dan karena itu tidak dapat diambil dan dimiliki masing-masing
negara
Dua perkembangan penting setelah berakhimya Perang Dunia .
adalah :
a. Penerimaan umum atas doktrin landas kontinen dan zona ekonomi
ekslusif.
2

b. keputusan Intemanonal Court Of Justice dalam perkara Anglo Norwegim


Faheries Case yaitu mengenai pertimbangan bahwa jalur maritim
bukanlah suatu perluasan semu terbatas dari wilayah tambahan yang
berdampingan di mana demi alasan-alasan ekonomo, keamanan, dan
geografis negara pesisir itu berhak untuk melaksanakan hak-hak
kedaulatan ekslusif, yang hanya tunduk pada pembatasan-pembatasan
seperti hak lintas damai dari kapal-kapal asing.10
Semenjak laut dimanfaatkan untuk kepentingan pelayaran,
perdagangan, dan sebagai sumber kehidupan seperti penangkapan ikan,
semenjak itu pulalahahli-ahli hukum mulai mencurahkan perhatiannya pada
hukum laut. Kemudian suatu koleksi hukum maritim, yang mungkin
merupakan koleksi paling dini, sebagai kompilasi dari hakim-hakim,kapten
kapten kapal, dan pedagang-pedagang ternama..
Pada abad XVI dan XVIl keinginan untuk menguasai lautan
merupakan hal yang diperebutkan oleh negara-negara maritim di Eropa.
Spanyol dan Portugis menguasai lautan memperoleh tantangan baik dari
Inggris yang dibawah Elizabeth I menghendaki kebebasan di laut dan
tantangan dari Belanda. Pada abad XVII Raja James I dari Inggris
proklamirkan bahwa
penangkapan ikan pantai-pantai negara di bawah kekuasaannya diperkenankan
memakai izin. Hal ini berarti nelayan-nelayan Belanda royalty di peraiaran
Inggris. Beberapa waktu kemudian hal ini membawa pada perdebatan yuridis
yang sangat sengit antara yurist Belanda Grotius yang mempertahankan "Mare
Libenum' dengan pembelaan Selden dari Inggris yang bergejolak dalam
bukunya Mame Clausum". Belanda dan Inggris tidak menghendaki dominasi
Spanyol dan Portugis atas lautan
Ahli-ahli hukum yang berusaha meletakan konsep-konsep dasar
tentang hukum laut, menurut Summer biasanya membagi teori teori tentang
lautan secara legalistik dalam empat bagian, yaitu :
a. perairan pedalaman,

10
Drs. T. May Rudy, S.H., Mir., Msc, Hukum Internasional II, Cet. Kesatu, (Bandung: Refika
Aditama, 2002), hlm..2.
2

b. laut territorial,
c. zona tambahan,
d. laut lepas.
Terlihat dalam perkembangan yang cepat dari hukum laut
internasional dengan diperkenalkannya peraturan tentang landas kontinen
dalam l dan rezim baru Zona Ekonomi Ekslusif, Negara Kepulauan, Kawasan
Dasar Laut InternasionaL Ada pun konferensi intemasional utama yang
membahas masalah laut teritorial ialah Codification Conference pada tahun
1930 di Den Haag, yang dilangsungkan dibawah naungan Liga Bangsa-
Bangsa
Konferensi Kodifikasi ini berlangsung dari tanggal 13 Maret
sampai 12 April 1930, yang dihadiri oleh delegasi dari 47 negara. Konferensi
ini tidak mencapai kata sepakat tentang batas luar dari laut teritorial dan hak
menangkap ikan dari negara-negara pantai pada tona tambahan. Peserta
konferensi pendapatnya terbagi dalam berbagai versi, di antaranya ada yang
menginginkan lebar laut teritorial 3 mil (20 negara); adapula yang
menghendaki 6 mil laut teritorial (12 negara), serta negara-negara Nordik
menghendaki laut teritorial selebar 4 mil. Konferensi Kodifikasi Den Haag
tidak menghasilkan suatu konvensi, kecuali beberapa buah pasal yang
disetujui sementara. Konferensi Kodifikasi Den Haag akan satu-satunya yang
dilangsungkan di bawah naungan LBB.

2. Kedaulatan Negara Kepulauan Atas Perairan Teritorial


Ditentukan dalam konfensi baru ini bahwa negara kepualauan
mempunyai kedaulatan atas perairan yang terletak di dalam garis-garis
pangkal kepulauannya (archipelagic base line) berapa pun dalamnya atau
jaraknya dari pantai. Negara kepulauan mempunyai kedaulatan atas udara di
atas perairan kepulauannya dan atas dasar laut dan tanah di bawahnya.

a. Landas Kontinen
Menurut Summers teori dari landaskontinen terutama didasarkan
kepada suatu fakta geologis bahwa sepanjang sebagian besar pantai,
2

tanahnya menurun ke dalam laut, sampai akhir pada suatu tempat tanah
tersebut jatuh curam ke dalam laut. Pada tanggal 28 September 1945,
Presiden Truman memproklamirkan kebijaksanaan Amerika Serikat,
dalam kaitan dengan sumber-sumber alam dari tanah-tanah dibawah
permukaan air dan dasar lautdari landas kontinen.11
Deklarasi Presiden menyatakan bahwa Pemerintah Amerika
Serikat menganggap sumber-sumber alam dari tanah di bawah Amerika
Serikat laut lepas, tetapi bersambung dengan pantai Amerika Serikat,
menjadi bagian dan berada di bawah yuridiksi pengawasan Amerika
Serikat12
Pada saat itu peringatan landasan kontinen tidak dikaitkan dengan
kepentingan perikanan. Menurut dugaan, perairan diatas Landasan
Kontinen merupakan perairan yang baik sekali bagi kehidupan ikan.
Secara oceanografi dapat dijelaskan bahwa perairan diatas continental
shelf termasuk jenis perairan euphotic zone yakni suatu lapisan air yang
karena dangkalnya dapat mendapat cahaya matahari sehingga
memudahkan terjadinya photo sytesis yang diperlukan bagi
kesuburankehidupan biologi laut. Jenis bologi laut berupa phyto plankton
dan zoo-plankton yang sangat digemari oleh ikan-ikan sebagai makanan
pokoknya. Kemudian konsep Landasan Kontinen yang dikaitkan dengan
kekayaan alam yang terdapat di dasar laut dan tanah dibawahnya, untuk
pertama kali dapat dilihat dalam proklamasi Presiden Amerika Serikat
Harry S Truman pada tanggal 28 September 1945 sebagai berikut:

Now, therefore, I Harry S Thurman, President of the United


Stated of America, do hereby proclaim the following policy of United
States of subsoul and and seabed of the continental shelf. Having concern
for the urgency of conserving and prudently utilizing its natural resources,
the government of the United States regard the natural resources of the
sudsoil and seabed of tehe continental shelf beneath the high seas but
contiguous to the coast of the United States are appertaining to the United

11
Ibid, hlm. 5.
2

States, subject to jurisdiction and control. In cases where the continental


shelf extend to the shores of another state or is share with an adjacent
state the boundary shallbe determined by the United States and the States
concerned in accordance with equitable principle. The characteristic as
high seas of the water above the continental shelf and the right to their
free and unimpeded navigation are no way thus affected.

Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian berkenaan


dengan proklamasi tersebutyakni:

1) Bahwa objek proklamasi itu berkaitan dengan kekayaan alam yang


terdapat di dalam tanah (subsoil) dan sasar laut (seabed) dari landas
Kontinen Amerika Serikat.
2) Bahwa proklamasi itu bertujuan untuk melindungi kekayaan alam dan
memanfaatkannya secara bijaksana.
3) Bahwa Landas Kontinen itu tunduk dibawah jurisdiksi dan
pengawasan Amerika Serikat.
4) Bahwa dalam hal Landasan Kontinen bertemu dengan pantai Negara
lain, batasnya akan diatur secara bilateral berdasarkan prinsip keadilan.
5) Bahwa penentuan landasan Kontinen itu tidak mempengaruhi status
perairan diatasnya sebagai laut bebas.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, proklamasi Presiden Truman
itu tidaklah dapat dianggap menyimpang dari ajaran Grotius tentang laut
bebas, karena motivasi ajaran Grotius itu adalah semata-mata mengenai
kebebasan berlayar dan kebebasan perikanan, sama sekali bukan
menyangkut existensi kekayaan alam yang terkandung pada dasar laut
dan tanah di bawahnya. Pandangan tersebut dikemukakan dalam suatu
kesempatan simposium internasional, sebagai berikut:

It must be added at once the view presented by Grotius on


resources of the sea were limited to the living resources as there as there
was no notion at the time of the existence of mineral and energy
resources.

Disisi lain, Hasjim Djalal menilai bahwa proklamasi Prsiden


Truman itu mengakibatkan perubahan yang radikal dibidang houkum
2

laut. Beliau menyatakan: I think it is no exaggeration to state that the


Truman Proclamation of 1945 ate the most important causes the radical
changes that have occurred in the legal rezim of the oceans.
Perubahan yang radikal memang jelas dapat dilihat dari negara-
negara di Amerika Latin dan di Asia secara pasti mengikuti jejak Presiden
Truman. Misalnya, Mexico mengeluarkan proklamasi serupa tanggal 29
Oktober 1946; Chili, 1 Juni 1947; Peru, 1 Agustus 1947; Costa Rica, 27
Juli 1948; Saudi Arabia, tahun 1949;Bahrain, 5 Juni 1949; Qatar, 8 Juni
1949; Abu Dhabi, 10 Juni 1949 ;dan Pakistan,9 Maret 1950. Sedangkan
Indonesia baru mengeluarkan deklarasi yang berupa Pengumuman
Pemerintah tanggal 17 Februari 1969.
Dalam perkembangan selanjutnya terlihat adanya variasi dan
modifikasi, Chili dan Peru misalnya mendasarkan deklarasi mereka atas
teori bioma dan teori kompensasi dan mengesampingkan teori
perpanjangan secara geologi (geological prolongation). Akibatnya,
batas landasan Kontinen mereka bukan kedalaman 200 meter tetapi
sejauh 200 mil dari pantai. Bahkan ternyata Argentina telah melangkah
sangat jauh dengan mengklaim bahwa selain landas kontinen, perairan
yang ada diatasnya tunduk di bawah kedaulatan Negara Argentina. Klaim
Argentina ini betul-betul merupakan klaim perluasan wilayah, tidak lagi
merupakan klaim jurisdiksi eksklusif.
Dengan adanya variasi-variasi itu sudah barang tentu dapat
menimbulkan hambatan dan kesulitan dalam praktek internasional.
Hambatan dan kesulitan itu dicoba diatasi dalam Konferensi Jenewa
1958. Selain tentang landas Kontinen Konferensi Jenewa 1958 juga
membahas tentang Perikanan, Laut Territorial dan Laut Lepas. Pasal 1
dari Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen menyebutkan
bahwa pengertian landas kontinen tidak saja berupa landas kontinen dari
suatu benua tetapi juga termasuk Landas Kontinen dari suatu pulau. Batas
landas kontinen adalah sampai dengan kedalaman 200 meter atau di luar
itu sepanjang memungkinkan dilakuakn exploitasi. Secara lengkap
rumusan Pasal1 adalah:
2

For the purposes of these articles, the term of continental shelf


is used as refreshing: (a) to the seabed and subsoil of the submarine
areas adjacent to the coast but outside the area of the territorial sea, to a
depth of 200 meters or, beyond that limit, to where the superjacent waters
admits of the exploitation of the natural resources of the said areas: (b) to
the seabed and subsoil of similar submarine areas adjacent to the coast
of island.

Mengenai hubungan hukum antar negara dengan landasan


kontinennya dinyatakan dalam Pasal 2 sebagai berikut :

1) The coastal state exercises over the continental shelf Sovereign Right
for the purpose of exploring it and its natural resources.
2) The rights referred into paragraph 1 of this article are exclusive in
the sense that if the coastal state does not explore the continental
shelf or exploits natural resources, no one may undertake these
activities, or make a claim to the continental shelf without the express
consent of the coastal state.

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas jelaslah bahwa menurut


Konvensi Jenewa 1958 negara hanya mempunyai hak berdaulat dan
jurisdiksi eksklusif atas Landasan Kontinen. Dengan demikian berarti
klaim Argentina yang menuntut kedaulatan penuh atas Landas Kontinen
dan perairan diatasnya tidak sesuai dengan perasaan hukum masyarakat
internasional yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1958 itu.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata rumusan Pasal 1
tentang batas landas Kontinen seperti disinyalir oleh sarjana-sarjana
Hukum Internasional misalnya, Ian Brownlie, Mochtar Kusumaatjaya,
Satya Nandan dapat menimbulkan bermacam-macam interpretasi, tidak
menjamin kepastian hukumsehingga perlu diadakan penyempurnaan.
Ketentuan yang ditunjuk sebagai penyebab ketidak pastian itu adalah
kalimat yang berbunyi beyond that limit to when the superjacent
water admits the exploitation of the natural resources. (Diluar batas itu
ketika kedalaman air memungkinkan eksploitasi sumber daya alam).
2

Akhirnya penyempurnaan itu terlihat dalam ketentuan pasal 76 UNCLOS


1982.13

b. Landas Kontinen Di Dalam Unclos I Dan Unclos Il


Pada UNCLOS I Komite Empat menangani Rancangan
Convention on The Continental Shelf 1958. Rancangan ini merupakan hal
yang baru tidak seperti misalnya konsep laut teritorial dan laut lepas yang
lama telah diperkembangkan penulis-penulishukum internasional.
Konvensi mengaku kedaulatan negara panni atas landas kontinen
eksploitasi sumber sumber alam dari daerah tersebut babawa hak negara
pantai atas landas kontinential tergantung pendudukan atau proklamasi
yang diumumkan. Hal ini tidak ada negara lain yang dapat melakukan
eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam pada landas kontinen suatu
negara pantai tanpa persetujuan negara panai tersebut.

c. Konferensi Hukum Laut PBB I dan II


Berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 21 Februari
1957 disepakati untuk mengadakan konferensi hukum laut pada bulan
Maret 1958. Resolusi Majelis Umum tersebut diambil berdasarkan
rekomendasi dari Intemational LawCommission yang menyarankan untuk
diadakannya suatu konferensi internasional tentang hukum laut. Antara
tahun 1958 dan 1960, terdapat berbagai perbedaan dalam klaim terhadap
laut teritorial Islandia menetapkan jalur tambahan perikanan selebar 12
mil. Konvensi ke ll diadakan oleh Committee of the Whole berlangsung
dari tanggal 17 Maret sampai dengan 26 April 1960. Agendanya ialah
tentang lebar laut teritorial dan zona tambahan perikanan Konferensi PBB
tentang hukum laut tahun 1958 telah menghasilkan empat konvensi
penting, yaitu
1) Konvensi tentang laut teritorialdan jalur tambahan (The Convention
on Tenitorial Sea and Contigous Zone)

13
Fahmicode, Perkembangan Konsep Landas Kontinen,
https://hukummaritim.wordpress.com/2012/08/31/b-perkembangan-konsep-landas-kontinen/),
diakses 10 Oktober 2017.
2

2) Konvensi tentang laut lepas (The Convention on The High Seas)


3) Konvensi tentang landas kontinen (The Convention on Continental
Shelf)
4) Konvensi tentang perikanan dan perlindungan Sumber-sumber hayati
di laut lepas (The Convention on Fishing and ConservationOf Living
Resources of the High Seas)

d. Konferensi Hukum Laut PBB III


Konvensi Hukum Laut 1982 adalah merupakan puncak karya dari
PBB tentang hukum laut, yang disetujui di Montego Bay, Jamaica tanggal
10 Desember 1982. Konvensi hukum laut dengan hasil gemilang, yang
ditandatangani oleh 119 negara pada 10 Desember 1982 ini memang
terbuka untuk penandatanganan baru, diberi julukan sebagai Konstitusi
Lautan (Constitution for the Ocean) oleh Presiden Hukum Laut PBB III
.Konferensi HukumLaut III ini dimulai tahun dengan tiga agenda resolusi
1973 .
1) Rancangan resolusi pertama diajukan oleh Amerika Serikat dengan co-
sponsor Republik Dominika, yang ada pada butir pertama
menghendaki terselenggaranya Konferensi Internasional tentang
Hukum Laut.
2) Rancangan resolusi kedua diajukan oleh Brazil dan Trinida Tobago
(the ruopoteerdaft resolution), yang pada butir pertamanya juga
menghendaki diadakannya, di waktu yang akan dating. Suatu
konferensi hukum laut yang mempunyai liputan "issues" yang lebih
luas.
3) Rancangan resolusi ketiga disponsori oleh tujuh negara anggota PBB
yaitu Ecuador,Guyana, donesia, Jamaica, Kenya, Peru dan Sierra
Leone, yang dalam kedua menghendaki suatu konferensi hukum laut
pada permulaan tahun 1973, yang akan menciptakan pengaturan
internasional yang lebih adil.
2

e. Berlakunya Konsep Laut Teritorial 12 Mil dan Landas Kontinen


1) Konsep Laut Territorial 12 Mil
a) Diterimanya dan berlakunya konsepsi laut teritorial 12 mil adalah
pada Konsepsi Hukum Laut Internasional I (UNCLOSI pada tahun
1958, bahwa laut teritorial ditetapkan sampai mil dari garis air
surut pantai
b) Di Indonesia sendiri ketentuan laut teritorial 12 mil berlaku sejak
adanya Deklarasi Juanda dan UUNo, 4/prp, Tahun 1960, UUNo
IV/prp Tahun 1960. Mis Menyatakan bahwa laut wilayah
(temtorial) lebarnya 12 mil diukur dari garis pangkal lurus (straight
baseline) dan bahwa semua kepulauan dan laut yang terletak di
antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat.
2) Landas Kontinen
Diatur dalam Konvensi Hukum Laut IV Hukum Laut Jenewa
1958 Indonesia mengumumkan pada tahun 1969 yang dikukuhkan
dengan UU No 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.
Sehingga lndonesia mempunyai penguasaan penuh dan hak
ekslusifatas kekayaan alam di landas kontinen Indonesia, pemilikannya
ada pada negara Indonesia. 14

14
Ibid, hlm. 8.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. kebiasaan internasional sebagai sumber hukum internasional
Kebiasaan internasional merupakan sumber hukum yang
terpenting daripada hukum internasional. Tempat itu diduduki oleh
perjanjian internasional karena semakin makin banyak persoalan diatur
diatur dengan perjanjian internasional. Untuk dapat dikatakan bahwa
kebiasaan internasional itu merupakan sumberhukum perlu terdapat
unsur-unsur sebagai berikut:
a. Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum.
b. Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum.
Pertimbangan-timbangan mengenai prasyarat suatu kebiasaan
internsional dapat diterima secara umum adalah menurut penulis
bahwa timbulnya suatu kebiasaan bukan hanya factor pengulangan
pengulangan yang sama, namun dalam praktek mungkin bisa saja
adanya factor konflik, dan penyimpangan-penyimpangan terhadap
aturan-aturan internasional.
Hal ini bisa dilihat pada akhir-akhir ini banyak terjadi konflik
berenjata di timur tengah yang semula adanya perjanjian-pernjian
untuk melindungi korban perang namun ternyata hal ini tidak dapat
efektif dilaksanakan maka belum lama ini dilakukukan oleh (ICRC)
Internasional Palang Merah untuk International tentang Perlindungan
Korban Perang yang diselenggarakan di Jenewa pada bulan Agustus-
September 1993 membahas secara khusus cara-cara untuk
menanggulangi pelanggaran Hukum Humaniter Internasional (HHI)
tetapi tidak mengusulkan diadopsinya sebuah perjanjian internasional
baru. Akan tetapi yang berasal dari hukum kebisaan internsional.

1
2

Penyimpangan penyimpangan kecil timbul dalam kebiasaan


internasional Hal ini dapat dilihat pada contoh yang terkenal adalah
penambangan batu bara di Selat Inggris (Engglish Channel) di
Cornwall dan pengambilan mutiara dari dasar laut dekat pantai Ceylon
dan di teluk Persia yang didasarkan atas kebiasaan yang telah berlaky
sejak dulu kala. Contoh yang lain pada tahun 1951 terjadi adanya
sengketa Perikananan anatara Inggris dan Norwegia yang diselesaikan
di Mahkamah Internasional (Internatinal Court of Justice) yang dikenal
dengan nama Anglo-Norwegian Fisheries Cese tentang penarikan
garis ukur, di mana pihak Norwegia menganut sistem pengukuran yang
telah dianut oleh Nowegia secara tradisinal tanpa adanya tentangan
dari Negara-negara lain termasuk Inggris sendiri
Praktek praktek kebiasaan internasional bukan hanya saja
traktak. Dalam praktek-praktek dewasa ini (actual practice of state),
bukti-bukti yang menunjukkan bahwa dalam praktek-praktek
internasional dapat ditemukan hal-hal yang menunjukkan bahwa dalam
praktek-praktek internasional dapat ditemukan halhal yang dapat
menunjukkan tindakan-tindakan atau peristiwa yang kemudian
dianggap dianggap sebagai international customary law yaitu :
a. Laporan-laporan di surat kabar
b. Pernyataan (statement) yang dibuat oleh pemerintah dalam suatu
komprensi hukum nasional Negara-negara
c. Keputusan-keputusan pengadilam (nasional-internasional)
d. Tulisan-tulisan para penulis terkenal terkemuka dari Negara-
negara, termasuk di dalamnya opinion juris
e. Praktek-praktek dari organ-organ internasional (universal-
regional)
2

2. Konsep Landas Kontinen (Continental Shelf) Yang Merupakan


Kebiasaan Internasional Dapat Menjadi Konvensi Hukun Laut

Yang menjadi soal lain dalam hukum laut internasiooal adalah


apakah laut dapat dimiliki suatu negara atau tidak. Selama ini sejarah
hukum laut.internasional mengenal pertarungan antara dua konsepsi:
a. Res Nullius yang mengatakan bahwa laut tidak ada yang
memikinya dan karena itu dapat diambil dan dimiliki masing-
masing negara.
b. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik
masyarakat dunia dan karena itu tidak dapat diambil dan dimiliki
masing-masing negara
Dua perkembangan penting setelah berakhimya Perang Dunia .
adalah :
a. Penerimaan umum atas doktrin landas kontinen dan zona ekonomi
ekslusif.
b. keputusan Intemanonal Court Of Justice dalam perkara Anglo
Norwegim Faheries Case yaitu mengenai pertimbangan bahwa
jalur maritim bukanlah suatu perluasan semu terbatas dari wilayah
tambahan yang berdampingan di mana demi alasan-alasan
ekonomo, keamanan, dan geografis negara pesisir itu berhak untuk
melaksanakan hak-hak kedaulatan ekslusif, yang hanya tunduk
pada pembatasan-pembatasan seperti hak lintas damai dari kapal-
kapal asing. pada pembatasan-pembatasan seperti hak lintas damai
dari kapal.
Ahli-ahli hukum yang berusaha meletakan konsep-konsep
dasar tentang hukum laut. menurut Summer biasanya membagi teori
teori tentang lautan secara legalistik dalam empat bagian, yaitu (1)
perairan pedalaman, (2) laut territorial, (3) zona tambahan, (4) laut
lepas. Terlihat dalam perkembangan yang cepat dari hukum laut
internasional dengan diperkenalkannya peraturan tentang landas
kontinen dalam l dan rezim baru Zona Ekonomi Ekslusif, Negara
Kepulauan, Kawasan Dasar Laut InternasionaL Ada pun konferensi
2

intemasional utama yang membahas masalah laut teritorial ialah


Codification Conference pada tahun 1930 di Den Haag, yang
dilangsungkan dibawah naungan Liga Bangsa-Bangsa.

B. SARAN
Keberadaan hukum internasional sangat dirasakan penting
demi tercapainya ketertiban dunia. Namun tidak dapat di pungkiri juga
bahwa ketegasan hukum internasiona sudah mulai melemah seiring
berkembangnya kekuatan kekuatan yang terpusat pada negara tertentu.
1.sebagai generasi penerus yang akan menjalankan tugas tugas
pemerintahann pada masa akan datang, diharapkan untuk kritis
terhadap isu isu, baik yang terjadi di dalam maupun di luar negara
ini, terutama menyangkut kebiasaan internasional yang menjadi
salah satu sumber hukum internasional.
2. Yang menjadi soal lain dalam hukum internasiooal adalah hukum
laut yang dapat dimiliki suatu negara atau tidak. Salah satu nya
landasan kontinen yang berubah menjadi konvensi hukum laut dari
hasil konvensi jenewa, diharapkan laut bebas yang ada di setiap
negara dapat di buat peraturan peraturan yang menyangkut agar tidak
sembarang kapal dapat atau bisa melewati laut bebas tanpa ada ijin
dari negara negara yang bersangkutan atau yang akan di lalui pleh
kapal negara asing.
DAFTAR PUSTAKA

Narendra, Agung. Ilmu Hukum Pendidikan. Jakarta : DKI Jakarta, 2014.


Kusumaatmadja, Mochtar., Buku 1Pengantar Hukum Internasional. Bandung:
P.T. Alumni, 2003.

STARKE, J.G. pengantar hukum internasional. Jakarta : Sinar Grfika, 2006.

Ramlan, Hukum Laut Internasional. Jambi : Universitas Jambi, 2006.

Ejournal, Upaya Hukum Indonesia Mengajukan Landas Kontinen Ekstens. Jakarta


:Bina Graha Pustaka, 2011.

IDTESIS Pengertian Hukum Internasional Menurut Para Ahli


https://tesishukum.com/pengertian-hukum-internasional-menurut-para-
ahli/ , diakses pada tanggal 13 Oktober 2017.

Sang Koeno Teori-Teori Hukum Internasional


http://www.sangkoeno.com/2013/10/teori-teori-hukum-internasional.html,
diakses 13 Oktober 2017.

Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,


Cet. Kesatu, Bandung: P.T. Alumni, 2003.

Ariani, Desy. Eksistensi Kebiasaan Internasional Sebagai Sumber Hukum


Internasional
https://kendesdesdotcom.wordpress.com/2011/01/05/kebiasaan-
internasional-sebagai-sumber-hukum-internasional/, diakses 10 Oktober
2017.
Rudy, T May Hukum Internasional II, Cet. Kesatu, Bandung: Refika Aditama,
2002.

Fahmicode, Perkembangan Konsep Landas Kontinen,


https://hukummaritim.wordpress.com/2012/08/31/b-perkembangan-
konsep-landas-kontinen/, diakses 10 Oktober 2017.

1
2

Anda mungkin juga menyukai