Anda di halaman 1dari 38

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Menurut kamus kedokteran Dorland, Lupus Eritematosus Sistemik
adalah gangguan jaringan penyambung generalisata kronik yang dapat bersifat
ringan hingga fulminans dimana adanya temuan autoantibodi yang menyerang
komponen sitoplasma dan inti sel, ditandai oleh adanya erupsi kulit, atralgia,
arthritis, nefritis, pleuritis, pericarditis, leucopenia atau trombositopenia,
anemia hemolitik, lesi organ, manifestasi neurologik, limfadenopati, demam
dan berbagai gejala konstitusional lainnya.5 Sedangkan menurut buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam, LES adalah prototipe penyakit autoimun yang ditandai oleh
produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan
dengan manifestasi klinis yang luas.1 Perjalanan penyakit LES bersifat

fluktuatif yang ditandai dengan periode tenang dan eksaserbasi.6


Kata lupus dalam bahasa latin berarti serigala, erythro berasal dari
bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah
merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar
rash.4

2.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit rematik
utama di dunia dan dalam 40 tahun terakhir ini, insidensi LES meningkat tiga
kali lipat karena kemajuan ilmu kedokteran bidang reumatologi dalam
mendiagnosis LES melalui kriteria ACR.1,7 Di Amerika Serikat dilaporkan
prevalensi LES yaitu 52 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi per
tahunnya sekitar 5.1 kasus per 100.000 penduduk. Di negara Asia-Pasifik,
prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-45.3 kasus per 100.000 penduduk dengan
Australia sebagai negara dengan prevalensi tertinggi yaitu 45.3 kasus per
100.000 penduduk. Di Asia, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-37.7 kasus per
100.000 penduduk dimana negara Cina memiliki insidensi terbanyak yaitu 3.1
kasus per 100.000 penduduk.4
Di Indonesia belum ada data epidemiologi LES yang mencakup seluruh
wilayah Indonesia. Beberapa data di Indonesia dari pasien yang dirawat di
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
ditemukan 37,7 % kasus LES pada tahun 1998-1990.1 Data tahun 2002 di RSUP
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total
kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara pada tahun
2010 di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien (10.5%) dari total pasien
yang berobat ke poliklinik Reumatologi.3
Onset penyakit LES 65% terjadi antara usia 16-55 tahun, 20% sebelum usia 16
tahun dan 15% setelah usia 55 tahun dimana 90% pasien LES adalah perempuan usia
muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi.1,7

Rasio penyakit LES pada perempuan dan laki-laki adalah 9:1.3 Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes, dilaporkan prevalensi LES pada
perempuan yaitu sekitar 7.7-68.4 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi 1.4-
5.4 kasus, sedangkan prevalensi LES pada laki-laki 0.8-7.0 kasus per 100.000
penduduk dengan insidensi 0.4-0.8 kasus tiap tahunnya.4
Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, dimana
angka kematian pasien LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi
umum.3 Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dari
pengamatan 108 orang pasien yang berobat dari tahun 1990-2002.3
Sedangkan berdasarkan usia, angka survival rate SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20,
dan 20 tahun adalah 93-97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%, dan 53-64%.3 Hasil studi
yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes tahun 2012 menyatakan survival rate
LES 93-98% dalam 1 tahun, 60-97% dalam 5 tahun, dan 70-94% dalam 10 tahun.4
Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan
infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa), sedangkan
dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis Penyebab
tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada LES di negara Asia-Pasifik yaitu 30-
80% karena infeksi, 19-95% penyakit LES yang aktif, 6-40% keterlibatan
kardiovaskular, dan 7-36% karena adanya abnormalitas ginjal.4
Prognosis LES sangat bervariasi. Di negara Asia-Pasifik, prognosis LES
tampak lebih baik pada negara Cina (Shanghai, survival rate 98% dalam 5 tahun),
Hong Kong (survival rate 97% dalam 5 tahun dan 94% dalam 10 tahun), Korea
Selatan (survival rate 94% dalam 5 tahun), akan tetapi di negara Australia
survival rate LES hanya 60% dalam 5 tahun.4

2.3 Etiologi
Faktor genetik, imunologis, lingkungan dan hormon dianggap sebagai
etiologi LES, yang mana keempat faktor ini saling terkait. Faktor lingkungan dan
hormon berperan sebagai pencetus penyakit pada individu peka genetik. Faktor
lingkungan yang dianggap sebagau pencetus antara lain yaitu infeksi, sinar
ultraviolet, pemakaian obat-obatan, stress mental maupun fisik.8

a) Antibodi Antinuklear (ANA)9


ANA diarahkan untuk melawan beberapa antigen nucleus dan dapat
dikelompokkan menjadi empat kategori:
1. Antibodi terhadap DNA
2. Antibodi terhadap histon
3. Antibodi terhadap protein nonhiston yang terikat pada RNA
4. Antibodi terhadap antigen nucleolus
b) Faktor Genetik 7,9
1. Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigotik dan
kembar dizigotik (1-3%).
2. Anggota keluarga mempunyai risiko yang meningkat untuk menderita
LES dan hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis
tidak terkena dapat menunjukkan adanya autoantibodi. Ikatan saudara
kandung memiliki risiko 30 kali lebih besar untuk menderita penyakit
LES.

3. Pada populasi kulit orang putih di Amerika Utara terdapat hubungan


positif antara LES dengan gen HLA kelas II, terutama pada lokus
HLA-DQ.
4. Beberapa pasien LES sekitar 6% mengalami defisiensi komponen
komplemen yang diturunkan. Kekurangan komplemen akan
mengganggu
pembersihan kompleks imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi
jaringan, yang menimbulkan jejas jaringan.

Tabel 2.1 Antibodi Antinuklear Pada Berbagai Penyakit Autoimun

Sumber : Vinay Kumar, 2007.

c) Faktor Lingkungan 2,7,9


Adanya sindrom menyerupai lupus pada pasien yang meminum obat
tertentu, seperti prokainamid dan hidralazin. Obat-obat ini mengganggu
ekspresi dari sel T CD4+ dengan menghambat metilasi DNA dan
menstimulus ekspresi antigen LFA-1 sehingga memicu autoreaktivasi
pada
LES. Oleh karena itu, sebagian besar penderita yang diobati dengan prokainamid
selama lebih dari 6 bulan akan menghasilkan ANA disertai gambaran LES yang
muncul 15% - 20% pada pasien tersebut.
Pajanan sinar ultraviolet merupakan faktor lingkungan lain yang dapat
memperburuk penyakit tersebut pada banyak individu. Sekitar 70% pasien LES
akan mengalami flare ketika terpajan dengan sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet
dapat meningkatkan apoptosis keratinosit, merusak DNA dan meningkatkan jejas
jaringan yang akan melepaskan pembentukan kompleks imun DNA / anti-DNA
yang dapat menstimulus respon autoimun pada LES.
Infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) merupakan faktor yang dapat
meningkatkan terjadinya LES. EBV akan mengaktivasi sel limfosit B dan
menstimulus interferon (IFN ) untuk produksi sel plasmasitoid dendirtik yang
akan memicu respon imun. Selain itu, EBV juga memiliki untaian asam amino
yang menyerupai untaian asam amino manusia yang akan menstimulus respon
autoimun pada LES.

d) Faktor Imunologis 9
Bermacam-macam kelainan imunologis baik pada sel T maupun sel B pada
pasien LES sulit untuk mengidentifikasi setiap salah satunya sebagai penyebab.
Analisi molekular terhadap antibodi anti-DNA untai ganda member petunjuk
bahwa antibodi tersebut tidak dihasilkan oleh susunan acak sel B aktif poliklonal,
tetapi lebih banyak berasal dari respon sel-B oligoklonal yang lebih selektif
terhadap antigennya sendiri. Sebagai contoh, antibodi anti-DNA pathogen pada
pasien LES adalah kationik, sedangkan antibodi yang dihasilkan oleh sel B yang
teraktivasi secara poliklonal adalah anionik dan nonpatogen. Oleh sebab itu,
tanggung jawab autoimunitas pada LES telah beralih ke sel T helper CD4+.

e) Faktor Hormonal 2
Perempuan memiliki respon antibodi lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini
disebabkan oleh efek estrogen yang bermanfaat terhadap sintesis antibodi.
Perempuan yang mengkonsumsi kontrasepsi oral yang terdapat kandungan
estrogen atau yang menggunakan hormone replacement therapy
memiliki risiko 2 kali lipat terkena LES. Estradiol akan berikatan pada
reseptor sel T dan sel limfosit B, meningkatkan aktivasi sel T dan sel
limfosit B tersebut.

Gambar 2.1 Keterkaitan antara factor genetik, epigenetic dan


lingkungan pada LES.
Sumber : Ellen M.G, 2014.

2.4 Patogenesis
Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan
toleransi-diri. Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat
merusak jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks
imun. Antibodi tersebut melawan komponen nuclear dan sitoplasma sel host
yang tidak spesifik terhadap organ.9 Proses ini diawali dengan faktor pencetus
yang ada dilingkungan, dapat berupa infeksi, sinar ultraviolet atau bahan
kimia.
Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh yaitu 8:
1. Sel T dan sel B menjadi autorektif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks
imun maupun sitokin di dalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
4. Hilangnya toleransi imun dimana sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen kerena adanya mimikri molekuler

Gambar 2.2 Model pathogenesis LES

Sumber : Vinay Kumar, 2009.

Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai


macam antibodi di dalam tubuh yang disebut
autoantibodi. Selanjutnya antibodi tersebut akan
membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut
akan terdeposisi pada jaringan atau organ yang
akhirnya
menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.8

Gambar 2.3 Tiga tahap patogenesis penyakit kompleks imun sistemik


Sumber : Vinay Kumar, 2009
Karakteristik patogenesis dari LES yaitu sistem imun yang menyerang
nuklear endogen yang dianggap sebagai autoantigen. Autoantigen dikeluarkan oleh
sel yang mengalami apoptosis kemudian akan dipresentasikan oleh sel dendritik ke
sel T. Sel T mensekresikan sitokin yaitu interleukin 10 (IL10) dan IL23 yang
mengaktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Nukleosome endogen dapat
berikatan dengan molekular patogen reseptor dan dapat menstimulus pengeluaran
interferon (IFN ) sehingga memicu terjadinya inflamasi. Selain itu juga
nucleosome dapat berikatan dengan reseptor permukaan sel seperti BCR (B cell
antigen reseptor) dan TLR (Toll like reseptor). Pada pasien dengan SLE yang aktif

terdapat peningkatan ekspresi TLR9.7

Pada LES sebagian besar autoantibodi yang dihasilkan akan langsung


menyerang kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosome, nukleolar
RNA, spliceosomal RNA. Saat terjadi apoptosis, antigen tersebut bermigrasi ke
permukaan sel dan mengaktivasi sistem imun untuk produksi autoantibodi.
Hiperreaktivitas dari sel T dan sel limfosit B pada LES ditandai dengan
meningkatnya ekspresi molekul HLA-D dan CD40L. Hasil akhir dari ini

yaitu produksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun yang terdeposisi di


jaringan sehingga membuat (1) sequestrasi dan destruksi sel-sel yang diselubungi Ig
yang beredar di sirkulasi, (2) fiksasi dan cleaving komplemen, (3) pengeluaran
kemotoksin, peptide vasoaktif, dan enzim-enzim yang mendestruksi jaringan.2
Gambar 2.4 Patogenesis pada LES
Sumber : George Berstias, 2012.

2.5 Patofisiologi

Gambar 2.5 Mekanisme sistemik pada LES


Sumber : Simanta Pathak, 2011

Abnormalitas imun pada LES terbagi menjadi 2 fase yaitu (a)


meningkatnya serum antinuklear dan autoantibodi anti-glomerular, (b)
terbentuknya kompleks imun pada organ target yang menyebabkan kerusakan
organ.11 Defek mekanisme regulasi imun seperti klirens apoptosis dan
kompleks imun merupakan kontributor pada LES. LES ditandai dengan
adanya produksi autoantibodi, terbentuknya kompleks imun, dan aktivasi
komplemen yang tidak terkendali. LES disebabkan oleh interaksi antara gen
dan faktor lingkungan sehingga menghasilkan respon imun yang abnormal.
Respon tersebut terdiri dari hiperaktivitas sel T helper sehingga terjadi
hiperaktivitas sel B.
Terjadi gangguan
mekanisme downregulating yang menimbulkan respon imun abnormal. 2

Gambar 2.6 Patofisiologi LES


Sumber : Harrison, 2011
Pada LES penanganan pada komplek imun terganggu, dapat berupa
gangguan klirens kompleks imunt, gangguan pemprosesan kompleks imun
dalam hati dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-
gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar
sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada
berbagai macam organ dan terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut.
Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi
penyebab timbulnya reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi inilah yang
menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, kulit dan sebagainya.2

2.6 Manifestasi Klinis


Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit
dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam
tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun
diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun.12 tubuh. Dapat juga menahun
dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala
terkenanya sistem imun.12
Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5 tahun.
Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi. Onset penyakit
dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak dengan sinar
matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa. 12
A. Gejala Konstitusional
Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Pada anak-anak yang paling sering
adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan, limfadenopati dan
irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-menerus. 13

B. Gejala Muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan dapat berupa athralgia
(90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena
adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan,
metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki. Artritis dapat terjadi pada lebih
dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi pada beberapa sendi besar maupun
kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan
organ yang lain pada LES. Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan
ligament dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat
timbul belakangan setelah dalam pengobatan kortikosteroid. 13
C. Gejala Mukokutan

Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus LES.

1). Lesi Kulit Akut


Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu
(butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi.
Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi
dari merah pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches. Ruam
mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena sinar matahari.
Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga
berbentuk ruam yang tidak beraturan

Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.13

Gambar 2.7 Lupus eritematosus kutaneus akut


Sumber : George, 2012

2). Lesi Kulit Sub Akut


Gambar 2.8 Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.

Sumber : George, 2012

3). Lesi Diskoid


Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun. Sekitar 7
% lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu di
monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya
antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan
lekopeni ringan. Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka,
telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas,
dengan diameter

5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri. Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu
erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa
yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan
folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik. Lesi diskoid tidak
biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai
manifestasi dari LES daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-
3% dari semua DLE terjadi di masa kanak-kanak.14

Gambar 2.9 Facial discoid


Sumber : George, 2012

4). Livido Retikularis


Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit
dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering
juga tampak perdarahan dan eritema periungual.13

5). Urtikaria
Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit
tenang secara klinis dan serologis.14
D. Kelainan pada Ginjal
Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis.
Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama
terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis
adalah:
i. Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis
ii. Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis
iii. Kelas III: focal lupus nephritis
iv. Kelas IV: diffuse lupus nephritis
v. Kelas V: membranous lupus nephritis
vi. Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis
Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus LES. Manifestasi paling sering ialah
proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal
yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus
merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak sebagai sindrom nefrotik,
hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis
membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik,
gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin
berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.2,13

E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)


Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan
radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih
sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya
efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.13
F. Pneuminitis Interstitial
Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak
dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.13

G. Gastrointestinal
Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri akut abdomen,
muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis intestinalis. Gejala
menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya mendapat pengobatan
yang adekuat. 13
H. Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai
ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau kembali
normal. 13
I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis
Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya
berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar parotis
membesar pada 60% kasus LES. 13
J. Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya
bersifat sementara. 15
K. Susunan Saraf Pusat
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan
dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori.
Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan
psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya
terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah
diduga, CT Scan perlu dilakukan. Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2
kelainan utama, yaitu psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak
organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif LES pada sistem-
sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala
khas kelainan organik otak.10 Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk
tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia
karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri,
aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis
perifer dan sebagainya. Mekanisme

terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor


yang memegang peranan antara lain vaskulitis, deposit gamma
globulin di pleksus koroideus. 15
L. Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,
Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis
trombositopenia, dan lekopenia. 13
M. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan
kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium
pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal. 13
N. Kardiovaskuler

LES dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang pada akhirnya


dapat mengakibatkan terjadi infark miokard. Gagal jantung dan angina
pektoris, valvulitis, vegetasi pada katup jantung merupakan beberapa
manifestasi lainnya.13

2.7 Diagnosis

Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College of


Rheumatology 1997 yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut SLE
jika ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria
tersebut.3
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki
sensitifiitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan
salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis
bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka
kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi
klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang
diperlukan.3

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Kelainan laboratorium pada LES diantaranya anemia hemolitik dan anemia
nomositer, leukopenia, trombositopenia, laju endap darah yang cepat,
hiperglobulinemia dan bila terdapat sindrom nefrotik, albumin akan rendah.
Biasanya kelainan faal hepar dan penurunan komplemen serum juga ada.
Proteinuria, biasanya bersifat gross proteinuria, merupakan gejala penting.
Faktor

rematoid positif kira-kira 33% kasus. Urin diperiksa untuk mengetahui adanya
protein, leukosit, eritrosit dan silinder. Uji ini dilakukan untuk menentukan adanya
komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit LES. Berikut
pemeriksaan penunjang minimal yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring
LES3 :
1. Hemoglobin. Leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2. Urin rutin dan mikroskopik protein kuantitatif 24 jam, bila diperlukan
pemeriksaan kreatinin darah
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati dan profil lipid)
4. PT dan aPTT
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen C3 C4
6. Foto polos toraks (pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis)

Rekomendasi 3
- Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE
- Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
- Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak
menyingkirkan diagnosis SLE

Fenomena Sel S.E dan tes sel S.E


Sel L.E terdiri atas granulosit neutrofilik yang mengandung bahan nuclear
basofilik yang telah difagositosis, segmen nuklearnya berpindah ke perifer.
Fenomena ini disebabkan oleh factor antinuclear (factor L.E dan yang lain) yang
menyerang bahan nuclear di dalam sel yang rusak. Bahan nuclear yang berubah
dikelilingi neutrofil (bentuk rosette) yang memfagositosis bahan tersebut. Tes sel
L.E kini tidak penting karena pemeriksaan antibodi antinuclear lebih sensitif.
Antibodi antinuclear (ANA)
Pada pemeriksaan imunofluoresensi tak langsung dapat ditunjukkan (ANA) pada
90% kasus.12 Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya antibody yang
mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi adanya
ANA, juga berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan antibody spesifik. Pola
ANA dapat diketahui dari pemeriksaan preparat yang diperiksa di

bawah lampu ultraviolet.13 Terdapat 4 pola ANA ialah membranosa (anular,


peripheral), homogen, berbintik dan nuclear. Yang dianggap spesifik untuk
L.E.S ialah pola membranosa, terutama jika titernya tinggi. Pola berbintik juga
umum terdapat pada L.E.S. Pada homogen kurang spesifik.16
Lupus band test
Pada pemeriksaan imunofluoresens langsung dapat dilihat pita terdiri atas
deposit granular immunoglobulin G, M atau A dan komplemen C3 pada taut
epidermal-dermal yang disebut lupus band. Caranya disebut lupus band test,
specimen diambil dari kulit yang normal. Tes tersebut positif pada 90-100%
kasus L.E.S dan 90-95% kasus L.E.D.16

Anti-ds-DNA

Anti autoantibody yang lain selain ANA ialah anti-ds-DNA, yang spesifik untuk
S.L.E, tetapi hanya ditemukan pada 40-50% penderita. Antibodi ini mempunyai
hubungan dengan glomerulonefritis. Adanya antibodi tersebut dan kadar
komplemen yang rendah dapat meramalkan akan terjadinya hematuria dan atau
proteinuria.16

Anti-Sm
Selain anti-ds-DNA, masih ada antibody yang lain yang spesifik ialah anti-Sm,
tetapi hanya terjadi pada sekitar 20-30% penderita dan tidak ditemukan pada
penyakit lain.16

2.9 Diagnosis Banding3


Beberapa penyakit dengan gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes
laboratorium yang serupa dengan LES yaitu:
a. Undifferentiated connective tissue disease
b. Sindroma Sjgren
c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
d. Fibromialgia (ANA positif)
e. Purpura trombositopenik idiopatik
f. Lupus imbas obat

h. Vaskulitis
Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan L.E.S mempunyai gejala-
gejala yang dapat menyerupai L.E.S yakni artritis reumatika, sklerosis
sistemik, dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.12

Artritis Reumatika. Otot dan kekakuan sendi biasanya paling sering di


pagi hari. Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah mulai
pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Awitannya
biasanya akut, bilateral, dan simetris. Persendian dapat teraba hangat,
bengkak, kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.14

Sklerosis Sistemik. Penyakit ini disebut juga skleroderma sistemik.


Skleroderma merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-
bercak putih kekuning-kuningan dan keras yang seringkali mempunyai
halo ungu disekitarnya. Sklerosis sistemik seperti skleroderma
sirkumskripta tetapi secara berturut-turut mengenai alat-alat viseral.12

Dermatomiositis. Penyakit mulai dengan perubahan khas pada muka


(terutama pada palpebra) yakni terdapat eritema dan edema berwarna
merah ungu kadang-kadang juga livid. Pada palpebra terdapat
telangiektasis, disertai paralisi otot-otot ekstraokular. Pada fase berikutnya
timbul perubahan-perubahan kutan yang menetap dan menyerupai Lupus
Eritematosus. Kelainan di muka menjalar ke leher, toraks, lengan bawah,
dan lutut. Manifestasi patognomonik ialah papul Gottron yaitu papul
keunguan di bagian dorsolateral sendi interfalangeal dan atau
metakarpofalangeal. Fase ini disertai demam intermiten, takikardi,
hiperhidrosis, dan penurunan berat badan.12

Purpura Trombositopenik. Penyakit ini juga dikenal sebagai sindrom


Moschowite dengan trias : trombositopenia, anemia hemolitik, dan
gangguan susunan saraf pusat. Gejala yang timbul adalah demam, purpura
berupa ekimosis, ikterus, pembesaran limpa, disfungsi ginjal, artritis,
pleuritis, fenomena Raynaud, nyeri perut, dan pembesaran hati.15
2.10 Derajat Berat Ringannya LES
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:

1. Secara klinis tenang


2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Penyakit LES dengan tingkat keparahan sedang ditemukan:

1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)


2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan
keadaan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:

1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri


koronaria, miokarditis,tamponade jantung, hipertensi
maligna.
2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis,
emboli paru,infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)
6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis,
sindroma demielinasi. mononeuritis, polineuritis, neuritis optik,
psikosis, sindroma demielinasi.
7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit
<1.000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura
trombotik trombositopenia, thrombosis vena atau arteri.
2.11 Pengelolaan
Tujuan
Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui
pengenalan dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan
SLE adalah a)mendapatkan masa remisi yang panjang, b) menurunkan
aktivitas penyakit seringan mungkin, c) mengurangi rasa nyeri dan
memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna
mencapai kualitas hidup yang optimal. Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus
Sistemik adalah 1) Edukasi dan konseling, 2)Program rehabilitasi, 3)
Pengobatan medikamentosa (OAINS, Anti malaria, steroid, Imunosupresan /
Sitotoksik).3

Pengobatan LES Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.3

a. Pengobatan LES Ringan

Pilar pengobatan pada LES ringan dijalankan secara bersamaan dan


berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di
atas tercapai, yaitu:

Obat-obatan

- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.


- Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan inflamasi.
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan
potensi ringan)
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin
250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat
awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara
hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa
mata setiap 6-12 bulan.
- Kortikortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang
setara .
- Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection faktor
sekurang-kurangnya 15 (SPF 15).3

b. Pengobatan LES Sedang

Pilar
penatalaksanaan LES sedang sama seperti pada LES ringan kecuali pada
pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu
serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang
refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara.

c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa

Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada penggunaan
obat-obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-
obatan sebagaimana tercantum pada bagan .

Gambar 2.12 Algoritma penatalaksanaan LES berdasarkan derajat beratnya.


Sumber : Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011
Tabel 2.1 Jenis Dan Dosis Obat Yang Dipakai Pada SLE

Jenis Obat Dosis Jenis Evaluasi Pemantauan


Toksisitas Awal
Klinis Laboratorik
OAINS Tergantung Perdarahan Darah rutin, Gejala Darah rutin,
OAINS saluran cerna, kreatinin, gastro- kreatinin,
hepatotoksik, urin rutin, intestinal AST/ALT
sakit kepala, AST/ALT setiap 6 bulan.
hipertensi,
aseptic,
meningitis,
nefrotoksik.

Kortiko- Tergantung Cushingoid, Gula darah, Tekanan Glukosa


steroid derajat SLE hipertensi, profil lipid, darah
dislipidemi, DXA,
ostoenekrosis, tekanan
hiperglisemia, darah
katarak,
osteoporosis.

Klorokuin 250 mg/hari Retinopati, Evaluasi Fundusk


(3,5-4 keluhan GIT, mata, G6PD opi dan
mg/kgBB/ rash, mialgia, pada pasien lapangan
hari) sakit kepala, berisiko pandang
anemi mata
Hidrosiklor 200-400mg/ hemolitik setiap 3-
o- kuin hari dengan 6 bulan.
defisiensi
G6PD.

Azatioprin 50-150 mg Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi


per hari, , lengkap, mielo- lengkap tiap 1-
dosis hepatotoksik, kreatinin, supresif 2 minggu dan
terbagi 1-3, gangguan AST/ALT selanjutnya 1-3
tergantung limfoprolifera bulan interval.
berat badan tif AST tiap tahun
dan pap smear
secara teratur.

Siklofosfamid Per oral; 50- Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi
150 mg per , gangguan lengkap, mielo- lengkap dan
hari. IV : limfoprolifera hitung jenis supresif, urin lengkap
500-750 tif, leukosit, hematuri tiap bulan,
mg/m2 keganasan, urin a dan sitologi urin
dalam imunosupresi lengkap. infertilita dan pap smear
Dextrose f, sistitis s. tiap tahun
250 ml, hemoragik, seumur hidup.
infuse infertilitas
selama sekunder.
1jam.

Metotreksat 7,5-20 mg/ Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi


minggu, , fibrosis lengkap, mielo- lengkap,
dosis hepatic, foto toraks, supresif, terutama
tunggal atau sirosis, serologi sesak hitung
terbagi 3. infiltrate hepatitis nafas, trombosit tiap
Dapat pulmonal dan B&C, AST, mual dan 4-8 minggu,
diberikan fibrosis. fungsi hati muntah, AST/ALT dan
pula melalui kreatinin. ulkus albumin tiap 4-
injeksi. mulut. 8 minggu, urin
lengkap dan
kreatinin.

Siklosporin 2,5-5 Pembengkaka Darah tepi Gejala Kreatinin,


A mg/kgBB n, nyeri gusi, lengkap, hipersens LFT, Darah
atau sekitar peningkatan kreatinin, itifitas tepi lengkap.
100-400 mg TD, urin terhadap
per hari peningkatan lengkap castor oil
dalam 2 pertumbuhan LFT. (bila obat
dosis rambut, diberikan
tergantung gangguan injeksi),
berat badan. fungsi ginjal, TD,
nafsu makan fungsi
menurun, hati dan
tremor. ginjal.

Mikofenolat 1000-2000 Mual, diare, Darah tepi Gejala Darah tepi


mofetil mg dalam 2 leukopenia. lengkap, gastroint lengkap
dosis. feses estinal; terutama
lengkap. mual, leukosit dan
muntah. hitung
jenisnya.
Kortikortikosteroid
Kortikortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.
Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, kortikosteroid
tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai anti inflamasi dan imunosupresi.
Dosis kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi.

Indikasi Pemberian Kortikortikosteroid ;

Pembagian dosis kortikosteroid membantu kita dalam menatalaksana kasus


rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang.
Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan
terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas,
nephritis lupus,lupus cerebral.Efek samping kortikortikosteroid tergantung kepada
dosis dan waktu,dengan meminimalkan jumlah kortikortikosteroid, akan
meminimalkan juga risiko efek samping.3
Obat Imunosupresan atau Sitotoksik

Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa


digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin,
mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis,
perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara
kortikortikosteroid dan imunosupresan /sitotoksik karena memberikan hasil
pengobatan yang lebih baik.3

Pencegahan17
Penderita harus menghindarkan trauma fisik, sinar matahari, lingkungan yang
sangat dingin dan stress emosional. Antara pencegahan yang dapat dilakukan
adalah:

Memakai krim (sunscreen) apabila keluar dari rumah

Memakai pakaian yang menutup ekstremitas

Mengelakkan pemberhentian penggunaan kortikosteroid secara tiba-tiba.

Istirahat

demam atau ada tanda-tanda infeksi maka harus
Jika penderita menderita
diobati dengan segera.

vitamin antioksidan untuk mengurangkan efek daripada stress
Mengkonsumsi
oksidatif

Perubahan gaya hidup untuk meningkatnya daya imun.

Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam
infeksi, gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional.
Upaya mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat,

pembatasan aktivitas yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup.

Hindari Merokok

Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi

Hindari stres dan trauma fisik

Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia

Hindari pajanan
sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00
sampai 15.00

2.12 LES dan Kehamilan3


Kesuburan penderita LES sama dengan populasi wanita bukan LES.
Beberapa penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama kehamilan namun
umumya ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat nefritis masih aktif
maka 50-60% eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus dalam keadaan remisi
3-6 bulan sebelum konsepsi hanya 7-10% yang mengalami kekambuhan.
Kemungkinan untuk mengalami preeklampsia dan eklampsia juga meningkat
pada penderita dengan nefritis lupus dengan faktor predisposisi yaitu hipertensi
dan sindroma anti fosfolipid (APS). Penanganan penyakit LES sebelum, selama
kehamilan dan pasca persalinan sangat penting. Hal-hal yang harus
diperhatikan adalah:
1. Jika penderita LES ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya setelah
6 bulan aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi total.
Pada lupus nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12 bulan remisi total.
Hal ini dapat mengurangi kekambuhan lupus selama hamil.
2. Medikamentosa:
a) Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak melebihi
7,5 mg/hari prednison.
b) DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan dengan penuh
kehati-hatian. Perhatikan rekomendasi sebelum memberikan obat-obat.
Kontraindikasi untuk hamil pada wanita dengan LES
Sebaiknya penderita lupus tidak hamil dalam kondisi berikut ini:
- Hipertensi pulmonal yang berat (Perkiraan PAP sistolik >50 mm Hg atau
simptomatik)
- Penyakit paru restriktif (FVC <1 l)
- Gagal jantung
- Gagal ginjal kronis (Kr >2.8 mg/dl)
- Adanya riwayat preeklamsia berat sebelumnya atau sindroma HELLP
(Hemolitic anemia, elevated liver function test, low platelet) walaupun
sudah diterapi dengan aspirin dan heparin
- Stroke dalam 6 bulan terakhir
- Kekambuhan lupus berat dalam 6 bulan terakhir.
A. Laporan Kasus
A.1 Identifikasi
Nama : Ny. Ir. Emilia Arief
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 29/08/1952
Usia : 64 tahun
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Jl. Swadaya Raya no.5 04/01 Kelurahan Duren Sawit
Jakarta Timur
A.2 Anamnesis (Alloanamnesis)
Keluhan Utama:
Kesadaran menurun beberapa jam SMRS disertai demam sudah 3 hari, pasien
mengalami kejang klonik di IGD 3 menit, obat SLE dihentikan oleh pasien sendiri
dalam 1 bulan
Riwayat anestesi dan operasi : Tidak ada
Riwayat penyakit paru/ asma : Tidak ada
Riwayat penyakit jantung/ vaskular : Tidak ada
Riwayat penyakit diabetes mellitus : Diabetes Mellitus Type II
Riwayat penyakit neuro/muskuloskeletal : SLE Cerebral
Riwayat gangguan pembekuan darah : Tidak ada
Riwayat penyakit gastrointestinal : Tidak ada
Riwayat penyakit ginjal/urologi : Tidak ada
Penyakit alergi obat/makanan : Tidak ada
Riwayat minum alkohol : Tidak ada

A.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : TSB, GCS 8 (E2M3V3)
Kesadaran : Sopor
Tanda Vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 110x/mnt
Pernafasan : 24 x/mnt
Suhu : 39oC
Tinjauan Sistem
Kepala : Normocephali, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
Mata : Re +/+, isokor, 2-3 mm
Leher : KGB tidak teraba membesar
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : sulit dievaluasi
Perkusi : sonor-sonor
Auskultasi : BND vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Tidak terdapat vena-vena yang melebar
Palpasi : sulit dievaluasi
Perkusi : pekak
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : perut tampak datar
Auskultasi : Bising usus (+) 5x/menit
Perkusi : timpani
Palpasi : supel
Urogenital : dengan kateter urin
Ekstremitas : lateralisasi (-) refleks patologis (+/+)
A.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (01/06/2017)
Darah Perifer
LED : 14
Hemoglobin : 14.8 g/dL
Leukosit : 13,3 x 103 mm3
Eritrosit : 4.94 x106
Hematokrit : 44%
Trombosit : 228 x 103 mm3
Retikulosit : 21 permil

Hitung Jenis Leukosit


Basofil :0
Eosinofil :0
Neutrofil Batang :0
Neutrofil Segmen : 87
Limfosit :7
Monosit :6

Urine Lengkap
Berat Jenis : 1.015 gr/ml
Warna : Kuning Tua
Kejernihan : Keruh
Nitrit : positif
Reaksi/PH : 6,0
Protein : +3 / 300 mg/dL
Glukosa : 3+/1000 mg/dL
Urobilinogen : 0,2
Bilirubin : Negatif
Keton : Negatif

Sedimen
Leukosit : 646 / LPB
Eritrosit : 2830 / LPB
Epitel :6
Silinder :8
Bakteri : 3240 / LPB

Kreatinin
Kreatinin : 1.5 mg/dL
GFR CKD-EPI: 36.554
SGPT : 27
Gula Darah
Sewaktu
16.48 : 583
18.20 : 443
20.00 : 418
21.00 : 327
22.00 : 206
23.00 : 107
24.00 : 90

Elektrolit
Natrium : 152 mmol/l
Kalium : 3,4 mEg/l

Analisa Gas Darah


Bahan : Arteri
Hemoglobin : 14,8 mg/dL
Temperatur : 38.3o C
FiO2 : 6.0 Liter/menit
PH : 7.469
pCO2 : 30.8 mmHg
pO2 : 98

Laboratorium (02/06/2017)

Gula Darah
Sewaktu

01.00 : 91 mg/dL
02.00 :105 mg/dL
03.00 : 156 mg/dL
05.00 : 233 mg/dL
06.00 : 257 mg/dL
07.00 : 253 mg/dL

Radiologi

Foto Thoraks (01/06/2017)


Cor : elongasi kalsifikasi aorta
Pulmo : tidak tampak kelainan radiologis
Sinus dan diafragma : dbn
Costae dan tulang-tulang : dbn
Kesan : kardiomegali, elongasi kalsifikasi aorta
CT Scan Otak
Kesan : subdural hematoma kronik frontoparietal kiri dan kanan

Elektrokardiogram

Diagnosis Pra Bedah : Cerebral SLE pro CVC


Rencana Tindakan : Central Venous Catheter
Operasi mulai pukul : 10.30
Operasi selesai pukul : 11.00
Lamanya : 30 menit
Tanggal : 02/06/2017

Kesimpulan
Pasien termasuk kategori ASA IV

Uraian Operasi
Dalam posisi supine dilakukan aseptik antiseptik
Dilakukan pemasangan CVC pada vena subclavicula dengan anastesi lokal
Pada pemasangan luka dijahit ditutup kassa steril
Perdarahan (-)

Instruksi
Rontgen Thorax
Bersihkan luka dengan Betadine dan Salep Antibacterial
BAB III
KESIMPULAN

Lupus Eritematosus Sistemik didefinisikan sebagai penyakit inflamasi


autoimun sistemik, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. Etiologi
penyakit LES merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor imunologis, faktor
lingkungan, dan faktor hormonal. Pada LES interaksi antar keempat faktor tersebut
merespon tubuh untuk membentuk autoantibodi, selanjutnya membentuk kompleks
imun yang terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya menimbulkan gejala
inflamasi atau kerusakan jaringan.
Gejala klinis dan perjalanan penyakit LES sangat bervariasi. Penyakit dapat
timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.
Diagnosis LES menurut American College of Rheumatology (ACR) ditegakkan bila
terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR tersebut, meliputi : butterfly rash,
bercak diskoid, fotosensitf, ulkus mulut, arthritis, serositif, gangguan ginjal,
gangguan saraf, gangguan darah, gangguan imunologi dan gangguan antinuklear.
Penatalaksanaan LES dilaksanakan secara komprehensif meliputi non
medika mentosa dan medika mentosa. Tujuan dari terapi LES yaitu untuk
meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui pengenalan dini dan
pengobatan yang paripurna.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku


ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009.
2. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S., Kasper
D.L, Hauser S.L, Jameson J.L, Loscalzo J. Harrisons Principles of Internal
Medicine. Edisi 18. United States of America; Mc Graw Hill Companies; 2012. H
2724-35.
3. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Jakarta. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. 2011.
4. Jakes RW, et al. Systematic review of the epidemiology of systemic lupus
erythematosus in the Asia-Pasific region: prevalence, incidence, clinical features,
and mortality. Americam College of rheumatology 2012; 64(2) : 159-68.
5. Dorland WAN. Kamus saku kedokteran dorland. 28th ed. Hartanto YB, editor.
Jakarta: EGC; 2012.
6. Rosani S. Lupus eritematosus sistemik dalam kapita selekta kedokteran ed IV.
Jakarta : Media Aesculapius; 2014.h 842-45.
7. Bertsias G, et al. Systemic lupus erythematosus : pathogenesis and clinical
features. Eular textbook of rheumatic disease 2012; 20: 476-505.
8. Tjokoprawiro A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya : Universitas
Airlangga; 2007. h 235-41.

9. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. 7th ed. Jakarta:
EGC; 2009.

10. Ginzler EM. Systemic lupus erythematosus rheumatic disease clinics of north
America. Elsevier 2010; 36(1).
11. Pathak S. Cellular and molecular pathogenesis of systemic lupus erythematosus:
lessons from animal models. BioMed central 2011; 241(13) : 1-9.

12. Gill JM, et al. Diagnosis of systemic lupus eritematosus. American family
physician 2003; 68(11) : 1-6.

Anda mungkin juga menyukai