Anda di halaman 1dari 44

PRESENTASI KASUS

ASMA BRONKIAL

Pembimbing

Letkol (CKM) dr. Roedi Djatmiko, Sp.A

Disusun oleh :

Chrissanto Chandra

1120221191

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak

Rumah Sakit Tentara dr. Soedjono Magelang

Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta

2013

1
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

ASMA BRONKIAL

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian

Ilmu Kesehatan Anak RST dr. Soedjono, Magelang

Telah disetujui

Tanggal :

Disusun oleh :

Chrissanto Chandra
1120221191

Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta

Magelang, Maret 2013

Pembimbing,

Letkol (CKM) dr. Roedi Djatmiko Sp.A

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME, berkat


karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan presentasi kasus yang
berjudul Asma Bronkial yang merupakan salah satu syarat dalam mengikuti
ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu Kesehatan
Anak RST Dr. Soedjono Magelang.

Presentasi kasus ini sedikit banyak membahas mengenai penyakit yang


menjadi masalah di berbagai Negara berkembang termasuk Indonesia. Walaupun
mungkin hanya sebagian kecil yang penulis bahas, diharapkan presentasi kasus ini
bisa memberikan sedikit pengetahuan kepada para pembaca sekalian mengenai
penyakit ini.

Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengucapkan rasa terima kasih


yang sebesar-besarnya kepada Letkol (CKM) dr. Roedi Djatmiko Sp.A, selaku
dokter pembimbing dalam pembuatan presentasi kasus ini dan teman-teman Co-
Ass yang telah membantu dalam pembuatan presentasi kasus ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan presentasi kasus ini banyak


terdapat kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis
mengharap kritik dan saran dari pembaca.

Semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi teman-teman pada


khususnya dan semua pihak yang berkepentingan bagi pengembangan ilmu
kedokteran pada umumnya. Amin.

Magelang, Maret 2013

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik tersebut menyebabkan


episode mengi (wheezing) berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk,
khususnya pada malam hari atau dini hari.1 Berdasarkan etiologi, faktor-faktor
terjadinya asma secara umum dibagi menjadi faktor genetik dan faktor
lingkungan. Faktor genetik berhubungan hipersensitivitas bronkus seseorang dan
kerentanan seseorang mengalami asma berdasarkan adanya riwayat atopi dalam
keluarga.
World Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150 juta
penduduk dunia menderita asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus
bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun. World Health
Association (WHO) memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat
asma. Sedangkan berdasarkan laporan National Center for Health Statistics
(NCHS) tahun 2000 terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu
populasi.2
Patogenesis asma berhubungan dengan banyak sel yang berperan seperti,
sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Asma dapat dimasukkan dalam proses
imunologis yang termasuk dalam reaksi hipersensitivitas tipe I. Reaksi ini lebih
banyak melibatkan Immunoglobulin E (IgE) spesifik yang memediasi sel-sel
inflamasi tersensitisasi sehingga dapat menimbulkan manifestasi asma. Teori
terbaru mengenai patogenesis asma adalah teori remodelling yang menjelaskan
adanya proses inflamasi, mengakibatkan terjadinya remodelling sel epitel bronkus
yang rusak yang berakibat terjadinya proliferasi serta diferensiasi fibroblas
menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam
remodelling.3
Diagnosis asma dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan gejala mengi
(wheezing) berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada
malam hari atau dini hari. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya retraksi
baik di sela iga maupun epigastrium. Pada pemeriksaan fisik paru dengan
serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing terutama pada saat
ekspirasi, retraksi, dan peningkatan frekuensi nafas dan denyut nadi bahkan dapat

4
dijumpai sianosis. Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang
diperlukan adalah analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi
antero-posterior. Pada AGD dapat ditemukan peningkatan PCO2 dan rendahnya
PO2 (hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi
paru dimana dapat ditemukan adanya penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai
normal. Selain itu pemeriksaan IgE dan eosinofil total dapat membantu penegakan
diagnosis asma.4
Pengobatan asma dibagi menjadi dua bagian yaitu pengobatan non-
medikamentosa dan medikamentosa. Pengobatan non-medikamentosa meliputi
meningkatktkan pemahaman pasien dan keluarga tentang asma, faktor penyebab
ataupun pencetus, dan meningkatkan pola hidup sehat demi menurunkan insidensi
dan morbiditas asma. Pengobatan medikamentosa pada pasien asma dapat dibagi
dalam dua kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali
(controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma
jika sedang timbul. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga
obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah
dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas.5
Komplikasi asma dapat terjadi ringan sampai berat, tergantung derajat
asma dan durasi dari serangan. Bila serangan asma sering terjadi dan telah
berlangsung lama, maka akan terjadi emfisema, atelektasis dan bronkiektasis,
yang bila disertai infeksi menjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang terus
menerus dan beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
disebut status asmatikus yang bila tidak ditolong dapat menyebabkan gagal
pernapasan bahkan kematian.3,4
Prognosis asma ditentukan berdasarkan derajat serangan, kepatuhan pasien
dan keluarga dalam pengobatan, dan fasilitas kesehatan yang mendukung
pengobatan asma.

5
BAB II
KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Azizatun nikmah

Umur : 4 tahun

Berat Badan : 12 kg

Agama : Islam

Alamat : Pati, Magelang

Suku bangsa : Jawa

Tanggal masuk : 23 Februari 2013, Pukul 00.20

II. DATA DASAR


ANAMNESA (Subyektif)

KELUHAN UTAMA :

Sesak nafas

KELUHAN TAMBAHAN:

Batuk berdahak, pilek dan nafas bersuara mengi.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :

Pasien datang ke IGD RST dr. Soedjono, Magelang dengan keluhan rasa
sesak. Sesak timbul pada siang hari setelah kelelahan, sesak dirasakan terus
menerus dan menjadi semakin berat pada sore hari sehingga tidak mampu
beraktivitas dan kesulitan untuk bicara. Rasa sesak biasanya terjadi setelah pasien
kelelahan. Dalam 1 bulan terakhir pasien sudah mengalami sesak sebanyak 2 kali.
Biasanya sesak dapat hilang dengan sendirinya dengan istirahat dari tadi siang
sesak tidak membaik.

6
Orang tua juga mengeluh anaknya batuk berdahak dan pilek bersamaan
dengan rasa sesak. Selain itu pasien kesulitan untuk berbicara karena sesak. Pasien
dan orang tua sering mendengarkan suara mengi bersamaan dengan sesak nafas.
Orang tua mengatakan anaknya menderita asma sejak 1 tahun terakhir tetapi
serangan asma dirasakan semakin sering dalam 1 bulan terakhir. Nafsu makan
menurun, minum baik, mual/muntah (-/-), BAB/BAK (+/+), demam (-),pusing (-).

RIWAYAT PENYAKIT PENGOBATAN :

Minum obat Bronchitin tidak ada perbaikan, di UGD muntilan di nebul dan
keluhan dirasakan berkurang

RIWAYAT GESTASI : Persalinan Normal, Neonatus Aterm

RIWAYAT IMUNISASI : Lengkap

RIWAYAT ASI : Tidak eksklusif, diberikan sampai anak berusia 1 tahun.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :

Riwayat kejang : Disangkal

Riwayat Atopi : Ada

Riwayat asma : Ada, 1 tahun ter akhir

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA:

Riwayat kejang : Disangkal

Riwayat Atopi : Ada

Riwayat asma : Bude, nenek

7
PEMERIKSAAN FISIK (Obyektif)

Tanggal 23 Februari 2013

Keadaan umum : tampak sesak

Kesadaran : compos mentis/ 15

Keadaan gizi : underweight

Tanda vital : Nadi = 152 x/menit, reguler.

Suhu = 36,1 0C

RR = 49 x/menit, reguler

Kepala : Normocephal, rambut hitam, distribusi merata,


tidak mudah dicabut.

Wajah : Simetris, ekspresi wajar

Mata : Edema palpebra -/-, conjungtiva anemis -/-, sklera


ikterik -/-

Telinga : Bentuk normal, simetris, lubang lapang, serumen -/-

Hidung : Bentuk normal, tidak ada septum deviasi, sekret +/+,


pernafasan cuping hidung (+)

Mulut : Bibir tidak kering, faring tidak hiperemis, Tonsil T1-


T1 tenang

Leher : Simetris, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid,


tidak ada deviasi trakhea, tidak teraba pembesaran
kelenjar getah bening.

Thorak : Pulmo: I = dinding dada simetris

ada retraksi dinding dada

8
P = Fremitus taktil kanan = kiri, ekspansi
dinding dada simetris

P = Sonor di kedua lapang paru

A = Ronkhi (+/+), wheezing (+/+)

Fase ekspirasi lebih panjang dari fase


inspirasi

Cor : I = Tidak tampak ictus cordis

P = Iktus cordis tidak teraba

P = Tidak ada pembesaran jantung

A = BJ I dan II reguler, Gallop -/-, Murmur


-/-

Abdomen : I = Datar, penggunaan otot abdomen untuk


pernafasan

P = Dinding perut supel, turgor kulit baik

Hepar dan lien tidak teraba membesar.

P = Timpani

A = Bising usus (+) normal

Ekstremitas : Edema tungkai (-), sianosis (-) , akral hangat

I. DAFTAR MASALAH

1. Sesak nafas

2. Sesak timbul setelah pasien kelelahan

3. Pada saat sesak pasien kesulitan untuk berbicara

9
4. Batuk dan pilek

5. Suara nafas mengi

6. Riwayat penyakit dahulu gejala asma bronkial

7. Riwayat penyakit keluarga asma bronkial

8. Frekuensi pernafasan 49 kali/menit

9. Frekuensi nadi 152 kali/menit

11. Pernafasan cuping hidung

12. terdapat retraksi dinding dada

13. Suara ronki +/+, wheezing +/+ di kedua lapang paru

14. Fase eksperasi lebih panjang dibandingkan fase inspirasi

15. Penggunaan otot abdomen secara aktif untuk pernafasan

II. ASSESMENT (HIPOTESIS)


1. Asma Bronkial
2. Pneumonia
3. Bronkiektasis

III. PLANNING
Planning Diagnostik :
Darah lengkap
Urin lengkap
Thorax foto
IgE dan Eosinofil
Peak flow dan Spirometri
Analisa Gas Darah
Uji provokasi bronkus

10
PLANING TERAPI :
02 2lpm
D5 NS 1000 ml/24 jam
Ventolin 3x1,5 ml
Kalmet 3x1/4 amp
Zantadin 2x1/4 amp
Ambroxol 3x1/2 cth
Diet BSTIK
TKTP 1000 kkal
Protein 25 gr

PEMERIKSAAN PENUNJANG:
Laboratorium tanggal 24 Februari 2013

Darah Rutin

Hb : 11,1 g/dl 11-15 g/dl

Ht : 38,1 % 36-48 %

Eritrosit : 4,41 x 10 /mm 3,5 5,5 x 10 / mm

Leukosit : 8,6 x 10 /mm 4,0 10,0 x 10 / mm

Trombosit : 280000 /ul 150000-390000/ mm

MCV : 78 fl 80-99 fl

MCH : 25,3 pg 26,0-32,0 pg

MCHC : 32,6 g/dl 32,0-36,0 g/dl

11
VI. HASIL FOLLOW UP

TANGGAL S O A P
24 Februari 2013 - Sesak berkurang - KU : Tampak sesak - Asma bronkial - Planning diagnostik :
- Batuk, pilek - Tanda vital : - Planning terapi :
- Makan kurang N : 140 x/mnt Infus D5 NS 1000
RR : 36 x/mnt
ml/24 jam
S : 36,3 C Nebulizer Ventolin
- Kepala dan leher :
Pernafasan cuping hidung (+) 3x1,5 ml
- Thorax : retraksi dada (+) Injeksi Kalmetasone
Paru : 3x1/4 amp
vesikuler +/+, wheezing +/+,
Injeksi zantadin
rhonki +/+, ekspirasi > panjang
2x1/4 amp
daripada inspirasi Injeksi zibac 2x500
Jantung : dbn
mg
- Abdomen : dbn
- Ekstremitas : dbn O2 (bila sesak)
Diet BSTIK
Diet TKTP 1000 kkal
Protein 20 gr

TANGGAL S O A P
25 Februari 2013 - Sesak berkurang - KU : Tampak sesak - Asma bronkial - Planning diagnostik :
- Batuk berkurang, - Tanda vital : - Planning terapi :
N : 148 x/mnt Infus D5 NS 1000
pilek tidak lagi
RR : 28 x/mnt

12
- Makan baik S : 36,2 C ml/24 jam
- Kepala dan leher : Nebulizer Ventolin
Pernafasan cuping hidung (-)
3x1,5 ml
- Thorax : retraksi dada (+)
Injeksi kalmetasone
Paru :
vesikuler +/+, wheezing +/+, 3x1/4 amp
Injeksi zantadin
rhonki -/-, ekspirasi > panjang
2x1/4 amp
daripada inspirasi
Jantung : dbn Injeksi zibac 2x500
- Abdomen : dbn mg
- Ekstremitas : dbn O2 (bila sesak)
Diet BSTIK
Diet TKTP 1000 kkal
Protein 20 gr

TANGGAL S O A P
26 Februari 2013 - Sesak berkurang - KU : Tampak sesak - Asma bronkial - Planning diagnostik :
- Batuk berkurang, - Tanda vital : - Planning terapi :
N : 120 x/mnt Infus D5 NS 1000
pilek tidak lagi
- Makan baik RR : 24 x/mnt
ml/24 jam
S : 36,2 C Nebulizer Ventolin
- Kepala dan leher :
Pernafasan cuping hidung (-) 3x1,5 ml
- Thorax : retraksi dada (-) Injeksi kalmetasone
Paru : 3x1/4 amp
vesikuler +/+, wheezing +/+,
Injeksi zantadin 2x1/4

13
rhonki -/-, ekspirasi > panjang amp
Injeksi zibac 2x500
daripada inspirasi
Jantung : dbn mg
- Abdomen : dbn O2 (bila sesak)
- Ekstremitas : dbn Diet BSTIK
Diet TKTP 1000 kkal
Protein 20 gr

TANGGAL S O A P
27 Februari 2013 - Sesak berkurang - KU : Tampak sesak - Asma bronkial - Planning diagnostik :
- Batuk berkurang, - Tanda vital : - Planning terapi :
N : 96 x/mnt Cefixime 2x2 ml
pilek tidak lagi
- Makan baik RR : 20 x/mnt Salbutamol 1 mg
S : 36 C
3x1
- Kepala dan leher :
Metilprednisolon 4
Pernafasan cuping hidung (-)
- Thorax : retraksi dada (-) mg 3x1
Paru : Ambroxol 3x1/2
vesikuler +/+, wheezing +/+,
cth
rhonki -/-, ekspirasi > panjang O2 (bila sesak)
daripada inspirasi Diet BSTIK
Jantung : dbn Diet TKTP 1000
- Abdomen : dbn kkal
- Ekstremitas : dbn

14
Protein 20 gr

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Asma merupakan suatu kelainan pada saluran napas yang diakibatkan oleh
proses inflamasi kronis yang melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi
kronis tersebut berhubungan dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang
menyebabkan episode mengi (wheezing), apneu, sesak nafas dan batuk-batuk
terutama pada malam hari atau awal pagi. Episode ini berhubungan dengan luas
obstruksi saluran pernafasan yang bersifat reversibel baik secara spontan ataupun
dengan terapi.3
Global Institute for Asthma (GINA) mendefinisikan asma adalah gangguan
inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan seperti, sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Inflamasi kronik tersebut menyebabkan episode mengi
(wheezing) berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada
malam hari atau dini hari.3
Definisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK)
Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun 2004 menyebutkan
bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik
sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini hari
(nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi
lain pada pasien dan/atau keluarganya.5
Definisi asma yang saat ini umumnya disetujui oleh para ahli yaitu asma
adalah penyakit paru dengan karakteristik :

1. Obstruksi saluran napas yang reversible (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik
secara spontan maupun dengan pengobatan
2. Inflamasi saluran nafas kronik
3. Peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan

B. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO(3,4,6)

16
Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Faktor genetik
a. Hiperreaktivitas jalan napas
Berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas yang melibatkan sel-sel
inflamasi.
b. Atopi/ alergi bronkus
Adanya riwayat atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma
persisten dan beratnya asma. Beberapa laporan menunjukan bahwa
sensitisasi alergi terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada
tahun pertama kehidupan, merupakan prediktor timbulnya asma
c. Jenis kelamin
Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens
asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali
lipat anak perempuan.
d. Ras/ etnik
Menurut laporan dari Amerika Serikat, didapatkan bahwa prevalens asma
dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit
putih.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur)
b. Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan
laut, susu sapi, telur)
d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dan
sebagainya)
e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
f. Ekspresi emosi berlebih
g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i. Exercise induced asthma
j. Perubahan cuaca

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma: 3,4,7


Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang berbulu
(anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta pajanan asap
rokok, infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang, alergen
dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen seperti serbuk

17
sari, asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di tempat kerja, udara
dingin dan kering, olahraga, menangis, tertawa, hiperventilasi, dan kondisi
komorbid (rinitis, sinusitis, dan gastroesofageal refluks).

C. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS) tahun
2003, prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak
(jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa dengan usia diatas 18 tahun, 38 per 1000
(jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah anak laki-laki yang mengalami asma 1,5 sampai 2
kali lebihsering dibandingkan perempuan, tetapi setelah pubertas prevalensi asma
pada laki-laki sama dengan perempuan. World Health Association (WHO)
memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan
berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS) tahun 2000
terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi.2
Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan angka
kesakitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat nasional
Amerika Serikat pada tahun 1998, terdapat 8,65 juta anak-anak dilaporkan menderita
asma dan 3,8 juta anak pernah mengalami episode serangan asma dalam waktu 12
bulan. Asma pada anak-anak di Amerika Serikat dianggap sebagai penyebab tersering
adanya kunjungan ke Instalasi Gawat Darurat (867,000 kasus), rawat inap (166,000
kasus) dan tidak masuk sekolah (10.1 juta kasus) Walaupun asma tidak sering
menyebabkan kematian, namun dilaporkan 164 kematian anak akibat asma pada
tahun 1998.7

D. PATOGENESIS3,7,8
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai
oleh serangan batuk, wheezing (mengi) dan dispnea pada individu dengan jalan nafas
yang hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang
dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia
tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan. Beberapa
orang dengan gejala asma yang bermula dalam 2 dekade pertama kehidupan, lebih
besar kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh Immunoglobulin E

18
(IgE) dan memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan
dermatitis atopik.
Asma merupakan suatu bentuk reaksi hipersensitivitas tipe 1, alergen masuk
ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE yang terdiri dari 3
fase, yaitu:
1. Fase Sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikat silang oleh reseptor spesifik (Fce-R) pada permukaan sel mast dan
basofil.
2. Fase Aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan
granul yang menimbulkan reaksi.
3. Fase Efektor yaitu waktu terjadinya respons yang kompleks sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil.

Gambar 1. Patofisiologi Asma

Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh


antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang
melibatkan molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada
sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8 +). Sel dendritik berperan sebagai

19
Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik
terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan yang
luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori.
Pajanan pada dengan antigen mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B
berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas
diikat oleh Fce-R pada sel mast dan basofil. Pajanan kedua dengan alergen
menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast, memacu
pelepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel mast dan basofil.
Mediator-mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan
permeabilitas vaskular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan anafilaksis.
Teori terbaru mengenai patogenesis asma adalah hubungan antara suatu
proses inflamasi dengan proses remodeling sel epitel yang rusak akibat proses
inflamasi. Semakin lama suatu proses inflamasi terjadi, maka semakin besar pula
proses remodeling terjadi. Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian
proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur
saluran respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi
struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut,
ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue Inhibitor of
Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik atau
Transforming Growth Factors (TGF-), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas
menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam remodelling.
Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan,
kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran
respiratori dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi,
neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk
kompleks proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien
yang meninggal akibat asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan
lamanya penyakit.

20
Gambar 2. Patogenesis Asma (Teori remodelling)

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan
kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama pada proses inflamasi
kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma,
memperlihatkan perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat
menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal
penting pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik,
terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau
yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid.
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas
bronkus.Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,
nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan
refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan alergen
masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.

E. PATOFISIOLOGI ASMA4,7,8

E.1 Obstruksi saluran respiratori

21
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan
oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang
diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi seperti histamin,
triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast,
neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal
dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos
saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi
deposisi matriks pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana
saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein
plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler.
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh
penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon
trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas
adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan
volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks.
Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara
pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya compliance pada kedua paru.
Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal, secara
mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak optimal .
Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya
kelelahan dan gagal nafas.

22
Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

E.2. Hiperaktivitas saluran respiratori


Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang menyebabkan
penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan
dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi sekunder serta berpengaruh
terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding
saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut.
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada
pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8g% didapatkan
penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik
asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic
Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi. Stimulus
seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung
terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus
tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat disaluran
nafas untuk mengeluarkan mediatornya.

23
E.3 Otot polos saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian
elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan
kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan
pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur
filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi
hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik.
Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui
hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas
mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai pada
tahap akhir, yang merupakan fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran
nafas yang menetap atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul
sekunder terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan timbulnya edema
adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis.
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan protein
kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk
berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin. Keadaan
inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung ataupun sekunder
terhadap geometri saluran nafas.

E.4 Hipersekresi mukus


Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada
saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan
karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran
nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi
saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak mengalami
perbaikan dengan bronkodilator(9).
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan dan
perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi
terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal dari

24
mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang
mengalami lisis(9).
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu
mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan
mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel Goblet
yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya
pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik. Kemungkinan
besar yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator
inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel
mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease(9).

F. DIAGNOSIS3,4,7
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan
gejala batuk dan/ atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam
atau dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma
dan/ atau atopi pada pasien atau keluarga.
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan
bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi lebih
definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru
sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow meter, atau
yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamine,
metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin,atau dengan salin
hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna untuk mendukung
diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya.
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
3. Penurunan 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.

F.1 Anamnesis
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala
batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan batuk
dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala yang
timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan, gejala yang

25
timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan aktifitasnya tidak
terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat anak sulit mengungkapkan
kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis dapat dijumpai, pasien
berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata.

F.2 Pemeriksaan Fisik


Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya.
Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai adanya
retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam batas
normal. Pada serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing terutama
pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan frekuensi nafas dan denyut nadi bahkan
dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau manifestasi alergi, seperti dermatitis
atopi dapat ditemukan.
Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi
kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lendir, udem dinding
bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme patologi diatas
mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada auskultasi dapat terdengar ronkhi basah
kasar dan mengi. Pada saat serangan dapat dijumpai anak yang sesak dengan
komponen ekspiratori yang lebih menonjol seperti fase ekspirasi lebih panjang
dibandingkan fse inspirasi dan dapat ditemukan suara nafas wheezing.

F.3 Pemeriksaan Penunjang


Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah
analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada
AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2 (hipoksemia).
Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru bila kondisi
memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya penurunan FEV1
yang mencapai <70% nilai normal.
Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eosinofil total dapat
membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eosinofil total
umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan

26
pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji provokasi positif,
maka diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan.
Pada pemerikasaan radiologi dapat menunjukan gambaran hiperaerasi,
diameter aneto-posterior bertambah, costae mendatar, sela antar costae yang melebar
dan diafragma tertekan ke bawah.
F.4 Derajat PenyakitAsma

Parameter Asma Episode Asma Episode Asma Persisten


Jarang Sering
Frekuensi < 1x/ bulan >1x/ bulan Sering
serangan
Lama serangan < 1 minggu 1 minggu Terus
Intensitas Ringan Sedang Berat
serangan
Diantara serangan Gejala (-) Gejala (+) Gejala (++)
Tidur dan Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
aktivitas
Pemeriksaan fisik Normal Mungkin ada Tidak pernah
di luar serangan kelainan normal
Obat pengendali Tidak perlu Non steroid Steroid
FEV1 >80% 60-80% < 60%

F.5 Derajat Serangan Asma

Gejala dan Tanda Berat Serangan Akut

Ringan Sedang Berat


Sesak napas Berjalan Berbicara Istirahat

Posisi Bisa berbaring > Suka Duduk Duduk membungkuk

Cara berbicara kalimat Penggal kalimat Kata-kata

Kesadaran Mungkin gelisah Gelisah Gelisah

Frekuensi napas Takipneu Takipneu Takipneu

27
Nadi Normal Takikardi Takikardi

Pulsus paradoksus < 10 mmHg 10-20 mmHg > 20 mmHg

Otot bantu napas - + +


dan retraksi
suprasternal
Mengi Akhir ekspirasi paksa Ekspirasi dan Terdengar tanpa
inspirasi stetoskop

APE > 60% 40-60% < 40%

PaO2 > 80 mmHg 80-60 mmHg < 60 mmHg

PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg

SaO2 > 95% 91-95% `< 90%

F.5 ALUR DIAGNOSIS ASMA

Batuk dan/mengi

Riwayat Penyakit
Pemeriksaan fisik
Uji Tuberkulin

Patut diduga asma: Tidak jelas asma:


Episodik Timbul pada masa neonates
Nokturnal Gagal tumbuh
Pasca aktivitas berat Infeksi kronik
Riwayat atopi pasien/keluarga Muntah/tersedak
Kelainan fokal paru 28
Kelainan system kardiovaskular
Jika ada fasilitas, periksa dengan peak flow
meter atau spirometer
Pertimbangkan pemeriksaan:
Tidak Rontgen thorax dan sinus
Berikan Bronkodilator Berhasil Uji fungsi paru
Uji respons terhadap
bronkodilator
Diagnosis kerja: Asma
Uji provokasi bronkus
Uji imunologik
Tentukan derajat dan pencetusnya
Pemeriksaan motilitas
Pemeriksaan refluks
Berikan obat asma: bila tidak
gastroesofagus
berhasil nilai ulang diagnosis
dan ketaatan berobat

G. DIAGNOSIS BANDING (Mengi)


(a) Bronkiolitis
(b) Wheezing yang berkaitan dengan batuk dan pilek
(c) Pneumonia
(d) Benda asing

H. TATALAKSANA ASMA 3,9,10


Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin
tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan potensi genetiknya.
Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah:
1. Mengupayakan aktivitas normal dimana pasien dapat menjalani aktivitas
normal sebagai seorang anak, termasuk bermain dan berolah raga.
2. Mencegah eksaserbasi akut sehingga pasien sedikit mungkin absensi di
sekolah.
3. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma, dalam hal ini gejala tidak
timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)
4. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin yang
dapat dinilai dari uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi
diurnal yang mencolok pada PEF.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga
hari, dan tidak ada serangan.
6. Mencegah efek samping obat, terutama yang mempengaruhi tumbuh
kembang anak.

29
7. Mencegah kematian karena asma
Pada dasarnya terapi asma dapat dinagi menjadi dua kelompok besar yaitu
terapi non-medikamentosa dan terapi medikamentosa.
H.1 Terapi Non-Medikamentosa
Terapi non-medikamentosa pada pasien asma terutama ke arah edukasi kepada
pasien dan atau keluarga pasien. Terapi non-medikamentosa sangat penting dan perlu
mendapat perhatian yang cukup demi menurunkan insidensi dan morbiditas asma.
Edukasi pasien asma dapat meliputi:
1) Meningkatkan pemahaman pasien dan keluarga pasien mengenai asma secara
umum dan pola penyakit asma.
2) Meningkatkan pengetahuan pasien atau keluarga pasien dalam identifikasi
faktor penyebab gejala asma pada pasien, baik dalam hal kontrol terhadap
alergen debu, bulu binatang, asap rokok, atau penyebab lainnya.
3) Meningkatkan pola hidup sehat, terutama konsumsi makanan yang
mengandung gizi baik. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan imunitas
seseorang yang sudah terkena asma dan menurunkan morbiditas asma.

H.2 Tatalaksana Medikamentosa


Terapi medikamentosa meliputi terapi saat terjadinya serangan
maupun terapi untuk jangka panjang.
Tujuan tatalaksana saat serangan:
1. Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
2. Mengurangi hipoksemia
3. Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
4. Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah
kekambuhan.

Terapi medikamentosa pada pasien asma dapat dibagi dalam dua


kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller).
Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika
sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala
maka obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua
adalah obat pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis.
Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi
kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus
diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya

30
diturunkan pelan pelan yaitu 25 % setiap penurunan setelah tujuan
pengobatan asma tercapai 6 8 minggu.

Obat obat Pereda (reliever)9


1. Bronkodilator
a. Short-acting 2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut
pada anak. Reseptor 2 agonist berada di epitel jalan napas, otot
pernapasan, alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik,
hepar, dan pankreas(10).
Obat ini menstimulasi reseptor 2 adrenergik menyebabkan perubahan
ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas
yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan
klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya
pelepasan mediator sel mast.

b. Epinefrin/adrenalin9
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada
2 agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor 1, 2,
dan sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah,
palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi
efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping,
terutama pada jantung dan sistem saraf pusat.

c. 2 agonis selektif9
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
1) Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
2) Dosis tebutalin oral : 0,05 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
3) Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
4) Dosis salbutamol nebulisasi: 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis
maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu
dengan dosis 0,3 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15
mg/jam).
5) Dosis terbutalin nebulisasi: 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.

31
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30
menit, efek puncak dicapai dalam 2 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/ nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek
puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 6 jam.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat
karena pada keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal
obstruksi jalan napas. Efek samping berupa takikardi lebih sering terjadi.
1) Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan
0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4
mcg/kgBB/menit.
2) Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10
menit, dilanjutkan dengan 0,1 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse
kontinu.
Efek samping 2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala,
agitasi, palpitasi, dan takikardi.

d. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi Methyl xanthine setara dengan 2 agonist inhalasi,
tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit,
obat ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi 2 agonist
dan antikolinergik(12). Contoh obat golongan Methyl xanthine adalah teofilin
dan aminofilin.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methyl xanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rektal, atau parenteral. Pemberian teofilin
(intramuskular) IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat
yang lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat
kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya
absorpsi. Methyl xanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta
dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolisme hati,
sebagian besar dieksresi bersama urin.

Dosis aminofilin intravena (IV) inisial bergantung kepada usia :

32
a. 1 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
b. 6 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
c. 1 9 tahun : 1,2 1,5 mg/kgBB/Jam
d. > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam

Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi
yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.

2. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi 2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis
anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam.
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis :
untuk usia diatas 6 tahun 8 20 tetes; usia di bawah 6 tahun 4 10 tetes. Efek
sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik
inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.

3. Kortikosteroid10
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan:
a. Terapi inisial inhalasi 2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan
yang cukup lama.
b. Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.
c. Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk


mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 24 jam.
Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon
dengan dosis 1 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 3 kali sehari selama 3 5 kali
sehari.

Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator.


Obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin,
menghambat sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil
dan leukosit lain di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vaskular.

33
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan
penetrasi ke jaringan paru lebih baik. Dosis metilprednisolon intravena (IV)
yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Selain itu dapat
digunakan Hidrokortison intravena (IV) dengan dosis 4 mg/kgBB tiap 4 6
jam. Dexamethasone bolus intravena (IV) juga dapat digunakan dengan dosis
0,5 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 8 jam.

Obat untuk Nebulisasi


No. Nama Generik Sediaan Dosis Nebulasi
1. Agonis
Fenoterol Solution 0,1% 5-10 tetes
Salbutamol Nebule 2,5 mg 1 nebule
Terbutalin Respule 2,5 mg 1 respule
2. Antikolinergik
Ipatropium Bromida Solution 0,025% > 6 tahun: 8-20 tetes
< 6 tahun: 4-10 tetes
3. Steroid
Budesonide Respule

Sediaan Steroid untuk Serangan Asma


No. Nama Generik Sediaan Dosis
1. Steroid Oral
Prednisolon Tab 4 mg 1-2 mg/kgBB/hari, tiap 6 jam
Prednison Tab 5 mg 1-2 mg/kgBB/hari, tiap 6 jam
Triamsinolon Tab 4 mg 1-2 mg/kgBB/hari, tiap 6 jam
2. Steroid Injeksi
Metilprednisolon Vial 500 mg 30 mg/kgBB dalam 30 menit
Hidrokortison Vial 100 mg 4 mg/kgBB tiap 6 jam
Deksametason Ampul 4 mg 0,5-1 mg/kgBB tiap 6-8 jam
Betametason Ampul 4 mg 0,05-0,1 mg/kgBB tiap 6 jam

Obat obat Pengontrol (controller)10

34
Obat obat asma pengontrol pada anak anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled 2-agonist, teofilin, , dan
long acting oral 2-agonist.

1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling
efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi
awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan
dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan.
Terapi pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu
mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut
dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru
dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang
diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,
mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi
terjadinya down regulation receptor 2 agonist. Dosis yang dapat digunakan
sampai 400 ug/hari (respire anak). Efek samping berupa gangguan
pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi
dan mulut.
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan
mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka
panjang yang membandingkannya dengan steroid hirupan dan Leukotriene
Receptor Antagonist (LTRA). Keuntungan memakai Leukotriene Receptor
Antagonist (LTRA) adalah sebagai berikut :
a. LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil
leukotriane;
b. Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap
bronkokonstriktor;
c. Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction

35
d. Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per
hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya
preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;
e. Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming
growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis,
hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan mencegah perubahan
fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.

Ada dua preparat LTRA :


1. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali
sehari. Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg.
2. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun dengan
dosis 10 mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat
keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping
obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga
perlu pemantauan fungsi hati.

3. Long acting 2 Agonist (LABA)


Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.
Pemberian inhalasi kortikosteroid 400 ug dengan tambahan LABA lebih baik
dilihat dari frekuensi serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,
menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi inhalasi
kortikosteroid dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi
fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol
(Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI.
Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan
memakai obat.

4. Teofilin lepas lambat

36
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama
kortikosteroid yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis
pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala,
stimulasi ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan
jarang, perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari
10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial
5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

2.7.2 Terapi Suportif

1. Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula
hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen,
sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).

2. Campuran Helium dan oksigen


Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit
sebagai tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan
nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon intravena (IV), secara bermakna
menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi sesak.
Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi karena helium
bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan
menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.

3. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang
adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek
diuretik teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati karena pada asma berat terjadi
peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yang memudahkan terjadinya
retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang

37
memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5
kali kebutuhan rumatan.

I. PREVENSI DAN INTERFENSI DINI 3


1. Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak
memelihara hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi
kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan
tungau.
2. Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan
3. Menghindari makanan berpotensi alergen

J. KOMPLIKASI 1,3,4
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan
terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks
membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma
letak rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah.
Pada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan tampak sulkus
Harrison.
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga
dapat terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung
lama dapat berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi
bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan beberapa hari serta berat
dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan disebut status asmatikus. Bila tidak
ditolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal pernapasan, gagal jantung,
bahkan kematian.

K. PROGNOSIS3
Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang
jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di
pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.

38
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik
ditemukan pada 5080% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan
timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 710 tahun
setelah diagnosis pertama bervariasi dari 2678% dengan nilai rata-rata 46%, akan
tetapi persentase anak yang menderita penyakit yang berat relatif berat (6 19%).
Secara keseluruhan dapat dikatakan 7080% asma anak bila diikuti sampai dengan
umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.

39
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Asma merupakan penyakit yang cukup banyak dijumpai pada anak-anak.


Asma didefenisikan sebagai wheezing dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai
berikut : timbul secara episodik dan/atau kronis, cenderung pada malam hari
(nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktifitas fisik, dan bersifat
reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat
asma atau atopi pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah
disingkirkan. Karena asma merupakan penyakit yang berhubungan dengan
imunologi, maka penderita asma dapat mengalami serangan berulang. Asma dapat
diklasifikasikan sebagai asma episodik jarang, episodik sering, dan asma persisten.
Sedangkan jika terjadi serangan, dapat diklasifikasikan sebagai asma serangan ringan,
sedang, dan berat. Serangan asma yang tidak terkontrol dapat menyebabkan
terjadinya apnea. Oleh karena itu, penatalaksanaan serangan asma tergantung kepada
derajat serangannya. Serangan asma ditanggulangi dengan pemberian bronkodilator,
baik secara oral, parenteral, maupun inhalasi.

Tatalaksana asma diluar serangan dapat dilakukan dengan menghindari faktor


pencetus asma serta penggunaan obat pengendali (controller). Diharapkan dengan
dilakukannya tatalaksana asma jangka panjang dapat mengurangi terjadinya serangan
asma, sehingga dapat meningkatkan quality of life dari penderita asma.

B. SARAN
1. Hendaknya dilakukan uji fungsi paru baik dengan menggunakan uji fungsi
paru secara sederhana yaitu dengan uji peak flow meter maupun secara
lengkap dengan spirometri unruk mengetahui APE maupun FEV1 yang
merupakan salah satu faktor untuk menentukan derajat asma bronkial.

40
2. Hendaknya uji fungsi paru dilakukan secara berkala setiap 6-8 minggu pada
pasien asma bronkial sebagai re-evaluasi tatalaksana jangka panjang asma
bronkial.

3. Hendaknya dilakukan pemeriksaan rontgen thorax untuk menilai struktur


anatomis dari paru pada pasien asma bronkial.

DAFTAR PUSTAKA

41
1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI. 2009; h.5-
11.
2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.
3. Mangunnegoro H, Widjaja A, Kusumio D, et al. ASMA. Pedoman Diagnonsis
dan Penatalaksanaan di Indonesia: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004
4. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2008. h.105-18.
5. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak.
Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI. 2009
6. OByrne P, Bateman ED, Bousquet J, et al. Global Initiative For Asthma.
Medical Communications Resources, Inc. 2006
7. Guill M. Asthma update: Epidemiology and Pathophysiology. Pediatric and
Review Article, volume 25. 2004,p 299-304
8. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science
(USA);2003.
9. Setiawati A, Gan S. Obat Adrenergik. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008, h 75-81
10. Suherman S K, Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog
Sintetik dan Antagonisnya. Gunawan SG, penyunting. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008, h. 496-500.

42
LAMPIRAN

43
44

Anda mungkin juga menyukai