Anda di halaman 1dari 35

SGD 10 LBM 3

Dok, hidung anak saya bau

STEP 1

Rhinoskopi anterior : pemeriksaan rongga hidung dari depan dg spekulum hidung


untuk melihat bagian dalam rongga hidung, di bagian vestibulum.
Yang dinilai :
Mukosa warna normal merah muda, radang = hiperemis, alergi =
pucat/kebiru-biruan.
Septum berada ditengah dan lurus ( dinilai apakah ada deviasi, kista,
perforasi)
Konka pakah besarnya normal
Sekret dilihat produksi sekret berlebih atau tidak sifat
Massa polip, tumor, benda asing.

STEP 2

1. Mengapa di skenario didapatkan keluhan hidung anaknya keluar ingus dan bau
pada sisi kiri 5 hari yll?
2. Mengapa pasien sering mengalami mimisan tanpa sebab?
3. Apa saja faktor penyebab mimisan?
4. Bagaimana anatomi, histologi, dan fisiologi hidung?
5. Bagaimana interpretasi pemeriksaan hidung dalam di skenario?
6. Mengapa setelah obat pilek habis, hidung kembali berbau?
7. Bagaimana tindakan ekstraksi benda asing pada hidung?
8. Penatalaksanaan kasus di skenario?
9. Bagaimana pemeriksaan rhinoskopi?
10. Apa saja Differential diagnosis dari kasus di skenario?
11. Bagaimana mengatasi mimisan/epistaksis pada anak?
12. Bagaimana mekanisme pertahanan dan imunitas pada hidung?
13. Bagaimana patofisiologi hidung berbau?
14. Bagaimana patofisiologi hidung mimisan / epistaksis pada anak dan dewasa?
15. Apa saja komplikasi dari kasus di skenario?

STEP 3

1. Bagaimana anatomi, histologi, dan fisiologi hidung?


Anatomi :
Bagian luar berbentuk spt piramid, dari atas radix nasi, dorsum nasi, apex nasi, ala
nasi dan kolumela, serta nares anterior.
Kerangka tulang os. Nasal, proc. Frontalis os. Maxila, proc. Nasalis os. Frontal.
Tulang rawan sepasang cart. Nasalis lateralis superior, cart. Alaris mayor, cart.
Septi nasi.
Cavum nasi di bagian tengah dipisahkan oleh septum nasi, pintu maasuk bagian
depan ( nares anterior) , bagian belakang ( nares posterior/ choanae) yang
menghubungkan hidung dengan nasofaring.
Dinding medial hidung septum nasi dibentuk oleh tulang ( lamina perpendicularis
os. Sphenoid, os. Vomer, crista nasalis os. Maxilla, crista nasalis ossis palatini.
Tulang rawan cartilago septum/ lamina kuadrangularis / kolumella
Dinding lateral hidung tonjolan- tonjolan yang disebut konka ( konka nasi
superior, konka nasi media, konka nasi inferior, konka nasi suprema )
Di bawah konka ada meatus, yang penamaannya sesuai dengan nama konka nya.
Meatus nasi superior muara dari sinus sphenoid
Meatus nasi media muara dari sinus frontal, sinus maxilaris, dan sinus ethmoidalis
bagian anterior.
Meatus nasi inferior ( terbesar ) muara dari duktus naso lakrimal

Bagian vestibulum nasi, ada arteri yg letaknya supervisial disebut Pleksus Kiesslbach
yang mudah mengalami cidera menjadi epistaksis.
Histologi
2 mukosa ( mukosa olfaktori dan mukosa respiratorius dengan epitel berbeda).
Ig A mengikat antigen mengeluarkan antigen , bereaksi di sekretnya.
Ig G bereaksi di mukosanya
Fisiologi :
Fungsi respirasi sbg air conditioning, penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal
Fungsi penghidu ada mukosa olfaktorius, dan reservoir.
Fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara,
mencegah hantaran suara melalui konduksi tulang
Fungsi statis dan mekanik meringankan beban kepala, proteksi thd trauma
dan pelindung thd panas.
Proteksi thd trauma misal trauma ada corpus alienum, hidung mempunyai
mekanisme pertahanan tubuhnya berupa cillia, mukus, Ig G dan Ig A. Jika trauma
berat susah untuk diproteksi epistaksis. Udara panas turbulensi di cavum nasi
suhunya disamakan oleh pleksus kiesslbach mjd sama dg suhu tubuh.
Meringankan beban kepala krn hidung merupakan muara dari sinus2 paranasalis.
Refleks nasal mukosa hidung ada reseptor refleks yg berhub. Dg sal.
Percernaan, cardiovaskuler, dan pernafasan. Jika ada iritasi mukosa hidung bisa
menyebabkan refleks bersin dan berhenti nafas sejenak. Ada rangsang bau
tertentu ada sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

2. Bagaimana mekanisme pertahanan dan imunitas pada hidung? Lengkapi!


Ig A mengikat antigen mengeluarkan antigen , bereaksi di sekretnya.
Ig G bereaksi di mukosanya
Proteksi thd trauma misal trauma ada corpus alienum, hidung mempunyai
mekanisme pertahanan tubuhnya berupa cillia, mukus, Ig G dan Ig A.
Mencium bau resptor penghidu di superior nostrill di membran olfaktori dsb silia
sel olfaktori. Jika mau mencium bau ada molekul bersifat larut dalam mukus dan
berikatan dg reseptor aktivasi Protein G aktivasi enzim adenil siklase dan CaMP
membuka kanal natrium influks natrium depolarisasi potensial aksi
akan membawa atau menterjemahkan bau ke korteks cerebri.

3. Bagaimana patofisiologi hidung berbau?


Patfis hidung bau (ingus bau) karena di skenario ditemukan biji jagung, di cavum
nasi ada mekanisme pertahanan ( cillia dan lendir), biji jagung terjebak dan menohok
di nares posterior reaksi inflamasi mengeluarkan sekret mengendapkan
mineral-mineral spt magnesiumm dan calsium melapisi jagung shg mjd lebih keras
dan susah untuk dikeluarkan kandungan Mg dan Ca yg tinggi memberikan
manifestasi ingus yang bau.
Vestibulum nasi dan cavum nasi?
4. Bagaimana patofisiologi hidung mimisan / epistaksis pada anak dan dewasa?
Epistaksis akibat pecahnya pleksus kiesslbach.
Rongga hidung mendapat perdarahan a. Palatina mayor dan a. Sphenopalatina
jika ada kerusakan pd arteri tsb perdarahan
Epistaksis anterior berasal dari pleksus kiesslbach
Epistaksis posterior berasal dari a. Sphenopalatina atau perdarahan a. Ethmoidal
posterior.
Jika terjadi perdarahan di anterior keluar mll nares anterior
Perdarahan posterior choanae
Penyebab lokal idiopatik, trauma, membuang ingus trll keras, atau membersikan
hidung trlalu keras. Tumor, dll.
Sistemik hipertensi, arterosklerosis, dll.
Pd kasus skenario perdarahan akibat biji jagung masuk di concha yg terdapat
pleksus kiesslbach perdarahan akibat trjd proses inflamasi pleksus sering pecah
berulang dan menimbulkan mimisan yg berulang.

5. Mengapa di skenario didapatkan keluhan hidung anaknya keluar ingus dan bau
pada sisi kiri 5 hari yll?
Patfis hidung bau (ingus bau) karena di skenario ditemukan biji jagung, di cavum
nasi ada mekanisme pertahanan ( cillia dan lendir), biji jagung terjebak dan menohok
di nares posterior reaksi inflamasi mengeluarkan sekret (ingus)
mengendapkan mineral-mineral spt magnesiumm dan calsium melapisi jagung
shg mjd lebih keras dan susah untuk dikeluarkan kandungan Mg dan Ca yg tinggi
memberikan manifestasi ingus yang bau.
Misal krn ada infeksi dari bakteri yg bisa menyebabkan bau dikaitkan dg antaomi
sinus paranasal misal infeksi mengenai mukosa tjd kerusakan berlebih yg
menyebabkan inflamasi terus menerus.
Sinus maxilla infundibulum ethmoidal jika tersumbat mukus tekanan di
sinus maxilla tinggi bakteri berkembang lebih banyak dan inflamaasi terus
menerus bercampur dg mukus ingus berbau.
6. Mengapa setelah obat pilek habis, hidung kembali berbau?
Karena obat pilek ada yg bersifat mengurangi mukus / sekret ingusnya berkurang
jd tidak berbau. Tp di dalam hidung tetap ada corpus alienum, jadi saat obat pilek
habis beringus lagi dan berbau.

7. Apa saja faktor penyebab mimisan?


Bisa karena kongenital, radang/ infeksi, trauma, kelaianan vaskuler, degenerasi atau
tumor.
Epistaksis Anterior biasanya perdarahan mudah berhenti, sering akibat trauma
dan radang.
Epistaksis Posterior a. Sphenopalatina dan a. Ethmoidalis posterior, bisa krn
kelainan vaskuler, trauma radang, massa tumor.
Perbedaan suhu yg terlalu ekstrim?
8. Bagaimana mengatasi mimisan/epistaksis pada anak?
Prinsip penatalaksanaan epistaksis :
KU pasien buruk ( kehilangan banyak darah) dipasang infus dulu, jalan nafas
dibersihkan dg suction.
Untuk anak2 anak dipangku menghadap searah dg kita, kepala ditaruh
dipundak kita (menengadah) bantu membersihkan darahnya dari hidung dg
suction. Jika blm tau letaknya beri tampon kassa diberi pantocain untuk
mengurangi rasa nyeri untuk tindakan selanjutnya.
Biasanya perdarahan di anterior dihentikan dg menekan hidung luar 10-15 menit,
sumber perdarahan yg bisa terlihat di beri larutan nitras argenti dan krim antibiotik.
Jika masih perdarahan diberi tampon anterior yg sdh diberi salep antibiotik dan
diganti tampon jika sdh penuh. Biasanya tdk menimbulkan perdarahan yg baru.
Perdarahan posterior di rhinoskopi anterior mengatasi dg pemasangan tampon
bellocq dibuat dari kassa kemudian dipasang disisi-sisinya.
Dewasa tiduran bisa diganjal bantal agar posisi kepala lebih tinggi.
9. Bagaimana interpretasi pemeriksaan hidung dalam di skenario?
Konka hiperemis krn ada benda asing dan timbul inflamasi
Sekret mukoserous akibat sistem imun tubuh krn ada benda asing shg produksi
mukus meningkat
Benda asing etiologi dari gejala di skenario

10. Bagaimana tindakan ekstraksi benda asing pada hidung?


Benda asing kasar pake forceps
Bulat licin pake pengait dg ujung yg tumpul
Alat dimasukkan di bagian depan lubang hidung kita tarik perlahan corpus
alienum keluar jgn didorong ke arah posterior jika masih berada di anterior, tapi jika
benda asing sudah terlalu dalam dan susah keluar di dorong ke arah nasofaring
dalam keadaan pasien duduk.
11. Bagaimana cara pemeriksaan rhinoskopi? Disertai gambar!
Rhinoskopi anterior pake spekulum hidung untuk melihat bagian rongga hidung
Rhinoskopi posterior pake kaca rhinoskopi posterior lewat mulut (nasofaring)
untuk melihat keadaan di choanae. Inspeksi pake nasolaryngoskop
12. Apa saja Differential diagnosis dari kasus di skenario?
Sinusitis menyebabkan mukosa di sinus membengkakk dan mengeluarkan
sekret yg banyak, biasanya ada nyeri pd sinusnya.
Rhinitis : peradangan pada mukosa hidung, disertai panas.
- Akut akibat penyebab sekunder dri trauma, rhinitis akibat virus, bakteri
dan rhinitis iritan.
- Kronis lebih dari 1 bulan, spt rhinitis atrofi, rhinitis simpleks kronis, rhinitis
sika
Corpus alienum
Epistaksis

13. Penatalaksanaan kasus di skenario?


Prinsip penatalaksanaan epistaksis :
KU pasien buruk ( kehilangan banyak darah) dipasang infus dulu, jalan nafas
dibersihkan dg suction.
Untuk anak2 anak dipangku menghadap searah dg kita, kepala ditaruh
dipundak kita (menengadah) bantu membersihkan darahnya dari hidung dg
suction. Jika blm tau letaknya beri tampon kassa diberi pantocain untuk
mengurangi rasa nyeri untuk tindakan selanjutnya.
Biasanya perdarahan di anterior dihentikan dg menekan hidung luar 10-15 menit,
sumber perdarahan yg bisa terlihat di beri larutan nitras argenti dan krim antibiotik.
Jika masih perdarahan diberi tampon anterior yg sdh diberi salep antibiotik dan
diganti tampon jika sdh penuh. Biasanya tdk menimbulkan perdarahan yg baru.
Perdarahan posterior di rhinoskopi anterior mengatasi dg pemasangan tampon
bellocq dibuat dari kassa kemudian dipasang disisi-sisinya.
Dewasa tiduran bisa diganjal bantal agar posisi kepala lebih tinggi.
Ekstraksi corpus alienum :
Benda asing kasar pake forceps
Bulat licin pake pengait dg ujung yg tumpul
Alat dimasukkan di bagian depan lubang hidung kita tarik perlahan corpus
alienum keluar jgn didorong ke arah posterior jika masih berada di anterior, tapi jika
benda asing sudah terlalu dalam dan susah keluar di dorong ke arah nasofaring
dalam keadaan pasien duduk.
Diberi antibiotik sistemik 5-7 hari untuk meredakan inflamasi dan bakteri setelah
diekstraksi corpus alienum.
14. Apa saja komplikasi dari kasus di skenario?
Komplikasi benda asing?
Komplikasi epistaksis?

- Rhinosinusitis
- Pneumonia aspirasi
- Aspirasi ke saluran napas shock, penurunan tekanan darah mendadak
hipotensi, hipoksia, iskemik serebri, insufisiensi coroner, infark miokard,
kematian.
- Tidak sampe aspirasi pembuluh darah terbuka
- Efek dari pemasangan tampon rhinosinusitis, otitis media, septikemia.

STEP 4
STEP 7

1. Bagaimana anatomi, histologi, dan fisiologi hidung?


Anatomi :
Bagian luar berbentuk spt piramid, dari atas radix nasi, dorsum nasi, apex nasi, ala
nasi dan kolumela, serta nares anterior.
Kerangka tulang os. Nasal, proc. Frontalis os. Maxila, proc. Nasalis os. Frontal.
Tulang rawan sepasang cart. Nasalis lateralis superior, cart. Alaris mayor, cart.
Septi nasi.
Cavum nasi di bagian tengah dipisahkan oleh septum nasi, pintu maasuk bagian
depan ( nares anterior) , bagian belakang ( nares posterior/ choanae) yang
menghubungkan hidung dengan nasofaring.
Dinding medial hidung septum nasi dibentuk oleh tulang ( lamina perpendicularis
os. Sphenoid, os. Vomer, crista nasalis os. Maxilla, crista nasalis ossis palatini.
Tulang rawan cartilago septum/ lamina kuadrangularis / kolumella
Dinding lateral hidung tonjolan- tonjolan yang disebut konka ( konka nasi
superior, konka nasi media, konka nasi inferior, konka nasi suprema )
Di bawah konka ada meatus, yang penamaannya sesuai dengan nama konka nya.
Meatus nasi superior muara dari sinus sphenoid
Meatus nasi media muara dari sinus frontal, sinus maxilaris, dan sinus ethmoidalis
bagian anterior.
Meatus nasi inferior ( terbesar ) muara dari duktus naso lakrimal

Bagian vestibulum nasi, ada arteri yg letaknya supervisial disebut Pleksus Kiesslbach
yang mudah mengalami cidera menjadi epistaksis.
Histologi
2 mukosa ( mukosa olfaktori dan mukosa respiratorius dengan epitel berbeda).
Ig A mengikat antigen mengeluarkan antigen , bereaksi di sekretnya.
Ig G bereaksi di mukosanya
Fisiologi :
Fungsi respirasi sbg air conditioning, penyaring udara, humidifikasi,
penyeimbang pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal
Fungsi penghidu ada mukosa olfaktorius, dan reservoir.
Fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara,
mencegah hantaran suara melalui konduksi tulang
Fungsi statis dan mekanik meringankan beban kepala, proteksi thd trauma
dan pelindung thd panas.
Proteksi thd trauma misal trauma ada corpus alienum, hidung mempunyai
mekanisme pertahanan tubuhnya berupa cillia, mukus, Ig G dan Ig A. Jika trauma
berat susah untuk diproteksi epistaksis. Udara panas turbulensi di cavum nasi
suhunya disamakan oleh pleksus kiesslbach mjd sama dg suhu tubuh.
Meringankan beban kepala krn hidung merupakan muara dari sinus2 paranasalis.
Refleks nasal mukosa hidung ada reseptor refleks yg berhub. Dg sal.
Percernaan, cardiovaskuler, dan pernafasan. Jika ada iritasi mukosa hidung bisa
menyebabkan refleks bersin dan berhenti nafas sejenak. Ada rangsang bau
tertentu ada sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

FISIOLOGI HIDUNG
Secara fisiologis, hidung merupakan bagian dari traktus respiratorius, alat penghidu
dan rongga-suara untuk berbicara.
Dalam sistem pernapasan
o Inspirasi :
Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis). Rongga hidung
berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea)
dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap
benda asing yang masuk lewat saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut
pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama
udara. Juga terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang berfungsi
menghangatkan udara yang masuk.
o Ekspirasi :
udara dari koanae akan naik setinggi konka media selanjutnya di depan memecah
sebagian ke nares anterior dan sebagian kembali ke belakang membentuk pusaran
dan bergabung dengan aliran dari nasofaring
o Untuk mekanisme pernapasan dapat di baca disini
Resonansi suara : dimana Sumbatan hidung menyebabkan rinolalia (suara sengau)
dan Membantu proses bicara dimana konsonan nasal (m, n, ng) sehingga rongga
mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara
Refleks nasal :
o Pada mukosa hidung ada reseptor refleks yg berhubungan dengan sal cerna,
kardiovaskuler, pernafasan : mis : iritasi mukosa hidung menyebabkan bersin dan
nafas berhenti, bau tertentu menyebabkan sekresi kel liur, lambung dan pankreas.
Mekanisme penciuman
Di dalam rongga hidung terdapat selaput lendir yang mengandung sel- sel pembau.
Pada sel-sel pembau terdapat ujung-ujung saraf pembau atau saraf kranial (nervus
alfaktorius), yang selanjutnya akan bergabung membentuk serabut-serabut saraf
pembau untuk menjalin dengan serabut-serabut otak (bulbus olfaktorius).
Zat-zat kimia tertentu berupa gas atau uap masuk bersama udara inspirasi mencapai
reseptor pembau. Zat ini dapat larut dalam lendir hidung, sehingga terjadi
pengikatan zat dengan protein membran pada dendrit.
Kemudian timbul impuls yang menjalar ke akson-akson. Beribu-ribu akson
bergabung menjadi suatu bundel yang disebut saraf I otak (olfaktori).
Saraf otak ke I ini menembus lamina cribosa tulang ethmoid masuk ke rongga
hidung kemudian bersinaps dengan neuron-neuron tractus olfactorius dan impuls
dijalarkan ke daerah pembau primer pada korteks otak untuk diinterpretasikan.

Fisiologi sinus paranasal


Sinus paranasal secara fisiologi memiliki fungsi yang bermacam-macam.
Bartholini adalah orang pertama yang mengemukakan bahwa ronga-rongga ini
adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku
Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka
tidak memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dpatahkan oleh
Proetz , bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa, tidak
memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari
sinus paranasal adalah sebagai barier pada organ vital terhadap suhu dan bunyi
yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai
fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak
mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan
tulang muka. (Passali ; Lund VJ.1997 ; Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah
:
(1) Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning)
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak
didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga hidung.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus
pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara
total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan
kelenjar yang sebanyak mukosa hidung. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
(2) Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas , melindungi orbita dan
fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
kenyataannya, sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-
organ yang dilindungi. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
(3) Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka.
Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak
bermakna. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
(4) Membantu resonansi suara

Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi
kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Tidak ada korelasi
antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
(5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya
pada waktu bersin atau membuang ingus. (Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
(6) Membantu produksi mukus.
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil
dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk
membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini
keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
(Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007)
Soetjipto, D. & Mangunkusumo, E. 2007. Rhinore, Infeksi Hidung dan
Sinus. Dalam: Soepardi, EA. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 6. Jakarta: FK-UI

2. Bagaimana mekanisme pertahanan dan imunitas pada hidung? Lengkapi!


Ig A mengikat antigen mengeluarkan antigen , bereaksi di sekretnya.
Ig G bereaksi di mukosanya
Proteksi thd trauma misal trauma ada corpus alienum, hidung mempunyai
mekanisme pertahanan tubuhnya berupa cillia, mukus, Ig G dan Ig A.
Mencium bau resptor penghidu di superior nostrill di membran olfaktori dsb silia
sel olfaktori. Jika mau mencium bau ada molekul bersifat larut dalam mukus dan
berikatan dg reseptor aktivasi Protein G aktivasi enzim adenil siklase dan CaMP
membuka kanal natrium influks natrium depolarisasi potensial aksi
akan membawa atau menterjemahkan bau ke korteks cerebri.

3. Bagaimana patofisiologi hidung berbau?


Patfis hidung bau (ingus bau) karena di skenario ditemukan biji jagung, di cavum
nasi ada mekanisme pertahanan ( cillia dan lendir), biji jagung terjebak dan menohok
di nares posterior reaksi inflamasi mengeluarkan sekret mengendapkan
mineral-mineral spt magnesiumm dan calsium melapisi jagung shg mjd lebih keras
dan susah untuk dikeluarkan kandungan Mg dan Ca yg tinggi memberikan
manifestasi ingus yang bau.
Vestibulum nasi dan cavum nasi?
4. Bagaimana patofisiologi hidung mimisan / epistaksis pada anak dan dewasa?
Epistaksis akibat pecahnya pleksus kiesslbach.
Rongga hidung mendapat perdarahan a. Palatina mayor dan a. Sphenopalatina
jika ada kerusakan pd arteri tsb perdarahan
Epistaksis anterior berasal dari pleksus kiesslbach
Epistaksis posterior berasal dari a. Sphenopalatina atau perdarahan a. Ethmoidal
posterior.
Jika terjadi perdarahan di anterior keluar mll nares anterior
Perdarahan posterior choanae
Penyebab lokal idiopatik, trauma, membuang ingus trll keras, atau membersikan
hidung trlalu keras. Tumor, dll.
Sistemik hipertensi, arterosklerosis, dll.
Pd kasus skenario perdarahan akibat biji jagung masuk di concha yg terdapat
pleksus kiesslbach perdarahan akibat trjd proses inflamasi pleksus sering pecah
berulang dan menimbulkan mimisan yg berulang.

5. Mengapa di skenario didapatkan keluhan hidung anaknya keluar ingus dan bau
pada sisi kiri 5 hari yll?
Patfis hidung bau (ingus bau) karena di skenario ditemukan biji jagung, di cavum
nasi ada mekanisme pertahanan ( cillia dan lendir), biji jagung terjebak dan menohok
di nares posterior reaksi inflamasi mengeluarkan sekret (ingus)
mengendapkan mineral-mineral spt magnesiumm dan calsium melapisi jagung
shg mjd lebih keras dan susah untuk dikeluarkan kandungan Mg dan Ca yg tinggi
memberikan manifestasi ingus yang bau.
Misal krn ada infeksi dari bakteri yg bisa menyebabkan bau dikaitkan dg antaomi
sinus paranasal misal infeksi mengenai mukosa tjd kerusakan berlebih yg
menyebabkan inflamasi terus menerus.
Sinus maxilla infundibulum ethmoidal jika tersumbat mukus tekanan di
sinus maxilla tinggi bakteri berkembang lebih banyak dan inflamaasi terus
menerus bercampur dg mukus ingus berbau.
6. Mengapa setelah obat pilek habis, hidung kembali berbau?
Karena obat pilek ada yg bersifat mengurangi mukus / sekret ingusnya berkurang
jd tidak berbau. Tp di dalam hidung tetap ada corpus alienum, jadi saat obat pilek
habis beringus lagi dan berbau.

7. Apa saja faktor penyebab mimisan?


Bisa karena kongenital, radang/ infeksi, trauma, kelaianan vaskuler, degenerasi atau
tumor.
Epistaksis Anterior biasanya perdarahan mudah berhenti, sering akibat trauma
dan radang.
Epistaksis Posterior a. Sphenopalatina dan a. Ethmoidalis posterior, bisa krn
kelainan vaskuler, trauma radang, massa tumor.
Perbedaan suhu yg terlalu ekstrim?
8. Bagaimana mengatasi mimisan/epistaksis pada anak?
Prinsip penatalaksanaan epistaksis :
KU pasien buruk ( kehilangan banyak darah) dipasang infus dulu, jalan nafas
dibersihkan dg suction.
Untuk anak2 anak dipangku menghadap searah dg kita, kepala ditaruh
dipundak kita (menengadah) bantu membersihkan darahnya dari hidung dg
suction. Jika blm tau letaknya beri tampon kassa diberi pantocain untuk
mengurangi rasa nyeri untuk tindakan selanjutnya.
Biasanya perdarahan di anterior dihentikan dg menekan hidung luar 10-15 menit,
sumber perdarahan yg bisa terlihat di beri larutan nitras argenti dan krim antibiotik.
Jika masih perdarahan diberi tampon anterior yg sdh diberi salep antibiotik dan
diganti tampon jika sdh penuh. Biasanya tdk menimbulkan perdarahan yg baru.
Perdarahan posterior di rhinoskopi anterior mengatasi dg pemasangan tampon
bellocq dibuat dari kassa kemudian dipasang disisi-sisinya.
Dewasa tiduran bisa diganjal bantal agar posisi kepala lebih tinggi.
9. Bagaimana interpretasi pemeriksaan hidung dalam di skenario?
Konka hiperemis krn ada benda asing dan timbul inflamasi
Sekret mukoserous akibat sistem imun tubuh krn ada benda asing shg produksi
mukus meningkat
Benda asing etiologi dari gejala di skenario

10. Bagaimana tindakan ekstraksi benda asing pada hidung?


Benda asing kasar pake forceps
Bulat licin pake pengait dg ujung yg tumpul
Alat dimasukkan di bagian depan lubang hidung kita tarik perlahan corpus
alienum keluar jgn didorong ke arah posterior jika masih berada di anterior, tapi jika
benda asing sudah terlalu dalam dan susah keluar di dorong ke arah nasofaring
dalam keadaan pasien duduk.
11. Bagaimana cara pemeriksaan rhinoskopi? Disertai gambar!
Rhinoskopi anterior pake spekulum hidung untuk melihat bagian rongga hidung
Rhinoskopi posterior pake kaca rhinoskopi posterior lewat mulut (nasofaring)
untuk melihat keadaan di choanae. Inspeksi pake nasolaryngoskop

Rinoskopi Anterior adalah pemeriksaan rongga hidung dari depan dengan memakai
spekulum hidung. Tangan kiri memegang speculum dengan ibu jari (di atas/depan)
dan jari telunjuk (dibawah/belakang) pada engsel speculum. Jari tengah diletakan
dekat hidung, sebelah kanan untuk fiksasi. Jari manis dan kelingking membuka dan
menutup spekulum. Speculum dimasukkan tertutup ke dalam vestibulum nasi
setelah masuk baru dibuka. Tangan kanan bebas : dapat membantu memegang alat-
alat pinset dan kait dsb, menahan kepala dari belakang/tengkuk atau mengatur sikap
kepala. Melebarkan nares anterior dengan meregangkan ala nasi. Melihat jelas
dengan menyisihkan rambut hidung. Hal-hal yang harus diperhatikan pada rinoskopi
anterior :
Mukosa. Dalam keadaaan normal berwarna merah muda, pada radang berwarna
merah, pada alergi pucat atau kebiruan (livid)
Septum. Normalnya terletak ditengah dan lurus, perhatikan apakah terdapat
deviasi, krista, spina, perforasi, hematoma, abses, dll.
Konka. Perhatikan apakah konka normal (eutrofi), hipertrofi, hipotrofi atau atrofi

- Sekret. Bila ditemukan sekret perhatikan jumlah, sfat dan lokalisasinya


Massa.

Persiapan
a. Penderita
a. Salam memperkenalkan diri sekliagus menanyakan identitas pasien
b. Informed cosent
b. Alat dan bahan
a. Lampu kepala
b. Spekulum hidung
c. Pemeriksa
a. Pengetahuan mengenai pemeriksaan hidung
b. Cuci tangan sebelum melakukan pemeriksaan
Cara

a. Menggunakan lampu kepala dan spekulum hidung


b. Cara memegang spekulum hidung: spekulum dipegang dengan tangan kiri untuk
memeriksa lubang hidung kanan ujung jari telunjuk pada ujung spekulum. Tangan
kanan untuk mefiksasi kepala pasien dengan memegang tengkuk pasien. Demikian
pula untuk memeriksa lubang hidung satunya. Atau, memegnag sekulum hidung
dengan tangan dominan sedangkan tangan non dominan menompang dagu pasien
untuk memfiksasi kepala pasien.
c. Spekulum masuk lubang hidung daam keadaan tertutup rapat, jari telunjuk pada
cuping hidung untuk fiksasi
d. Spekulum dibuka dan lampu diarahkan kerongga hidung
e. Setelah pemeriksaan selesai, spekulum dilepas dengan cara tidak menutup spekulum
dengan sempurna
f. Lakukan pemeriksaan yang sama pada sisi hidung yang lain
g. Hal-hal yang dinilai
a. Mukosa(hiperemis/pucat)
b. Septum(deviasi septum)
c. Konka(hipertrofi)
d. Sekret(ada/tidak, bila ada : serous/mukoid/purulen)
e. Massa
f. Corpus alineum

Penutup

a. Cuci tangan setelah melakukan pemeriksaan


b. Menyampaikan hasil pemeriksaan kepada pasien
c. Mengucapkan terima kasih
d. salam

12. Apa saja Differential diagnosis dari kasus di skenario?


Sinusitis menyebabkan mukosa di sinus membengkakk dan mengeluarkan
sekret yg banyak, biasanya ada nyeri pd sinusnya.
Rhinitis : peradangan pada mukosa hidung, disertai panas.
- Akut akibat penyebab sekunder dri trauma, rhinitis akibat virus, bakteri
dan rhinitis iritan.
- Kronis lebih dari 1 bulan, spt rhinitis atrofi, rhinitis simpleks kronis, rhinitis
sika
Corpus alienum
Epistaksis

13. Penatalaksanaan kasus di skenario?


Prinsip penatalaksanaan epistaksis :
KU pasien buruk ( kehilangan banyak darah) dipasang infus dulu, jalan nafas
dibersihkan dg suction.
Untuk anak2 anak dipangku menghadap searah dg kita, kepala ditaruh
dipundak kita (menengadah) bantu membersihkan darahnya dari hidung dg
suction. Jika blm tau letaknya beri tampon kassa diberi pantocain untuk
mengurangi rasa nyeri untuk tindakan selanjutnya.
Biasanya perdarahan di anterior dihentikan dg menekan hidung luar 10-15 menit,
sumber perdarahan yg bisa terlihat di beri larutan nitras argenti dan krim antibiotik.
Jika masih perdarahan diberi tampon anterior yg sdh diberi salep antibiotik dan
diganti tampon jika sdh penuh. Biasanya tdk menimbulkan perdarahan yg baru.
Perdarahan posterior di rhinoskopi anterior mengatasi dg pemasangan tampon
bellocq dibuat dari kassa kemudian dipasang disisi-sisinya.
Dewasa tiduran bisa diganjal bantal agar posisi kepala lebih tinggi.
Ekstraksi corpus alienum :
Benda asing kasar pake forceps
Bulat licin pake pengait dg ujung yg tumpul
Alat dimasukkan di bagian depan lubang hidung kita tarik perlahan corpus
alienum keluar jgn didorong ke arah posterior jika masih berada di anterior, tapi jika
benda asing sudah terlalu dalam dan susah keluar di dorong ke arah nasofaring
dalam keadaan pasien duduk.
Diberi antibiotik sistemik 5-7 hari untuk meredakan inflamasi dan bakteri setelah
diekstraksi corpus alienum.
14. Apa saja komplikasi dari kasus di skenario?
Komplikasi benda asing?
Komplikasi epistaksis?

- Rhinosinusitis
- Pneumonia aspirasi
- Aspirasi ke saluran napas shock, penurunan tekanan darah mendadak
hipotensi, hipoksia, iskemik serebri, insufisiensi coroner, infark miokard,
kematian.
- Tidak sampe aspirasi pembuluh darah terbuka
- Efek dari pemasangan tampon rhinosinusitis, otitis media, septikemia.

- RHINITIS

- A. Pendahuluan
1. Definisi
Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di
hidung. (Dipiro, 2005 )
Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung. ( Dorland, 2002 )
Rhinitis adalah istilah untuk peradangan mukosa. Menurut sifatnya dapat
dibedakan menjadi dua:
a. Rhinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan
membran mukosa hidung dan sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh
suatu virus dan bakteri. Penyakit ini dapat mengenai hampir setiap orang
pada suatu waktu dan sering kali terjadi pada musim dingin dengan
insidensi tertinggi pada awal musim hujan dan musim semi.
b. Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa
yang disebabkan oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena
rinitis vasomotor.

2. Epidemologi
Rhinitis alergi merupakan penyakit umum dan sering dijumpai.
Prevalensi penyakit rhinitis alergi pada beberapa Negara berkisar antara
4.5-38.3% dari jumlah penduduk dan di Amerika, merupakan 1 diantara
deretan atas penyakit umum yang sering dijumpai. Meskipun dapat
timbul pada semua usia, tetapi 2/3 penderita umumnya mulai menderita
pada saat berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada wanita dan pria dengan
kemungkinan yang sama. Penyakit ini herediter dengan predisposisi
genetic kuat. Bila salah satu dari orang tua menderita alergi, akan
memberi kemungkinan sebesar 30% terhadap keturunannya dan bila
kedua orang tua menderita akan diperkirakan mengenai sekitar 50%
keturunannya (PERSI,2007).
Perkiraan yang tepat tentang prevalensi rhinitis alergi agak sulit
berkisar 4 40%
Ada kecenderungan peningkatan prevalensi rhinitis alergi di AS dan di
seluruh dunia
Penyebab belum bisa dipastikan, tetapi nampaknya ada kaitan dengan
meningkatnya polusi udara, Populasi dust mite, kurangnya ventilasi di
rumah atau kantor, dll.

B. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri
dari 2 fase yaitu :
1. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya. Munculnya segera dalam 5-30 menit, setelah terpapar dengan
alergen spesifik dan gejalanya terdiri dari bersin-bersin, rinore karena
hambatan hidung dan atau bronkospasme. Hal ini berhubungan dengan
pelepasan amin vasoaktif seperti histamin.
2. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48
jam. Muncul dalam 2-8 jam setelah terpapar alergen tanpa pemaparan
tambahan. Hal ini berhubungan dengan infiltrasi sel-sel peradangan,
eosinofil, neutrofil, basofil, monosit dan CD4 + sel T pada tempat
deposisi antigen yang menyebabkan pembengkakan, kongesti dan sekret
kental.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag


atau monosit yang berperan sebagai APC akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Kompleks antigen yang telah
diproses dipresentasikan pada sel T helper (Th0). APC melepaskan
sitokin seperti IL1 yang akan mengaktifkan Th0 ubtuk berproliferasi
menjadi Th1 dan Th2. Th2 menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3,
IL4, IL5 dan IL13. IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya di
permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua
rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk terutama histamin.

Rinitis Alergi melibatkan membran mukosa hidung, mata, tuba eustachii,


telinga tengah, sinus dan faring. Hidung selalu terlibat, dan organ-organ
lain dipengaruhi secara individual. Peradangan dari mukosa membran
ditandai dengan interaksi kompleks mediator inflamasi namun pada
akhirnya dicetuskan oleh IgE yang diperantarai oleh respon protein
ekstrinsik.
Kecenderungan munculnya alergi, atau diperantarai IgE, reaksi-reaksi
pada alergen ekstrinsik (protein yang mampu menimbulkan reaksi alergi)
memiliki komponen genetik. Pada individu yang rentan, terpapar pada
protein asing tertentu mengarah pada sensitisasi alergi, yang ditandai
dengan pembentukan IgE spesifik untuk melawan protein-protein
tersebut. IgE khusus ini menyelubungi permukaan sel mast, yang muncul
pada mukosa hidung. Ketika protein spesifik (misal biji serbuksari
khusus) terhirup ke dalam hidung, protein dapat berikatan dengan IgE
pada sel mast, yang menyebabkan pelepasan segera dan lambat dari
sejumlah mediator. Mediator-mediator yang dilepaskan segera termasuk
histamin, triptase, kimase, kinin dan heparin. Sel mast dengan cepat
mensitesis mediator-mediator lain, termasuk leukotrien dan prostaglandin
D2. Mediator-mediator ini, melalui interaksi beragam, pada akhirnya
menimbulkan gejala rinore (termasuk hidung tersumbat, bersin-bersin,
gatal, kemerahan, menangis, pembengkakan, tekanan telinga dan post
nasal drip). Kelenjar mukosa dirangsang, menyebabkan peningkatan
sekresi. Permeabilitas vaskuler meningkat, menimbulkan eksudasi
plasma. Terjadi vasodilatasi yang menyebabkan kongesti dan tekanan.
Persarafan sensoris terangsang yang menyebabkan bersin dan gatal.
Semua hal tersebut dapat muncul dalam hitungan menit; karenanya reaksi
ini dikenal dengan fase reaksi awal atau segera.
Setelah 4-8 jam, mediator-mediator ini, melalui kompetisi interaksi
kompleks, menyebabkan pengambilan sel-sel peradangan lain ke
mukosa, seperti neutrofil, eosinofil, limfosit dan makrofag. Hasil pada
peradangan lanjut, disebut respon fase lambat. Gejala-gejala pada respon
fase lambat mirip dengan gejala pada respon fase awal, namun bersin dan
gatal berkurang, rasa tersumbat bertambah dan produksi mukus mulai
muncul. Respon fase lambat ini dapat bertahan selama beberapa jam
sampai beberapa hari.
Sebagai ringkasan, pada rinitis alergi, antigen merangsang epitel respirasi
hidung yang sensitif, dan merangsang produksi antibodi yaitu IgE.
Sintesis IgE terjadi dalam jaringan limfoid dan dihasilkan oleh sel
plasma. Interaksi antibodi IgE dan antigen ini terjadi pada sel mast dan
menyebabkan pelepasan mediator farmakologi yang menimbulkan
dilatasi vaskular, sekresi kelenjar dan kontraksi otot polos.
Efek sistemik, termasuk lelah, mengantuk, dan lesu, dapat muncul dari
respon peradangan. Gejala-gejala ini sering menambah perburukan
kualitas hidup.
Berdasarkan cara masuknya, allergen dibagi atas
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan,
misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel, bulu binatang.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan
misalnya susu, telur, coklat, ikan, udang.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa.
Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

C. Etiologi
1. Alergen
Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala
rinitis alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari
merupakan alergen hirupan utama penyebab rinitis alergika dengan
bertambahnya usia,
sedang pada bayi dan balita, makanan masih merupakan penyebab yang
penting.

2. Polutan
Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis.
Polusi dalam ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di
luar termasuk gas buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur
dioksida. Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah
diketahui lebih jelas.
3. Aspirin
Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis
alergika pada penderita tertentu.

D.Gambaran Klinis
1. Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari
(umumnya bersin lebih dari 6 kali).
2. Hidung tersumbat.
3. Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan
alergi biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih
keruh atau kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung
atau infeksi sinus.
4. Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan
tenggorok.
Badan menjadi lemah dan tak bersemangat.

E. Diagnosis
1. Amnesis
Gejala khas yang bisa didapatkan adalah sebagai berikut :
serangan timbul bila terjadi kontak dengan alergen penyebab
didahului rasa gatal di hidung, mata, atau kadang pada pallatum molle
bersin-bersin paroksismal (dominan) : > 5kali/serangan, diikuti produksi
sekret yg encer danhidung buntu gangguan pembauan, mata sembab dan
berair, kadang disertai sakit kepala tidak didapatkan tanda infeksi (mis :
demam) mungkin didapatkan riwayat alergi pada keluarga
2. Pemeriksaan Fisis
konka edema dan pucat, secret seromucinou
3. Pemeriksaan Penunjang
Tes kulit prick test
Eosinofil sekret hidung. Positif bila 25%
Eosinofil darah. Positif bila 400/mm3
bila diperlukan dapat diperiksa
IgE total serum (RIST & PRIST). Positif bila > 200 IU
IgE spesifik (RAST)
X-foto Water, bila dicurigai adanya komplikasi sinusitis

F.Pelaksanaan
1. Medis
Simtomatik :
Intermiten ringan : anti histamin (2minggu) dan dekongestan
(pseudoefedrin 2x30mg)
Anti histamin pada saat serangan dapat dipakai CTM 3 x 2-4mg. Untuk
yang non sedatif
dapat dipakai loratadin, setirizin (1 x 10 mg) atau fleksonadine
(2x60mg). Desloratadine
adalah turunan baru loratadine yang punya efek dekongestan. Anti
histamin baru non sedatif cukup aman untuk pemakaian jangka panjang.
Intermiten sedang berat, persisten ringan : steroid topikal, cromolyn
(mast cell stabilisator),
B2 adrenergik (terbutaline). Kortikosteroid (deksametasone,
betametasone) untuk serangan
akut yang berat, ingat kontra indikasi. Dihentikan dengan tappering off
Dekongestan lokal : tetes hidung, larutan efedrine 1%, atau
oksimetazolin 0.025% -
0.05%, bila diperlukan, dan tidak boleh lebih dari seminggu. Dipakai
kalau sangat perlu
agar tidak menjadi rhinitis medikamentosa
Dekongestan oral : pseudoefedrine 2-3 x 30-60mg sehari. Dapat
dikombinasi dengan
antihistamin (triprolidin + pseudoefedrine, setirizin + pseudoefedrine,
loratadine +
pseudoefedrine)
R.A persisten sedang berat : bisa digunakan steroid semprot hidung
Pembedahan : apabila ada kelainan anatomi (deviasi septum nasi), polip
hidung, atau komplikasi lain yang memerlukan tindakan bedah

2. Asuhan Keperawatan
Mendorong individu untuk bertanya mengenai masalah, penanganan,
perkembangan dan prognosis kesehatan
Mengatur kelembapan ruangan untuk mencegah pertumbuhan jamur
Menjauhkan hewan berbulu dari pasien alergi, namun hal ini sering
tidak dipatuhi terutama oleh pecinta binatang
Membersihkan kasur secara rutin.

G. Prognosis
1. Sinusitis kronis (tersering)
2. Poliposis nasal
3. Sinusitis dengan trias asma (asma, sinusitis dengan poliposis nasal dan
sensitive terhadap aspirin)
4. Asma
5. Obstruksi tuba Eustachian dan efusi telingah bagian tengah
6. Hipertropi tonsil dan adenoid
7. Gangguan kognitif

Daftar Pustaka
1. Dorland, WA. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29.
Jakarta: EGC
2. Smeltzer, suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC
3. Peralmuni. Terapi Imun Alergen Spesifik Pada Rinitis Alergi: Kajian
4. Mekanisme Biomolekuler, Indikasi, Efektivitas. Online. 2011.
Available from URL: http://www.peralmuni.medindo.com/
5. Mohammad. Rhinitis alergika. Online. 2011 Available from URL:
http:// www.nn-
no.facebook.com/topic.php?uid=100064742713&topic=9732
6. www.google.com

- SINUSITIS

2.4.1. Definisi
Sinusitis didefinikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.

Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitissehingga sering disebut


rinosinusitis

(Kumar dan Clark, 2005). Lapisan mukosa dari sinus paranasal


merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Hidung dan sinus paranasal
merupakan bagian dari sistem pernapasan. Penyakit yang menyerang
bronkus dan paruparu juga dapat menyerang hidung dan sinus
paranasal. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan proses infeksi,
seluruh saluran nafas dengan perluasan-perluasan anatomik harus
dianggap sebagai satu kesatuan

(Hueston,2002).

2.4.2. Insidens dan Epidemiologi

Menurut Wald (1990) di Amerika menjumpai insiden pada orang

dewasa antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis yang berasal dari
infeksi gigi. Ramalinggam (1990) di Madras, India mendapatkan bahwa
rinosinusitis maksila tipe dentogen sebanyak sepuluh persen kasus
yang disebabkan oleh abses gigi dan abses apikal. Menurut Becker et
al. (1994) dari Bonn, Jerman menyatakan sepuluh persen infeksi pada
sinus paranasal disebabkan oleh penyakit pada akar gigi. Granuloma
dental, khususnya pada premolar kedua dan molar pertama sebagai
penyebab rinosinusitis maksila dentogen. Hilger (1994) dari
Minnesota, Amerika Serikat menyatakan terdapat sepuluh persen
kasus rinosinusitis maksila yang terjadi setelah gangguan pada gigi.
Menurut Farhat (2004) di Medan mendapatkan insiden rinosinusitis
dentogen di Departemen THT-KL/RSUP Haji Adam Malik sebesar
13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal (71.43%).

2.4.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Etiologi sinusitis tipe dentogen ini adalah :

a. Penjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal


gigi dari gigi kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih
sering terjadi pada kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari
sinus oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada juga infeksi
mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal (Ross, 1999).

b. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan

terbukanya dasar sinus sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi

(Saragih, 2007).

c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran


infeksi dari membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa
sinus

(Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).

d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus


alveolaris dan sinus maksila (Ross, 1999).

e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan
bahan tambahan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan
(Saragih, 2007).

f. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis (Mangunkusomo;


Rifki,
2001).g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila,
seperti kista radikuler dan folikuler (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar,
2009).

h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor


dapat menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

2.4.4. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan

lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam


kompleks osteomeatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius.
Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu
lapisan viscous superficial dan

lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel


untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta
mengandungi zatzat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan
tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan
mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika
jumlahnya berlebihan (Ramalinggam, 1990;

Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis


terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika
terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya
hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel
sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik
(Kieff dan Busaba, 2004). Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi
mukus yang kurang baik pada sinus (Hilger, 1997).

Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena

infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda


sehingga jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa;
Robsen; Rahbar,

2009).

Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan


pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi
ini meluas danmengenai selaput periodontium menyebabkan
periodontitis dan iritasi akan

berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini


kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan
abses alveolar.

Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu


inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta
abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam
sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila (Drake, 1997).

Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini

berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan

kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan
merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.

2.4.5. Gejala Klinis


Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri

kepala yang tidak jelas yang biasanya reda dengan pemberian


analgetik biasanya seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan
gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu
naik dan turun tangga(Tucker dan Schow, 2008). Seringkali terdapat
nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri di tempat lain
karena nyeri alih (referred pain). Sekret mukopurulen dapat keluar
dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif
juga seringkali ada (Sobol,2011). Sinusitis maksilaris dari tipe
odontogen harus dapat dibedakan dengan rinogen karena terapi dan
prognosa keduanya sangat berlainan. Pada

sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi
serta pengeluaran pus yang berbau busuk. Di samping itu, adanya
kelainan apikal

atau periodontal mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen.


Gejala sinusitis dentogen menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe
rinogen

(Mansjoer,2001).

2.4.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut


membantu menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena
(Saragih, 2007)
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior,
nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat
dan dini (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Rinoskopi anterior
memberi gambaran anatomi dan mukosa yang edema, eritema, dan
sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret dapat menentukan sinus
mana yang terkena. Rinoskopi posterior dapatmelihat koana dengan
baik, mukosa hipertrofi atau hiperplasia (Mansjoer, 2001).

Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinusfrontal

dan maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit
akan menjadi suram atau gelap (Ross, 1999). Dengan nasal endoskopi
dapat diketahui sinus mana yang terkena dan dapat melihat adanya
faktor etiologi lokal. Tanda khas ialah adanya pus di meatus media
pada sinusitis maksila, etmoidalis anterior dan frontal atau pus di
meatus superior pada sinusitis etmoidalis posterior dan sfenoidalis
(Mehra dan Murad, 2004; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Selain
itu, nasal endoskopi dilakukan untuk menegakkan

diagnosis sinusitis akut dimana pus mengalir ke bawah konka media


dan akan jatuh ke posterior membentuk post nasal drip (Ross, 1999).

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau


CTscan. Foto polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral
umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti
sinus maksila dan frontal.

Kelainan yang akan terlihat adalah perselubungan, batas udara-cairan


(airfluid level) pada sinusitis maksila atau penebalan mukosa (Mehra
dan Murad, 2004). CT-scan sinus merupakan gold standard karena
mampu menilai

anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus
secarakeseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya
dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak
membaik dengan pengobatan

atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi


sinus (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan

mengambil sekret dari meatus media atau superior, untuk mendapat


antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang
keluar dari pungsi sinus maksila (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Kebanyakan sinusitis disebabkan infeksi oleh Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenzae,Moraxella catarrhalis.
Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal dari

gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan


pus berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung (Ross,
1999).

Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding

medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi


dapat dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat
dilakukan irigasi sinus untuk terapi (Mangunkusomo dan
Soetjipto,2007).

2.4.7. Terapi
Prinsip terapi :

a. Atasi masalah gigi

b. Konservatif dilakukan dengan memberikan obat-obatan atau irigasi

c. Operatif

Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada

sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan


pembengkakan

mukosa serta

membuka sumbatan ostium sinus (Tucker dan Schow, 2008).


Antibiotik pilihan berupa golongan penisilin seperti Amoksisilin. Jika
diperkirakan

kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat

diberikan Amoksisilin-Klavulanat atau jenis Cephalosporin generasi


kedua (Chambers dan Deck, 2009). Terapi lain dapat diberikan jika
diperlukan seperti mukolitik, analgetik, steroid oral dan topikal,
pencucian rongga hidung dengan natrium klorida atau pemanasan.
Selain itu, dapat dilakukan irigasi sinus maksilaris atau koreksi
gangguan gigi (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Bedah sinus
endoskopi fungsional (BSEF) adalah operasi pada hidung dan sinus
yang menggunakan endoskopi dengan tujuan menormalkan kembali
ventilasi sinus dan klirens mukosiliar (Longhini; Bransletter; Ferguson,
2010). Prinsip BSEF ialah membuka dan membersihkan kompleks
osteomeatal sehingga drainase dan ventilasi sinus lancar secara
alami. Selain itu, operasi Caldwell Luc dapat juga dilakukan untuk

memulihkan sumbatan sinus atau infeksi sinus maksila. Tindakan ini

dilakukan dengan mengadakan suatu rute untuk mengkoneksi sinus


maksila dengan hidung sehingga memulihkan drainase (Cho dan
Hwang, 2008).

2.4.8. Komplikasi

Komplikasi sinusitis adalah kelainan orbital disebabkan oleh sinus

paranasal yang berdekatan dengan mata. Yang paling sering ialah


sinusitis

etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi


terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang
dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal,
abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus
kavernosus (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Komplikasi lain
adalah infeksi orbital menyebabkan mata tidak dapat digerakkan serta
kebutaan karena tekanan pada nervus optikus

(Hilger, 1997).

Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat

sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada


osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula
pada pipi (Tucker dan Schow, 2008)

Infeksi otak yang paling berbahaya karena penyebaran bakteri ke


otak melalui tulang atau pembuluh darah. Ini dapat juga
mengakibatkan meningitis, abses otak dan abses ekstradural atau
subdural (Hilger, 1997).

Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronkitis

kronis dan bronkiektasi. Adanya kelainan sinus paranasal disertai


dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu, dapat juga
menyebabkan kambuhnya asma bronchial yang sukar dihilangkan
sebelum sinusitisnya disembuhkan (Ballenger, 2009).

2.4.9. Prognosis

Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan

pengobatan yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika, drainase


sinus membaik dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka
pasien mempunyai prognosis yang baik (Mehra dan Murad, 2004).

POLIP

2.2 Definisi

Polip nasi adalah suatu proses inflamasi kronis pada mukosa hidung
dan sinus paranasi yang ditandai dengan adanya massa yang
edematous pada rongga hidung (Erbek et al,2007).

Polip nasi dapat pula didefinisikan sebagai kantong mukosa yang


edema, jaringan fibrosus, pembuluh darah, sel-sel inflamasi dan
kelenjar (Tos & Larsen,2001).

Polip nasi muncul seperti anggur pada rongga hidung bagian atas,
yang berasal dari dalam kompleks ostiomeatal. Polip nasi terdiri dari
jaringan ikat longgar, edema, sel-sel inflamasi dan beberapa kelenjar
dan kapiler dan ditutupi dengan berbagai jenis epitel, terutama epitel
pernafasan pseudostratified dengan silia dan sel goblet (Fokkens et
al,2007).

Gambar 3. Polip Nasi (Archer 2009)

2.4 Etiologi dan Patogenesis

Banyak teori yang menyatakan bahwa polip merupakan manifestasi


utama dari inflamasi kronis, oleh karena itu kondisi yang
menyebabkan inflamasi kronis dapat menyebabkan polip nasi.
Beberapa kondisi yang berhubungan dengan polip nasi seperti alergi
dan non alergi, sinusitis alergi jamur, intoleransi aspirin, asma,
sindrom Churg-Strauss (demam, asma, vaskulitis eosinofilik,
granuloma), fibrosis kistik, Primary ciliary dyskinesia, Kartagener
syndrome (rinosinusitis kronis, bronkiektasis, situs inversus), dan
Young syndrome (sinopulmonary disease, azoospermia, polip nasi)
(Kirtreesakul 2002).

Beberapa mekanisme lain terbentuknya polip nasi juga telah


dikemukakan antara lain ketidak seimbangan vasomotor, gas NO,
superantigen, gangguan transportasi ion transepitel, gangguan
polisakarida, dan ruptur epitel (Assanasen 2001, Kirtreesakul 2002).

Patogenesis polip nasi masih belum diketahui. Perkembangan polip


telah dihubungkan dengan inflamasi kronik, disfungsi sistem saraf
autonom dan predisposisi genetik. Berbagai keadaan telah
dihubungkan dengan polip nasi, yang dibagi menjadi rinosinusitis
kronik dengan polip nasi eosinofilik dan rinosinuritis kronik dengan
polip nasi non eosinofilik, biasanya neutrofilik (Drake Lee,1997;
Ferguson & Orlandi,2006; Mangunkusumo & Wardani 2007).

Pada penelitian akhir-akhir ini dikatakan bahwa polip berasal dari


adanya epitel mukosa yang rupture oleh karena trauma, infeksi, dan
alergi yang menyebabkan edema mukosa, sehingga jaringan menjadi
prolaps (King 1998). Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara
yang mengalir melalui tempat yang sempit akan mengakibatkan
tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan
terisap oleh tekanan negatif sehingga mengakibatkan edema mukosa
dan pembentukan polip. Fenomena ini menjelaskan mengapa polip
kebanyakan berasal dari area yang sempit di kompleks ostiomeatal di
meatus media. Walaupun demikian polip dapat timbul dari tiap bagian
mukosa hidung atau sinus paranasi dan sering kali bilateral atau
multiple (Nizar & Mangunkusumo 2001).
2.5 Gejala dan Tanda

Gejala utama dari polip nasi adalah sumbatan hidung yang terus
menerus namun dapat bervariasi tergantung dari lokasi polip. Pasien
juga mengeluh keluar ingus encer dan post nasi drip. Anosmia dan
hiposmia juga menjadi ciri dari polip nasi. Sakit kepala jarang terjadi
pada polip nasi (Drake Lee 1997, Ferguson et al 2006).

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior dapat dijumpai


massa polipoid, licin, berwarna pucat keabu-abuan yang kebanyakan
berasal dari meatus media dan prolaps ke kavum nasi. Polip nasi tidak
sensitif terhadap palpasi dan tidak mudah berdarah (Newton et al
2008).

Pemeriksaan nasoendoskopi memberikan visualisasi yang baik


terutama pada polip yang kecil di meatus media (Assanasen 2001).
Penelitian Stamberger pada 200 pasien polip nasi yang telah dilakukan
bedah sinus endoskopik fungsional ditemukan polip sebanyak 80% di
mukosa meatus media, processus uncinatus dan infundibulum (Tos
2001). Stadium polip berdasarkan pemeriksaan nasoendoskopi
menurut Mackay dan Lund dibagi menjadi stadium 0: tanpa polip,
stadium 1: polip terbatas di meatus media, stadium 2: polip di bawah
meatus media, stadium 3: polip masif (Assanasen 2001). Polip nasi
hampir semuanya bilateral dan bila unilateral membutuhkan
pemeriksaan histopatologi untuk menyingkirkan keganasan atau
kondisi lain seperti papiloma inverted (Newton et al 2008).

Pada pemeriksaan histopatologi, polip nasi ditandai dengan epitel


kolumnar bersilia, penebalan dasar membran, stoma edematous
tanpa vaskularisasi dan adanya infiltrasi sel plasma dan eosinofil.
Eosinofil dijumpai sebanyak 85% pada polip dan sisanya merupakan
neutrofil (Bernstein 2001, Bachert et al 2003, Newton et al 2008).

Berdasarkan penemuan histopatologi, Hellquist HB


mengklassifikasikan polip nasi menjadi 4 tipe yaitu : (I) Eosinophilic
edematous type (stroma edematous dengan eosinofil yang banyak),
(II) Chronic inflammatory or fibrotic type (mengandung banyak sel
inflamasi terutama limfosit dan neutrofil dengan sedikit eosinofil), (III)
Seromucinous gland type (tipe I+hiperplasia kelenjar seromucous), (IV)
Atypical stromal type (Kirtsreesakul 2002, Kim 2002).

2.6 Diagnosis

Diagnosis polip nasi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan rinoskopi anterior, pemeriksaan nasoendoskopi
(Assanasen 2001, Ferguson et al 2006, Fokkens et al 2007).

2.7 Penatalaksanaan

Polip nasi sangat mengganggu pada kebanyakan pasien. Penyakit ini


sering berulang dan memerlukan pengobatan yang lama sampai
bertahun-tahun. Dengan demikian pengobatannya bertujuan untuk
mengurangi besarnya atau menghilangkan polip agar aliran udara
hidung menjadi lapang dan penderita dapat bernafas dengan baik.
Selanjutnya gejala-gejala rinitis dapat dihilangkan dan fungsi
penciuman kembali normal. Terdapat beberapa pilihan pengobatan
untuk polip nasi mulai dari pemberian obat-obatan, pembedahan
konvensional sederhana dengan menggunakan snare polip sampai
pada bedah endoskopi yang memakai alat lebih lengkap. Walaupun
demikian, angka kekambuhan masih tetap tinggi sehingga
memerlukan sejumlah operasi ulang (Munir 2006).

Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi adalah


menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah
rekurensi polip. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip
nasi disebut juga polipektomi medikamentosa. Dapat di berikan
topikal atau sistemik. Polip eosinofilik memberikan respon yang lebih
baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasi dibandingkan polip
tipe neutrofilik. Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi
medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk
terapi bedah (Mangunkusumo, Wardani 2007).

Penanganan polip nasi adalah obat-obatan, pembedahan atau


kombinasi antara keduanya. Pembedahan merupakan pengangkatan
polip dari rongga hidung atau pembedahan yang lebih ekstensif
melibatkan sinus-sinus paranasal (Bateman 2003).

Tujuan dari penanganan polip nasi adalah untuk mengeliminasi atau


secara signifikan mengurangi ukuran polip nasi sehingga meredakan
gejala hidung tersumbat, beringus, perbaikan dalam drainase sinus,
restorasi penciuman dan pengecapan (Newton 2008).

Anda mungkin juga menyukai