ASMA BRONKIAL
Pembimbing
Disusun oleh :
Chrissanto Chandra
1120221191
2013
1
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
ASMA BRONKIAL
Telah disetujui
Tanggal :
Disusun oleh :
Chrissanto Chandra
1120221191
Pembimbing,
2
KATA PENGANTAR
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
dijumpai sianosis. Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang
diperlukan adalah analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi
antero-posterior. Pada AGD dapat ditemukan peningkatan PCO2 dan rendahnya
PO2 (hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi
paru dimana dapat ditemukan adanya penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai
normal. Selain itu pemeriksaan IgE dan eosinofil total dapat membantu penegakan
diagnosis asma.4
Pengobatan asma dibagi menjadi dua bagian yaitu pengobatan non-
medikamentosa dan medikamentosa. Pengobatan non-medikamentosa meliputi
meningkatktkan pemahaman pasien dan keluarga tentang asma, faktor penyebab
ataupun pencetus, dan meningkatkan pola hidup sehat demi menurunkan insidensi
dan morbiditas asma. Pengobatan medikamentosa pada pasien asma dapat dibagi
dalam dua kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali
(controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma
jika sedang timbul. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga
obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah
dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas.5
Komplikasi asma dapat terjadi ringan sampai berat, tergantung derajat
asma dan durasi dari serangan. Bila serangan asma sering terjadi dan telah
berlangsung lama, maka akan terjadi emfisema, atelektasis dan bronkiektasis,
yang bila disertai infeksi menjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang terus
menerus dan beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
disebut status asmatikus yang bila tidak ditolong dapat menyebabkan gagal
pernapasan bahkan kematian.3,4
Prognosis asma ditentukan berdasarkan derajat serangan, kepatuhan pasien
dan keluarga dalam pengobatan, dan fasilitas kesehatan yang mendukung
pengobatan asma.
5
BAB II
KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Azizatun nikmah
Umur : 4 tahun
Berat Badan : 12 kg
Agama : Islam
KELUHAN UTAMA :
Sesak nafas
KELUHAN TAMBAHAN:
Pasien datang ke IGD RST dr. Soedjono, Magelang dengan keluhan rasa
sesak. Sesak timbul pada siang hari setelah kelelahan, sesak dirasakan terus
menerus dan menjadi semakin berat pada sore hari sehingga tidak mampu
beraktivitas dan kesulitan untuk bicara. Rasa sesak biasanya terjadi setelah pasien
kelelahan. Dalam 1 bulan terakhir pasien sudah mengalami sesak sebanyak 2 kali.
Biasanya sesak dapat hilang dengan sendirinya dengan istirahat dari tadi siang
sesak tidak membaik.
6
Orang tua juga mengeluh anaknya batuk berdahak dan pilek bersamaan
dengan rasa sesak. Selain itu pasien kesulitan untuk berbicara karena sesak. Pasien
dan orang tua sering mendengarkan suara mengi bersamaan dengan sesak nafas.
Orang tua mengatakan anaknya menderita asma sejak 1 tahun terakhir tetapi
serangan asma dirasakan semakin sering dalam 1 bulan terakhir. Nafsu makan
menurun, minum baik, mual/muntah (-/-), BAB/BAK (+/+), demam (-),pusing (-).
Minum obat Bronchitin tidak ada perbaikan, di UGD muntilan di nebul dan
keluhan dirasakan berkurang
7
PEMERIKSAAN FISIK (Obyektif)
Suhu = 36,1 0C
RR = 49 x/menit, reguler
8
P = Fremitus taktil kanan = kiri, ekspansi
dinding dada simetris
P = Timpani
I. DAFTAR MASALAH
1. Sesak nafas
9
4. Batuk dan pilek
III. PLANNING
Planning Diagnostik :
Darah lengkap
Urin lengkap
Thorax foto
IgE dan Eosinofil
Peak flow dan Spirometri
Analisa Gas Darah
Uji provokasi bronkus
10
PLANING TERAPI :
02 2lpm
D5 NS 1000 ml/24 jam
Ventolin 3x1,5 ml
Kalmet 3x1/4 amp
Zantadin 2x1/4 amp
Ambroxol 3x1/2 cth
Diet BSTIK
TKTP 1000 kkal
Protein 25 gr
PEMERIKSAAN PENUNJANG:
Laboratorium tanggal 24 Februari 2013
Darah Rutin
Ht : 38,1 % 36-48 %
MCV : 78 fl 80-99 fl
11
VI. HASIL FOLLOW UP
TANGGAL S O A P
24 Februari 2013 - Sesak berkurang - KU : Tampak sesak - Asma bronkial - Planning diagnostik :
- Batuk, pilek - Tanda vital : - Planning terapi :
- Makan kurang N : 140 x/mnt Infus D5 NS 1000
RR : 36 x/mnt
ml/24 jam
S : 36,3 C Nebulizer Ventolin
- Kepala dan leher :
Pernafasan cuping hidung (+) 3x1,5 ml
- Thorax : retraksi dada (+) Injeksi Kalmetasone
Paru : 3x1/4 amp
vesikuler +/+, wheezing +/+,
Injeksi zantadin
rhonki +/+, ekspirasi > panjang
2x1/4 amp
daripada inspirasi Injeksi zibac 2x500
Jantung : dbn
mg
- Abdomen : dbn
- Ekstremitas : dbn O2 (bila sesak)
Diet BSTIK
Diet TKTP 1000 kkal
Protein 20 gr
TANGGAL S O A P
25 Februari 2013 - Sesak berkurang - KU : Tampak sesak - Asma bronkial - Planning diagnostik :
- Batuk berkurang, - Tanda vital : - Planning terapi :
N : 148 x/mnt Infus D5 NS 1000
pilek tidak lagi
RR : 28 x/mnt
12
- Makan baik S : 36,2 C ml/24 jam
- Kepala dan leher : Nebulizer Ventolin
Pernafasan cuping hidung (-)
3x1,5 ml
- Thorax : retraksi dada (+)
Injeksi kalmetasone
Paru :
vesikuler +/+, wheezing +/+, 3x1/4 amp
Injeksi zantadin
rhonki -/-, ekspirasi > panjang
2x1/4 amp
daripada inspirasi
Jantung : dbn Injeksi zibac 2x500
- Abdomen : dbn mg
- Ekstremitas : dbn O2 (bila sesak)
Diet BSTIK
Diet TKTP 1000 kkal
Protein 20 gr
TANGGAL S O A P
26 Februari 2013 - Sesak berkurang - KU : Tampak sesak - Asma bronkial - Planning diagnostik :
- Batuk berkurang, - Tanda vital : - Planning terapi :
N : 120 x/mnt Infus D5 NS 1000
pilek tidak lagi
- Makan baik RR : 24 x/mnt
ml/24 jam
S : 36,2 C Nebulizer Ventolin
- Kepala dan leher :
Pernafasan cuping hidung (-) 3x1,5 ml
- Thorax : retraksi dada (-) Injeksi kalmetasone
Paru : 3x1/4 amp
vesikuler +/+, wheezing +/+,
Injeksi zantadin 2x1/4
13
rhonki -/-, ekspirasi > panjang amp
Injeksi zibac 2x500
daripada inspirasi
Jantung : dbn mg
- Abdomen : dbn O2 (bila sesak)
- Ekstremitas : dbn Diet BSTIK
Diet TKTP 1000 kkal
Protein 20 gr
TANGGAL S O A P
27 Februari 2013 - Sesak berkurang - KU : Tampak sesak - Asma bronkial - Planning diagnostik :
- Batuk berkurang, - Tanda vital : - Planning terapi :
N : 96 x/mnt Cefixime 2x2 ml
pilek tidak lagi
- Makan baik RR : 20 x/mnt Salbutamol 1 mg
S : 36 C
3x1
- Kepala dan leher :
Metilprednisolon 4
Pernafasan cuping hidung (-)
- Thorax : retraksi dada (-) mg 3x1
Paru : Ambroxol 3x1/2
vesikuler +/+, wheezing +/+,
cth
rhonki -/-, ekspirasi > panjang O2 (bila sesak)
daripada inspirasi Diet BSTIK
Jantung : dbn Diet TKTP 1000
- Abdomen : dbn kkal
- Ekstremitas : dbn
14
Protein 20 gr
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Asma merupakan suatu kelainan pada saluran napas yang diakibatkan oleh
proses inflamasi kronis yang melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi
kronis tersebut berhubungan dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang
menyebabkan episode mengi (wheezing), apneu, sesak nafas dan batuk-batuk
terutama pada malam hari atau awal pagi. Episode ini berhubungan dengan luas
obstruksi saluran pernafasan yang bersifat reversibel baik secara spontan ataupun
dengan terapi.3
Global Institute for Asthma (GINA) mendefinisikan asma adalah gangguan
inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang berperan seperti, sel mast,
eosinofil, dan limfosit T. Inflamasi kronik tersebut menyebabkan episode mengi
(wheezing) berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada
malam hari atau dini hari.3
Definisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK)
Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun 2004 menyebutkan
bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik
sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini hari
(nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi
lain pada pasien dan/atau keluarganya.5
Definisi asma yang saat ini umumnya disetujui oleh para ahli yaitu asma
adalah penyakit paru dengan karakteristik :
1. Obstruksi saluran napas yang reversible (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik
secara spontan maupun dengan pengobatan
2. Inflamasi saluran nafas kronik
3. Peningkatan respons saluran napas terhadap berbagai rangsangan
16
Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Faktor genetik
a. Hiperreaktivitas jalan napas
Berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas yang melibatkan sel-sel
inflamasi.
b. Atopi/ alergi bronkus
Adanya riwayat atopi berhubungan dengan meningkatnya risiko asma
persisten dan beratnya asma. Beberapa laporan menunjukan bahwa
sensitisasi alergi terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada
tahun pertama kehidupan, merupakan prediktor timbulnya asma
c. Jenis kelamin
Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens
asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali
lipat anak perempuan.
d. Ras/ etnik
Menurut laporan dari Amerika Serikat, didapatkan bahwa prevalens asma
dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit
putih.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur)
b. Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
c. Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan
laut, susu sapi, telur)
d. Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dan
sebagainya)
e. Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
f. Ekspresi emosi berlebih
g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i. Exercise induced asthma
j. Perubahan cuaca
17
sari, asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di tempat kerja, udara
dingin dan kering, olahraga, menangis, tertawa, hiperventilasi, dan kondisi
komorbid (rinitis, sinusitis, dan gastroesofageal refluks).
C. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS) tahun
2003, prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak
(jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa dengan usia diatas 18 tahun, 38 per 1000
(jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah anak laki-laki yang mengalami asma 1,5 sampai 2
kali lebihsering dibandingkan perempuan, tetapi setelah pubertas prevalensi asma
pada laki-laki sama dengan perempuan. World Health Association (WHO)
memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan
berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS) tahun 2000
terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu populasi.2
Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan angka
kesakitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat nasional
Amerika Serikat pada tahun 1998, terdapat 8,65 juta anak-anak dilaporkan menderita
asma dan 3,8 juta anak pernah mengalami episode serangan asma dalam waktu 12
bulan. Asma pada anak-anak di Amerika Serikat dianggap sebagai penyebab tersering
adanya kunjungan ke Instalasi Gawat Darurat (867,000 kasus), rawat inap (166,000
kasus) dan tidak masuk sekolah (10.1 juta kasus) Walaupun asma tidak sering
menyebabkan kematian, namun dilaporkan 164 kematian anak akibat asma pada
tahun 1998.7
D. PATOGENESIS3,7,8
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai
oleh serangan batuk, wheezing (mengi) dan dispnea pada individu dengan jalan nafas
yang hiperreaktif. Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang
dengan penyakit atopik mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia
tetapi paling sering muncul pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan. Beberapa
orang dengan gejala asma yang bermula dalam 2 dekade pertama kehidupan, lebih
besar kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh Immunoglobulin E
18
(IgE) dan memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan
dermatitis atopik.
Asma merupakan suatu bentuk reaksi hipersensitivitas tipe 1, alergen masuk
ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE yang terdiri dari 3
fase, yaitu:
1. Fase Sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai
diikat silang oleh reseptor spesifik (Fce-R) pada permukaan sel mast dan
basofil.
2. Fase Aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisikan
granul yang menimbulkan reaksi.
3. Fase Efektor yaitu waktu terjadinya respons yang kompleks sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil.
19
Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran respiratori. Sel dendritik
terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu membentuk jaringan yang
luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran respiratori.
Pajanan pada dengan antigen mengaktifkan sel Th2 yang merangsang sel B
berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas
diikat oleh Fce-R pada sel mast dan basofil. Pajanan kedua dengan alergen
menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast, memacu
pelepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel mast dan basofil.
Mediator-mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan
permeabilitas vaskular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan anafilaksis.
Teori terbaru mengenai patogenesis asma adalah hubungan antara suatu
proses inflamasi dengan proses remodeling sel epitel yang rusak akibat proses
inflamasi. Semakin lama suatu proses inflamasi terjadi, maka semakin besar pula
proses remodeling terjadi. Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian
proses yang menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur
saluran respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi
struktur sel. Kombinsai antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut,
ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase (MMP) dan Tissue Inhibitor of
Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik atau
Transforming Growth Factors (TGF-), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas
menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam remodelling.
Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan,
kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran
respiratori dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi,
neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk
kompleks proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien
yang meninggal akibat asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan
lamanya penyakit.
20
Gambar 2. Patogenesis Asma (Teori remodelling)
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan
kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama pada proses inflamasi
kronik dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma,
memperlihatkan perubahan struktur saluran respiratori yang bervariasi dan dapat
menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. Remodeling juga merupakan hal
penting pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori yang non spesifik,
terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau
yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid.
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas
bronkus.Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,
nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan
refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan alergen
masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.
E. PATOFISIOLOGI ASMA4,7,8
21
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan
oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang
diprovokasi mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi seperti histamin,
triptase, prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast,
neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal
dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos
saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi
deposisi matriks pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana
saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein
plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler.
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh
penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon
trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas
adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan
volume yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks.
Perubahan ini meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara
pernafasan melalui jalur yang sempit dengan rendahnya compliance pada kedua paru.
Inflasi toraks berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal, secara
mekanik, mengalami kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak optimal .
Peningkatan usaha bernafas dan penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya
kelelahan dan gagal nafas.
22
Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik
23
E.3 Otot polos saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian
elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan
kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan
pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur
filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi
hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik.
Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui
hipotesis pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas
mengalami kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai pada
tahap akhir, yang merupakan fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran
nafas yang menetap atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul
sekunder terhadap inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan timbulnya edema
adventsial dan lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis.
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan protein
kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk
berkontraksi, sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin. Keadaan
inflamasi ini dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung ataupun sekunder
terhadap geometri saluran nafas.
24
mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang
mengalami lisis(9).
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu
mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan
mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel Goblet
yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya
pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik. Kemungkinan
besar yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator
inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel
mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease(9).
F. DIAGNOSIS3,4,7
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan
gejala batuk dan/ atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam
atau dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma
dan/ atau atopi pada pasien atau keluarga.
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan
bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi lebih
definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru
sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow meter, atau
yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamine,
metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin,atau dengan salin
hipertonis sangat menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna untuk mendukung
diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya.
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
3. Penurunan 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
F.1 Anamnesis
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala
batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan batuk
dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala yang
timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan, gejala yang
25
timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan aktifitasnya tidak
terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat anak sulit mengungkapkan
kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis dapat dijumpai, pasien
berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata.
26
pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji provokasi positif,
maka diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan.
Pada pemerikasaan radiologi dapat menunjukan gambaran hiperaerasi,
diameter aneto-posterior bertambah, costae mendatar, sela antar costae yang melebar
dan diafragma tertekan ke bawah.
F.4 Derajat PenyakitAsma
27
Nadi Normal Takikardi Takikardi
Batuk dan/mengi
Riwayat Penyakit
Pemeriksaan fisik
Uji Tuberkulin
29
7. Mencegah kematian karena asma
Pada dasarnya terapi asma dapat dinagi menjadi dua kelompok besar yaitu
terapi non-medikamentosa dan terapi medikamentosa.
H.1 Terapi Non-Medikamentosa
Terapi non-medikamentosa pada pasien asma terutama ke arah edukasi kepada
pasien dan atau keluarga pasien. Terapi non-medikamentosa sangat penting dan perlu
mendapat perhatian yang cukup demi menurunkan insidensi dan morbiditas asma.
Edukasi pasien asma dapat meliputi:
1) Meningkatkan pemahaman pasien dan keluarga pasien mengenai asma secara
umum dan pola penyakit asma.
2) Meningkatkan pengetahuan pasien atau keluarga pasien dalam identifikasi
faktor penyebab gejala asma pada pasien, baik dalam hal kontrol terhadap
alergen debu, bulu binatang, asap rokok, atau penyebab lainnya.
3) Meningkatkan pola hidup sehat, terutama konsumsi makanan yang
mengandung gizi baik. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan imunitas
seseorang yang sudah terkena asma dan menurunkan morbiditas asma.
30
diturunkan pelan pelan yaitu 25 % setiap penurunan setelah tujuan
pengobatan asma tercapai 6 8 minggu.
b. Epinefrin/adrenalin9
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada
2 agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor 1, 2,
dan sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah,
palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi
efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping,
terutama pada jantung dan sistem saraf pusat.
c. 2 agonis selektif9
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
1) Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
2) Dosis tebutalin oral : 0,05 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
3) Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
4) Dosis salbutamol nebulisasi: 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis
maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu
dengan dosis 0,3 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15
mg/jam).
5) Dosis terbutalin nebulisasi: 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
31
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30
menit, efek puncak dicapai dalam 2 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/ nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek
puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 6 jam.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat
karena pada keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal
obstruksi jalan napas. Efek samping berupa takikardi lebih sering terjadi.
1) Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan
0,1 mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4
mcg/kgBB/menit.
2) Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10
menit, dilanjutkan dengan 0,1 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse
kontinu.
Efek samping 2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala,
agitasi, palpitasi, dan takikardi.
d. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi Methyl xanthine setara dengan 2 agonist inhalasi,
tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit,
obat ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi 2 agonist
dan antikolinergik(12). Contoh obat golongan Methyl xanthine adalah teofilin
dan aminofilin.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methyl xanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rektal, atau parenteral. Pemberian teofilin
(intramuskular) IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat
yang lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat
kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya
absorpsi. Methyl xanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta
dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolisme hati,
sebagian besar dieksresi bersama urin.
32
a. 1 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
b. 6 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
c. 1 9 tahun : 1,2 1,5 mg/kgBB/Jam
d. > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi
yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.
2. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi 2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis
anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam.
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis :
untuk usia diatas 6 tahun 8 20 tetes; usia di bawah 6 tahun 4 10 tetes. Efek
sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik
inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.
3. Kortikosteroid10
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan:
a. Terapi inisial inhalasi 2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan
yang cukup lama.
b. Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.
c. Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
33
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan
penetrasi ke jaringan paru lebih baik. Dosis metilprednisolon intravena (IV)
yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Selain itu dapat
digunakan Hidrokortison intravena (IV) dengan dosis 4 mg/kgBB tiap 4 6
jam. Dexamethasone bolus intravena (IV) juga dapat digunakan dengan dosis
0,5 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 8 jam.
34
Obat obat asma pengontrol pada anak anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled 2-agonist, teofilin, , dan
long acting oral 2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling
efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi
awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan
dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan.
Terapi pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu
mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut
dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru
dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang
diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,
mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi
terjadinya down regulation receptor 2 agonist. Dosis yang dapat digunakan
sampai 400 ug/hari (respire anak). Efek samping berupa gangguan
pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi
dan mulut.
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan
mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka
panjang yang membandingkannya dengan steroid hirupan dan Leukotriene
Receptor Antagonist (LTRA). Keuntungan memakai Leukotriene Receptor
Antagonist (LTRA) adalah sebagai berikut :
a. LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil
leukotriane;
b. Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap
bronkokonstriktor;
c. Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
35
d. Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per
hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya
preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;
e. Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming
growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis,
hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan mencegah perubahan
fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.
36
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama
kortikosteroid yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis
pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala,
stimulasi ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan
jarang, perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari
10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial
5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.
1. Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula
hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen,
sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
3. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang
adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek
diuretik teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati karena pada asma berat terjadi
peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yang memudahkan terjadinya
retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang
37
memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5
kali kebutuhan rumatan.
J. KOMPLIKASI 1,3,4
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan
terjadi emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks
membungkuk ke depan dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma
letak rendah, gambaran jantung menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah.
Pada asma kronik dan berat dapat terjadi bentuk dada burung dara dan tampak sulkus
Harrison.
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga
dapat terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung
lama dapat berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi
bronkopneumonia. Serangan asma yang terus menerus dan beberapa hari serta berat
dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan disebut status asmatikus. Bila tidak
ditolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal pernapasan, gagal jantung,
bahkan kematian.
K. PROGNOSIS3
Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang
jumlahnya kira-kira 10 juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di
pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.
38
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik
ditemukan pada 5080% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan
timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 710 tahun
setelah diagnosis pertama bervariasi dari 2678% dengan nilai rata-rata 46%, akan
tetapi persentase anak yang menderita penyakit yang berat relatif berat (6 19%).
Secara keseluruhan dapat dikatakan 7080% asma anak bila diikuti sampai dengan
umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.
39
BAB IV
A. KESIMPULAN
B. SARAN
1. Hendaknya dilakukan uji fungsi paru baik dengan menggunakan uji fungsi
paru secara sederhana yaitu dengan uji peak flow meter maupun secara
lengkap dengan spirometri unruk mengetahui APE maupun FEV1 yang
merupakan salah satu faktor untuk menentukan derajat asma bronkial.
40
2. Hendaknya uji fungsi paru dilakukan secara berkala setiap 6-8 minggu pada
pasien asma bronkial sebagai re-evaluasi tatalaksana jangka panjang asma
bronkial.
DAFTAR PUSTAKA
41
1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI. 2009; h.5-
11.
2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.
3. Mangunnegoro H, Widjaja A, Kusumio D, et al. ASMA. Pedoman Diagnonsis
dan Penatalaksanaan di Indonesia: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2004
4. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2008. h.105-18.
5. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak.
Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI. 2009
6. OByrne P, Bateman ED, Bousquet J, et al. Global Initiative For Asthma.
Medical Communications Resources, Inc. 2006
7. Guill M. Asthma update: Epidemiology and Pathophysiology. Pediatric and
Review Article, volume 25. 2004,p 299-304
8. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science
(USA);2003.
9. Setiawati A, Gan S. Obat Adrenergik. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008, h 75-81
10. Suherman S K, Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog
Sintetik dan Antagonisnya. Gunawan SG, penyunting. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008, h. 496-500.
42
LAMPIRAN
43
44