Anda di halaman 1dari 16

UJI MATERI TERHADAP MATERI WARIS ANAK DI LUAR NIKAH

Sri Lumatus Saadah


Dosen Fakultas Syariah IAIN jember
Abtraks
Penelitian ini adalah penelitian kajian ilmu waris, dan menggunakan
penlitian yang berbasis pada library research, dalam kajian ini tema
yang diangkat adalah uji materi terhadap waris anak di Luar Nikah, ada
tiga pertanyaan yang penting pertama, bagaimana konsep waris Islam ?
kedua bagaimana konsep waris anak di luar nikah ? dan ketiga apa
manfaat uji materi terhadap waris di luar nikah ?, tiga pertanyaan diatas
akan di dekati dengan pendekatan konten analisis terhadap materi waris
anak di luar nikah. Hasil penelitian ini adalah pertama mengetahui
konsep hukum waris, kedua mengetahui konsep waris anak di luar
nikah, dan ketiga mencoba menguji materi waris anak di luar nikah.
Kata kunci : Anak di Luar Nikah, waris, Uji Materi

PENDAHULUAN
Manusia di dalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa penting: waktu
ia dilahirkan, waktu ia kawin dan waktu ia meninggal dunia.1 Kematian merupakan salah
satu sebab terjadinya pewarisan. Ini kemudian menyangkut dengan tatacara dan proses
pengoperan harta benda dari pewaris kepada ahli waris. Kewarisan pada dasarnya,
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, sedang hukum adalah bagian
dari aspek ajaran Islam yang pokok2 Hukum kewarisan menduduki tempat amat penting
dalam hukum Islam. Ayat al-Quran mengatur hukum kewarisan dengan jelas dan
terperinci.3 Kemudian Ali As}-S}abuni memberikan penjelasan bahwa, hukum kewarisan
Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw, telah mengubah hukum kewarisan Arab pra
Islam dan sekaligus merombak struktur hubungan kekerabatannya, bahkan merombak
system pemilikan masyarakat tersebut atas harta benda, khususnya harta pusaka. 4 Berbeda
apa yang terjadi sebelum al-Quran diturunkan, bahwa di kalangan bawah nasib wanita
sangat menyedihkan. Mereka diperjualbelikan, sedangkan yang berumah tangga
sepenuhnya di bawah kekuasaan suaminya. Mereka tidak mempunyai hak-hak sipil,
bahkan hak kewarisanpun tidak ada.5 Hal ini sangatlah bertentangan dengan firman Allah
:

6

Indonesia merupakan negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam.
Adalah al-Quran sebagai sumber aturan hukum dalam kehidupan sehari-hari, terlepas
dari bentuk Negara yang bukan berdasar Agama. Otje Salman dan Musthofa Haffas7,
dalam bukunya Hukum Waris Islam, memberikan himbauan bahwa, bagi umat Islam
melaksanakan syari'at yang ditunjuk oleh nas}-nas{ yang s}arih adalah keharusan. Oleh

1
Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 5.
2
Ali Rohman, Kewarisan dalam al-Quran (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 1.
3
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 3. Lihat Q.S.Annisa (4), ayat
1, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 176 dan Q.S.Al-Anfal ayat 75.
4
M. Ali As}-S}abuni, Pembagian Waris Menurut Islam, 1 alih bahasa ....(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm.
6.
5
M.Quraish Shihab, Wawasan al-Quran Tafsir Maud}u'i Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan,
1998), hlm. 196.
6
An-Nisa>(4) : 32.
7
Otje Salman dan Musthofa Haffas, Hukum Waris Islam (Bandung: Refika, 2002), hlm. 3.
sebab itu pelaksanaan kewarisan berdasar hukum waris Islam bersifat wajib. Sabda
Rasulullah saw:
8

Di Indonesia sampai saat ini berlaku tiga sistem hukum kewarisan, yaitu hukum
adat, hukum Islam, dan hukum Barat. Walaupun pada dasarnya hukum kewarisan Islam
berlaku untuk umat Islam dimana saja di dunia ini.9 Ketiga hukum tersebut mempunyai
corak dan aturan yang berbeda satu sama lain, sehingga dalam prakteknya masyarakat
akan memilih hukum yang sesuai dengan mereka.
Pertama, BW, atau disebut kewarisan perdata Barat, pada awalnya hukum atau
sistem ini berlaku, hanya untuk orang asing yang tinggal di Indonesia. Namun dalam
perkembangannya banyak dianut oleh warga Indonesia dan kemudian menjadi hukum
perdata di Indonesia. Kenyataan ini yang sering menjadikan permasalahan di masyarakat,
yang notabene beragama Islam, antara menggunakan hukum Islam atau BW. Yaitu
adanya perbedaan mengenai besarnya bagian, antara ahli waris laki-laki dan perempuan.
Kemudian timbul permasalahan gender di Indonesia.10
Kedua, sistem kewarisan adat, seperti yang dituturkan Idris Ramulyo, 11 bahwa
secara garis besar kewarisan adat sangat beraneka ragam, dan yang pasti sangat
dipengaruhi oleh daerah lingkungan atau etnis, seperti Jawa, batak, Minangkabau dan
lain-lain.
Terakhir, sistem hukum kewarisan Islam, yang juga terdiri dari pluralisme ajaran,
seperti ajaran kewarisan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, ajaran Syi'ah, ajaran Hazairin
Indonesia. Paling dominan dianut adalah ajaran Ahlus Sunnah wal Jama'ah (mazhab
Syafi'I, Hambali,. Hanafi dan Maliki). Akan tetapi, yang paling dominan pula di antara
empat mazhab tersebut yang dianut di Indonesia adalah mazhab Syafi'i.12
Anak sebagai makhluk Allah SWT dan juga sebagai Makhluk Sosial sejak dalam
kandungan sampai melahirkan mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat
perlindungan baik dari orang tua, keluarga, dan masyarakat, bangsa dan negara. Apalagi
anak yang telah dilahirkan. Maka hak atas hidup dan hak merdeka sebagi hak dasar dan
kebebasan dasar tidak dapat dilenyapkan atau dihilangkan, tetapi harus dilindungi dan di
perluas hak hidupnya dan hak merdeka tersebut.
Hak asasi anak tersebut merupakan dari hak manusia yang mendapat jaminan dan
perlindungan hukum baik hukum nasional seperti yang termaktub dalam undang-undang
dasar 1945 yang lebih tepatnya pada Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999. Keberadaan
anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti anak memiliki arti yang
berbeda-beda bagi setiap orang. Anak adalah amanah yang harus dipertanggung jawab
orang tua kepada Allah SWT. Anak adalah tempat orang tua mencurahkan kasih
sayngnya. Dan anak juga sebagi penyambung harapan untuk menjadi sandara di akal usia
lanjut. Ia dianggap sebagai modal untuk meningkatkan perangkat hidup sehingga dapat
mengontrol status sosial orang tua. Oleh sebab itu orang tua harus
memelihara,membesarkan, merawat. Menantuni, dan mendidik anak-anaknya penuh
tanggung jawab dan kasih sayang.13 Maka jika ada perkawina yang tidak ada pencatatan
atau anak di luar nikah dapat menimbulkan masalah dikemudian hari, terkait dengan ini,
8
Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Kitab Al-Fara>id, Bab Mi>ra>s\ al-Waladi Min Abi>hi Wa
Ummihi, (Kairo: Da>r al-Fikr, 1981), IV:5, H.R al-Bukhari dari Ibnu Abba>s.
9
Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, (Jakarta:Sinar Grafika, 2004), hlm. 1.
10
Bandingkan pasal 844 KUHAPER dengan pasal 176 KHI, mengenai bagian laki-laki dan wanita.
11
Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam dan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 1.
12
Ibid . hlm. 1.
13
Yunahar Ilyas, 2007, kuliah ahklak, LPPI Muhammadiyah Yogyakarta halaman 122
maka penulis mencoba melakukan kajian atau uju materi terhadap mekanisme kewarisan
anak di luar nikah.

Konsep Waris Islam


Hukum kewarisan Islam mengatur peralihan harta dari seseorang yang telah
meninggal kepada yang masih hidup. Aturan tentang peralihan harta ini disebut dengan
berbagai nama. Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan
hukum kewarisan Islam seperti: Fiqh al-Mawa>ris\ dan fara>id}14
Kata mawa>ris secara etimologi adalah bentuk jamak dari kata mi>ra>s\ yang
artinya harta warisan.15 Mawa>ris juga disebut fara>id}, bentuk jamak dari fari>d}ah.
Kata ini berasal dari kata farad}a yang artinya ketentuan. Dengan demikian penyebutan
mawa>ris\ didasarkan pada harta yang beralih kepada ahli waris, sementara fara>id}
didasarkan pada bagian yang diterima oleh ahli waris. Di kalangan para ulama terdapat
banyak perbedaan pendapat dalam memberikan definisi mengenai kewarisan. Di
antaranya adalah Muhammad Ali as}-S}a>bu>ni> memberi definisi kewarisan adalah
sebagai perpindahan kepemilikan dari si mati kepada ahli warisnya yang masih hidup,
baik yang ditinggalkan itu berupa harta, kebun, atau apa saja yamg menjadi hak milik
secara syari.16 Sementara Hasbi ash-Shiddieqy mengatakan bahwa ilmu fara>id} adalah
beberapa kaidah yang terpetik dari fiqih dan hisab yang dengan dialah diketahui segala
yang mempunyai hak terhadap peninggalan pewaris dan bagian masing-masing ahli waris
dari pada warisan itu.17
Sedangkan kewarisan menurut definisi hukum Islam pada umumnya adalah proses
pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal, baik yang berupa benda
yang wujud maupun yang berupa hak kebendaan, kepada keluarganya yang dinyatakan
berhak menurut hukum.18 Menurut hukum perdata di Indonesia hukum waris sering
disebut dengan hukum kewarisan seperti dalam KHI ps.171 dinyatakan, bahwa yang
dimaksud dengan hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur perpindahan dan
kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak
menjadi ahli waris dan beberapa bagiannya.
Dengan memperhatikan pengertian-pengertian yang telah disebutkan di atas, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa kewarisan adalah suatu proses berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya, setelah pelunasan
hutang, wasiat serta tazhi>j, baik berupa uang, tanah atau apa saja yang berupa hak milik
legal secara syari dengan bagian yang sudah ditentukan besar atau kecilnya secara pasti
bagi masing-masing ahli waris. Dasar dan sumber dari hukum Islam adalah al-Quran dan
as-Sunnah. Ayat-ayat al-Quran yang secara langsung mengatur tentang hukum kewarisan
itu adalah sebagai berikut:

19...
Ayat di atas merupakan dalil sistem kewarisan dalam Islam yang menjelaskan
perbedaan dengan tradisi pra Islam, dimana seorang anak perempuan tidak medapatkan

14
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 5.
15
Achmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1984), hlm.1655.
16
Muhammad Ali as}-S}a>bu>ni, al-Mawa>ris\ Fi As}-s}ariyyah al-Isla>miyyah (ttp: Da>r al-hadi>s|, t.t),
hlm.34.
17
Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris Hukum-hukum Waris Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,1981), hlm.
18.
18
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam (Yogyakarta: FE UII, 1985), hlm. 132.
19
An-Nisa>' (4) : 11.
harta warisan. Sistem kewarisan Islam kemudian datang dan menetapkan bagian
perempuan dan laki-laki.
20

Ayat ini merupakan ketetapan bagian seorang suami atau istri yang tidak mempunyai
anak. Hal ini juga sekaligus mempertegas perbedaan yang ada dengan sistem kewarisan
pra Islam, seorang wanita tidak mewarisi tetapi diwarisi.
21

Ayat ini menerangkan bahwa seorang yang telah meninggal dunia dan tidak
meninggalkan seorang anak dan ayah maka harta warisannya akan diwarisi oleh saudara-
saudaranya. Adapun hadis yang menjelaskan tentang kewarisan di antaranya:
22

Hadis |ini memerintahkan untuk memberikan bagian harta warisan kepada ahli waris
yang berhak, selain juga ketentuan bagi anak laki-laki mendapatkan bagian asobah.
23

Dalam sistem kewarisan Islam Pembunuh terhalang untuk memperoleh harta
warisan.
Dasar-dasar kewarisan dalam Islam sebagaimana telah dikemukakan di atas
merupakan aturan pokok bagi perumusan atau penerapan pihak-pihak yang berstatus
sebagai ahli waris dan ketentuan besar kecilnya bagian ahli waris yang berhak diterima.
Selain dari kedua sumber hukum Islam tersebut ijtihad merupakan salah satu sumber
hukum yang dijadikan pegangan oleh umat muslim ketika permasalahan yang dihadapi
tidak terdapat dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Kehidupan manusia yang dinamik
membutuhkan hukum yang bisa berubah sesuai dengan perubahan kondisi sosial budaya.
Hasil ijtihad itulah yang nantinya dijadikan sumber hukum oleh kaum muslimin.
khususnya persoalan yang berkaitan dengan kewarisan. Setiap sistem kewarisan akan
memiliki asas yang menjadi pedoman awal dari sistem kewarisan yang bersangkutan.
Dalam sistem kewarisan Islam asas-asas yang menjadi sandaran adalah:
Asas Ijba>ri> Pemindahan harta orang yang telah meninggal dunia kepada ahli
waris berlaku dengan sendirinya. Dalam hukum kewarisan Islam asas ijba>ri> ini berarti
bahwa terjadinya peralihan harta orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang
masih hidup berlaku secara terpaksa dalam arti berlaku dengan sendirinya berdasar
ketetapan Allah tanpa dikaitkan dengan kerelaan pewaris atau ahli waris.
Asas (ijba>ri>) dalam hukum kewarisan Islam terlihat dalam segi ahli waris
wajib menerima berpindahnya harta warisan kepadanya sesuai dengan jumlah yang
telah ditentukan oleh syari.24 Sebab itu pewaris tidak perlu merencanakan
penggunaan hartanya setelah ia mati kelak, karena dengan kematiannya itu, secara
otomatis hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan perolehan yang sudah
dipastikan. Bentuk ijba>ri> dari penerimaan peralihan harta itu berarti bahwa mereka
yang berhak atas harta peninggalan itu sudah pasti, sehingga tidak ada suatu
kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau
mengeluarkan orang yang berhak. Adanya unsur ijba>ri> dapat dipahami dari

20
An-Nisa>' (4) : 12.
21
An-Nisa>' (4) : 176.
22
Al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, Kitab Al-Fara>id, Bab Mi>ra>s\ al-Waladi Min Abi>hi Wa
Ummihi (Kairo: Da>r al-Fikr, 1981), IV:5, H.R al-Bukhari dari Ibnu Abba>s.
23
Abu> Da>wud, Sunan Abi> Da>wud, Kitab al-Fara>id, Bab Mi>ra>s\ al-Qa>til (Kairo: Mus}t}afa> al-
Ba>bi>, 1952), II: 110, H.R Abu> Da>wud dari Abi Hurairah.
24
M. Daud Ali, Hukum Islam, cet. ke-3 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 127.
kelompok ahli waris sebagaimana disebutkan Allah dalam al- Quran surat an-Nisa>
(4) ayat 11, 12 dan 176.25
Pemindahan harta ini semata-mata karena akibat kematian orang yang
mempunyai harta. Artinya, asas ini berlaku dengan sendirinya setelah pewaris
meninggal dunia dan belum berlaku kalau orang yang mempunyai harta masih hidup.
Asas Bilateral Maksud dari asas ini adalah bahwa seseorang menerima hak
warisan dari kedua belah pihak garis kerabatnya baik dari pihak ayah ataupun dari
pihak ibu. Asas bilateral ini secara tegas dapat ditemui dalam al-Quran surat an-
Nisa> (4) ayat : 7, 11, 12 dan 176. Ditegaskan dalam surat an-Nisa> (4) ayat 7
bahwa seorang laki-laki berhak dapat warisan dari pihak ayahnya dan demikian
sebaliknya dari pihak ibunya. Begitu pula seorang perempuan berhak memperoleh
warisan dari kedua belah pihak.26
Asas Individual Asas ini menyatakan bahwa harta warisan harus dibagi kepada
masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan.27 Asas ini berkaitan
langsung dengan asas ijba>ri>, bahwa apabila terbuka kewarisan semestinya
langsung dibagi warisan kepada ahli waris menurut kadarnya masing-masing.
Setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa tergantung dan
terkait dengan ahli waris yang lain. Hal ini didasarkan pada ketentuan bahwa setiap
insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan
kewajiban, yang di dalam usul fiqh disebut ahliyah al-wuju>b. Dalam pengertian
ini setiap ahli waris berhak menuntut secara sendiri-sendiri harta warisan itu dan
berhak pula untuk tidak berbuat demikian.28
Asas Keadilan Berimbang Asas ini mengandung arti harus senantiasa terdapat
keseimbangan antara hak yang diterima dengan kewajiban yang harus ditunaikan.
Sehingga laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sebanding dengan kewajiban
yang dipikulnya, masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.29
Dalam sistem kewarisan hukum Islam, harta peninggalan yang diterima oleh
ahli waris pada hakekatnya merupakan pelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap
keluarganya. Oleh karena itu bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris
seimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap keluarganya.
Seorang laki-laki jadi penanggung jawab bagi kehidupan keluarganya, mencukupi
kebutuhan istri dan anaknya (al-Baqarah (2): 233) sesuai dengan kadar kemampuan
yang ia miliki (al-T}ala>q: 7). Tentang tanggung jawab tersebut adalah kewajiban
agama yang harus dilaksanakan terlepas dari persoalan apakah istrinya mampu atau
tidak, anaknya memerlukan bantuan atau tidak.30
Asas Kewarisan Akibat Kematian Hukum waris Islam memandang bahwa
terjadinya peralihan harta hanyalah disebabkan oleh adanya kematian. Ini berarti
bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain secara kewarisan selama
orang yang memiliki harta tersebut masih hidup. Jadi segala bentuk peralihan harta
seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun tidak
langsung, tidak termasuk dalam kategori warisan dalam Islam.
Asas ini ada kaitannya dengan asas ijba>ri>, bahwa seseorang tidak dapat
menentukan kehendaknya sendiri mengenai penggunaan hartanya setelah ia

25
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, hlm. 19.
26
Ibid., hlm. 20.
27
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran dan Hadis, cet. ke- 3 (Jakarta: Tintamas Indonesia,
1964), hlm. 15.
28
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, hlm.21.
29
Moh. Daud Ali, Hukum Islam, hlm. 128.
30
Ibid., hlm. 129.
meninggal. Kalaupun melalui wasiat seseorang dapat menentukan pemanfaatan
hartanya setelah ia meninggal dunia, tetapi wasiat itu sendiri dibatasi jumlahnya dan
tidak boleh lebih dari 1/3 dari harta peninggalan.

Asas Personalitas Keislaman Asas ini menyatakan bahwa harta warisan bisa
beralih/berpindah kepada orang lain apabila si pewaris dan ahli waris sama-sama
beragama Islam.31 Sehingga orang yang tidak beragama Islam tidak dapat mewarisi
pewaris yang beragama Islam dan begitu pula sebaliknya. Dalam kaitannya dengan
asas ini, satu logika dapat disebutkan bahwa persoalan kewarisan merupakan alat
penghubung untuk mempertemukan antara ahli waris dengan pewarisnya yang
disebabkan oleh adanya kekuasaan perwalian dan adanya jalinan rasa tolong
menolong di antara keduanya, sehingga jika di antara keduanya terjadi perbedaan-
perbedaan dalam hak kebendaan, seperti hak untuk memiliki, menguasai dan
mengalihkannya sebagaimana diatur menurut agama masing-masing, hukum
kekuasaan perwalian di antara mereka dianggap tidak ada secara hukum.32
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan yang di
antaranya matinya pewaris secara hakekat/hukum, hidupnya ahli waris dan tidak adanya
halangan untuk mewarisi.33 Syarat-syarat tersebut mengikuti rukunnya. Adapun rukun
pembagian warisan ada tiga,yaitu pertama, Pewaris, yaitu orang yang diwarisi harta
peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya, pewaris benar-benar
telah meninggal dunia, baik meninggalnya secara hakiki, berdasarkan putusan pengadilan
(h{ukmi>), ataupun berdasarkan sangkaan ahli (taqdi>ri>) dengan meninggalkan harta
peninggalan (tirkah) dan atau harta waris serta adanya ahli waris.34 Kedua, Ahli waris,
yaitu orang-orang yang dinyatakan berhak menerima warisan dari orang yang meninggal
dunia. Secara definitif dapat dijabarkan dengan pemahaman tentang sejumlah orang yang
mempunyai hubungan sebab-sebab dapat menerima harta atau perpindahan harta dari
orang yang meninggal tanpa terhalang secara hukum untuk memperolehnya. Ketiga,
Harta waris, yaitu sejumlah harta milik orang yang meninggal dunia (pewaris) setelah
diambil sebagian dari harta tersebut untuk biaya-biaya perawatan jika pewaris menderita
sakit sebelum meninggalnya, penyelenggaraan jenazah, penunaian wasiat jika berwasiat,
dan pelunasan hutang-hutangnya jika berhutang kepada orang lain serta tanggung jawab
yang lain dari pewaris yang sekiranya perlu dipenuhi.
Menurut Muhammad Jawa>d Mugniyah ada tiga hal yang menyebabkan
seseorang dapat mewarisi harta warisan, yaitu karena adanya hubungan nasab,
perkawinan dan wala (pembebasan budak).35 Apabila dianalisis ketentuan hukum waris
Islam, yang menjadi sebab seseorang itu mendapat warisan dari si mayit (pewaris) dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan
adanya hubungan darah atau kekeluargaan dengan si mayit, yang termasuk dalam
klasifikasi adalah seperti: ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, cicit, saudara sekandung
dan lain sebagainya. Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris)

31
KHI., Pasal. 39.
32
Idris Jafar, Hukum Kewarisan Islam, cet. ke- 1 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hlm. 39.
33
As-Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah (Beirut: Da>r al-Kutub al-Arabi, t.t), III: 429.
34
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1997), hlm. 33.
35
Muhammad Jawa>d Mugniyah, al-Ah}{wa>l as}-S}yakhs}iyyah, cet ke-I (Beirut: Da>r al-Ilm al- Malayan,
1964), hlm. 214.
disebabkan adanya hubungan perkawinan antara si mayit dengan seseorang tersebut, yang
termasuk dalam klasifikasi ini adalah: suami atau istri dari si mayit.Hubungan wala
Yaitu hubungan kerabat antara dua orang yang diperoleh karena memerdekakan seorang
budak, sehingga hubungan ini menjadikan keduanya seakan sudah sedarah-sedaging
laksana hubungan nasab. Maka, apabila ada seseorang yang memerdekakan hambanya, ia
menjadi seorang maula dari orang yang dimerdekakan itu, dan berhak mewarisinya
manakala bekas hambanya itu tidak mempunyai seorang pewaris pun. Pembicaraan
tentang wala ini hanya ada dalam sejarah, saat ini sudah tidak ada lagi perbudakan.
Hubungan agama (tujuan Islam) Yaitu baitul-mal (perbendaharaan negara) yang
menampung harta warisan orang yang tidak meninggalkan ahli waris sama sekali dengan
sebab tersebut di atas.36
Adapun penyebab yang dapat menghalangi seseorang tidak mendapat warisan
adalah pertama, Islam secara tegas melarang pembunuhan, khususnya sesama muslim
karena pembunuhan termasuk salah satu dari bentuk kejahatan (dosa besar) dan mendapat
hukuman di dunia. Perbuatan membunuh yang dilakukan oleh seorang ahli waris kepada
pewaris menjadi penghalang baginya untuk mendapat warisan (ahli waris yang
membunuh tersebut). Hadis Nabi menjelaskan bahwa pembunuh tidak berhak mendapat
warisan atas peninggalan harta orang yang dibunuhnya. Adapun maksud pembunuhan di
sini adalah pembunuhan dengan sengaja yang mengandung unsur pidana, bukan karena
membela diri atau lain sebagainya.
Terhalangnya si pembunuh untuk mendapat hak kewarisan dari yang dibunuhnya,
disebabkan adanya alasan-alasan sebagai berikut: pertama, Pembunuhan itu memutuskan
tali silaturahmi yang menjadi sebab tidak adanya kewarisan, dengan terputusnya sebab
tersebut maka terputus pula musababnya. Kedua, Untuk mencegah seseorang
mempercepat terjadinya proses pewarisan. Iketiga, Pembunuhan adalah suatu tindak
pidana kejahatan yang dalam istilah agama disebut sebagai suatu perbuatan maksiat,
sedangkan hak kewarisan merupakan nikmat, maka dengan sendirinya maksiat tidak
boleh dipergunakan sebagai suatu jalan untuk mendapatkan nikmat.37 Berbeda agama
disini adalah perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris, satu pihak beragama Islam
sedangkan yang lain bukan Islam. Alasan penghalang ini adalah hadis Nabi yang
mengajarkan bahwa orang muslim tidak berhak mewarisi atas harta orang kafir dan
sebaliknya orang kafir tidak berhak mewarisi atas harta orang muslim.
Antara suami dan istri yang berlainan agama, misalnya suami beragama Islam dan
istri beragama kristen, apabila salah satunya meninggal dan menginginkan agar suami
atau istri dapat ikut menikmati harta peninggalannya, maka dapat dilakukan dengan jalan
wasiat bukan pewarisan. Murtad merupakan salah satu penghalang mendapat harta
warisan. Alasannya karena salah satu faktor terjadinya pewarisan adalah hubungan
keagamaan (Islam) di antara individu (yang berkeluarga).38 Jadi apabila salah satu
keluarga suami atau istri non muslim, hubungan kewarisan tidak ada.
Seorang budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi dan diwarisi. Oleh
karenanya, ia tidak berhak mendapat warisan (praktis penghalang ini tidak perlu
mendapat perhatian karena perbudakan sudah lama hilang).39
Maksud dari pengertian ini adalah keadaan dimana seorang ahli waris terhalang
untuk mendapatkan warisan karena adanya seseorang yang lebih berhak mendapatkannya.
Halangan mendapatkan warisan karena seseorang ini dibagi menjadi 2 yaitu pertama,

36
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, hlm. 19.
37
Suhrawardi K.Lubis, dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), cet. ke-1 (Jakarta:
Sinar Grafika, 1995), hlm. 5.
38
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Ekonisia, 2005), hlm. 36.
39
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, hlm. 21-22.
Halangan mendapatkan warisan, yaitu apabila ada seorang ahli waris kemudian terhalang
oleh ahli waris utama. Misalnya; Kakek terhalang oleh bapak, Nenek perempuan oleh ibu,
dan seterusnya. Ikedua, Halangan mendapatkan seluruh bagian/berkurang bagiannya.
Dalam keadaan seperti ini, seseorang yang mendapatkan bagian tertentu tetapi tidak
mendapat bagian yang terbanyak, bahkan memperoleh bagian yang paling sedikit/karena
ada orang lain yang mempengaruhi perolehannya. Misalnya ibu yang seharusnya
memperoleh 1/3 berubah jadi 1/6 karena ada anak yang mewarisi.40
Pengertian negara adalah suatu wilayah yang ditempati suatu bangsa yang
memiliki angkatan bersenjata sendiri, kepala negara sendiri, memiliki kedaulatan sendiri
dan tidak ada ikatan kekuasaan (diplomatik) dengan negara asing. Adapun berlainan
negara yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila di antara ahli waris dan
pewarisnya berdomisili di dua negara yang berbeda. Para ulama sepakat apabila dua
negara sama-sama sebagai negara muslim tidak menjadi penghalang untuk saling
mewarisi. Kecuali jika ahli waris dan pewarisnya beda agama maka tidak bisa saling
mewarisi. Jadi penekanannya pada agama yang dianut oleh ahli waris.41
Ahli waris dapat digolongkan dalam beberapa golongan ditinjau dari jenis
kelaminnya dan dari segi haknya atas harta warisan. Dari segi jenis kelaminnya, ahli
waris dibagi menjadi 2 golongan yaitu laki-laki dan perempuan. Sedangkan garis kerabat
dan penggolongannya dalam hukum kewarisan Islam dibedakan menjadi beberapa, yaitu
sebagai berikut ipertama, Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara orang
yang mewariskan dengan orang yang mewarisi. Maka kerabat-kerabat tadi dibedakan
menjadi beberapa: 42
a. Fur, yaitu anak keturunan (cabang) si mayit
b. Us}l, yaitu leluhur (pokok yang menjadi asal-usul atau sebab adanya si mayit)
c. Hawsyi, Yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si mayit, melalui garis
menyamping (anak dari ayah, anak dari ibu, dan anak dari kakek).43
Kedua, Ditinjau dari segi penerimaannya dibagi menjadi 4 bagian pertama,
Golongan kerabat yang mendapat bagian tertentu jumlahnya dan telah ditetapkan oleh al-
quran. Seperti;2/3, 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8. Golongan ini dalam Islam disebut Z|awi> al-
Furu>d} yang jumlahnya ada 12 orang,44 Yaitu: Ayah, Ibu, Kakek (Ayahnya ayah
dan seterusnya ke atas), Nenek (Ibunya ibu atau ibunya ayah dan seterusnya ke atas),
Anak perempuan, Cucu perempuan pancar laki-laki (betapa rendah menurunnya), Suami,
Istri, Saudari sekandung, Saudari se ayah, Saudari se-ibu, Saudara laki-laki se-ibu.
Mereka ini harus diutamakan dari pada kerabat yang lain. Adapun pembagiannya sebagai
berikut kedua, Ahli waris yang mendapat bagian setengah (1/2) ada lima, yaitu: pertama,
Suami, dengan syarat: tidak ada keturunan yang mewarisi, seperti anak, anak dari anak
laki-laki isterinya yang meninggal itu, baik anak laki-laki dan perempuan dari hasil
perkawinan dengannya atau dari suami lain. Kedua, Seorang anak perempuan, dengan
syarat: 1) Ia tidak bersama dengan saudara laki-lakinya yang berhak mewaris, yaitu anak
laki-laki si mayit, 2) Anak perempuan itu harus tunggal. Ketiga, Seorang cucu perempuan
dari anak laki-laki, dengan syarat: 1) Ia tidak bersama dengan saudaranya yang mendapat
as}a>bah, yaitu cucu laki-laki dari anak laki-laki, 2) Cucu perempuan itu hanya seorang
diri, 3) Harus tidak ada anak perempuan atau laki-laki sekandung. Keempat, Seorang
saudara perempuan sekandung, dengan syarat: 1) Ia tidak bersama saudaranya yang

40
Muhammad Ali> as}-S}a>bu>ni>, Hukum Waris Islam, cet. ke- 1, Alih Bahasa: Abdul Hamid dan Zahwan
(Surabaya: Al Ikhlas, 1995), hlm. 55.
41
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, cet. ke- 4 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 40.
42
Fathur Rahman, Ilmu Waris, cet. ke- 2 ( Bandung: Al Maarif, 1998), hlm. 116.
43
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, hlm. 180.
44
Ibid., hlm. 117.
mendapat as}a>bah, yaitu saudara laki-laki sekandung, 2) Ia hanya seorang diri, 3)
Orang yang meninggal dunia tidak mempunyai orang tua atau anak keturunan. Kelima,
Seorang saudara perempuan seayah, dengan syarat: 1) Ia tidak bersama saudara laki-laki
yang mendapat as}a>bah, yaitu saudara laki-laki seayah, 2) Ia seorang diri, 3) Orang
yang meninggal tidak mempunyai orang tua dan keturunan, 4) Tidak ada saudara
perempuan sekandung.
Ahli waris yang mendapat seperempat (1/4) mereka adalah pertama, Suami,
apabila istri yang meninggal dunia mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki dan
keturunan terus kebawah, baik anak itu keturunan dari suami tersebut atau dari suaminya
yang lain. Kedua, Isteri, apabila suami yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak
atau cucu dari anak laki-laki dan terus kebawah, baik dari isterinya tersebut atau dari
isterinya yang lain.
Ahli waris yang berhak memperoleh seperdelapan (1/8), yaitu seseorang atau
beberapa orang isteri apabila suami yang meninggal dunia mempunyai anak atau cucu
dari anak laki-laki dan seterusnya, baik keturunan itu dari isteri tersebut atau dari isteri
yang lain. Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua pertiga (2/3) adalah pertama,
Dua anak perempuan atau lebih, apabila mereka tidak bersama dengan saudaranya yang
menerima as}a>bah, yaitu anak laki-laki si mayit. Kedua, Dua orang cucu perempuan
atau lebih dari anak laki-laki dengan syarat: 1) Orang yang meninggal harus tidak
mempunyai anak, 2) Tidak bersama dengan dua anak perempuan, 3) Tidak ada saudara
laki-laki yang mendapat asabah, yaitu cucu laki-laki dari anak laki-laki yang satu derajat
dengan mereka. Ketiga, Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih, dengan
syarat: 1) Tidak ada anak laki-laki atau perempuan, tidak ada ayah atau kakek terus
keatas, yaitu si mayit tidak mempunyai orang tua dan keturunan, 2) Tidak ada saudara
yang berhak as}a>bah, yaitu saudara laki-laki sekandung, 3) Tidak ada anak perempuan
atau cucu perempuan dari anak laki-laki, seorang atau lebih.keempat, Dua orang saudara
perempuan seayah atau lebih, dengan syarat: 1) Tidak ada anak laki-laki, ayah atau kakek,
atau orang tua atau keturunan, 2) Tidak ada saudara laki-laki yang berhak as}a>bah,
yaitu saudara laki-laki seayah, 3) Tidak ada anak perempuan atau cucu perempuan dari
anak laki-laki atau saudara laki-laki sekandung dan saudara perempuan sekandung.
Ahli waris yang berhak mendapat bagian sepertiga (1/3) adalah pertama, Ibu,
dengan syarat: 1) Orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan cucu dari anak laki-
laki dan seterusnya, 2) Orang yang meninggal tidak mempunyai saudara laki-laki atau
saudara perempuan dua orang atau lebih, baik saudara sekandung, seayah atau seibu, baik
laki-laki atau perempuan, baik mereka mewarisi atau terhijab. Kedua, Saudara laki-laki
dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, dengan syarat: 1) Tidak ada orang tua
atau anak keturunan, 2) Jumlah mereka dua orang atau lebih, baik laki laki atau
perempuan atau campuran diantaranya.
Ahli waris yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) mereka adalah pertama,
Ayah, apabila yang meninggal dunia (anaknya) mempunyai anak (keturunan), baik laki-
laki atau perempuan. Kedua, Kakek sahih (ayahnya ayah dan terus keatas) apabila orang
yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki dan terus kebawah,
dengan syarat tidak ada ayah , maka kakek dapat menempati kedudukan ayah apabila
ayah telah tiada. Ketiga, Ibu, syaratnya: 1) Orang yang meninggal dunia mempunyai anak
atau cucu dari anak laki-laki, 2) Orang yang meninggal dunia mempunyai beberapa orang
saudara, baik semua laki-laki atau perempuan ataun campuran. Keempat, Cucu
perempuan dari anak laki-laki seorang atau lebih, apabila yang meninggal dunia hanya
meninggalkan seorang anak perempuan. Kelima, Saudara perempuan seayah seorang atau
lebih, apabila orang yang meninggal dunia mempunyai seorang saudara perempuan
sekandung. Saudara laki-laki atau perempuan seibu, apabila mereka sendirian. Nenek
sahih, apabila tidak ada ibu, baik nenek itu seorang atau lebih, seperti ibunya ibu atau
ibunya ayah. Golongan kerabat yang tidak dapat bagian tertentu, tetapi mendapat sisa dari
as}h}a>b al-Furu>d} atau mendapat seluruh harta peninggalan bila ternyata tidak ada
as}h}b al-furd} sama sekali, dan apabila tidak ada sisa sama sekali, tidak mendapat
bagian apapun. Golongan ini disebut dengan : As}a>bah al-Nasa>biyah45 dibagi
menjadi 3 golongan pertama, As}a>bah bi al-Nafsi Adalah ahli waris yang
berkedudukan sebagai as}a>bah dengan sendirinya, tanpa ditarik dengan ahli waris
as}a>bah lainnya, atau tidak karena bersama-sama dengan yang lain. Misalnya, anak
laki-laki dan cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki sekandung, se-ayah, dan
lain sebagainya. Kedua,As}a>bah bi al-G}airi Adalah ahli waris yang berkedudukan
sebagai as}a>bah akan tetapi ditarik dengan as}a>bah yang lain. Misalnya, anak
perempuan ditarik oleh anak laki-laki, cucu perempuan ditarik oleh cucu laki-laki menjadi
as}a>bah, dan lain sebagainya. Ketiga, 'As}a>bah maal-G}airi Adalah ahli waris yang
berkedudukan sebagai as}a>bah karena bersama-sama dengan ahli waris lainnya.
Misalnya, saudara perempuan sekandung atau se-ayah menjadi as}a>bah karena
bersama-sama dengan anak perempuan. Golongan kerabat yang mendapat 2 macam
bagian, yakni fard (bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris) dan as}a>bah bersama-
sama dalam beberapa keadaan pertama, Ayah dalam keadaan apabila mewarisi bersama-
sama fur al- wa>ris\ yang perempuan. Pertama, Kakek sahih, dalam keadaan bila ia
mewarisi bersama-sama fur al-wa>ris|\ yang perempuan dan tidak ada ayah. Golongan
kerabat yang tidak menjadi/ termasuk kategori as}a>bah atau as}h}a>b al- furd.
Mereka ini disebut Z|awi> al-Arh}a>m, adalah ahli waris yang mempunyai hubungan
dengan si mayit, tetapi tidak termasuk kelompok dalam z|awi> al-furu>d maupun
as}a>bah.46 Golongan ini dapat dibagi menjadi 4 golongan pertama, Z|awi> al-Arh}a>m
ialah kerabat yang bernasab kepada si mayit, karena si mayit ini menjadi asal-usul dari
keturunannya.47 Mereka itu adalah: anak-anak dari anak perempuan (cucu-cucu dari anak
perempuan, baik laki-laki atau perempuan) dan anak keturunan cucu perempuan dari anak
laki-laki48. Kedua, Z|awi> al-Arh}a>m kerabat yang menjadi sandaran nasab mayit.
Mereka ini adalah: nenek yang tidak sahih dan seterusnya ke atas (ibu dari ayah ibu), atau
nenek yang bukan ahli waris z|awi> furu>d, dan kakek yang bukan z|awi> furu>d atau
as}a>bah dan seterusnya ke atas, seperti: ayah ibu, ayah dari ayah ibu (kakek ibu dari
garis ayahnya).49 Ketiga, Yaitu kerabat yang bernasab kepada orang tua mayit (ayah/
ibunya mayit). Mereka itu adalah: anak saudara perempuan se-ibu se-ayah, atau se-ayah
atau se-ibu, anak perempuan dari saudara laki-laki se-ibu se-ayah , atau se-ayah atau se-
ibu. Z|awi> al-Arh}a>m yang menyandarkan nasabnya kepada nenek mayit laki-laki atau
perempuan. Mereka ini adalah: saudara se-ayah se-ibu baik laki-laki atau perempuan,
mamak (saudara perempuan ayah, anak perempuan).
HAK WARIS ANAK DI LUAR NIKAH
Pencatatan secara administratif yang dilakukan Negara dimaksudkan agar
perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh
yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di
kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik,

45
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, hlm. 27.
46
Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum kewarisan Islam dengan Kewarisan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, edisi revisi cet. ke-1 (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm.151
47
Moh.Anwar, Faraid Hukum Waris dalam Islam dan Masalah-masalahnya, cet. ke-1 (Surabaya: AL ikhlas,
1981), hlm. 89.
48
T.M Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqhu Mawaris Hukum-hukum Warisan Dalam Syariah Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1967), hlm. 232.
49
As-Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, hlm. 295
sehingga perlindungan dan pelayanan oleh Negara terkait dengan hak-hak yang timbul
dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara tertib dan efisien. Artinya, dengan
dimilikinya bukti otentik akta perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat
perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik, karena tidak diperlukan proses
pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti
pembuktian mengenai asal-usul anak dalam pasal 55 UU perkawinan yang mengatur
bahwa bila asal-usul anak tidak dapat dibuktikan dengan akta otentik maka mengenai hal
itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang
demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan adanya akta otentik
sebagai bukti. Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan dikabulkan karena hubungan anak
dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan
perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah
antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal
prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan
hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar
kehendaknya.
Komisi perlindungan anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan hampir 50 juta anak di
Indonesia tidak memiliki akta kelahiran karena berbagai sebab antara lain karena pernikahan
tidak sah atau tercatat di atau kawin siri, angka ini hampir separuh dari total jumlah anak
dibawah 5 tahun yang ada di Indonesia. KPAI sangat mengapresiasi putusan MK beberapa
waktu lalu yang mengabulkan permohonan uji materiil atas pasal anak diluar pernikahan sah
dalam UU perkawinan. Menurut ketua Komnas perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait,
perubahan pada Undang-undang Perkawinan oleh Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi
landasan hukum yang sah dalam memajukan upaya advokasi bagi anak-anak diluar
pernikahan yang sah untuk memperoleh hak keperdataannya. Jadi putusan MK kemarin
memberikan hak keperdataan yang selama ini tidak diakui negara. Makanya akta lahirnya itu
tidak mencantumkan nama ayah. Dan tentu ini akan berimplikasi tidak mendapatkan hak
waris dan tidak bisa mencantumkan siapa bapaknya, nah..itukan merugikan anaknya.
Didalam konvensi PBB juga pengakuan keperdataan dalam bentuk identitas nama dan
kewarganegaraan itu harus diberikan oleh negara, tidak harus bergantung pada sah tidaknya
perkawinan. Tetapi juga sebagai hak konstitusi, hak keperdataan, itu adalah hak yang sangat
mendasar dan konstitusional.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Umar Shihab juga menyambut baik putusan MK ini,
menurut Umar, putusan ini bisa menjadi dasar hukum bagi hakim dalam memutuskan
sengketa anak Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali
mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum
harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak
yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan
meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan. Berdasarkan uraian ini Pasal
43 ayat 1 UU Perkawinan ini harus dibaca, Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-
laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Tentang terwujudnya nilai kemaslahatan dalam pelaksanaan hukum waris Islam
berbasis budaya/kultural bahwa malaah merupakan kata kunci dalam upaya merumuskan
secara filosofis, kaitan teks wahyu dengan realitas konteks kehidupan umat beragama sehari-
hari. Secara etimologis, malaah mempunyai makna identik dengan manfaat yaitu
keuntungan, kenikmatan, kegembiraan atau segala upaya yang dapat mendatangkan hal itu.50
Dan ajaran agama apabila sudah turun kedalam ranah konstruksi mental para individu
pemeluknya, akan sangat berpeluang untuk mengejawantah dalam wajah yang tidak tunggal.
Kesadaran ini kemudian dapat mendorong umat Islam untuk selalu mengambil sikap yang
bijak terhadap semua keyakinan, pandangan dan tindakan dalam mengamalkan ajaran Islam.
Kesadaran seperti ini juga penting dalam kerangka pengembangan lingkungan sosial umat,
dimana pluralitas keagamaan diterima sebagai suatu kelaziman bahkan keniscayaaan.
Selain itu pendekatan dengan hasil mahkamah Kontutusi yang menyatakan
Mahkamah Kontitusi juga menegaskan hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai
bapak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga di dasarkan
pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/ adminstrasi perkawinan anak yang di lahirkan
harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak, maka yang dirugikan adalah anak yang di
lahirkan di luar nikah atau perkawinan. Padahal anak tersebut tidak berdosa karena
kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa kejelasan status ayahnya
siapa, seringkali mendapatkan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi
perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang yang dilahirkan dan
hak-hak yang ada padanya. Meskipun kebasahan perkawinan masih disengketakan.51
Karena pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 menyatakan : Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya harus
dibaca anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan / alat bukti lainnya menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.52
Sedangkan alasan yang lain adalah pendekatan Ilmu pengetahuan adalah hal yang sangat di
amanahkan oleh UUD 1945.
MENGUJI MATERI TERHADAP MATERI WARIS ANAK DI LUAR NIKAH
Anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan
perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang
menyetubuhinya. Sedangkan pengertian di luar nikah adalah hubungan seorang pria dengan
seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan, sedangkan hubungan mereka tidak dalam
ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dipeluknya.53
Pada pasal 862 sampai dengan pasal 873 KUH Perdata adalah mengenai hubungan
hukum antara anak luar nikah dengan orang tuanya. Dengan kata "natuurlijk kind" (anak luar
nikah); semua anak sah kecuali anak yang dihasilkan dari zina dan anak sumbang. Kelahiran
itu sendiri hanya ada hubungan antara ibu dan anak. Tidak ada hubungan dengan laki-laki
yang membuahinya. Baru setelah ada pengakuan dari laki-laki tersebut maka kedudukan anak
tersebut sebagai anak sah, begitu juga dalam hal kewarisan. Mengenai pengakuan bisa bukti
hubungan darah, hubungan kekeluargaan alamiyah ataupun hubungan kekeluargaan
keturunan melainkan pengakuannya yang menjadikan sumber hukum antara anak dan orang
tua
Dalam praktik hukum perdata pengertian anak luar nikah ada dua macam, yaitu (1)
apabila orang tua salah satu atau keduanya masih terikat dengan perkawinan lain, kemudian
mereka melakukan hubungan seksual dengan wanita atau pria lain yang mengakibatkan hamil

51
Ibid, 43.
52
Ibid, 44.
53
Manan, Aneka Masalah Hukum, 80-81.
dan melahirkan anak, maka anak tersebut dinamakan anak zina, bukan anak luar nikah, (2)
apabila orang tua anak di luar nikah itu masih sama-sama bujang, mereka mengadakan
hubungan seksual dan hamil serta melahirkan anak, maka anak itu disebut anak luar nikah.
Beda keduanya adalah anak zina dapat diakui oleh orang tua biologisnya, sedangkan anak di
luar nikah dapat diakui oleh orang tua biologisnya apabila mereka menikah, dalam akta
perkawinan dapat dicantumkan pengakuan (erkennen) di pinggir akta perkawinannya.54
Sedangkan pada Pasal 28B ayat (1) UUD 1945: "Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah". Menurut UUD 1945
perkawinan yang sesuai dengan norma agama yakni jika bergama islam sesuai dengan rukun
nikah, maka status pernikahan adalah sah. Tetapi, UU Perkawinan Pasal 2 ayat (2)
mengharuskan adanya pencatatan, jika tidak maka anak tersebut dianggap anak luar nikah.
Norma hukum yang mengharuskan sebuah perkawinan dicatatkan menurut undang-undang
berlaku telah mengakibatkan perkawinan yang sah dan sesuai dengan rukun nikah agama
islam (norma agama) menjadi tidak sah menurut norma hukum. Hal ini mengakibatkan
pernikahan yang sah secara agama tidak mendapatkan kepastian hukum begitu pula dengan
anak hasil pernikahan juga tidak mendapat kepastian hukum termasuk di dalamnya tetang
kewarisannya.
Adanya ketentuan dalam UU Perkawinan yang menyebabkan ketidak pastian hukum
bagi pelaku nikah urfi/ sirri, mencerminkan rasa ketidak adilan di masyarakat dan secara
obyektif-empiris telah memasung hak konstitusioanal pelaku nikah urfi/sirri dalam
memperoleh kepastian hukum dan diskriminatif terkait status pernikahan dan kepastian
hukum anaknya. Hal ini bertolak belakang dengan tujuan hokum yang mengatur hidup secara
damai.55
Kompilasi Hukum Islam tidak mendefinisikan secara jelas tentang definisi anak luar
nikah. Karena itu untuk mendekatkan pengertian "anak diluar nikah" akan diuraikan
pendekatan berdasarkan terminologi yang tertera didalam kitab fiqh. Istilah "anak zina"
merupakan istilah yang populer dan melekat dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi
Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan sebagai istilah khusus
didalamnya. Dalam Kompilasi Hukum Islam, kalimat yang mempunyai makna zina adalah
"anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah" sebagaimana yang terdapat pada Pasal
100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa "anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya".
Hal tersebut bertujuan agar "anak" sebagai hasil hubungan zina, tidak dijadikan
sasaran hukuman sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan
dosa besar (berzina) ibu kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya,
sekaligus untuk menunjukan identitas Islam tidak mengenal adanya dosa warisan. Untuk
lebih mendekatkan makna yang demikian, Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974
menyatakan "hanya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan
kelahiran anak itu akibat dari perbuatan zina tersebut."
Pendekatan istilah "anak zina" sebagai "anak yang lahir di luar perkawinan yang sah"
berbeda dengan pengertian anak zina yang dikenal dalam Hukum Perdata umum, sebab
dalam perdata umum, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua orang,
laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, dimana salah seorang atau keduanya terikat
tali perkawinan dengan orang lain. Karena itu anak diluar nikah yang dimaksud dalam hukum
perdata umum adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan diluar perkawinan dan istilah lain
yang tidak diartikan sebagai anak zina.

54
Ibid, 81.
55
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu hokum, Terjemahan Incleiding tot de Studie van Het Nederlandse Recht oleh
Oertarid Sadio, Noordhoff-kalff Cet.IV,(Jakarta:N.V., 1985),13
Sedangkan dalam pertimbangan keputusan Majelis hakim Mahkamah kontitusi dalam
pengujian Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang perkawinan hal ini dapat kita lihat
dalam kewenangan Mahkamah, berdasarkan pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan pasal 10 ayat
(1) huruf a Undang-undang nomer 24 tahun 2003 tentang Mahkamah kontitusi, sedangkan
pertimbangan dari kalangan Hakim mahkamah Kontitusi secara alamiah, tidak mungkin
seorang perempuan hamil tanpa terjadi hubungan pertemuan ovum dan spermatozoa baik
melalui hubungan seksual maupun dengan cara yang lain berdasarkan perkembangan
teknologi yang menyebabkan terjadi pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat tidak tepat dan
tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena
hubungan seksual di luar nikah atau perkawinan hanya memiliki hubungan dengan
perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum
membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya
kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai orang bapak dan
bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap laki-laki tersebut.56
Mahkamah Kontitusi juga menegaskan hubungan anak dengan seorang laki-laki
sebagai bapak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga di
dasarkan pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai
bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/ adminstrasi perkawinan anak yang di
lahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak, maka yang dirugikan adalah anak
yang di lahirkan di luar nikah atau perkawinan. Padahal anak tersebut tidak berdosa karena
kelahirannya di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa kejelasan status ayahnya
siapa, seringkali mendapatkan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi
perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang yang dilahirkan dan
hak-hak yang ada padanya. Meskipun kebasahan perkawinan masih disengketakan.57
Karena pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 menyatakan : Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya harus
dibaca anak yang dilahirkan di luar perkwinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan kelaurga ibunya dengan laki-laki sebgai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan / alat bukti lainnya menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. 58
landasan kedua, yang di pakai oleh mahkamah Kontitusi terhadap pembacaan tanpa
laki-laki sebgai ayahnya adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat
(conditionally unconstitutional) yakni inkontitutional selama ayat itu dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan / alat bukti lainnya menurut hukum pempunyai hubungan
darah sebgai ayahnya.59 Sedangkan alasan yang lain yang di paparkan oleh Mahkamah
kontitusi adalah alasan yang berbeda (concuring opinion) disampikan oleh hakim Kontitusi
maria Farida Indrarti bahwa keberadaan pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 menimbulkan ambiguitas
bagi pemaknaan pasal 2 ayat (1) UU 1 nomer Tahun 1974 karena pencatatan yang dimaksud
oleh pasal 2 ayat (2) Undang-Undang a qua tidak ditegaskan apakah sekedar pencatatan
secara adminstratif yang tidak berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkawinan yang telah
dilangsungkan menurut Agama atau kepercayaan masing-masing, ataukah pencacatan
tersebut berpengaruh terhadap sah atau tidaknya perkwinan yang dilakukan. Keberadaan
norma agama dan norma hukum dalam satu peraturan perundang-undangan yang sama,
memiliki potensi saling melemahkan bahkan bertentangan seperti pasal 2 ayat (1) yang pada
pokoknya menjamin bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-

56
Erlina, Jurnal kontitusi, volume 1, No 1, November 2012. 43.
57
Ibid, 43.
58
Ibid , 44.
59
Ibid.
masing agama dan kepercayaan, ternyata menghalangi dan dihalangi oleh keberlakukan pasal
2 ayat (2) yang pada pokoknya jika telah di catat oleh instansi berwenang atau pegawai
pencacatan nikah.60

KESIMPULAN
Dalam KUH Perdata dan Kompilasi Hukum Islam tidak mendefinisikan secara jelas
anak luar nikah. Secara umum disebutkan anak yang lahir dalam pernikahan walaupun tidak
tercatatkan adalah anak sah, sedangkan anak hasil hubungan tanpa pernikahan adalah anak
zina . Yusriprudensi MK menegaskan hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak
semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga di dasarkan
pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
Mengenai kewarisan, dalam KUH Perdata atau Burgerlijk Wetboek, ada dua cara
untuk mendapatkan warisan, yaitu pertama Ahli waris menurut ketentuan undang-undang
atau mewarisi menurut undang-undang atau "ab intestato"kedua, Karena ditunjuk dalam surat
wasiat (testamen) Atau mewarisi secara "testamentair". Sementara Mahkamah Kontitusi juga
menegaskan hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak semata-mata karena
adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga di dasarkan pembuktian adanya hubungan
darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari
soal prosedur/ adminstrasi perkawinan anak yang di lahirkan harus mendapat perlindungan
hukum.
Maka uji materi terhadap kajian kewarisan anak di laur nikah itu jiga di landasakan
pada kemaslahatan dibenarkan secara Agama atau Hukum Islam, serta dapat dilakukan
dengan pendekatan legal standing.

DAFTAR PUSTAKA

Abd al A,Hammdah.Tt.The Family Structure in Islam.2:22. tp

Amanat,Anisitus.2000.Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-pasal Hukum Perdata BW


.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Amatan W. Montgomery Watt. 1956. Muhammad at Medina. Oxford: The Clarendon Press.

Apeldoorn, Van. 1985. Pengantar Ilmu hukum, Terjemahan Incleiding Tot de Studie Van Het
Nederlandse Recht oleh Oertarid Sadio, Noordhoff-kalff Cet.IV. Jakarta:N.V.

al-Ghazl,Ab mid. Tt.Iy Ulm al-Dn.

Gafur Anshori, Abdul. 2005. Filsafat Hukum Kewarisan Islam. UII Press;Yogyakarta.

Giladi,Avner. 2006. Family, dalam Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the
Qurn. Leiden: Brill

Idris Ramulyo,M. 2000.Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan


Kewarisan Menurut Undang-undang Hukum Perdata (BW). Jakarta: Sinar Grafika

60
Ibid, 46.
Kanwil Kemenag Prov. Jawa Timur. 2010. Uu Ri Nomor I Tahun 1974 tentang perkawinan
dan peraturan pelaksanaanya . Surabaya: KANWIL KEMENAG PROV. Jawa
Timur

Manan, Abdul.2008. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia.Jakarta : Kencana


Prenada Media

Murdiningsih, Rr. 2009.Tesis : Peranan Notaris Jakarta : FH UI

Soesilo dan Pramudji R.2008.Undang-undang RI No. 1 Tahun1974 tentang Perkawinan.T.tp:


Rhedbook Publisher

Soesilo dan Pramudji R.2008.Kitab Undang-undang Hukum Perdata.T.tp: Rhedbook


Publisher.

Supranto,J.2003.Metode Riset : Aplikasinya Dalam Pemasaran Jakarta : Rineka Cipta.

Syarifuddin,Amir. 2012. Hukum Kewarisan Islam.Jakarta: Kencana,

Wahid, Abdurrahman . 1989. Pribumisasi Islam, dalam Muntaha Azhari dan abdul Mun'in
(ed), Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M,.

William Lane,Edward. 1968. An English-Arabic Lexicon. Beirut: Librairie du Liban.

Soepomo. 1994. Bab-bab tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita.

Soemitro, Irma Setyowati. 1990. Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta.
Hadikusuma, Hilman. 1987. Hukum Kekerabatan Anak, PT. Citra Aditya Bakti,
Jakarta.
Haar, Ter. 1994. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat (Soebakti Poesponoto
Terjemahan) Jakarta: Pradnya Paramita.
Oemarsalim.1991. Dasar-dasar hukum waris diIndonesia, Rineka Cipta,.

Sudiyat, Imam.1990. Hukum Adat Sketsa Adat, Liberty, Yogyakarta.

Wahyu Afandi. 1984. Aneka Putusan Pengadilan,Alumni Bandung.

Anda mungkin juga menyukai