LI.1.1. Definisi
Asma adalah suatu gangguan yang kompleks dari bronkhial yang dikarakteristikkan oleh
periode bronkospasme atau kontraksi spasme yang lama pada jalan nafas. (Polaski, 1996)
Asma adalah gangguan pada jalan nafas bronkial yang dikateristikan dengan
bronkospasme yang reversibel. (Joyce M. Black, 1996)
Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan
bronkhi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu. (Smelzer Suzanne, 2001)
Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermitten, reversible dimana
trakeobronkial berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu.
Asma bronkhial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas
yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari
pengobatan (The American Thoracic Society).
LI.1.2. Epidemiologi
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak).
Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia, (http://um.ac.id) prevalensi asma pada
anak berusia 6- 7 tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2%
(Kartasasmita, 2002) . (http://ksupointer.com)
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003), prevalensi
serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta),
dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang
mengalami serangan lebih banyak daripada lelaki.
WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan
berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100
ribu populasi. Kematian anak akibat asma jarang.
LI.1.3. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan
asma bronkhial, yaitu:
a. Faktor Predisposisi
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi
ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor
pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
b. Faktor Presipitasi
Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan
ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut
ex: makanan dan obat-obatan
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit
ex: perhiasan, logam dan jam tangan
Perubahan Cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma.
Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim
kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
Stress
Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga
bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul
harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress atau gangguan emosi perlu
diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum
diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
Lingkungan Kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium
hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu
libur atau cuti.
Olahraga atau Aktifitas Jasmani yang Berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas
jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
(Heru, Sundaru, Sukamto, 2007)
LI.1.4. Klasifikasi
A. Berdasarkan penyebab
1. Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang
spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin)
dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi
genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti
yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asthma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya
infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering
sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan
emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asthma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik
dan non-alergik.
B. Klasifikasi asma berdasarkan tingkat keparahan penyakit menurut Global Initiative For
Asthma :
LI.1.5. Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang menyebabkan sukar
bernafas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda
asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai
berikut, seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody
IgE abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan
antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat
pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen maka antibody IgE orang tersebut meningkat, alergen bereaksi
dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan
berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang
merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin.
Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding
bronkhioulus kecil maupun sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme
otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.
Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi
karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus.
Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari
tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita
asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan
ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru
menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi
dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.
(Heru, Sundaru, Sukamto, 2007)
LI.1.6. Patogenesis
Asma Sebagai Penyakit Inflamasi
Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran nafas. Inflamasi ditandai
dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi) dan rubor (kemerahan karena
vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa sakit karena rangsangan
sensoris) dan functio laesa (fungsi yang terganggu). Akhir-akhir ini syarat terjadinya
radang harus disertai satu syarat lagi, yaitu infiltrasi sel-sel radang. Ternyata keenam syarat
tadi dijumpai pada asma tanpa membedakan penyebabnya baik yang alergik maupun non
alergik.
Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non alergik dijumpai adanya
inflamasi dan hipereaktivitas saluran nafas. Oleh karena itu, paling tidak dikenal 2 jalur
untuk mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh
IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah
oleh APC (Antigen Presenting Cell; sel penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan
alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (sel T helper; penolong). Sel Th inilah yang
akan memberikan instruksi melalui IL (interleukin) atau sitokin agar sel-sel plasma
membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti mastosit, makrofage, sel epitel, eosinofil,
neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi.
Mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrin (LT), platelet activating
factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX), dan lain-lain akan mempengaruhi organ sasaran
sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskuler, edema saluran nafas,
infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus dan fibrosis sub epitel, sehingga menimbulkan
hipereaktivitas saluran nafas (HSN). Jalur non alergik selain merangsang sel inflamasi,
juga merangsang sistem saraf autonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan HSN.
1. Anamnesa
Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak yang tak kunjung
sembuh, atau batuk malam hari. Semua keluhan biasanya bersifat episodik dan reversible .
Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit alergi yang lain.
2. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih nyaman
dalam posisi duduk
Jantung : Pekak jantung mengecil, takikardi
Paru
Inspeksi : Dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong ke bawah
Auskultasi : Terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang
Perkusi : Hipersonor
Palpasi : Fremitus vokal kanan sama dengan kiri
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:
Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil
Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkhus
Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkhus
Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid
dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug
Pemeriksaan Darah
Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, atau asidosis
Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH
Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm 3 dimana
menandakan terdapatnya suatu infeksi
Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE pada waktu
serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan
4. Pemeriksaan Penunjang Lain
1. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan
menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah
dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.
Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai
berikut:
Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah
Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan
semakin bertambah
Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru
Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal
Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium,
maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru
2. Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
3. Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3
bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada emfisema paru, yaitu:
Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock
wise rotation
Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right
bundle branch block)
Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES
atau terjadinya depresi segmen ST negatif
4. Scanning Paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama
serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.
5. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan
sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator
aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC
sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol
bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk
menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek
pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya
menunjukkan obstruksi.
Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang berat
atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim
diberikan. Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya
singkat, dengan waktu pengamatan antara satu sampai dua jam.
Diagnosis Banding
1. Bronkitis Kronis
Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun paling sedikti terjadi
dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya terjadi pada penderita > 35 tahun dan
perokok berat. Gejalanya berupa batuk di pagi hari, lama-lama disertai mengi, menurunya
kemampuan kegiatan jasmani pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor
pumonal.
2. Emfisema Paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya.
Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema biasanya tida ada fase remisi,
penderita selalu merasa sesak pada saat melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat
dada seperti tong, gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler sangat
lemah. Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi.
3. Gagal Jantung Kiri
Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai paroksisimal dispneu.
Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak berkurang jika
penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru.
4. Emboli Paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan tromboflebitis dengan
gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan
pingsang. Pada pemeriksaan fisik didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural
friction, gallop, sianosis, dan hipertensi.
(Heru, Sundaru, Sukamto, 2007)
LI.1.8. Penatalaksanaan
A. Tujuan Pengobatan Asma
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
Mencegah eksaserbasi akut
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru optimal
Mengupayakan aktivitas normal (exercise)
Menghindari ESO
Mencegah airflow limitation irreversible
Mencegah kematian
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid menghalangi respon peradangan dan sangat efektif dalam mengurangi
gejala penyakit asma. Jika digunakan dalam jangka panjang, secara bertahap
kortikosteroid akan menyebabkan berkurangnya kecenderungan terjadinya serangan
penyakit asma dengan mengurangi kepekaan saluran udara terhadap sejumlah
rangsangan.
Tetapi penggunaan tablet atau suntikan kortikosteroid jangka panjang dapat
menyebabkan:
Gangguan proses penyembuhan luka
Terhambatnya pertumbuhan anak-anak
Hilangnya kalsium dari tulang
Perdarahan lambung
Katarak prematur
Peningkatan kadar gula darah
Penambahan berat badan
Kelaparan
Gangguan mental
Tablet atau suntikan kortikosteroid bisa digunakan selama 1-2 minggu untuk mengurangi
serangan penyakit asma yang berat. Kortikosteroid per-oral (ditelan) diberikan untuk
jangka panjang hanya jika pengobatan lainnya tidak dapat mengendalikan gejala penyakit
asma.
Untuk penggunaan jangka panjang biasanya diberikan inhaler kortikosteroid karena
dengan inhaler, obat yang sampai di paru-paru 50 kali lebih banyak dibandingkan obat
yang sampai ke bagian tubuh lainnya.
4. Obat Antikolinergik
Obat ini bekerja dengan menghalangi kontraksi otot polos dan pembentukan lendir yang
berlebihan di dalam bronkus oleh asetilkolin. Lebih jauh lagi, obat ini akan menyebabkan
pelebaran saluran udara pada penderita yang sebelumnya telah mengkonsumsi agonis
reseptor beta2-adrenergik. Contoh obat ini yaitu atropin dan ipratropium bromida.
5. Pengubah Leukotrien
Merupakan obat terbaru untuk membantu mengendalikan penyakit asma. Obat ini
mencegah aksi atau pembentukan leukotrien (bahan kimia yang dibuat oleh tubuh yang
menyebabkan terjadinya gejala-gejala penyakit asma). Contohnya montelucas, zafirlucas
dan zileuton.
Terapi Awal
Pasang Oksigen 2-4 liter/menit dan pasang infuse RL atau D5
Bronkodilator (salbutamol 5 mg atau terbutalin 10 mg) inhalasi dan pemberian dapat
diulang dalam 1 jam
Aminofilin bolus intravena 5-6 mg/kgBB, jika sudah menggunakan obat ini dalam 12
jam sebelumnya cukup diberikan setengah dosis
Anti inflamasi (kortikosteroid) menghambat inflamasi jalan nafas dan mempunyai
efek supresi profilaksis
Ekspektoran, apabila terdapat mukus kental dan berlebihan (hipersekresi) dalam
saluran pernafasan menjadi salah satu pemberat serangan asma, oleh karenanya harus
diencerkan dan dikeluarkan, misalnya dengan obat batuk hitam (OBH), obat batuk
putih (OBP), gliseril guaiakolat (GG)
Antibiotik, hanya diberikan jika serangan asma dicetuskan atau disertai oleh
rangsangan infeksi saluran pernafasan, yang ditandai dengan suhu yang meninggi.
Antibiotika yang efektif adalah:
Derajat
Terapi Lokasi
Serangan
Drug of choice: Agonis beta 2 inhalasi Rumah
Ringan diulang setiap 1 jam
Alternatif: Agonis beta 2 oral 3x2 mg
Sedang Drug of choice: Oksigen 2-4 liter/menit Puskesmas
dan agonis beta 2 inhalasi Klinik rawat jalan
Alternatif: Agonis beta 2 IM atau IGD
adrenalin subkutan dengan Aminofilin 5-6
Praktek dokter umum
mg/kgbb
Rawat inap jika tidak ada
respons dalam 4 jam
Drug of choice: IGD
Oksigen 2-4 liter/menit Rawat inap apabila dalam
Agonis beta 2 nebulasi diulang s.d 3 3 jam belum ada
Berat kali dalam 1 jam pertama perbaikan
Aminofilin IV dan infus Pertimbangkan masuk
Steroid IV diulang tiap 8 jam ICU jika keadaan
memburuk progresif
Drug of choice: IGD
Oksigen 2-4 liter/menit Rawat inap apabila dalam
Agonis beta 2 nebulasi diulang s.d 3 3 jam belum ada
Berat kali dalam 1 jam pertama perbaikan
Aminofilin IV dan infus Pertimbangkan masuk
Steroid IV diulang tiap 8 jam ICU jika keadaan
memburuk progresif
Drug of choice: ICU
Menganca Lanjutkan terapi sebelumnya
m Jiwa Pertimbangkan intubasi dan ventilasi
mekanik
LI.1.9. Pencegahan
Menjauhi alergen, bila perlu desensitisasi
Menghindari kelelahan
Menghindari stress psikis
Mencegah atau mengobati ISPA sedini mungkin
Olahraga renang, senam asma
LI.1.10. Prognosis
Pada umumnya prognosis pada kasus asma cukup baik. Hal tersebut dikarenakan asma
merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya. Namun, apabila tidak dilakukan
penanganan dapat menyebabkan kematian. Hal tersebut berdasarkan data yang diperoleh dari
WHO. WHO memperkirakan pada tahun 2005, terdapat 255.000 didunia meninggal karena
asma. Sebagian besar ( 80%) terjadi dinegara berkembang. (http://www.who.int/)
B. Tujuan
menormalkan kembali pernapasan yang terganggu akibat adanya lender atau karena sesak napas.
Terapi inhalasi lebih efektif, kerjanya lebih cepat pada organ targetnya, serta membutuhkan dosis
obat yang lebih kecil, sehingga efek sampingnya ke organ lain pun lebih sedikit. Sebanyak 20-
30% obat akan masuk disaluran napas dan paru-paru. Sedangkan 2-5% mungkin akan
mengendap di mulut dan tenggorokan. Ilustrasinya, obat akan jaln-jalan dulu kelambung, ginjal
atau jantung yakni paru-paru sehingga ketika sampai paru-paru obat relative tinggal sedikit.
C. Indikasi
Proses perawatan penyakit saluran pernafasan yang akut maupun yang kronik, misalnya
asma. Penyakit asma paling sering dijumpai pada anak-anak
Saat bayi/anak terserang batuk berlendir
Pada asma penggunaan obat secara inhalasi dapat mengurang efek samping yang sering
terjadi pada pemberian parenteral atau peroral, karena dosis yang sangat kecil
dibandingkan dengan jenis lainnya
D. Keamanan penggunaan
Terapi inhalasi aman bagi segala usia termasuk bayi. Dengan terapi ini bayi cukup bersikap pasif
( bernapas saja ) kalaupun menangis tak perlu khawatir karena efeknya malah semakin bagus
karena obatnya akan terhirup.
1. metered-dose inhaler ( MDI ), adalah brupa alat semprot yang berisi obat yang harus
dihirup dengan ukuran dosis tertentu. Diperlukan teknik yang benar untuk dapat
menggunakan MDI ini, antara lain perlu adanya koordinasi yang pas padac saat menekan
alat semprot tersebut dengan saat menghirup obatnya, sehingga untuk anak-anak kecil
alat ini mungkin akan agak sulit cara menggunakannya, kecuali jika sudah dilatih. Spacer
( alat penyambung ) akan menambah jarak alat dengan mulut, sehingga kecepatan aerosol
pada saat dihisap menjadi berkurang, hal ini mengurangi pengendapan di orofaring
( saluran napas atas ) sehingga mengurangi jumlah obat yang tertelan dan mengurangi
efek sistemik. Specer ini berupa tabung ( dapat bervolume 80 ml ) dengan panjang sekitar
10-20 cm, atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume 1000 ml. Penggunaan spacer
ini sangat menguntungkan pada anak.
2. dry powder inhaler ( DPI ), alat berisi serbuk untuk dihisap. Penggunaan obat hirupan
dalam bentuk bubuk kering ( DPI ) seperti Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler,
Easyhaler, Twisthaler, memerlukan inspirasi ( upaya menarik/enghirup napas ) yang
cukup kuat. Pada anak yang kecil ini sulit dilakukan. Pada anak yang lebih besar
penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi
dibandingkan MDI. Deposisi ( penyimpanan ) obat pada paru lebih tinggi dibandingkan
MDI dan lebih konstan, sehingga dianjurkan diberikan pada anak diatas 5 tahun ( anak
usia sekolah ).