Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang tersebar diseluruh


belahan dunia dan sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada
anak-anak baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan
tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor
lingkungan terutama polusi baik indoor maupun outdoor.1 Prevalensi asma pada
anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10%
pada usia sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.2

Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal tahun 60-an,


bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an
berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain
inflamasi juga disertai adanya remodelling. Berkembangnya patogenesis tersebut
berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan
untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian
berkembang dengan antiinflamasi sehingga obat antiinflamasi dianjurkan
diberikan pada asma, kecuali pada asma yang sangat ringan.3

Pengetahuan mengenai definisi, cara mendiagnosis, pencetus, patogenesis


dan tatalaksana yang tepat dapat mengurangi kesalahan berupa underdiagnosis
dan overtreatment serta overdignosis dan undertreatment pada pasien. Sehingga
diharapkan dapat mempengaruhi kualitas hidup anak dan keluarganya serta
mengurangi biaya pelayanan kesehatan yang besar.3

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

GINA mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran


napas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.
Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang,
sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari.
Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas
namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara
spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan
hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai rangsangan.1

Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional asma


untuk kepentingan klinis yang lebih praktis, Pedoman Nasional Asma Anak
(PNAA) menggunakan batasan operasional asma yaitu mengi berulang dan/atau
batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik,
cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor
pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara spontan
maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada
pasien/keluarganya.3

4
ANATOMI DAN FISIOLOGI PERNAPASAN

Pernapasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung


oksigen ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung
karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan
ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Secara garis besar
saluran pernafasan dibagi menjadi dua zona yaitu zona konduksi dan respiratorius.
Zona konduksi dimulai dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus
segmentalis dan berakhir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona respiratoris
dimulai dari bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir pada sakus
alveolus terminalis.4

Saluran pernapasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh


membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara
tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan
fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel thorak yang bertingkat,
bersilia dan bersel goblet. Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang
disekresi oleh sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar
dapat disaring oleh rambutrambut yang terdapat dalam lubang hidung. Sedangkan,
partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus untuk kemudian dibatukkan
atau ditelan. Air untuk kelembapan diberikan oleh lapisan mukus, sedangkan
panas yang disuplai keudara inspirasi berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya
dengan pembuluh darah, sehingga bila udara mencapai faring hampir bebas debu,
bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembapannya mencapai 100%.4

5
Gambar 1 : Anatomi sistem pernapasan pada manusia

Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat


persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi
menjadi tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring dan laringofaring. Laring
merupakan saluran udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak
didepan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke trakea
di bawahnya. Laring merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan
oleh otot dan mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat glotis yang
merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah. 4

Trakea dibentuk dari 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan dan


diantara kartilago satu dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa dan di
bagian sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar (sel bersilia)
yang hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk mengeluarkan
benda-benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri
dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa.4

Bronkus merupakan lanjutan dari trakea dan terdapat dua cabang yang
terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V. Sedangkan, tempat dimana

6
trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina
memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang
kuat jika batuk dirangsang. Bronkus utama kanan lebih pendek, lebih besar dan
lebih vertikal dari yang kiri yang terdiri dari 6-8 cincin dan mempunyai tiga
cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang, lebih kecil, terdiri dari 9-12 cincin
serta mempunyai dua cabang. 4

Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak


mengandung alveoli dan memiliki garis tengah 1 mm. Seluruh saluran udara
mulai dari hidung sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar
udara atau zona konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitelium yang
mengandung lebih banyak sel goblet dan otot polos. Setelah bronkiolus terminalis
terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru yaitu tempat pertukaran gas.
Asinus terdiri dari bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus alveolaris
terminalis yang merupakan struktur akhir dari paru.4

Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu
pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas dibagi
menjadi 3 proses. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar
masuknya udara melalui cabang-cabang trakeobronkial sehingga oksigen sampai
pada alveoli dan karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya
perbedaan tekanan antara udara luar dengan di dalam paru-paru. Proses kedua
adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui membran
alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggi
tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam
alveoli mempunyai tekanan parsial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada
didalam darah. Karbondioksida darah lebih tinggi tekanan parsialnya dari pada
karbondioksida di alveoli. Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran
oksigen dari kapiler ke jaringan melalui transpor aliran darah.5

7
EPIDEMIOLOGI

Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan
10% pada anak). Prevalensi pada anak yang menderita asma meningkat 8-10 kali
di negara berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat
bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3%
dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center
for Health Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun
adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun
adalah 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi
asma pada laki-laki 3 kali lebih banyak dibanding perempuan, selama masa
remaja prevalensinya hampir sama dan pada dewasa laki-laki lebih banyak
menderita asma dibanding wanita.5

Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade


terakhir. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi.
WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma.
Berdasarkan laporan NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100
ribu. Sedangkan, laporan dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma yang
meninggal pada usia 0-17 tahun atau 0.3 kematian per 100,000 anak. Namun
secara umum kematian pada anak akibat asma jarang.5

FAKTOR RISIKO

Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian


asma, berat ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Beberapa
faktor tersebut sudah disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian lain masih
dalam penelitian. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah :6

1. Jenis kelamin

Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens


asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali

8
lipat anak perempuan. Menurut laporan MMH, prevalens asma pada anak
laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan, dengan rasio 3:2 pada usia
6-11 tahun dan meningkat menjadi 8:5 pada usia 12-17 tahun. Pada orang
dewasa, rasio ini berubah menjadi sebanding antara laki-laki dan
perempuan pada usia 30 tahun.6

2. Usia

Umumnya, pada kebanyakan kasus asme persisten, gejala seperti asama


pertama kali timbul pada usia muda, yaitu pada beberapa tahun pertama
kehidupan. Dari Australia, dilaporkan bahwa 25% anak dengan asma
persisten mendapat serangan mengi pada usia <6 bulan, dan 75%
mendapat serangan mengi pertama sebelum usia 3 tahun. Hanya 5% anak
dengan asma persisten terbebas dari gejala asma pada usia 28-35 tahun,
60% menetap menunjukkan gejala seperti saat anak-anak, dan sisanya
masih sering mendapat serangan meskipun lebih ringan daripada saat masa
kanak.6

3. Riwayat atopi

Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya resiko asma persisten


dan beratnya asma. Pada anak usia 16 tahun dengan riwayat asma atau
mnegi, akan terjadi serangan mengi dua kali lipat lebih banyak jika anak
pernah megalami hay fever, rhinitis alergi, eksema. Anak dengan mengi
persisten dalam kurun waktu 6 bulan pertama kehidupan mempunyai
kadar IgE lebih tinggi daripada anak yang tidak pernah mengalami mengi,
pada usia 9 bulan.6

4. Lingkungan

Adanya allergen di lingkungan hidup anak meningkatkan resiko penyakit


asama. Allergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain
adalah serpihan kulit binatang piaraan, tungau debu rumah, jamur, dan
kecoa.6

9
5. Ras

Dilaporkan prevalens asma dan kejadian asma pada ras kulit hitam lebih
tinggi daripada kulit putih.6

6. Asap rokok

Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada
anak yang tidak terpajan asap rokok. Resiko asap rokok sudah dimulai
sejak janin dalam kandungan, umumnya berlangsung terus setelah anak di
lahirkan.6

7. Outdoor air pollution

Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat oksida,
karbon monoksida, atau SO2 diduga berperan pada penyakit asma,
meningkatkan gejala asma, tetapi belum didapatkan bukti yang pasti.6

8. Infeksi respiratorik

Beberapa penelitian mendapatkan bahwa adanya hubungan terbalik antara


atopi dengan infeksi respiratori.6

PATOGENESIS

Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas
yang timbul mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan
pengobatan. Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan
hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama asma adalah untuk
mengatasi bronkospasme.3

Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang
khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran
udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi
saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit

10
T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi
meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala.6

Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma
dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada
populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita
asma anak dan dewasa.6

Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada


awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh sel
plasma. IgE melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila
ada rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat
(immediate asthma reaction). Terjadi degranulasi sel mast dan dilepaskan
mediator-mediator seperti histamin, leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2
(PGD2), tromboksan A2 dan tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan
spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas
kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul
adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali serangan asma
hilang dengan pengobatan.7

Gambar 2 : Patogenesis Asma

11
Mediator inflamasi yang berperan merupakan mediator inflamasi yang
meningkatkan proses peradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator
inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus
mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi
peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik.
Secara klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka terhadap
rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan
berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat.7

Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus


merangsang proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan
struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang
dikenal dengan istilah remodeling atau repair. Pada proses remodeling yang
berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF
beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia,
pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi
pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal
(pseudothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang
dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis,
tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten dan
memberikan gambaran klinis asma kronis.7

12
Gambar 3 : Proses Inflamasi dan Remodeling pada Asma

Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat


kerusakan epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga
apabila obat antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis,
maka inflamasi berlangsung terus dan obstruksi saluran napas menjadi irreversibel
dan proses remodeling bertambah hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan
riwayat keluarga atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata
ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini
mencurigakan bahwa proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan
dengan proses inflamasi. Apabila intervensi dini diberikan segera setelah gejala
asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat untuk mencegah terjadinya
proses remodeling.7

13
PATOFISIOLOGI

Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini


merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada
mukosa saluran napas pasien asma ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang
merupakan tanda utama asma. Pada saat terjadi hiperreaktivitas saluran napas
sejumlah pemicu dapat memulai gejala asma. Pemicu ini meliputi respon
hipersensitivitas tipe 1 (dimedisi 1gE) terhadap alergen debu rumah dan serbuk
sari yang tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap rokok, infeksi
virus, dan aktivitas fisik/olahraga. Hiperreaktivitas saluran napas akan
menyebabkan obstruksi saluran napas menyebabkan hambatan aliran udara yang
dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Proses patologis utama
yang mendukung obstruksi saluran napas adalah edema mukosa, kontraksi otot
polos dan produksi mukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas
mengalami volume penutupan dan menyebabkan gas di saluran napas
terperangkap. Bahkan pada asma yang berat dapat mengurangi aliran udara
selama inspirasi. Sejumlah karakteristik anatomi dan fisiologi memberi
kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap peningkatan risiko obstruksi saluran
napas antara lain ukuran saluran napas yang lebih kecil, recoil elastic paru yang
lebih lemah, kurangnya bantuan otot polos saluran napas kecil, hiperplasia
kelenjar mukosa relatif dan kurangnya saluran ventilasi kolateral (pori cohn) antar
alveolus. 8

14
Gambar 4 : Patofisiologi Asma

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS

Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak.
Pada anak yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas,
dada terasa berat gejala biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu
dengan infeksi pernapasan dan inhalasi alergen. Gejala lainnya dapat tersembunyi
dan tidak spesifik seperti keterbatasan aktivitas dan cepat lelah. Riwayat
penggunaan bronkodilator dan atopi pada pasien atau keluarganya dapat
menunjang penegakan diagnosis.7

GINA, konsensus Internasional dan PNAA menekankan diagnosis asma


didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme
kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau

15
mengi yang berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas,
dan adanya riwayat atopi pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala
atau tanda yang patut diduga suatu asma.7

Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil.,


khususnya anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat bronkodilator
dan steroid sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis
asma menjadi lebih definitif. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun)
pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana
dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji
provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering
dan dingin atau dengan NaCl hipertonis, sangat menunjang diagnosis.7

16
Batuk dan Mengi

Gambar 5 : Alur Diagnosis Asma pada Anak

KLASIFIKASI

Dalam GINA asma di klasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit


asma, serta pola obstruksi aliran udara di saluran nafas. Walaupun berbagai usaha
telah dilakukan, klasifikasi berdasarkan etiologi sulit digunakan karena dapat
kesulitan dalam penentuan etiologi spesifik dari sekitar pasien. 6

17
Derajat penyakit asma ditemukan berdasarkan gabungan penelaian
gambaran klinis, jumlah penggunaan agonis-β2 untuk mengatasi gejala, dan
pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi awal pasien.6

Tabel 1. Klasifikasi Asma Berdasarkan GINA

Gejala/hari Gejala/malam PEF atau FEV1


PEF variability
Derajat 1 < 1x/minggu, ≤ 2 kali sebulan ≥80%
asimtomatik dan
Intermiten < 20 %
nilai PEF normal
diantara serangan
Derajat 2 >1 kali perminggu, > 2 kali sebulan ≥ 80%
< 1 kali perhari,
Persisten ringan 20%-30%
serangan
mengganggu
aktivitas
Derajat 3 Sehari sekali, >1 kali perminggu 60-80%
serangan
Persisten sedang >30%
mengganggu
aktivitas
Derajat 4 Terus menerus Sering ≤ 60%
sepanjang hari,
Persisten berat >30%
aktivitas fisik
terbatas

Selain pembagian berdasarkan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3


yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering dan asma persisten. Berikut ini
tabel klasifikasi asma berdasarkan PNAA: 6

18
Tabel 2. Klasifikasi Asma Berdasarkan PNAA

19
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Fungsi Paru

Ada banyak cara yang digunakan untuk mengukur fungsi paru, tetapi tidak
banyak yang dapat dilakukan dengan mudah. Pemeriksaan fungsi paru mulai dari
pengukuran sederhana, yaitu peak expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak
ekspirasi (APE), pulse oximetry, spirometry, sampai pengukuran kompleks yaitu
muscle strength testing, volume para absolut, serta kapasitas difusi. Pemeriksaan
paru yang objektif dan lengkap dapat bermanfaat dalam evaluasi diagnostik anak
dengan batuk, mengi rekuren, aktifitas terbatas, dan keadaan lain yang berkaitan
dengan system respiratorik. Pemeriksaan fungsi paru ini terutama bermanfaat
apabila ada manifestasi gejala asma yang tidak khas. Kebanyakan uji fungsi paru
mengevaluasi satu atau lebih aspek fungsi paru, yaitu: 1) volume paru, 2) fungsi
jalan napas, 3) pertukaran gas. Pengukuran volume paru bermanfaat pada penyakit
paru restriktif seperti kelemahan otot nafas, deformitas dinding dada, atau
penyakit interstitial paru, serta pada beberapa anak dengan kelainan obstruktif
jalan nafas.6

Walau pemeriksaan analisis gas darah merupakan baku emas untuk


menilai parameter pertukaran gas, pulse oximetry masih merupakan pemeriksaan
yang berguna dan efisien.6

Pada uji fungsi jalan nafas, hal yang paling penting adalah melakukan
maneuver ekspirasi paksa secara maksimal. Hal ini tertutama berguna pada
penyakit dengan obstruksi jalan nafas, misalnya asma dan fibrosis kistik.
Pengukuran dengan maneuver ini yang dapat dilakukan pada anak di atas 6 tahun
adalah forced expiratory volume in 1 second (FEV1) dan vital capacity (VC)
dengan alat spirometer serta pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau arus
puncak ekspirasi (APE) dengan peak flow meter. Pengukuran variabilitas dan
reversibilitas fungsi paru dalam 24 jam sangat penting untuk mendignosis asma,
melalui derajar berat penyakit asma dan menjadi acuan dalam strategi pedoman
pengelolaan asma.6

20
Pengukuran PEF pada asma tidak selalu berkorelasi dengan pengukuran
fungi paru lainnya. Dengan alasan ini, pengukuran PEF harus dibandingkan
dengan nilai terbaik anak sendiri. Untuk menilai derajat asma dan respons terapi
PEF harus diukur secara serial dalam 24 jam. Bahkan jika perlu, diukur selama
beberapa minggu, karena derajat asma tidak ditentukan oleh nilai baseline
melainkan oleh variabilitas, terutama dalam 24 jam. Variabilitas harian adalah
perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) PEF dalam 1 hari. Metode yang
dianggap merupakan cara mengukur nilai diural PEF terbaik adalah pengukuran
selama paling sedikit 1 minggu dan hasilnya dinyatakan sebagai persen nilai
terbaik dari selisih nilai PEF pagi hari terendah dan nilai PEF malam hari
tertinggi.6

Pemeriksaan peak flow meter merupakan hal yang penting dan perlu
diupayakan. Meskipun pemeriksaan ini digunakan salah satu parameter untuk
menentukan derejar penyakit asma, namun masih sedikit yang menggunakannya.6

Pada pemeriksaan spirometry, adanya perbaikan FEV1 sebanyak minimal


12% setelah pemberian bronkodilator inhalasi dengan atau tanpa glukokortikoid
mendukung diagnosis asma.6

Pada PNAA, untuk mendukung diagnosis asma anak dipakai batasan: 6

1. Variabilitas PEF atau FEV1 ≥ 15%,

2. Kenaikan PEF atau FEV1 ≥ 15% setelah pemberian inhalasi bronkodilator,

3. Penurunan PEF atau FEV1 ≥ 20% setelah provokasi bronkus.

Pengukuran variabilitas sebaiknya dilakukan dengan mengukur selama ≥ 2


minggu.

Pemeriksaan Hiperreaktivitas Saluran Napas

Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, olahraga, udara kering


dan dingin, atau dengan salin hipertonik sangat menunjang diagnosis. Pada pasien

21
yang mempunyai gejala asma tetapi fungsi parunya tampak normal, penilaian
respons saluran napas terhadap metakolin, histamin, atau olahraga dapat
membantu menegakkan diagnosis asma. Artinya hasil yang negatif dapat
membantu menyingkirkan diagnosis asma persisten, sedangkan hasil positif tidak
selalu berarti bahwa pasien tersebut memiliki asma. Hal ini disebabkan karena
hiperreaktivitas saluran napas juga terdapat pada pasien rhinitis alergi dan kondisi
lain seperti fibrosis kistik, bronkieltasis, dan penyakit paru obstruksi menahun.6

Pengukuran Petanda Inflamasi Saluran Napas Non-Invasif

Penilaian terhadap inflamasi saluran napas akibat asma dapat dilakukan


dengan cara memeriksa eosinophil sputum, baik yang spontan maupun yang
diinduksi dengan garam hipertonik. Selain itu, pengukutan kadar NO ekshalasi
juga merupakan cara menilai petanda inflamasi yang non-invasif. Walaupun pada
pasien asma (yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi) didapatkan eosinofilia
pada sputum pasien dan peningkatan kadar NO ekshalasi dibandingkan dengan
orang yang tidak menderita asma, hasil ini tidak spesifik untuk asma dan belum
terdapat penlitian yang menyatakan bahwa hal yang dapat membatu dalam
diagnosis asma.6

Penilaian Status Alergi

Penilaian status alergi dengan uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik
dalam serum tidak banyak membantu diagnosis asma, tetapi pemeriksaan ini
dapat membantu menentukan faktor risiko atau pencetus asma. Tes alergi untuk
kelompok usia <5 tahun dapat digunakan: 6

1. Menentukan apakah anaknya atopi

2. Mengarahkan manipulasi lingkungan

3. Memprediksi prognosis anak dengan mengi.

22
DIAGNOSIS BANDING

Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan
asma. Selain asma, penyebab umum lain dari gejala batuk berulang pada asma
meliputi rhinosinusitis dan gastro-esophageal reflux (GER). GER merupakan
silent-disease pada anak, sedangkan pada anak dengan sinusitis kronik tidak
memiliki gejala yang khas seperti dewasa dengan adanya nyeri tekan local pada
daerah sinus yang terkena. Selain itu, kedua penyakit ini merupakan penyakit
komorbid yang sering pada asma, sehingga membuat terapi spesifik pada asma
tidak diberikan dengan tepat.9

Pada masa-masa awal kehidupan, batuk kronis dan mengi dapat terjadi
pada keadaan aspirasi, tracheobronchomalacia, abnormalitas jalan napas
congenital, fibrosis kistik dan displasia bronkopulmoner. Pada anak usia 3 bulan,
mengi biasanya ditemukan pada keadaan infeksi, malformasi paru dan kelainan
jantung dan gastrointestinal. Pada bayi dan batita, bronkiolitis yang disebabkan
oleh respiratory syncitial virus merupakan penyebab mengi yang umum.pada anak
yang lebih besar, mengi berulang dapat terjadi pada disfungsi pita suara. Selain
itu, batuk berulang jug dapat ditemukan pada tuberculosis terutama pada daerah
dengan penyebaran tinggi Tuberculosis.9

Berikut ini diagnosis banding dari asma yang sering pada anak : 8

- Rinosinusitis

- Refluks gastroesofageal

- Infeksi respiratorik bawah viral berulang

- Bronkiolitis

- Displasia bronkopulmoner

- Tuberkulosis

- Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik

- Intratorakal

23
- Aspirasi benda asing

- Penyakit Jantung Bawaan

PENATALAKSANAAN

 Tatalaksana Non Medikamentosa


1. Komunikasi, Informasi dan Edukasi terhadap pasien dan keluarga
Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu edukasi
pada pasien dan orang tuanya mengenai penyakit, pilihan pengobatan,
identifikasi dan penghindaran alergen, pengertian tentang kegunaan
obat yang dipakai, ketaatan dan pemantauan, dan yang paling utama
adalah menguasai cara penggunaan obat hirup dengan benar. Edukasi
sebaiknya diberikan secara individual secara bertahap. Pada awal
konsultasi perlu dijelaskan diagnosis dan informasi sederhana tentang
macam pengobatan, alasan pemilihan obat, cara menghindari pencetus
bila sudah dapat diidentifikasi macamnya. Kemudian perlu
diperagakan penggunaan alat inhalasi yang diikuti dengan anak diberi
kesempatan mencoba sampai dapat menggunakan dengan teknik yang
benar. Berikut beberapa hal yang mendasar tentang edukasi asma yang
dapat diberikan pada pasien dan keluarganya: 8
- Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh
- Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan
mengurangi paparan terhadap faktor pencetus
- Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller
- Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan
keluarganya mengenali kekambuhan dan segera mengambil tindakan
guna mencegah asma menjadi lebih berat. Pemantauan mandiri juga
memungkinkan penderita dan dokter menyesuaikan rencana
pengelolaan asma guna mencapai pengendalian asma jangka panjang
dengan efek samping minimal.

24
Dokter harus menjelaskan tentang perilaku pokok guna membantu
penderita menerapkan anjuran penatalaksanaan asma dengan cara: 8
- Penggunaan obat-obatan dengan benar
- Pemantauan gejala, aktivitas dan PEF
- Mengenali tanda awal memburuknya asma dan segera melakukan
rencana yang sudah diprogramkan.
- Segera mencari pertolongan yang tepat dan berkomunikasi secara
efektif dengan dokter yang memeriksa.
- Menjalankan strategi pengendalian lingkungan guna mengurangi
paparan alergen dan iritan.
Edukasi yang baik memupuk kerja sama antara dokter dan
penderita (dan keluarganya) sehingga penderita dapat memperoleh
keterampilan pengelolaan mandiri (self management) untuk berperan-
serta aktif. Penelitian yang dilakukan Guevara menunjukkan bahwa
edukasi dapat meningkatkan fungsi paru dan perasaan mampu
mengelola diri secara mandiri, mengurangi hari absensi sekolah,
mengurangi kunjungan ke UGD dan berkurangnya gangguan tidur
pada malam hari sehingga sangat penting program edukasi sebagai
salah satu penatalaksanaan asma pada anak.8

2. Mengevaluasi Klasifikasi/Keparahan Asma

Kriteria asma terkontrol 9

- Tidak ada gejala asma atau minimal

- Tidak ada gejala asma malam

- Tidak ada keterbatasan aktivitas

- Nilai APE/VEP1 normal

- Penggunaan obat pelega napas minimal

- Tidak ada kunjungan ke UGD

25
Klasifikasi : 9

- Asma terkontrol total: bila semua kriteria asma terkontrol dipenuhi

- Asma terkontrol sebagian: bila terdapat 3 kriteria asma terkontrol

- Asma tak terkontrol: bila kriteria asma terkontrol tidak mencapai 3


buah

3. Menghindari Pajanan terhadap Faktor Risiko


Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang
peran yang cukup. Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor
pencetus yang menyebabkan terjadinya rangsangan terhadap salur
an respiratorik yang berakibat terjadi bronkokonstriksi, edema mukosa,
dan hipersekresi. Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat
mengurangi rangsangan terhadap saluran respiratorik.9

 Tatalaksana Medikamentosa

1. Tatalaksana Asma Jangka Panjang

Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin


tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih
rinci tujuan yang ingin dicapai adalah : 8

1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan


berolahraga.

2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.

3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.

4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang
mencolok.

5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.

26
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin
timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Asma Episodik Jarang

Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda (reliever) seperti
β2-agonis dan teofilin. Penggunaan β2-agonis untuk meredakan serangan asma
biasanya digunakan dalam bentuk inhalasi. Namun, pemakaian obat
inhalasi/hirupan (Metered Dose Inhaler atau Dry Powder Inhaler) cukup sulit
untuk anak usia kurang dari 5 tahun dan biasanya hanya diberikan pada anak yang
sudah mulai besar (usia <5 tahun) dan inipun memerlukan teknik penggunaan
yang benar yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya. Bila obat hirupan tidak
ada/tidak dapat digunakan, maka β-agonis diberikan per oral. Penggunaan teofilin
sebagai bronkodilator semakin kurang berperan dalam tatalaksana asma karena
batas keamanannya sempit. Namun mengingat di Indonesia obat β-agonis oralpun
tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan
kemungkinan timbulnya efek samping. Di samping itu penggunaan β-agonis oral
tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa
palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta
dikombinasikan dengan teofilin.9

Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak tidak
menganjurkan pemberian anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma
episodik ringan. Hal ini juga sesuai dengan GINA yang belum perlu memberikan
obat controller pada Asma Intermiten, dan baru memberikannya pada Asma
Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan
dosis rendah, atau kromoglikat hirupan. Jika dengan pemakaian β2-agonis hirupan
lebih dari 3x/minggu (tanpa menghitung penggunaan pra-aktivitas fisik) atau
serangn sedang/berat muncul >1x/bulan atau pengobatan yang diberikan sudah
adekuat dalam waktu 4-6 minggu, namun tidak menunjukkan respon yang baik
maka tatalaksananya berpindah ke asma episodik sering.9

27
Asma Episodik Sering

Jika penggunaan β2-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa


menghitung penggunaan praaktivitas fisis) atau serangan sedang/berat terjadi
lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai
pengendali sudah terindikasi. Tahap pertama obat pengendali pada asma episodik
sering adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid hirupan yang
sudah sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai
standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-200 ug/hari
budesonid (50-100 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun,
dan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di
atas 12 tahun. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis
100-200 ug/hari, atau setara flutikason 50-100 ug belum pernah dilaporkan
adanya efek samping jangka panjang. Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu
inflamasi kronik, obat pengendali berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu
untuk menimbulkan efek terapi. Oleh karena itu penilaian efek terapi dilakukan
setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan
inflamasinya. Jika setelah pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid hirupan
dosis rendah tidak menunjukkan respons (masih terdapat gejala asma atau atau
gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua
yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 ug/hari yang termasuk
dalam tatalaksana Asma Persisten. Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit
asma sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka
derajat tatalaksanya berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika
asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih
ringan (step-down). Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan
penggunaannya.7

Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran


pencetus, cara penggunaan obat, faktor komorbid yang mempersulit pengendalian
asma seperti rintis dan sinusitis.dan dengan penatalaksanaan rinitis dan sinusitis
secara optimal dapat memperbaiki asma yang terjadi secara bersamaan.7

28
Asma Persisten

Pada penatalaksanaan asma persisten terdapat dua alternatif yaitu dengan


menggunakan steroid hirupan dosis medium dengan memberikan budenoside 200-
400 ug/hari (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun,
400-600 ug/hari budesonid (200-300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas
12 tahun. Selain itu, dapat digunakan alternatif pengganti dengan menggunakan
steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (Long Acting β-2 Agonist)
atau ditambahkan Theophylline Slow Release (TSR) atau ditambahkan Anti-
Leukotriane Receptor (ALTR).6

Apabila dengan pengobatan tersebut selama 6-8 minggu tetap terdapat


gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan
dosis kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi pada pemberian >400 ug/hari
budesonid (>200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan
>600 ug/hari budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12
tahun atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau
ALTR. Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan
keberhasilannya yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan
memperbaiki kualitas hidupnya.6

Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap
tidak mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi
penggunaan kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan
terakhir setelah penggunaan steroid hirupan atau alternatif di atas telah dijalankan.
Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya
efek samping obat. Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2
mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan
selang hari pada pagi hari. Penggunaan steroid secara sistemik harus berhati-hati
karena mempunyai efek samping yang cukup berat.6

Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya


peningkatan enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi.

29
Mengenai pemantauan uji fungsi hati pada pemberian antileukotrien belum ada
rekomendasi. 6

Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang


optimal atau perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid
dapat dikurangi bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa
mengendalikan asmanya. Sementara itu penggunaan β-agonis sebagai obat pereda
tetap diteruskan.6

Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena
perbedaan kemampuan menggunanakan alat inhalasi. Demikian juga kemauan
anak perlu dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat
hirupan biasa (Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan
berulang kali. Berikut tabel anjuran pemakaian alat inhalasi disesuakan dengan
usia. 8

Tabel 3. Anjuran Pemakaian Alat Inhalasi Disesuaikan dengan Usia

2. Pengobatan Eksaserbasi Akut

Eksaserbasi (serangan asma) adalah episode perburukan gejala-gejala


asma secara progresif. Serangan akut biasanya muncul akibat pajanan terhadap
faktor pencetus, sedangkan serangan berupa perburukan bertahap mencerminkan
kegagalan pengobatan jangka panjang. Menurut buku Pedoman Nasional Asma

30
Anak UKK Pulmonologi IDAI 2002, penyakit asma dibagai dalam 3 kelompok
berdasarkan frekuensi serangan dan kebutuhan obat, yaitu asma ringan, sedang,
dan berat. Selain klasifikasi derajat penyakit asma di atas, asma juga dapat dinilai
berdasarkan derajat serangannya, yaitu serangan ringan, sedang, dan berat. Jadi
perlu dibedakan antara derajat penyakit asma (aspek kronik) dengan derajat
serangan asma (aspek akut). Seorang penderita asma berat (persisten) dapat
mengalami serangan ringan saja. Sebaliknya seorang penderita asma ringan
(episodik/jarang) dapat mengalami serngan asma berat, atau bahkan serangan
ancaman henti nafas yang dapat mengakibatkan kematian. Terapi yang diberikan
bergantung pada beratnya derajat serangan asma.6

Tatalaksana serangan asma dilakukan dengan tujuan untuk meredakan


penyempitan jalan nafas secepat mungkin, mengurangi hipoksemia,
mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya, dan merenacanakan
tatalaksana mencegah kekambuhan.6

Tatalaksana Serangan

1. Tatalaksana di rumah

Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan β-2 agonis atau
teofilin. Bila tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi karena onsetnya lebih
cepat dan efek samping sistemiknya minimal. Obat golongan β-2 agonis inhalasi
yang dapat digunakan yaitu MDI dengan atau tanpa spacer atau nebulizer.8

a. Jika diberikan via nebulizer :


- Berikan β-2 agonis kerja pendek, lihat responsnya. Bila gejala (sesak napas
dan wheezing) menghilang, cukup diberikan satu kali.
- Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi pemberian sekali lagi.
- Jika dengan 2 kali pemberian β-2 agonis kerja pendek via nebulizer belum
membaik, segera bawa ke UGD.

31
b. Jika diberikan via MDI + spacer :
- Berikan β-2 agonis kerja pendek serial via spacer dengan dosis : 2-4
semprot. Berikan semprotan pertama obat ke dalam spacer diikuti 6-8 tarikan
napas melalui sambungan untuk perlekatan ke wajah, antar muka (interface)
berupa masker. Lanjutkan semprotan kedua, dengan sebelumnya mengocok
MDI, baru menyemprot ulang. Pemberian semprotan hingga 4 kali berturut-
turut (1 siklus), setara dengan 1 kali nebulisasi. Tunggu 30 menit, bila belum
ada respons berikan semprot berikutnya dengan cara yang sama.
- Jika membaik dengan dosis <4 semprot, inhalasi dihentikan. Jika gejala
belum membaik dalam 30 menit, berikan semprotan berikutnya dengan siklus
yang sama.
- Jika gejala tidak membaik dengan dosis 2 kali 2-4 semprotan, segera bawa ke
UGD

32
2. Tatalaksana di UGD

Serangan Asma

 Nilai derajat serangan asma


 Cari riwayat asma risiko tinggi

RINGAN-SEDANG BERAT ANCAMAN HENTI NAPAS


 Bicara dalam kalimat  Bicara dalam kata Kriteria asma serangan
 Lebih senang duduk daripada  Duduk bertopang tangan berat terpenuhi, ditambah :
berbaring  Gelisah - Mengantuk / letargi
 Tidak gelisah - Suara napas tak terdengar
 Frekuensi napas
 Frekuensi napas
 Frekuensi nadi
 Frekuensi nadi  Retraksi jelas
 Retraksi minimal  SpO2 (udara kamar) <90%
 SpO2 (udara kamar) : 90-95%  PEF < 50% prediksi
 PEF >50% prediksi

Mulai terapi awal


TIDAK RESPONS
 Brikan O2 1-2 L/menit jika SpO2 <94% SEGERA
 Agonis B2 kerja pendek :
Atau MEMBURUK
- Via nebulizer atau via MDI dan spacer (4-
10 semprot)
- Nebulisasi dapat diulang sampai 3 kali Bila di UGD Rumah Sakit :
tiap 20 menit dalam 1 jam
 Lanjutkan tatalaksana sesuai derajat
 Untuk nebulisasi ketiga pertimbangkan
serangan
kombinasi agonis B2 kerja pendek dan
ipratopium bromida Bila di fasyankes primer, segera rujuk ke rumah
 Pada saat serangan : steroid sistemik sakit
(prednison) : 1-2mg/kgBB/hari, maksimal 40
Sambil menunggu, lakukan terapi :
mg peroral (bila tidak memungkinkan, IV)
 Nebulisasi agonis B2 kerja pendek dan
ipratropium bromide
Lanjutkan terapi dengan agonis B2 kerja  Steroid sistemik(prednison) : 1-
pendek jika diperlukan nilai respons terapi 2mg/kgBB/hari, maksimal 40 mg IV
dalam 1 jam berikutnya (atau lebih cepat)  Beri O2 2 L/menit

33
MEMBAIK TIDAK RESPONS

Atau MEMBURUK
Penilaian sebelum dipulangkan Siapkan untuk rawat jalan

 Gejala : membaik  Obat pereda : lanjut sampai gejala reda/hilang


 SpO2 >94% (udara kamar)
MEMBAIK  Obat pengendali : dimulai, dilanjutkan, dinaikkan
 PEF membaik dan 60-80% nilai sesuai dengan derajat kekerapan asma
prediksi terbaik  Steroid oral : lanjutkan 3-5 hari
 Kunjungan ulang ke RS dalam 3-5 hari

Tindak lanjut

 Obat pereda : diberikan jika perlu


 Obat pengendali : lanjutkan dengan dosis yang sesuai
 Evaluasi faktor risiko : identifikasi dan modifikasi faktor risiko
bila memungkinkan

Pasien dengan asma serangan berat atau ancaman henti


napas yang dirujuk ke rumah sakit

Penilaian awal :

A : airway B : breathing C : circulation

Apakah ada :

Mengantuk, letargi, suara paru tak


terdengar

Tidak Ya

BERAT ANCAMAN HENTI NAPAS

 Bicara dalam kata Siapkan perawatan ICU


 Duduk bertopang lengan
 Inhalasi agonis B2 kerja
 Gelisah
pendek
 Frekuensi napas
 Oksigen
 Frekuensi nadi  Siapkan intubasi jika perlu
 Retraksi jelas
 SpO2 (udara kamar) <90%
 PEF < 50% prediksi
34
Mulai terapi

 Inhalasi agonis B2 kerja pendek +


ipratropium bromide
 Steroid IV
 Oksigen untuk menjaga SpO2 94-98%
 Berikan aminofilin IV

Jika memburuk, kelola sebagai serangan asma dengan ancaman


henti napas dan pertimbangkan rawat ICU

Nilai kondisi klinis secara berkala

Periksa spirometri / PEF (satu jam setelah terapi awal)

FEV1 atau PEF 60-80% dan FEV1 atau PEF <60 % dan tidak
terdapat perbaikan gejala terdapat perbaikan gejala

SEDANG BERAT

Pertimbangkan rawat jalan Lanjutkan tatalaksana dan evaluasi


berkala

Gambar 6 : Alur tatalaksana gawat darurat serangan asma pada anak di


fasyankes/UGD dan rumah sakit

35
3. Preparat terapi

I. Bronkodilator

a. β adrenergic kerja pendek (short acting)

Golongan obat ini terdiri dari epinefrin/adrenalin dan β-2 agonis selektif. 10

Epinefrin/adrenalin

Digunakan jika tidak terdapat obat b2-agonis selektif. Epinefrin terutama


diberikan jika ada reaksi anafilaksis atau angioudem. Obat ini dapat diberikan
secara subkutan atau dengan inhalasi aerosol. Pemberian subkutan adalah sebagai
berikut: larutan epinefrin 1:1000 (1mg/ml) dengan dosis 0,01 ml/kgbb
(maksimum 0,3 ml), dapat diberikan 3 kali dengan selang waktu 20 menit.10

β -2-agonis selektif

Obat yang sering dipakai adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol. Dosis


salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mg/kgBB/kali diberikan setiap 6 jam, dosis
terbutalin oral adalah 0,05-0,1 mg/kgBB/kali diberikan setiap 6 jam. Pemberian
secara peroral akan memberikan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak
dalam 2-4 jam dan lama kerjanya adalah 5 jam.10

Pemberian secara noninvasive (inhalasi) lebih disukai daripada pemebrian


subkutan/intravena karena dapat mengurangi rasa nyeri dan kegelisahan pasien.
Untuk serangan ringan dapat diberikan metered dosed inhaler (MDI) 2-4
semprotan tiap 3-4 jam, serangan sedang diberikan 6-10 semprotan tiap 1-2 jam
sedangkan serangan berat diberikan 10 semprotan. Pemberian MDI lebih dari 6
semprotan harus dibawah pengawasan dokter.10

Salbutamol dapat diberikan dengan nebulizer dengan dosis 0,1-0,15


mg/kgBB(dosis maksimum 5 mg/kali), dengan interval 20 menit atau nebulisasi
secara kontiniu dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
Nebulisasi terbutalin dapat diberikan dengan dosis 2,5 mg atau 1
respules/nebulisasi.10

36
Pemberian intravena dapat dipertimbangkan jika pasien tidak berespon dengan
nebulisasi b2 agonis, kortikosteroid IV, dan teofilin serta ipratropium bromide.
Salbutamol iv dapat diberikan dengan dosis mulai dari 0,2mcg/kgBB/menit dan
dinaikkan 0,1mcg/kgBB setiap 15 menit dengan dosis maksimal
4mcg/kgBB/menit. Terbutalin IV dapat diberikan dengan dosis 10mcg/kgBB
melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan 0,1-4 µg/kgBB/jam dengan
infuse kontiniu.10

LABA (long acting β2-agonis)

Ada 2 preparat inhalasi yaitu salmeterol dan formoterol, dan 1 obat oral yaitu
procaterol. Tersedia kombinasi steroid hirupan dengan LABA, yaitu kombinasi
fluticasone propionate dan salmeterol menjadi seretide, kombinasi budesonide dan
formoterol menjadi Symbicort. Seretide dalam MDI (Metered Dosed Inhaler)
sedangkan Symbicort dalam DPI(Dry Powder Inhaler).7

II. Antikolinergik

Ipratropium bromide

Dosis yang dianjurkan adalah 0,1 ml/kgBB, nebulisasi setiap 4 jam. Dapat juga
diberikan dalam larutan 0,025% dengan dosis sebagai berikut: untuk anak usia>6
tahun: 8-20 tetes; usia < 6 tahun: 4-10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan
minimal atau rasa tidak enak di mulut (dosis oral 0,6-8mg/kgBB pada orang
dewasa) secara umum tidak ada efek samping yang berarti.6

III. Kortikosteroid

a. Steroid Oral

Preparat oral yang dipakai adalah prednisone, prednisolon atau triamsinolon


dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari diberikan 2-3 kali sehari selama 3-5 hari.
Kortikosteroid IV diberikan pada kasus asma yang dirawat di rumah sakit.
Metilprednisolon merupakan pilihan yang utama karena memiliki kemampuan
penetrasi ke jaringan paru yang lebih baik, efek antiinflamasi yang lebih besar,
serta efek mineralokortikoid minimal. Dosis yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB,

37
diberikan tiap 4-6 jam. Deksametason diberikan secara bolus intravena, dengan
dosis ½-1 mg/kgBB, dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari , diberikan setiap 6-8 jam.7

b. Steroid Inhalasi

Steroid inhalasi dapat menekan inflamasi saluran respiratori dan merupakan obat
pengendali asma yang paling efektif. Pemberian steroid inhalasi setara dosis
budesonid 100 – 200 ug per hari dapat menurunkan angka kekambuhan asma dan
memperbaiki fungsi paru-paru pada pasien asma. Pada anak yang berusia diatas 5
tahun, steroid inhalasi dapat mengendalikan asma, menurunkan angka
kekambuhan, mengurangi risiko masuk rumah sakit, memperbaiki kualitas hidup,
memperbaiki fungsi paru, dan menurunkan serangan asma akibat berolahraga.8

IV. Antileukotrien (Leukotriene Receptor Antagonist, LTRA)

Montelukast

Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Obat ini dapat diberikan
sejak usia 2 tahun. Dosis peroral hanya 1 kali sehari sehingga memudahkan
penggunaan dan meningkatkan ketaatan pemakaian obat. 10

Zafirlukast

Preparat ini terdapat di Indonesia (Accolate, Astra Zeneca), digunakan untuk anak
> 7 tahun.bekerja dengan menekan produksi cystenil leukotriene yang setara
dengan montelucast. Sayangnya obat ini dapat mengganggu fungsi hati
(meningkatkan tranaminase), sehingga pada bulan-bulan pertama penggunaannya
diperlukan pemeantauan terhadap fusngsi hati. Dosis dibagi menjadi 2 kali dalam
sehari, diberikan saat perut kosong.10

38
BAB III

KESIMPULAN

GINA mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran


nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.
Batuk dan/atau mengi yang berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah
melakukan aktivitas, dan adanya riwayat atopi pada penderita maupun
keluarganya merupakan gejala atau tanda yang patut diduga suatu asma. Gejala
tersebut timbul karena adanya proses inflamasi kronis pada saluran nafas yang
menyebabkan adanya bronkonstriksi, edema mukosa saluran nafas, hipersekresi
bronkus dan proses remodeling pada mukosa. Seluruh proses tersebut
menimbulkan ketidak padupadanan antara ventilasi dan perfusi.

GINA mengklasifikasikan asma menjadi asma dengan gejala intermiten,


persisten ringan, sedang dan berat. Asma juga dapat dibagi berdasarkan derajat
serangannya yaitu asma serangan ringan, sedang, dan berat. Derajat penyakit asma
berhubungan dengan inflamsi kronik yang terjadi. Derajat serangan berhungan
dengan proses akut perburukan dari penyakit asma itu sendiri.

Penilaian derajat serangan dan penyakit asma penting untuk penatalaksaan


asma. Dengan pentalaksanaan yang adekuat diharapkan dapat memperbaiki
tumbuh kembang dan kualitas hidup anak. Selain terapi dengan obat-obatan
standar untuk asma, diperlukan peran aktif keluarga dan pasien untuk
menghindari factor pencetus. Yang tidak kalah pentingnya dalam penatalaksanaan
asma ialah kerjasama antara pasien-keluarga dan dokter.

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and


prevention asthma in children. 2011

2. Supriyanto, B. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak.


Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 55, Nomor: 3, Maret 2005.
FKUI.

3. Asma Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan


Dokter Paru Indonesia. 2003.

4. Sherwood, L. Fisiologi manusia dari sel ke system. EGC. 2006.

5. Setiawati, L. Tatalaksana asma jangka panjang pada anak. FK UNAIR.


2008.

6. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrhman RE. Nelson ilmu
kesehatan anak esensial. Singapore: Elsevier; 2011.

7. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi


pertama. Jakarta: ikatan dokter anak Indonesia; 2012.

8. Supriyanto, B. Pedoman Nasional Asma Anak. Ed.2. Ikatan Dokter Anak


Indonesia. 2016.

9. Hendarto A, Trihono P, Oswari H, Gunardi H. State of art:common


problems in hospitalized children. Jakarta: Ikatan dokter anak Indonesia
cabang DKI Jakarta; 2011.

10. Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Jakarta: FKUI,


RSCM; 2008.

40

Anda mungkin juga menyukai