Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

Pemeriksaan Penunjang TB Paru

Disusun Oleh :

Mohammad Fajar A

11 2016 038

Pembibing :

dr Endah Sp.P
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

RSUD TARAKAN JAKARTA

Periode 1 Mei 8 Juli 2017

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

PENDAHULUAN

Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit tertua yang diketahui mengenai
manusia, disebabkan oleh bakteri yang dikenal sebagai Mycobacterium tuberculosis.1 Hampir
seluruh bagian tubuh manusia dapat diserang oleh bakteri ini namun yang paling banyak
diserang adalah organ paru.2 Transmisi tuberkulosis biasanya melalui droplet udara yang
mengandung basil tuberkulosis dari penderita yang terinfeksi tuberkulosis paru.1

Tuberkulosis paru merupakan masalah kesehatan yang utama di dunia. Bahkan pada
bulan Maret 1993 World Health Organization mendeklarasikan tuberkulosis sebagai global
world health emergency.2 Tuberkulosis paru dianggap masalah dunia yang penting karena
diperkirakan sepertiga penduduk dunia terinfeksi bakteri penyebab tuberkulosis1.

Pada tahun 1998, WHO melaporkan terdapat 3.617.047 kasus tuberkulosis yang tercatat
di seluruh dunia.2 Lalu pada tahun 2001, dilaporkan lebih dari 3,8 juta kasus baru tuberkulosis
yang 90% berasal dari negara-negara berkembang.1 Kemudian pada tahun 2005, terjadi
peningkatan dengan adanya 8,8 juta insiden tuberkulosis di seluruh dunia, dengan 3,9 juta
dilaporkan dengan sputum BTA positif. Lebih dari sepertiganya (34%) berasal dari regional Asia
Tenggara. Jauh lebih banyak dari wilayah Afrika yang hanya memiliki insiden tuberkulosis 2,53
juta (29%)3.

Indonesia memiliki prevalensi tuberkulosis paru yang tinggi, bahkan berada di urutan
ketiga di dunia dalam jumlah kasus tuberkulosis paru setelah India dan China. Dari segi jumlah
kasus terdapat 583.000 insiden dan prevalensi BTA positif 715.000 kasus.2
Penggunaan diagnosis masih banyak menemui kendala, mulai dari gambaran klinis yang kurang
jelas, gambaran radiografi yang tidak khas, tingkat sensitivitas pemeriksaan BTA yang hanya
30% dan kultur yang memakan waktu berminggu-minggu. Hal ini menuntut untuk
dikembangkannya metode yang lebih baik dari segi spesifisitas dan sensitivitas.

Tuberkulosis Ekstra Paru


Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk kasus-
kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat
dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.

DIAGNOSIS

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan


fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.

A. Gejala klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala
lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratorik
a. batuk-batuk lebih dari 2 minggu
b. batuk darah
c. sesak napas
d. nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up.
Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk.
Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
membuang dahak ke luar.

2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun.

3. Gejala tuberkulosis ekstra paru


Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah
bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya
terdapat cairan.

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat.
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks
dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan
di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah
sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di


daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess
Gambar 5. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior

C. Pemeriksaan Bakteriologik

1. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat
berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi
(termasuk biopsi jarum halus/BJH)

2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan


Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b. Pagi ( keesokan harinya )
c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot
yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan
tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek
(difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau
untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum
dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak
sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang
sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.

Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien,
spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan dan
pengiriman dahak dengan kertas saring:
a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya.
b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas
saring sebanyak + 1 ml.
c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang
tidak mengandung bahan dahak.
d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di
dalam dus.
e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil.
f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong
yang terbuka dengan menggunakan lidi.
g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak.
h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.

3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.


Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan
jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks,
kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
o bila 3 kali negatif : BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi


WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan.
2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).

Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst


Skala Bronkhorst (BR) :
1) BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan.
2) BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang.
3) BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang.
4) BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang.
5) BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.

b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode


konvensional ialah dengan cara :
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
2) Agar base media : Middle brook.

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat


mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis
(MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat
cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran
dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.
D. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral,
top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif


1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura

Luluh paru (destroyed Lung ) :


1. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara
klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/
multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya
berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit.

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb
(terutama pada kasus BTA negatif) :
1. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih
dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua
depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta
tidak dijumpai kavitas
2. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
E. Pemeriksaan Khusus

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan
kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara
lebih cepat.

1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M
tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan
dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji
kepekaan.

2. Polymerase chain reaction (PCR)


Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA
M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan
kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan
ketelitian dalam pelaksanaannya.

Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang


pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar internasional.
Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang
kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis TB.

Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat
berasal dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat.

3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :


a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral
berupa proses antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain
adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.
b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk
mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik TB
yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis,
diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis
melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1
garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke
bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum
mengandung antibody IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan
antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit
terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.

c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang
berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila
di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai
sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat
dideteksi dengan mudah.

d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)


Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi dalam
menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati
karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.

e. Uji serologi yang baru / IgG TB


Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis.

F. Pemeriksaan Lain

1. Analisis Cairan Pleura


Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang
mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada
analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.

2. Pemeriksaan histopatologi jaringan


Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.
Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh
melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman)
c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans thoracal
biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
d. Otopsi

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam
larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua
difiksasi untuk pemeriksaan histologi.

3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator
penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang
normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.

4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia
dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit
kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula
atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji
tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.
Gambar 6. Alur Diagnosis TB Paru

PEWARNAAN ZIEHL NEELSEN


1. Pendahuluan
Mikobakteria yang diwarnai dengan pewarna fenilmetana (contoh : fuksin bes)
dalam larutan aniline atau fenol akan mengekalkan warna tersebut meskipun telah diberi
asam yang kuat. Oleh yang demikian, bakteria golongan pertama ini disebut sebagai
bakteria tahan asam. Sifat tahan asam ini merupakan cirri yang bermanfaat dan penting
dalam membedakan Mycobacterium dengan bakteri lain. (Beberapa spesies aktinomiset
juga tahan asam). Pada bakteria tahan asam, pewarna fenol mempunyai kelarutan yang
tinggi di dalam sel dibandingkan dengan decolorator, pewarna tersebut kekal di dalam
sel, manakala pada bakteria tak tahan asam pewarna tersebut hanya masuk ke dalam sel
dan kemudian disingkirkan dari sel oleh decolorator.
Disamping ciri-ciri ini kadar resap pewarna pada sel yang tahan asam adalah
rendah dibandingkan dengan sel tak tahan asam. Ciri-ciri ini disebabkan oleh perbedaan
komposisi kimia (secara kuantitatif dan kualitatif) bakteria tahan asam dan bakteria tak
tahan asam. Mikobakteria yang tahan asam mempunyai karbohidrat, alcohol dan asam
lemak (seperti asam mikolik) yang tersendiri. Oleh yang demikian, dalam tata cara ini
object glass perlu dipanaskan sehingga uap keluar karena dalam hal ini, pemanasan
digunakan untuk terlaksananya pewarnaan dalam jangka waktu yang optimal.

2. Tujuan
Untuk mengidentifikasi acid-fast mycobacteria : leprae, tuberculosis dan
atypical.

3. Inform Consent
1. Meminta persetujuan
2. Menjelaskan prosedur
3. Menjelaskan tujuan

4. Alat dan Bahan


1. Material kuman yang akan diselidiki:
a. Mycobakterium tuberculosa: spuntum
b. Mycobacterium leperae: kerokan
2. Gelas Objek
3. Ose
4. Lampu spiritus
5. Mikroskop dan minyak imersi
6. Alkohol 70% dan kapas
7. Cat yang akan digunakan :
Carbon fuchsin 10 ml (Ziehl Neelsen A)
( Alkohol fuchsin / basic fuchsin dan carbol 5% 90 ml)

HCI 3% dalam alkohol absolute 96% (Ziehl Neelsen B)


(HCI 3 ml, alkohol absolute 97 ml)

Methylen biru (Ziehl Neelsen C)

5. Cara Kerja
1. Objek glass yang kering dan bersih, dibersihkan dengan kapas alhokol 95%
2. Ambil Ose steril yang telah dipanaskan di atas api spiritus sampai merah membara,
lalu setelah ose steril dingin, masukan ke dalam tabung yang berisi material kuman
cair untuk mengambil kuman. Ratakan pada oyek glass secara tipis-tipis, tunggu
sampai kering
3. Bila material kuman dalam bentuk padat, diencerkan dengan setetes air steril dengan
koloni di atas objek glass, biarkan kering
4. Ose dipanaskan lagi, agar kuman mati.
5. Fiksasi preparat dengan cara memanaskan preparat tadi diatas api spiritus sebanyak
2-3 kali, agar kuman menempel di objek glass, Preparat siap diwarnai.
Setelah direkatkan , preparat digenapi dengan carbol fuchsia selama 5 menit di
panaskan diatas nyala api sampai terjadi penguapan akan tetapi jangan sampai
mendidik
Sisa cat dibuang, cuci dengan larutan HCL 3% dalam alkohol absolute, sehingga
cat tampak larut semua
Cuci dengan air
Genangi dengan methylen blue atau malachite green 1-2 menit
Cuci dengan air dan biarkan menjadi kering
Sediaan ditetesi minyak imersi dan dilihat di bawah mikroskop dengan lensa
obyektif pembesaran 97-100 x.
Hasil pemeriksaan :
- Kuman tahan asam alkohol tampak warna merah
- Kuman tak tahan asam alkohol tampak warna biru/hijau.

Interpretasi
Jumlah Basil Hasil yang dilaporkan
(-) BTA / 100 LP 0 (-)
1-9 BTA / 100 LP 1-9 BTA / 100 LP (tulis jumlah)
10-99 BTA / LP 1+ (+ / positif 1)
1-10 BTA / LP 2+(++/positif 2)
> 10 BTA / LP 3+ (+++/positif 3)

PENUTUP

Diagnosis tuberkulosis paru merupakan bagian penting dalam usaha pemberantasan


penyakit tuberkulosis paru. Diagnosis tuberkulosis tidak dapat dilakukan hanya berdasarkan
salah satu pemeriksaan saja. Gabungan dari beberapa pemeriksaan akan meningkatkan
keberhasilan diagnosis tuberkulosis dan juga meningkatkan keberhasilan pengobatan
tuberkulosis paru1,2,5,6,7.

Perkembangan saran diagnostik telah banyak membantu kecepatan dan keakuratan


diagnosis tuberkulosis paru. Namun hal ini tidak dapat menghilangkan penggunaan sarana-
sarana konvensional dalam mendiagnosis. Sarana-sarana canggih lebih bijak bila digunakan
sebagai sarana pendukung diagnosis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Eddy, PS. Sejarah dan Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis. Simposium Tuberkulosis.


Surabaya, Des. 1982 : 11-20.
2. Raviglione MC, Snider DE, Kochi Arata, Global Epidemiology of Tuberculosis JAMA
1995 ; 273 : 220-26.
3. WHO.TB A Clinical manual for South East Asia. Geneva, 1997; 19-23.
4. Aditama T.Y. Tuberculosis Situation in Indonesia, Singapore, Brunei Darussalam and in
Philippines, Cermin Dunia Kedokteran 1993 ; 63 : 3 7.
5. Hudoyo, A. Penerapan Strategi DOTS bagi Penderita TB, Dalam Simposium dan
Semiloka TB Terintegrasi. RSUP Persahabatan, Jakarta, 1999.
6. Broekmans, JF. Success is possible it best has to be fought for, World Health Forum An
International Journal of Health Development. WHO, Geneva, 1997 ; 18 : 243 47.
7. Bing, K. Diagnostik dan klasifikasi tuberkulosis paru. RTD Diagnosis dan Pengobatan
Mutakhir Tuberkulosis Pam Semarang, Mei 1989 1-6.
8. Suryatenggara, W. Peranan pyrazinamide dalam pengobatan tuberkulosis Yogyakarta
1984 : 43-55. paru jangka pendek. Simposium Pengobatan Mutakhir Tuberkulosis Paru
Bandung, 57-63.
9. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta. 2002.
10. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, 2007; 3-4.
11. Widodo, Eddy. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga Kesehatan Dalam
Pemberantasan Tuberkulosis. IPB, Bogor. 2004.
12. Werdhani, Retno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis.
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan Keluarga FKUI. 2002.

Anda mungkin juga menyukai