Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Pada hari Selasa 11 September 2001 satu rangkaian serangan teror yang

terorganisir menyerang Amerika Serikat, serangan ini lebih dikenal dengan istilah

atau kode nine eleven (9/11). Pagi itu sembilan belas orang yang diduga pengikut Al-

Qaeda membajak empat buah pesawat penumpang komersil kemudian menabrakkan

pesawat tersebut ke beberapa sasaran objek vital Amerika Serikat. Dua pesawat

ditabrakkan ke menara kembar (twin towers) gedung World Trade Center (WTC),

satu pesawat diarahkan ke Gedung Pusat Pertahanan Pentagon di Arlington Virginia,

dan satu pesawat yang tersisa jatuh di daerah Somerset pedesaaan Pennsylvania.

Kira-kira tiga ribu orang tewas dalam serangan ini.1

Pembajak memulai aksinya dengan membajak empat pesawat komersil

tersebut saat mengisi bahan bakar untuk penerbangan menuju California. Dengan

kapasitas masing-masing pesawat 24.000 gallon atau setara 91.000 liter setiap

pesawat dapat diandaikan sebagai senjata rudal dengan panduan yang akurat. Masing-

masing pesawat tersebut adalah : 2

1. Pesawat American Airlines Flight 11, yang ditabrakkan oleh pembajaknya ke

gedung utara dari WTC pukul 8:46:30 pagi waktu setempat;

2. Pesawat American Airlines Flight 175, yang ditabrakkan oleh pembajaknya ke

gedung utara dari WTC pukul 9:02:59 pagi waktu setempat;

1
September, 11 2001 attacks, http://en.wikipedia.org/wiki/September_11,_2001_attacks, diakses
tanggal 30 Juli 2006.
2
Ibid.
3. Pesawat American Airlines Flight 77, yang ditabrakkan oleh pembajaknya ke

gedung Pentagon pukul 9:37:46 pagi waktu setempat; dan

4. Pesawat American Airlines Flight 93, yang jatuh di lapangan barat daya

Pennsylvania berdekatan Shanksvile kurang lebih 150 mil atau 240 kilometer

barat laut Washington DC pukul 10:03:11 pagi waktu setempat.

Kerugian Amerika Serikat akibat serangan ini adalah korban tewas dari

penumpang dan awak empat pesawat tersebut sebanyak 246 jiwa, 2976 orang tewas

tertimpa reruntuhan bangunan, 2605 korban tewas di gedung WTC New York

termasuk didalamnya 343 pemadam kebakaran, 23 polisi, dan 37 petugas satuan

pengamanan. Selain korban jiwa banyak bangunan yang menderita kerusakan di

samping kedua gedung WTC dan sebagian gedung Pentagon beberapa gedung juga

mengalami kerusakan antara lain 7 gedung bursa efek, hotel Marriott, stasiun kereta

New York, gedung Deutsche Bank, dan masih banyak lagi bangunan yang hancur

akibat serangan ini.3

Pascaserangan teroris terhadap gedung World Trade Center (WTC) di

Manhattan New York tersebut, George Walker Bush Jr menyatakan perang terhadap

setiap aksi terorisme dengan target utama adalah kelompok Al-Qaeda pimpinan

Osama bin Laden yang dianggap sebagai dalang dari serangan ke gedung WTC

tersebut. Amerika Serikat di bawah pimpinan George Walker Bush Jr merasa terpukul

akibat peristiwa yang memakan korban jiwa tidak sedikit tersebut.

Menurut sumber pejabat Amerika Serikat, serangan 11 September 2001 ini

konsisten dengan misi Al-Qaeda. Seperti yang disampaikan oleh pimpinan Al-Qaeda

Osama bin Laden dalam suatu fatwa pada tahun 1998 yang menyatakan perang suci
3
Ibid.
melawan Amerika Serikat dan menyatakan bahwa serangan terhadap warga negara

Amerika Serikat dibenarkan. Pernyataan ini juga didukung oleh para petinggi Al-

Qaeda yang lain seperti Ayman al-Zawahiri, Abu-Yasir Rifa'i Ahmad Taha, Shaykh

Mir Hamzah, dan Fazlur Rahman, amir (pemimpin) Pergerakan Jihad di Banglades.

Inti dari fatwa tersebut adalah mendaftar tiga kejahatan dan dosa yang dilakukan oleh

orang Amerika yaitu bahwa Amerika Serikat mendukung Israel, Amerika Serikat

melakukan pendudukan di Semenanjung Arab dan Amerika Serikat melakukan agresi

terhadap Iraq.4

Untuk meredam aksi teroris yang dirasa akan berlanjut maka Amerika Serikat

mulai menggunakan segala cara untuk melindungi kepentingan dan keamanan dalam

negerinya dengan berbagai macam cara seperti melakukan pemeriksaan imigrasi dan

visa yang ketat terhadap setiap orang yang akan datang berkunjung ke Amerika

Serikat, juga larangan untuk berkunjung (travel warning) bagi warga negaranya yang

akan bepergian ke negara-negara yang dianggap berbahaya dan sebagainya.

Dalam melindungi kepentingannya ternyata Amerika Serikat menerapkan

suatu doktrin yang membenarkan untuk melakukan serangan pendahuluan apabila

ada kemungkinan bahwa negara terancam suatu bahaya. Doktrin ini kemudian

dikenal dengan Doktrin Bush atau lebih sering dunia internasional menyebutnya

sebagai Doktrin Pre-emptive Strike.5

Doktrin ini mengacu pada suatu peraturan kebijakan luar negeri yang pertama

dan dinyatakan terbuka oleh George W. Bush di dalam pidato di hadapan lulusan

Akademi Militer West Point pada tanggal 1 Juni 2002. George W. Bush dalam

4
Ibid.
5
Bush Doctrine, http://en.wikipedia.org/wiki/Bush_Doctrine, diakses tanggal 30 Juli 2006.
pidatonya mengatakan, “Our security will require all Americans to be forward

looking and resolute, to be ready for pre-emptive strike action when necessary to

defend our liberty and to defend our lives ”.6

Isi dari Doktrin Bush adalah United States will make no distinction between

individual terrorists and states who harbor them, and that the security of the United

States is best maintained through the spread of democracy in the Middle East.

(applied to Taliban-ruled Afghanistan, Iraq).7 Adapun yang dimaksud doktrin

tersebut di atas adalah bahwa Amerika Serikat tidak akan membedakan antara teroris

individu dan negara yang melindunginya, serta bahwa keamanan Amerika Serikat

hanya dapat dipertahankan melalui penyebaran demokrasi di Timur Tengah (berlaku

bagi Afghanistan dengan pemerintahan Taliban dan Iraq). Lebih lanjut kebijakan ini

disusun sebagai suatu dokumen yang bergelar Strategi Keamanan Nasional Amerika

Serikat (The National Security Strategy of the United States of America), yang

diterbitkan pada 20 September 2002.

Dokumen Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat (The National

Security Strategy of the United States of America) pada intinya menguatkan

pernyataan George W. Bush atau Doktrin Bush (Doktrin Pre-emptive Strike) sebagai

berikut: 8

1. Hak menyerang atau mencegah lebih dulu (Pre-emption), adalah suatu kebijakan
tentang peperangan pencegahan, perlu tidaknya Amerika Serikat melakukan
tindakan pencegahan apabila ada ancaman dari teroris atau oleh negara musuh
yang memproduksi senjata pemusnah massal. Hak kebenaran bela diri harus

6
Briefing, http://www.iraqpeaceteam.org/pagesiptbriefing_2html, diakses tanggal 27 Maret 2005.
7
United States Presidential doctrines, http://en.wikipedia.org/wiki/United_States_Presidential_doctrines, diakses
tanggal 27 Maret 2005.

8 Broader Formulation : A Muscular Foreign Policy, http://en.wikipedia.org/wiki/Bush_Doctrine , diakses tanggal 30 Juli


2006.
diperluas dalam rangka memberi hak pre-emptive untuk menyerang, melawan
terhadap agresor potensial serta untuk memotong atau memutus ancaman mereka
sebelum mereka dapat melakukan serangan untuk melawan atau menyerang
Amerika Serikat.
2. Penggunaan tindakan militer secara sepihak oleh Amerika Serikat apabila solusi
multilateral yang dapat diterima tidak ditemukan atau disepakati (unilateralism).
3. Memelihara kekuatan militer untuk menghadapi tantangan ke depan (Strength
Beyond Challenge), kebijakan bahwa "Amerika Serikat mempunyai, dan berniat
untuk menjaga atau memelihara, kekuatan militer atas tantangan" (The policy that
"United States has, and intends to keep, military strengths beyond challenge"),
menandakan Amerika Serikat berniat untuk mulai bertindak sebagaimana
diperlukan untuk melanjutkan statusnya sebagai negara adikuasa militer di dunia.
4. Memperluas Demokrasi, Kebebasan, dan Keamanan pada semua daerah
(Extending Democracy, Liberty, and Security to All Regions), adalah suatu
kebijakan untuk dengan aktif mempromosikan demokrasi dan kebebasan pada
semua daerah di dunia.

Amerika Serikat sendiri menerapkan doktrin ini untuk melancarkan agresi ke

Afghanistan pada 7 Oktober 2001 dalam rangka menangkap Osama bin Laden yang

dicurigai bersembunyi di Afghanistan. Dalam agresi ini tidak sedikit penduduk sipil

Afghanistan yang menjadi korban.9

Amerika Serikat bersama Inggris pada tanggal 19 Maret 2003 melanjutkan

aksinya dengan menginvasi Irak yang dicurigai melakukan pengembangan senjata

pemusnah massal. George W. Bush menyatakan bahwa Irak, Iran, dan Korea Utara

merupakan anggota poros kejahatan (the axis of evil) yang perlu untuk diawasi oleh

pihak barat.10

Doktrin pre-emptive strike ini sendiri menuai kecaman baik dari masyarakat

Amerika Serikat maupun dunia internasional, hal ini dikarenakan doktrin ini

bertentangan dengan hukum perang dan masih bersifat multitafsir serta

pelaksanaannya cenderung subjektif, selain itu doktrin ini juga bertentangan dengan

9
Operation Enduring Freedom,http://en.wikipedia.org/wiki/Operation_Enduring_Freedom, diakses
tanggal 30 Juli 2006.
10
Criticisms of the Bush Doctrine, http://en.wikipedia.org/wiki/Bush_Doctrine, diakses tanggal 30 Juli
2006.
teori perang yang adil (the just war theory).11 Amerika Serikat sendiri tetap

bersikukuh bahwa penggunaan doktrin ini adalah sebagai alasan yang tepat dan logis

untuk melindungi negara dan warga negaranya serta membela diri dari setiap

ancaman yang akan datang.

Doktrin pre-emptive strike Amerika Serikat untuk membela diri dari ancaman

terorisme sebenarnya bertentangan dengan hak untuk membela diri (the right to self-

defence) yang diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB. 12 Menurut Atip Latifulhayat,

bahwa dengan mengacu pada tafsiran Mahkamah Internasional untuk Pasal 51

Piagam PBB tersebut maka penggunaan hak untuk membela diri (the right of self-

defence) pertama-tama harus didasarkan pada kriteria ada atau tidaknya suatu

serangan bersenjata yang nyata (an actual armed attack).13

Penerapan doktrin sebagai salah satu sumber hukum internasional sendiri

pada masa sekarang kurang berkembang karena pada praktek hubungan antarnegara

sudah tergantikan oleh sumber hukum internasional lain seperti perjanjian

internasional dan putusan peradilan internasional. Selain itu untuk menerapkan

doktrin sebagai sumber hukum internasional ternyata tidak mudah karena belum ada

kepastian siapa saja ahli-ahli hukum yang dianggap mempunyai kecakapan tinggi

yang dapat merumuskan sebuah doktrin serta bagaimana kekuatan mengikat doktrin

11
Ibid
12
Pasal 51 Piagam PBB berbunyi sebagai berikut: “Nothing in the present chapter shall impair the
inherent of individual or collective self-defense if an armed attack occurs against a Member of United
Nations, until the Security Council has taken the measures necessary to maintain international peace and
security. Measures taken by Members in the exercise of this right of self defence shall be immidiately
reported to the Security Council and shall not in any way affect the authority and responsibility of the
Security Council under the present Charter to take at any time such action as it deems necessary in order
to maintain or restore international peace and security”.
13
Atip Latifulhayat, Perang Irak dan Hukum Internasional, Journal of International Law UNPAD, Vol.
3 No. 1 – April 2004. hal. 72.
karena doktrin hanya mempunyai kekuatan mengikat apabila telah diadopsi menjadi

hukum kebiasaan internasional atau keputusan badan peradilan.

Dari uraian di atas, penulis ingin meneliti tentang perspektif Hukum

Internasional terhadap penggunaan suatu Doktrin Pre-emptive Strike oleh negara

dalam rangka pembelaan diri dari serangan yang mengancam negaranya.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut di atas dapat ditarik suatu permasalahan yakni

“Bagaimanakah perspektif Hukum Internasional terhadap penggunaan doktrin pre-

emptive strike oleh negara?”

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui perspektif Hukum Internasional terhadap penggunaan

doktrin pre-emptive strike oleh negara.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Penelitian secara Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan wawasan pengetahuan di bidang

hukum internasional khususnya mengenai penggunaan dan penerapan suatu

doktrin oleh negara.

2. Kegunaan Penelitian secara Praktis


a. Sebagai salah satu acuan kepustakaan hukum internasional terutama mengenai

masalah penerapan suatu doktrin sebagai salah satu sumber hukum

internasional.

b. Sebagai bahan pertimbangan pengambilan kebijakan luar negeri terutama oleh

pemerintah.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kedudukan Doktrin dalam Hukum Internasional

1. Sumber Hukum Internasional

Sumber-sumber hukum internasional muncul melalui konsensus subjek-

subjek hukum internasional, sehingga sumber-sumber hukum internasional ada

dan berkembang dalam masyarakat internasional. Di bidang teoritis sumber-

sumber hukum internasional ini diterjemahkan ke dalam suatu formulasi sumber-

sumber hukum internasional oleh para sarjana hukum, yang kemudian disebut

doktrin. Di dalam doktrin inilah sumber-sumber hukum dirumuskan, diberi

pengertian, diklasifikasikan, dan disempurnakan sehingga tercipta hubungan-

hubungan hukum atau tata hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara

teoritis. Doktrin sebagai sumber hukum internasional kemudian akan memberikan

masukan kepada para pelaku hukum internasional sehingga ide-ide dalam doktrin

tersebut dapat diadopsi menjadi kaidah-kaidah hukum internasional.14

Dalam merumuskan sumber-sumber hukum internasional harus dikaji

terlebih dahulu mengenai pengertian sumber-sumber hukum tersebut. Adapun

pengertian sumber-sumber hukum internasional dibedakan menjadi dua, yaitu:15

1. Sumber Hukum Material

14
F. A. Whisnu Situni, Identifikasi Dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, CV.
Mandar Maju, Bandung, 1989, hal. 10.
15
Ibid, hal. 10-12.
Sumber hukum material diartikan sebagai sumber hukum yang menentukan

isi hukum, dalam praktek sumber hukum material ini harus dipergunakan

sebagai pedoman pembentukan hukum. Sumber hukum material bagi hukum

internasional adalah prinsip-prinsip yang menentukan isi dari hukum

internasional yang berlaku. Prinsip itu disebut “ius cogens”, misalnya bahwa

perjanjian harus ditepati oleh para pihak dalam perjanjian tersebut (pacta sunt

servanda).16

2. Sumber Hukum Formal

Sumber hukum formal dapat diartikan dalam dua pengertian, yaitu:

a. sumber hukum formal sebagai tempat menemukan hukum; dan

b. sumber hukum formal sebagai dasar mengikat.

Sumber hukum formal bagi hukum internasional adalah perjanjian

internasional (treaty) dan kebiasaan internasional (international custom).17

Menurut J.G. Starke, sumber hukum internasional dapat dikategorikan

sebagai berikut: 18

1. Kebiasaan.

2. Traktat- traktat.

3. Keputusan-keputusan pengadilan atau pengadilan

arbitrasi.

4. Karya-karya hukum.

5. Keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan organ-

organ lembaga internasional.


16
F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta,
Yogyakarta, 1994, hal. 13.
17
Ibid, hal. 12.
18
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi ke-10, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 42.
Selain itu dalam menelaah sumber hukum intenasional biasanya dikaitkan

dengan ketentuan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional apabila membahas

tentang sumber hukum dalam arti formal, meskipun Statuta itu sendiri tidak secara

eksplisit menyatakan Pasal 38 tersebut sebagai sumber hukum dalam arti formal. 19

Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional sendiri berbunyi sebagai berikut:

Article 38
(1) The Court, whose function is to decide in accordance with international law
such dispute as are submitted to it shall apply:
a. international conventions, whether general or particular, establishing
rules expressly recognized by the contesting states;
b. international custom, as evidence of a general practice accepted as law;
c. the general principles of law recognized by civilized nations;
d. subject to the provisions of Article 59, judical decisions and the teachings
of the most highly qualified publicist of the various nations, as subsidiary
means for the determination of rules of law
(2) This provision shall not prejudice the power of the Court to decide a case ex
aequo et bono, if the parties agree there to.

Adapun yang dimaksud dari Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional ini adalah

sebagai berikut:

Pasal 38
(1) Mahkamah yang berfungsi memutuskan perkara-perkara yang diajukan
kepadanya, berdasarkan hukum internasional, akan menerapkan:
a. Konvensi internasional, yang bersifat umum atau khusus, aturan yang
mengandung ketentuan hukum yang secara tegas diakui oleh negara-
negara yang bersengketa;
b. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari praktek umum yang diterima
sebagai hukum;
c. Azas-azas hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab;
d. Sesuai dengan ketentuan pasal 59, keputusan pengadilan dan ajaran dari
ahli-ahli yang sangat terkenal dari berbagai bangsa, sebagai sumber
tambahan untuk menentukan aturan hukum.
(2) Ketentuan ini tidak mengurangi kekuasaan Mahkamah untuk memutuskan
perkara secara ex aequo et bono, apabila pihak-pihak yang bersangkutan
menyetujuinya.

2. Kedudukan Doktrin dalam Hukum Internasional

19
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, 1990,
hal. 150.
a. Pengertian Doktrin

Pengertian doctrine atau doktrin menurut Kamus Istilah Hukum

Fockema Andreae, adalah ajaran kaum sarjana hukum, khusus dipakai

sebagai kebalikan dari peradilan (rechtspraak), yurisprudensi

(jurisprudentie); ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan oleh

pengadilan; ajaran yang dimajukan dan dikembangkan oleh pengarang dan

buku pelajaran.20 Menurut F.A. Whisnu Situni, doktrin adalah ajaran hukum

dari para sarjana atau ahli hukum.21

Sedang menurut Henry Campbell Black, doctrine is a principle, especially a

legal principle that is widely adhered to. Yang artinya bahwa doktrin adalah

suatu prinsip, terutama suatu prinsip hukum tentang undang-undang yang

secara luas dipertahankan.22

Doktrin, dalam bahasa Perancis ‘la doctrine’ diartikan oleh para ahli

hukum internasional sebagai ajaran dari para ahli hukum ternama (the

teachings of the most highly qualified publicist of the various nations).

Pengertian ini tercantum dalam Pasal 38 ayat 1 huruf d Statuta Mahkamah

internasional, yang berbunyi : “…the teachings of the most highly qualified

publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of

rules of law ”.23

Berkenaan dengan pasal 38 di atas terdapat permasalahan karena tidak

ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan the most highly

20
N.E. Algra dkk, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Bina Cipta, Bandung, 1983, hal. 99.
21
F. A. Whisnu Situni, op.cit, hal. 91.
22
Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, 7’th Edition, Book I, West Group, St. Paul, 1999. hal
497.
23
F. A. Whisnu Situni, op. cit, hal. 90.
qualified publicist sehingga kriteria ini menjadi kabur. Kekaburan ini menjadi

semakin nyata dengan timbulnya pernyataan seperti syarat apa sajakah agar

dapat memenuhi kriteria di atas, dan siapakah yang menetapkan bahwa

sarjana atau ahli hukum tertentu mempunyai kecakapan tertinggi dan

sebagainya. Masalah ini juga disinggung oleh C. Parry yang menyatakan, it is

difficult to decide who ‘the most highly qualified publicist’s are as it is to say

what a peace-loving nation within the meaning of the Charter of the United

Nations. Dengan demikian walaupun Brownlie mencoba mengajukan

beberapa contoh ajaran hukum yang dianggap sebagai doktrin, seperti naskah

artikel yang dibuat oleh Komisi Hukum Internasional dan naskah Penelitian

Harvard (Harvard Research), pengertian the most highly qualified publicist

dalam pasal 38 di atas masih dirasakan kabur.24

b. Doktrin Sebagai Sumber Hukum

Dalam hukum tertulis ada dua tempat yang menunjuk atau

mencantumkan secara tertulis sumber hukum dalam arti formal yakni Pasal 7

Konvensi Den Haag XIII tertanggal 1907 yang mendirikan Mahkamah

Internasional Perampasan Kapal di Laut (International Prize Court) dan

dalam Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional Permanen tertanggal 16

Desember 1920 yang kini tercantum dalam Pasal 38 Piagam atau Statuta

Mahkamah Internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB

tertanggal 26 Juni 1945.25

24
Ibid, hal. 90-91.
25
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni,
Bandung, 2003. hal. 114.
Dari kedua dokumen tertulis tersebut hanya Pasal 38 Statuta Mahkamah

Internasional saja yang dianggap penting. Hal ini dikarenakan Mahkamah

Internasional mengenai Perampasan Kapal tidak pernah terbentuk sebab tidak

mencapai jumlah ratifikasi yang diperlukan.

Pasal 38 ayat (1) mengatakan bahwa dalam mengadili perkara yang

diajukan kepadanya, Mahkamah Internasional akan mempergunakan:26

1. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang

mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-

negara yang bersengketa.

2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang

telah diterima sebagai hukum.

3. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab.

4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari

berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah

hukum.

Walaupun pembahasan sumber hukum formal selanjutnya

mendasarkan pada urutan sebagaimana yang tertera dalam Pasal 38 ayat (1)

Statuta Mahkamah Internasional perlu ditambahkan bahwa baik isi maupun

urutan sumber yang disebutkan tidak menggambarkan suatu pendapat yang

diterima umum. Misalnya tidak ada ketentuan tentang mahkamah maupun

pengadilan arbitrase maupun putusan badan atau organisasi internasional

yang akhir-akhir ini merupakan sumber hukum yang semakin penting. Pasal

38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional juga menyebutkan bahwa azas


26
Ibid. hal 114-115.
hukum umum sebagai salah satu sumber hukum di mana dimasukkannya azas

hukum umum sebagai sumber hukum oleh perumus Statuta ini adalah sebagai

dasar bagi Mahkamah Internasional untuk membentuk kaidah hukum baru

berdasarkan azas hukum tersebut. Hal ini terjadi apabila Mahkamah

Internasional tidak berhasil menemukan ketentuan hukum positif yang

diterapkan pada masalah yang diajukan kepadanya.27

Urutan penyebutan sumber hukum dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta

Mahkamah Internasional tidak menggambarkan urutan pentingnya masing-

masing sumber hukum itu sebagai sumber hukum formal karena soal ini sama

sekali tidak diatur oleh Pasal 38 itu sendiri. Satu-satunya klasifikasi menurut

Mochtar Kusumaatmadja ialah bahwa sumber hukum formal itu dibagi atas

dua golongan yaitu:28

1. Sumber hukum utama atau primer, yang meliputi ketiga golongan sumber

hukum yang disebut terdahulu; dan

2. Sumber hukum tambahan atau subsidier, yaitu keputusan-keputusan

pengadilan dan ajaran sarjana hukum yang paling terkemuka dari

berbagai negara.

Pembahasan selanjutnya mengikuti urutan yang terdapat dalam Pasal

38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional yaitu:

1. Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang

mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-

negara yang bersengketa. Perjanjian Internasional di sini adalah perjanjian

27
Ibid. hal 115.
28
Ibid. hal 115-116.
yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan

mengakibatkan akibat hukum tertentu.29

2. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang

telah diterima sebagai hukum. Untuk dapat dikatakan bahwa kebiasaan

internasional merupakan sumber hukum internasional maka harus

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

a. unsur material, di mana kenyataan adanya kebiasaan itu bersifat

umum dan diterimanya kebiasaan internasional sebagai sumber

hukum;

b. unsur psikologis, di mana adanya kehendak bahwa kebiasaan

internasional itu dirasakan memenuhi suruhan kaidah atau kewajiban

hukum atau seperti dikatakan dalam bahasa latin “opinio juris sive

necessitatis”.30

3. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab. 31

Yang dimaksud dengan prinsip atau azas hukum umum ialah azas hukum

yang mendasari sistem hukum modern. Adapun yang dimaksud dengan

sistem hukum modern adalah sistem hukum positif yang didasarkan atas

azas dan lembaga hukum negara Barat yang untuk sebagian besar

didasarkan atas azas dan lembaga hukum Romawi. Contoh dari azas

hukum umum ini adalah azas pacta sunt servanda (perjanjian harus ditaati

oleh para pihak dalam perjanjian itu), azas bona fides (itikad baik), serta

azas adimplendi non est adiplendum (tidak mengurangi hak peserta yang

29
Ibid. hal 117.
30
Ibid. hal 144-145.
31
Ibid. hal 115.
dirugikan untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian dengan didasarkan

atas tanggung jawab peserta yang telah melakukan pelanggaran itu).32

4. Keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari

berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah

hukum.33

Berlainan dengan ketiga sumber hukum utama (primer) di atas,

keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana hanya merupakan sumber

hukum tambahan (subsidier). Artinya keputusan pengadilan dan pendapat

para sarjana dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum

internasional mengenai persoalan yang didasarkan atas sumber utama

(primer) yakni perjanjian internasional, kebiasaan dan azas hukum umum.

Keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana itu sendiri tidak mengikat,

artinya tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum.34

Menurut Statuta Mahkamah Internasional dalam sistem peradilan

tidak dikenal azas keputusan yang mengikat (rule of binding precedent) jelas

dari bunyi Pasal 59 yang menyatakan bahwa:

The decision of the court has no binding force except between the parties

and in respect of that particular case

Adapun yang dimaksud di sini adalah keputusan pengadilan tidak mempunyai

kekuatan mengikat kecuali antara para pihak dan menyangkut kasus yang

tertentu.35

32
Ibid. hal 148-149.
33
Ibid. hal 150.
34
Ibid. hal 150-151.
35
Ibid. hal 151.
Jika keputusan Mahkamah Internasional sendiri tidak mengikat selain

perkara yang bersangkutan, a fortiori keputusan pengadilan lainnya tidak

mungkin mempunyai keputusan yang mengikat. Maksudnya keputusan

pengadilan dalam Pasal 38 ayat 1 sub d ialah pengadilan dalam arti luas dan

meliputi segala macam peradilan internasional maupun nasional termasuk di

dalamnya mahkamah dan komisi arbitrase.36

Walaupun keputusan pengadilan tidak mempunyai kekuatan

mengikat, keputusan pengadilan internasional terutama Mahkamah

Internasional Permanen (Permanent Court of International Justice),

Mahkamah Internasional (International Court of Justice), Mahkamah

Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration) mempunyai pengaruh

yang besar dalam perkembangan hukum internasional. Keputusan pengadilan

nasional yang bertalian dengan persoalan yang menyangkut hukum

internasional penting sebagai bukti dari apa yang telah diterima sebagai

hukum internasional oleh pengadilan nasional negara itu. Selain itu keputusan

pengadilan internasional dan pengadilan nasional mempunyai peranan

penting dalam perkembangan hukum kebiasaan internasional. Keputusan

pengadilan nasional dari berbagai negara mengenai hal yang serupa

mempunyai akibat kumulatif yang tidak dapat diabaikan sebagai bukti apa

yang telah diterima sebagai hukum. Hal ini tidak sedikit pengaruhnya dalam

pembentukan kaidah hukum kebiasaan internasional mengenai masalah yang

bersangkutan.37

36
Ibid.
37
Ibid. Hal 151-152.
Sumber hukum tambahan yang kedua yaitu ajaran para sarjana hukum

terkemuka dapat dikatakan bahwa penelitian dan tulisan yang dilakukan oleh

para sarjana terkemuka sering dipakai sebagai pegangan atau pedoman untuk

menemukan apa yang menjadi hukum internasional, walaupun ajaran para

sarjana itu sendiri tidak menimbulkan akibat hukum. Fungsi ajaran atau

tulisan sarjana hukum terkemuka di atas digambarkan oleh Hakim Grey

dalam putusan Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika Serikat dalam

kasus ‘Paquete Habana’ yang antara lain dikatakan: 38

… Where there no treaty, and no controlling executive or legislative act


or judical decisions, resort must be had to customs and usages of civilized
nations, and as evidence of these, to the works of jurist and commentators
who are peculiarly well aquinted with the subjects of which they treat.
Such works are resorted to by judical tribunal, not for the speculations of
their authors concerning what the law ought to be, but for trustworthy
evidence of what the law really is.

Selain itu doktrin memiliki peranan penting dalam perkembangan

hukum internasional. Pengaruh doktrin terhadap perkembangan hukum

internasional sangat terasa pada abad-abad awal sebelum abad XX. Seperti

tulisan-tulisan Grotius, Suarez, dan de Vattel sangat mempengaruhi

perkembangan hukum internasional pada abad itu. Pada saat ini doktrin sudah

tidak berpengaruh seperti di masa-masa lalu. Namun tetap memiliki peranan

yang penting, hal ini ditekankan oleh S.K. Kapoor sebagai berikut:39

Although juristic works cannot be treated as an independent source of

law, yet the view of the jurist may help in the development of law.

38
Ibid. Hal 152
39
F. A. Whisnu Situni, op. cit. hal. 91-92.
Sedangkan Starke lebih menjelaskan arti penting dari doktrin dengan

menyatakan:40

Juristic works are not an independent source of law, although sometimes


juristic opinion does lead to the formation of international law. According
to the report of one expert body to the League of Nations, juristic opinion
is only important as a means of throwing light on the rules of
international law and rendering their formation easier. It is of no
authority in itself, although it may become so if subsequently embodied in
customary rules of international law; this is due to the action of states or
other agencies for the formation of custom, and not to any force which
juristic opinion posesses.

Demikian pula David H. Ott memberikan komentar:41

The persuasive value of the very best legal writing nevertheles remains a

significant input into the development of international law.

Di samping peranan di atas, doktrin seringkali merupakan ajaran

tentang hukum yang seharusnya (lex ferenda). Apabila suatu doktrin

kemudian diadopsi menjadi kaidah-kaidah hukum internasional, misalnya

melalui hukum kebiasaan internasional ataupun keputusan badan peradilan,

maka yang dulunya hanya merupakan ajaran hukum berubah menjadi sumber

hukum. Hal ini dikatakan pula oleh Mr. Justice Gray sebagai berikut:42

Speculations concerning what the law ought to be, for the writings may

help to create opinion which may influence the conduct of states and thus

indirectly in the course of time help to modify the actual law.

Oleh karena itu doktrin sering kali disebut sebagai sumber hukum tidak

langsung (indirect source) dalam hukum internasional.43

40
Ibid. hal. 92.
41
Ibid.
42
Ibid. hal. 92-93.
43
Ibid. hal. 93.
Dari hal tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ajaran para

sarjana atau ahli hukum yang memiliki kecakapan tingkat tinggilah yang

dapat dianggap sebagai sumber hukum. Doktrin sendiri memiliki arti yang

besar bagi perkembangan hukum nasional maupun internasional. Sebagai

contoh adalah doktrin dari Montesquieu, seorang pemikir besar yang pertama

di antara ahli-ahli pemikir besar tentang negara dan hukum dari Prancis.

Doktrin Montesquieu lebih dikenal dengan ajaran Trias-Politika mengajarkan

pembagian atau pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga dan masing-

masing kekuasaan itu dilaksanakan oleh suatu badan tersendiri, yaitu: 44

1. Kekuasaan perundang-undangan, legislatif;

2. Kekuasaan pemerintahan, eksekutif, dan

3. Kekuasaan kehakiman, judikatif.

Doktrin Montesquieu ini banyak diterapkan oleh negara-negara di

dunia, seperti Amerika Serikat dalam garis-garis besar pemerintahannya

membagi atau memisahkan kekuasaan negara menjadi tiga yaitu:45

1. Badan Legislatif, dimana pemegang kekuasaan di sini adalah Kongres

yang di dalamnya terdiri atas dua bagian yaitu Senat dan Dewan

Perwakilan Rakyat (House of Representative);

2. Badan Eksekutif, dimana pemegang kekuasaan di sini adalah Presiden;

dan

3. Badan Yudikatif, dipegang oleh Mahkamah Agung.

44
Soehino, Ilmu Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2002, hal.116-117.
45
Rosalie Targonski, Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat, Office of International Programs
United States Departement Of State, United States of America, 2000. hal. 76-77.
Contoh lain penggunaan doktrin atau ajaran ahli-ahli hukum yang

digunakan dalam putusan peradilan adalah kasus The Paquete Habana-The

Lola, Supreme Court of the United States 1900 no. 175 US 677, dimana

dalam pertimbangan putusannya Supreme Court of the United States

menyatakan bahwa hukum internasional adalah bagian dari hukum nasional

(international law is part of our law). Ajaran bahwa hukum internasional

sebagai hukum nasional merupakan pandangan yang dinamakan doctrin of

incorporation yang pada awalnya berasal dari negara-negara Anglo Saxon.

Alasan lain dari putusan ini adalah ketika tidak ada traktat atau tidak terdapat

perbuatan-perbuatan eksekutif atau legislatif serta putusan-putusan

pengadilan, petunjuk-petunjuk harus diperoleh dari kebiasaan dan tata cara

bangsa-bangsa yang beradab serta hasil karya ahli-ahli hukum dan ahli-ahli

tafsir yang bekerja dan meneliti serta dari hasil pengalaman mereka bertahun-

tahun yang telah menjadikan mereka memahami dengan benar masalah-

masalah yang mereka hadapi.46

Dengan demikian doktrin yang semula tidak mempunyai akibat

hukum ketika dikemukakan oleh para sarjana atau ahli hukum maka akan

mempunyai akibat hukum bila diadopsi menjadi kebiasaan internasional

(praktek negara-negara) dan melalui putusan peradilan.

c. Doktrin Pre-emptive Strike

Seringkali suatu doktrin diadopsi begitu saja oleh suatu negara dan

beberapa negara untuk kemudian diterapkan sebagai sumber hukum

46
Chairul Anwar, Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Penerbit Djambatan,
Jakarta, 1989. hal. 7-8.
internasional. Hal ini terjadi dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional

negara-negara yang mengakibatkan ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum

internasional.47

Doktrin pre-emptive strike yang diterapkan oleh Amerika Serikat

melalui Dokumen Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat (The

National Security Strategy of the United States of America) tersebut

merupakan salah satu doktrin yang mengakibatkan ketidakjelasan dan

ketidakpastian hukum internasional tersebut. Hal ini untuk menangani serta

menanggulangi kemungkinan ancaman terhadap keamanan dalam dan luar

negerinya. Amerika Serikat melalui doktrin ini secara tersirat membolehkan

atau mengizinkan penggunaan kekuatan bersenjatanya, meskipun mungkin di

kemudian hari ancaman tersebut tidak terbukti kebenarannya.

Untuk menjelaskan doktrin pre-emptive strike ini lebih dahulu harus

dipahami antara pengertian pre-emptive attack (pre-emptive war) dengan

preventive war. Pre-emptive attack (pre-emptive war) ini pada intinya dapat

diartikan sebagai suatu serangan lebih dahulu (atau peperangan dengan

menyerang lebih dahulu) yaitu tindakan yang dilakukan untuk mengusir,

memukul mundur atau mengalahkan invasi atas serangan yang segera terjadi

atau suatu tindakan untuk memperoleh suatu posisi strategis atas suatu yang

tidak bisa dihindari.48

Pre-emptive attack (pre-emptive war) sering dikacaukan dengan

istilah preventive war. Dalam preventive war umumnya dianggap melanggar

47
F. A. Whisnu Situni, op. cit. hal. 91.
48
Pre-emptive War, http://en.wikipedia.org/wiki/Preemptive_war, diakses tanggal 25 Juli 2006.
hukum internasional, dan dianggap tidak mencukupi persyaratan peperangan

yang adil, sementara pre-emptive attack (pre-emptive war) lebih sering

dianggap sebagai tindakan yang dibenarkan atau diperbolehkan

(justified/justifiable).49

Untuk istilah yang lain lagi yaitu pre-emptive strike adalah suatu

serangan militer yang dirancang untuk mencegah, atau mengurangi dampak,

suatu serangan untuk antisipasi serangan dari musuh. Menurut senator John

Kerry istilah pre-emptive strike ini masih dipertanyakan legalitasnya karena

masih dalam taraf percobaan (global test) dalam penerapannya.50

Brodie membedakan prevention dengan pre-emption, yaitu:51

1. prevention is the immediate use of force in order to avoid the risk of war

later under less favourable circumstances (tindakan pencegahan adalah

penggunaan segera suatu angkatan bersenjata untuk menghindari risiko

peperangan yang berada di bawah suatu keadaan yang lebih baik).

2. pre-emption is the initiation of military action because it perceives an

imminent attack and identifies the clear advantages of striking first

(tindakan pendahuluan adalah inisiatif dimulainya tindakan militer karena

adanya prasangka bahwa suatu serangan segera terjadi termasuk juga

tindakan untuk mengidentifikasi keuntungan yang akan diperoleh bila

menyerang lebih dulu).

Jack Levy juga membedakan prevention dan pre-emption, yaitu:52


49
Ibid.
50
Ibid.
51
Malcolm Brailey, Pre-emption and Prevention: An Ethical and Legal Critique of the Bush
Doctrine and Anticipatory Use of Force in Defence of the State, Institute of Defence and Strategic Studies,
Singapore, 2003. hal 2.
52
Ibid. hal 2.
1. prevention is more strategic response to a long term threat, or one that

has yet to develop (tindakan pencegahan lebih merupakan tanggapan atau

respon strategis atas suatu ancaman jangka panjang, atau adanya

perkembangan suatu hal).

2. pre-emption is a tactical response to an immediate threat (tindakan

pendahuluan adalah suatu respon taktis bagi suatu ancaman segera atau

tiba-tiba).

Dan Reiter membedakan prevention dan pre-emption berdasarkan

jangka waktu, yaitu:53

1. prevention is wars that emerge from concern with long term shift in

power (tindakan pencegahan adalah peperangan yang muncul dari

perhatian dengan pergeseran kekuasaan jangka panjang).

2. pre-emption is wars emerging out of crisis dinamics (tindakan

pendahuluan adalah peperangan yang muncul untuk keluar dari krisis

yang dinamis)

Sedangkan Thomas R. Van Dervort berpendapat: 54

Pre-emptive strike is an action taken in response to a threat to a nations


security in the form of an attack before the threat can be fully mobilized.
This form of action is clearly prohibited by international law but has
some support under very narrow circumstances when executed in a very
limited manner. As a collective security measure authorized by the
Security Council, it might be justified.

Dimaksud di sini bahwa serangan lebih dahulu adalah suatu tindakan yang

diambil sebagai jawaban atau respon atas suatu ancaman bagi suatu keamanan

53
Ibid.
54
Thomas R. Van Dervont, International Law and Organization (An Introduction), Sage
Publications, London, 1998. hal 473.
negara-negara dalam bentuk suatu serangan sebelum ancaman dapat

dikerahkan secara penuh. Bentuk tindakan ini dengan jelas dilarang oleh

hukum internasional tetapi ada yang memperbolehkan dengan syarat yang

sangat sempit yaitu adanya suatu keadaan atau situasi tertentu dan

dilaksanakan dengan cara yang sangat terbatas. Untuk pelaksanaan keamanan

kolektif yang dikuasakan pada Dewan Keamanan, maka hal demikian dapat

dibenarkan.

B. Hak Dan Kewajiban Negara

1. Pengertian dan Kedudukan Negara dalam Hukum Internasional

Berpegangan pada pengertian subjek hukum pada umumnya, yang

diartikan sebagai pemegang hak dan kewajiban menurut hukum, memiliki

kemampuan sebagai pendukung hak dan kewajiban serta kemampuan untuk

mengadakan hubungan-hubungan hukum yang melahirkan hak-hak dan

kewajiban tersebut, maka secara mudah dapat dirumuskan yang dimaksud dengan

subjek hukum internasional. Subjek hukum internasional adalah pemegang atau

pendukung hak dan kewajiban menurut hukum internasional, pemegang privilege

prosedural untuk mengajukan tuntutan di muka pengadilan internasional, dan

pemilik kepentingan-kepentingan untuk dibuat ketentuan oleh hukum

internasional. Dengan kata lain, setiap pendukung atau pemegang hak dan

kewajiban menurut hukum internasional adalah subjek hukum internasional.55

Hukum internasional pada awalnya memandang hanya negara yang

merupakan subjek hukum internasional. Hal ini terkait dengan keadaan di masa
55
I Wayan Parthiana, op. cit. hal. 58.
lalu yang tidak ada atau jarang ada pribadi-pribadi hukum selain negara yang

melakukan hubungan-hubungan internasional. Beberapa penulis tertentu

menyatakan bahwa negaralah satu-satunya subjek hukum internasional.

Keberatan terhadap teori itu senantiasa dikaitkan dengan perkara perbudakan

(slaves) dan perompak (pirates). Sebagai akibat dari traktat-traktat umum,

beberapa hak perlindungan tertentu, dan lain-lain telah diberikan kepada budak-

budak oleh masyarakat negara-negara. Berdasarkan hukum kebiasaan

internasional, individu-individu yang melakukan tindak pidana perompakan jure

gentium di laut lepas dapat dipandang sebagai musuh-musuh umat manusia,

negara bertanggung jawab atas penangkapan dan penghukuman atas perompak.

Selanjutnya beberapa penulis berdasarkan analisa yang tepat mengetahui dan

mengatakan bahwa yang disebut hak-hak dan kewajiban-kewajiban budak-budak

dan perompak-perompak jure gentium secara teknis adalah hak-hak dan

kewajiban-kewajiban negara-negara serta hanya negara-negara saja.56

Bertentangan dengan hal tersebut ahli hukum terkenal Kelsen (1881-1973)

dan para penganutnya ini berpendapat bahwa pada analisa akhir, individu-

individu itu sendiri merupakan subjek-subjek hukum internasional. Suatu versi

yang samar dari teori ini diperlihatkan dalam kalimat Westlake berikut ini: 57

Kewajiban-kewajiban dan hak-hak negara-negara semata-mata adalah

kewajiban-kewajiban orang-orang yang menjadi isi dari negara-negara itu.

Kelsen menganalisa ide suatu negara dan mengakui bahwa negara semata-mata

adalah suatu konsep hukum teknis yang mencakup keseluruhan ketentuan-

56
J.G Starke, op. cit. hal. 77-78.
57
Ibid. hal. 78.
ketentuan hukum yang berlaku terhadap sekelompok orang di dalam wilayah

teritorial tertentu; negara dan hukum hampir dapat dikatakan sebagai suatu

sinonim. Konsep negara dipakai untuk menyatakan keadaan-keadaan hukum

dimana individu-individu itu sendiri terikat untuk bertindak dan menerima

beberapa keuntungan tertentu atas nama kolektivitas umat manusia yang menjadi

anggotanya. Kewajiban-kewajiban yang terletak pada suatu negara menurut

hukum internasional akhirnya adalah kewajiban-kewajiban yang mengikat

individu-individu.58

Hal ini menurut Kelsen dikarenakan tidak ada perbedaan nyata antara

hukum suatu negara dan hukum internasional. Kedua sistem hukum tersebut

mengikat individu-individu, walaupun hukum internasional secara teknis

mengikat negara-negara tetapi itu hanya bersifat perantara (mediately) dan karena

itu merupakan konsep negara.59

Pendapat-pendapat Kelsen ini secara teoretis dan logika tidak diragukan

kebenarannya, tetapi dari segi praktis para ahli hukum internasional dan hukum

tata negara mempertimbangkan dan bekerja atas dasar hal-hal yang realistis

dimana mereka hanya mempersoalkan hak-hak dan kewajiban negara-negara.

Memang benar bahwa dari waktu ke waktu traktat-traktat menentukan individu-

individu dapat memiliki hak-hak. Hak ini sesuai dengan praktek yang telah

berjalan lama di Inggris berkaitan dengan perjanjian. Mahkota (The Crown–baca:

Ratu) Inggris pada saat melakukan perundingan bukan bertindak sebagai wali

atau wakil pribadi warga-warga Inggris.60

58
Ibid.
59
Ibid. hal. 79.
60
Ibid.
Berbeda dengan pendekatan praktis yang berpangkal tolak pada

kenyataan yang ada, baik kenyataan mengenai keadaan masyarakat internasional

pada masa sekarang maupun hukum yang mengaturnya. Fakta yang ada dapat

timbul karena sejarah atau desakan kebutuhan perkembangan masyarakat

internasional, atau apabila merupakan suatu fakta hukum bisa juga memang

diadakan oleh hukum sendiri. Bagi suatu pembahasan yang realistis dan wajar

serta secara hukum dapat dipertanggungjawabkan adanya suatu kenyataan yang

harus diakui dan diperhitungkan, perlu diingat bahwa adanya fakta dan suatu

kenyataan belaka belum dengan sendirinya menimbulkan hukum.61

Di antara berbagai pendapat yang menggunakan dua pendekatan yang

berbeda, teoritis dan praktis, memberikan pengertian mengenai subjek hukum

internasional yang berbeda-beda, terdapat berbagai macam subjek hukum

internasional yang memperoleh kedudukan berdasarkan hukum kebiasaan

internasional karena perkembangan sejarah. Perkembangan sejarah terutama

setelah perang dunia pertama dan kedua, pelaku-pelaku dalam pergaulan dan

hubungan dunia internasional tidak lagi dimonopoli oleh negara. Munculnya

pribadi-pribadi hukum baru seperti organisasi internasional mengharuskan untuk

meninjau kembali isi dan ruang lingkup hukum internasional termasuk di

dalamnya adalah mengenai subjek-subjek hukum internasional.62

Selain itu dalam arti yang lebih luas pengertian subjek hukum

internasional mencakup keadaan-keadaan dimana yang dimiliki itu hanya hak-hak

dan kewajiban yang terbatas misalnya kewenangan untuk mengadakan

61
Mochtar Kusumaatmadja dan dan Etty R. Agoes. op. cit. hal. 97.
62
I Wayan Parthiana, op. cit. hal 59.
penuntutan hak yang diberikan oleh hukum internasional di muka pengadilan

berdasarkan suatu konvensi. Contoh dari subjek hukum internasional dalam arti

demikian adalah individu (orang, perseorangan).63

Dewasa ini yang sudah diakui oleh dunia internasional sebagai subjek

hukum internasional adalah : 64

a. Negara;

b. Organisasi Internasional;

c. Palang Merah Internasional;

d. Tahta Suci atau Vatikan;

e. Organisasi Pembebasan (Bangsa-bangsa yang sedang memperjuangkan hak-

haknya);

f. Wilayah-wilayah Perwalian;

g. Kaum Beligerensi; dan

h. Individu.

Dalam literatur beberapa sarjana telah memberikan batasan definisi

maupun kriteria negara. Negara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

mempunyai dua pengertian yaitu : 65

1. Organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang

sah dan ditaati oleh rakyat;

2. Kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang

diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif,

63
Ibid. hal. 91-92.
64
Ibid. hal. 59.
65
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989. hal. 610.
mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan

nasionalnya.

Soenarko menyebutkan bahwa negara adalah suatu organisasi masyarakat

yang mempunyai daerah atau teritoir tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku

sepenuhnya sebagai souverenein. Menurut Harold J. Laski, negara-negara itu

adalah suatu persekutuan manusia yang mengikuti jika perlu dengan tindakan

paksaan cara hidup tertentu. Sedangkan dalam pengetahuan sosiologi, negara

adalah kelompok politis persekutuan hidup orang yang banyak jumlahnya dan

terikat oleh perasaan senasib dan seperjuangan.66

Menurut I Wayan Parthiana, negara adalah subyek hukum internasional

yang memiliki kemampuan penuh (full capacity) untuk mengadakan atau menjadi

pihak dalam perjanjian internasional.67 Sedangkan Logemann mengutarakan

bahwa negara adalah organisasi kekuasaan. Organisasi diartikan sekumpulan

orang yang dalam mencapai tujuan bersama, mengadakan kerja sama dan

pembagian kerja di bawah satu pimpinan. Kekuasaan diartikan kemampuan untuk

melaksanakan kehendak. Negara dengan demikian diartikan sekumpulan orang

yang dalam mencapai tujuan bersama, mengadakan kerja sama dan pembagian

kerja di bawah satu pimpinan yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan

kehendaknya.68

J.L. Brierly memberi batasan negara ini sebagai suatu lembaga

(institution), yaitu suatu wadah dimana manusia mencapai tujuan-tujuannya dan

66
M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 1-2.
67
I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional BAG: 1, Cet. I, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, 2002. hal. 19.
68
F. Sugeng Istanto, op. cit. hal. 20.
dapat melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Fenwick mendefinisikan negara

sebagai suatu masyarakat politik yang diorganisir secara tetap, menduduki suatu

daerah tertentu, dan hidup dalam batas-batas daerah tersebut, bebas dari

pengawasan negara lain sehingga dapat bertindak sebagai badan yang merdeka di

muka bumi.69

Definisi lebih lengkap dikemukakan oleh Henry C. Black yang

mendefinisikan negara sebagai sekumpulan orang yang secara permanen

menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum

melalui pemerintahnya, mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka dan

mengawasi masyarakat serta harta benda yang ada dalam wilayah perbatasannya,

mampu menyatakan perang dan damai serta mengadakan hubungan internasional

dengan masyarakat internasional lainnya.70

Pasal 1 dari Konvensi Montevideo 1933 tentang Hak-Hak dan Kewajiban

Negara, merumuskan kualifikasi tentang suatu negara yakni sebagai berikut:

The State as a person of international law should posess the following


qualifications:
a. a permanent population;
b. a defined territory;
c. government; and
d. capacity to enter relations with the other states.

Diterjemahkan oleh I Wayan Parthiana sebagai berikut: 71

Suatu negara sebagai pribadi hukum internasional harus memiliki kualifikasi


sebagai berikut:
a. penduduk yang tetap;
b. wilayah yang pasti;
c. pemerintahan;
69
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional (Edisi Revisi), PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002. hal 1-2.
70
Ibid. hal 2.
71
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Cet. I, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1990.
hal. 62.
d. kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain.

Oppenheim-Lauterpacht menguraikan masing-masing unsur negara

menurut Pasal 1 dari Konvensi Montevideo 1933 sebagai berikut : 72

a. Harus ada ada penduduk atau rakyat yang permanen atau tetap. Yang

dimaksud dengan rakyat di sini adalah sekumpulan manusia yang hidup

bersama di suatu tempat tertentu sehingga merupakan suatu kesatuan

masyarakat yang diatur oleh suatu tertib hukum nasional. Syarat penting

untuk unsur ini yaitu bahwa rakyat atau masyarakat ini harus terorganisir

dengan baik (organized population)

b. Harus ada wilayah atau daerah yang tetap, di mana rakyat tersebut menetap.

Tidak penting apakah daerah yang didiami secara tetap itu besar atau kecil.

Dapat saja wilayah tersebut hanya terdiri dari satu kota saja, sebagaimana

halnya dengan suatu negara kota. Tidak dipersoalkan pula apakah seluruh

wilayah tersebut dihuni atau tidak.

c. Harus ada pemerintah, yaitu seseorang atau beberapa orang yang mewakili

rakyat dan pemerintah menurut hukum negaranya. Suatu masyarakat yang

anarkis bukan termasuk negara. Bengt Broms menyebut kriteria ini sebagai

organized government (pemerintahan yang terorganisir). Lauterpacht

menyatakan bahwa unsur pemerintah ini merupakan syarat utama (terpenting)

untuk adanya suatu negara. Jika pemerintah tersebut ternyata kemudian secara

hukum dan secara faktanya menjadi negara boneka atau negara satelit dari

suatu negara lainnya, maka negara itu tidak dapat digolongkan sebagai

negara.
72
Huala Adolf, op. cit. hal 3-7.
d. Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain. Oppenheim-

Lauterpacht menggunakan kalimat “pemerintah itu harus berdaulat”

(souvereign). Yang dimaksud dengan pemerintah yang berdaulat yaitu

kekuasaan tertinggi yang merdeka dari pengaruh suatu kekuasaan lain di

muka bumi. Kedaulatan dalam arti sempit berarti kemerdekaan sepenuhnya,

baik ke dalam maupun ke luar batas-batas negeri.

Di samping keempat ciri tersebut di atas ada dua ciri lain yang

seyogyanya dimiliki oleh suatu negara. Kedua ciri tersebut adalah bahwa:73

1. Negara itu harus dapat mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan pejabat-

pejabatnya (agent) terhadap pihak atau negara lain, dengan kata lain negara

harus mempunyai kemampuan internasional (international capacities).

2. Negara itu harus merdeka. Tanpa kemerdekaan suatu negara bukan

merupakan subjek hukum internasional.74 Untuk dapat disebut sebagai subjek

hukum internasional negara juga harus mempunyai kedaulatan. Negara yang

berdaulat adalah pemegang kekuasaan negara yang tertinggi, tidak terikat

pada kekuasaan negara lain. Negara yang berdaulat dengan demikian adalah

negara yang merdeka.

Crawford berpendapat bahwa kemerdekaan merupakan kriteria sentral

dari negara. Pendapatnya ini ditarik dari pendapat Hakim Huber dalam kasus the

Island of Palmas (1928) yaitu :

73
I Wayan Parthiana, op. cit. hal. 22.
74
Huala Adolf, op. cit. hal 8.
Sovereignity in the relations between States signifies independence.

Independence in regard to a portion of the globe is the right to exercise

therein, to the exclution of any other States, the function of a State....

Sarjana lainnya Perry dan Grant menganggap bahwa kriteria kemerdekaan, di

samping kedaulatan juga merupakan sentral dari suatu negara. Tanpa unsur

kemerdekan dan berdaulat, sangatlah sulit untuk diterima bahwa suatu negara

adalah suatu subjek hukum internasional.75

2. Hak dan Kewajiban Negara

Sebagai subjek hukum internasional, negara mengemban hak dan

kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. Hak dan kewajiban itu dapat

dibedakan menjadi: 76

1. Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan kedudukannya terhadap

negara lain;

2. Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan wilayah;

3. Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan orang yang ada dalam

masyarakat internasional;

4. Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan benda-benda dalam

masyarakat internasional;

5. Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan kepentingan ekonomi;

6. Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan lingkungan; serta

7. Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan yurisdiksi negara.

2.1 Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan kedudukannya

terhadap negara lain

75
Ibid . hal 8.
76
F. Sugeng Istanto, op. cit. hal. 29.
Hak-hak serta kewajiban negara terkait dengan kedudukannya

terhadap negara lain yaitu:77


a. Hak kemerdekaan.

Negara yang merdeka adalah negara yang berdaulat, yakni negara yang

memegang sendiri kekuasaan negaranya dalam batas-batas hukum

internasional.78

b. Hak kesederajatan.

Hak ini berpangkal pada ajaran kaum naturalis yang menyatakan bahwa

seperti halnya orang-orang bebas dalam keadaan alaminya, setiap

negara secara alami adalah juga sederajat satu sama lainnya. Ajaran ini

ditetapkan sebagai ketentuan hukum internasional antara lain dalam

Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Terkait dengan salah satu

tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu mengembangkan hubungan

persahabatan antarbangsa berdasarkan penghormatan prinsip

kesederajatan.79 Pasal 2 ayat 1 Piagam PBB berbunyi sebagai berikut,

The Organization is based on the principle of the sovereign equality of

all its members.

c. Hak mempertahankan diri.

Hak untuk mempertahankan diri suatu negara adalah hak untuk

mempertahankan kelangsungan kemerdekaan yang bersangkutan. Hak

ini diakui juga melalui Piagam PBB. Piagam itu menetapkan hak negara

anggota untuk mempertahankan diri terhadap serangan bersenjata yang

77
Ibid.
78
Ibid. hal. 30.
79
Ibid.
terjadi kepadanya. Usaha mempertahankan diri itu dapat dilakukan

sendiri atau bersama-sama negara lain.80 Pasal 51 Piagam PBB berbunyi

sebagai berikut:

Nothing in the present chapter shall impair the inherent of individual or


collective self-defense if an armed attack occurs against a Member of
United Nations, until the Security Council has taken the measures
necessary to maintain international peace and security. Measures taken
by Members in the exercise of this right of self defence shall be
immidiately reported to the Security Council and shall not in any way
affect the authority and responsibility of the Security Council under the
present Charter to take at any time such action as it deems necessary in
order to maintain or restore international peace and security.

d. Kewajiban tidak melakukan perang.

Perang adalah salah satu sarana memaksakan kehendak suatu negara

kepada negara lain dengan menggunakan kekerasan bersenjata. Karena

adanya pemaksaan kehendak itu, perang merupakan perbuatan yang

bertentangan dengan kemerdekaan negara yang diperangi. Kewajiban

untuk tidak melakukan perang juga ditetapkan dalam Piagam PBB. 81

Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB menyebutkan bahwa dalam menyelesaikan

pertikaian internasional, suatu negara harus menggunakan cara-cara

damai. Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB berbunyi sebagai berikut: All

Members shall settle their international disputes by peaceful means in

such manner that international peace and security, and justice, are not

endangered.

e. Kewajiban melaksanakan perjanjian internasional dengan itikad baik.

80
Ibid.
81
Ibid. hal. 31.
Kewajiban ini berpangkal tolak pada azas yang telah lama diakui

berlakunya dalam hukum internasional yaitu azas Pacta Sunt Servanda

(setiap perjanjian berlaku mengikat terhadap pihak-pihak yang berjanji

dan harus dilaksanakan dengan itikad baik).82

f. Kewajiban untuk tidak mencampuri urusan negara lain.

Mencampuri urusan negara lain, yang juga disebut sebagai intervensi,

umumnya dilarang oleh hukum internasional. Yang dilarang itu adalah

intervensi yang bertentangan dengan kehendak negara yang dicampuri

dan mengurangi kedaulatan politik negara itu.83 Pada Pasal 2 ayat 4

Piagam PBB ditegaskan bahwa di dalam hubungan internasional setiap

anggota harus menahan diri untuk mengancam dan menggunakan

kekerasan terhadap integritas dan kemerdekaan negara lain. Pasal 2 ayat

4 Piagam PBB berbunyi sebagai berikut:

All Members shall refrain in their international relations from the

threat or use of force against the territorial integrity or political

independence of any state, or in any other manner inconsistent with the

Purpose of the United Nations.

2.2 Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan wilayah

Salah satu kualifikasi yang harus dipenuhi negara sebagai subjek

hukum internasional adalah wilayah tertentu. Di wilayah tersebut negara

memegang kekuasaan kenegaraan yang tertinggi yakni kedaulatan wilayah,

82
Ibid.
83
Ibid.
serta melaksanakan fungsi kenegaraan dengan mengecualikan negara lain.

Wilayah negara terdiri atas :

a. Wilayah Daratan;

b. Wilayah Laut; dan

c. Wilayah Udara.84

2.3 Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan orang yang ada

dalam masyarakat internasional

Hak dan kewajiban negara terhadap orang pada hakikatnya

ditentukan oleh wilayah negara dan kewarganegaraan orang yang

bersangkutan. Setiap orang yang berada dalam wilayah suatu negara baik

warganegaranya sendiri maupun warganegara asing harus tunduk pada

hukum yang berlaku di negara tersebut, di lain pihak negara tersebut juga

wajib melindungi warganegaranya maupun warganegara asing. Prinsip ini

diperkecualikan pada beberapa orang atau individu, misal mereka yang

mempunyai kekebalan diplomatik tertentu.85

2.4 hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan benda-benda

dalam masyarakat internasional

Semua benda yang ada di wilayah tertentu tunduk pada kekuasaan

dan hukum negara itu. Hak dan kewajiban negara atas benda terutama

berlaku bagi benda-benda yang ada di wilayahnya. Kekuasaan dan hukum

negara tersebut juga berlaku bagi benda-benda yang masih ada

84
Ibid. hal. 33-42.
85
Ibid. hal. 42.
hubungannya dengan negara itu namun berada di negara lain begitu pula

sebaliknya terhadap benda-benda yang masih ada hubungannya dengan

negara lain yang berada di negara tersebut. Misalnya adalah negara bendera

suatu kapal yang berlayar di wilayah negara asing sampai batas-batas

tertentu kapal tersebut tunduk pada negara bendera kapal itu.86

2.5 Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan kepentingan

ekonomi

Yang dimaksud dengan kepentingan ekonomi negara adalah

kepentingan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan jasmani

kehidupan manusia. Kepentingan ini mencakup usaha, sarana dan benda

yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan itu. Karena kehidupan

ekonomi suatu negara tidak dapat lepas dari kehidupan negara lain

timbullah berbagai macam perjanjian internasional yang mengatur ekonomi

internasional seperti The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT),

resolusi Majelis Umum PBB tahun 1974 tentang Charter of Economic

Rights and Duties of States dan sebagainya.87

2.6 Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan lingkungan

Hak dan kewajiban negara atas lingkungan ini terkait dengan

prinsip-prinsip hukum internasional lingkungan, yakni : 88

a. Negara mempunyai hak kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber-

sumbernya sendiri sesuai dengan kebijakan lingkungannya;

86
Ibid. hal. 42-43.
87
Ibid. Hal. 43.
88
Ibid. Hal. 47.
b. Negara bertanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan

dalam wilayah yurisdiksinya atau pengawasannya tidak menyebabkan

kerugian bagi lingkungan negara lain atau lingkungan di luar batas

yurisdiksinya.

c. Negara berkewajiban untuk bekerja sama mengembangkan lebih lanjut

hukum internasional kaitannya di bidang lingkungan.

2.7 Hak dan kewajiban negara yang berhubungan dengan yurisdiksi

negara

Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan

negara dan prinsip tidak campur tangan suatu negara terhadap urusan

domestik negara lain. Prinsip-prinsip tersebut tersirat dari prinsip hukum

“par in parem non habet imperium”, artinya para pihak (negara) yang sama

kedudukannya tidak mempunyai yurisdiksi terhadap pihak lainnya (equals

do not have jurisdiction over each other).89

Menurut Sugeng Istanto, yurisdiksi adalah kekuasaan, hak atau

wewenang untuk menetapkan hukum. Masalah yurisdiksi negara timbul

akibat adanya masyarakat internasional dimana masing-masing negara

merupakan anggota yang berdaulat dan di samping itu hubungan-hubungan

kehidupan yang berlaku dalam masyarakat internasional tersebut terkadang

melampaui batas-batas suatu negara. Ada dua azas yang digunakan untuk

mengatur atau melandasi masalah yurisdiksi ini yaitu : 90

a. Azas Teritorial.

89
Huala Adolf, op. cit. hal 183.
90
F. Sugeng Istanto, op. cit. hal. 47-48.
Azas ini menetapkan bahwa yurisdiksi negara berlaku bagi orang,

perbuatan, dan benda yang ada di wilayahnya.

b. Azas Teritorial yang diperluas.

Azas ini memperluas yurisdiksi negara berdasarkan atas perluasan

teknik, kewarganegaraan, prinsip proteksi, dan prinsip universal.

Yurisdiksi teritorial dapat diperluas dengan berdasarkan perluasan

teknik, kewarganegaraan, prinsip proteksi dan prinsip universal. Masing-

masing perluasan itu adalah sebagai berikut:91

1. Perluasan teknik

Perluasan teknik yurisdiksi teritorial terjadi karena perbuatan hukum,

khususnya perbuatan pidana dan dirumuskan dengan menetapkan

unsur-unsur perbuatan tersebut, di mana sebagian unsur tersebut

mungkin terjadi di suatu negara dan sebagian lain terjadi di negara lain.

Dalam hal demikian negara tidak dapat mengadili perbuatan tersebut

mengingat tidak semua unsur perbuatan itu terjadi di wilayahnya. Untuk

mengadili perbuatan tersebut beberapa negara menggunakan prinsip-

prinsip sebagai berikut: 92

a. Prinsip teritorial subjektif

Prinsip teritorial subjektif membenarkan negara melakukan

yurisdiksi atas perbuatan yang mulai dilakukan di wilayahnya tetapi

91
Ibid. Hal. 48
92
Ibid. Hal. 48-49.
berakhir atau menimbulkan akibat di wilayah negara lain. Prinsip

ini diterapkan dalam beberapa konvensi internasional seperti

misalnya Konvensi Jenewa tahun 1929 tentang penumpasan

pemalsuan uang dan Konvensi Jenewa tahun 1936 tentang

penumpasan perdagangan obat-obatan yang terlarang.

b. Prinsip teritorial objektif

Prinsip teritorial objektif membenarkan negara melakukan

yurisdiksi atas perbuatan yang mulai dilakukan di negara lain tetapi

berakhir atau menimbulkan akibat di wilayahnya. Misalnya

seseorang menembakkan senapan dari seberang perbatasan negara

dan mengakibatkan terbunuhnya penduduk di wilayahnya. Prinsip

ini selain berlaku juga pada kedua konvensi tersebut di atas juga

diterapkan oleh Mahkamah Internasional dalam kasus Lotus.

Kecuali dapat diperluas, yurisdiksi teritorial suatu negara juga dapat

dipersempit, karena sampai taraf tertentu, berlakunya yurisdiksi itu

dikecualikan bagi pihak-pihak tertentu yaitu: 93

a. Negara Asing dan Kepala Negara Asing;

b. Perwakilan Diplomatik Asing dan Konsul;

c. Kapal Publik Negara Asing;

d. Angkatan Bersenjata Asing; serta

e. Lembaga Internasional.

2. Perluasan berdasarkan kewarganegaraan

93
Ibid. hal 52.
Perluasan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan terjadi karena suatu

perbuatan hukum khususnya perbuatan hukum pidana yang dilakukan

oleh warganegara suatu negara dan membawa akibat kepada

warganegara suatu negara pula. Perluasan yurisdiksi teritorial

berdasarkan kewarganegaraan dapat terjadi berdasarkan dua prinsip

yaitu: 94

a. Prinsip kewarganegaraan aktif

Prinsip kewarganegaraan aktif menetapkan yurisdiksi atas

warganegaranya yang melakukan pelanggaran hukum di wilayah

negaranya atau di wilayah negara lain.

b. Prinsip kewarganegaraan pasif

Prinsip kewarganegaraan pasif menetapkan yurisdiksi negara atas

orang yang melakukan pelanggaran hukum, yang dilakukan di

wilayah negara lain yang akibatnya menimpa warganegaranya.

3. Perluasan berdasarkan prinsip proteksi

Berdasarkan prinsip ini suatu negara dapat melakukan yurisdiksi atas

perbuatan pidana yang melanggar keamanan dan integritas atau

kepentingan vital ekonominya yang dilakukan di luar negeri.95

4. Perluasan berdasarkan prinsip universal

Berdasarkan prinsip universal suatu negara dapat melakukan yurisdiksi

atas perbuatan pidana yang melanggar kepentingan masyarakat

94
Ibid. hal 49-50.
95
Ibid. hal 50.
internasional. Perbuatan ini disebut kejahatan internasional. Semua

negara berhak untuk menangkap dan menghukum pelaku kejahatan itu.

Tujuan adanya yurisdiksi universal adalah untuk menjamin agar

kejahatan itu tidak lepas dari hukuman. Kejahatan internasional yang

umum diakui adalah kejahatan bajak laut jure gentium dan penjahat

perang.96

C. Perang Menurut Hukum Internasional

1. Pengertian Perang

Berkaitan dengan penerapan doktrin pre-emptive strike ini adalah

penggunaan kekuatan bersenjata atau perang untuk melakukan pertahanan diri

(self defense) dengan cara menyerang lebih dahulu. Pengertian perang menurut

Sugeng Istanto adalah, pertikaian bersenjata yang memenuhi persyaratan

tertentu, dimana pihak-pihak yang bertikai adalah negara dan pertikaian

bersenjata itu disertai pernyataan perang.97 Sedang menurut F. E. Thanos, perang

adalah perbuatan suatu negara terhadap negara lain untuk mendapatkan keadilan

bagi diri sendiri dengan menggunakan senjata. Ia bertindak sebagai hakim sendiri

(eigen rechter) dan mengambil sikap kekerasan. Jadi perang adalah suatu alat

hukum untuk mencapai suatu tujuan.98

Menurut G. P. H. Djatikoesoemo, perang adalah keadaan legal yang

memungkinkan dua atau lebih dari dua gerombolan manusia yang sederajat

96
Ibid. hal 51.
97
Ibid. hal. 104.
98
F. E. Thanos, Hukum Perang, Penerbit Pembimbing, Jakarta, 1954. Hal. 6.
menurut hukum internasional untuk menjalankan persengketaan bersenjata.99

Oppenheim berpendapat, war is a contention between two or more States through

their armed forces, for the purpose of overpowering each other and imposing

such condition of peace as the victor pleases.100 Pendapat Oppenheim ini dapat

diartikan bahwa peperangan adalah suatu sengketa antara dua atau lebih negara

melalui angkatan bersenjata mereka, untuk kepentingan menaklukkan satu sama

lain.

Pendapat Oppenheim ini sesuai dengan doktrin Rousseau dalam Contract

Sosial, di mana pada tahun 1801 di muka Prizecourt di Prancis mengemukakan

bahwa perang adalah hubungan antara negara-negara, bukan individu, jadi orang-

orang menjadi musuh apabila mereka adalah prajurit. Doktin ini sejak akhir abad

ke-19 diterima di seluruh benua Eropa, hanya Inggris dan Amerika yang tidak

suka menerimanya dan mempertahankan pendirian dimana dengan adanya

keadaan perang antara dua negara itu maka keadaan tadi juga berlaku bagi warga

negaranya.101

Dari beberapa pengertian perang di atas terdapat pula pendapat tentang konsep

perang yang adil (just war theory). Dalam just war theory ini dibahas konsep

spesifik bagaimana suatu negara dibenarkan menggunakan kekuatan bersenjata.

Menurut teori ini suatu peperangan harus memenuhi kriteria tertentu atau adanya

sebab (just cause), dalam hal ini ada dua macam kekuatan bersenjata boleh

digunakan yaitu untuk menghadapi kejahatan publik, dan untuk membela diri.102

99
G. P. H. Djatikoesoemo, Hukum Internasional Bagian Perang, Penerbit N. V. Pemandangan,
Jakarta, 1956. Hal 1.
100
Ibid. Hal 1.
101
Ibid. hal 3.
102
Just War, http://en.wikipedia.org/wiki/Just_War, diakses tanggal 13 November 2006.
St Augustine menggolongkan just cause ke dalam tiga unsur-unsur yang

membenarkan peperangan, yaitu: 103

1. melindungi terhadap suatu serangan dari luar (defending against an external


attack);
2. mengambil kembali hak-hak yang telah terampas (recapturing things taken);
dan
3. menghukum orang-orang atau siapa yang sudah berbuat jahat (punishing
people who have done wrong).

Sedangkan Grotius menyebutkan enam syarat dari perang yang adil (Just

War), yaitu: 104

1. Just Cause (alasan pembenar)


Yang dimaksud just cause adalah bahwa negara yang berniat menggunakan
senjata harus dapat menunjukkan bahwa telah ada suatu kerugian yang
diderita (after an injury has been received). Menurut Grotius yang dapat
digolongkan “just war” adalah perang yang dilaksanakan untuk :
a. Membela diri
b. Untuk memberikan hukuman kepada yang telah melakukan pelanggaran
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ‘war’merupakan suatu ‘legal
remedy’. Dan hanya boleh dilakukan sebagai balasan terhadap suatu
ketidakadilan yang serius saja, dan apabila semua jalan atau upaya
penyelesaian secara damai telah gagal.
2. Proporsionality (keseimbangan)
Menurut Grotius ‘proporsionality’ adalah adanya jaminan bahwa ‘kebaikan’
yang menjadi tujuan perang itu seimbang dengan kerugian yang ditimbulkan
oleh perang itu. Pemenuhan syarat ‘proporsionality’ tidak hanya cukup
dengan konsekuensi perang bagi rakyatnya sendiri saja, tetapi harus
memperhatikan juga akibat perang bagi masyarakat dunia pada umumnya.
Yang harus mendapatkan perhatian adalah tujuan politis dari perang tersebut,
apakah seimbang dengan biaya perang itu. Perubahan tujuan politis perang
dapat mengubah asas proporsionality tersebut.
3. Reasonable Chance of Succes (harapan untuk berhasil)
Dinyatakan bahwa : Grotius reject the “give me liberty or give death” on the
ground that “life is of greater value than liberty”. This view constitutes not a
rejection of fighting for freedom, but a rejection of futile or suicidal
resistence. This condition also has important implications for timing of a
nation’s surrender.
(Grotius menolak pernyataan “berikan kebebasan atau berikan kematian”
sebagai dasar bahwa “hidup adalah lebih berharga dibanding kebebasan”).

103
Ibid.
104
Haryomataram, Hukum Humaniter Trimatra, Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM Fakultas
Hukum Trisakti, Jakarta, 2003. hal. 37-42.
Pandangan ini tidak membentuk suatu penolakan atas perjuangan demi
kebebasan, tetapi merupakan penolakan bertahan dengan sia-sia atau bunuh
diri. Ini adalah kondisi yang juga mempunyai implikasi penting untuk
pemilihan waktu yang tepat bagi suatu bangsa untuk menyerah).
4. Declaration of War (Publicly Declared) (yaitu pernyataan perang yang
dinyatakan kepada umum)
Ada dua tujuan yang hendak dicapai dengan declaration of war ini, yaitu :105
a. Provides the offending party the opportunity to offer redress in lieu of
violence. (Penyediaan bagi pihak yang menyerang kesempatan untuk
menawarkan mengganti kerugian sebagai pengganti kekerasan).
b. Nations must conduct war in manner that establishes with certainly that
war is not being wages by private initiative but will of each of the two
peoples or their lawful heads. (Negara-negara harus melakukan
peperangan dengan suatu cara yang ditetapkan dengan kepastian bahwa
perang tidak dilaksanakan atas prakarsa pribadi tapi oleh kehendak dari
dua bangsa menurut pimpinan mereka yang sah).
5. Legitimate Authority (kekuasaan yang sah)
Yang dimaksud dengan kekuasaan yang sah adalah “the duty constituted ruler
who speak with the authority of the populace and who does not have resource
to higher suthority for arbitration”. (pembuat peraturan yang menentukan
tugas atau yang berwenang berbicara atas nama kekuasaan rakyat dan yang
tidak mempunyai sumber ke kewenangan atau kekuasaan pada penguasa
tertinggi atas arbitrasi).
Perlu ditegaskan bahwa yang tidak digolongkan dalam ‘legitimate authority’
di antaranya adalah pejabat tinggi walau tugasnya atau kedudukannya ada
hubungannya dengan Angkatan Perang (di Amerika Serikat ‘legitimate
authority’ tersebut adalah Congress, namun demikian sering terjadi bahwa
penggunaan kekuatan bersenjata hanya diputuskan oleh Presiden saja).
6. As a Last Reason (sebagai alasan terakhir)
Yang dimaksud dengan alasan terakhir di sini adalah bahwa perang baru
boleh dinyatakan apabila semua jalan damai untuk menyelesaikan
perselisihan telah ditempuh tapi tanpa hasil.

2. Pengaturan Sengketa Bersenjata Menurut Hukum Internasional

Istilah hukum perang seiring perkembangan jaman berkembang menjadi

hukum sengketa bersenjata (law of armed conflict) yang kemudian lebih dikenal

dengan hukum humaniter internasional (international humanitarian law

applicable in armed conflict).106

105
Ibid.
106
Arlina Permatasari, Pengantar Hukum Humaniter, International Committe Of The Red Cross,
Jakarta, 1999. hal 5.
Menurut Sugeng Istanto, pengaturan pertikaian bersenjata menurut

hukum internasional berdasarkan materinya dibagi menjadi tiga bagian yaitu:107

1. Ius ad bellum; hukum yang mengatur hak negara untuk berperang

(bellum justum) dan permulaan perang.

2. Ius in bello; hukum yang berlaku dalam perang, dan

3. Hukum yang mengatur akhir dari pertikaian bersenjata.

Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan pokok, yaitu: 108

1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai dalam

berperang (Hukum Den Haag/The Hague Laws).

2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan

penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/The Geneva Laws).

Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai

berikut: 109

1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur dalam hal bagaimana

negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata.

2. Jus in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi dua

yaitu :

a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war).

Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws.

b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban

perang, ini lazimnya disebut The Geneva Laws.

107
F. Sugeng Istanto, op. cit. hal. 105.
108
Arlina Permatasari, op. cit. hal 6.
109
Ibid.
Pengaturan sengketa bersenjata menurut hukum internasional sendiri

terdiri dari Hukum Den Haag (hukum yang mengatur cara dan alat yang

digunakan dalam berperang) dan Hukum Jenewa (hukum yang mengatur

perlindungan orang yang menderita akibat sengketa atau pertikaian bersenjata,

maupun objek yang secara tidak langsung mendukung usaha militer). Kedua

ketentuan hukum tersebut merupakan sumber hukum yang utama dalam hukum

humaniter internasional.110

2.1 Hukum Den Haag

Membicarakan Hukum Den Haag berarti merujuk pada hasil konvensi

Den Haag 1899 (Konvensi Perdamaian I) dan Konvensi Den Haag 1907

(Konvensi Perdamaian II).

Konvensi Den Haag 1899 menghasilkan tiga buah konvensi dan tiga

deklarasi. Adapun tiga konvensi yang dihasilkan adalah: 111

1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional.

2. Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.

3. Konvensi III tentang Adaptasi Azas-azas Konvensi Jenewa tanggal 22

Agustus 1864 tentang hukum perang di laut.

Sedang tiga deklarasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut: 112

1. Melarang penggunaan peluru dum-dum (peluru-peluru yang bungkusnya


tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar
dalam tubuh manusia).
2. Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon, selama
jangka lima tahun yang terakhir di tahun 1905 juga dilarang.
3. Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan
beracun dilarang.

110
Ibid. hal 21-22.
111
Ibid. hal 23.
112
Ibid.
Konvensi Den Haag 1907 menghasilkan sejumlah konvensi sebagai

berikut : 113

1. Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional


2. Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata Dalam Menuntut
Pembayaran Hutang yang Berasal dari Perjanjian Perdata.
3. Konvensi III tentang Cara Memulai Permusuhan.
4. Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat Dilengkapi
dengan Peraturan Den Haag.
5. Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral
dalam Perang di Darat.
6. Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh Pada Saat Permulaan
Perang.
7. Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang Menjadi Kapal Perang.
8. Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam Laut.
9. Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di Waktu Perang.
10. Konvensi X tentang Adaptasi Azas-Azas Konvensi Jenewa Tentang Perang
di Laut.
11. Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak
Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut.
12. Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-Barang Sitaan.
13. Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di
Laut.

Meskipun dalam Konvensi Den Haag 1907 ini terdapat banyak konvensi

namun ada beberapa konvensi yang penting. Diantaranya adalah :114

1. Konvensi III Den Haag 1907 mengenai Cara Memulai Permusuhan.

Konvensi III Den Haag 1907 mengenai Cara Memulai Permusuhan

yang judul lengkapnya adalah Convention relative of the Opening of

Hostilities, menjelaskan bahwa perang dalam arti hukum adalah apabila

perang tersebut dimulai dengan cara yang dituangkan dalam konvensi ini.

Pasal 1 dalam konvensi ini mengatakan : 115

113
Ibid. hal 24.
114
Ibid. hal 25.
115
Ibid. hal 26.
The Contracting Powers recognize that hostilities between them must
not commence without a previous and unequivocal warning, which
shall take the form either of a declaration war, giving reason or an
ultimatum with a conditional declaration of war .

Adapun yang dimaksud bahwa, “Para pihak yang berkuasa mengakui


bahwa permusuhan antara mereka tidak boleh dimulai tanpa suatu
peringatan yang tegas sebelumnya, yang mana akan membentuk baik
dengan suatu pernyataan perang, memberi alasan, maupun suatu
ultimatum dengan deklarasi perang bersyarat”.

Berdasarkan pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perang

antara para pihak tidak akan dimulai tanpa adanya: 116

a. Pernyataan perang yang disertai alasan, atau

b. Dengan suatu ultimatum, apabila ultimatum itu tidak dipenuhi maka

dengan sendirinya hal ini sebagai pernyataan perang.

2. Konvensi IV Den Haag 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di

Darat.

Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, judul

lengkapnya adalah Convention Respecting to the Laws and Custom of War

on Land. Konvensi ini terdiri atas sembilan pasal dilengkapi dengan

lampiran yang disebut Hague Regulations. Bagian yang terpenting dari

konvensi ini adalah Pasal 2 yang menyebutkan bahwa konvensi hanya

berlaku apabila kedua belah pihak yang bertikai adalah pihak dalam

konvensi. Apabila salah satu pihak bukan peserta konvensi, maka konvensi

ini tidak berlaku. Pasal ini lazim disebut dengan Klausula Si Omnes.117

3. Konvensi V Den Haag 1907 tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga

Negara Netral dalam Perang di Darat.

116
Ibid.
117
Ibid. hal 27.
Konvensi ini berjudul Convention Respecting the Rights and Duties of

Neutral Power and Persons in Case of War on Land. Dengan melihat judul

tersebut maka harus dibedakan antara negara netral dan orang netral. 118

Negara netral adalah suatu negara yang menyatakan akan bersikap netral

dalam suatu peperangan, sedangkan orang netral adalah warga negara dari

suatu negara yang tidak terlibat dalam peperangan.119

4. Konvensi XIII Den Haag 1907 tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral

dalam Perang di Laut.

Konvensi ini berjudul Neutral Rights and Duties in Maritime War.

Sebagaimana halnya dengan Konvensi Den Haag V, maka Konvensi XIII

ini menegaskan bahwa kedaulatan negara netral tidak hanya berlaku di

wilayah teritorialnya (wilayah darat) saja, namun juga berlaku di wilayah

perairan negara netral.

2.2 Hukum Jenewa

Hukum Jenewa mengatur mengenai perlindungan korban perang, terdiri

atas beberapa perjanjian pokok. Perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi

Jenewa 1949, yang masing-masing adalah : 120

I. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded


and Sick in Armed Forces in the Field (Konvensi Jenewa mengenai
Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di
Medan Pertempuran Darat);
II. Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded
and Sick in Armed Forces at Sea (Konvensi Jenewa mengenai Perbaikan
Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit dan Korban
Karam);

118
Ibid. hal 28.
119
Ibid. hal 29.
120
Ibid. hal 32.
III. Geneva Convention relatives to the Treatment of Prisoners of War
(Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang);
IV. Geneva Convention relatives to the Protection of the Civilians Persons in
Time of War (Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang-orang Sipil
di Waktu Perang).

Keempat Konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut dalam tahun 1977

ditambah lagi dengan dua Protokol Tambahan 1977, yaitu : 121

1. Additional Protocol to the Geneva Convention of 12 August 1949, And


Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict
(Protocol I); dan
2. Additional Protocol to the Geneva Convention of 12 August 1949, And
Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict
(Protocol II).

Protokol Tambahan ini menyempurnakan isi dari Konvensi Jenewa 1949.

Penekanan di sini adalah bahwa prinsip yang terdapat dalam Konvensi Jenewa

masih tetap berlaku. Lebih jauh mengenai Protokol Tambahan 1977 ini seperti

diterangkan di atas bahwa protokol ini terdiri atas dua buku yaitu : 122

1. Protokol I, yang mengatur perang/konflik bersenjata yang bersifat

internasional yaitu perang/konflik bersenjata antarnegara.

2.. Protokol II, mengatur perang/konflik bersenjata yang bersifat non-

internasional, yaitu perang/konflik bersenjata yang terjadi di wilayah salah

satu pihak peserta agung antara pasukannya dengan pasukan pembangkang

atau pemberontak. Protokol Tambahan II ini menambah isi/ruang lingkup

Pasal 3 Konvensi Jenewa.

Dalam Konvensi Jenewa ini beberapa pasal di antaranya dianggap penting

dan mendasar sehingga perlu dicantumkan dalam setiap konvensi, baik

121
Ibid.
122
Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005. hal. 49-
51.
diletakkan dalam nomor pasal yang sama maupun dirumuskan dengan redaksi

atau isi yang sama atau hampir sama. Pasal-pasal ini lazim disebut sebagai

ketentuan-ketentuan yang umum atau common articles. Ketentuan-ketentuan

umum ini adalah ketentuan mengenai : 123

1. Ketentuan mengenai penghormatan terhadap Konvensi (Pasal 1);


2. Ketentuan tentang berlakunya konvensi (Pasal 2);
3. Ketentuan tentang sengketa bersenjata yang tidak bersifat
internasional (Pasal 3); dan
4. Ketentuan yang mengatur tentang Negara Pelindung/Protecting
Power (Pasal 8-10).

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

Metode Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

yuridis normatif, yaitu metode pendekatan yang menggunakan konsep legal positif.

Konsep ini memandang hukum sebagai norma-norma tertulis yang dibuat dan

diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan konsep yang melihat

hukum sebagai sistem normatif yang otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan

dan mengabaikan norma lain selain norma hukum.124

2. Spesifikasi Penelitian

123
Arlina Permatasari, op. cit. hal 33.
124
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Juri Metri, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1990. hal. 14.
Spesifikasi penelitian deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk

menggambarkan keadaan atau gejala dari obyek yang diteliti tanpa bermaksud

mengambil kesimpulan yang berlaku umum.125

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian menunjukkan tempat di mana penelitian itu dilakukan, baik

merupakan studi pustaka atau di lapangan atau survei. Lokasi penelitian terkait erat

dengan metode penelitian yang dipilih oleh seorang peneliti. Perbedaan lokasi

penelitian juga secara otomatis menghasilkan proses penelitian yang berbeda pula.126

Adapun penelitian studi pustaka yang penulis lakukan berlokasi di:

1. Kantor CSIS (Centre for Strategic and International Studies), Jl. Tanah Abang

III No. 23 – 27, Jakarta 10160.

2. Kantor Delegasi ICRC (International Committe of the Red Cross) Indonesia,

Jl. Iskandarsyah I No.14 – Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12160.

3. Kantor Departemen Luar Negeri Indonesia, Jalan Pejambon No. 6 Jakarta

Pusat 10110, Indonesia.

4. Kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat (Public Affairs Section, Information

Resource Center) di Indonesia, Jl. Medan Merdeka Selatan, No. 3 - 5, Jakarta

10110, Indonesia.

5. Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

6. Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman,

Purwokerto.

125
Soerjono Soekanto, Pengantar Hukum Normatif, UI Press, Jakarta, 1984. hal. 10.
126
Trusto Subekti, Diskusi Metodologi Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto, 2003. hal. 15-16.
4. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber yang pertama,

yaitu data yang secara langsung diperoleh dari objek penelitian berupa

keterangan-keterangan hasil wawancara langsung dengan responden atau sumber.

Dalam penelitian ini data primer hanya sebagai pendukung data sekunder saja,.127

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi,

buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan sebagainya

yang terhadap data tersebut, peneliti tidak tergantung dari ruang lingkup dan

tujuan penelitian yang dilakukan.128

5. Metode Pengumpulan Data

a. Data Primer

Data yang diperoleh dengan cara melakukan wawancara dengan staf kantor

Kedutaan Besar Amerika Serikat, staf ICRC (International Committe of the Red

Cross) dan dosen maupun alumni yang mengerti mengenai permasalahan yang

diteliti.

b. Data Sekunder

Data diperoleh dengan cara inventarisasi dan mempelajari buku-buku

kepustakaan dan peraturan perundang-undangan yang ada relevansinya dengan

permasalahan, yang dikumpulkan dengan melakukan studi pustaka di

127
Soerjono Soekanto, op. cit. hal. 66
128
Ibid
Perpustakaan Kedutaan Besar Amerika Serikat (Public Affairs Section,

Information Resource Center), Perpustakaan CSIS (Centre for Strategic and

International Studies), Perpustakaan Departemen Luar Negeri Indonesia, Pusat

Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan Pusat

Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang selanjutnya dikaji

sebagai satu kesatuan yang utuh.

6. Metode Penyajian Data

Metode penyajian data dalam penyusunan penelitian ini disajikan dalam

bentuk uraian yang disusun secara sistematis. Setelah sebelumnya dilakukan

pengolahan, analisa dan konstruksi data, yakni data sekunder yang diperoleh

dilakukan sinkronisasi antara data yang satu dengan data lainnya dan data primer

diuraikan berdasarkan pengumpulan data, sehingga tersusun sebagai satu kesatuan

yang utuh.

7. Analisis Data

Analisa data merupakan salah satu tahapan atau proses penelitian yang

dilakukan setelah seorang peneliti mendapatkan data untuk menjawab permasalahan

sehingga peneliti bisa mendapatkan kesimpulan dari hasil penelitiannya. Data yang

diperoleh dari penelitian yang dilakukan penulis dianalisa dengan menggunakan

metode deskriptif kualitatif, yaitu metode penelitian yang membatasi permasalahan

serta mencari fakta untuk melukiskan peristiwa tanpa bermaksud mengambil


kesimpulan secara umum. Dengan kata lain metode kualitatif bertujuan mendapatkan

kebenaran dan juga memahami kebenaran tersebut.129

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pernyataan perang terhadap terorisme Internasional menjadi berlebihan ketika

Osama bin Laden dan gerakan fundamentalisme Islam lainnya menjadi sasaran

fitnah. Ancaman tindakan balasan ke Afghanistan oleh Amerika sebagai bentuk

tindakan balas dendam akan dilakukan jika pemerintah Taliban yang memerintah

Afghanistan tidak mau menyerahkan tersangka dalam kasus terorisme. Ancaman ini

jelas-jelas bertentangan dengan asas hukum presumption of innosence (praduga tidak

bersalah). Hal ini terkait dengan penerapan doktrin pre-emptive strike oleh Amerika

129
Ibid. hal. 250.
Serikat sebagai salah satu negara adikuasa yang menyatakan perang terhadap segala

bentuk ancaman yang akan datang dan membahayakan keamanan negaranya. 130

Maraknya ancaman teror termasuk peristiwa robohnya gedung WTC dan

Pentagon di Amerika Serikat menarik untuk dikaji dari segi hukum internasional.

Sebab, aksi terorisme di samping melanggar ketentuan hukum internasional dan juga

moralitas masyarakat beradab, di sisi lain dipertanyakan juga komitmen Amerika

Serikat terhadap hukum internasional. Seberapa jauh peran pemerintah Amerika

Serikat untuk mengintervensi secara dominan peranan Dewan Keamanan PBB dalam

penyelesaian konflik internasional, khususnya berkaitan dengan tindakan pembalasan

dan pencegahan melalui doktrin pre-emptive strike yang tertuang dalam Dokumen

Strategi Keamanan Nasional Amerika Serikat (The National Security Strategy of the

United States of America).131 Melalui doktrin pre-emptive strike ini maka pada tanggal

7 Oktober 2001, Presiden Amerika Serikat George W Bush di depan kongres

menyatakan perang terhadap rezim Taliban di Afghanistan yang menolak

menyerahkan tersangka aksi terorisme sekaligus pimpinan Al-Qaeda Osama bin

Laden. Serangan ini bernama Operation Enduring Freedom-Afghanistan (OEF-A),

bertujuan untuk menghancurkan pusat pelatihan teroris, menangkap para pemimpin

Al-Qaeda dan menghentikan atau mencegah aktivitas terorisme di Afghanistan.

Sebelumnya pada 20 September 2001, Amerika Serikat mengeluarkan lima ultimatum

pada Taliban yaitu:132

1. Serahkan semua pimpinan Al-Qaeda ke Amerika Serikat.

2. Bebaskan semua tahanan asing.


130
Jawahir Thontowi , Hukum Internasional di Indonesia, Madyan Press, Yogyakarta, 2002, hal. 118.
131
Ibid.
132
Operation Enduring Freedom,http://en.wikipedia.org/wiki/Operation_Enduring_Freedom, diakses
tanggal 30 Juli 2006.
3. Segera tutup semua tempat pelatihan teroris.

4. Serahkan semua teroris dan pendukungnya pada kekuasaan yang berwenang

menghukumnya.

5. Berikan izin dan kebebasan pada Amerika Serikat untuk memeriksa tempat

pelatihan teroris.

Selain serangan ke Afghanistan, Amerika Serikat juga melancarkan

serangannya ke sejumlah negara sponsor atau negara yang dicurigai sebagai tempat

persembunyian teroris antara lain di:133

1. Filipina (Operation Enduring Freedom - Philippines), untuk menumpas Abu

Sayyaf Group (ASG) Al Harakat Al Islamiyya;

2. Indonesia, Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand Selatan dan Filipina, untuk

menumpas Jemaah Islamiyah;

3. Djibouti, Kenya, Ethiopia, Chad, Niger, Mauritania dan Mali, Operation

Enduring Freedom - Horn of Africa (OEF-HOA) untuk menumpas kejahatan

trans-Sahara dan melatih tentara pemerintah mengatasi terorisme (counter

terrorism);

4. Kemudian yang terakhir adalah Iraq pada tahun 2003, invasi ke Iraq didasari

pertimbangan bahwa:134

a. Pemerintah Iraq telah gagal untuk membuktikan tempat menyembunyikan

senjata pemusnah massal, yaitu: senjata biologi, bahan kimia, dan program

rahasia untuk menghasilkan senjata nuklir;

133
Ibid.
134
Iraq Disarmament Crisis, http://en.wikipedia.org/wiki/Iraq_disarmament_crisis, diakses tanggal 30
Juli 2006.
b. Pemerintah Iraq telah mendukung operasi teroris dan kelompok milisi

teroris, serta kemungkinan menyediakan senjata pembinasaan pemusnah

massal di masa depan.

c. Pemerintah Iraq dan pemimpinnya, Saddam Hussein, adalah anti-demokrasi

dan melanggar hak azasi manusia serta melakukan kejahatan genosida.

Mansyur Effendi menyatakan, Grand Strategy AS yang dianggap over

protektif dengan menciptakan doktrin pre-emptive strike, serang lebih dahulu sasaran

yang diduga membahayakan keamanan nasionalnya sangat gawat. Mestinya AS dapat

bertindak lebih arif, dialog dan dialog terus dengan mengubah wajah politik luar

negerinya menjadi lebih moderat. Langkah unilateral/sepihak AS sering

menjengkelkan negara lain, malah membahayakan warga sipil AS sendiri.135

Di sisi lain tindakan Amerika Serikat menyerang Afghanistan dan Irak yang

merupakan ancaman terhadap negerinya dianggap sebagai tindakan invasi terhadap

kedaulatan kedua negara tersebut, meskipun hal ini dikarenakan Amerika Serikat

berupaya melindungi atau membela diri terhadap ancaman yang akan datang hal ini

bertentangan dengan Pasal 2 (4) Piagam PBB mengenai larangan penggunaan

kekerasan, yang berbunyi:

All member shall refrain in their international relations from the threat or use of

force against the territorial integrity or political independence of any state, or in

any manner inconsistent with the purpose of the United Nations.136

135
Mansyur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika
Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hal. 208.
136
Chairul Anwar, op. cit. hal. 155.
Adapun kunci mengenai larangan penggunaan kekerasan dalam Piagam PBB

Pasal 2 (4) yang berisi: Segenap anggota PBB dalam hubungan internasional harus

menghindarkan dirinya dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap keutuhan

wilayahnya atau hak kemerdekaan suatu negara atau dengan cara apa pun yang

bertentangan dengan tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.137

Tindakan Amerika Serikat ini dapat diklasifikasikan ke dalam pengertian

invasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Joseph S. Nye, Jr:

Defining interventionin its broadest definition, intervention refers to external

actions that influence the domestic affairs of another sovereign state. some

analist use the term more narrowly to refer to forcible interference in the

domestic affairs of another state.138

Adapun yang dimaksud dari pernyataan tersebut adalah: Definisi paling luas dari

intervensi, yaitu intervensi mengacu pada tindakan eksternal yang mempengaruhi

urusan dalam negeri dari negara berdaulat yang lain. Beberapa analis menggunakan

istilah intervensi dalam pengertian yang lebih sempit untuk mengacu pada gangguan

atau campur tangan secara paksa dengan kekerasan di dalam urusan dalam negeri dari

negara lain.

Amerika Serikat sendiri mengemukakan alasan justifikasi invasi ke

Afghanistan dan Irak yang pertama adalah the right of self-defense (hak untuk

membela diri) dan yang kedua adalah humanitarian intervention (intervensi untuk

tujuan kemanusiaan). Dengan tafsirannya sendiri atas kedua dalil hukum

137
Rika Ratna Permata, Suatu Tinjauan Hukum Terhadap Pelanggaran Piagam PBB Oleh Invasi
Amerika Serikat Ke Irak, Journal Of International Law UNPAD, Vol 2 No. 2 – Agustus 2003. hal 155.
138
Joseph S. Nye, Jr, Understanding International Conflict, Harper Collins College Publisher, New
York, 1993. hal. 132.
internasional tersebut Amerika kemudian berpendapat bahwa perang tersebut sah

menurut hukum internasional.139

Penggunaan doktrin pre-emptive strike yang mulai banyak dipakai oleh

negara-negara di dunia pascaserangan terorisme menimbulkan banyak perubahan.

Perubahan ini terutama adalah mengenai hak untuk membela diri dan mengenai

intervensi kemanusiaan, di mana sejak Amerika Serikat menerapkan doktrin ini

terjadi banyak pemahaman mengenai kedua hal tersebut. Hak untuk membela diri

(the right of self-defence), diakui oleh PBB di mana menurut Pasal 51 Piagam PBB

negara anggota memiliki inherent right (hak yang melekat), baik secara individu

maupun kolektif untuk membela diri apabila terjadi serangan bersenjata terhadap

negaranya. Pasal tersebut memberikan jaminan mengenai eksistensi hak tersebut, hal

ini mengandung arti bahwa implementasi dari hak tersebut harus sesuai dengan

syarat-syarat yang ditetapkan oleh piagam PBB.140

Pasal 51 Piagam PBB sendiri berbunyi sebagai berikut:

Nothing in the present chapter shall impair the inherent of individual or


collective self-defense if an armed attack occurs against a Member of United
Nations, until the Security Council has taken the measures necessary to maintain
international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of
this right of self defence shall be immidiately reported to the Security Council
and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security
Council under the present Charter to take at any time such action as it deems
necessary in order to maintain or restore international peace and security.

Dari ketentuan Pasal 51 Piagam PBB ini dapat diambil kesimpulan bahwa PBB

mengijinkan penggunaan kekuatan bersenjata dalam rangka membela diri hanya

apabila suatu negara benar-benar telah diserang (an armed attack occurs).141

139
Atip Latifulhayat, op. cit. hal 71.
140
Ibid. hal 72.
141
Ibid. hal 73.
Selanjutnya para pakar hukum internasional menambahkan syarat lainnya

agar hak pembelan diri sah secara hukum yaitu : 142

1. Serangan balasan hanya ditujukan kepada angkatan bersenjata negara penyerang

(the response is aimed at the armed attacker);

2. Serangan balasan dimaksudkan sebagai upaya untuk mencegah adanya serangan

lanjutan (the response has the purpose of preventing future attack);

3. Serangan balasan bertujuan untuk melenyapkan ancaman dan harus proporsional

di dalam pelaksanaannya (the response is necessary to remove the threat and is

proportional in the circumstances).

Selain terdapat dalam Pasal 51 Piagam PBB, ketentuan mengenai hak

membela diri (self-defence) ini juga terdapat dalam San Remo Manual (San Remo

Manual on International Law Applicable oo Armed Conflict at Sea 1994). Ketentuan

mengenai hak bela diri ini ada dalam Part I General Provisions Section II Armed

conflict and the law of self-defence San Remo Manual on International Law

Applicable to Armed Conflict at Sea 1994, dimulai dari Pasal 3 sampai Pasal 6. Isi

dari ketentuan ini adalah sebagai berikut :

1. Pasal 3

The exercise of the right of individual or collective self-defence recognized in

Article 51 of the Charter of the United Nations is subject to the conditions and

limitations laid down in the Charter, and a rising from general international law,

including in particular the principles of necessity and proportionality (hak

individu atau pembelaan diri kolektif sesuai dengan Artikel 51 Piagam

Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah tunduk pada syarat-syarat dan pembatasan


142
Ibid.
yang diatur dalam Piagam, dan ketentuan yang muncul dari hukum internasional

umum, termasuk khususnya prinsip kepentingan dan keseimbangan);

2. Pasal 4

The principles of necessity and proportionality apply equally to armed conflict at

the sea and require that the conduct of hostilities by a state should not exceed the

degree and kind of force, not otherwise prohibited by law of armed conflict,

required to repel an armed attack against it and to restore its security (prinsip

kepentingan dan keseimbangan berlaku secara bersamaan untuk konflik

bersenjata di laut dan mensyaratkan bahwa pihak atau negara yang bermusuhan

tidak boleh berlebihan dalam tingkat maupun jenis kekerasan, jika tidak dilarang

dalam hukum sengketa bersenjata, maka para pihak diperbolehkan untuk

memukul mundur serangan bersenjata yang melawannya serta untuk

mempertahankan kembali keamanannya);

3. Pasal 5

How far a State justified in its military actions against the enemy will depend

upon intensity and scale of the armed attack for which the enemy is responsible

and gravity of the threat posed (seberapa jauh suatu negara dibenarkan dalam

tindakan militernya melawan musuh akan bergantung pada intensitas dan skala

serangan bersenjata di mana musuh bertanggung jawab atas semua serangannya

itu dan berat ancaman yang dihadapi);

4. Pasal 6

The rules set out in this document and any other rules of international

humanitarian law shall apply equality to all parties to the conflict. The equal
application of this rules to all parties to the conflict shall not affected by the

international responsibility that may have been incurred by any them for the out-

break of the conflict (aturan yang tercantum dalam dokumen ini dan dalam

peraturan lain tentang hukum humaniter internasional akan berlaku sama bagi

semua para pihak yang bersengketa. Penerapan yang sama atas aturan ini bagi

semua pihak yang bersengketa tidak boleh dipengaruhi oleh tanggung jawab

internasional yang mungkin dipikul oleh salah satu pihak karena memulai

sengketa).

Mengenai intervensi kemanusiaan sebenarnya hanya merupakan suatu

kewajiban moral daripada tindakan hukum. Meskipun intervensi kemanusiaan ini

mengandung banyak kontroversi, namun sebagian pakar hukum internasional

mengajukan pendapat bahwa intervensi kemanusiaan ini tetap dapat dilakukan asal

memenuhi persyaratan tertentu antara lain : 143

a. Intervensi kemanusiaan harus didasarkan atas alasan dan tujuan yang jelas yaitu

untuk melindungi hak-hak azasi manusia;

b. Harus dilakukan dengan azas proporsionalitas yang tidak berlebihan (the cure is

not worse than illness);

c. Harus didasarkan atas aturan yang jelas untuk menghindari terjadinya eksploitasi

oleh suatu negara terhadap wilayah yang didudukinya.

Akibat atau dampak yang timbul akibat penggunaan doktrin pre-emptive

strike oleh negara ini antara lain juga munculnya tindakan sepihak dari negara

(unilateral act) dalam melakukan hak bela diri dan intervensi terhadap suatu negara

yang dianggap mengancam keamanannya. Jika mengacu pada persetujuan atau


143
Ibid. hal 83.
konvensi internasional, tindakan sepihak (unilateral act) bukanlah termasuk ke dalam

sumber hukum internasional seperti yang tercantum dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta

Mahkamah Internasional namun dalam prakteknya baik negara maupun para sarjana

hukum menganggap keberadaannya adalah sah atau mengkategorikannya sebagai

undang-undang.144 Sedangkan mengenai intervensi sendiri juga belum ada definisi

bakunya. Hanya ada salah satu pegangan yang masih dikutip sampai saat ini, yaitu

definisi yang diberikan oleh Lauterpacht. Menurutnya intervensi adalah campur

tangan secara diktator oleh suatu negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan

maksud baik untuk memelihara atau mengubah keadaan, situasi, atau barang di

negeri tersebut.145

Menurut J.G. Starke, intervensi dapat digolongkan menjadi tiga bentuk, yaitu:
146

1. Intervensi Internal, misalnya negara A campur tangan diantara pihak-pihak yang

bertikai di negara B yang mendukung pemerintahan negara tersebut atau pihak

pemberontak.

2. Intervensi External, misalnya negara A campur tangan dengan mengadakan

hubungan dengan negara lain, umumnya dalam keadaan bermusuhan. Misalnya

ketika Italia melibatkan diri dalam Perang Dunia II dengan memihak Jerman dan

memerangi Inggris.

3. Intervensi Punitive, intervensi seperti ini merupakan suatu tindakan pembalasan

(a reprisal) melalui perang kecil sebagai pembalasan terhadap kerugian yang

ditimbulkan oleh negara lainnya. Sebagai contoh adalah blokade damai yang
144
Rudolf Bernhardt, Encyclopedia of Public International Law, Elsevier Science Publishers B.V,
Netherland, 1984. hal 517.
145
Huala Adolf, op. cit. Hal 31.
146
Ibid. hal 33-34.
dilancarkan terhadap suatu negara sebagai balasan atas tindakan negara tersebut

yang melanggar perjanjian.

Contoh unilateral act dan intervensi sendiri dapat dilihat pada doktrin

Monroe. Doktrin ini dikemukakan oleh Presiden Monroe (presiden Amerika Serikat

ke 5) di depan Kongres tanggal 2 Desember 1823, doktrin ini merupakan ungkapan

pengisolasian diri dan doktrin mengenai dua lapisan di mana diasumsikan bahwa ada

dua negara berbeda yaitu negara baru dan negara lama yang keduanya berbeda secara

ekonomi dan politik.147

Prinsip-prinsip penting yang ada dalam doktrin ini adalah : 148

1. Prinsip “nonkolonisasi”, yaitu bahwa Amerika Serikat berkepentingan untuk

menjamin bahwa tidak ada satu bagian pun dari benua Amerika yang bersifat

terra nullius (tidak ada yang memiliki) dan menjadi wilayah kolonisasi negara

Eropa.

2. Prinsip “nonintervensi” yang pada pokoknya menetapkan bahwa setiap negara

asing yang memperluas sistem politiknya ke benua Amerika merupakan ancaman

bahaya terhadap perdamaian dan keamanan Amerika.

Doktrin ini merupakan pesan dari Presiden Monroe soal ancaman pendudukan

Alaska oleh Uni Soviet dan ancaman intervensi Holly Alliance (Aliansi Suci)

terhadap Amerika. Deklarasi Monroe ini adalah suatu pernyataan kebijakan asing

sepihak Amerika Serikat untuk berhadap-hadapan dengan negara-negara Eropa, yang

dikeluarkan tanpa pertemuan dengan negara lain dan tanpa berkonsultasi dengan

negara-negara baru di benua Amerika.149

147
Rudolf Bernhardt, op. cit. hal.339
148
Huala Adolf, op. cit. hal 40-42.
149
Rudolf Bernhardt, op. cit. hal 340.
Doktrin ini kemudian digunakan untuk menetapkan kebijakan luar negeri

yang bersifat sepihak dan mengintervensi kedaulatan negara lain. Misalnya: tahun

1870 Presiden Grant menyatakan bahwa negara-negara Eropa tidak dapat

memperoleh bagian mana pun dari wilayah Amerika meskipun penduduknya

menghendakinya. Sampai yang paling terkenal adalah ketika Presiden Kennedy

mengemukakan doktrin ini sebagai alasan pembenar untuk menentang rencana Uni

Soviet menggelar peluru kendalinya di Kuba dan sebagai alasan untuk mendaratkan

pasukannya di Republik Dominika bulan April 1965 untuk melindungi warga

Amerika Serikat dan memastikan agar tidak terbentuk suatu pemerintahan komunis di

negara itu.150 Contoh dari penggunaan doktrin pre-emptive strike yang juga mengacu

pada doktrin Monroe ini adalah invasi Amerika Serikat ke Irak di mana Amerika

serikat juga melakukannya secara sepihak (unilateral act) tanpa persetujuan Dewan

Keamanan PBB.151

Dari hal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa akibat penggunaan doktrin

pre-emptive strike oleh negara ini bertentangan dengan prinsip nonintervensi yang

secara tersirat terdapat dalam Piagam PBB, yaitu: 152

1. Pasal 1 (2) Piagam PBB yang berbunyi: To develop friendly relations among

nations based on respect for the principle of equal rights and self-determination

of peoples, and to take other appropriate measure to strenghten universal peace;

2. Pasal 2 (1) Piagam PBB yang berbunyi: The Organization is based on the

principle of the sovereign equality of all its Members;

150
Huala Adolf, loc. cit.
151
Rika Ratna Permata, op. cit. hal 152.
152
Rudolf Bernhardt, op. cit. hal 359
3. Pasal 2 (4) Piagam PBB yang berbunyi: All Members shall refrain in their

international relations from the threat or use of force against the territorial

integrity or political independence of any state, or in any other manner

inconsistent with the Purpose of the United Nations; dan

4. Pasal 2 (7) Piagam PBB yang berbunyi: Nothing contained in the present Charter

shall authorize the United Nations to interfere in matters which are essentially

within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to

submit such matters to settlement under the present Charter; but this principle

shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter VIII.

Di samping itu akibat dari penggunan doktrin ini adalah penggunaan

kekerasan (use of force) untuk mengatasi keadaan yang dirasa mengancam negara

yang bersangkutan. Dalam hukum internasional diatur penggunaan kekerasan (use of

force) dalam dua hal yaitu : 153

1. Penggunaan kekerasan yang dikenal dengan kekerasan sepihak (unilateral forces)

di mana penggunaan kekerasan ini dilakukan oleh negara, individu atau

kelompok yang bertindak atas inisiatifnya sendiri. Contohnya adalah invasi

Amerika Serikat ke Irak tahun 2003 di mana Amerika Serikat tidak mendapatkan

persetujuan dan dukungan dari seluruh anggota Dewan Keamanan PBB.

2. Penggunaan kekerasan yang digunakan oleh organisasi internasional PBB.

Dikenal dengan penggunaan kekerasan bersama (collective use of force) yang

timbul akibat keputusan bersama. Contohnya adalah ketika pada tahun 1950 PBB

memberikan otoritas kepada Amerika Serikat untuk mengambil langkah-langkah

untuk membantu Korea Selatan, juga pada tahun 1990 dalam invasi Irak ke
153
Rika Ratna Permata, op. cit. hal 155.
Kuwait PBB mengambil langkah untuk pengamanan di bawah pimpinan Amerika

Serikat.

Pada intinya penerapan doktrin ini oleh Amerika Serikat menimbulkan pro

dan kontra di kalangan masyarakat internasional. Di satu sisi negara sebagai salah

satu subjek hukum internasional mempunyai hak untuk mempertahankan diri. Hak ini

juga diakui Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Piagam itu menetapkan hak negara

anggota untuk mempertahankan diri terhadap serangan bersenjata yang terjadi

kepadanya, namun di sisi lain negara juga mempunyai kewajiban tidak melakukan

perang atau menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan pertikaian

internasionalnya .154

Mengenai hak negara anggota untuk mempertahankan diri dari serangan

bersenjata yang terjadi kepadanya tercantum secara tegas dalam Pasal 51 Piagam

PBB berbunyi sebagai berikut:

Nothing in the present chapter shall impair the inherent of individual or


collective self-defense if an armed attack occurs against a Member of United
Nations, until the Security Council has taken the measures necessary to maintain
international peace and security. Measures taken by Members in the exercise of
this right of self defence shall be immidiately reported to the Security Council
and shall not in any way affect the authority and responsibility of the Security
Council under the present Charter to take at any time such action as it deems
necessary in order to maintain or restore international peace and security.

Sedangkan dalam Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB disebutkan bahwa dalam

menyelesaikan pertikaian internasionalnya suatu negara harus menggunakan cara-

cara damai. Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB berbunyi sebagai berikut: All Members shall

settle their international disputes by peaceful means in such manner that

international peace and security, and justice, are not endangered.

154
Sugeng Istanto, op. cit. hal. 30.
Pada Pasal Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB juga ditegaskan bahwa di dalam

hubungan internasional setiap anggota harus menahan diri dari mengancam dan

menggunakan kekerasan terhadap integritas dan kemerdekaan suatu negara lain. Pasal

2 ayat 4 Piagam PBB berbunyi sebagai berikut: All Members shall refrain in their

international relations from the threat or use of force against the territorial integrity

or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the

Purpose of the United Nations.

Anda mungkin juga menyukai