PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
4
ANATOMI DAN FISIOLOGI PERNAPASAN
5
Gambar 1 : Anatomi sistem pernapasan pada manusia
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea dan terdapat dua cabang yang
terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V. Sedangkan, tempat dimana
6
trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina
memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang
kuat jika batuk dirangsang. Bronkus utama kanan lebih pendek, lebih besar dan
lebih vertikal dari yang kiri yang terdiri dari 6-8 cincin dan mempunyai tiga
cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang, lebih kecil, terdiri dari 9-12 cincin
serta mempunyai dua cabang. 4
Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu
pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas dibagi
menjadi 3 proses. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar
masuknya udara melalui cabang-cabang trakeobronkial sehingga oksigen sampai
pada alveoli dan karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya
perbedaan tekanan antara udara luar dengan di dalam paru-paru. Proses kedua
adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui membran
alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggi
tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam
alveoli mempunyai tekanan parsial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada
didalam darah. Karbondioksida darah lebih tinggi tekanan parsialnya dari pada
karbondioksida di alveoli. Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran
oksigen dari kapiler ke jaringan melalui transpor aliran darah.5
7
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan
10% pada anak). Prevalensi pada anak yang menderita asma meningkat 8-10 kali
di negara berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat
bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3%
dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center
for Health Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun
adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun
adalah 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi
asma pada laki-laki 3 kali lebih banyak dibanding perempuan, selama masa
remaja prevalensinya hampir sama dan pada dewasa laki-laki lebih banyak
menderita asma dibanding wanita.5
FAKTOR RISIKO
1. Jenis kelamin
8
lipat anak perempuan. Menurut laporan MMH, prevalens asma pada anak
laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan, dengan rasio 3:2 pada usia
6-11 tahun dan meningkat menjadi 8:5 pada usia 12-17 tahun. Pada orang
dewasa, rasio ini berubah menjadi sebanding antara laki-laki dan
perempuan pada usia 30 tahun.6
2. Usia
3. Riwayat atopi
4. Lingkungan
9
5. Ras
Dilaporkan prevalens asma dan kejadian asma pada ras kulit hitam lebih
tinggi daripada kulit putih.6
6. Asap rokok
Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada
anak yang tidak terpajan asap rokok. Resiko asap rokok sudah dimulai
sejak janin dalam kandungan, umumnya berlangsung terus setelah anak di
lahirkan.6
Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat oksida,
karbon monoksida, atau SO2 diduga berperan pada penyakit asma,
meningkatkan gejala asma, tetapi belum didapatkan bukti yang pasti.6
8. Infeksi respiratorik
PATOGENESIS
Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas
yang timbul mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan
pengobatan. Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan
hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama asma adalah untuk
mengatasi bronkospasme.3
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang
khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran
udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi
saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit
10
T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi
meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala.6
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma
dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada
populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita
asma anak dan dewasa.6
11
Mediator inflamasi yang berperan merupakan mediator inflamasi yang
meningkatkan proses peradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator
inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus
mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi
peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik.
Secara klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka terhadap
rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan
berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat.7
12
Gambar 3 : Proses Inflamasi dan Remodeling pada Asma
13
PATOFISIOLOGI
14
Gambar 4 : Patofisiologi Asma
Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak.
Pada anak yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas,
dada terasa berat gejala biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu
dengan infeksi pernapasan dan inhalasi alergen. Gejala lainnya dapat tersembunyi
dan tidak spesifik seperti keterbatasan aktivitas dan cepat lelah. Riwayat
penggunaan bronkodilator dan atopi pada pasien atau keluarganya dapat
menunjang penegakan diagnosis.7
15
mengi yang berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas,
dan adanya riwayat atopi pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala
atau tanda yang patut diduga suatu asma.7
16
Batuk dan Mengi
KLASIFIKASI
17
Derajat penyakit asma ditemukan berdasarkan gabungan penelaian
gambaran klinis, jumlah penggunaan agonis-β2 untuk mengatasi gejala, dan
pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi awal pasien.6
18
Tabel 2. Klasifikasi Asma Berdasarkan PNAA
19
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ada banyak cara yang digunakan untuk mengukur fungsi paru, tetapi tidak
banyak yang dapat dilakukan dengan mudah. Pemeriksaan fungsi paru mulai dari
pengukuran sederhana, yaitu peak expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak
ekspirasi (APE), pulse oximetry, spirometry, sampai pengukuran kompleks yaitu
muscle strength testing, volume para absolut, serta kapasitas difusi. Pemeriksaan
paru yang objektif dan lengkap dapat bermanfaat dalam evaluasi diagnostik anak
dengan batuk, mengi rekuren, aktifitas terbatas, dan keadaan lain yang berkaitan
dengan system respiratorik. Pemeriksaan fungsi paru ini terutama bermanfaat
apabila ada manifestasi gejala asma yang tidak khas. Kebanyakan uji fungsi paru
mengevaluasi satu atau lebih aspek fungsi paru, yaitu: 1) volume paru, 2) fungsi
jalan napas, 3) pertukaran gas. Pengukuran volume paru bermanfaat pada penyakit
paru restriktif seperti kelemahan otot nafas, deformitas dinding dada, atau
penyakit interstitial paru, serta pada beberapa anak dengan kelainan obstruktif
jalan nafas.6
Pada uji fungsi jalan nafas, hal yang paling penting adalah melakukan
maneuver ekspirasi paksa secara maksimal. Hal ini tertutama berguna pada
penyakit dengan obstruksi jalan nafas, misalnya asma dan fibrosis kistik.
Pengukuran dengan maneuver ini yang dapat dilakukan pada anak di atas 6 tahun
adalah forced expiratory volume in 1 second (FEV1) dan vital capacity (VC)
dengan alat spirometer serta pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau arus
puncak ekspirasi (APE) dengan peak flow meter. Pengukuran variabilitas dan
reversibilitas fungsi paru dalam 24 jam sangat penting untuk mendignosis asma,
melalui derajar berat penyakit asma dan menjadi acuan dalam strategi pedoman
pengelolaan asma.6
20
Pengukuran PEF pada asma tidak selalu berkorelasi dengan pengukuran
fungi paru lainnya. Dengan alasan ini, pengukuran PEF harus dibandingkan
dengan nilai terbaik anak sendiri. Untuk menilai derajat asma dan respons terapi
PEF harus diukur secara serial dalam 24 jam. Bahkan jika perlu, diukur selama
beberapa minggu, karena derajat asma tidak ditentukan oleh nilai baseline
melainkan oleh variabilitas, terutama dalam 24 jam. Variabilitas harian adalah
perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) PEF dalam 1 hari. Metode yang
dianggap merupakan cara mengukur nilai diural PEF terbaik adalah pengukuran
selama paling sedikit 1 minggu dan hasilnya dinyatakan sebagai persen nilai
terbaik dari selisih nilai PEF pagi hari terendah dan nilai PEF malam hari
tertinggi.6
Pemeriksaan peak flow meter merupakan hal yang penting dan perlu
diupayakan. Meskipun pemeriksaan ini digunakan salah satu parameter untuk
menentukan derejar penyakit asma, namun masih sedikit yang menggunakannya.6
21
yang mempunyai gejala asma tetapi fungsi parunya tampak normal, penilaian
respons saluran napas terhadap metakolin, histamin, atau olahraga dapat
membantu menegakkan diagnosis asma. Artinya hasil yang negatif dapat
membantu menyingkirkan diagnosis asma persisten, sedangkan hasil positif tidak
selalu berarti bahwa pasien tersebut memiliki asma. Hal ini disebabkan karena
hiperreaktivitas saluran napas juga terdapat pada pasien rhinitis alergi dan kondisi
lain seperti fibrosis kistik, bronkieltasis, dan penyakit paru obstruksi menahun.6
Penilaian status alergi dengan uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik
dalam serum tidak banyak membantu diagnosis asma, tetapi pemeriksaan ini
dapat membantu menentukan faktor risiko atau pencetus asma. Tes alergi untuk
kelompok usia <5 tahun dapat digunakan: 6
22
DIAGNOSIS BANDING
Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan
asma. Selain asma, penyebab umum lain dari gejala batuk berulang pada asma
meliputi rhinosinusitis dan gastro-esophageal reflux (GER). GER merupakan
silent-disease pada anak, sedangkan pada anak dengan sinusitis kronik tidak
memiliki gejala yang khas seperti dewasa dengan adanya nyeri tekan local pada
daerah sinus yang terkena. Selain itu, kedua penyakit ini merupakan penyakit
komorbid yang sering pada asma, sehingga membuat terapi spesifik pada asma
tidak diberikan dengan tepat.9
Pada masa-masa awal kehidupan, batuk kronis dan mengi dapat terjadi
pada keadaan aspirasi, tracheobronchomalacia, abnormalitas jalan napas
congenital, fibrosis kistik dan displasia bronkopulmoner. Pada anak usia 3 bulan,
mengi biasanya ditemukan pada keadaan infeksi, malformasi paru dan kelainan
jantung dan gastrointestinal. Pada bayi dan batita, bronkiolitis yang disebabkan
oleh respiratory syncitial virus merupakan penyebab mengi yang umum.pada anak
yang lebih besar, mengi berulang dapat terjadi pada disfungsi pita suara. Selain
itu, batuk berulang jug dapat ditemukan pada tuberculosis terutama pada daerah
dengan penyebaran tinggi Tuberculosis.9
Berikut ini diagnosis banding dari asma yang sering pada anak : 8
- Rinosinusitis
- Refluks gastroesofageal
- Bronkiolitis
- Displasia bronkopulmoner
- Tuberkulosis
- Intratorakal
23
- Aspirasi benda asing
PENATALAKSANAAN
24
Dokter harus menjelaskan tentang perilaku pokok guna membantu
penderita menerapkan anjuran penatalaksanaan asma dengan cara: 8
- Penggunaan obat-obatan dengan benar
- Pemantauan gejala, aktivitas dan PEF
- Mengenali tanda awal memburuknya asma dan segera melakukan
rencana yang sudah diprogramkan.
- Segera mencari pertolongan yang tepat dan berkomunikasi secara
efektif dengan dokter yang memeriksa.
- Menjalankan strategi pengendalian lingkungan guna mengurangi
paparan alergen dan iritan.
Edukasi yang baik memupuk kerja sama antara dokter dan
penderita (dan keluarganya) sehingga penderita dapat memperoleh
keterampilan pengelolaan mandiri (self management) untuk berperan-
serta aktif. Penelitian yang dilakukan Guevara menunjukkan bahwa
edukasi dapat meningkatkan fungsi paru dan perasaan mampu
mengelola diri secara mandiri, mengurangi hari absensi sekolah,
mengurangi kunjungan ke UGD dan berkurangnya gangguan tidur
pada malam hari sehingga sangat penting program edukasi sebagai
salah satu penatalaksanaan asma pada anak.8
25
Klasifikasi : 9
Tatalaksana Medikamentosa
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang
mencolok.
26
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin
timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda (reliever) seperti
β2-agonis dan teofilin. Penggunaan β2-agonis untuk meredakan serangan asma
biasanya digunakan dalam bentuk inhalasi. Namun, pemakaian obat
inhalasi/hirupan (Metered Dose Inhaler atau Dry Powder Inhaler) cukup sulit
untuk anak usia kurang dari 5 tahun dan biasanya hanya diberikan pada anak yang
sudah mulai besar (usia <5 tahun) dan inipun memerlukan teknik penggunaan
yang benar yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya. Bila obat hirupan tidak
ada/tidak dapat digunakan, maka β-agonis diberikan per oral. Penggunaan teofilin
sebagai bronkodilator semakin kurang berperan dalam tatalaksana asma karena
batas keamanannya sempit. Namun mengingat di Indonesia obat β-agonis oralpun
tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan
kemungkinan timbulnya efek samping. Di samping itu penggunaan β-agonis oral
tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa
palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta
dikombinasikan dengan teofilin.9
Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak tidak
menganjurkan pemberian anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma
episodik ringan. Hal ini juga sesuai dengan GINA yang belum perlu memberikan
obat controller pada Asma Intermiten, dan baru memberikannya pada Asma
Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan
dosis rendah, atau kromoglikat hirupan. Jika dengan pemakaian β2-agonis hirupan
lebih dari 3x/minggu (tanpa menghitung penggunaan pra-aktivitas fisik) atau
serangn sedang/berat muncul >1x/bulan atau pengobatan yang diberikan sudah
adekuat dalam waktu 4-6 minggu, namun tidak menunjukkan respon yang baik
maka tatalaksananya berpindah ke asma episodik sering.9
27
Asma Episodik Sering
28
Asma Persisten
Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap
tidak mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi
penggunaan kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan
terakhir setelah penggunaan steroid hirupan atau alternatif di atas telah dijalankan.
Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya
efek samping obat. Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2
mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan
selang hari pada pagi hari. Penggunaan steroid secara sistemik harus berhati-hati
karena mempunyai efek samping yang cukup berat.6
29
Mengenai pemantauan uji fungsi hati pada pemberian antileukotrien belum ada
rekomendasi. 6
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena
perbedaan kemampuan menggunanakan alat inhalasi. Demikian juga kemauan
anak perlu dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat
hirupan biasa (Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan
berulang kali. Berikut tabel anjuran pemakaian alat inhalasi disesuakan dengan
usia. 8
30
Anak UKK Pulmonologi IDAI 2002, penyakit asma dibagai dalam 3 kelompok
berdasarkan frekuensi serangan dan kebutuhan obat, yaitu asma ringan, sedang,
dan berat. Selain klasifikasi derajat penyakit asma di atas, asma juga dapat dinilai
berdasarkan derajat serangannya, yaitu serangan ringan, sedang, dan berat. Jadi
perlu dibedakan antara derajat penyakit asma (aspek kronik) dengan derajat
serangan asma (aspek akut). Seorang penderita asma berat (persisten) dapat
mengalami serangan ringan saja. Sebaliknya seorang penderita asma ringan
(episodik/jarang) dapat mengalami serngan asma berat, atau bahkan serangan
ancaman henti nafas yang dapat mengakibatkan kematian. Terapi yang diberikan
bergantung pada beratnya derajat serangan asma.6
Tatalaksana Serangan
1. Tatalaksana di rumah
Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan β-2 agonis atau
teofilin. Bila tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi karena onsetnya lebih
cepat dan efek samping sistemiknya minimal. Obat golongan β-2 agonis inhalasi
yang dapat digunakan yaitu MDI dengan atau tanpa spacer atau nebulizer.8
31
b. Jika diberikan via MDI + spacer :
- Berikan β-2 agonis kerja pendek serial via spacer dengan dosis : 2-4
semprot. Berikan semprotan pertama obat ke dalam spacer diikuti 6-8 tarikan
napas melalui sambungan untuk perlekatan ke wajah, antar muka (interface)
berupa masker. Lanjutkan semprotan kedua, dengan sebelumnya mengocok
MDI, baru menyemprot ulang. Pemberian semprotan hingga 4 kali berturut-
turut (1 siklus), setara dengan 1 kali nebulisasi. Tunggu 30 menit, bila belum
ada respons berikan semprot berikutnya dengan cara yang sama.
- Jika membaik dengan dosis <4 semprot, inhalasi dihentikan. Jika gejala
belum membaik dalam 30 menit, berikan semprotan berikutnya dengan siklus
yang sama.
- Jika gejala tidak membaik dengan dosis 2 kali 2-4 semprotan, segera bawa ke
UGD
32
2. Tatalaksana di UGD
Serangan Asma
33
MEMBAIK TIDAK RESPONS
Atau MEMBURUK
Penilaian sebelum dipulangkan Siapkan untuk rawat jalan
Tindak lanjut
Penilaian awal :
Apakah ada :
Tidak Ya
FEV1 atau PEF 60-80% dan FEV1 atau PEF <60 % dan tidak
terdapat perbaikan gejala terdapat perbaikan gejala
SEDANG BERAT
35
3. Preparat terapi
I. Bronkodilator
Golongan obat ini terdiri dari epinefrin/adrenalin dan β-2 agonis selektif. 10
Epinefrin/adrenalin
β -2-agonis selektif
36
Pemberian intravena dapat dipertimbangkan jika pasien tidak berespon dengan
nebulisasi b2 agonis, kortikosteroid IV, dan teofilin serta ipratropium bromide.
Salbutamol iv dapat diberikan dengan dosis mulai dari 0,2mcg/kgBB/menit dan
dinaikkan 0,1mcg/kgBB setiap 15 menit dengan dosis maksimal
4mcg/kgBB/menit. Terbutalin IV dapat diberikan dengan dosis 10mcg/kgBB
melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1-4 µg/kgBB/jam dengan
infuse kontiniu.10
Ada 2 preparat inhalasi yaitu salmeterol dan formoterol, dan 1 obat oral yaitu
procaterol. Tersedia kombinasi steroid hirupan dengan LABA, yaitu kombinasi
fluticasone propionate dan salmeterol menjadi seretide, kombinasi budesonide dan
formoterol menjadi Symbicort. Seretide dalam MDI (Metered Dosed Inhaler)
sedangkan Symbicort dalam DPI(Dry Powder Inhaler).7
II. Antikolinergik
Ipratropium bromide
Dosis yang dianjurkan adalah 0,1 ml/kgBB, nebulisasi setiap 4 jam. Dapat juga
diberikan dalam larutan 0,025% dengan dosis sebagai berikut: untuk anak usia>6
tahun: 8-20 tetes; usia < 6 tahun: 4-10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan
minimal atau rasa tidak enak di mulut (dosis oral 0,6-8mg/kgBB pada orang
dewasa) secara umum tidak ada efek samping yang berarti.6
III. Kortikosteroid
a. Steroid Oral
37
diberikan tiap 4-6 jam. Deksametason diberikan secara bolus intravena, dengan
dosis ½-1 mg/kgBB, dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari , diberikan setiap 6-8 jam.7
b. Steroid Inhalasi
Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan merupakan obat
pengendali asma yang paling efektif. Pemberian steroid inhalasi setara dosis
budesonid 100 – 200 ug per hari dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan
memperbaiki fungsi paru-paru pada pasien asma. Pada anak yang berusia diatas 5
tahun, steroid inhalasi dapat mengendalikan asma, menurunkan angka
kekambuhan, mengurangi risiko masuk rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup,
memperbaiki fungsi paru, dan menurunkan serangan asma akibat berolahraga.8
Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Obat ini dapat diberikan
sejak usia 2 tahun. Dosis peroral hanya 1 kali sehari sehingga memudahkan
penggunaan dan meningkatkan ketaatan pemakaian obat. 10
Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia (Accolate, Astra Zeneca), digunakan untuk anak
> 7 tahun.bekerja dengan menekan produksi cystenil leukotriene yang setara
dengan montelucast. Sayangnya obat ini dapat mengganggu fungsi hati
(meningkatkan tranaminase), sehingga pada bulan-bulan pertama penggunaannya
diperlukan pemeantauan terhadap fusngsi hati. Dosis dibagi menjadi 2 kali dalam
sehari, diberikan saat perut kosong.10
38
BAB III
KESIMPULAN
39
DAFTAR PUSTAKA
6. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrhman RE. Nelson ilmu
kesehatan anak esensial. Singapore: Elsevier; 2011.
40