Anda di halaman 1dari 32

Presentasi Kasus Rehabilitasi Medik

SEORANG LAKI-LAKI 35 TAHUN DENGAN POST AMPUTATION


BELOW ELBOW SINISTRA DAN ESCAR REGIO WRIST JOIN
DEXTRA ET CAUSA COMBUTIO LISTRIK

Oleh:
Dessy Tri Pratiwi
G9911112046

Pembimbing:
Dr. dr. Noer Rachma, Sp.KFR
dr. Trilastiti Widowati, Sp.KFR, M.Kes
dr. Desy Kurniawati Tandiyo, Sp.KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR.MOEWARDI
SURAKARTA
2012
BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh bangunan
Alamat : Randusari Ngadirojo Kidul, Wonogiri
Tanggal Periksa : 16 November 2012
No RM : 01157147
2. Keluhan Utama
Luka setelah tersengat listrik yang semakin memburuk
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Dua minggu SMRS saat pasien sedang bekerja di pembangunan
sebuah gedung, ke dua tangan pasien memegang kawat yang teraliri listrik.
Pada saat memegang kawat timbul bunga api yang membakar kedua
pergelangan tangan tangan dan celana pasien. Pasien tidak mengalami
pingsan maupun kejang. Kemudian oleh penolong di bawa ke RS Margo
Wonogiri, diberi penanganan berupa injeksi obat-obatan dan pembersihan
luka. Pasien sempat mondok selama 7 hari dan akhirnya pasien APS.
Kemudian pasien merawat luka tersebut sendiri di rumah selama 7 hari
namun kondisi luka semakin memburuk. Jari-jari tangan kiri terasa dingin
dan pucat serta sulit digerakan. Pasien berobat ke RSUD Wonogiri dan
dirujuk ke RSDM dengan diagnosis post combustio. Di RSDM pasien diberi
obat-obatan, dibersihkan luka, di foto rontgen, dan mondok di bangsal.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat diabetes : disangkal
Riwayat trauma lain : disangkal

2
Riwayat penyakit lain : disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok : (+) satu hari 4-5 batang rokok
Riwayat minum alkohol : disangkal
Riwayat minum obat-obatan : disangkal
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang buruh bangunan. Pasien berobat di RSUD Dr.
Moewardi dengan fasilitas Jamkesmas.

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan umum sedang, GCS E4V5M6, gizi kesan cukup
2. Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 70x / menit, isi cukup, irama teratur
Respirasi : 20x / menit
Suhu : 36,3 C per aksiler
3. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venektasi (-), spider
naevi (-), striae (-), hiperpigmentasi (-)
4. Kepala
Bentuk kepala mesochepal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut
hitam
5. Mata
Conjunctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan tak
lansung (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-)
6. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
7. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)

3
8. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah simetris, lidah tremor (-),
stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-).
9. Leher
Simetris, trakea di tengah, JVP tidak meningkat, kelenjar getah bening tidak
membesar, nyeri tekan (-), benjolan (-)
10. Thorax
Retraksi (-), simetris
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi Jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II intensitas normal, reguler,
bising (-)
Paru
Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), suara tambahan (-/-)
11. Trunk
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), oedem (-)
Perkusi : nyeri ketok kostovertebrae (-)
12. Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Tympani, pekak beralih (-)
13. Ektremitas
Superior sinistra
Inspeksi : post amputasi below elbow, tertutup perban elastik
Palpasi : nyeri tekan sekitar luka (+)

4
Superior dextra
Regio wrist
Inspeksi : tertutup perban
Palpasi : nyeri tekan (-)
Inferior sinistra
Inspeksi : bekas luka bakar ringan
Palpasi : nyeri tekan (-)
Inferior dextra
Dalam batas normal
14. Status Psikiatri
Deskripsi Umum
1. Penampilan : Laki-laki, tampak sesuai umur, perawatan diri baik
2. Kesadaran : Kuantitatif : compos mentis
Kualitatif : baik
3. Perilaku dan Aktivitas Motorik : normopasif
4. Pembicaraan : normal, alur runtut, dan jelas
5. Sikap Terhadap Pemeriksa : Kooperatif, kontak mata cukup
Afek dan Mood
- Afek : Appropiate
- Mood : normal
Gangguan Persepsi
- Halusinasi (-)
- Ilusi (-)
Proses Pikir
- Bentuk : realistik
- Isi : waham (-)
- Arus : koheren
Sensorium dan Kognitif
- Daya Konsentrasi : baik
- Orientasi : Orang : baik
Waktu : baik
Tempat : baik

5
- Daya Ingat : Jangka pendek : baik
Jangka panjang : baik
Daya Nilai : Daya nilai realitas dan sosial baik
Insight : Baik
Taraf Dapat Dipercaya : Dapat dipercaya
15. Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4V5M6
Fungsi Luhur : dalam batas normal
Fungsi Vegetatif : dalam batas normal
Nervus Cranialis : dalam batas normal
Fungsi Sensorik : selain daerah luka dalam batas normal
Fungsi Motorik dan Reflek
Kekuatan Tonus R.Fisiologis R.Patologis
5 5 N sde sde sde sde sde
5 5 N N +2 +2 - -

16. Range of Motion

ROM Aktif
Regio Ekstremitas Superior
Dextra Sinistra
Flexi 0-900 0-900
Extensi 0-450 0-450
Abduksi 0-1800 0-1800
Shoulder
Adduksi 0-450 0-450
External rotasi 0-900 0-900
Internal rotasi 0-900 0-900
Flexi 0-1350 sde
Extensi 135-00 sde
Elbow
Pronasi 0-900 sde

Supinasi 0-900 sde

Wrist Flexi sde sde

Extensi sde sde

6
Ulnar deviasi sde sde

Radial deviasi sde sde

MCP I Flexi sde sde

MCP II-V Flexi sde sde

Finger DIP II-V Flexi sde sde

PIP II-V Flexi sde sde

MCP Flexi sde sde

ROM Pasif ROM Aktif


Ektremitas Inferior
Dekstra Sinistra Dekstra Sinistra
Fleksi 0-120 0-120 0-120 0-120
Ektensi 0-30 0-30 0-30 0-30
Abduksi 0-45 0-45 0-45 0-45
Hip
Adduksi 0-45 0-45 0-45 0-45
Eksorotasi 0-30 0-30 0-30 0-30
Endorotasi 0-30 0-30 0-30 0-30
Fleksi 0-120 0-120 0-120 0-120
Knee
Ekstensi 0 0 0 0
Dorsofleksi 0-30 0-30 0-30 0-30
Plantarfleksi 0-30 0-30 0-30 0-30
Ankle
Eversi 0-50 0-50 0-50 0-50
Inversi 0-40 0-40 0-40 0-40

17. Manual Muscle Testing (MMT)

7
Ekstremitas Superior Dextra Sinistr
a

8
Shoulde Flexor M.deltoideus antor 5 5
r

M.biceps brachii 5 5

Extensor M.deltoideus antor 5 5

M.teres major 5 5

Abduktor M.deltoideus 5 5

M.biceps brachii 5 5

Adduktor M.latissimus dorsi 5 5

M.pectoralis major 5 5

Rotasi internal M.latissimus dorsi 5 5

M.pectoralis major 5 5

Rotasi eksternal M.teres major 5 5

M.pronator teres 5 5

Elbow Flexor M.biceps brachii 5 -

M.brachialis 5 -

Extensor M.triceps brachii 5 -

Supinator M.supinator 5 -

Pronator M.pronator teres 5 -

Wrist Flexor M.flexor carpi - -


radialis

Extensor M.extensor - -
digitorum

Abduktor M.extensor carpi - -


radialis

Adduktor M.extensor carpi - -


ulnaris

Finger Flexor M.flexor digitorum - -

Extensor M.extensor - -
digitorum

Extremitas Inferior Dextra Sinistr

9
a

Hip Flexor M.psoas major 5 5

Extensor M.gluteus maximus 5 5

Abduktor M.gluteus medius 5 5

Adduktor M.adductor longus 5 5

Knee Flexor Hamstring muscles 5 5

Extensor M.quadriceps 5 5
femoris

Ankle Flexor M.tibialis 5 5

Extensor M.soleus 5 5

18. Status Ambulasi (Indeks Barthel)

Activity Score
Feeding
0 = unable 0
5 = butuh bantuan memotong, mengoleskan
mentega, dll, atau membutuhkan modifikasi diet
10 = independen
Bathing
0 = dependen 0
5 = independen (atau menggunakan shower)
Grooming
0 = membutuhkan bantuan untuk perawatan diri 0
5 = independen dalam perawatan muka, rambut,
gigi, dan bercukur
Dressing
0 = dependen 5
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan
sebagian pekerjaan sendiri
10 = independen (termasuk mengancingkan
resleting, menalikan pita, dll.
Bowel
0 = inkontinensia (atau membutuhkan enema) 10
5 = occasional accident
10 = kontinensia
Bladder
0 = inkontinensia atau memakai kateter dan tidak 10
mampu menangani sendiri
5 = occasional accident
10 = kontinensia

10
Toilet use
0 = dependen 0
5 = membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan
beberapa hal sendiri
10 = independen (on and off, dressing)
Transfer
0 = unable, tidak ada keseimbangan duduk 10
5 = butuh bantuan besar (satu atau dua orang,
fisik), dapat duduk
10 = bantuan kecil (verbal atau fisik)
15 = independen
Mobility
0 = immobile atau < 50 yard 15
5 = wheelchair independen, > 50 yard
10 = berjalan dengan bantuan satu orang (verbal
atau fisik) > 50 yard
15 = independen (tapi dapat menggunakan alat
bantu apapun, tongkat) > 50 yard
Stairs
0 = unable 5
5 = membutuhkan bantuan (verbal, fisik, alat
bantu)
10 = independen
Total (0-100)/ ambulasi 55

Klasifikasi Indeks Barthel:


1-20 : Totally dependent
21-60 : Severely dependent
61-90 : Moderate dependent
91-99 : Mild dependent
100 : Independent

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah (18 November 2012)
16/11/2009 Satuan Rujukan
Hb 11,6 g/dl 13.5-18.0
HCT 36,2 40-54
RBC 4,3 106/l 4.6-6.2
WBC 6,1 103/l 4,5-11
AT 167 103/l 150-440
GD A
GDS 123 mg/dL 80-140

11
Ureum 31 mg/dL 10-50
Kreatinin 1,0 mg/dL 0,7-1,3
Asam urat - mg/dl 3.4 -7.0
Na 138 mmol/ 136-146
K 3,9 L
mmol/ 3,5-5,1
Cl - L
mmol/ 98-106
Ca 1,10 L
mmol/ 1.00-1.20
Prot. total 4,9 L
g/dl 6.6-8.7
Alb 3,8 g/dl 3.5-5.0
Glob - g/dl 0.6-5.2
Bil. Tot - mg/dl 0-1.10
Bil. Direk - mg/dl 0-0.25
Bil. - mg/dl 0-0.75
Indirek
SGOT 18 U/L 0-38
SGPT 29 U/L 0-41
Kolest. - mg/dl 50-200
Total
HDL-L - mg/dl 41-67
LDL-L - mg/dl 0-130
Trigliserid - mg/dl 50-150
Glukosa - mg/dl 78 110
puasa
Glukosa - mg/dl 80 140
2jam pp

D. ASSESMENT
Post amputation below elbow sinistra
Escar regio wrist join dextra
E. DAFTAR MASALAH
Masalah Medis
1.Post amputation below elbow sinistra
2.Escar regio wrist join dextra
Problem Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi : pencegahan kontraktur post amputasi
2. Terapi Wicara : (-)
3. Okupasi Terapi : keterbatasan melakukan kegiatan
sehari-hari karena amputasi pada tangan kiri
4.Sosiomedik : terkadang membutuhkan bantuan untuk
melakukan kegiatan sehari-hari

12
5. Ortesa-protesa : keterbatasan mobilisasi
6. Psikologi : (-)

F. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Medikamentosa
- IVFD Ringer Laktat 20 tpm
- Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
- Inj. Ketorolac 1 amp/12 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 amp/12 jam
- Inj. Metamizole 1 amp/12 jam
- Medikasi luka per 12 jam
- Diet tinggi kalori dan protein

2. Rehabilitasi Medik
a. Fisioterapi
a) ROM exercise aktif dan pasif
untuk mencegah kontraktur sendi, biasanya 10-15 kali gerakan dalam
sehari untuk setiap bidang gerak

b) Prevensi ulkus dekubitus


proper positioning dengan mengatur posisi yang tepat dan mengubah
posisi tiap 2 jam selama terjaga dan 4 jam selama tidur.
b. Terapi Wicara : (-)
c. Okupasi Terapi :
Melatih aktifitas kegiatan sehari-hari.
Rekreatif : melatih ketrampilan sesuai dengan hobi dan pekerjaan
mengisi waktu senggang, mengurangi stress pikiran, dsb.
d. Sosiomedik : edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai penyakit
pasien serta motivasi untuk membantu dan merawat pasien.
e. Ortesa-protesa : below elbow prosthesis
f. Psikologi : Dukungan mental dan konseling psikologi
Memberikan dorongan pada pasien agar mau berobat
dan terapi secara teratur.

G. IMPAIRMENT, DISABILITAS, DAN HANDICAP


1. Impairment : keterbatasan dalam mobilisasi
2. Disabilitas : penurunan fungsi anggota gerak atas
3. Handicap : keterbatasan aktivitas sehari-hari

13
H. PLANNING
Planning Edukasi :
- Penjelasan penyakit dan komplikasi yang bisa terjadi
- Penjelasan tujuan pemeriksaan dan tindakan yang dilakukan
- Edukasi untuk home exercise dan kepatuhan untuk melakukan terapi
Planning Monitoring : evaluasi hasil terapi setiap pasien kontrol.

I. GOAL
1. Mencegah komplikasi post amputasi
2. Mempercepat penyembuhan luka dan mengontrol oedem
3. Mencegah kontraktur dan deformitas
4. Meningkatkan mobilitas dan kekuatan otot
5. Memelihara puntung dan ekstremitas yang tidak diamputasi
6. Dukungan psikologis

J. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia et bonam
Ad sanam : dubia et bonam
Ad fungsionam : dubia et bonam

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. AMPUTASI
1. Definisi
Amputasi berasal dari kata amputare (Latin) atau apocope (Yunani)
yang berarti "pancung" (to cut away, to cut off). Dalam tindakan bedah,
amputasi merupakan teknik membuang seluruh/bagian anggota gerak
(ekstremitas), sesuatu yang menonjol/tonjolan, atau alat (organ) tubuh. 2
Survei menunjukkan 70% dari amputasi disebabkan oleh penyakit infeksi
dan vaskuler; 22% trauma; 5% tumor; dan 3% deformitas congenital
(McAnelly, 1996).

2. Level Amputasi Pada Ekstremitas Atas


Terdapat level - level optimal amputasi, tetapi level optimal tersebut
tidak dapat dipilih khususnya pada kasus trauma misalnya kecelakaan.
Prinsip tindakan bedah adalah mempertahankan jaringan lunak yang hidup
dan tulang sepanjang mungkin, tetapi untuk pemasangan prostesis dengan
potongan sedikit dari level optimal perlu dipertimbangkan.

15
Level amputasi pada above elbow diukur dari akromion sampai
ujung puntung, pengukuran dibandingkan dengan sisi yang sehat (akromion
sampai epikondilus lateralis), dan dinyatakan dengan prosentase.
Level amputasi bawah siku diukur dari epikondilus medialis ke
ujung ulna atau radius dari puntung dan dibandingkan ke ujung prosesus
stiloid ulna pada sisi sehat. (Berger, 1981; Tan, 1988)

3. Indikasi dan Tujuan Operasi Amputasi


Indikasi amputasi:
a. Live saving (menyelamatkan jiwa), contoh trauma disertai keadaan yang
mengancam jiwa (perdarahan dan infeksi).
b. Limb saving (memanfaatkan kembali kegagalan fungsi ekstremitas
secara maksimal), seperti pada kelainan kongenital dan keganasan
(Reksoprodjo, 1988; Vitriana, 2002).
Tujuan utama amputasi ialah penyembuhan atau menghentikan penyakit,
tetapi kebanyakan penderita juga berharap adanya perbaikan fungsi, hal ini
tergantung pada faktor: kemampuan keseluruhan, mental dan fisik penderita,
ketingggian amputasi, puntung amputasi, prostetik, rehabilitasi (Vitriana,
2002).

4. Komplikasi Amputasi dan Penatalaksanaannya


a. Masalah Kulit
Perawatan kulit merupakan hal yang penting karena adanya
beberapa lapisan jaringan yang berdekatan di ujung akhir tulang seperti
jaringan parut, termasuk kulit dan lapisan subkutan, yang mudah melekat
pada tulang sehingga perlu diperhatikan adanya mobilisasi jaringan parut
(Vitriana, 2002).
Setelah insisi sembuh, lunakkan kulit dengan krim yang larut air
atau preparat lanolin tiga kali sehari. Massage secara lembut pada jaringan
lunak bagian distal akan membantu mempertahankan mobilitasnya di atas
permukaan atau ujung tulang. Tapping jaringan parut dan bagian distal
jaringan lunak sebanyak 4 kali sehari sering membantu untuk
mendesensitasi area tersebut sebelum penggunaan prostetik. Tapping
dilakukan dengan ujung jari, dimulai dengan sentuhan ringan dan

16
kemudian tekanan ditingkatkan sekitar 5 menit hingga timbul rasa tidak
nyaman yang ringan (Vitriana, 2002).
Cara membersihkan kulit yang baik juga harus diajarkan, misalnya
denganmempergunakan sabun yang bersifat ringan, cuci kulit hingga
berbusa lalu basuh dengan air hangat. Kulit dikeringkan dengan cara
ditekan dengan lembut, tidak digosok. Pembersihan ini dilakukan setiap
hari terutama pada sore hari (Vitriana, 2002).

b. Infeksi
Jika terjadi infeksi pada puntung, jika sifatnya terbuka diperlukan
terapi antibiotik. Jika sifatnya tertutup, harus dilakukan insisi serta terapi
antibiotik (Friedmann, 1990).
c. Masalah tulang
Penggunaan prostetik tidak memberikan pembebanan pada sistem
skeletal (by passing weight bearing) bisa menyebabkan osteoporosis. Sisa
dari periosteum dapat berkembang menjadi bone spurs yang dapat
menimbulkan tekanan pada kulit (Friedmann, 1990).
Jenis yang paling umum dari pertumbuhan tulang yang berlebihan
adalah bone spurs karena sisa-sisa periosteum di puntung pada saat
operasi. Secara umum, modifikasi socket dapat mengkompensasi.
Penarikan socket ke dalam diperlukan. Pembedahan pengangkatan spur
dan periosteum kadang-kadang diperlukan. Xeroradiography dengan
pembebanan dan tanpa pembebanan dengan prostetik akan menunjukkan
kedua hubungan dari spur ke socket dan kulit dan tepatnya bagaimana
"total kontak" socket sesungguhnya (Friedmann, 1990).
d. Neuroma

Setiap syaraf yang terpotong akan membentuk distal neuroma bila


menyembuh. Pada beberapa kasus, nodular bundles dari akson ini di
jaringan ikat akan menyebabkan nyeri saat prostetik memberikan tekanan.
Pada awalnya, nyeri dapat dihilangkan dengan memodifikasi socket.
Neuroma dapat pula diinjeksi secara lokal dengan 50 mg lidocaine
hydrochloride (xylocaine) dan 40 mg triamcinolone actonide (Kenalog).

17
Injeksi ini dapat dikombinasikan dengan terapi ultrasound (Vitriana,
2002).
e. Phantom Sensation
Phantom sensation didefinisikan sebagai suatu sensasi yang timbul
tentang keberadaan bagian yang diamputasi. Pasien mengalami sensasi
seperti dari alat gerak yang intak, yang saat ini telah hilang. Kondisi ini
dapat disertai dengan perasaan tingling atau rasa baal yang tidak
menyenangkan. Phantom sensation dapat juga terasa sangat nyata
sehingga pasien dapat mencoba untuk berjalan dengan kaki yang telah
diamputasi. Dengan berlalunya waktu, phantom sensation cenderung
menghilang tetapi juga terkadang akan menetap untuk beberapa dekade.
Biasanya sensasi terakhir yang hilang adalah yang berasal dari jari, jari
telunjuk atau ibu jari, yang terasa seolah-olah masih menempel pada
punting (Vitriana, 2002).
Sejumlah teori telah diajukan untuk menjelaskan fenomena ini.
Salah satunya adalah teori yang menyatakan bahwa karena alat gerak
merupakan bagian integral dari tubuh, maka akan secara berkelanjutan
memberikan sensory cortex rasa taktil, propriosepsi, dan terkadang stimuli
nyeri yang diingat sebagian besar di bawah sadar sebagai bagian dari body
image. Setelah amputasi, persepsi yang diingat tersebut akan menimbulkan
phantom sensation (Vitriana, 2002).
f. Phantom Pain
Phantom pain dapat timbul lebih lambat dibandingkan dengan
phantom sensation. Sebagian besar phantom pain bersifat temporer yang
berkurang intensitasnya secara bertahap serta menghilang dalam beberapa
minggu hingga kurang lebih satu tahun. Bagaimanapun juga sejumlah
ketidakmampuan dapat timbul menyertai rasa nyeri pada beberapa pasien
amputasi (Vitriana, 2002).
Rasa nyeri yang timbul merupakan akibat memori bagian yang
diamputasi dalam korteks dan impuls syaraf yang tetap menyebar karena
hilangnya pengaruh inhibisi yang secara normal diinisiasi melalui impuls
afferent dari alat gerak ke pusat. Sering dihubungkan dengan gangguan

18
emosional, tetapi sulit menentukan apakan gangguan emosional
mendahului atau merupakan akibat darinya (Vitriana, 2002).
Phantom pain dapat dipresipitasi atau ditingkatkan oleh setiap
kontak, tidak perlu dengan rasa nyeri saja, tetapi dapat juga dalam bentuk
kontak dengan puntung atau dengan suatu trigger area pada batang
tubuh, kontak dengan alat gerak kontralateral, atau kepala. Selain itu juga
dapat dipicu oleh suatu fungsi otonomik seperti miksi, defekasi, ejakulasi,
angina pectoris, atau merokok sigaret (Vitriana, 2002).
Phantom pain secara bervariasi digambarkan sebagai nyeri yang
berbentuk seperti cramping, electric shock like discomfort, crushing,
burning, atau shooting dan dapat bersifat intermitten, berkelanjutan, hilang
timbul dalam suatu siklus yang berdurasi beberapa menit. Sering pula
digambarkan sebagai rasa nyeri seperti diputar atau distorsi dari bagian
tubuh, contohnya seperti menggenggam tangan dengan kuku menekan ke
dalam telapak tangan (Vitriana, 2002).
Phantom pain berat yang menetap dapat dikurangi dengan terapi
non invasif. Pasien sebaiknya diberikan analgesik yang adekuat
preoperatif dan didorong untuk merawat puntungnya paska operasi untuk
mengurangi sensitivitasnya. Sejumlah modalitas dan cara telah dicoba
untuk mengurangi nyerinya seperti penggunaan prostetik, injeksi lokal
pada trigger points, penggunaan transcutaneous nerve stimulation
(TENS), interferential, akupunktur, dan ultrasound (Vitriana, 2002).
g. Edema
Edema pada puntung akan menyebabkan proses penyembuhan
yang lambat dan akan membuat fitting prostetik menjadi sulit. Edema
dapat dicegah dengan berbagai macam cara seperti mempergunakan total-
contact sockets, terutama jika sifatnya inelastik, dengan penggunaan
elastic bandaging, plaster cast, air bags atau Unna dressing (dibuat
seperti cast dengan mempergunakan impregnated gauzed yang tersedia
secara komersial) atau dapat pula dengan cara immediate fit rigid dressing.
Latihan pada daerah puntung, penggunaan stump board serta peninggian

19
ujung tempat tidur hingga bersudut kurang lebih 30 0 juga akan membantu
mengontrol edema (Vitriana, 2002).
Beberapa cara untuk mengontrol edema pada puntung:
1) Bandaging
Bandaging merupakan suatu cara yang kontroversial terutama pada
pasien dengan penyakit vaskuler, karena bandaging yang buruk akan
menyebabkan kerusakan pada puntung. Elastic bandages selain
membantu mengontrol edema tetapi juga akan mengecilkan dan
membentuk alat gerak yang tersisa untuk prostetik casting (Vitriana,
2002).
Sebuah balutan selebar 4 inchi biasanya dipergunakan untuk
puntung di bawah lutut. Untuk mempertahankan bandage, sebuah
balutan berbentuk angka delapan biasanya membalut sendi proksimal
yang terdekat dengan puntung. Balutan dimulai dari proksimal
(langkah 1) lalu dibawa ke ujung distal puntung (langkah 2). Balutan
lalu dibawa lagi ke proksimal (langkah 3) dan dibalutkan membungkus
sisa ujung distal (langkah 4). Tekanan yang diberikan sebaiknya sama
rata dan menurun ke arah lipat paha. Putaran harus dilakukan secara
diagonal, hindari putaran sirkuler untuk menghindari efek tourniquet
yang dapat menimbulkan edema di bagian distal (Vitriana, 2002).

Gambar. Figure of eight (Garrison, 1995)

20
Puntung sebaiknya dibalut ulang sedikitnya tiga kali sehari (paling
baik setiap 3-4 jam sekali) dan pada kondisi bandage melonggar,
menggeser atau menggulung. Bandage harus dipergunakan sepanjang
hari tetapi dilepaskan jika mempergunakan sebuah prostetik.
Pemakaiannya kurang lebih satu tahun dan pasien beserta keluarganya
harus diajarkan cara mempergunakannya secara mandiri. Pemeriksaan
kulit secara teratur harus dilakukan demikian pula dengan pencucian
kaus kaki dan bandage. Jika lutut dalam risiko terjadinya flexion
contracture, sebuah posterior plaster mid-thigh length splint dapat
dipergunakan. Pembalutan yang lebih keras secara progresif dilakukan
jika luka sudah sembuh, walaupun masih sutura belum diangkat.
Penggunaan material pembalut diatas luka harus dihentikan secepat
mungkin bila pembentukan puntung yang baik telah dicapai (Vitriana,
2002).
2) Massage puntung
Centripetal massage membantu mengurangi edema, memperbaiki
sirkulasi dan mencegah adhesi serta mengurangi ketakutan pasien untuk
melatih puntungnya (Vitriana, 2002).
h. Kontraktur sendi/deformitas
Perlu dilakukan rehabilitasi medic untuk mencegah terjadinya
kontraktur sendi/deformitas

5. Rehabilitasi Medik Pada Amputasi


Prinsip rehabilitasi medic pada amputasi adalah
a. Mencapai tingkat tertinggi dari fungsi pasien sesuai dengan sisa
kemampuan yang ada
b. Team approach : dokter, tim rehab yang lain, pasien dan keluarga
c. Dimulai sedini mungkin, kalau bisa dimulai sejak preoperative
Stadium Rehabilitasi
a. Stadium preamputasi
Penjelasan kepada pasien bahwa amputasi bukan akhir segalanya
Status medis dan fungsi diperiksa menyeluruh
Perlu diketahui status kardiovaskuler dan pulmo
Status neurologis dan muskulo skeletal

21
Sebelum menjalani operasi, penting dijelaskan mengenai persiapan
sebelum operasi, komplikasi yang akan terjadi dan perawatan setelah
operasi. Juga ditanyakan pada penderita kesediaan memakai prostesis
dan jenis prostesis yang akan diberikan. Pemberian latihan sebelum
operasi dapat berupa :
a. Latihan penguatan dari seluruh otot
b. Latihan luas gerak sendi
c. Latihan untuk ADL
Problem rehabilitasi
Bila ada paralisa atau defisit sensoris
Kontraktur pada sendi
Akibat lama berbaring : deconditioning syndrome, trombophlebitis,
emboli paru, dekubitus.
Latihan yang diberikan pada stadium preprostetik
Latihan lingkup gerak sendi
Meningkatkan kekuatan otot
Latihan pernafasan preoperative
b. Stadium post amputasi/ pre prostetik
Penyembuhan luka operasi yang adekuat
Mengontrol nyeri
Melihat performa dari ADL nya
Mobilitas
Mempertahankan luas gerak sendi dari bagian anggota gerak yang
diamputasi
Menyiapkan stump untuk pengukuran prosthesis
Menerangkan mengenai pengukuran dan perawatan prosthesis
Mensuport terhadap perubahan akibat amputasinya
Mencegah komplikasi post OP
Latihan pernafasan dalam, ini mencegah pneumonia statis dari
akibat anestesi
Dengan intake oksigen yang meningkat mencegah hipotensi
postural
Diberi penjelasan mengenai phenoma phantom
- phantom sensation yaitu, merasa masih mempunyai bagian
yang diamputasi
- phantom pain yaitu merasa masih nyeri pada bagian yang
sudah diamputasi, bedakan dengan stump pain, yaitu nyeri
diujung punting amputasi.

22
Mempercepat penyembuhan luka dan mengontrol oedem, yaitu dengan
pembalutan (dressing) : pembalut lunak (soft dressing), semi rigid
dressing/semi kaku, rigid dressing/ kaku
Mencegah kontraktur dan deformitas
Meningkatkan mbilitas dan kekuatan sendi
Pemeliharaan dan perawatan puntung dan ekstremitas yang tidak
diamputasi. Pemeliharaan puntung amat penting oleh karena puntung
yang sehat berfungsi sebagai pengungkit protesa. Selain itu juga
dilakukan perawatan kebersihan kulit, pembalutan stump untuk
mengontrol oedem, membentuk stump yang ideal dengan figure of 8
Memberi bantuan psikologis
c. Stadium Protestik
Penilaian untuk peresepan prostetik ditentukan saat puntung telah
sembuh, sekitar 2-3 minggu paska operasi. Penulisan resep yang detail
harus dilakukan meliputi semua komponen termasuk bahan yang
digunakan di pabrik, bentuk socket, metode penyangga, cetakan, dan
pemasangan sendi (Friedmann, 1990).
Prostesis yang biasa digunakan pada extremitas atas
Shoulder dis articulation prosthesis: prostesis yang diberikan pasien
amputasi tepat pada shoulder joint
Above elbow prosthesis: prostesis yang diberikan pasien amputasi
pada daerah humerus
Elbow dis articulation prosthesis: prostesis yang diberikan pasien
amputasi tepat pada elbow joint
Below elbow prosthesis: prostesis yang diberikan pasien amputasi
pada daerah radius ulna
Wrist dis articulation prosthesis: prostesis yang diberikan pasien
amputasi pada daerah pergelangan tangan
Finger prosthesis: prostesis yang diberikan pasien amputasi pada
daerah jari tangan

23
through elbow prosthesis Below elbow prosthesis Shoulder
dis articulation prosthesis

Below elbow prosthesis Wrist dis articulation prosthesis Finger prosthesis


(Ardi, 2008)

24
B. COMBUSTIO (LUKA BAKAR)
1. . Pengertian
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan
kimia, listrik, dan radiasi ( Moenajat, 2001).
2. Etiologi
Disebabkan oleh perpindahan energi dari sumber panas ke tubuh
melalui konduksi atau radiasi elektromagnetik. Berdasarkan perjalanan
penyakitnya luka bakar dibagi menjadi 3 fase, yaitu :
a. Fase akut
Pada fase ini problema yang ada berkisar pada gangguan
saluran napas karena adanya cedera inhalasi dan gangguan sirkulasi.
Pada fase ini terjadi gangguan keseimbangan sirkulasi cairan dan
elektrolit akibat cedera termis bersifat sistemik.
b. Fase sub akut
Fase ini berlangsung setelah shock berakhir. Luka terbuka
akibat kerusakan jaringan (kulit dan jaringan dibawahnya)
menimbulkan masalah inflamasi, sepsis dan penguapan cairan tubuh
disertai panas/energi.
c. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah terjadi penutupan luka sampai
terjadi maturasi. Masalah pada fase ini adalah timbulnya penyulit
dari luka bakar berupa parut hipertrofik, kontraktur, dan deformitas
lainnya.
3. Patofisologi
Luka bakar mengakibatkan peningkatan permebilitas pembuluh
darah sehingga air, klorida dan protein tubuh akan keluar dari dalam sel
dan menyebabkan edema yang dapat berlanjut pada keadaan
hipovolemia dan hemokonsentrasi. Burn shock ( shock Hipovolemik )
merupakan komplikasi yang sering terjadi, manisfestasi sistemik tubuh
terhadap kondisi ini adalah :

a. Respon kardiovaskuler
Perpindahan cairan dari intravaskuler ke ekstravaskuler melelui
kebocoran kapiler mengakibatkan kehilangan Na, air dan protein
plasma serta edema jaringan yang diikuti dengan penurunan curah

25
jantung Hemokonsentrasi sel darah merah, penurunan perfusi pada
organ mayor edema menyeluruh.
b. Respon Renalis
Dengan menurunnya volume inravaskuler maka aliran ke ginjal
dan GFR menurun mengakibatkan keluaran urin menurun dan bisa
berakibat gagal ginjal
c. Respon Gastro Intestinal
Respon umum pada luka bakar > 20 % adalah penurunan
aktivitas gastrointestinal. Hal ini disebabkan oleh kombinasi efek
respon hipovolemik dan neurologik serta respon endokrin terhadap
adanya perlukan luas. Pemasangan NGT mencegah terjadinya
distensi abdomen, muntah dan aspirasi.
d. Respon Imunologi
Sebagian basis mekanik, kulit sebgai mekanisme pertahanan
dari organisme yang masuk. Terjadinya gangguan integritas kulit
akan memungkinkan mikroorganisme masuk kedalam luka.
4. Klasifikasi luka bakar
Untuk membantu mempermudah penilaian dalam memberikan
terapi dan perawatan, luka bakar diklasifikasikan berdasarkan
penyebab, kedalaman luka, dan keseriusan luka, yakni :
a. Berdasarkan penyebab
Luka bakar karena api
Luka bakar karena air panas
Luka bakar karena bahan kimia
- Alkalis/basa : hidroksida, soda kaustik, kalium amoniak,
barium, kalsium atau bahan-bahan pembersih dapat
menyebabkan liquefaction necrosis dan denaturasi protein
- Acids/asam : asam hidroklorat, asam aksalat, asam sulfat,
pembersih kamar mandi atau kolam renang dapat
menyebabkan coagulation necrosis
- Organic Compounds: fenol, creosote, petroleum,
desinfeksan kimia
Luka bakar karena listrik
Luka bakar karena radiasi
Luka bakar karena suhu rendah (frost bite).
b. Berdasarkan kedalaman luka bakar
Luka bakar derajat I
- Kerusakan terjadi pada lapisan epidermis
- Kulit kering, hiperemi berupa eritema

26
- Tidak dijumpai bulae
- Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi
- Penyembuhan terjadi spontan dalam waktu 5-10 hari
Luka bakar derajat II
- Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa
reaksi inflamasi disertai proses eksudasi.
- Dijumpai bulae.
- Nyeri karena ujung-ujung saraf teriritasi.
- Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih
tinggi diatas kulit normal.
- Luka bakar derajat II ini dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
Derajat II dangkal (superficial)
- Kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis.
- Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjar sebasea masih utuh.
- Penyembuhan terjadi spontan dalam waktu 10-14 hari.
Derajat II dalam (deep)
- Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis.
- Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjar sebasea sebagian besar masih utuh.
- Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung epitel yang
tersisa. Biasanya penyembuhan terjadi lebih dari sebulan.
Luka bakar derajat III
- Kerusakan meliputi seluruh lapisan dermis dan lapisan yang
lebih dalam.
- Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat,
kelenjar sebasea mengalami kerusakan.
- Tidak dijumpai bulae.
- Kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat. Karena
kering letaknya lebih rendah dibanding kulit sekitar.
- Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang
dikenal sebagai eskar.
- Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena
ujung-ujung saraf sensorik mengalami kerusakan/kematian.
- Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi proses
epitelisasi spontan dari dasar luka.
c. Berdasarkan tingkat keseriusan luka
American Burn Association menggolongkan luka bakar
menjadi tiga kategori, yaitu:
Luka bakar mayor

27
- Luka bakar dengan luas lebih dari 25% pada orang dewasa
dan lebih dari 20% pada anak-anak.
- Luka bakar fullthickness lebih dari 20%.
- Terdapat luka bakar pada tangan, muka, mata, telinga, kaki,
dan perineum.
- Terdapat trauma inhalasi dan multiple injuri tanpa
memperhitungkan derajat dan luasnya luka.
- Terdapat luka bakar listrik bertegangan tinggi.
Luka bakar moderat
- Luka bakar dengan luas 15-25% pada orang dewasa dan 10-
20% pada anak-anak.
- Luka bakar fullthickness kurang dari 10%.
- Tidak terdapat luka bakar pada tangan, muka, mata, telinga,
kaki, dan perineum.
Luka bakar minor
Luka bakar minor seperti yang didefinisikan oleh Trofino
(1991) dan Griglak (1992) adalah :
- Luka bakar dengan luas kurang dari 15% pada orang dewasa
dan kurang dari 10 % pada anak-anak.
- Luka bakar fullthickness kurang dari 2%.
- Tidak terdapat luka bakar di daerah wajah, tangan, dan kaki.
- Luka tidak sirkumfer.
- Tidak terdapat trauma inhalasi, elektrik, fraktur.
5. Patofisiologi
Cedera termis menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit sampai syok, yang dapat menimbulkan asidosis, nekrosis
tubular akut, dan disfungsi serebral. Kondisi-kondisi ini dapat dijumpai
pada fase awal/akut/syok yang biasanya berlangsung sampai 72 jam
pertama.
Dengan kehilangan kulit yang memiliki fungsi sebagai barier
(sawar), luka sangat mudah terinfeksi. Selain itu, dengan kehilangan
kulit luas, terjadi penguapan cairan tubuh yang berlebihan. Penguapan
cairan ini disertai pengeluaran protein dan energi, sehingga terjadi
gangguan metabolisme.
Jaringan nekrosis yang ada melepas toksin (burn toxin, suatu
lipid protein kompleks) yang dapat menimbulkan SIRS bahkan sepsis
yang menyebabkan disfungsi dan kegagalan fungsi organ-organ tubuh

28
seperti hepar dan paru (ARDS); yang berakhir dengan kematian.
Reaksi inflamasi yang berkepanjangan akibat luka bakar menyebabkan
kerapuhan jaringan dan struktur-struktur fungsional. Kondisi ini
menyebabkan timbulnya parut yang tidak beraturan (hipertrofik),
kontraktur, deformitas sendi dan sebagainya.
Jackson mengklasifikasikan luka bakar berdasarkan kerusakan
jaringan menjadi 3 zona, yaitu zona koagulasi atau zona nekrosis, zona
stasis, dan zona hiperemi.1,2 Pengklasifikasian ini berperan dalam
memahami patofisiologi luka bakar pada kulit.
a. Zona koagulasi/ zona nekrosis
Zona koagulasi atau zona nekrosis merupakan daerah yang
langsung mengalami kerusakan (koagulasi protein) akibat pengaruh
cedera termis. Jaringan pada zona ini mengalami nekrosis karena
itu harus didebridement.
b. Zona Statis
Zona statis merupakan daerah yang langsung berada di
sekitar zona koagulasi yang ditandai dengan adanya vasokontriksi
dan iskemia. Pada zona statis ini terjadi kerusakan endotel
pembuluh darah disertai kerusakan trombosit dan leukosit,
sehingga timbul gangguan perfusi (no flow phenomenon), diikuti
perubahan permeabilitas kapiler dan respon inflamasi lokal. Proses
kerusakan tersebut dapat berlangsung selama 12 hingga 24 jam
pasca cedera, dan jaringan yang mulanya viabel dapat mengalami
koagulasi/ nekrosis sebagai akibat dari terjadinya edema, infeksi,
dan penurunan perfusi jaringan.
c. Zona Hiperemi
Zona hiperemi merupakan daerah yang berada di luar zona
statis yang ditandai adanya vasodilatasi. Vasodilatasi pada zona ini
diakibatkan adanya pelepasan mediator-mediator inflamasi lokal
dari sel-sel kutaneus. Jaringan pada zona ini umumnya masih
viabel dan dapat mengalami penyembuhan spontan atau berubah
menjadi zona kedua bahkan pertama. (Yunie, 2009)

29
6. Ukuran luas luka bakar
Dalam menentukan ukuran luas luka bakar kita dapat
menggunakan beberapa metode yaitu :
a. Rule of nine
Kepala dan leher : 9%
Dada depan dan belakang : 18%
Abdomen depan dan belakang : 18%
Tangan kanan dan kiri : 18%
Paha kanan dan kiri : 18%
Kaki kanan dan kiri : 18%
Genital : 1%
b. Diagram
Penentuan luas luka bakar secara lebih lengkap dijelaskan
dengan diagram Lund dan Browder sebagai berikut:
USIA (Tahun)
LOKASI
0-1 1-4 5-9 10-15 DEWASA
KEPALA 19 17 13 10 7
LEHER 2 2 2 2 2
DADA &
13 13 13 13 13
PERUT
PUNGGUNG 13 13 13 13 13
PANTAT KIRI 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
PANTAT
2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
KANAN
KELAMIN 1 1 1 1 1
LENGAN ATAS
4 4 4 4 4
KA.
LENGAN ATAS
4 4 4 4 4
KI.
LENGAN
3 3 3 3 3
BAWAH KA
LENGAN
3 3 3 3 3
BAWAH KI.
TANGAN KA 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
TANGAN KI 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5
PAHA KA. 5,5 6,5 8,5 8,5 9,5
PAHA KI. 5,5 6,5 8,5 8,5 9,5
TUNGKAI
5 5 5,5 6 7
BAWAH KA
TUNGKAI
5 5 5,5 6 7
BAWAH KI
KAKI KANAN 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5
KAKI KIRI 3,5 3,5 3,5 3,5 3,5

30
7. Komplikasi Lanjut Luka Bakar
a. Hypertropi jaringan.
b. Kontraktur.
8. Penatalaksanaan
a. Penanggulangan terhadap shock
b. Mengatasi gangguan keseimbangan cairan
c. Mengatasi gangguan pernafasan
d. Mengataasi infeksi
e. Eksisi eskhar dan skin graft.
f. Pemberian nutrisi
g. Rehabilitasi
h. Penanggulangan terhadap gangguan psikologis (Adriana,
2011)

DAFTAR PUSTAKA

Adriana. 2011. Luka bakar (Combustio).


http://adriananers.blogspot.com/2011/12/combustio.html

31
Ardi. 2008. Ortotik prostetik. http://ortotikprotestik.blogspot.com/2008/09/ilmu-
ilmu -yang-diajarkan-di-ortotik.html

Berger N. Upper Limb Prosthetic System In : The American Academy of


Orthopaedic Surgeons. Atlas of Limb Prosthetics Surgical and prosthetic
Principles. The CV. Mosby Company. Missouri, 1981.pp 97 158.

Friedmann, LW. 1990. Rehabilitation of The Lower Extremity Amputee. Frederic


J. Kottke, et al (Eds.). Krusens Handbook of Physical Medicine and
Rehabilitation. 4th Edition. Philadelphia : W.B Saunders Company. P.1024-
1068.

Garrison, S.J.. 1995. Handbook of Physical Medicine and Rehabilitation Basics.


Philadelphia : J.B Lippincolt Company.

McAnelly, RD., & Virgil W. Faulker. 1996. Lower Limb Prostheses. Randall L.
Braddom, et al (Eds.). Physical Medicine & Rehabilitation. Philadelphia :
W.B Saunders Company. P.289-297.

Reksoprodjo, S. 1988. Indikasi dan Kondisi Pra/Pasca Amputasi. Naskah Lengkap


Simposium Kedokteran Fisik & Rehabilitasi Medik Dalam Klinik. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal.48-49.

Tan JC. Prostheses In : Practial Manual of Physical Medicine and Rehabilitation.


The CV. Mosby Company. Missouri, 1998. pp 229-59.
8. Edward SG.Elbow and Above-Elbow Amputations. Downloaded at
12:23 PM.13/10/07 .www.emedicine.com

Vitriana, 2002. Amputasi. http://amputasi.blogspot.com/2008/09/manajemen-


amputasi.html

Yunie. 2009. Luka Bakar. http://yunie-nurse.blogspot.com/2009/03/luka-


bakar.html

32

Anda mungkin juga menyukai