Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Pemicu
Dina bayi perempuan 6 bulan, dibawa ibunya ke dokter RS Untan
dengan keluhan pucat, dan tampak lemah. Dina diberikan ASI selama 4
bulan kemudia karena ibu melihat berat bada Dina naik hanya sedikit
setiap bulannya sehingga ibu memberikan tambahan susu formula di usia
5 bulan. Dina adalah anak ke-3 dari 3 bersaudara. Kedua kakaknya selama
ini sehat dan mempunyai pertumbuhan dan perkembangan yang baik.
Riwayat Kehamilan
Selama hamil ibu Dina juga mengalami anemia, pada pemeriksaan darah
di Puskesmas setempat didapatkan rata-rata nilai Hb ibu Dina dibawah 10
gr/dL sehingga ibu Dina dianjurkan untuk melahirkan di RS. Pasca
persalinan ibu Dina mendapattransfuse darah merah sebanyak 2 kantong.
Riwayat Persalinan
Bayi Dina, lahir spontan pervaginam dengan berat lahir 2450 gram,
panjang badan 48 cm, lingkar kepala 33 cm, lingkar dada 32 cm dan
lingkar perut 28 cm. Apgar skor bayi 7/9. Berdasarkan skor Ballard, usia
gestasi bayi Dina adalah 38-39 minggu. Ketuban putih jernih.
Riwayat Imunisasi
Imunisasi dasar yang sudah diberikan: HepB 2x, BCG 1x, DPT 2x, Polio
2x, HiB 2x.
Riwayat Nutrisi
Minum ASI eksklusif hingga usia 4 bulan kemudia mulai diberikan
tambahan susu formula sejak usia 5 bulan.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Berat lahir 2450 gram. Usia 1 bulan BB 2700 gram panjang 49 cm, usia 3
bulan BB 3900 gram dan panjang badan 51 cm, usia 5 bulan 4400 gram
dengan panjang badan 52 cm.

1
Saat tiba di RS untan:
Pemeriksaan Fisik: Nadi: 156x/ menit. Laju Pernapasan: 58x/ menit suhu
36,7 C
Tampak pucat, pemeriksaan jantung paru dalam batas normal.
Pemeriksaan abdomen ditemukan adanya splenomegali (Shuffner I)

1.2. Klarifikasi dan Definisi Masalah


Anemia : Secara fungsional didefinisikan penurunan jumlah massa
eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan
perifer.

1.3. Kata Kunci


1. Bayi perempuan 6 bulan
2. Pucat
3. Splenomegali
4. BBL 2450 gram
5. Asi eksklusif 4 bulan
6. Jantung, paru dalam batas normal
7. Tampak lemah
8. Gangguan pertumbuhan
9. Ibu anemia

1.4. Rumusan Masalah


Dina, bayi perempuan 6 bulan dibawa ibunya kedokter dengan
keluhan pucat, tampak lemah, dan gangguan pertumbuhan serta
didapatkan ibu anemia ringan pada saat kehamilan.

2
1.5. Analisis Masalah

Riwayat Persalinan Riwayat Tumbuh


BBL : 2450 gram Kembang
PB : 48 cm 1 bulan: 2700gr/49cm
LK : 23 cm 3 bulan: 3900gr/51cm
LD : 22 cm 5 bulan: 4400gr/52cm
LP : 28 cm
Lahir : 38-39
minggu BB/TB : Normal
BB/U : Gizi buruk
TB/U : Perawakan
sangat pendek

Bayi perempuan, 6
bulan
Pucat dan tampak
lemah

Riwayat Nutrisi Riwayat Kehamilan


ASI : Sampai usia 4 Anemia : <10 gr/dl
bulan
Susu Formula : 5
bulan
s
Diagnosis : ADB
DD : Thalasemia
Anemia Hemolitik

Pemeriksaan
Penunjang

Tatalaksana

3
1.6. Hipotesis
Bayi perempuan 6 bulan mengalami ADB

1.7. Pertanyaan Diskusi


1. Jelaskan mengenai eritropoiesis!
2. Jelaskan metabolism zat besi!
3. Anemia
a. Epidemiologi
b. Etiologi
c. Klasifikasi
d. Manifestasi Klinis
4. ADB
a. Definisi f. Faktor Resiko
b. Epidemiologi g. Diagnosis
c. Etiologi h. Tatalaksana
d. Manifestasi klinis i. Pencegahan
e. Patofisiologi j. Prognosis
5. Thalassemia
a. Definisi f. Patofisiologi
b. Epidemiologi g. Diagnosis
c. Etiologi h. Tatalaksana
d. Manifestasi klinis i. Edukasi
e. Patofisiologi
6. Hubungan penyakit hematologi dengan splenomegali?
7. Hubungan anemia ibu saat hamil dengan keluhan pada anak?
8. Hubungan takipneu dengan keluhan pada anak?
9. Hubungan gangguan pertembuhan dengan keluhan pada anak?

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Eritropoiesis
Eritrosit atau sel darah merah merupakan salah satu komponen sel
dalam darah. Eritrosit di dalam sirkulasi hanya dapat bertahan selama
120 hari. Setelah itu, eritrosit tersebut akan diganti dengan eritrosit yang
baru yang diproduksi di sumsum tulang. Proses ini disebut dengan
eritropoiesis. Sumsum tulang tidak hanya memproduksi eritrosit, tetapi
juga memproduksi leukosit dan platelet. Sel punca pluripoten yang belum
berdiferensiasi merupakan sumber dari semua sel darah. Sel punca
pluropoten menetap di sumsum tulang dimana sel tersebut terus
membelah dan berdiferensiasi menjadi berbagai sel darah.1
Sel punca pluripoten akan berdiferansiasi menjadi sel punca
myeloid, kemudian akan berubah menjadi erythroblast. Erythroblast
kemudian akan berdiferensiasi menjadi retikulosit yang merupakan
eritrosit imatur. Retikulosit mengandung sisa-sisa organel seperti
ribosom, yang kemudian akan berubah menjadi eritrosit.1

Gambar 1. Eritropoiesis1

Proses eritropoiesis diatur oleh organ ginjal. Fungsi utama eritrosit


adalah untuk membawa O2 ke seluruh tubuh. Penurunan jumlah O2 yang
sampai ke ginjal akan menstimulus ginjal untuk mensekresi hormon
erythropoietin (EPO) ke sirkulasi. Hormon ini akan menstimulasi proses
erythropoiesis di sumsum tulang.1

5
Gambar2. Pengaturan eritropoiesis1

2.2. Metabolisme Zat Besi


Besi yang ada pada bahan makanan adalah besi elemen. Hanya Fe++
ini yang diabsorbsi usus halus. Besi hanya dapat masuk ke dalam mukosa
apabila ia dapat bersenyawa dengan apoferritin. Jumlah apoferritin yang
ada dalam mukosa usus tergantung pada kadar besi tubuh. Bila besi
dalam tubuh sudah cukup maka semua apoferritin yang ada dalam
mukosa usus terikat oleh Fe menjadi Ferritin. Besi yang ada dalam
mukosa usus hanya dapat masuk ke dalam darah bila ia berikatan dengan
-globulin yang ada dalam plasma.2
Gabungan Fe dengan -globulin disebut ferritin. Apabila semua -
globulin dalam plasma sudah terikat Fe (menjadi feritin) maka Fe++
yang terdapat dalam mukosa usus tidak dapat masuk ke dalam plasma
dan turut lepas ke dalam lumen usus sel mukosa usus lepas dan diganti
dengan sel baru. Hanya Fe++ yang terdapat dalam transferrin dapat
digunakan dalam eritropoesis, karena sel eritoblas dalam sum-sum tulang
hanya memiliki reseptor untuk ferritin. Kelebihan besi yang tidak
digunakan disimpan dalam stroma sum-sum tulang sebagai ferritin. Besi
yang terikat pada -globulin selain berasal dari mukosa usus juga berasal

6
dari limpa, tempat eritrosit yang sudah tua masuk ke dalam jaringan
limpa untuk kemudian terikat pada -globulin (menjadi transferin) dan
kemudian ikut aliran darah ke sum-sum tulang untuk digunakan eritoblas
membentuk hemoglobin. Hemoglobin berfungsi sebagai pengangkut
oksigen ke seluruh jaringan tubuh, oleh karena itu apabila terjadi
kekurangan hemoglobin mengakibatkan anemi sehingga aktivitas tubuh
terutama daya berpikir akan menurun.2

2.3. Anemia
a. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan
jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi
fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke
jaringan perifer.3
b. Epidemiologi
Berdasarkan data WHO sejak tahun 1993 hingga 2005, anemia
diderita oleh 1,62 milyar orang di dunia. Prevalensi tertinggi terjadi
pada anak usia belum sekolah, dan prevalensi terendah pada laki-laki
dewasa. Asia tenggara merupakan salah satu daerah yang
dikategorikan berat dalam prevalensi anemia, termasuk Indonesia.4
Anemia terjadi pada 58% populasi di Asia, dimana prevalensi
tertinggi terjadi pada anak usia belum sekolah (47,7%), wanita hamil
(41,6%), dan wanita dewasa tidak hamil (33,0%). Di Indonesia,
sekitar 44,5% populasi diperkirakan mengalami anemia dengan kadar
Hb < 11,0 g/dL, sehingga Indonesia masuk ke dalam kategori berat
dalam prevalensi anemia.4
c. Etiologi5
1. Anemia megaloblastik: kekurangan vitamin B12, asam folat dan
gangguan sintesis DNA
2. Anemia non-megaloblastik: karena peningkatan luas permukaan
membrane dan eritropoesis yang dipercepat

7
3. Anemia mikrositik: karena disebabkan adanya pengecilan ukuran
sel darah merah
4. Anemia normositik: disebabkan karena adanya kehilangan darah
yang banyak, meningkat volume plasma yang berlebihan,
penyakit-penyakit hemolitik, gangguan endokrin, ginjal dan hati.
d. Klasifikasi
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi.
Klasifikasi morfologi didasarkan pada ukuran dan kandungan
hemoglobin.3,6,7

No Morfologi Sel Keterangan Jenis Anemia


1. Anemia Bentuk eritrosit yang - Anemia Pernisiosa
makrositik - besar dengan - Anemia defisiensi folat
normokromik konsentrasi
hemoglobin yang
normal
2. Anemia mikrositik Bentuk eritrosit yang - Anemia defisiensi besi
- hipokromik kecil dengan - Anemia sideroblastik
konsentrasi - Thalasemia
hemoglobin yang
menurun
3. Anemia Penghancuran atau - Anemia aplastik
normositik - penurunan jumlah - Anemia posthemoragik
normokromik eritrosit tanpa disertai - Anemia hemolitik
kelainan bentuk dan - Anemia Sickle Cell
konsentrasi - Anemia pada penyakit
hemoglobin kronis
Tabel 1. Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi3,6,7

8
Menurut etiologinya, anemia dapat diklasifikasikan menjadi 3
macam yaitu gangguan produksi sel darah merah pada sumsum tulang
(hipoproliferasi), gangguan pematangan sel darah merah (eritropoiesis
yang tidak efektif), dan penurunan waktu hidup sel darah merah
(kehilangan darah atau hemolisis).3,8
1. Hipoproliferatif
Hipoproliferatif merupakan penyebab anemia yang terbanyak.
Anemia hipoproliferatif ini dapat disebabkan karena:
a. Kerusakan sumsum tulang. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
obat-obatan, penyakit infiltratif (contohnya: leukemia,
limfoma), dan aplasia sumsum tulang.
b. Defisiensi besi
c. Stimulasi eritropoietin (EPO) yang inadekuat. Keadaan ini
terjadi pada gangguan fungsi ginjal
d. Supresi produksi EPO yang disebabkan oleh sitokin inflamasi
(misalnya: interleukin 1)
e. Penurunan kebutuhan jaringan terhadap oksigen (misalnya pada
keadaan hipotiroid)

Pada jenis ini biasanya ditemukan eritrosit yang normokrom


normositer, namun dapat pula ditemukan gambaran eritrosit yang
hipokrom mikrositer, yaitu pada defisiensi besi ringan hingga sedang
dan penyakit inflamasi. Kedua keadaan tersebut dapat dibedakan
melalui pemeriksaan persediaan dan penyimpanan zat besi.
2. Gangguan pematangan
Pada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar
retikulosit yang rendah, gangguan morfologi sel (makrositik atau
mikrositik), dan indeks eritrosit yang abnormal. Gangguan
pematangan dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu:3

9
a. Gangguan pematangan inti
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi
berupa makrositik. Penyebab dari gangguan pematangan inti
adalah defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, obat-
obatan yang mempengaruhi metabolisme DNA (seperti
metotreksat, alkylating agent), dan myelodisplasia. Alkohol
juga dapat menyebabkan gangguan pematangan inti, namun
keadaan ini lebih disebabkan oleh defisiensi asam folat.
b. Gangguan pematangan sitoplasma
Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi
berupa mikrositik dan hipokromik. Penyebab dari gangguan
pematangan sitoplasma adalah defisiensi besi yang berat,
gangguan sintesa globin (misalnya pada thalasemia), dan
gangguan sintesa heme (misalnya pada anemia
sideroblastik)
3. Penurunan waktu hidup sel darah merah
Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah atau
hemolisis. Pada kedua keadan ini akan didapatkan peningkatan
jumlah retikulosit. Kehilangan darah dapat terjadi secara akut
maupun kronis. Pada fase akut, belum ditemukan peningkatan
retikulosit yang bermakna karena diperlukan waktu untuk
terjadinya peningkatan eritropoietin dan proliferasi sel dari
sumsum tulang. Sedangkan pada fase kronis gambarannya akan
menyerupai anemia defisiensi besi.8
Gambaran dari anemia hemolitik dapat bermacam-macam,
dapat akut maupun kronis. Pada anemia hemolisis kronis,
seperti pada sferositosis herediter, pasien datang bukan karena
keadaan anemia itu sendiri, melainkan karena komplikasi yang
ditimbulkan oleh pemecahan sel darah merah dalam jangka
waktu lama, seperti splenomegali, krisis aplastik, dan batu

10
empedu. Pada keadaan yang disebabkan karena autoimun,
hemolisis dapat terjadi secara episodik (self limiting).6
e. Manifestasi Klinis
Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia
( anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila
kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan
lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga
mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar
hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan sering kali sindroma
anemia tidak terlalu menyolok dibandingkan dengan anemia lain
yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat. Hal ini
disebabkan oleh mekanisme kompensasi tubuh yang dapat berjalan
dengan baik. Anemia bersifat simtomatik jika hemoglobin telah
turundibawah 7 g/dl. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang
pucat terutama pada konyungtiva dan jaringan di bawah kuku.9

2.4. Anemia Defisiensi Besi


a. Definisi
Anemia yang timbul akibat berkurangnnya penyediaan besi
untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.8
b. Epidemiologi
Penelitian Schneider dkk di negara bagian California Amerika
Serikat tahun 2002 pada 498 anak berusia 12 sampai dengan 36 bulan
dari keluarga berpenghasilan rendah menemukan prevalensi ADB
3,4%.10 Prevalensi anemia pada anak balita di Negara berkembang
sekitar 40%-45%.11 Di Chili, Lozoff melaporkan prevalensi defisiensi
besi diantara 1657 bayi berusia 1 tahun 34,9%, dan dari 186 bayi
anemia 84,9% disebabkan oleh ADB. Di Indonesia ADB merupakan
salah satu masalah kesehatan gizi utama. Data SKRT tahun 2001
menunjukkan prevalensi ADB pada bayi <1 tahun, dan bayi 0-6

11
bulan berturut-turut 55% dan 61,3%. Suatu penelitian terhadap 990
bayi Indonesia berusia 3-5 bulan, menunjukkan prevalensi ADB
71%.11,12,13 Prevalensi defisiensi besi atau ADB pada balita atau anak
di bawah umur satu tahun yang tinggi tidak terlepas dari prevalensi
defisiensi besi atau ADB pada wanita hamil. Data SKRT tahun 2001
menunjukkan prevalensi ADB pada wanita hamil 40,1%. Banyak
faktor risiko mempengaruhi prevalensi defisiensi besi atau ADB pada
bayi yang dilahirkan.12 Salah satu faktor risiko yang paling berperan
adalah apakah ibu menderita anemia atau tidak selama hamil. Pee
dkk melaporkan, bayi (berat lahir >2500 gram) yang lahir dari ibu
anemia mempunyai kadar hemoglobin yang lebih rendah
dibandingkan bayi yang lahir dari ibu tanpa anemia.14
c. Etiologi5,15
1. Asupan zat besi : rendahnya asupan besi sering terjadi pada
orang-orang yang mengkonsumsi bahan makanan yang kurang
beragam dengan menu makanan terdiri dari nasi, kacang-
kacangan dan sedikit daging, unggas, ikan yang merupakan
sumber zat gizi.
2. Penyerapan besi : diet yang kaya besi tidaklah menjamin
ketersediaan zat besi yang diserap sangat tergantung dari zat besi
dan bahan makanan yang dapat menghambat dan meningkatkan
penyerapan besi.
3. Kebutuhan meningkat: kebutuhan akan meningkat pada masa
pertumbuhan seperti bayi, anak, remaja, kehamilan dan
menyusui. Ataupun dalam kejadian perdarahan kronis yang
disebabkan oleh parasit.
4. Kehilangan zat besi: kehilangan zat besi dari pencernaan, kulit,
urin disebut kehilangan zat besi basal. Pada wanita selain
kehilangan zat besi basal juga kehilangan zat besi melalui
mensturasi. Adapun disebabkan perdarahan oleh infeksi cacing
dalam usus.

12
d. Manifestasi Klinis
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak
dijumpai pada anemia jenis lain adalah:9
1. Koilonychia: kuku sendok, kuku menjadi rapuh, bergaris-garis
vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok.
2. Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap
karena papil lidah menghilang.
3. Stomatitis angularis (cheilosis): adanya peradangan pada sudut
mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan
4. Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
5. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia
e. Patofisiologi
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan
negatif besi yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan
besi yang negatif ini menetap akan menyebabkan cadangan besi terus
berkurang. tahap defisiensi besi, yaitu:16,17
1. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron
deficiency, ditandai dengan berkurangnya cadangan besi atau
tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi
lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan
absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun sedangkan
pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi
masih normal.
2. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient
erythropoietin atau iron limited erythropoiesis didapatkan suplai
besi yang tidakcukup untuk menunjang eritropoisis. Dari hasil
pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun
dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding

13
capacity (TIBC) meningkat danfree erythrocyteporphyrin (FEP)
meningkat.
3. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia.
Keadaan ini terjadibila besi yang menuju eritroid sumsum tulang
tidak cukup sehingga menyebabkanpenurunan kadar Hb. Dari
gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis danhipokromik yang
progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel
terutamapada anemia defisiensi besi yang lebih lanjut.
f. Faktor Resiko18,19
1. Usia
a. Pada bayi, persediaan besi kurang karena berat badan lahir
rendah, prematur atau lahir kembar, susu formula rendah besi,
tidak mendapat makanan tambahan, pertumbuhan cepat dan ibu
mengalami anemia selama kehamilan.
b. Anak usia 1-2 tahun, asupan besi kurang karena tidak
mendapat makanan tambahan, kebutuhan meningkat karena
infeksi berulang atau malabsorbsi.
c. Anak usia 2-5 tahun, asupan besi kurang karena jenis makanan
kurang mengandung besi heme, kebutuhan meningkat karena
infeksi berulang, atau kehilangan berlebihan karena
perdarahan.
d. Anak usia 5 tahun sampai remaja. Kehilangan berlebihan,
misalnya infeksi parasit.
e. Remaja sampai dewasa. Pada wanita antara lain karena
menstruasi.
2. Sosial ekonomi rendah
3. Obesitas
Anak dengan kegemukan cenderung terjadi penurunan aktifitas
sehingga pemecahan mioglobin berkurang yang akan
mengakibatkan penurunan pelepasan besi, juga cenderung terjadi

14
pembatasan diet yang kaya akan kandungan besi, misalnya daging.
Pada anak perempuan yang gemuk akan terjadi pertumbuhan yang
lebih cepat dan maturitas pada usia yang lebih dini, yang
menyebabkan kebutuhan zat besi semakin meningkat.
4. Vegetarian
Vegetarian akan menghindari konsumsi zat makanan dari
sumber hewani misalnya daging, ikan, unggas yang kaya zat besi.
Sebaliknya mereka mengkonsumsi zat makanan yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan yang kaya selulosa yang merupakan
penghambat penyerapan besi non heme.
g. Diagnosis
Tiga tahap mendiagnosa suatu anemia defisiensi besi:
1. Menentukan adanya anemia
2. Memastikan adanya defisiensi besi
3. Menentukan penyebab defisiensi
Secara laboratoris dipakai kriteria modifikasi Kerlin untuk
menegakkan diagnosa, yaitu anemia hipokrom mikrositer pada
SADT ATAU MCV <80 fl dan MCH < 31% dengan satu atau
lebih kriteria berikut:2
1. Terdapat 2 dari parameter di bawah ini:
a. Besi serum <50 mg/dl
b. TIBC >350 mg/dl
c. Saturasi transferin <15%
2. Feritin serum <20 mg/dl
3. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prussia menunjukkan
sideroblas negatif.
4. Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200mg/hari selama 4
minggu terdapat kenaikan Hb >2 gr/dl.
h. Tatalaksana
Setelah diagnosis ditegakkan maka dibuat rencana pemberian
terapi. Terapi terhadap anemia defisiensi besi adalah:8

15
1. Terapi kausal: terapi terhadap penyebab perdarahan. Misalnya
pengobatan cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan
menorhagia. Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka
anemia akan kambuh kembali.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam
tubuh (iron replacement therapy).
a. Terapi Besi Oral
Terapi besi oral merupakan terapi pilihan pertama oleh
karena efektif, murah dan aman. Preparat yang tersedia adalah
ferrous sulphate (sulfas ferosus) yang merupakan preparat
pilihan pertama karena paling murah tetapi efektif. Dosis
anjuran adalah 3 x 200 mg. Setiap 200 mg sulfas ferosus
mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas ferosus
3 x 200 mg memberikan absorpsi besi 50 mg per hari yang
dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai tiga kali normal.
Preparat lain yang tersedia adalah: ferrous gluconate,
ferrous fumarate, ferrous lactate dan ferrous succinate.
Sediaan ini harganya lebih mahal, tetapi efektivitas dan efek
samping hampir sama dengan sulfas ferosus. Terdapat juga
bentuk sediaan enteric coated yang dianggap memberikan
efek samping lebih rendah, tetapi dapat mengurangi absorpsi
besi.
Preparat besi oral sebaiknya diberikan saat lambung
kosong, tetapi efek samping lebih sering terjadi dibandingkan
dengan pemberian setelah makan. Pada pasien yang
mengalami intoleransi, sulfas ferosus dapat diberikan saat
makan atau setelah makan.
Efek samping utama besi per oral adalah gangguan
gastrointestinal yang dijumpai pada 15 sampai 20%, yang
sangat mengurangi kepatuhan pasien. Keluhan ini dapat
berupa muai, muntah, serta konstipasi. Untuk mengurangi

16
efek samping besi diberikan saat makan atau dosis dikurangi
menjadi 3 x 100 mg.
Pengobatan besi diberikan 3 sampai 6 bulan, ada juga
yang menganjurkan sampai 12 bulan, setelah kadar
hemoglobin normal untuk mengisi cadangan besi tubuh. Dosis
pemeliharaan yang diberikan adalah 100 sampai 200 mg. Jika
tidak diberikan dosis pemeliharaan anemia sering kambuh
kembali.
Untuk meningkatkan penyerapan besi dapat diberikan
preparat vitamin C, tetapi dapat meningkatkan efek samping
terapi. Dianjurkan pemberian diet yang banyak mengandung
hati dan daging yang banvak mengandung besi.
b. Terapi besi parenteral
Terapi besi parenteral sangat efektif tetapi mempunyai
risiko lebih besar dan harganya lebih mahal. Oleh karena
risiko ini maka besi parenteral hanya diberikan atas indikasi
tertentu. Indikasi pemberian besi parenteral adalah:
1. Intoleransi terhadap pemberian besi oral
2. Kepatuhan terhadap obat yang rendah
3. Gangguan pencernaan seperti kolitis ulseratif yang dapat
kambuh jika diberikan besi
4. Penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada
gastrektomi
5. Keadaan di mana kehilangan darah yang banyak sehingga
tidak cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral,
seperti misalnya pada Hereditary Hemorrhagic
Telangiectasia
6. Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti
pada kehamilan trimester tiga atau sebelum operasi

17
7. Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian
eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia
akibat penyakit kronik.

Preparat yang tersedia ialah iron dextran complex


(mengandung 50 mg besi/ml), sorbitol complex dan yang
terbaru adalah iron ferric gluconate dan iron sucrose yang
lebih aman. Besi parenteral dapat diberikan secara
intramuskular dalam atau intravena pelan. Pemberian secara
intramuskular memberikan rasa nyeri dan memberikan warna
hitam pada kulit.
Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi
anafilaksis, meskipun jarang (0,6%). Efek samping lain
adalah flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri
perut dan sinkop.
Terapi besi parenteral bertujuan untuk mengembalikan
kadar hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai 1000
mg.
3. Pengobatan lain9
a. Diet sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi
protein terutama yang berasal dari protein hewani.
b. Vitamin C diberikan 3 x 100 mg per hari untuk meningkatkan
absorpsi besi.
Transfusi darah: ADB jarang memerlukan transfusi darah.
Indikasi pemberian transfusi darah pada anemia kekurangan
besi adalah:
1. Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman gagal
jantung
2. Anemia yang sangat simptomatik, misalnya anemia
dengan gejala pusing yang sangat menyolok

18
3. Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang
cepat seperti pada kehamilan trimester akhir atau
preoperasi.
4. Jenis darah yang diberikan adalah PRC (Packed Red Cell)
untuk mengurangi bahaya overload. Sebagai premedikasi
dapat dipertimbangkan pemberian furosemid intravena.
i. Prognosis
Anemia defisiensi besi jika terkoreksi dengan baik maka akan
memberikan prognosis yang baik, namun anemia defisiensi besi
dapat memiliki prognosis yang buruk, jika kondisi yang
mendasarinya memiliki prognosis yang buruk juga seperti neoplasia.
Sama halnya dengan prognosis yang dapat berubah oleh comorbid
condition seperti coronary artery disease.20

2.5. Thalassemia
a. Definisi
Thalassemia merupakan defek genetik yang mengakibatkan
berkurang atau tidak adanya sama sekali sintesis satu atau lebih rantai
globin yang merupakan polipeptida penting molekul hemoglobin.21
b. Epidemiologi
Di seluruh dunia, 15 juta orang memiliki presentasi klinis dari
thalassemia. Fakta ini mendukung thalassemia sebagai salah satu
penyakit turunan yang terbanyak menyerang hampir semua golongan
etnik dan terdapat pada hampir seluruh negara di dunia.22
Beberapa tipe thalassemia lebih umum terdapat pada area tertentu
di dunia. Thalassemia- lebih sering ditemukan di negara-negara
Mediteranian seperti Yunani, Itali, dan Spanyol. Banyak pulau-pulau
Mediterania seperti Ciprus, Sardinia, dan Malta, memiliki insidens
thalassemia- mayor yang tinggi secara signifikan. Thalassemia-
juga umum ditemukan di Afrika Utara, India, Timur Tengah, dan

19
Eropa Timur. Sebaliknya, thalassemia- lebih sering ditemukan di
Asia Tenggara, India, Timur Tengah, dan Afrika.22
c. Etiologi
Thalasemia disebabkan oleh ketidakseimbangan antara produksi
rantai -globin dan -globin. -thalasemia disebabkan oleh
penurunan rantai -globin, menyebabkan kelebihan rantai -globin.
0-thalasemia menunjukkan tidak ada produksi -globin. +-
thalasemia menunjukkan penurunan jumlah -globin. -thalasemia
mayor biasanya disebabkan oleh mutasi 0 homozigot. -thalasemia
minor disebabkan oleh mutasi 0 atau + heterozigot. Pada -
thalasemia, terdapat penurunan atau tidak ada produksi -globin.
Individu normal memilikik 4 gen -globin. Semakin banyak gen yang
terpengaruh atau mutasi, semakin parah penyakitnya. 23
d. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis thalasemia mayor antara lain:24
1. Tampak pucat dan lemah karena kebutuhan jaringan akan oksigen
tidak terpenuhi yang disebabkan hemoglobin pada thalasemia
(HbF) memiliki afinitas tinggi terhadap oksigen.
2. Facies thalasemia yang disebabkan pembesaran tulang karena
hiperplasia sumsum hebat.
3. Hepatosplenomegali yang disebakan oleh penghancuran sel darah
merah berlebihan, hemopoesis ekstramedular, dan kelebihan
beban besi.
4. Pemeriksaan radiologis tulang memperlihatkan medula yang
lebar, korteks tipis, dan trabekula kasar. Tulang tengkorak
memperlihatkan diploe serta hiperplasia.
5. Gejala-gejala fisik berupa pertumbuhan yang terhambat, anak
menjadi kurus bahkan kurang gizi, perut membuncit akibat
hepatosplenomegali dengan wajah yang khas mongoloid, frontal
bossing, rodent like mouth, dan maloklusi gigi

20
e. Patofisiologi
Secara normal, pada orang dewasa hemoglobin yang dominan
terdiri dari rantai -globin dan -globin (HbA), sedangkan pada janin
didominasi oleh rantai -globin dan -globin (HbF). Pada -
thalasemia mayor, produksi gen -globin yang tidak adekuat
menyebabkan penurunan kadar hemoglobin normal (HbA) dan
ketidakseimbangan antara - dan -globin. Kelebihan rantai -globin
akan menyebabkan terbentuknya -globin tetramer (4) yang akan
menyebabkan kerusakan membran eritrosit dan prekursornya,
sehingga memperpendek umur eritrosit. Hal ini menyebabkan anemia
dan peningkatan eritropoiesis. Oleh karena pasien 0-thalasemia tidak
dapat memproduksi HbA, maka HbF menjadi hemoglobin dominan.23
-thalasemia dapat terjadi karena tidak ada -globin atau
penurunan kadar -globin. Pada -thalasemia terjadi peningkatan
produksi - dan -globin menyebabkan terbentuknya hemoglobin bart
(4) pada janin dan HbH (4) setelah lahir. Tetramer abnormal
tersebut merupakan hemoglobin yang tidak berfungsi dengan afinitas
oksigen tinggi. Janin yang mengalami -thalasemia berat dapat
menyebabkan anemia selama dalam kandungan dan kematian janin
karena produksi HbF memerlukan jumlah -globin yang cukup. Janin
yang memiliki delesi pada 4 alel gen akan mengalami kematian di
dalam kandungan (hidrops fetalis). 23

Gambar 3. Hemoglobin pada fetus dan bayi25

21
f. Diagnosis26,27
1. Anamnesis
Keluhan timbul karena anemia: pucat, gangguan nafsu makan,
gangguan tumbuh kembang dan perut membesar karena
pembesaran lien dan hati. Pada umumnya keluh kesah ini mulai
timbul pada usia 6 bulan.
2. Pemeriksaan fisis
a. Pucat
b. Bentuk muka mongoloid (facies Cooley)
c. Dapat ditemukan icterus
d. Gangguan pertumbuhan
e. Splenomegali dan hepatomegali yang menyebabkan perut
membesar
3. Pemeriksaan penunjang
a. Darah tepi :
1. Hb rendah
2. Gambaran morfologi eritrosit : mikrositik hipokromik, sel
target, anisositosis berat dengan makroovalositosis,
mikrosferosit, polikromasi,basophilic stippling, benda
Howell-Jolly, poikilositosis.
3. Retikulosit meningkat.
b. Sumsum tulang (tidak menentukan diagnosis)
1. Hiperplasi sistem eritropoesis dengan normoblas
terbanyak dari jenis asidofil.
2. Granula Fe (dengan pengecatan Prussian biru) meningkat.
c. Pemeriksaan khusus:
1. Hb F meningkat : 20%-90% Hb total
2. Elektroforesis Hb

22
d. Pemeriksaan lain :
1. Foto Ro tulang kepala : gambaran hair on end,korteks
menipis, diploe melebar dengan trabekula tegak lurus
pada korteks.
2. Foto tulang pipih dan ujung tulang panjang : perluasan
sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas.
g. Tatalaksana28
Penderita thalassemia dewasa diawali dengan penetuan kadar
hemoglobin dan adanya pantisitopenia (penurunan Hb yang progresif
< 7 g/dl, leukopeni < 3000/ul, trombositopeni < 80.000 ul) yang
menunjukkan adanya hiperplenisme. Berdasarkan hemoglobin (7-9
gr), ditentukan langkah penatalaksanaan selanjutnya.
1. Hb < 7 gr/dl disertai dengan splenomegali massif :
Pada kondisi ini splenektomi merupakan pilihan.
Imunoprofilaksis pra splenektomi merupakan keharusan ,
mencakup :
a. Vaksinasi anti meningococus
b. Vaksinasi anti hemophilus influenza
c. Pasca splenektomi diberikan antibiotika profilaksis antibiotic
(penisilin oral)
2. Hipersplenisme
Pada keadaan ini splenektomi merupakan pilihan pengobatan
3. Pasca splenektomi bila Hb < 7 gr %
Pada keadaan ini penanganan komplikasi merupakan keharusan,
mencakup :
a. Batu empedu : kolesistektomi
b. Infeksi : antibiotika
c. Hiperurikemia/Gout : allopurinol
d. Aterogenesis : pemantauan lanjut sesuai tatalaksana
aterogenesis
e. Ulkus tungkai : perawayan luka

23
f. Diabetes mellitus : sesuai dengan tatalaksana diabetes
mellitus
g. Hiperkoagulasi dan thrombosis : aniagregasi trombosit dan
antikoagulan oral
h. Osteoporosis : bisfosfonat, dll
i. Kelainan hat : obat antivirus
j. Iskemia serebral : terapi sesuia dengan tatalaksana baku
k. Eritropiesis heterotropik : hidroksiurea
l. Hemokromatosis : terapi kelasi besi
4. Pasca splenektomi bila Hb > 7 gr %
Pada kondisi ini transfuse darah merah pekat
Hb < 7 gr/dl tanpa splenomegali
Pemantauan klinis dan hematologi

Tranfusi Darah pada Penderita Thalassemia Intermedia


Tranfusi darah pada penderita thalassemia intermedia diberikan atas
indikasi, sebagai berikut :
1. Gangguan pertumbuhan
2. Kondisi stress smentara : kehanilan, infeksi
3. Menifestasi klinis anemia
4. Gagal jantung kongestif
5. Ulkus tungkai

Pemantauan Besi pada penderita Thalassemia Intermedia :


1. Setiap transfuse : rata-rata asupan besi
2. Setiap 3 bulan : dosis kelasi dan frekuensi, fungsi hati, feritin
serial
3. Setiap 6 bulan (pada anak) : pertumbuhan dan perkembangan
seksual
4. Setiap bulan : muatan besi hati, fungsi jantung (ekokardiografi),
MRI jantung T2*, fungsi hati, ferritin serial

24
h. Edukasi29
1. Ahli kesehatan
Ahli kesehatan perlu menekankan kepada pasien
pentingnya menerima perawatan yang komprehensif. Orang
dengan talasemia, perlu menerima pengobatan yang tepat untuk
menjalani kehidupan yang penuh dan sehat. Sering kali, mereka
akan membutuhkan beberapa jenis profesional kesehatan yang
bekerja sebagai tim untuk memberikan perawatan yang
komprehensif terbaik. Merujuk pasien ke Pusat Perawatan
Thalasemia (TTC), yang telah di tempatkan tim dokter, perawat,
dan tenaga kesehatan lain yang memiliki pengalaman dalam
mengobati orang dengan talasemia. Mendorong pasien untuk
memiliki pemeriksaan perawatan komprehensif per tahun untuk
memantau bagaimana pengobatan yang sedang terjadi,
mengetahui daerah apa yang mungkin perlu diubah, dan
sebagainya.
2. Orang-orang dengan risiko
Karena perubahan dalam gen yang menyebabkan
thalassemia dapat diturunkan dari orang tua kepada anak-anak,
sangat sulit untuk mencegahnya. Namun, jika Anda atau
pasangan Anda kenal anggota keluarga dengan talasemia, atau
jika Anda berdua memiliki anggota keluarga dari tempat-tempat
di dunia di mana thalassemia adalah umum, Anda dapat berbicara
dengan seorang konselor genetik untuk menentukan apa risiko
anak-anak Anda untuk memiliki thalassemia.
3. Orang dengan thalassemia
Sebuah gaya hidup sehat adalah penting bagi semua orang.
Bagi orang-orang yang hidup dengan talasemia, adalah sangat
penting untuk mengetahui bahwa gaya hidup sehat berarti
"mengelola gangguan", serta membuat pilihan yang sehat.
Penderita thalassemia dapat melakukan hal-hal seperti:

25
a. Mengelola thalassemia
Thalassemia adalah gangguan yang dapat disembuhkan
yang dapat dikelola dengan transfusi darah dan terapi khelasi.
Seseorang dengan thalassemia harus menerima perawatan
medis secara teratur dari hematolog (dokter spesialis yang
merawat penyakit atau kelainan darah) atau dokter yang
mengkhususkan diri dalam merawat pasien dengan
thalassemia. Jika dokter telah memberikan resep baik
transfusi darah atau terapi khelasi, hal yang paling penting
orang dengan talasemia dapat lakukan adalah tetap berpegang
pada transfusi dan jadwal khelasi mereka untuk mencegah
anemia dan kerusakan organ yang mungkin dari kelebihan zat
besi, masing-masing.
b. Pilihan kesehatan untuk orang dengan thalassemia
Pilihan sehat lainnya yang orang dengan talasemia harus
pertimbangkan termasuk menjaga vaksinasi terbaharui, makan
makanan bergizi, berolahraga, dan mengembangkan
hubungan yang positif.
c. Vaksinasi
Orang dengan talasemia dapat memperoleh infeksi
serius, terutama jika limpa mereka telah diangkat. Oleh
karena itu, orang dengan talasemia harus selalu waspada
terhadap demam atau tanda-tanda lain dari infeksi. Ketika
tanda-tanda infeksi terjadi, seseorang dengan talasemia harus
mencari bantuan medis segera.
Vaksinasi dapat membantu melindungi seseorang
dengan thalassemia dari berbagai infeksi. Anak-anak harus
memiliki set rutin imunisasi anak bersama dengan vaksin
pneumokokus. Dokter mungkin juga merekomendasikan
meningokokus, hepatitis A, dan vaksin hepatitis B untuk
orang dewasa dengan talasemia.

26
d. Makanan
Makan makanan bergizi penting bagi setiap orang untuk
menjaga gaya hidup sehat. diet, tinggi dalam buah-buahan dan
sayuran dan rendah lemak sangat ideal untuk mendapatkan
nutrisi penting yang dibutuhkan tubuh. Bagi orang-orang yang
hidup dengan talasemia, karena terlalu banyak zat besi dapat
membangun dalam darah, makanan tinggi zat besi mungkin
perlu dibatasi. Besi dapat ditemukan dalam daging, ikan, dan
beberapa sayuran (misalnya, bayam). produk lainnya, seperti
sereal dan jus jeruk, mungkin mengandung zat besi tambahan.
Orang dengan talasemia harus membicarakan dengan dokter
mereka apakah mereka harus membatasi jumlah zat besi
dalam diet mereka.
e. Olahraga
Olahraga adalah bagian dari gaya hidup sehat secara
keseluruhan dan membantu menghasilkan kesehatan yang
lebih baik. Meskipun beberapa orang dengan talasemia
mungkin memiliki kesulitan yang berpartisipasi dalam bentuk
latihan bertenaga, banyak orang dengan talasemia dapat
berpartisipasi dalam kegiatan fisik sedang termasuk
bersepeda, berjalan, dan berjalan. Jika seseorang dengan
thalassemia memiliki masalah dengan sendi mereka, ada
banyak jenis kegiatan-dampak rendah untuk dipilih dari
termasuk yoga, berenang, atau aerobik air. Jika Anda
memiliki thalassemia, Anda harus membicarakan dengan
dokter Anda tingkat latihan yang akan menjadi yang terbaik
untuk Anda.
f. Hubungan
Memiliki, hubungan hangat yang mendukung adalah
bagian penting dari kehidupan. Teman-teman, termasuk rekan
kerja, teman sekelas, dan anggota keluarga dapat memberikan

27
dukungan dalam mengelola thalassemia (misalnya,
menawarkan tumpangan ke pusat transfusi, mengingatkan
mengenai jadwal khelasi Anda) dan mengatasi stres
kehidupan sehari-hari.
Hubungan romantis juga dapat memberikan sumber
dukungan. Jika hubungan romantis menjadi hubungan
seksual, penting bagi setiap orang untuk membuat keputusan
yang sehat, seperti diuji untuk penyakit menular seksual dan
negosiasi penggunaan kondom. Selain itu, jika Anda memiliki
thalassemia, sifat thalassemia, atau mengetahui seseorang
dalam keluarga Anda dengan thalassemia, konseling genetik
dianjurkan sebelum kehamilan apapun sehingga Anda dan
pasangan dapat diinformasikan dari risiko memiliki anak
dengan thalassemia.

2.6. Hubungan Penyakit Hematologi Dengan Splenomegali8


Splen atau limpa secara normal bertugas menghancurkan eritrosit
tua maupun abnormal sehingga dapat melepaskan hemoglobin yang akan
dimetabolisme menjadi biliribun di hati/hepar, menjadi reservoir
cadangan eritrosit, sintesis limfosit dan sel plasma dalam system imun,
dan membentuk eritrosit baru saat masa janin dan bayi baru lahir.
Adanya hemolisis menyebabkan proses perombakan eritrosit secara
cepat. Eritrosit abnormal cepat dihancurkan oleh limpa dan hati dengan
bantuan makrofag sehingga semakin banyak eritrosit abnormal maka
kerja limpa akan semakin berat. Hal inilah yang menyebabkan adanya
splenomegali.
Selain destruksi eritrosit di limpa juga terdapat di hati. Selain itu
sebagai kompensasi atau umpan balik dari penurunan kadar hemoglobin
akibat oksigenasi ke jaringan kurang merangsang terjadinya eritropoesis
6-8 kali lipat oleh sumsum tulang. Untuk menunjang dan membantu
kerja sumsum tulang dalam eritropoesis sehingga terbentuk eritropoesis

28
ekstramedular pada limpa dan hati sehingga merupakan salah satu
penyebab hepatosplenomegali.

Studi Kasus
2.1. Hubungan Anemia Ibu Saat Hamil Dengan Keluhan Pada Anak
Hubungan antara anemia ibu dan berat badan lahir telah ditinjau
lebih luas di tempat lain dalam masalah ini. Dalam beberapa penelitian,
hubungan berbentuk U diamati antara konsentrasi hemoglobin ibu dan
berat lahir. Abnormal konsentrasi hemoglobin yang tinggi biasanya
menunjukkan ekspansi volume plasma yang buruk, yang juga merupakan
risiko untuk berat badan lahir rendah.
Berat lahir rendah pada wanita anemia telah dilaporkan dalam
beberapa penelitian. Dalam analisis regresi multivariat data dari 691
wanita di pedesaan Nepal, penurunan berat neonatal dari 38, 91, 187, dan
153 g dikaitkan dengan konsentrasi hemoglobin masing-masing 20, 90-
109, 70-89 dan <70 g / L. Kemungkinan untuk berat badan lahir rendah
meningkat dijumpai pada berbagai tingkat anemia, meningkat dengan Hb
yang rendah kurang lebih dalam hubungan terkait dosis (1,69; 2,75; dan
3,56 untuk konsentrasi hemoglobin masing-masing dari 90-109, 70-89,
dan 110-119 g / L). Uji coba yang melibatkan sejumlah besar perempuan
yang kekurangan zat besi menunjukkan bahwa suplementasi besi
memperbaiki berat lahir.
Beberapa peneliti melaporkan hubungan negatif antara feritin
serum ibu dan berat lahir dan hubungan positif dengan kelahiran
prematur. Temuan ini mungkin menunjukkan adanya infeksi, yang
meningkatkan feritin serum.

Anemia Pada Ibu Dan Kesehatan Bayi


Hubungan antara anemia ibu dan skor Apgar bayi yang lebih
rendah dilaporkan dalam beberapa studi. Dalam 102 perempuan India
pada tahap pertama persalinan, konsentrasi hemoglobin ibu yang lebih

29
tinggi berkorelasi dengan skor Apgar yang lebih baik dan dengan risiko
dari asfiksia lahir yang lebih rendah. Ketika wanita hamil diobati dengan
besi atau plasebo di Nigeria, skor Apgar secara signifikan lebih tinggi
pada mereka bayi yang ibunya menerima besi.
Sebuah risiko dari kelahiran prematur yang lebih tinggi adalah
perhatian tambahan yang terkait dengan efek kekurangan zat besi ibu
pada kesehatan bayi; bayi prematur cenderung memiliki komplikasi
perinatal yang lebih besar, pertumbuhan menjadi terhambat, dan
memiliki penyimpanan zat besi dan nutrisi lainnya yang rendah. Dalam
Survei Kematian Perinatal Jamaika dari > 10 000 bayi pada tahun 1986,
ada < 50% kemungkinan lebih besar dari angka kematian pada tahun
pertama kehidupan bagi bayi yang ibunya tidak diberi suplemen zat besi
selama kehamilan, meskipun status besi bayi tersebut dan ibu mereka
tidak dinilai. Terlepas dari survei ini, ada sedikit yang diketahui
mengenai dampak dari status zat besi ibu selama kehamilan pada
kesehatan dan pengembangan bayi berikutnya.30

2.2. Hubungan Takipneu Dengan Keluhan Pada Anak


Pada kasus, anak tersebut menderita anemia berat yang menyebabkan
distribusi O2 tidak adekuat. Hal ini menyebabkan terjadinya mekanisme
kompensasi tubuh berupa takipneu.23

2.3. Hubungan Gangguan Pertumbuhan Dengan Keluhan Pada Anak


Pada anak yang menderita -thalasemia mayor, akan terjadi
peningkatan eritropoiesis yang tidak efektif, hal ini menyebabkan pasien
mengalami hipermetabolik hingga terjadi gangguan pertumbuhan.31

30
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Bayi perempuan 6 bulan mengalami thalasemia mayor.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood L. Human physiology: from cells to systems. 9th edition.


Boston, MA, USA: Cengage Learning; 2016.
2. Kuntarti. Fisiologi Ginjal dan Sistem Saluran Kemih. Jakarta: Bagian
Urologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
3. Adamson WJ et al. Anemia and Polycythemia in Harrisons Principles of
Internal Medicine 16th edition. NewYork: McGraw Hill; 2005
4. Benoist B, dkk. Worldwide Prevalence of Anemia 1993-2005.
Switzerland: WHO; 2008.
5. Recht M, Pearson HA. Iron Deficiency Anemia. Dalam : McMillan JA,
DeAngelis CD, Feigin RD, Warshaw JB, penyunting. Oskis Pediatrics :
Principles and Practice. Edisi ke-3. Philadelphia; Lippincott William &
Wilkins, 1999: 1447-8.
6. Cotran et al. Red Cell and Bleeding Disorders in Robbins Pathologic Basis
Of Disease 6th edition; USA: Saunders; 1999.
7. Guyton and Hall. Sel-Sel Darah Merah, Anemia dan Polisitemia dalam
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi IX, Jakarta: EGC; 1997.
8. Bakta I Made, dkk. Anemia Defisiensi Besi dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam jilid II edisi IV. Jakarta: FKUI; 2006.
9. Sudoyo AW. Setiyohadi B. Alwi I. Simadibrata M. Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
10. Schneider JM, Fujii ML, Lamp CL, Lonnerdal B, Dewey KG, Zidenberg-
Cherr S. Anemia, iron deficiency, and iron deficiency anemia in 12-36-
mo-old children from low-income families. Am J Clin Nutr 2005;82:1269-
75.
11. Helen Keller International (Indonesia). Iron deficiency anemia in
Indonesia. Report of the policy workshop on iron deficiency anemia in
Indonesia. Jakarta: 1997.h.1-16.

32
12. Untoro R, Falah TS, Atmarita, Sukarno R, Kemalawati R, Siswono.
Anemia gizi besi. Dalam: Untoro R, Falah TS, Atmarita, Sukarno R,
Kemalawati R, Siswono, penyusun. Gizi dalam angka sampai dengan
tahun 2003. Jakarta: DEPKES; 2005.h.41-4.
13. Pee S, Bloem MW, Sari M, Kiess L, Yip R, Kosen S. The high prevalence
of low hemoglobin concentration among Indonesian infants aged 3-5
months is related to maternal anemia. J Nutr 2002;132:2215-21.
14. Lozoff B. Iron deficiency in infancy: applying a physiologic framework
for prediction. Am J Clin Nutr 2006;84:1412-21.
15. Nathan DG, Oski FA. Iron Deficiency Anemia. Hematology of Infancy
and Childhood. Edisi ke-1. Philadelphia; Saunders, 1974: 103-25.
16. Raspati H, Reniarti L, dkk. Anemia defisiensi besi. Buku Ajar Hematologi
Onkologi Anak. Cetakan ke-2 IDAI pp 30-42. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI; 2006.
17. Soegijanto, S. Anemia defisiensi besi pada bayi dan anak. Jakarta: IDI;
2004.
18. Wu AC, Lesperance L, Bernstein H. Screening for iron deficiency.
Pediatrics in Review. 2000; 23:171-7
19. Lind T, Lonnerdal B, Persson L, Stenlund H, Tennefors C, Hernell O.
Effects of weaning cereals with different phytate contents on hemoglobin,
iron stores, and serum zinc: a randomized intervention in infants from 6 to
12 mo of age. Am J Clin Nutr. 2003; 78:68-75.
20. Conrad, E Marcel, 2006, Iron Deficiency Anemia: Follow-up, Available
at http://emedicine.medscape.com.
21. Ruangvutilert, P. Thalassemia is a Preventable Gen Disease. Siriraj MedJ.
2007. 59: 330-333.
22. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak Volume 2.
Edisi ke-15. Jakarta : EGC; 1996.
23. Kliegman R, Behrman RE, Nelson WE, editors. Nelson textbook of
pediatrics. 20th ed. Phialdelphia, PA: Elsevier; 2016. 2 p.

33
24. Hoffbrand A.V. and Pettit J.E. Genetic Diorders of Haemoglobin. In:
Hoffbrand AV and Pettit JE (eds) Color Atlas of Clinical Hematology. 3th
ed. 5: 85-98. London: Mosby; 2001.
25. Barrett KE, Ganong WF, editors. Ganongs review of medical physiology.
24. ed. New York: McGraw-Hill Med; 2012. (A Lange medical book).
26. Weatherall DJ. Historical Introduction. In: Weatherall DJ (ed). The
Thalassaemia Syndromes. Blackwell Scientific Publ. Oxford; 1965.
27. Mansjoer A, Triyanti K,Savitri R, Wahyu IW dan setiowulan W. Kapita
Selekta Kedokteran, Jilid 2 Edisi 3, Jakarta: Media Aesculapius; 2001.
28. Setiati Siti, Alwi Idrus, Sudoyo W. Aru, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi VI. Penerbit Ilmu Penyakit Dalam : Jakarta
29. National Center on Birth Defects and Developmental Disabilities. Do You
Know About Thalassemia?. Centers for Disease Control and Prevention.
2014.
30. Allen L H. Anemia and Iron Deficiency: Effects on Pregnancy Outcome.
The American Journal of Clinical Nutrition. American Society for
Clinical Nutrition. USA; 2000.
31. Permono HB, Sutaryono, Ugrasena, Windiastuti E. Buku Ajar hematologi
Onkologi Anak. Jakarta: IDAI; 2012.

34

Anda mungkin juga menyukai