Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

KARSINOMA NASOFARING

Oleh :
Enjel Santos Simanjuntak
Imelda Herman
Luqmanul Hakim

Perseptor :
dr. Hadjiman Yotosudarmo, Sp.THT

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT UMUM AHMAD YANI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2017

0
BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak


dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring
termasuk dalam lima besar tumor ganas , dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor
ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan
didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama ( KNF mendapat persentase
hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan
sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring
dalam persentase rendah). Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada
tahun 1980 secara pathology based mendapatkan angka prevalensi karsinoma
nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun
di seluruh Indonesia.1,2

Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu


masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas
serta letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg
bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada
leher sebagai gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis (
angka bertahan hidup 5 tahun) semakin buruk. Dengan melihat hal tersebut,
diharapkan dokter dapat berperan dalam pencegahan, deteksi dini, terapi maupun
rehabilitasi dari karsinoma nasofaring ini agar terapi yang diberikan bisa lebih cepat
dan tepat sehingga prognosis pun bias bergeser ke arah yang lebih baik.1,3

1
BAB III

TINJUAN PUSTAKA

ANATOMI NASOFARING

Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas, belakang


dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Ke anterior berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi, sehingga
sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Ke arah posterior dinding
nasofaring melengkung ke supero-anterior dan terletak di bawah os sfenoid,
sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre
vertebralis dan otot-otot dinding faring.4

Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius dimana


orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran
tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan
mengganggu pendengaran. Ke arah postero-superior dari torus tubarius terdapat fossa
Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring. Pada atap
nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak
sub mukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring umumnya
tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid.Di nasofaring terdapat
banyak saluran getah bening yang terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar
retrofaring Krause (kelenjar Rouviere).3,4

Batas:2
- Anterior : koana / nares posterior, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri
- Posterior : setinggi columna vertebralis C1-2
- Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar

- Inferior : dinding atas palatum molle

- Superior : basis crania, diliputi oleh mukosa dan fascia (os occipital & sphenoid)
- Lateral : fossa Rosenmulleri kanan dan kiri (dibentuk os maxillaris & sphenoidalis)

Dorsal dari torus tubarius didapati cekungan yang disebut fossa


Rosenmulleri, Nasofaring merupakan bagian nasal dari faring yang terletak posterior
dari kavum nasi. Yang disebut kanker nasofaring adalah kanker yang terjadi di selaput

2
lendir daerah ini, tepatnya pada cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuaranya
saluran Eustachii yang menghubungkan liang telinga tengah dengan ruang faring.3

Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang
konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara
tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan
dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas
posteriornya terletak foramen laserum. Pada daerah fossa ini sering terjadi
pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara tuba eustachius sehingga
mengganggu ventilasi udara telinga tengah.4

Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina


faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini
mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis,
kanalis karotis dan kanalis hipoglossus. Struktur ini penting diketahui karena
merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial.4

Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena
dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle.
Nasofaring akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu
menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu. 4

3
Gambar 1 Anatomi nasofaring

Struktur penting yang ada di Nasofaring :4

Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva


Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva yang
disebabkankarena cartilago tuba auditiva
Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yangdis
ebabkan karena musculus levator veli palatini.
Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan
penonjolandari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka
ostium faringeumtuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan.
Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat
predileksiKarsinoma Nasofaring.
Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid
jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.
Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dano
ropharing karena musculus sphincterpalatopharing
Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei

HISTOLOGI NASOFARING4

4
Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia respiratory type. Setelah 10
tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel
nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa
membentuk invaginasi membentuk crypta. Stroma kaya akan jaringan limfoid dan
terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering
diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk
reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak
yang terdapat pada rongga hidung.

Gambar 2 Sel epitel transisional, pelapis nasofaring

FISIOLOGI NASOFARING

Fungsi nasofaring :5
- Sebagai jalan udara pada respirasi
- Jalan udara ke tuba eustachii
- Resonator, memodifikasi suara yang dibentuk bekerja sama dengan mulut
- Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung
Secret dari nasopharing dapat bergerak ke bawah karena:
- Gaya gravitasi
- Gerakan menelan
- Gerakan silia (kinosilia)
- Gerakan usapan palatum molle
Nasopharing akan tertutup bila palatum molle melekat ke dinding posterior pada
waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata tertentu seperti hak.

5
KARSINOMA NASOFARING

DEFINISI
Nasofaring adalah bagian dari tenggorokan paling atas, tepatnya di belakang
rongga hidung, berbentuk kubus, bagian depan nasofaring berbatasan dengan rongga
hidung, bagian atas perbatasan dengan dasar tengkorak, serta bagian bawah
merupakan langit-langit dan rongga mulut, di daerah nasofaring terdapat muara
saluran yang menghubungkan tenggorokan dan telinga (Tuba Eustachius) dan adenoid
yaitu jaringan limfoid yang sering membesar pada anak. Beberapa jaringan saraf yang
mengatur fungsi mata dan menelan serta lidah terdapat di sekitar nasofaring,
karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring
dengan prediksi di fossa rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring
merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di
Indonesia.3

Merupakan kanker yang terdapat pada nasopharing, berada di antara belakang


hidung dan esophagus, kanker ini merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher
yang terbanyak ditemukan di Indonesia, hampir 60% tumor ganas daerah kepala dan
leher merupakan kanker nasopharing, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan
paranasal (18%), laring (16%), rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase
rendah. Berdasarkan data Laboratorium Patologi Anatomik tumor ganas nasofaring
selalu berada dalam kedudukan 5 besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama
tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening, dan tumor kulit.2

EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni
4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di
seluruh Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun
1980 secara pathology based). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%)
penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi
anatomi FK Unair Surabaya (1973 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh
tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000
2002. Di RSCM Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin

6
Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, Palembang
25 kasus, dan 11 kasus di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam pengamatan
dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras
Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya. 1,2

Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan


biologi dari penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union
against Cancer) dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di Singapura tahun
1964, dan dari investigasi dalam empat dekade terakhir telah ditemukan banyak
temuan penting di semua aspek. KNF mempunyai gambaran epidemiologi yang unik,
dalam daerah yang jelas, ras, serta agregasi family.1

KNF mempunyai daerah distribusi endemik yang tidak seimbang antara


berbagai Negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih
rendah dari 1/105 di semua area. Insisde. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina
bagian selatan (termasuk Hongkong), dan insiden inni tertinggi di provinsi
Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000 penduduk. Berdasarkan data IARC
(International Agency for Research on Cancer) tahun 2002 ditemukan sekitar 80,000
kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000 kasus meninggal dengan jumlah
penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak kasus pada penduduk
local dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika utara dan timur
tengah.1,6

Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-
3:1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada
hubungannya dengan faktor genetik, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain.
Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg
bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah insisden KNF meningkat sesuai
dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden tinggi KNF meningkat
setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun setelahnya. 6

ETIOLOGI

7
Terjadinya karsinoma nasofaring mungkin multifaktorial, proses
karsinogenesisnya mencakup banyak tahap. Faktor yang diduga terkait dengan
timbulnya karsinoma nasofaring adalah:

a) Kerentanan genetik

Walaupun karsinoma nasofaring bukan tumor genetik, kerentanan terhadap


kanker nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol ras
yang banyak sekali menderitanya adalah bangsa China dan memiliki
fenomena agregasi familial. Anggota keluarga yang menderita karsinoma
nasofaring cendrung juga menderita karsinoma nasofaring. Penyebab
karsinoma nasofaring ini belum diketahui apakah karsinoma nasofaring
dikarenakan oleh gen yang diwariskan. Faktor lingkungan yang
mempengaruhi ( seperti diet makanan yang sama atau tinggal di lingkungan
yang sama), atau beberapa kombinasi diantarnya juga ikut mendukung
timbulnya karsinoma nasofaring. Analisis korelasi menunjukkan gen (Human
Leukocyte Antigen) HLA dan gen pengode enzime sitokorm p4502E
(CYP2EI) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap kanker nasofaring,
Mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar kanker nasofaring.

b) Epstein-Barr Virus

EBV adalah suatu virus yang sangat erat kaitannya dengan timbulnya
karsinoma nasofaring. Virus ini memiliki protein, yang diperkirakan
memengaruhi DNA sel sehingga mengalami mutasi, khususnya protooncogen
menjadi oncogen.

c) Faktor ligkungan dan diet

Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, termasuk
asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu
masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat
hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas
karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain
tidak jelas12. Tingginya kadar nitrosamin diantaranya dimetilnitrosamin dan
dietilnitrosamin yang ada di dalam kandungan ikan asin Guangzhou juga
berhubungan13.

8
Orang-orang yang tinggal di Asia, Afrika bagian Utara, dan wilayah Artik
dengan karsinoma nasofairng mempunyai kebiasaan makan makanan seperti
ikan dan daging yang tinggi kadar garamnya. Sebaliknya, beberapa studi
menyatakan bahwa diet tinggi buah dan sayur mungkin menurunkan resiko
karsinoma nasofaring.

d) Faktor pekerjaan

Faktor yang juga ikut berpengaruh adalah pekerjaan yang banyak


berhubungan dengan debu nikel, debu kayu (pada industri mebel atau
penggergajian kayu), atau pekerjaan pembuat sepatu. Atau zat yang sering
kontak dengan zat yang dianggap karsinogen adalah antara lain: Benzopyrene,
Bensoanthracene, gas kimia, asap industri, dan asap kayu.

e) Radang kronis daerah nasofaring

Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan


terhadap karsinogen lingkungan.7

PATOFISIOLOGI
Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid
icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi
dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan
karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel
epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat
bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF,
yaitu :
1) Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam
limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel
kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara
berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2).
Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21
dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai
dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit

9
B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke
dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian,
ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang
terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu :
sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan
replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi sel dapat mengakibatkan kematian
virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu
interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel
sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu
EBERs, EBNA, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam
mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B
menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik
virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel
adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi
menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam
amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1
menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan
regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.

10
Gambar 3 Patogenesis Ca nasofaring

2) Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif
menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA
(human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1)
kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450
2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan
karsinogen.

3) Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di
berbagai daerah di asia dan amerika utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan
makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine
(NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP) yang mungkin

11
merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan
perokok pasif yang terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan
yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara
mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.

Gambar 4. Patofisiologi Ca nasofaring

MANIFESTASI KLINIS

Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari nasofaring


termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke dalam ataupun keluar
nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau posterosuperior dari dasar tulang tengkorak
atau palatum, rongga hidung atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah
bening servikal. Metastase jauh dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan
hati (jarang). Gejala yang akan timbul tergantung pada daerah yang terkena. 1,2 Sekitar
separuh pasien memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar 10% asimtomatik.
Pembesaran dari kelenjar getah bening leher atas yang nyeri merupakan gejala yang

12
paling sering dijumpai. Gejala dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena
mirip dengan infeksi saluran nafas atas.8
Gejala klinik pada stadium dini meliputi gejala hidung dan gejala telinga. Ini
terjadi karena tumor masih terbatas pada mukosa nasofaring. Tumor tumbuh mula-
mula di fossa Rosenmuller di dinding lateral nasofaring dan dapat meluas ke dinding
belakang dan atap nasofaring, menyebabkan permukaan mukosa meninggi.
Permukaan tumor biasanya rapuh sehingga pada iritasi ringan dapat tejadi perdarahan.
Timbul keluhan pilek berulang dengan ingus yang bercampur darah. Kadang-kadang
dapat dijumpai epistaksis. Tumor juga dapat menyumbat muara tuba eustachius,
sehingga pasien mengeluhkan rasa penuh di telinga, rasa berdenging kadang-kadang
disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini umumnya unilateral, dan
merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma nasofaring. Sehingga bila timbul
berulang-ulang dengan penyebab yang tidak diketahui perlu diwaspadai sebagai
karsinoma nasofaring.

Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas sehingga
pada umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan karena tumor primer
telah meluas ke organ sekitar nasofaring atau mengadakan metastasis regional ke
kelenjar getah bening servikal. Pada stadium ini gejala yang dapat timbul adalah
gangguan pada syaraf otak karena pertumbuhan ke rongga tengkorak dan pembesaran
kelenjar leher.5,6,17 Tumor yang meluas ke rongga tengkorak melalui foramen
laserasum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu syaraf otak III, IV dan VI.
Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak VI ( paresis abdusen) dengan
keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik ke arah sisi yang sakit. Penekanan
pada syaraf otak V memberi keluhan berupa hipestesi ( rasa tebal) pada pipi dan
wajah. Gejala klinik lanjut berupa ophtalmoplegi bila ketiga syaraf penggerak mata
terkena. Nyeri kepala hebat timbul karena peningkatan tekanan intrakranial 6,17.
Metastasis sel-sel tumor melalui kelenjar getah bening mengakibatkantimbulnya
pembesaran kelenjar getah bening bagian samping ( limfadenopati servikal).
Selanjutnya sel-sel kanker dapat mengadakan infiltrasi menembus kelenjar dan
mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan.
Limfadenopati servikal ini merupakan gejala utama yang dikeluhkan oleh pasien.

13
Gejala nasofaring yang pokok adalah :

Gejala Telinga
Oklusi Tuba Eustachius

Pada umumnya bermula pada fossa Rossenmuller. Pertumbuhan tumor


dapat menekan tuba eustachius hingga terjadi oklusi pada muara tuba.
Hal ini akan mengakibatkan gejala berupa mendengung (Tinnitus)
pada pasien. Gejala ini merupakan tanda awal pada KNF.

Oklusi Tuba Eustachius dapat berkembang hingga terjadi Otitis Media.

Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran menurun,


dan dengan tes rinne dan webber, biasanya akan ditemukan tuli
konduktif

Gejala Hidung
Epistaksis
Dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah yang dindingnya
rapuh, sehingga iritasi ringan pun dapat menyebabkan dinding
pembuluh darah tersebut pecah.
Terjadinya penyumbatan pada hidung akibat pertumbuhan tumor
dalam nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai rinitis
kronis.

Gejala telinga dan hidung di atas bukanlah gejala khas untuk Karsinoma
Nasofaring, karena dapat ditemukan pada berbagai kasus pada penyakit lain.
Namun jika gejala terus terjadi tanpa adanya respons yang baik pada
pengobatan, maka perlu dicurigai akan adanya penyebab lain yang ada pada
penderita; salah satu di antaranya adalah KNF.

Gejala Mata
Diplopia

Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia


(penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen
laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena
chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan.

14
Tumor sign :

Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda penyebaran atau


metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.

Cranial sign :

Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-
saraf kranialis.

Gejalanya antara lain :

Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase
secara hematogen.
Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
Kesukaran pada waktu menelan
Afoni
Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N.
IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:
Lidah
Palatum
Faring atau laring
M. Sternocleidomastoideus
M. trapezeus

Pada penderita KNF, sering ditemukan adanya tuli konduktif bersamaan


dengan elevasi dan imobilitas dari palatum lunak serta adanya rasa nyeri
pada wajah dan bagian lateral dari leher (akibat gangguan pada nervus
trigeminal). Ketiga gejala ini jika ditemukan bersamaan, maka disebut
Trotters Triad.9,10,11

DIAGNOSIS
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,
protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta
stadium tumor :
1. Anamnesis / pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala
KNF)
2. Pemeriksaan nasofaring
Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop
3. Biopsi nasofaring

15
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan
diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat
ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi),
atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung
atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi
topical dengan xylocain 10%.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind
biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri
konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan
dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihidung.
Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga
palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat
daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui
kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui
mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.
4. Pemeriksaan Patologi Anatomi / Histopatologi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :
Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell
Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik,
sedang dan buruk.

Gambar 2. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma11

16
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe
ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel
skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup
jelas.

Gambar 3. Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma


Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada
tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler,
berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya
batas sel tidak terlihat dengan jelas.

Gambar 4. Undifferentiated Carcinoma terdiri dari sel-selyang


membentuk sarang-sarang padat (Regaud type)

Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang


sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi
tidak begitu radiosensitif.

5. Pemeriksaan radiologi

17
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan
penunjang diagnostik yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologi
tersebut adalah:
Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor
pada daerah nasofaring
Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan
sekitarnya.

a) Foto Polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam
mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft


tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerah nasofaring
Tomogram Antero-posterior daerah nasofaring

b) CT Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan
radiografi polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik,
sedangkan bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika
perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat
dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran
ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-
kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan CT Scan
dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya untuk
membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik
itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang,
dengan kriteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang
masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai apakah sudah
ada perluasan tumor ke jaringan sekitarnya, menilai ada tidaknya
destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intrakranial.

Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam
mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

18
Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft
tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerha nasofaring
Tomogram Antero-posterior daerah nasofaring

6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lobang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai
gejala lanjut KNF ini.

7. Pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid
antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam
mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta
mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III
dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer
berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA
sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan
ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang
didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160

STADIUM KANKER

Stadium berdasarkan kriteria American Joint Committee On Cancer (AJCC 2002)

T = Tumor primer, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan


perluasannya

T0: Tidak tampak tumor.

Tis: Karsinoma insitu, dimana tumor hanya terdapat pada 1 lapisan jaringan.

T1: Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain-
lain).

T2: Tumor yang sudah meluas kedalam jaringan lunak dari rongga tenggorokan.

T3: Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (rongga hidung atau orofaring dsb).

T4: Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau
mengenai saraf-saraf otak.

19
TX: Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.

N = Nodule, menggambarkan Pembesaran kelenjar getah bening regional

NX: Pembesaran kelenjar reginol tidak dapat dinilai

N0: Tidak ada pembesaran.

N1: Terdapat penbesaran tetapi homolateral dan tumor dalam kelenjar limfe
berukuran 6 cm atau lebih kecil.

N2: Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dengan ukuran tumor 6 cm


atau lebih kecil.

N3: Tumor terdapat di kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm atau
tumor telah ditemukan didalam kelenjar limfe pada regio segitiga leher

N3A: Tumor dalam kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm.

N3B: Tumor ditemukan diluar segitiga leher

M = Metastasis, menggambarkan metastase jauh

M0: Tidak ada metastesis jauh.

M1: Terdapat Metastesis jauh.

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :


Stadium I : T1 N0 M0
Stadium II : T2 N0 M0
Stadium III : T3 N0 M0
T1,T2,T3 N1 M0
Stadium IV : T4 N0,N1 M0
Tiap T N2,N3 M0
Tiap T Tiap N M12
- Stadium 0 : Tis dengan N0 dan M0

- Stadium I : T1 dan N0 dan M0

20
- Stadium IIA : T2 dan N0 dan M0

- Stadium IIB : T1 atau T2 dan N1 dan M0

- Stadium III : T1/T2 dan N1/N2 dan M0 atau T3 dan N0/N1/N2 dan M0

- Stadium IVA : T4 dan N0/N1 dan M0 atau T dan N2 dan M0

- Stadium IVB : T1/T2/T3/T4 dan N3A/N3B dan M0

- Stadium IVC : T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1.

21
DIAGNOSIS BANDING
1. Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada
anak-anak hyperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan
terlihat suatu massa jaringan lunak pada atap nasofaring umunya berbatas
tegas dan umunya simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda-
tanda infiltrasi seprti tampak pada karsinoma.
2. Angiofibroma juenilis
Baisanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala
menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak
infiltratif. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap nasofaring yang
berbatas tegas. Proses dapat meluas seperti pada penyebaran karsinoma,
walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang hanay erosi saja karena
penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding
belakang sinus maksilaris yang dikenal sebgai antral sign. Karena tumor ini
kaya akan vascular maka arterigrafi carotis eksterna sangat diperlukan sebab
gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan
angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.
3. Tumor sinus sphenooidalis
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan
biasanya tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien datang untuk
pemeriksaan pertama.
4. Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga
menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. secara C.T. Scan,
pendesakan ruang para faring kearah medial dapat membantu mebedakan
kelompok tumor ini dengan KNF.
5. Tumor kelenjar parotis
Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak
agak dalam mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen

22
nasofaring. Pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring
kearah medial yang tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.
6. Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi
mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul
kesulitan untuk membedakanya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi
atau destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat membantu melihat apakah
ada pembesaran kelenjar cervical bagian atas karena chordoma umunya tidak
memperhatikan kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan KNF sering
bermetastasis ke kelenjar getah bening.

7. Menigioma basis kranii


Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambaranya kadang-kadang
meyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii.
Gambaran CT meningioma cukup karakteristik yaitu sedikit hiperdense
sebelum penyuntikan zat kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah
pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan arteiografi juga sangat
membantu diagnosis tumor ini.

PENATALAKSANAAN

1. Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah
radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.

Definisi Terapi Radiasi :


Terapi radiasi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang dapat
menembus jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma.

Persyaratan Terapi Radiasi


Penyembuhan total terhadap karsinoma nasofaring apabila hanya menggunakan
terapi radiasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
Belum didapatkannya sel tumor di luar area radiasi
Tipe tumor yang radiosensitif
Besar tumor yang kira-kira radiasi mampu mengatasinya
Dosis yang optimal.
Jangka waktu radiasi tepat

23
Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan jaringan yang normal dari efek
samping radiasi.

Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya sebelum


kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tak teraba diberikan radiasi sebesar
5000 cGy, < 2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan
bila lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi selama
5,5 minggu. Alat yang biasanya dipakai ialah cobalt
60,megavoltageorthovoltage.

Sifat Terapi Radiasi

Terapi radiasi sendiri sifatnya adalah :

Merupakan terapi yang sifatnya lokal dan regional

Mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa


mendestrukasi sel tumor

Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel


tumor.

Ionisasi yang ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor.

Memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran


tumor sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya.

Berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari


tumornya.

Walaupun pemberian radiasi bersifat lokal dan regional namun dapat


mengakibatkan defek imun secara general.

Jenis Pemberian Terapi Radiasi


Terapi radiasi pada karsinoma nasofaring bisa diberikan sebagai :
a Radiasi eksterna dengan berbagai macam teknik fraksinasi.
Radiasi eksterna dapat digunakan sebagai :

- pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar


getah bening
- pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah bening
- Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi

24
- Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif pada neck
dissection
b Radiasi interna (brachytherapy) yang bisa berupa permanen implan atau
intracavitary barchytherapy.
Radiasi Interna/ brachyterapi bisa digunakan untuk :
Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk
menghindari terlalu banyak jaringan sehat yang terkena radiasi.
Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor
Pengobatan kasus kambuh.

Komplikasi radioterapi dapat berupa :


a) Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
- Xerostomia (Mual, muntah)
- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang
diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum
- Anoreksi
- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar parotis
yang terkena radiasi)
- Eritema
b) Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
- Kontraktur
- Penurunan pendengaran
- Gangguan pertumbuhan
-
Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum
dan selama pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu
diawasi oleh dokter. Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi
geligi, memberikan informasi kepada pasien mengenai metode pembersihan
ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk mengurangi keluhan penderita juga
dapat diberikan obat kumur yang mengandung adstringens, misalnya bactidol,
efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak tanda-tanda
moniliasis diberikan antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan
yang mengandung anestesi lokal seperti FG troches bisa mengurangi keluhan
nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea, anorexia dan sebgainya bisa
diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan ini seperti avomit,
avopreg. 15,16

25
2. Kemoterapi

Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat


meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan
kambuh.

Definisi Kemoterapi

Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat pertumbuhan


kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti kaker ini dapat digunakan
sebagai terapi tunggal (active single agents), tetapi kebanyakan berupa kombinasi
karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-
sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya.
Dosis obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping menurun.

Obat-Obat Sitostatika yang direkomendasi FDA untuk Kanker Kepala Leher

Beberapa sitostatika yang mendapat rekomendasi dari FDA (Amerika) untuk


digunakan sebagai terapi keganasan didaerah kepala dan leher yaitu Cisplatin,
Carboplatin, Methotrexate, 5-fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea, Doxorubicin,
Cyclophosphamide, Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan Paclitaxel. Akhir-akhir
ini dilaporkan penggunaan Gemcitabine untuk keganasan didaerah kepala dan leher.

Sensitivitas Kemoterapi terhadap Karsinoma Nasofaring

Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO I dan


sebagian WHO II yang dianggap radioresisten. Secara umum karsinoma nasofaring
WHO-3 memiliki prognosis paling baik sebaliknya karsinoma nasofaring WHO-1
yang memiliki prognosis paling buruk.

Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan


(division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut siklus sel (cell cycle)
merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika. Hampir semua sitostatika
mempengaruhi proses yang berhubungan dengan sel aktif seperti mitosis dan

26
duplikasi DNA. Sel yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih
sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat.

Berdasar siklus sel kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus (Cell
Cycle non Spesific ) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel bahkan
dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja pada siklus
pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase spesific ).

Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus sel
disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat pembelahan sel
pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific. Obat-obat yang
tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate dan 5-FU, obat-obat ini
merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada
fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin
(obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah
replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2), Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin
(fase G2, M), Vincristine (fase S, M).

Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah timbulnya
klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak sama. Apabila
resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen lain yang
diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda.

Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi

Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis bermanfaat, agaknya


bekerja dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan esensial untuk sintesis dan
atau fungsi asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara kerja obat , zat yang berguna
pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut :

1. Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai


contoh MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan
untuk sintesis timidin.
2. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil
seperti CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian
menahan replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan

27
doxorubicin mengikat dan menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul
DNA dan dengan demikian menghambat produksi mRNA.
3. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine,
menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan
mitosis.

Cara Pemberian Kemoterapi

Secara umum kemoterapi bisa digunakan dengan 4 cara kerja yaitu :

Sebagai neoadjuvan yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan


radiasi.
Sebagai terapi kombinasi yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan
radiasi pada kasus karsinoma stadium lanjut.
Sebagai terapi adjuvan yaitu sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan
atau radiasi
Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan terutama
pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis hematologi
(leukemia dan limfoma).

Menurut prioritas indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi menjadi dua
yaitu terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/ profilaksis). Terapi
utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan tidak dapat mandiri,
artinya terapi adjuvan tersebut harus meyertai terapi utamanya. Tujuannya adalah
membantu terapi utama agar hasilnya lebih sempurna.

Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila
setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :

kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif


kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.
pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh).

Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher
dibagi menjadi :

neoadjuvant atau induction chemotherapy

28
concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy
post definitive chemotherapy.

3. Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher
radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar
pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer
sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi.
(5)
Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-
kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi
dengan cara lain.
Prosedur follow up
tidak sepert keganasan kepala leher lainnya , KNF mempunyai resiko
terjadinya rekurensi, sehingga follow up jangka panjang diperlukan. Kekeambuhan
tersering terjadi kurang dari 5 tahun, 5 15 % kekambuhan sering kali terjadi antara
5-10 tahun. Sehingga pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah
terapi. Jadwal follow up yang dianjurkan sebagai berikut :
- Dalam 3 tahun pertama : setiap 3 bulan
- Dalam 3-5 tahun : setiap 6 bulan
- Setelah 5 tahun : setiap setahun sekali untuk seumur hidup

KOMPLIKASI
1. Petrosphenoid sindrom

Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus
kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II.yang memberikan
kelainan :

Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri


pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang
terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.

Ptosis palpebra ( N. III )

Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )

2. Retroparidean sindrom

29
Tumor tumbuh ke depan kea rah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke
sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing
dan retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N.
IX, N. X, N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala :

N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta


gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah

N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai


gangguan respirasi dan saliva

N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese palatum


mole

N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan


fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.

3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai
organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang,
hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam
penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan
metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masing-masing 20 %, sedangkan ke
hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %. 3,15,16

PROGNOSIS

Prognosis hidup setelah 5 tahun berada untuk tiap tingkatan/stadium tumor

Stadium I : 85 %
Stadium II : 75 %
Stadium III : 45 %
Stadium IV : 10 %

Kira-kira sepertiga penderita meninggal dunia karena metastasis jauh yang dapat
ditemukan di tulang, paru dan hati.3

PENCEGAHAN

30
Adapun beberapa cara pencegahan yang dapat dilakukan yaitu :
Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus
Epstein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di
daerah dengan resiko tinggi.
Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan
keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan
kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.
Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa
yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara
lebih dini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Averdi Roezin, Anida Syafril. Karsinoma nasofaring. Dalam : Efiaty A. Soepardi


(ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ketiga. Jakarta : FK
UI, 1997. h. 149-53.
2. Ballenger JJ. Otorhinolaryngology : head and neck surgery. 15th ed.
Philadelphia : Williams & Wilkins, 1996.p. 323-36.
3. Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher.13 th Ed. Jilid
1. Alih bahasa staf ahli bagian THT RSCM-FK UI. Jakarta : Binarupa Aksara,
1994.h. 391-6.
4. Damayanti Soetjipto. Karsinoma nasofaring.Dalam : Nurbaiti Iskandar
(ed).Tumor telinga-hidung-tenggorok diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta :
FK UI,1989.h. 71- 84.
5. Davidson. Neck Masses : Differential Diagnosis and Evaluation. San Diego :
University of California. 2009
6. Farid W, Ramsi L. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Medan : FK USU,
1998.h. 1-20.
7. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat.
Medan: FK USU,2002.h. 1-11.
8. Hasibuan R, A. H. pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h. 70-81.
9. Iskandar N, Munir M, Soetjiepto D. Tumor Ganas THT. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 1989.

31
10. Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menuju terapi
kombinasi/kemoradioterapi.
11. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal
Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.
12. Myers EN, Suen JY. Cancer of the head and neck. 2nd ed. New York : Churchill
Livingstone, 1989. h. 495-507.
13. Ramsi Lutan, Nasution YU. Karsinoma nasofaring. Dalam : Program & abstrak
PITIAPI. Medan : FK USU, 2001.h. 9-25.
14. Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi.
Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82.
15. Susworo. Dalam : Kanker Nasofaring Epidemologi dan Pengobatan Mutakhir.
Cermin Dunia Kedokteran. 2004 : 16-20
16. Muhammad Yunus, Ramsi Lutan. Efek samping radioterapi pada pengobatan
karsinoma nasofaring. Referat. Medan : FK USU, 2000.h. 1-16.

32

Anda mungkin juga menyukai