Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
GLOMERULONEFRITIS AKUT
Disusun oleh:
Racmad Sanjaya
Joko Santoso
Pembimbing:
GLOMERULONEFRITIS AKUT
Menyetujui,
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan yang berjudul Kejang Demam Sederhana.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas
dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Sherly Yuniarchan, Sp. A., sebagai dosen pembimbing selama stase anak
divisi nefrologi.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2014 yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, Tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Juli, 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Identitas pasien
Anamnesis
Pasien mengalami bengkak di seluruh tubuh sejak 6 hari sebelum masuk rumah
sakit, bengkak dimulai dari wajah dan kelopak mata, setelah itu mulai timbul
bengkak dibagian tangan, kaki dan perut, dan terakhir terjadi pula pembengkakan
pada daerah skrotum dan penis pasien. Sekitar 2 hari sebelum muncul bengkak
pasien mengalami demam yang berlangsung selama 2 hari dan kemudian turun
dengan sendirinya. Selain itu pasien juga mengalami batuk sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit, pilek (-) sesak (-) mual (+) muntah (-) BAB cair (-) BAK (+)
berwarna coklat sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnya. Riwayat batuk, pilek,
nyeri tenggorokan, nyeri menelan, nyeri telinga dalam jangka waktu sekitar 7-14
hari hari sebelum terjadinya bengkak diseluruh tubuh, disangkal oleh ibu pasien.
Riwayat infeksi kulit (+) ibu pasien mengaku bahwa sekitar 2-3 minggu sebelum
kejadian bengkak, kaki pasien mengalami koreng yang bernanah yang berpindah-
pindah.
Di dalam keluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien.
Riwayat Saudara-Saudaranya :
Tersenyum : 3 bulan
Miring : 3 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : Lupa
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 9 bulan
ASI : 0 9 bulan
Buah : 3 bulan
Pemeliharaan Prenatal
Periksa di : Puskesmas
Penyakit Kehamilan :-
Riwayat Kelahiran :
Pemeliharaan postnatal :
Periksa di : Puskesmas
IMUNISASI
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda Vital
Kepala
Rambut : Hitam
Leher
Thoraks
Batas jantung
Kiri : ICS V midclavicula line sinistra
Abdomen
Inspeksi : Distended
Perkusi : Redup
Ekstremitas : Akral hangat (+), oedem (+), capillary refill time < 2
detik, sianosis (-), pembesaran KGB aksiler (-/-),
pembesaran KGB inguinal (-/-)
Pemeriksaan Penunjang
Urin Lengkap
Glukosa -
Protein +3
Hb/darah +4
Leukosit +1
Prognosis : Dubia
Follow Up
GLOMERULONEFRITIS AKUT
Batasan
Glomerulonefritis akut (GNA) adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk
menjelaskan suatu proses histopatologi berupa proliferasi dan inflamasi sel
glomeruli akibat proses imunologik (Syarifuddin, Albar, & Aras, 2012)
Sindroma nefritik akut (SNA) adalah suatu kumpulan gejala klinis berupa
proteinuria, hematuria, azotemia, red blood cast, oliguria dan hipertensi
(PHAROH) yang terjadi secara akut (Syarifuddin, Albar, & Aras, 2012).
GNA merupakan istilah yang lebih bersifat histologik sedangkan SNA lebih
bersifat klinis (Syarifuddin, Albar, & Aras, 2012).
Epidemiologi
Glomerulonefritis akut lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan
(2:1). Glomerulonefritis akut post infeksi dapat menyerang berbagai usia tetapi
paling sering didapati pada anak-anak terutama usia 5-15 tahun (Parmar, 2010).
Non infeksi
- Vaskulitis (misal : granulomatosis dengan polyangitis wegener
granulomatosis)
- Penyakit vaskular kolagen (misal : SLE)
- Vaskulitis hipersensitif
- Cryoglobulinemia
- Polyartritis nodosa
- Henoch-scholnlein purpura
- Goodpasture syndrome (Parmar, 2010)
Klasifikasi glomerulonefritis
1. Kongenital
Sindrom Alport, sindrom nefrotik kongenital
2. Didapat
Primer (idiopatik)
Nefropati IgA, glomerulonefritis cepat, glomerulonefritis kronik
eksaserbasi akut
Sekunder
Akibat infeksi
Glomerulonefritis paskastreptokokus, hepatitis B, endokarditis bakterial
subakut
Akibat penyakit sistemik
Purpura Henoch-schoenlein (HSP), Lupus Erythematosus sistemik (SLE),
sindroma hemolitik uremik
Akibat obat
NSAID, penisilamin, kaptopril, heroin, merkuri, garam emas
Neoplasia
Leukemia, limfoma, karsinoma
Patogenesis
Perubahan struktural glomerulus
Pada glomerulonefritis terjadi peningkatan proliferasi endotelial mesangial dan sel
epitel pada glomerulus sehingga menambah jumlah sel glomerulus. Membran
basalis glomerulus mengalami penebalan dan dapat juga ditutupi oleh deposit
kompleks imun dan komplemen. Kelainan struktural dapat berupa kelainan fokal,
difus, segmental atau global (Parmar, 2010).
- Kelainan difus meliputi setiap glomerulus yang terlihat di mikroskop
- Kelainan fokal hanya meliputi beberapa glomerulus saja
- Kelainan segmental hanya mengenai satu segmen dari sebuah glomerulus
saja, bagian lain dari glomerulus yang sama tetap normal
- Kelainan global, semua kapiler dari sebuah glomerulus terkena, istilah ini
digunakan untuk menjelaskan adanya sklerosis
Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis
Pada pemeriksaan urin rutin ditemukan hematuri mikroskopis ataupun
makroskopis (gros), proteinuria. Proteinuri biasanya sesuai dengan derajat
hematuri dan berkisar antara sampai 2+ (100 mg/dL). Bila ditemukan proteinuri
masif (> 2 g/hari) maka penderita menunjukkan gejala sindrom nefrotik dan
keadaan ini mungkin ditemukan sekitar 2-5% pada penderita GNAPS. Ini
menunjukkan prognosa yang kurang baik. Pemeriksaan mikroskopis sedimen urin
ditemukan eritrosit dismorfik dan kas eritrosit, kas granular dan hialin (ini
merupakan tanda karakteristik dari lesi glomerulus) serta mungkin juga ditemukan
leukosit. Untruk pemeriksaan sedimen urin sebaiknya diperiksa urin segar pagi
hari.
Darah
Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin serum meningkat dengan tanda
gagal ginjal seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia.
Komplemen C3 rendah pada hampir semua pasien dalam minggu pertama, tetapi
C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar properdin menurun pada
50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan aktivasi jalur alternatif komplomen.
Penurunan C3 sangat mencolok pada penderita GNAPS kadar antara 20-40 mg/dl
(harga normal 50-140 mg.dl). Penurunan komplemen C3 tidak berhubungan
dengan derajat penyakit dan kesembuhan. Kadar komplemen C3 akan mencapai
kadar normal kembali dalam waktu 6-8 minggu. Bila setelah waktu tersebut
kadarnya belum mencapai normal maka kemungkinan glomerulonefritisnya
disebabkan oleh yang lain atau berkembang menjadi glomerulonefritis kronik atau
glomerulonefritis progresif cepat. Anemia biasanya berupa normokromik
normositer, terjadi karena hemodilusi akibat retensi cairan. Di Indonesia 61%
menunjukkan Hb < 10 g/dL. Anemia akan menghilang dengan sendirinya setelah
efek hipervolemiknya menghilang atau sembabnya menghilang.
Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan
tenggorok dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba
sebelumnya. Beberapa uji serologis terhadap antigen streptokokus dapat dipakai
untuk membuktikan adanya infeksi, antara lain antistreptozim, ASTO,
antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining antistreptozim cukup bermanfaat
oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap beberapa antigen streptokokus.
Titer anti streptolisin O mungkin meningkat pada 75-80% pasien dengan GNAPS
dengan faringitis, meskipun beberapa strain streptokokus tidak memproduksi
streptolisin O, sebaiknya serum diuji terhadap lebih dari satu antigen
streptokokus. Bila semua uji serologis dilakukan, lebih dari 90% kasus
menunjukkan adanya infeksi streptokokus, titer ASTO meningkat pada hanya
50% kasus. Pada awal penyakit titer antibodi streptokokus belum meningkat,
hingga sebaiknya uji titer dilakukan secara serial. Kenaikan titer 2-3 kali berarti
adanya infeksi.
Diagnosis
Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada
pasien dengan gejala klinis berupa hematuri makroskopis (gros) yang timbul
mendadak, sembab dan gagal ginjal akut, yang timbul setelah infeksi
streptokokus. Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya
infeksi streptokokus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3
mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis. Beberapa keadaan lain dapat
menyerupai glomerulonefritis akut pascastreptokok pada awal penyakit, yaitu
nefropati-IgA dan glomerulonefritis kronik. Anak dengan nefropati-IgA sering
menunjukkan gejala hematuria nyata mendadak segera setelah infeksi saluran
napas atas seperti glomerulonefritis akut pascastreptokok, tetapi hematuria
makroskopik pada nefropati-IgA terjadi bersamaan pada saat faringitis, sementara
pada glomerulonefritis akut pascastreptokok hematuria timbul 7-14 hari setelah
faringitis, sedangkan hipertensi dan sembab jarang ditemukan pada nefropati IgA.
Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa
hematuria makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa
glomerulonefritis kronik yang menunjukkan gejala tersebut adalah
glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus, dan glomerulonefritis
proliferatif kresentik. Perbedaan dengan GNAPS sulit diketahui pada awal
penyakit.
Pada GNAPS perjalanan penyakitnya cepat membaik (hipertensi, sembab
dan gagal ginjal akan cepat pulih). Pola kadar komplemen C3 serum selama
pemantauan merupakan tanda (marker) yang penting untuk membedakan dengan
glomerulonefritis kronik yang lain. Kadar komplemen C3 serum kembali normal
dalam waktu 6-8 minggu pada GNAPS sedangkan pada glomerulonefritis yang
lain tetap rendah dalam waktu yang lama. Eksaserbasi hematuria makroskopis
sering terlihat pada glomerulonefritis kronik akibat infeksi karena streptokok dari
strain non-nefritogenik lain, terutama pada glomerulonefritis
membranoproliferatif. Pasien GNAPS tidak perlu dilakukan biopsi ginjal untuk
menegakkan diagnosis; tetapi bila tidak terjadi perbaikan fungsi ginjal dan
terdapat tanda sindrom nefrotik yang menetap atau memburuk, biopsi ginjal
merupakan indikasi.
Definisi
Glomerulonefritis akut post sterptokokus (GNAPS) adalah suatu proses
radang non-supuratif yang mengenai glomeruli, sebagai akibat infeksi kuman
streptokokus beta hemolitikus grup A, tipe nefritogenik di tempat lain. Penyakit
ini sering mengenai anak-anak.
Etiologi
Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus timbul
setelah infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman
Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2,
49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan infeksi kulit 8-14 hari setelah infeksi
streptokokus, timbul gejala-gejala klinis. Infeksi kuman streptokokus beta
hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska
streptokokus berkisar 10-15%..
Streptococcus ini dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907
dengan alasan bahwa :
- Timbulnya GNA setelah infeksi skarlatina
- Diisolasinya kuman Streptococcus beta hemolyticus golongan A
- Meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.
Mungkin faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi
mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman Streptococcuss.
Patofisiologi
Sebenarnya bukan sterptokokus yang menyebabkan kerusakan pada ginjal.
Diduga terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khsus yang
merupakan unsur membran plasma sterptokokal spesifik. Terbentuk kompleks
antigen-antibodi didalam darah dan bersirkulasi kedalam glomerulus tempat
kompleks tersebut secara mekanis terperangkap dalam membran
basalis.selanjutnya komplomen akan terfiksasi mengakibatkan lesi dan
peradangan yang menarik leukosit polimorfonuklear (PMN) dan trombosit
menuju tempat lesi. Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak
endothel dan membran basalis glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi
yang terjadi, timbu proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan
selanjutnya sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus
menyebabkan protein dan sel darah merah dapat keluar ke dalam urine yang
sedang dibentuk oleh ginjal, mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Agaknya
kompleks komplomen antigen-antibodi inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul
subepitel pada mikroskop elektron dan sebagai bentuk granular dan berbungkah-
bungkah pada mikroskop imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus
tampak membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.
Menurut penelitian yang dilakukan penyebab infeksi pada glomerulus
akibat dari reaksi hipersensivitas tipe III. Kompleks imun (antigen-antibodi yang
timbul dari infeksi) mengendap di membran basalis glomerulus. Aktivasi
kpmplomen yang menyebabkan destruksi pada membran basalis glomerulus.
Kompleks-kompleks ini mengakibatkan kompelen yang dianggap
merupakan mediator utama pada cedera. Saat sirkulasi melalui glomerulus,
kompleks-kompleks ini dapat tersebar dalam mesangium, dilokalisir pada
subendotel membran basalis glomerulus sendiri, atau menembus membran basalis
dan terperangkap pada sisi epitel. Baik antigen atau antibodi dalam kompleks ini
tidak mempunyai hubungan imunologis dengan komponen glomerulus. Pada
pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks imun, ditemukan endapan-
endapan terpisah atau gumpalan karateristik paa mesangium, subendotel, dan
epimembranosa. Dengan miskroskop imunofluoresensi terlihat pula pola nodular
atau granular serupa, dan molekul antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta
komponen-komponen komplomen seperti C3,C4 dan C2 sering dapat
diidentifikasi dalam endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang dilawan oleh
imunoglobulin ini terkadang dapat diidentifikasi.
Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan
oleh Streptokokus, merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk
autoantibodi terhadap IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk
komplek imun dalam sirkulasi darah yang kemudian mengendap di ginjal.
Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada
terjadinya GNAPS. Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen
menjadi plasmin. Plasmin ini diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen
sehingga terjadi cascade dari sistem komplemen.
Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah kompleks
yang dideposit. Bila terutama pada mesangium, respon mungkin minimal, atau
dapat terjadi perubahan mesangiopatik berupa ploriferasi sel-sel mesangial dan
matrik yang dapt meluas diantara sel-sel endotel dan membran basalis,serta
menghambat fungsi filtrasi simpai kapiler. Jika kompleks terutama terletak
subendotel atau subepitel, maka respon cenderung berupa glomerulonefritis
difusa, seringkali dengan pembentukan sabit epitel. Pada kasus penimbunan
kronik komplek imun subepitel, maka respon peradangan dan proliferasi menjadi
kurang nyata, dan membran basalis glomerulus berangsur- angsur menebal
dengan masuknya kompleks-kompleks ke dalam membran basalis baru yang
dibentuk pada sisi epitel.
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi deposit
kompleks imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui, walaupun
demikian ukuran dari kompleks tampaknya merupakan salah satu determinan
utama. Kompleks-kompleks kecil cenderung menembus simpai kapiler,
mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang dinding kapiler do bawah epitel,
sementara kompleks-kompleks berukuran sedang tidak sedemikian mudah
menembus membran basalis, tapi masuk ke mesangium. Komplkes juga dapat
berlokalisasi pada tempat-tempat lain.
Jumlah antigen pada beberapa penyakit deposit kompleks imun terbatas,
misal antigen bakteri dapat dimusnahkan dengan mekanisme pertahanan penjamu
atau dengan terapi spesifik. Pada keadaan demikian, deposit kompleks-kompleks
imun dalam glomerulus terbatas dan kerusakan dapat ringan danberlangsung
singkat, seperti pada glomerulonefritis akut post steroptokokus.
Hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang
menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab.
Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut :
1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana
basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh
menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus.
3. Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai
komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung
merusak membrana basalis ginjal.4
Prevalensi
GNAPS dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun tersering pada
golongan umur 5-15 tahun, dan jarang terjadi pada bayi. Referensi lain
menyebutkan paling sering ditemukan pada anak usia 6-10 tahun. Penyakit ini
dapat terjadi pada laki laki dan perempuan, namun laki laki dua kali lebih sering
dari pada perempuan. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1.
Diduga ada faktor resiko yang berhubungan dengan umur dan jenis kelamin. Suku
atau ras tidak berhubungan dengan prevelansi penyakit ini, tapi kemungkinan
prevalensi meningkat pada orang yang sosial ekonominya rendah, sehingga
lingkungan tempat tinggalnya tidak sehat.
Manifestasi klinis
GNAPS lebih sering terjadi pada anak usia 6 sampai 15 tahun dan jarang pada
usia di bawah 2 tahun. GNAPS didahului oleh infeksi GABHS melalui infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA) atau infeksi kulit (piodermi) dengan periode laten
1-2 minggu pada ISPA atau 3 minggu pada pioderma.
Penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan bahwa infeksi melalui ISPA
terdapat pada 45,8% kasus sedangkan melalui kulit sebesar 31,6%.
Gejala klinik GNAPS sangat bervariasi dari bentuk asimtomatik sampai
gejala yang khas. Bentuk asimtomatik lebih banyak daripada bentuk simtomatik
baik sporadik maupun epidemik. Bentuk asimtomatik diketahui bila terdapat
kelainan sedimen urin terutama hematuria mikroskopik yang disertai riwayat
kontak dengan penderita GNAPS simtomatik.
GNAPS simtomatik
1. Periode laten :
Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara infeksi
streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu;
periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA,
sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini
jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang dari 1
minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti eksaserbasi
dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-
Schenlein atau Benign recurrent haematuria.
2. Edema :
Merupakan gejala yang paling sering, umumnya pertama kali timbul, dan
menghilang pada akhir minggu pertama. Edema paling sering terjadi di daerah
periorbital (edema palpebra), disusul daerah tungkai. Jika terjadi retensi cairan
hebat, maka edema timbul di daerah perut (asites), dan genitalia eksterna (edema
skrotum/vulva) menyerupai sindrom nefrotik.
Distribusi edema bergantung pada 2 faktor, yaitu gaya gravitasi dan tahanan
jaringan lokal. Oleh sebab itu, edema pada palpebra sangat menonjol waktu
bangun pagi, karena adanya jaringan longgar pada daerah tersebut dan
menghilang atau berkurang pada siang dan sore hari atau setelah melakukan
kegitan fisik. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi. Kadang-kadang terjadi edema
laten, yaitu edema yang tidak tampak dari luar dan baru diketahui setelah terjadi
diuresis dan penurunan berat badan. Edema bersifat pitting sebagai akibat cairan
jaringan yang tertekan masuk ke jaringan interstisial yang dalam waktu singkat
akan kembali ke kedudukan semula.
3. Hematuria
Hematuria makroskopik terdapat pada 30-70% kasus GNAPS, sedangkan
hematuria mikroskopik dijumpai hampir pada semua kasus. Suatu penelitian
multisenter di Indonesia mendapatkan hematuria makroskopik berkisar 46-100%,
sedangkan hematuria mikroskopik berkisar 84-100%.
Urin tampak coklat kemerah-merahan atau seperti teh pekat, air cucian
daging atau berwarna seperti cola. Hematuria makroskopik biasanya timbul dalam
minggu pertama dan berlangsung beberapa hari, tetapi dapat pula berlangsung
sampai beberapa minggu. Hematuria mikroskopik dapat berlangsung lebih lama,
umumnya menghilang dalam waktu 6 bulan. Kadang-kadang masih dijumpai
hematuria mikroskopik dan proteinuria walaupun secara klinik GNAPS sudah
sembuh. Bahkan hematuria mikroskopik bisa menetap lebih dari satu tahun,
sedangkan proteinuria sudah menghilang. Keadaan terakhir ini merupakan
indikasi untuk dilakukan biopsi ginjal, mengingat kemungkinan adanya
glomerulonefritis kronik.
4. Hipertensi :
Hipertensi merupakan gejala yang terdapat pada 60-70% kasus GNAPS.
Albar mendapati hipertensi berkisar 32-70%. Umumnya terjadi dalam minggu
pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala klinik yang
lain. Pada kebanyakan kasus dijumpai hipertensi ringan (tekanan diastolik 80-90
mmHg). Hipertensi ringan tidak perlu diobati sebab dengan istirahat yang cukup
dan diet yang teratur, tekanan darah akan normal kembali. Adakalanya hipertensi
berat menyebabkan ensefalopati hipertensi yaitu hipertensi yang disertai gejala
serebral, seperti sakit kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun dan kejang-
kejang. Penelitian multisenter di Indonesia menemukan ensefalopati hipertensi
berkisar 4-50%.
5. Oliguria
Keadaan ini jarang dijumpai, terdapat pada 5-10% kasus GNAPS dengan
produksi urin kurang dari 350 ml/m2 LPB/hari. Oliguria terjadi bila fungsi ginjal
menurun atau timbul kegagalan ginjal akut. Seperti ketiga gejala sebelumnya,
oliguria umumnya timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan
dengan timbulnya diuresis pada akhir minggu pertama. Oliguria bisa pula menjadi
anuria yang menunjukkan adanya kerusakan glomerulus yang berat dengan
prognosis yang jelek.
6. Gejala Kardiovaskular :
Gejala kardiovaskular yang paling penting adalah bendungan sirkulasi yang
terjadi pada 20-70% kasus GNAPS. Bendungan sirkulasi dahulu diduga terjadi
akibat hipertensi atau miokarditis, tetapi ternyata dalam klinik bendungan tetap
terjadi walaupun tidak ada hipertensi atau gejala miokarditis. Ini berarti bahwa
bendungan terjadi bukan karena hipertensi atau miokarditis, tetapi diduga akibat
retensi Na dan air sehingga terjadi hipervolemia.
a. Edema paru
Edema paru merupakan gejala yang paling sering terjadi akibat bendungan
sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat asimtomatik, artinya hanya terlihat secara
radiologik. Gejala-gejala klinik adalah batuk, sesak napas, sianosis. Pada
pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar atau basah halus. Keadaan ini
disebut acute pulmonary edema yang umumnya terjadi dalam minggu pertama
dan kadang-kadang bersifat fatal. Gambaran klinik ini menyerupai
bronkopnemonia sehingga penyakit utama ginjal tidak diperhatikan. Oleh karena
itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang teliti dan jangan lupa
pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik toraks berkisar antara 62,5-
85,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya timbul dalam minggu
pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya gejala-gejala klinik
lain. Kelainan radiologik toraks dapat berupa kardiomegali, edema paru dan efusi
pleura. Tingginya kelainan radiologik ini oleh karena pemeriksaan radiologik
dilakukan dengan posisi Postero Anterior (PA) dan Lateral Dekubitus Kanan
(LDK).
Suatu penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan efusi pleura 81,6%,
sedangkan Srinagar da Pondy Cherry mendapatkan masing-masing 0,3% dan
52%.1 Bentuk yang tersering adalah bendungan paru. Kardiomegali disertai
dengan efusi pleura sering disebut nephritic lung. Kelainan ini bisa berdiri sendiri
atau bersama-sama. Pada pengamatan 48 penderita GNAPS yang dirawat di
departemen Anak RSU. Wahidin Sudirohusodo dan RS. Pelamonia di Makassar
sejak April 1979 sampai Nopember 1983 didapatkan 56,4% kongesti paru, 48,7%
edema paru dan 43,6% efusi pleura. Kelainan radiologik paru yang ditemukan
pada GNAPS ini sering sukar dibedakan dari bronkopnemonia, pnemonia, atau
peradangan pleura, oleh karena adanya ronki basah dan edema paru. Menurut
beberapa penulis, perbaikan radiologik paru pada GNAPS biasanya lebih cepat
terjadi, yaitu dalam waktu 5-10 hari, sedangkan pada bronkopnemonia atau
pneumonia diperlukan waktu lebih lama, yaitu 2-3 minggu. Atas dasar inilah
kelainan radiologik paru dapat membantu menegakkan diagnosis GNAPS
walaupun tidak patognomonik. Kelainan radiologik paru disebabkan oleh kongesti
paru yang disebabkan oleh hipervolemia akibat absorpsi Na dan air.
7. Gejala-gejala lain
Selain gejala utama, dijumpai gejala umum seperti pucat, malaise, letargi
dan anoreksia. Gejala pucat mungkin karena peregangan jaringan subkutan akibat
edema atau akibat hematuria makroskopik yang berlangsung lama.
Pemeriksaan Laboratorium
Urin :
Proteinuria
Secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif sampai dengan ++, jarang
terjadi sampai dengan +++. Bila terdapat proteinuria +++ harus dipertimbangkan
adanya gejala sindrom nefrotik atau hematuria makroskopik. Secara kuantitatif
proteinuria biasanya kurang dari 2 gram/m2 LPB/24 jam, tetapi pada keadaan
tertentu dapat melebihi 2 gram/m2 LPB/24 jam. Hilangnya proteinuria tidak
selalu bersamaan dengan hilangnya gejala-gejala klinik, sebab lamanya
proteinuria bervariasi antara beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah
gejala klinik menghilang. Sebagai batas 6 bulan, bila lebih dari 6 bulan masih
terdapat proteinuria disebut proteinuria menetap yang menunjukkan kemungkinan
suatu glomerulonefritis kronik yang memerlukan biopsi ginjal untuk
membuktikannya.
Hematuria mikroskopik
Hematuria mikroskopik merupakan kelainan yang hampir selalu ada, karena
itu adanya eritrosit dalam urin ini merupakan tanda yang paling penting untuk
melacak lebih lanjut kemungkinan suatu glomerulonefritis. Begitu pula dengan
torak eritrosit yang dengan pemeriksaan teliti terdapat pada 60-85% kasus
GNAPS. Adanya torak eritrosit ini merupakan bantuan yang sangat penting pada
kasus GNAPS yang tidak jelas, sebab torak ini menunjukkan adanya suatu
peradangan glomerulus (glomerulitis). Meskipun demikian bentuk torak eritrosit
ini dapat pula dijumpai pada penyakit ginjal lain, seperti nekrosis tubular akut.
Darah
Reaksi serologis
Infeksi streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi serologis terhadap
produk-produk ekstraselular streptokokus, sehingga timbul antibodi yang titernya
dapat diukur, seperti antistreptolisin O (ASO), antihialuronidase (AH ase) dan
antideoksiribonuklease (AD Nase-B). Titer ASO merupakan reaksi serologis yang
paling sering diperiksa, karena mudah dititrasi. Titer ini meningkat 70-80% pada
GNAPS. Sedangkan kombinasi titer ASO, AD Nase-B dan AH ase yang
meninggi, hampir 100% menunjukkan adanya infeksi streptokokus sebelumnya.
Kenaikan titer ini dimulai pada hari ke-10 hingga 14 sesudah infeksi streptokokus
dan mencapai puncaknya pada minggu ke- 3 hingga 5 dan mulai menurun pada
bulan ke-2 hingga 6. Titer ASO jelas meningkat pada GNAPS setelah infeksi
saluran pernapasan oleh streptokokus. Titer ASO bisa normal atau tidak
meningkat akibat pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau pemeriksaan
dini titer ASO. Sebaliknya titer ASO jarang meningkat setelah piodermi. Hal ini
diduga karena adanya jaringan lemak subkutan yang menghalangi pembentukan
antibodi terhadap streptokokus sehingga infeksi streptokokus melalui kulit hanya
sekitar 50% kasus menyebabkan titer ASO meningkat. Di pihak lain, titer AD
Nase jelas meningkat setelah infeksi melalui kulit.
Aktivitas komplemen :
Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS, karena turut serta
berperan dalam proses antigen-antibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang
nefritogenik. Di antara sistem komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3
(B1C globulin) yang paling sering diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya
mudah. Beberapa penulis melaporkan 80-92% kasus GNAPS dengan kadar C3
menurun. Umumnya kadar C3 mulai menurun selama fase akut atau dalam
minggu pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal sesudah 4-8
minggu timbulnya gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar
komplemen C3 ini masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik
yang dapat dijumpai pada glomerulonefritis membrano proliferatif atau nefritis
lupus.
Diagnosis
Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada
pasien dengan gejala klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak,
sembab dan gagal ginjal akut setelah infeksi streptokokus. Tanda
glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi streptokokus
secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk
menegakkan diagnosis. Tetapi beberapa keadaan lain dapat menyerupai
glomerulonefritis akut pascastreptokok pada awal penyakit, yaitu nefropati-IgA
dan glomerulonefritis kronik. Anak dengan nefropati-IgA sering menunjukkan
gejala hematuria nyata mendadak segera setelah infeksi saluran napas atas seperti
glomerulonefritis akut pascastreptokok, tetapi hematuria makroskopik pada
nefropati-IgA terjadi bersamaan pada saat faringitas (synpharyngetic hematuria),
sementara pada glomerulonefritis akut pascastreptokok hematuria timbul 10 hari
setelah faringitas; sedangkan hipertensi dan sembab jarang tampak pada nefropati-
IgA.
Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa
hematuria makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa
glomerulonefritis kronik yang menunjukkan gejala tersebut adalah
glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus, dan glomerulonefritis
proliferatif kresentik. Perbedaan dengan glomerulonefritis akut pascastreptokok
sulit diketahui pada awal sakit.
Pada glomerulonefritis akut pascastreptokok perjalanan penyakitnya cepat
membaik (hipertensi, sembab dan gagal ginjal akan cepat pulih) sindrom nefrotik
dan proteinuria masih lebih jarang terlihat pada glomerulonefritis akut
pascastreptokok dibandingkan pada glomerulonefritis kronik. Pola kadar
komplemen C3 serum selama tindak lanjut merupakan tanda (marker) yang
penting untuk membedakan glomerulonefritis akut pascastreptokok dengan
glomerulonefritis kronik yang lain. Kadar komplemen C3 serum kembali normal
dalam waktu 6-8 minggu pada glomerulonefritis akut pascastreptokok sedangkan
pada glomerulonefritis yang lain jauh lebih lama.kadar awal C3 <50 mg/dl
sedangkan kadar ASTO > 100 kesatuan Todd.
Eksaserbasi hematuria makroskopis sering terlihat pada glomerulonefritis
kronik akibat infeksi karena streptokok dari strain non-nefritogenik lain, terutama
pada glomerulonefritis membranoproliferatif. Pasien glomerulonefritis akut
pascastreptokok tidak perlu dilakukan biopsi ginjal untuk menegakkan diagnosis;
tetapi bila tidak terjadi perbaikan fungsi ginjal dan terdapat tanda sindrom nefrotik
yang menetap atau memburuk, biopsi merupakan indikasi.
3. Penyakit-penyakit infeksi
GNA bisa pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu selain oleh
Group A -hemolytic streptococci. Beberapa kepustakaan melaporkan gejala GNA
yang timbul sesudah infeksi virus morbili, parotitis, varicella, dan virus ECHO.
Diagnosis banding dengan GNAPS adalah dengan melihat penyakit dasarnya.
2.3.9. Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang khusus yang mempengaruhi penyembuhan kelainan di
glomerulus.
1. Istirahat
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya
timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut,
tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan
seperti sebelum sakit. Lamanya perawatan tergantung pada keadaan penyakit.
Dahulu dianjurkan prolonged bed rest sampai berbulan-bulan dengan alasan
proteinuria dan hematuria mikroskopik belum hilang. Kini lebih progresif,
penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat tidak ada
komplikasi. Bila masih dijumpai kelainan laboratorium urin, maka dilakukan
pengamatan lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di tempat
tidur menyebabkan anak tidak dapat bermain dan jauh dari teman-temannya,
sehingga dapat memberikan beban psikologik.
2. Diet
Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat,
diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam
dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu
sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik,
terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk
harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah urin +
insensible water loss (20-25 ml/kgbb/hari) + jumlah keperluan cairan pada setiap
kenaikan suhu dari normal (10 ml/kgbb/hari).
3. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering
dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan
tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus, sedangkan pihak lain
memberikannya secara rutin dengan alasan biakan negatif belum dapat
menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat terjadi oleh karena telah
mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten yang
terlalu lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan
untuk eradikasi kuman, yaitu Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis
selama 10 hari. Jika terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi
eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari.
4. Simptomatik
a. Bendungan sirkulasi
Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan cairan,
dengan kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi edema berat
atau tanda-tanda edema paru akut, harus diberi diuretik, misalnya furosemid.
Bila tidak berhasil, maka dilakukan dialisis peritoneal.
b. Hipertensi
Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi ringan
dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan darah bisa
kembali normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang atau berat
tanpa tanda-tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2 mg/kgbb/hari) atau
furosemid atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat tersebut diatas, pada
keadaan asupan oral cukup baik dapat juga diberi nifedipin secara sublingual
dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari yang dapat diulangi setiap 30-60 menit
bila diperlukan. Pada hipertensi berat atau hipertensi dengan gejala serebral
(ensefalopati hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002-0,006 mg/kgbb) yang
dapat diulangi hingga 3 kali atau diazoxide 5 mg/kgbb/hari secara intravena
(I.V). Kedua obat tersebut dapat digabung dengan furosemid (1 3 mg/kgbb).
c. Gangguan ginjal akut
Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan, pemberian
kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus diberi
natrium bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas atau
Kayexalate untuk mengikat kalium.
Komplikasi
a. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat
berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut
dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria
atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi
maka dialisis peritoneum kadang-kadang di perlukan.
b. Ensefalopati hipertensi (EH).
EH adalah hipertensi berat (hipertensi emergensi) yang pada anak > 6 tahun
dapat melewati tekanan darah 180/120 mmHg. EH dapat diatasi dengan
memberikan nifedipin (0,25 0,5 mg/kgbb/dosis) secara oral atau sublingual
pada anak dengan kesadaran menurun. Bila tekanan darah belum turun dapat
diulangi tiap 15 menit hingga 3 kali. Penurunan tekanan darah harus dilakukan
secara bertahap. Bila tekanan darah telah turun sampai 25%, seterusnya
ditambahkan kaptopril (0,3 2 mg/kgbb/hari) dan dipantau hingga normal.
c. Gangguan ginjal akut (Acute kidney injury/AKI)
Pengobatan konservatif :
- Dilakukan pengaturan diet untuk mencegah katabolisme dengan
memberikan kalori secukupnya, yaitu 120 kkal/kgbb/hari
- Mengatur elektrolit :
- Bila terjadi hiponatremia diberi NaCl hipertonik 3%.
- Bila terjadi hipokalemia diberikan :
Calcium Gluconas 10% 0,5 ml/kgbb/hari
NaHCO3 7,5% 3 ml/kgbb/hari
K+ exchange resin 1 g/kgbb/hari
- Insulin 0,1 unit/kg & 0,5 1 g glukosa 0,5 g/kgbb
d. Edema paru
Anak biasanya terlihat sesak dan terdengar ronki nyaring, sehingga sering
disangka sebagai bronkopneumoni.
Anamnesis
Teori Kasus
Ada riwayat mengalami faringiris Riwayat infeksi kulit dalam 2-3
dalam 10 hari sebelum onset atau minggu sebelum onset
penyakit kulit dalam waktu 21 hari Edema anasarka diawali pada
Edema anasarka diawali pada daerah wajah
daerah wajah. Kencing berwarna cola
Kencing berwarna cola
Pemeriksaan Fisik
Teori Kasus
Edema paling sering terjadi di Edema di daerah wajah,
daerah periorbital (edema palpebra), ekstremitas, genitalia externa,
Pemeriksaan Penunjang
Teori Kasus
Proteinuria ++, jarang terjadi sampai Proteinuria +++
dengan +++. Bila terdapat proteinuria Hematuria Hb dalam urin +3
+++ harus dipertimbangkan adanya ASTO (-)
gejala sindrom nefrotik atau hematuria
makroskopik.
Hematuria mikroskopik
ASTO (+)
C3
Penatalaksanaan
Teori Kasus
Istirahat - Prednisone 2-2-1
Diet: rendah garam, pembatasan protein - Inj ampicillin 4x300 mg
bila kadar ureum meninggi. - Inj lasix 2x13 mg
Antibiotic ampicillin atau - Captopril 3x4 mg
eritromisin (bila alergi terhadap - Valsartan 1x15 mg
golongan penicillin) - Transfuse albumin 20% 50 cc (2
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, R., Albar, H., & Aras, J. (2012). Konsensus Glomerulonefritis Akut
Pasca Streptkokus. IDAI , 1-2.