KARSINOMA NASOFARING
Oleh :
Enjel Santos Simanjuntak
Imelda Herman
Luqmanul Hakim
Perseptor :
dr. Hadjiman Yotosudarmo, Sp.THT
0
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB III
TINJUAN PUSTAKA
ANATOMI NASOFARING
Batas:2
- Anterior : koana / nares posterior, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri
- Posterior : setinggi columna vertebralis C1-2
- Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar
- Superior : basis crania, diliputi oleh mukosa dan fascia (os occipital & sphenoid)
- Lateral : fossa Rosenmulleri kanan dan kiri (dibentuk os maxillaris & sphenoidalis)
2
lendir daerah ini, tepatnya pada cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuaranya
saluran Eustachii yang menghubungkan liang telinga tengah dengan ruang faring.3
Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang
konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara
tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan
dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas
posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi
pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba eustachius sehingga
mengganggu ventilasi udara telinga tengah.4
Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena
dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle.
Nasofaring akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu
menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu. 4
3
Gambar 1 Anatomi nasofaring
HISTOLOGI NASOFARING4
4
Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia respiratory type. Setelah 10
tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel
nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa
membentuk invaginasi membentuk crypta. Stroma kaya akan jaringan limfoid dan
terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering
diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk
reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak
yang terdapat pada rongga hidung.
FISIOLOGI NASOFARING
Fungsi nasofaring :5
- Sebagai jalan udara pada respirasi
- Jalan udara ke tuba eustachii
- Resonator, memodifikasi suara yang dibentuk bekerja sama dengan mulut
- Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung
Secret dari nasopharing dapat bergerak ke bawah karena:
- Gaya gravitasi
- Gerakan menelan
- Gerakan silia (kinosilia)
- Gerakan usapan palatum molle
Nasopharing akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada
waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu seperti hak.
5
KARSINOMA NASOFARING
DEFINISI
Nasofaring adalah bagian dari tenggorokan paling atas, tepatnya di belakang
rongga hidung, berbentuk kubus, bagian depan nasofaring berbatasan dengan rongga
hidung, bagian atas perbatasan dengan dasar tengkorak, serta bagian bawah
merupakan langit-langit dan rongga mulut, di daerah nasofaring terdapat muara
saluran yang menghubungkan tenggorokan dan telinga (Tuba Eustachius) dan adenoid
yaitu jaringan limfoid yang sering membesar pada anak. Beberapa jaringan saraf yang
mengatur fungsi mata dan menelan serta lidah terdapat di sekitar nasofaring,
karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring
dengan prediksi di fossa rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring
merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di
Indonesia.3
EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni
4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di
seluruh Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun
1980 secara pathology based). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%)
penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi
anatomi FK Unair Surabaya (1973 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh
tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000
2002. Di RSCM Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin
6
Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, Palembang
25 kasus, dan 11 kasus di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam pengamatan
dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras
Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya. 1,2
Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-
3:1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada
hubungannya dengan faktor genetik, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain.
Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg
bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah insisden KNF meningkat sesuai
dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden tinggi KNF meningkat
setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun setelahnya. 6
ETIOLOGI
7
Terjadinya karsinoma nasofaring mungkin multifaktorial, proses
karsinogenesisnya mencakup banyak tahap. Faktor yang diduga terkait dengan
timbulnya karsinoma nasofaring adalah:
a) Kerentanan genetik
b) Epstein-Barr Virus
EBV adalah suatu virus yang sangat erat kaitannya dengan timbulnya
karsinoma nasofaring. Virus ini memiliki protein, yang diperkirakan
memengaruhi DNA sel sehingga mengalami mutasi, khususnya protooncogen
menjadi oncogen.
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, termasuk
asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu
masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat
hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas
karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain
tidak jelas12. Tingginya kadar nitrosamin diantaranya dimetilnitrosamin dan
dietilnitrosamin yang ada di dalam kandungan ikan asin Guangzhou juga
berhubungan13.
8
Orang-orang yang tinggal di Asia, Afrika bagian Utara, dan wilayah Artik
dengan karsinoma nasofairng mempunyai kebiasaan makan makanan seperti
ikan dan daging yang tinggi kadar garamnya. Sebaliknya, beberapa studi
menyatakan bahwa diet tinggi buah dan sayur mungkin menurunkan resiko
karsinoma nasofaring.
d) Faktor pekerjaan
PATOFISIOLOGI
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid
icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi
dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan
karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel
epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat
bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF,
yaitu :
1) Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam
limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel
kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara
berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2).
Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21
dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai
dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit
9
B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke
dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian,
ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang
terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu :
sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan
replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian
virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu
interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel
sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu
EBERs, EBNA, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam
mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B
menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik
virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel
adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi
menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam
amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1
menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan
regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.
10
Gambar 3 Patogenesis Ca nasofaring
2) Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif
menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA
(human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1)
kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450
2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan
karsinogen.
3) Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di
berbagai daerah di asia dan amerika utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan
makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine
(NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP) yang mungkin
11
merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan
perokok pasif yang terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan
yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara
mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.
MANIFESTASI KLINIS
12
paling sering dijumpai. Gejala dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena
mirip dengan infeksi saluran nafas atas.8
Gejala klinik pada stadium dini meliputi gejala hidung dan gejala telinga. Ini
terjadi karena tumor masih terbatas pada mukosa nasofaring. Tumor tumbuh mula-
mula di fossa Rosenmuller di dinding lateral nasofaring dan dapat meluas ke dinding
belakang dan atap nasofaring, menyebabkan permukaan mukosa meninggi.
Permukaan tumor biasanya rapuh sehingga pada iritasi ringan dapat tejadi perdarahan.
Timbul keluhan pilek berulang dengan ingus yang bercampur darah. Kadang-kadang
dapat dijumpai epistaksis. Tumor juga dapat menyumbat muara tuba eustachius,
sehingga pasien mengeluhkan rasa penuh di telinga, rasa berdenging kadang-kadang
disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini umumnya unilateral, dan
merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma nasofaring. Sehingga bila timbul
berulang-ulang dengan penyebab yang tidak diketahui perlu diwaspadai sebagai
karsinoma nasofaring.
Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas sehingga
pada umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan karena tumor primer
telah meluas ke organ sekitar nasofaring atau mengadakan metastasis regional ke
kelenjar getah bening servikal. Pada stadium ini gejala yang dapat timbul adalah
gangguan pada syaraf otak karena pertumbuhan ke rongga tengkorak dan pembesaran
kelenjar leher.5,6,17 Tumor yang meluas ke rongga tengkorak melalui foramen
laserasum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu syaraf otak III, IV dan VI.
Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak VI ( paresis abdusen) dengan
keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik ke arah sisi yang sakit. Penekanan
pada syaraf otak V memberi keluhan berupa hipestesi ( rasa tebal) pada pipi dan
wajah. Gejala klinik lanjut berupa ophtalmoplegi bila ketiga syaraf penggerak mata
terkena. Nyeri kepala hebat timbul karena peningkatan tekanan intrakranial 6,17.
Metastasis sel-sel tumor melalui kelenjar getah bening mengakibatkantimbulnya
pembesaran kelenjar getah bening bagian samping ( limfadenopati servikal).
Selanjutnya sel-sel kanker dapat mengadakan infiltrasi menembus kelenjar dan
mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan.
Limfadenopati servikal ini merupakan gejala utama yang dikeluhkan oleh pasien.
13
Gejala nasofaring yang pokok adalah :
Gejala Telinga
Oklusi Tuba Eustachius
Gejala Hidung
Epistaksis
Dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah yang dindingnya
rapuh, sehingga iritasi ringan pun dapat menyebabkan dinding
pembuluh darah tersebut pecah.
Terjadinya penyumbatan pada hidung akibat pertumbuhan tumor
dalam nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai rinitis
kronis.
Gejala telinga dan hidung di atas bukanlah gejala khas untuk Karsinoma
Nasofaring, karena dapat ditemukan pada berbagai kasus pada penyakit lain.
Namun jika gejala terus terjadi tanpa adanya respons yang baik pada
pengobatan, maka perlu dicurigai akan adanya penyebab lain yang ada pada
penderita; salah satu di antaranya adalah KNF.
Gejala Mata
Diplopia
14
Tumor sign :
Cranial sign :
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-
saraf kranialis.
Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase
secara hematogen.
Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
Kesukaran pada waktu menelan
Afoni
Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N.
IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:
Lidah
Palatum
Faring atau laring
M. Sternocleidomastoideus
M. trapezeus
DIAGNOSIS
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,
protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta
stadium tumor :
1. Anamnesis / pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala
KNF)
2. Pemeriksaan nasofaring
Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop
3. Biopsi nasofaring
15
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan
diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat
ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi),
atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung
atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi
topical dengan xylocain 10%.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind
biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri
konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan
dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihidung.
Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga
palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat
daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui
kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui
mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.
4. Pemeriksaan Patologi Anatomi / Histopatologi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik,
sedang dan buruk.
16
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe
ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel
skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup
jelas.
5. Pemeriksaan radiologi
17
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan
penunjang diagnostik yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologi
tersebut adalah:
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor
pada daerah nasofaring
Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan
sekitarnya.
a) Foto Polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam
mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
b) CT Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan
radiografi polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik,
sedangkan bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika
perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat
dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran
ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-
kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan CT Scan
dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya untuk
membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik
itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang,
dengan kriteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang
masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai apakah sudah
ada perluasan tumor ke jaringan sekitarnya, menilai ada tidaknya
destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intrakranial.
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam
mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:
18
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft
tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogram Antero-posterior daerah nasofaring
6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai
gejala lanjut KNF ini.
7. Pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid
antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam
mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta
mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III
dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer
berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA
sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan
ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang
didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160
STADIUM KANKER
Tis: Karsinoma insitu, dimana tumor hanya terdapat pada 1 lapisan jaringan.
T1: Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain-
lain).
T2: Tumor yang sudah meluas kedalam jaringan lunak dari rongga tenggorokan.
T3: Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (rongga hidung atau orofaring dsb).
T4: Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau
mengenai saraf-saraf otak.
19
TX: Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.
N1: Terdapat penbesaran tetapi homolateral dan tumor dalam kelenjar limfe
berukuran 6 cm atau lebih kecil.
N3: Tumor terdapat di kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm atau
tumor telah ditemukan didalam kelenjar limfe pada regio segitiga leher
N3A: Tumor dalam kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm.
20
- Stadium IIA : T2 dan N0 dan M0
- Stadium III : T1/T2 dan N1/N2 dan M0 atau T3 dan N0/N1/N2 dan M0
21
DIAGNOSIS BANDING
1. Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada
anak-anak hyperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan
terlihat suatu massa jaringan lunak pada atap nasofaring umunya berbatas
tegas dan umunya simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda-
tanda infiltrasi seprti tampak pada karsinoma.
2. Angiofibroma juenilis
Baisanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala
menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak
infiltratif. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap nasofaring yang
berbatas tegas. Proses dapat meluas seperti pada penyebaran karsinoma,
walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang hanay erosi saja karena
penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding
belakang sinus maksilaris yang dikenal sebgai antral sign. Karena tumor ini
kaya akan vascular maka arterigrafi carotis eksterna sangat diperlukan sebab
gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan
angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.
3. Tumor sinus sphenooidalis
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan
biasanya tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien datang untuk
pemeriksaan pertama.
4. Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga
menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. secara C.T. Scan,
pendesakan ruang para faring kearah medial dapat membantu mebedakan
kelompok tumor ini dengan KNF.
5. Tumor kelenjar parotis
Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak
agak dalam mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen
22
nasofaring. Pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring
kearah medial yang tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.
6. Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi
mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul
kesulitan untuk membedakanya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi
atau destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat membantu melihat apakah
ada pembesaran kelenjar cervical bagian atas karena chordoma umunya tidak
memperhatikan kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan KNF sering
bermetastasis ke kelenjar getah bening.
PENATALAKSANAAN
1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah
radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
23
Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan jaringan yang normal dari efek
samping radiasi.
24
- Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif pada neck
dissection
b Radiasi interna (brachytherapy) yang bisa berupa permanen implan atau
intracavitary barchytherapy.
Radiasi Interna/ brachyterapi bisa digunakan untuk :
Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk
menghindari terlalu banyak jaringan sehat yang terkena radiasi.
Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor
Pengobatan kasus kambuh.
25
2. Kemoterapi
Definisi Kemoterapi
26
duplikasi DNA. Sel yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih
sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat.
Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus (Cell
Cycle non Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel bahkan
dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja pada siklus
pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase spesific ).
Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus sel
disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat pembelahan sel
pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific. Obat-obat yang
tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini
merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada
fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin
(obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah
replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin
(fase G2, M), Vincristine (fase S, M).
Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah timbulnya
klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak sama. Apabila
resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen lain yang
diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda.
27
doxorubicin mengikat dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul
DNA dan dengan demikian menghambat produksi mRNA.
3. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine,
menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan
mitosis.
Menurut prioritas indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi menjadi dua
yaitu terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/ profilaksis). Terapi
utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan tidak dapat mandiri,
artinya terapi adjuvan tersebut harus meyertai terapi utamanya. Tujuannya adalah
membantu terapi utama agar hasilnya lebih sempurna.
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila
setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :
Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher
dibagi menjadi :
28
concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy
post definitive chemotherapy.
3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher
radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar
pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer
sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi.
(5)
Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-
kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi
dengan cara lain.
Prosedur follow up
tidak sepert keganasan kepala leher lainnya , KNF mempunyai resiko
terjadinya rekurensi, sehingga follow up jangka panjang diperlukan. Kekeambuhan
tersering terjadi kurang dari 5 tahun, 5 15 % kekambuhan sering kali terjadi antara
5-10 tahun. Sehingga pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah
terapi. Jadwal follow up yang dianjurkan sebagai berikut :
- Dalam 3 tahun pertama : setiap 3 bulan
- Dalam 3-5 tahun : setiap 6 bulan
- Setelah 5 tahun : setiap setahun sekali untuk seumur hidup
KOMPLIKASI
1. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus
kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II.yang memberikan
kelainan :
2. Retroparidean sindrom
29
Tumor tumbuh ke depan kea rah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke
sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing
dan retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N.
IX, N. X, N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala :
3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang,
hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam
penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan
metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke
hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %. 3,15,16
PROGNOSIS
Stadium I : 85 %
Stadium II : 75 %
Stadium III : 45 %
Stadium IV : 10 %
Kira-kira sepertiga penderita meninggal dunia karena metastasis jauh yang dapat
ditemukan di tulang, paru dan hati.3
PENCEGAHAN
30
Adapun beberapa cara pencegahan yang dapat dilakukan yaitu :
Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus
Epstein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di
daerah dengan resiko tinggi.
Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan
keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan
kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.
Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa
yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara
lebih dini.
DAFTAR PUSTAKA
31
10. Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menuju terapi
kombinasi/kemoradioterapi.
11. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal
Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.
12. Myers EN, Suen JY. Cancer of the head and neck. 2nd ed. New York : Churchill
Livingstone, 1989. h. 495-507.
13. Ramsi Lutan, Nasution YU. Karsinoma nasofaring. Dalam : Program & abstrak
PITIAPI. Medan : FK USU, 2001.h. 9-25.
14. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi.
Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82.
15. Susworo. Dalam : Kanker Nasofaring Epidemologi dan Pengobatan Mutakhir.
Cermin Dunia Kedokteran. 2004 : 16-20
16. Muhammad Yunus, Ramsi Lutan. Efek samping radioterapi pada pengobatan
karsinoma nasofaring. Referat. Medan : FK USU, 2000.h. 1-16.
32