Anda di halaman 1dari 39

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Airway Management ialah memastikan jalan napas tetap terbuka. tindakan

paling penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkang saluran

pernapasan, yaitu dengan cara Tripel airway maneuver.

Pada Triple Airway Manuever terdapat tiga perlakuan yaitu:

Kepala ditengadahkan dengan satu tangan berada di bawah leher,

sedangkan tangan yang lain pada dahi. Leher diangkat dengan satu

tangan dan kepala ditengadahkan ke belakang oleh tangan yang lain

Menarik rahang bawah ke depan, atau keduanya, akan mencegah

obtruksi hipofarings oleh dasar lidah. Kedua gerakan ini meregangkan

jaringan antara larings dan rahang bawah.

Menarik / mengangkat dasar lidah dari dinding pharyinx posterior.

2.2 Anatomi

Batas hipofaring disebelah superior adalah tepi atas epiglottis, batas anterior

ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra

cervical. Bila hipofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring

tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka

struktur pertama yang tampak dibawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini

merupakan dua buah cekuangan yang dibentuk oleh ligamentum glossoepiglotika

medial dan ligamnetum glossoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga

2
3

kantong pil, sebab pada beberapa orang kadang-kadang bila menelan pil akan

tersangkut disitu.

Dibawah valekula terdapat epiglottis yang berfungsi untuk melindungi glottis

ketika menelan minuman atau bolus makanan.

Daerah yang sering mengalami sumbatan jalan napas adalah hipofaring,

terjadi pada pasien koma ketika otot lidah dan leher yang lemas tidak dapat

mengangkat dasar lidah dari dinding belakang faring. Ini terjadi jika kepala pada

posisi fleksi atau posisi tengah. Oleh karena itu ekstensi kepala merupakan langkah
4

pertama yang terpenting dalam resusitasi, karena gerakan ini akan meregangkan

struktur leher anterior sehingga dasar lidah akan terangkat dari dinding belakang

faring. Kadang-kadang sebagai tambahan diperlukan pendorongan mandibula

kedepan untuk meregangkan leher anterior, lebih-lebih jika sumbatan hidung

memerlukan pembukaan mulut. Hal ini akan mengurangi regangan struktur leher

tadi. Kombinasi ekstensi kepala, pendorongan mandibula kedepan dan pembukaan

mulut merupakan gerak jalan napas tripel. Pada kira-kira 1/3 pasien yang tidak

sadar rongga hidung tersumbat selama ekspirasi karena palatum molle bertindak

sebagai katup. Selain itu rongga hidung dapat tersumbat oleh kongesti, darah atau

lendir Jika dagu terjatuh, maka usaha inspirasi dapat menghisap dasar lidah ke

posisi yang menyumbat jalan napas. Sumbatan jalan napas oleh dasar lidah

bergantung kepada posisi kepala dan mandibula serta dapat saja terjadi lateral,

terlentang atau telungkup. Walaupun gravitasi dapat menolong drainase benda

asing cair, gravitasi ini tidak akan meringankan sumbatan jaringan lunak

hipofaring, sehingga gerak mengangkat dasar lidah seperti diterangkan diatas tetap

diperlukan.

Penyebab lain sumbatan jalan napas adalah benda asing, seperti muntahan

atau daah dijalan napas atas yang tidak dapat ditelan atau dibatukkan keluar oleh

pasien yang tidak sadar. Laringospame biasanya disebabkan oleh rangsangan jalan

nafas atas pada pasien stupor atau koma dangkal. Sumbatan jalan nafas bawah dapat

disebabkan oleh bronkospasme, sekresi bronkus, sembab mukosa, inhalasi isi

lambung atau benda asing.


5

2.3 Pengelolaan Jalan Nafas

Terdapat 2 cara untuk mengelola jalan nafas:

2.3.1 Pengelolaan Jalan Nafas tanpa Alat

Adalah tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan napas dengan

tetap memperhatikan kontrol servikal. Terlebih dahulu pernafasan dinilai dengan

cara:

L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi

sela iga, warna mukosa/kulit dan kesadaran

L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan

F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan

pipi penolong

Selanjutnya, tindakan pengelolaan jalan nafas yang dapat dilakukan adalah:

1. Membuka jalan nafas dengan proteksi cervical

a. Chin Lift

Dilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah ke depan.

Caranya yaitu dengan menggunakan jari tengah dan telunjuk untuk memegang

tulang dagu pasien kemudian angkat.

b. Head Tilt

Dlilakukan bila jalan nafas tertutup oleh lidah pasien, manuver ini tidak

boleh dilakukan pada pasien dengan dugaan fraktur servikal. Caranya adalah

dengan meletakkan satu telapak tangan di dahi pasien dan tekan ke bawah sehingga
6

kepala menjadi tengadah dan penyangga leher tegang dan lidahpun terangkat ke

depan.

c. Jaw thrust

Caranya adalah dengan mendorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah

depan sehingga barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas. Pada pasien

dengan dugaan cedera leher dan kepala, hanya dilakukan maneuver jaw

thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher.

Untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan

teknik Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang

disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah. Bila jalan nafas tersumbat karena

adanya benda asing dalam rongga mulut dilakukan pembersihan manual dengan

sapuan jari.

Apabila terjadi kegagalan dalam membuka nafas dengan cara ini, perlu

dipikirkan hal lain yaitu adanya sumbatan jalan nafas di daerah faring atau adanya

henti nafas (apnea). Bila hal ini terjadi pada penderita tidak sadar, lakukan peniupan

udara melalui mulut, bila dada tidak mengembang, maka kemungkinan ada

sumbatan pada jalan nafas dan dilakukan maneuver Heimlich.

Tanda-tanda adanya sumbatan (ditandai adanya suara nafas tambahan):

Mendengkur (snoring), berasal dari sumbatan pangkal lidah. Cara

mengatasi: chin lift, jaw thrust, pemasangan pipa orofaring/nasofaring,

pemasangan pipa endotrakeal.


7

Berkumur (gargling), penyebab: ada cairan di daerah hipofaring. Cara

mengatasi: finger sweep, pengisapan/suction.

Stridor (crowing), sumbatan di plika vokalis. Cara mengatasi:

cricotirotomi, trakeostomi.

2. Membersihkan jalan nafas

Sapuan jari (finger sweep)

Dilakukan bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing pada rongga

mulut belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah, muntahan, benda asing

lainnya sehingga hembusan nafas hilang. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:

Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher)

kemudian buka mulut dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah bila otot

rahang lemas (maneuver emaresi)

Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus

dengan sarung tangan/kassa/kain untuk membersihkan rongga mulut

dengan gerakan menyapu.

3. Mengatasi sumbatan nafas parsial

Dapat digunakan teknik manual thrust:

a. Abdominal Thrust (Manuver Heimlich)

Manuver ini dapat dilakukan dalam posisi berdiri dan terlentang. Caranya

adalah dengan memberikan hentakan mendadak pada ulu hati (daerah subdiafragma

abdomen). Penolong harus berdiri di belakang korban, lingkari pinggang korban


8

dengan kedua lengan penolong, kemudian kepalkan satu tangan dan letakkan sisi

jempol tangan kepalan pada perut korban, sedikit di atas pusar dan di bawah ujung

tulang sternum. Pegang erat kepalan tangan dengan tangan lainnya. Tekan kepalan

tangan ke perut dengan hentakan yang cepat ke atas. Setiap hentakan harus terpisah

dan gerakan yang jelas.

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi tergeletak (tidak

sadar)

Korban harus diletakkan pada posisi terlentang dengan muka ke atas.

Penolong berlutut di sisi paha korban. Letakkan salah satu tangan pada perut korban

di garis tengah sedikit di atas pusar dan jauh di bawah ujung tulang sternum, tangan

kedua diletakkan di atas tangan pertama. Penolong menekan ke arah perut dengan

hentakan yang cepat ke arah atas.

Berdasarkan ILCOR yang terbaru, cara abdominal thrust pada posisi

terbaring tidak dianjurkan, yang dianjurkan adalah langsung melakukan Resusitasi

Jantung Paru (RJP).

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada yang dilakukan sendiri

Pertolongan terhadap diri sendiri jika mengalami obstruksi jalan napas.

Caranya : kepalkan sebuah tangan, letakkan sisi ibu jari pada perut di atas pusar dan

di bawah ujung tulang sternum, genggam kepala itu dengan kuat, beri tekanan ke

atas kea rah diafragma dengan gerakan yang cepat, jika tidk berhasil dapat

dilakukan tindakan dengan menekan perut pada tepi meja atau belakang kursi
9

b. Back Blow (untuk bayi)

Bila penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat. Bila nafas tidak

efektif atau berhenti, lakukan back blow 5 kali (hentakan keras pada punggung

korban di titik silang garis antar belikat dengan tulang punggung/vertebrae)

c. Chest Thrust (untuk bayi, anak yang gemuk dan wanita hamil)

Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan

tulang dada dengan jari telunjuk atau jari tengah kira-kira satu

jari di bawah garis imajinasi antara kedua putting susu pasien).

Bila penderita sadar, tidurkan terlentang, lakukanchest thrust,

tarik lidah apakah ada benda asing, beri nafas buatan.

2.3.2 Pengelolaan Jalan Nafas dengan Alat

Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas pada pasien yang dianestesi

menyebabkan lidah dan epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring.

Mengubah posisi kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai untuk

membebaskan jalan nafas. Untuk mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas

buatan (artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk

menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian

posterior (Gambar 5-4). Pasien yang sadar atau dalam anestesi ringan dapat terjadi

batuk atau spasme laring pada saat memasang jalan nafas artifisial bila refleks laring

masih intact. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan


10

penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah dengan

spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80 mm/Guedel No 3),

medium (90 mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel no 5).

Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang hidung

ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway. Disebabkan

adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan pada pasien yang

diberi antikoagulan atau anak dengan adenoid. Juga, nasal airway jangan

digunakan pada pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa yang dimasukkan

melalui hidung (nasal airway, pipa nasogastrik, pipa nasotrakheal) harus

dilubrikasi.Nasal airway lebih ditoleransi daripada oral airway pada pasien dengan

anestesi ringan.

a. Face Mask
11

Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas

anestesi dari sistem breathing ke pasien dengan pemasangan face mask dengan

rapat (gambar 5-5). Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk muka

pasien. Orifisium face mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin anestesi melalui

konektor. Face mask yang transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi dan

muntahan. Facemask yang dibuat dari karet berwarna hitam cukup lunak untuk

menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak umum. Retaining hook dipakai

untuk mengkaitkan head scrap sehingga face mask tidak perlu terus dipegang.

Beberapa macam mask untuk pediatrik di disain untuk mengurangi dead space.

Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face

mask yang rapat/tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat dapat

menyebabkan reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini menunjukkan

adanya kebocoran sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit breathing yang

tinggi dengan pergerakan dada dan suara pernafasan yang minimal menunjukkan

adanya obstruksi jalan nafas.


12

Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk

melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras breathing bag. Face

mask dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask dengan ibu

jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk ekstensi joint

atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan pada jaringan

lunak yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan nafas. Jari

kelingking ditempatkan dibawah sudut jaw dan digunakan untuk jaw

thrust manuver yang paling penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien.
13

Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw thrust

yang adekuat dan face mask yang rapat. Karena itu diperlukan seorang asisten untuk

memompa bag (gambar 5-8). Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan karena

tekanan kuat dari face mask atau efek ball-valve dari jaw thrust. Kadang-kadang

sulit memasang face maks rapat kemuka. Membiarkan gigi palsu pada tempatnya

(tapi tidak dianjurkan) atau memasukkan gulungan kasa ke rongga mulut mungkin

dapat menolong mengatasi kesulitan ini. Ventilasi tekanan normalnya jangan

melebihi 20 cm H2O untuk mencegah masuknya udara ke lambung.

Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask dan

oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama dapat

menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau fasial. Bila

face mask dan ikatan mask digunakan dalam jangka lama maka posisi harus sering
14

dirubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan pada mata, dan mata harus

diplester untuk menghindari resiko aberasi kornea.

b. Laryngeal Mask Airway (LMA)

Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face mask dan

TT selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi dan pemasangan TT

pada pasien dengan difficult airway, dan untuk membantu ventilasi selama

bronchoscopy fiberoptic, juga pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki kelebihan

istimewa dalam menentukan penanganan kesulitan jalan nafas dibandingkan

combitube. Ada 4 tipe LMA yang biasa digunakan: LMA yang dapat dipakai ulang,

LMA yang tidak dapat dipakai ulang, ProSeal LMA yang memiliki lubang untuk

memasukkan pipa nasogastrik dan dapat digunakan ventilasi tekanan positif, dan

Fastrach LMA yang dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan nafas

yang sulit.
15

LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian

proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm,

dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat

pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara

membuta ke hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah


16

ada di muara laring. Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam

dibandingkan untuk memasukan oral airway. Posisi ideal dari balon adalah dasar

lidah di bagian superior, sinus pyriforme dilateral, dan spincter oesopagus bagian

atas di inferior. Jika esophagus terletak di rim balon, distensi lambung atau

regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi anatomi mencegah fungsi LMA yang

adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi, jika LMA tidak berfungsi semestinya

dan setelah mencoba memperbaiki masih tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba

dengan LMA lain yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil. Karena penutupan

oleh epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab kegagalan terbanyak, maka

memasukkan LMA dengan penglihatan secara langsung dengan laringoskop atau

bronchoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan pada kasus yang sulit. Demikian

juga, sebagian balon digembungkan sebelum insersi dapat sangat membantu. Pipa

di plester seperti halnya TT. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak

terhadap regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya

sampai reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk

atau membuka mulut sesuai dengan perintah. LMA yang dapat dipakai lagi, dapat

di autoklaf, dibuat dari karet silikon (bebas latek) dan tersedia dalam berbagai

ukuran (tabel 5-3).


17

LMA memberikan alternatif untuk ventilasi selain face mask atau TT.

Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya abses),

sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal), atau

komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang memerlukan

tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Secara tradisional, LMA

dihindari pada pasien dengan bronkhospasme aatau resistensi jalan nafas tinggi,

akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa karena tidak ditempatkan dalam

trakhea, penggunaan LMA dihubungkan dengan kejadian bronchospasme lebih

kurang dari pada dengan TT. Walaupun hal ini nyata tidak sebagai penganti untuk

trakheal intubasi, LMA membuktikan sangat membantu terutama pada pasien

dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi)

disebabkan mudah untuk memasangnya dan angka keberhasilannya relatif besar

(95-99%). LMA telah digunakan sebagai pipa untuk jalur stylet ( gum elastik,

bougie), ventilasi jet stylet, fleksibel FOB, atau TT diameter kecil (6,0 mm).
18

Tersedia LMA yang telah dimodifikasi untuk memfasilitasi penempatan TT yang

lebih besar dengan atau tanpa menggunakan FOB. Pemasukannya dapat dilakukan

dibawah anestesi topikal dan blok saraf laringeal bilateral jika jalan nafas harus

bebas seraya pasiennya sadar.

c. Esophageal Tracheal Combitube (ETC)

Pipa kombinasi esophagus tracheal (ETC) terbuat dari gabungan 2 pipa,

masing-masing dengan konektor 15 mm pada ujung proksimalnya. Pipa biru yang

lebih panjang ujung distalnya ditutup. Pipa yang tranparant berukuran yang lebih

pendek punya ujung distal terbuka dan tidak ada sisi yang perporasi. ETC ini

biasanya dipasangkan secara buta melalui mulut dan dimasukkan sampai 2

lingkaran hitam pada batang batas antara gigi atas dan bawah. ETC mempunyai 2

balon untuk digembungkan, 100 ml untuk balon prosikmal dan 15 ml untuk balon

distal, keduanya harus dikembungkan secara penuh setelah pemasangan. Pipa yang

bening yang lebih pendek dapat digunakan untuk dekompresi lambung. Pilihan lain,

jika ETC masuk ke dalam trakhea, ventilasi melalui pipa yang bening akan

langsung gas ke trachea. Meskipun pipa kombinasi masih rerdaftar sebagai pilihan

untuk penanganan jalan nafas yang sulit dalam algoritma Advanced Cardiac Life

Support, biasanya jarang digunakan oleh dokter anestesi yang lebih suka memakai

LMA atau alat lain untuk penanganan pasien dengan jalan nafas yang sulit.

d. Pipa Tracheal (TT)

TT digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke dalam trachea dan

mengijinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi. Pabrik menentukan standar TT

(American National Standards for Anesthetic Equipment; ANSI Z-79). TT


19

kebanyakan terbuat dari polyvinylchloride. Pada masa lalu, TT diberi tanda IT

atau Z-79 untuk indikasi ini telah dicoba untuk memastikan tidak beracun.

Bentuk dan kekakuan dari TT dapat dirubah dengan pemasangan mandren. Ujung

pipa diruncingkan untuk membantu penglihatan dan pemasangan melalui pita

suara. Pipa Murphy memiliki sebuah lubang (mata Murphy) untuk mengurangi

resiko sumbatan pada bagian distal tube bila menempel dengan carina atau trachea.

Tahanan aliran udara terutama tergantung dari diameter pipa, tapi ini juga

dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya. Ukuran TT biasanya dipola

dalam milimeter untuk diameter internal atau yang tidak umum dalam scala Prancis

(diameter external dalam milimeter dikalikan dengan 3). Pemilihan pipa selalu hasil

kompromi antara memaksimalkan flow dengan pipa ukuran besar dan

meminimalkan trauma jalan nafas dengan ukuran pipa yang kecil.

Kebanyakan TT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri

dari katup, balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangkan balon, dan balon

(cuff). Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk

memberikan petunjuk kasar dari balon yang digembungkan. Inflating tube

dihubungkan dengan klep. Dengan membuat trakhea yang rapat, balon TT

mengijinkan dilakukannya ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan

aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak untuk

meminimalkan resiko dari cedera karena tekanan dan post intubasi croup.
20

Ada 2 tipe balon TT yaitu balon dengan tekanan tinggi volume rendah dan

tekanan rendah volume tinggi. Balon tekanan tinggi dikaitkan dengan besarnya

iskhemia mukosa trachea dan kurang nyaman untuk intubasi pada waktu lama.

Balon tekanan rendah dapat meningkatkan kemungkinan nyeri tenggorokan (luas

area kontak mukosa), aspirasi, ekstubasi spontan, dan pemasangan yang sulit (

karena adanya floppy cuff). Meskipun demikian, karena insidensi rendah dari

kerusakan mukosa, balon tekanan rendah lebih dianjurkan.

Tekanan balon tergantung dari beberapa faktor: volume pengembangan,

diameter balon yang berhubungan dengan trachea, trachea dan komplians balon,

dan tekanan intratorak (tekanan balon dapat meningkat pada saat batuk). Tekanan

balon dapat menaik selama anetesi umum sebagai hasil dari difusi dari N2O dari

mukosa tracheal ke balon TT.

TT telah dimodifikasi untuk berbagai penggunaan khusus. Pipa yang lentur,

spiral, wire reinforced TT (armored tubes), tidak kinking dipakai pada operasi

kepala dan leher, atau pada pasien dengan posisi telungkup. Jika pipa lapis baja

menjadi kinking akibat tekanan yang ekstrim ( contoh pasien bangun dan menggigit

pipa), lumen pipa akan tetutup dan pipa TT harus diganti. Pipa khusus lainnya
21

termasuk pipa mikrolaringeal, RAE tube, dan lubang pipa ganda (double lumen

tube). Semua TT memiliki garis yang dilekatkan dan bersifat radiogopak yang

mengijinkan dapat dilihatnya ETT pada trachea.

e. Rigid Laryngoscope

Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas

intubasi trachea. Handle biasanya berisi batre untuk cahaya bola lampu pada ujung

blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade. Cahaya

dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar.

Laringoskop dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang MRI.

Blade Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus. Pemilihan dari

blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan karena

tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus familier dan ahli

dengan bentuk blade yang beragam.


22

f. Laringoskop Khusus

Dalam 15 tahun terakhir, terdapat 2 laringskop baru yang telah dibuat, untuk

membantu dokter anestesi menjamin jalan nafas pada pasien dengan jalan nafas

yang sulit- Laringokop Bullard dan laringoskop Wu


23

Keduanya memiliki sumber cahaya fiberoptic dan blade yang melengkung

dengan ujung yang panjang, dan didisain untuk membantu melihat muara glotis

pada pasien dengan lidah besar atau yang memiliki muara glotis sangat anterior.

Banyak dokter anestesi percaya bahwa alat ini untuk mengantisipasi pasien yang

memiliki jalan nafas sulit. Bagaimanapun juga, seperti halnya alat-alat lain yang

digunakan jalan nafas pasien, pengalaman penggunaannya harus dilakukan pada

pasien normal sebelum digunakan pada saat penting dan memergensi pada pasien

dengan jalan nafas sulit.

g. Flexible Fiberoptic Bronchoscope (FOB)

Dalam beberapa situasi, -misalnya pasien dengan tulang cervical yang tidak

stabil, pergerakan yang terbatas pada temporo mandibular join, atau dengan

kelainan kongenital atau kelainan didapat pada jalan nafas atas- laringoskopi

langsung dengan penggunakan rigid laringoskop mungkin tidak dipertimbangkan

atau tidak dimungkinkan. Suatu FOB yang feksibelmemungkin visualisasi tidak

langsung dari laring dalam beberapa kasus atau untuk beberapa situasi dimana

direncanakan intubasi sadar (awake intubation). FOB dibuat dari fiberglass ini

mengalirkan cahaya dan gambar oleh refleksi internal-contohnya sorotan cahaya


24

akan terjebak dalam fiber dan terlihat tidak berubah pada sisi yang berlawanan.

Pemasangan pipa berisi 2 bundel dari fiber, masing-masing berisi 10.000 15.000

fiber. Satu bundel menyalurkan cahaya dari sumber cahaya ( sumber cahaya

bundel) yang terdapat diluar alat atau berada dalam handle yang memberikan

gambaran resolusi tinggi.

Manipulasi langsung untuk memasangkan pipa dilakukan dengan kawat

yang kaku. Saluran aspirasi digunakan untuk suction dari sekresi, insuflasi

oksigen atau penyemprotan anestesi lokal. Saluran aspirasi sulit untuk

dibersihkan, akan tetapi, sebagai sumber infeksi sehingga memerlukan

kehati-hatian pada pembersihan dan sterilisasi telah digunakan.

2.4 Intubasi

2.4.1 Pengertian Intubasi

Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau

hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan


25

intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea

ke dalam trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga

ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan

bifurkasio trakea. Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal

melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing sebelum laryngoscopy.

2.4.2 Tujuan Intubasi

Tujuan dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut :

a. Mempermudah pemberian anesthesia.

b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran

pernapasan.

c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak sadar,

lambung penuh dan tidak ada reflex batuk).

d. Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.

e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

f. Mengatasi obstruksi laring akut 7

2.4.3 Indikasi dan kontraindikasi Intubasi

Indikasi intubasi endotrakeal yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan

saluran udara yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang,

meminimalkan risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan

keadaan gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi

yang tidak adekuat, ventilasi dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan,

menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala,

memungkinkan berbagai posisi (misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke


26

bawah), menjaga darah dan sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran napas.

Perawatan kritis: mempertahankan saluran napas yang adekuat, melindungi

terhadap aspirasi paru, kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret

pulmonal. Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah : trauma servikal yang

memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit

untuk dilakukan intubasi.

Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan pada pasien-pasien yang akan menjalani

operasi maupun tindakan intraoral. Dibandingkan dengan pipa orotrakeal, diameter

maksimal dari pipa yang digunakan pada intubasi nasotrakeal biasanya lebih kecil

oleh karenanya tahanan jalan napas menjadi cenderung meningkat. Intubasi

nasotrakeal pada saat ini sudah jarang dilakukan untuk intubasi jangka panjang

karena peningkatan tahanan jalan napas serta risiko terjadinya sinusitis. Teknik ini

bermanfaat apabila urgensi pengelolaan airway tidak memungkinkan foto servikal.

Intubasi nasotrakeal secara membuta (blind nasotrakeal intubation) memerlukan

penderita yang masih bernafas spontan. Prosedur ini merupakan kontraindikasi

untuk penderita yang apnea. Makin dalam penderita bernafas, makin mudah

mengikuti aliran udara sampai ke dalam laring. Kontraindikasi lain dari

pemasangan pipa nasotrakeal antara lain fraktur basis cranii, khususnya pada tulang

ethmoid, epistaksis, polip nasal, koagulopati, dan trombolisis.

Indikasi intubasi fiber optik yaitu kesulitan intubasi (riwayat sulit dilakukan

intubasi, adanya bukti pemeriksaan fisik sulit untuk dilakukan intubasi), diduga

adanya kelainan pada saluran napas atas, trakea stenosis dan kompresi, menghindari
27

ekstensi leher (insufisiensi arteri vertebra, leher yang tidak stabil), resiko tinggi

kerusakan gigi (gigi goyang atau gigi rapuh), dan intubasi pada keadaan sadar.

2.4.4 Kesulitan Intubasi

Selama anestesi, angka terjadinya kesulitan intubasi berkisar 3-

18%.Kesulitan dalam intubasi ini berhubungan dengan komplikasi yang serius,

terutama bila intubasi tersebut gagal. Hal ini merupakan salah satu

kegawatdaruratan yang akan ditemui oleh dokter anestesi. Apabila anestetis dapat

memprediksi pasien yang kemungkinan sulit untuk diintubasi, hal ini mungkin

dapat mengurangi resiko anestesi yang lebih besar. Salah satu klasifikasi yang luas

digunakan adalah klasifikasi oleh Cormack-Lehane yang menggambarkan laring

bila dilihat dengan laringoskopi.

Gambar. Klasifikasi tampilan pada laringoskopi.Kelas I pita suara

terlihat, kelas II pita suara terlihat sebagian, kelas ii hanya terlihat epiglotis,

dan kelas IV epiglotis tidak terlihat.


28

Mallampati merupakan tes skrining simpel yang luas digunakan sekarang.

Pasien duduk di depan anestetis dan membuka mulutnya lebar. Secara klinis,

tingkat 1 memprediksi intubasi yang mudah dan tingkat 3 atau 4 mengesankan

pasien akan sulit diintubasi. Hasil dari tes ini dipengaruhi oleh kemampuan

membuka mulut, ukuran dan mobilitas lidah dan struktur intra-oral lainnya, serta

pergerakan craniocervical junction.

Thyromental distance diukur dari thyroid notch ujung rahang dengan kepala

yang diekstensikan.Jarak normal adalah 6,5 cm atau lebih dan ini juga tergantung

anatomi termasuk posisi laring.Bila jaraknya kurang dari 6 cm maka intubasi tidak

memungkinkan.

Sternomental distance diukur dari sternum sampai ujung mandibula dengan

kepala ekstensi dan ini dipengaruhi oleh ekstensi leher. Jarak sternomental 12,5 cm

atau kurang diperkirakan akan sulit untuk diintubasi.

Extension at the atlanto-axial joint dilakukan dengan menyuruh pasien

untuk memfleksikan leher mereka dengan menengadahkan dan menundukkan

kepala.Penurunan gerakan sendi ini berhubungan dengan kesulitan intubasi.

Protrusion of the mandible merupakan gambaran mobilitas dari

mandibula.Bila pasien dapat menonjolka gigi bawah, intubasi biasanya mudah.

Beberapa penelitian mencoba memprediksi kesulitan intubasi dengan melihat

anatpomi mandibula dengan sinar X. Hal ini menunjukkan kedalaman mandibula,

namun hal ini tidak umum dilakukan sebagai tes skrining

Tahun 1993, American Society of Anesthesiologists (ASA) menuliskan

algoritma American Society of Anesthesiologists Difficulty Airway.Langkah


29

pertama dari algoritma ini meliputi penilaian kesulitan intubasi menggunakan

laringoskop. Tiga gambaran yang dilaporkan berhubungan dengan laringoskopi

yang sulit meliputi ukuran lidah dalam faring (Mallampati), keterbatasan mobilitas

leher, dan jarak thyromental yang pendek.

Karaketristik fisik yang berhubungan kesulitan intubasi meliputi obesitas,

pergerakan kepala dan leher, pergerakan rahang, mandibula, gigi tonggos, nilai

Mallampati, karakteristik maksilaris, laki-lai, usia 40-59, penurunan dalam

membuka mulut, pendeknya jarak thyromental, dan leher pendek.

Pelatihan manajemen nasional kegawatdaruratan jalan nafas US

mencanangkan metode LEMON. Sistem penilaian ini meliputi sebagian besar

karakteristik yang disebutkan sebelumnya dan diadaptasi untuk digunakan pada

ruang resusitasi.

L= Look externally

Lihat pasien keseluruhan luar untuk mengetahui penyebab kesulitan

laringoskopi, intubasi, atau ventilasi. Yang biasanya dilihat adalah bentuk wajah

abnormal (subjektif), gigi seri yang lebar/menonjol, gigi palsu (sulit dinilai)

E= Evaluate the 3-3-2 rule

Hubungan faring, laring dan oral berhubungan dengan intubasi. Jarak antara

gigi seri pasien sekurangnya 3 jari (3), jarak antara tulang hyoid dan dagu

sekurangnya 3 jari (3), dan jarak antara thyroid notch dan dasar mulut sekurangnya

2 jari (2).
30

Gambar . 1 jarak antar gigi seri dalam jari, 2 jarak hyoidmental dalam jari, dan 3

jarak thyroid ke dasar mulut dalam jari

M= Mallampati

O= Obstruction

Beberapa kondisi dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas yang membuat

sulitnya laringoskopi dan ventilasi.Selain keadaan epiglotis, adanya abses

peritonsiler dan trauma.

N= Neck mobility

Ini merupakan hal yang vital dalam keberhasilan intubasi.Hal ini dapat dinilai

mudah dengan menyuruh pasien menundukkan kepala dan kemudian

menengadahkannya. Pasien dengan imobilisasi leher lebih sulit diintubasi

Cara penilaian LEMON dapat dilihat dalam tabel berikut, dengan nilai

maksimal 10 (1 point ditambahkan bila nilai Mallampati 3 atau lebih) dan minimal

adalah nol.
31

Pasien dengan gigi seri yang lebar mengurangi pembukaan mulut, kurangnya

jarak antara thyroid dan dasar mulut menghasilkan penglihatan yang kurang dari

laringoskopi.Pasien dengan kurangnya jarak hyoid dan dagu, obstruksi jalan nafas,

dan kurangnya mobilitas leher mempunyai pengaruh dalm penglihatan yang kurang

pula walaupun faktor tersebut tidak signifikan.

Selama kunjungan pre-anestesi, ahli anestesi dapat memperkirakan resiko

kesulitan dalam intubasi, untuk mengantisipasi manajemen jalan nafas yang sulit

meliputi peralatan jalan nafas alternatif.Deteksi pre-operasi pasien ada tidaknya

resiko kesulitan intubasi adalah langkah awal dalam manajemen jalan nafas.
32

Klasifikasi IDS

Skala kesulitan intubasi (IDS) diajukan pada tahun 1997 sebagai karakteristik

dan standarisasi dalam intubasi endotrakeal dan secara objektif memberi

keseragaman pendekatan untuk membandingkan penelitian yang berhubungan

dengan kesulitan intubasi dan dengan tujuan menetapkan nilai relatif faktor resiko

dalam kesulitan intubasi. Sejak itu IDS > 5 digunakan untuk definiso intubasi sulit

pada populasi yang berbeda, seperti Combes et al untuk menentukan faktor prediksi

jalan nafas sulit pada keadaan prehospital, Amathieu et al untuk menilai faktor

resiko intubasi sulit dalam pembedahan thyroid, dan Gonzalez et al untuk

mengevaluasi faktor resiko intubasi sulit pada pasien yang obesitas.

Evaluasi jalan nafas untuk setiap pasien meliputi klasifikasi Mallampati

modifikasi tanpa fonasi, jarak thyromental, pergerakan kepala dan leher, lebarnya
33

membuka mulut, ada tidaknya gigi tonggoss, dan resesi mandibula. Pengukuran

BB dan TB serta perhitungan BMI. Pencatatan umur, jenis kelamin, status fisik

ASA, jenis pembedahan dan komorbiditas.Mallampati 3-4 diprediksikan sulit

dalam intubasi pada pasien obesitas. Nilai IDS ditemukan lebih tinggi pada pasien

obesitas : sedikitnya glotis yang terlihat, meningkatnya kekuatan mengangkat

selama laringoskopi, dan perlunya bantuan tekanan eksternal untuk meningkatkan

pandangan glotis (N4, N5, N6).

Selain itu, payudara besar, leher pendek. Lidah lebar, laring yang tinggi dan

anterior, restriksi dalam membuka mulut, dan terbatasnya flexi-ekstensi vertebra

servikal dan atlantooccipital mempunyai kontribusi dalam kesulitan intubasi.23, 24

Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal biasanya

dijumpai pada pasien-pasien dengan:

a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.

b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak

antaramental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar

memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.

c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi

d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).

e. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang

sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.

f. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena fleksi

kepala pada leher di sendi atlantooccipital.


34

g. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan

fleksi leher.

Beberapa pasien memerlukan evaluasi berhubungan dengan kesulitan

intubasi dan komplikasi. Beberapa individu memiliki jalan nafas yang tidak sesuai,

dengan pembatasan pergerakan leher atau rahang, adanya tumor, adanya

pembengkakan akibat luka atau alergi, abnormalitas perkembangan rahang,

tebalnya jaringan lemak wajah dan leher.

Ketika melihat riwayat pasien, tanyakan dan lihat gejala atau tanda, seperti

kesulitan berbicara atau bernafas; hal ini memperkirakan adanya obstruksi pada

jalan nafas atas, laring, atau cabang trakeobronkial. Adanya riwayat operasi

sebelumnya, trauma, terapi radiaso atau tumor di daerah kepala, leher, dan dada atas

yang berpotensial menyulitkan intubasi.

2.4.5 Cara Intubasi

Intubasi Endotrakeal

Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang

dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan lapangan

pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang

diangkat ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.

Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat

sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf

V. Tracheal tube diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan melewati

pita suara sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum

memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita
35

suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stylet dapat dicabut.

Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan

tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop

dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.

Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi,

dilakukan auskultasi dada dengan steteskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri

sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi

intubasi endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tandatanda berupa suara

nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadangkadang timbul suara

wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada

ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru

sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium

atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),

kadangkadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak

semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali

setelah diberikan oksigenasi yang cukup.


36

Gambar Auskultasi Suara Napas Setelah Dilakukan Intubasi

Intubasi yang gagal tidak harus dilakukan berulang-ulang dengan cara yang

sama. Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan,

seperti reposisi pasien, mengurangi ukuran tabung, menambahkan stylet, memilih

pisau yang berbeda, mencoba jalur lewat hidung, atau meminta bantuan dari ahli

anestesi lain. Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan masker, bentuk alternatif

manajemen saluran napas lain (misalnya, LMA, Combitube, cricothyrotomy

dengan jet ventilasi, trakeostomi) harus segera dilakukan.

Intubasi Nasotrakeal

Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat

hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang


37

hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih

gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5 0,25%) menyebabkan pembuluh

vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal anestesi

secara tetes dan blok saraf dapat digunakan.

NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air, dimasukkan ke

dasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari

turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari

NTT harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur dimasukan hingga

ujungnya terlihat di orofaring. Umumnya ujung distal dari NTT dapat dimasukan

pada trachea tanpa kesulitan. Jika ditemukan kesulitan dapat diguankan forcep

Magil. Penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusakkan

balon. Memasukkan NTT melalaui hidung berbahaya pada pasien dengan trauma

wajah yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke intrakranial.

2.4.6 Ekstubasi Perioperatif

Setelah operasi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan yaitu

pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi nafas spontan.

Sesaat setelah obat bius dihentikan segeralah berikan oksigen 100% disertai

penilaian apakan pemulihan nafas spontan telah terjadi dan apakah ada hambatan

nafas yang mungkin menjadi komplikasi. Bila dijumpai hambatan nafas, tentukaan

apakah hambatan pada central atau perifer. Teknik ekstubasi pasien dengan

membuat pasien sadar betul atau pilihan lainnya pasien tidak sadar (tidur dalam),

jangan lakukan dalam keadaan setengah sadar ditakutkan adanya vagal refleks. Bila
38

ekstubasi pasien sadar, segera hentikan obat-obat anastesi hipnotik maka pasien

berangsu-angsur akan sadar. Evaluasi tanda-tanda kesadaran pasien mulai dari

gerakan motorik otot-otot tangan, gerak dinding dada, bahkan sampai kemampuan

membuka mata spontan. Yakinkan pasien sudah bernafas spontan dengan jalan

nafas yang lapang dan saat inspirasi maksimal. Pada ekstubasi pasien tidak sadar

diperlukan dosis pelumpuh otot dalam jumlah yang cukup banyak, dan setelahnya

pasien menggunakan alat untuk memastikan jalan nafas tetap lapang berupa pipa

orofaring atau nasofaring dan disertai pula dengan triple airway manuver standar.

Syarat-syarat ekstubasi :

1. Vital capacity 6 8 ml/kg BB.

2. Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O.

3. PaO2 diatas 80 mm Hg.

4. Kardiovaskuler dan metabolic stabil.

5. Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot.

6. Reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh.

2.4.7 Komplikasi

Tatalaksana jalan napas merupakan aspek yang fundamental pada praktik

anestesi dan perawatan emergensi. Intubasi endotrakeal termasuk tatalaksana yang

cepat, sederhana, aman dan teknik nonbedah yang dapat mencapai semua tujuan

dari tatalaksana jalan napas yang diinginkan, misalnya menjaga jalan napas tetap

paten, menjaga paru-paru dari aspirasi, membuat ventilasi yang cukup selama

dilakukan ventilasi mekanik, dan sebagainya.


39

Faktor-faktor predisposisi terjadinya komplikasi pada intubasi endotrakeal

dapat dibagi menjadi :

Faktor pasien

1. Komplikasi sering terjadi pada bayi, anak dan wanita dewasa karena

memiliki laring dan trakea yang kecil serta cenderung terjadinya edema pada jalan

napas.

2. Pasien yang memiliki jalan napas yang sulit cenderung mengalami trauma.

3. Pasien dengan variasi kongenital seperti penyakit kronik yang didapat

menimbulkan kesulitan saat dilakukan intubasi atau cenderung

mendapatkan trauma fisik atau fisiologis selama intubasi.

4. Komplikasi sering terjadi saat situasi emergensi.

Faktor yang berhubungan dengan anestesia

1. Ilmu pengetahuan, teknik keterampilan dan kemampuan menangani situasi

krisis yang dimiliki anestesiologis memiliki peranan penting terjadinya

komplikasi selama tatalaksana jalan napas.

2. Intubasi yang terburu-buru tanpa evaluasi jalan napas atau persiapan

pasien dan peralatan yang adekuat dapat menimbulkan kegagalan dalam

intubasi.

Faktor yang berhubungan dengan peralatan

1. Bentuk standar dari endotracheal tube (ETT) akan memberikan tekanan

yang maksimal pada bagian posterior laring. Oleh sebab itu, kerusakan

yang terjadi pada bagian tersebut tergantung dari ukuran tube dan durasi

pemakaian tube tersebut.


40

2. Pemakaian stilet dan bougie merupakan faktor predisposisi terjadinya

trauma.

3. Bahan tambahan berupa plastik dapat menimbulkan iritasi jaringan.

4. Sterilisasi tube plastik dengan etilen oksida dapat menghasilkan bahan

toksik berupa etilen glikol jika waktu pengeringan inadekuat.

5. Tekanan yang tinggi pada kaf dapat menimbulkan cedera atau kaf dengan

tekanan yang rendah dapat pula menimbulkan cedera jika ditempatkan di

bagian yang tidak tepat.

Kesulitan menjaga jalan napas dan kegagalan intubasi mencakup kesulitan

ventilasi dengan sungkup, kesulitan saat menggunakan laringoskopi, kesulitan

melakukan intubasi dan kegagalan intubasi. Situasi yang paling ditakuti adalah

tidak dapat dilakukannya ventilasi maupun intubasi pada pasien apnoe karena

proses anestesi. Kegagalan dalam oksigenasi dapat menyebabkan kematian atau

hipoksia otak.

Krikotirotomi (bukan trakeostomi) merupakan metode yang dipilih ketika

dalam keadaan emergensi seperti pada kasus cannot-ventilation-cannot-intubation

(CVCI).

Anda mungkin juga menyukai