Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan merupakan sunnatullah pada alam ini, tidak ada yang


keluar dari garisNya, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah
berfirman dalam QS. Adz Dzariyat ayat 49 yang artinya "Dan segala sesuatu
Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran
Allah".

Allah menciptakan manusia seperti ciptaan yang lainnya, tidak


membiarkan nalurinya berbuat sekehendaknya, atau membiarkan hubungan
antara laki-laki dan perempuan kacau tidak beraturan. Tetapi Allah
meletakkan rambu-rambu dan aturan sebagaimana telah diterangkan oleh
utusan-Nya, Muhammad SAW.

Ada banyak pernikahan yang di haramkan oleh Islam, salah satunya


yang dikenal dengan nikah mutat. Nikah mutah ini merupakan salah satu
pernikahan yang diharamkan Islam. Uniknya, nikah mutah ini bahkan
dilanggengkan dan dilestarikan oleh agama Syiah dengan mengatasnamakan
agama.

Nikah mutah di Indonesia dikenal juga dengan istilah kawin kontrak,


secara kwantitatif sulit untuk didata, karena perkawinan kontrak itu
dilaksanakan selain tidak dilaporkan, secara yuridis formal memang tidak
diatur dalam peraturan apapun, sehingga dapat dikatakan bahwa perkawinan
kontrak/ nikah mutah di Indonesia tidak diakui dan tidak berlaku hukum itu.

Dari sini penyusun akan menguraikan bagaimana sebenarnya


pandangan hukum Islam mengenai praktek kawin mut'ah yang terjadi di
Indonesia.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Nikah Mutah ?

2. Apa saja syarat-Syarat Nikah Mutah Menurut Syiah ?

3. Apa sebab-Sebab Diharamkannya Nikah Mutah ?

4. Bagaimana nikah Mutah Menurut Hukum Islam ?

5. Bagaimana ijma Seluruh Ummat Islam ?

6. Bagaimna nikah Mutah Menurut Hukum Positif ?

7. Bagaimana akibat Hukum Nikah Mutah dalam Perspektif Kesetaraan


Gender ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Nikah Mutah

2. Untuk mengetahui syarat-Syarat Nikah Mutah Menurut Syiah

3. Untuk mengetahui sebab-Sebab Diharamkannya Nikah Mutah

4. Untuk mengetahui nikah Mutah Menurut Hukum Islam

5. Untuk mengetahui ijma Seluruh Ummat Islam

6. Untuk mengetahui nikah Mutah Menurut Hukum Positif

7. Untuk mengetahui akibat Hukum Nikah Mutah dalam Perspektif


Kesetaraan Gender

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah Mutah


Mutah berasal dari kata tammatu yang berarti bersenang-senang
atau menikmati. Adapun secara istilah mutah berarti seorang laki-laki
menikahi seorang wanita dengan memberikan jumlah harta tertentu dalam
waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu
yang telah di tentukan tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat
tinggal dan tanpa adanya saling mewarisi antara keduanya meninggal
sebelum berakhirnya masa nikah mutah itu. Nikah mutah dalam istilah
hukum biasa disebut perkawinan untuk masa tertentu , dalam arti pada
waktu akad dinyatakan ikatan berlaku perkawinan sampai masa tertentu
yang bisa masa itu telah datang, perkawinan itu terputus dengan sendirinya
tanpa melalui proses penceraian. Nikah mutah biasa disebut kawin
kontrak.
Adapun nikah mutah di kalangan para ahli fikih (fuqaha) disebut
juga nikah muaqqat (kawin sementara waktu) atau nikah inqitha (kawin
terputus). Oleh karena laki-laki yang mengawini wanita itu untuk jangka
tertentu: sehari, seminggu, atau sebulan sesuai dengan perjanjian. Disebut
nikah mutah, karena laki-laki bermaksud untuk bersenang-senang dengan
wanita untuk sementara waktu sampai batas yang ditentukan.
Sementara menurut Syiah Imamiyah, nikah mutah adalah apabila
seorang wanita menikahkan dirinya dengan laki-laki dalam keadaan tidak
ada hambatan apapun (pada diri wanita) yang membuatnya haram
dinikahi, sesuai dengan aturan hukum Islam. Hambatan tersebut baik
berupa nasab, periparan, persusuan, ikatan perkawinan dengan orang lain,
iddah atau sebab lain yang merupakan hambatan yang ditetapkan dalam
agama. Wanita yang bebas dari hambatan-hambatan tersebut dapat
menikahkan dirinya kepada seorang laki-laki dengan mahar tertentu
sampai batas waktu yang telah ditentukan dan disetujui bersama dan

3
dengan cara akad nikah yang memenuhi seluruh persyaratan keabsahannya
menurut syariat.
Kemudian setelah tercipta kesepakatan dan kerelaan antara keduanya,
wanita itu mengucapkan, Engkau kukawinkan, atau Engkau
kunikahkan,atau Engkau kumutahkan atas diriku, dengan mas kawin
sekian , selama sekian hari (bulan atau tahun atau selama masa tertentu
yang harus disebutkan dengan pasti),. Kemudian orang laki-laki tersebut
harus segera berkata tanpa diselingi ucapan apapun, Aku terima.

B. Syarat-Syarat Nikah Mutah Menurut Syiah.


Syiah menyatakan kalau nikah mutah dihalalkan dan terdapat
ayat Al Quran yang menyebutkannya yaitu An Nisaa ayat 24. Salafy
yang suka sekali mengatakan nikah mutah sebagai zina berusaha menolak
klaim Syiah. Mereka mengatakan ayat tersebut bukan tentang nikah
mutah.

Artinya:Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,


kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum
itu) sebagai ketetaan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain
yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi
bukan untuk berzina. Maka wanita (istri) yang telah kamu nikmati
(istamtatum) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya
sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan
mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
(QS. An-Nisa:24).

Menurut Syiah, nikah mutah boleh dilakukan. Adapun syarat-syarat nikah


mutah yaitu:

4
1. Laki - laki terbebas dari beban nafkah hanya bersenang-senang dengan
wanita tanpa ada bilangan tertentu, sekalipun seribu orang.
2. Istri atau wanita pasangan tidak memiliki hak waris.
3. Tidak disyaratkan izin bapak atau wali dari pihak perempuan.
4. Lamanya kawin mut'ah biasanya hanya beberapa detik saja atau lebih
dari pada itu.
5. Wanita yang di nikahi (mut'ah) statusnya sama dengan wanita sewaan
atau budak.

Kawin mut'ah ini pernah di perbolehkan oleh Rasullullah dalam suatu


pertempuran mengingat keadaan psikologis tentara. Kemudian dilarang
dan diharamkan menurut ahli sunnah, tetapi orang syi'ah tidak mengakui
bahwa Rasulullah telah melarangnya. Mereka mengatakan di perbolehkan
dan berlangsung terus. Di Pakistan, tepatnya di kota Lahore, setiap
Muharrom diadakan acara mut'ah masal acara ini dilakukan biasanya pada
malam kesepuluh bulan Muharram untuk memperingati gugurnya Imam
Husen ar. Seorang ulama besar syiah Bagir Majlisi mujtahid besar syiah
pada abad ke-10 dan ke-11 Masehi mempunyai banyak karangan, kitab-
kitabnya di anjurkan oleh Khumaini untuk dibaca dan dimanfaaatkan,
antara lain kitab Kasyiful Asrar, dan juga menulis suatu makalah tentang
nikah mut'ah yang ditulis dalam bahasa Persia dan diterjemahkan kedalam
bahasa Urdu dengan judul 'Ujalah Hasanah' (keterburukan yang bagus).
Makalah ini telah diterbitkan oleh ulama besar syiah sejak 70 tahun yang
lalu kemudian di cetak ulang di Lahore. Dalam hal ini dikutip hadist-hadist
rosul tentang mut'ah seperti : Barang siapa melakukan perbuatan baik ini
(mut'ah) maka Allah mengangkatnya ke derajat yang paling tinggi, lalu
akan dapat menyebrangi (sirotul mustakim) dengan cepat sekali seperti
lalat dan akan di naungi oleh 70 barisan malaikat

C. Sebab-Sebab Diharamkannya Nikah Mutah


Sebagaimana telah diketahui bahwa, tujuan diutusnya Rasulullah
saw adalah rahmat bagi seluruh alam, Karena itu, maka Allah swt
mengharamkan Nikah Mutah kerna tidak sesuai dengan misi yang
diemban Rasulullah saw. Memang pada mulanya nikah ini dibolehkan,

5
akan tetapi, hal ini hanya sebatas keringanan bagi Sahabat-Sahabat
Rasulullah saw. Dimana kita ketahui, bahwa jarak antara keislaman
mereka masih dekat dengan kebiasaan-kebiasaan yang mereka tumbuh
didalamnya sebelum datangnya islam.
Keringanan ini juga hanya terjadi dalam peperengan, maka tidak
masuk akal dalam keadaan seperti ini, meminta mereka menahan syahwat
mereka dengan berpuasa. Karena tidak benenar dalam peperengan
melemahkan seorang Mujahid dengan cara apapun dan dalam keadaan
apapun. Keadaan inilah yang menjadi dasar dibolehkannya Nikah Mutah.
Setelah hilangnya sebab-sebab di atas, Allah menghapusnya melalui
firmannya dan Lisan Rasulnya saw. Karena, Nikah Mutah menyusahkan
perempuan dan anak yang lahir dari mereka. Dan setelah diharamkan,
tidak ada dari sahabat dan tabiin yang melakukan itu lagi. Bila dilihat dari
definisi Nikah Mutah,pernikahan seperti ini terjadi kontradiksi terhadap
arti nikah sesungguhnya. Sebab tujuan sebuah pernikahan adalah suatu
ikatan yang kuat dan perjanjian yang teguh yang ditegakkan di atas
landasan niat untuk bergaul antara suami istri dengan abadi supaya
memetik buah kejiwaan yang telah digariskan Allah swt dalam al-qur'an
yaitu ketentraman, kecintaan, dan kasih sayang. Sedangkan tujuan yang
bersifat duniawi adalah demi berkembangnya keturunan dan kelangsungan
hidup manusia. Seperti Firman Allah swt :
Artinya:
Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang
seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas
penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia
tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. samakah orang itu dengan
orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan
yang lurus?.QS. An-Nahl : 76
Artinya:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263] Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta

6
satu sama lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.QS.An-
Nissa : 1

[263] maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian
tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan
muslim. di samping itu ada pula yang menafsirkan dari padanya ialah dari
unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s. diciptakan.
[264] menurut kebiasaan orang Arab, apabila mereka menanyakan sesuatu
atau memintanya kepada orang lain mereka mengucapkan nama Allah
seperti :As aluka billah artinya saya bertanya atau meminta kepadamu
dengan nama Allah.
Dalam prinsip-prinsip sebuah pernikahan, Nikah Mut'h, sangat
tidak sesuai dengan nikah yang telah Allah swt syari'atkan. Dimana
diketahui bahwa, Nikah mut'ah dibatasi oleh waktu, dengan demikian,
Nikah Mut'ah berakhir dengan habisnya waktu yang ditentukan dalam
aqad atau faskh, sedangkan dalam syari'at, pernikahan berakhir dengan
talak atau meninggal dunia, dengan kata lain tidak dibatasi oleh waktu.
Selain dibatasi oleh waktu, Nikah Mut'ah juga tidak membatasi
jumlah istri yang boleh dinikahi. Maka boleh bagi seorang peria menikah
lebih dari empat orang istri. Dan ini dapat dilakukan tampa wali atau
tampa persetujuan walinya, dan dalam pernikahan ini tidak diperlukan
saksi, pengumuman, perceraian, pewarisan dan pemberian nafkah setelah
selesainya waktu yang telah disepakati. Kecuali sebelumnya telah terjadi
kesepakatan atau apabila si perempuan itu hamil.
Bila ditinjau dari segi mudhoratnya (dampak negatif), Nikah Mut'ah
merupakan bentuk pelecehan terhadap kaum wanita, merusak
keharmonisan keluarga, menelantarkan generasi yang dihasilkan dari
pernikahan tersebut, menimbulkan dan menyebarkan penyakit kelamin,
meresahkan masyarakat, dan karena tidak diwajibkan adanya wali dan
saksi, bisa jadi, seseorang mengumpulkan antara dua bersaudara, atau
antara anak dan ibunya atau bibinya dan tidak menutup kemungkinan, ia
menikahi anaknya sendiri dari hasil Pernikahan Mut'ah yang dilakukan
sebelumnya, bahkan, bisa jadi ia mengumpulkannya dengan ibunya karena

7
ketidak tahuannya dan tidak adanya orang yang mengetahuinya. Dengan
demikian, jelaslah bagi kita sebab-sebab diharamkannya Nikah Mut'ah,
selain tidak sesuai dengan misi diutusnya Rasulullah saw (rahmatan
lilalaamin) dan syari'at yang dibawanya, Nikah Mut'ah juga memiliki
banyak mudhorat (dampak negatif), yang berdampak pada Agama,
masyarakat maupun akhlak, oleh kerna itu, Rasulullah saw
mengharamkannya, karena didalamnya terdapat berbagai macam
kerusakan.

D. Nikah Mutah Menurut Hukum Islam


Nikah mutah dinamakan juga nikah sementara (kontrak), yaitu
menikah untuk satu hari, satu minggu, enam minggu, satu tahun, atau
berapa saja sesuai perjanjiannya. Keempat madzhab sepakat bahwa nikah
mutah haram hukumnya. Bila dalam akad nikah disebut jangka waktu,
akad itu menjadi batal dan tidak sah. Hubungan yang dinikahkan menjadi
hubungan pezinahan. Nikah mutah telah diharamkan oleh Islam dengan
dalil kitab, sunnah, ijma, dan akal.

1. Dalil al-Quran
Allah berfirman:
Artinya:
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,Kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki[1512],
Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada tercela.Barangsiapa
mencari yang di balik itu[1513], Maka mereka Itulah orang-orang
yang melampaui batas. QS.al Maarij : 29-31
[1512] Maksudnya: budak-budak belian yang didapat dalam
peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di
luar peperangan. dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu,
wanita-wanita yang ditawan Biasanya dibagi-bagikan kepada kaum
muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan kebiasan Ini bukanlah
suatu yang diwajibkan. imam boleh melarang kebiasaan ini.
Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut

8
tertawan bersama-samanya. [1513] Maksudnya: zina, homoseksual,
dan sebagainya.

Dari ayat diatas diketahui bahwa sebab disahkan berhubungan


badan hanya melalui dua cara. Yaitu nikah shahih dan perbudakan.
Sedangkan wanita mutah, bukanlah istri dan bukan pula budak.
Dengan itu, sangat jelas bahwa hubungan kelamin hanya
diperbolehkan dengan istri atau budak, sedangkan istri dari
perkawinan mutah tidak berfungsi sebagai istri karena:
1. Tidak saling mewarisi, sedangkan akad nikah menjadi sebab
memperoleh harta warisan
2. Idah nikah mutah tidak seperti nikah biasa
3. Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam
hubungannya dengan beristri empat sedangkan tidak demikian
halnya dengan mutah
4. Dengan melakukan mutah seseorang itu tidak dianggap menjadi
muhsin karena wanita yang diambil dengan jalan mutah tidak
berfungsi sebagai istri, sebab mutah itu tidak menjadikan wanita
berstatus istri dan tidak pula berstatus budak, maka termasuklah
orang yang melakukan mutah itu di dalam firman Allah.

2. Dalil as-Sunnah
Pada awalnya, Nabi saw membolehkan nikah mutah pada tahun
penaklukan Makkah. Tapi masih pada tahun yang sama pula beliau
melarangnya. Ada yang mengatakan, larangan nikah mutah ini
sewaktu perang Khaibar. Tapi yang benar ialah pada tahun penaklukan
Makkah. Yang dilarang sewaktu perang Khaibar ialah makan daging
keledai piaraan. Memang Ali bin Abi Thalib pernah berkata pada Ibnu
Abbas, Rasulullah saw melarang nikah mutah dan keledai piaraan
sewaktu perang Khaibar. Lalu sebagian rawi mengira bahwa
penyebutan Khaibar ini berlaku untuk dua masalah tersebut. Tapi ada
seorang rawi yang menyebutkan pembatasan salah satu di antaranya
dengan perang Khaibar.
Menurut Dr. Abdus Shomad, hadis yang menunjukkan bolehnya
mutah telah dinasakh. Hal dinyatakan dalam hadis berikut:

9
, , ,
" , , ,

()

Artinya:

Wahai sahabat sekalian bahwa aku pernah memperbolehkan kamu


melakukan mutah dan ketahuilah bahwa Allah telah
mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barang siapa yang ada
padanya wanita yang diambilnya dengan jalan mutah, hendaklah ia
melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sesuatu yang telah
kamu berikan kepada mereka (HR. Muslim).

Dari dalil yang dikutip dari hadis Nabi tersebut, bahwa nikah
mutah diperbolehkan pada era Rasulullah saw dalam keadaan darurat.
Akan tetapi pembolehan tersebut sudah dinasakh dan oleh hadis di
atas. Oleh karena itu, sangat jelas bahwa hukum nikah mutah ini
haram dan akan berdosa bagi yang melakukannya. Hal itu berlaku
sampai hari kebangkitan.

E. Ijma Seluruh Ummat Islam


Seluruh umat Islam telah sampai pada posisi ijma' tentang
pengharamannya. Semua sepakat menyatakan bahwa dalil yang pernah
menghalalkan nikah mutah itu telah dimansukhkan sendiri oleh
Rasulullah SAW. Tak ada satu pun kalangan ulama ahli sunnah yang
menghalalkannya.

F. Nikah Mutah Menurut Hukum Positif


Dalam hal ini setidak-tidaknya dapat dikutip empat aturan
perundang-undangan yang berlaku secara legal (positif) di Indonesia
sebagai berikut:
1. Pancasila, terutama sila I, Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila II,
Kemanusiaan yang adil dan beradab

10
2. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, bab 31 tentang agama,
Pasal 29 ayat (1) dan (2)
3. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang menyatakan, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
4. Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan, Perkawinan
menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau mitsaqan galizan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Juga Pasal 3 yang
menegaskan, Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Berdasarkan 4 hal di atas, semakin jelas arah kebijakan dan


kepentingan pemerintah dalam mewujudkan suatu keluarga yang
harmonis dan sejahtera dengan membuat seperangkat aturan
perundang-undangan yang bertujuan untuk melindungi seluruh
rakyat Indonesia dengan suatu teori bahwa suatu negara dikatakan
memiliki stabilitas yang kuat bila ditunjang oleh keberadaan
keluarga-keluarga atau rumah tangga yang mantap. Hal ini sulit
terwujud bila pondasi keluarga dibangun dengan perkawinan
semacam nikah mutah. Karena itu, pemerintah hendaknya
mengambil langkah tegas terhadap para pelaku nikah mutah dan
oknum-oknum dari instansi pemerintah atau di luar instansi
pemerintah yang terlibat atas terjadinya nikah mutah dan yang
sejenisnya.

G. Akibat Hukum Nikah Mutah dalam Perspektif Kesetaraan Gender


Nikah mutah mungkin merupakan hal yang tidak asing bagi realita
kehidupan saat ini maupun masa lampau, dalam prakteknya nikah mutah
memang telah diharamkan, karena disisi lain telah memberikan efek
ketidakadilan bagi pihak perempuan (umumnya) karna bisa juga terdapat
nikah dari pihak wanita terhadap seorang laki-laki. Nikah semacam ini
sering kali dipandang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan dan

11
sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap orang yang di nikah
mutah dan anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka
seperti nafkah ataupun hak waris. Di Indonesia sendiri perkawinan yang
sah yaitu secara administratif telah dicatatkan, dan pencatatan perkawinan
pun dilangsungkan dihadapan PPN (pegawai pencatat nikah) baru
dikatakan perkawinan yang sah kalau di negara kita. Maka dari itu, guna
kemudharatan, peserta ijtima' ulama sepakat bahwa pernikahan harus
dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang.
Kaitannya dengan nikah mutah dalam prespektif gender dapat
memberikan dampak dari hukum nikah tersebut. Jika pernikahan semacam
ini terus-menerus dibiarkan, maka yang menjadi korban dari dampak nikah
tersebut adalah pihak yang di nikah mutah, diantaranya adalah, tidak akan
ada sebab hukum, karna tidak ada kekuatan hukum dari nikah yang
dilakukan dibawah tangan, tidak akan ada hal saling waris-mewarisi,
kemudian jika sampai mempunyai anak dari pernikahan tersebut, maka
anak dari nikah tersebut hanya bernasab pada sang ibu, lebih parahnya lagi
anak tersebut akan merasa malu (secara psikologis), dan akan sulit untuk
mengurus surat-surat kependudukan, karena ketidakjelasan data tentang
dirinya.
Dalam nikah mutah ini jika terjadi sesuatu hal yang merugikan dari pihak
yang merasa dirugikan maka sulit untuk meminta pertanggungjawaban dan
juga sulit untuk menimbulkan akibat hukumnya, karena tidak ada bukti
dari pencatat pernikahan, sehingga sulit untuk menuntut pihak terkait. Jadi,
jika kita mengetahui dari akibat hukum nikah mutah ini, seharusnya kita
bisa mengubah atau sedikit memberikan faham-faham pada orang yang
akan mengambil keputuan untuk melakukan nikah semacam ini. Karana
akan memberikan dampak tersendiri bagi pelaku dari nikah mutah. Selain
itu, dalam hal kesehatan akibat dari nikah ini adalah penyakit gonorhe
(kencing nanah), yaitu penyakit menular seksual yang disebabkan oleh
Neisseria gonorrhoeae yang menginfeksi lapisan dalam uretra, leher rahim,
rektum, tenggorokan, dan bagian putih mata (konjungtiva). Gonorhe bisa
menyebar melalui aliran darah ke bagian tubuh lainnya, terutama kulit dan
persendian. Pada wanita, gonorhe bisa menjalar ke saluran kelamin dan

12
menginfeksi selaput di dalam pinggul sehingga timbul nyeri pinggul dan
gangguan reproduksi

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah memahami makalah diatas, bahwasanya nikah mut'ah ini sangat
merugikan dan sebagai sarana penyebaran penyakit, seperti yang terjadi di
negri kita sendiri, yaitu kejadian yang telah di alami oleh wanita yang
mengaku kadang-kadang mengikuti pengajian dalam hasil pemeriksaan
laboratorium ternyata menyidap penyakit kelamin yang di akibatkan oleh
nikah mut'ah. Nikah Mut'ah adalah batal/tidak sah dan hubungan (suami-istri)
yang dilakukan atas dasar akad mut'ah dihukumi haram oleh mayoritas
ulama/jumhur.
Nikah Mut'ah boleh dan dianggap sah oleh Syi'ah Imamiah. Dan relasi
(suami-istri) yang dilakukan atas dasar akad muth'ah adalah halal. Bagi
mereka yang mengikuti jumhur/penganut mazhab jumhur (baik Mazhab
Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali, Dzahiri, Zaidiy dll atau selain penganut
Imamiah) tidak boleh/haram melakukan nikah mut'ah. Sedangkan bagi
penganut Imamiah boleh melakukan nikah mut'ah sesuai dengan mazhab
mereka. Akibat hukum yang ditimbulkan oleh adanya nikah mutah dengan
prespektif gender diantaranya adalah tidak adda kepastian hukum yang kuat,
anak hasil nikah mutah bisa saja tidak dapat pengakuan dari pihak ayah,
karna tidak adanya bukti sebagai penguat dari pernikahan itu sendiri,
kemudian dalam hal nafkah dan warisan juga tidak akan ada, jadi nikah
mutah banyak memberikan efek negatif bagi pihak yang di mutah dari pada

13
efek positifnya, jadi tidak akan ada pertanggung jawaban dari nikah mutah
ini.

B. Saran
Kami selaku penyusun makalah telah menjelaskan tentang pandangan
islam mengenai kloning atau penggandaan. Kami mengharapkan agar
makalah yang kami buat dan kami susun dapat memberikan manfaat
pembelajaran terhadap mahasiswa dan bagi para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

A. Dzarrin al-Hamidy. 2008. Nikah Mutah dalam Sorotan Hukum Islam dan
Hukum Positif. Al-Qanun, Vol. 11, No. 1
Amir Syarifuddin. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenada Media Croup.
Dani. 2016. Hukum Nikah Mutah dalam Islam.
http://abangdani.wordpress.com/2012/03/19/hukum-nikah-mutah-dalam-
islam/ diakses tanggal 22 Mei 2016.
Ruslan, Heri. 2012. Kawin Kontrak Apa Hukumnya.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/12/01/22/ly5scp-kawin-
kontrak-apa-hukumnya diakses tanggal 22 Mei 2016.

14

Anda mungkin juga menyukai