Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah
akibat penurunan sekresi insulin yang progresif dilatarbelakangi oleh resistensi
insulin. Hormon insulin berfungsi untuk mengatur keseimbangan kadar gula
dalam darah sebagai akibat dari gangguan produksi hormon insulin, akan terjadi
kenaikan kadar gula darah di atas batas normal.1

Menurut laporan WHO, Indonesia menempati urutan ke empat terbesar


dari jumlah penderita diabetes melitus dengan prevalensi 8,6% dari total
penduduk sedangkan posisi urutan diatasnya yaitu India, China dan Amerika
Serikat dan WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia
dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada
dengan WHO, International Diabetes Foundation (IDF) pada tahun 2009
memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7 juta pada tahun 2009
menjadi 12 juta pada tahun 2030. Dari laporan tersebut menunjukkan peningkatan
jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030.2

Laporan dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian


Kesehatan (RISKESDAS) tahun 2013 menyebutkan terjadi peningkatan
prevalensi pada penderita diabetes melitus yang diperoleh berdasarkan wawancara
yaitu 1,1% pada tahun 2007 menjadi 1,5% pada tahun 2013 sedangkan prevalensi
diabetes melitus berdasarkan diagnosis dokter atau gejala pada tahun 2013 sebesar
2,1% dengan prevalensi terdiagnosis dokter tertinggi pada daerah Sulawesi
Tengah (3,7%) dan paling rendah pada daerah Jawa Barat (0,5%). Prevalensi
pasien rawat jalan yang menderita DM di seluruh rumah sakit di Sumatera Utara
tahun 2015 menempati urutan kelima dengan proporsi 8,09%. Di Puskesmas
2

Tanjung Rejo Kec. Percut Sei Tuan periode Januari mei tahun 2017, prevalensi
diabetes mellitus sebanyak 60 orang dan menempati urutan kedelapan dengan
proporsi 3,04%.3

Tuberkulosis (TB) dikenal sebagai pembunuh utama di antara penyakit


infeksi bakterial didunia. Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat dan merupakan negara dengan penderita kelima terbanyak di dunia
setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria. Tuberkulosis paru menyerang 9,4
juta orang dan telah membunuh 1,7 juta penduduk dunia setiap tahunnya.4 Di
Indonesia, prevalensi TB paru tahun 2015 dikelompokkan dalam tiga wilayah,
yaitu wilayah Sumatera (33%), wilayah Jawa dan Bali (23%), serta wilayah
Indonesia Bagian Timur (44%). Pada tahun 2015, jumlah penderita TB paru yang
dilaporkan di Sumatera Utara sebesar 10.722 orang, sementara jumlah penderita
TB paru BTA+ yang sembuh dan pengobatan lengkap sebanyak 4.605 orang. Di
Puskesmas Tanjung Rejo Kec. Percut Sei Tuan Tahun 2017 periode Januari Mei
tahun 2017, prevalensi TB paru sebanyak 150 orang dan menempati urutan
keempat dengan proporsi 8,34%.3
Hubungan antara TB dan DM telah lama diketahui karena pada kondisi
diabetes terdapat penekanan pada respon imun penderita yang selanjutnya akan
mempermudah terjadinya infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis (M.tb) dan
kemudian berkembang menjadi penyakit tuberkulosis. Pasien dengan diabetes
memiliki risiko terkena tuberkulosis sebesar 2-3 kali lipat dibandingkan dengan
orang tanpa diabetes. Interaksi antara penyakit kronik seperti TB dengan DM
perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut karena kedua kondisi penyakit tersebut
seringkali ditemukan secara bersamaan yaitu sekitar 42,1%, terutama pada orang
dengan risiko tinggi menderita TB.5
3

Tabel 1.1 Laporan 10 Penyakit Terbesar di Puskesmas Tanjung Rejo kec.percut sei tuan
Januari- Maret tahun 2017

NO NAMA PENYAKIT JUMLAH PRESENTASI (%)

1. HIPERTENSI 304 3,04 %

2. DIABETES MELITUS 282 2,82 %

3. TB PARU 170 1,70 %

4. DIARE 170 1,70 %

5. ISPA 1O4 1,04 %

6. REUMATIK 102 1,02 %

7. KOLESTEROL 100 1,00 %

8. MAAG 85 0,85 %

9. PENYAKIT KULIT 75 0,75 %

10. DBD 4 0,04 %

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti


HUBUNGAN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN TB PARU PADA
PASIEN DI PUSKESMAS TANJUNG REJO KECAMATAN PERCUT SEI
TUAN TAHUN 2017

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan diabetes


melitus tipe 2 dengan TB paru pada pasien di Puskesmas Tanjung Rejo
kecamatan percut sei tuan tahun 2017

1.3.2 Tujuan Khusus


4

1. Untuk mengetahui prevalensi penderita DM tipe 2 disertai TB paru


pada pasien di Puskesmas Tanjung rejo kecamatan percut sei tuan
tahun 2017

2. Untuk mengetahui hubungan diabetes melitus tipe 2 dengan TB paru


pada pasien di Puskesmas Tanjung rejo kecamatan percut sei tuan
tahun 2017

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang

Dapat menjadi masukan tentang hubungan diabetes melitus tipe 2 dengan


TB paru sehingga dimasa mendatang diharapkan dapat mempermudah
mencegahnya.

1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan bacaan dan referensi untuk menambah wawasan mengenai


hubungan diabetes melitus tipe 2 dengan TB paru .

1.4.3 Bagi Peneliti


Memenuhi syarat menyelesaikan stase ilmu kesehatan masyarakat di Dinas
Kesehatan Kabupaten Deli Serdang

1.4.4 Bagi Peneliti Lain

Penelitian ini dapat dijadikan suatu penelitian dasar untuk penelitian


selanjutnya yang berkaitan dengan hubungan diabetes melitus tipe 2 dengan TB
paru

1.4.5 Ruang Lingkup

Berdasarkan penelitian yang disusun, maka peneliti membatasi ruang


lingkup penelitian pada jenis penelitian adalah analitik, subjek penelitian yaitu
5

hubungan diabetes melitus tipe 2 dengan TB paru Objek penelitian adalah pasien
yang datang ke Puskesmas Tanjung rejo kecamatan percut sei tuan tahun 2017.
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus


2.1.1 Definisi
Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti mengalirkan atau
mengalihkan (siphon). Melitus dari bahasa Latin yang bermakna manis atau
madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan individu yang mengalirkan
volume urin yang banyak dengan kadar glukosa yang tinggi.2
Definisi lain diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara
genetik dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya
toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes
melitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik, dan
penyakit vaskular mikroangiopati, dan neuropati.6
Tabel 2.1 : Perbandingan Diabetes Melitus Tipe 1 dan 22

Tipe Tipe 1 Tipe 2


Epidemiologi Pasien usia muda Pasien usia tua
Genetik HLA D3 dan D4 linked Tidak ada berkaitan
dengan HLA
Etiologi Autoimun sel Resistensi insulin,
Disfungsi sel
Gejala klinis Polidipsi, poliuri, penurunan Komplikasi mikro atau
berat badan, ketoasidosis makro vascular

2.1.2 Klasifikasi
Dokumen konsensus tahun 1997 oleh American Diabetes Associations
Expert Committee On The Diagnosis And Classification Of Diabetes Mellitus
menjabarkan empat kategori utama diabetes: tipe 1, dengan karakteristik
ketiadaan insulin absolut; tipe 2, ditandai dengan resistensi insulin disertai defek
sekresi insulin; tipe 3, tipe spesifik; dan tipe 4, tipe gestasional.2
7

Klasifikasi etiologi diabetes adalah sebagai berikut:6


1. Diabetes tipe 1, terjadi akibat kerusakan sel pankreas. Onset DM tipe ini
biasanya terjadi sebelum usia 25-30 tahun . Sekresi insulin mengalami
defisiensi (jumlahnya sangat rendah atau tidak ada sama sekali). Dengan
demikian, tanpa pengobatan dengan insulin, pasien biasanya akan mudah
terjerumus ke dalam situasi ketoasidosis diabetik.
2. Diabetes tipe 2, terjadi defek sekresi insulin, ketidakmampuan pankreas
untuk menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan glukosa
plasma yang lama. Tipe ini biasanya diderita pada individu berusia lebih
dari 30 tahun. Disebut juga diabetes onset-matur (atau onset dewasa).
3. Diabetes tipe spesifik, dapat disebabkan oleh (a) penyakit pada pankreas
yang merusak sel , seperti hemokromatosis, pankreatitis, fibrosis kistik;
(b) sindrom hormonal yang menganggu sekresi dan/atau menghambat
kerja insulin seperti akromegali, sindrom Cushing; (c) obat-obat yang
mengganggu sekresi insulin (fenitoin/dilantin) atau yang menghambat
kerja insulin (esterogen dan glukokortikoid).
4. Diabetes melitus gestasional, disebabkan oleh intoleransi glukosa yang
timbul atau terdeteksi pada kehamilan pertama, tanpa memandang derajat
intoleransi serta tidak memperhatikan apakah gejala ini lenyap atau
menetap selepas melahirkan. Biasanya muncul pada kehamilan trimester
kedua atau ketiga.
Tabel 2.2: Diabetes Melitus: Skema Klasifikasi (Revisi)6

Tipe Karakteristik Etiologi Terapi


Tipe 1 Ketiadaan absolut Autoimun Insulin
Tipe 2 insulin Obesitas, genetik. Diet, olahraga, agen
Insentivitas insulin dan hipoglikemik
Tipe 3 defisiensi sekresi insulin Bergantung Bergantung
Penyebab spesifik lain penyebab
Tipe 4 Peningkatan Diet,
Diabetes gestasional kebutuhan metabolik agen hipoglikemik
( sumber buku Obesitas, Diabetes Melitus, Dislipidemia tahun 2011 )1
2.1.3 Etiologi
8

Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya mempunyai


pola familial yang kuat. Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar monozigot
hampir 100%. Resiko berkembangnya diabetes tipe 2 pada saudara kandung
mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi genetik adalah paling
kuat dan contoh terbaik terdapat dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY)
yaitu, subtipe penyakit diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal dominan.
Jika orang tua menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan non diabetes pada
anak adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa (carrier).2
Diabetes tipe 2 ini ditandai dengan kelainan insulin, serta kerja insulin.
Awalnya, tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin.
Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel
tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang menyebabkan mobilitas
membawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transpor glukosa menembus
membran sel.6
Resistensi insulin merupakan kegagalan organ-organ target atau jaringan-
jaringan otot untuk memberi respon secara normal terhadap kerja insulin. Adapun
penyebab resistensi insulin ini diantaranya adalah obesitas, sindrom metabolik,
gagal ginjal, kehamilan, akromegali, cushing syndrome dan lain-lain. 6
Sekitar 80% diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan
dengan resistensi insulin, maka akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang
menyebabkan diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan sering kali dikaitkan
dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa.6

2.1.4 Patofisiologi
Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan yang sangat
penting yang untuk memasukkan glukosa ke dalam sel, selanjutnya dapat
digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau hormon yang
dikeluarkan oleh sel pankreas.2
Kelainan utama yang tergambar pada diabetes tipe 2 berupa resistensi
insulin dan penyusutan fungsi sekretorik sel-sel . Ketidakpekaan insulin dalam
merespon kenaikan gula darah menyebabkan peningkatan glukosa oleh hati seraya
penurunan ambilan glukosa oleh jaringan.2
9

Pada diabetes melitus 2, jumlah insulin normal malah mungkin lebih banyak
tetapi jumlah resepor insulin yang terdapat pada permukaan sel kurang. Reseptor
insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel.
Meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya
(reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk ke sel akan sedikit, sehingga akan
kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah
meningkat. Keadaan ini sama dengan diabetes melitus tipe 2. disamping kadar
glukosa yang tinggi, juga kadar insulin tinggi atau normal. Keadaan ini disebut
resistensi insulin.2
Pada diabetes melitus 2 jumlah sel berkurang sampai 50-60% dari normal.
Jumlah sel meningkat. Yang mencolok adalah peningktan jumlah amiloid pada
sel yang disebut amilin. Baik pada dibetes tipe 1 dan 2, kadar glukosa darah
meningkat, bila kadar itu melewati batas ambang ginjal, maka glukosa itu akan
keluar melalui urin. Kelimpahan glukosa dalam urin ini dinamakan glukosuria.2

2.1.5 Faktor resiko


Dari hasil pemaparan Sidartawan Soegondo, Pradana Soewondo dan Imam
Subekti (2011), resiko yang paling besar mendapatkan diabetes melitus tipe 2
adalah apabila :
1. Usia 45 tahun
2. Usia lebih muda, terutama dengan indeks massa tubuh (IMT) lebih kecil
23kg/m2, yang disertai dengan faktor resiko
3. Kebiasaan tidak aktif
4. Turunan pertama dari orang tua diabetes melitus
5. Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000g atau
riwayat DM-gestasional
6. Hipertensi (140/90mmHg)
7. Kolesterol HDL 35mg/dL dan atau trigliserida 250mg/dL
8. Adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa
darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya.

2.1.6 Manifestasi klinis


10

Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik


defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi glukosa
setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang
ginjal untuk zat ini maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan
diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin atau poliuria dan timbul
rasa haus atau polidipsia. Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien
mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar
yang semakin besar atau polifagia akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori.
Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.2
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan gejala dengan
polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang
terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit
berat dan timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan
pengobatan segera. Pasien dengan diabetes tipe 2, mungkin sama sekali tidak
memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan
pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada
hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsia,
poliuria, lemah, dan somnolen.2

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Darah
a. Pemeriksaan Kadar Gula Darah
Ada dua macam pemeriksaan untuk menilai ada tidaknya
masalah pada gula darah seseorang. Pertama, pemeriksaan gula darah
secara langsung setelah berpuasa sepanjang malam; uji kadar gula darah
puasa (fasting blood glucose test) merupakan pemeriksaan baku emas
(gold standard) untuk diagnosis DM manakala kada gula darah
puasanya, setelah dua kali pemeriksaan , tidak beranjak dari nilai di atas
140 mg/dL.6
Kedua, penilaian kemampuan tubuh dalam menangani kelebihan
gula seusai minum cairan berkadar glukosa tinggi yang diperiksa dengan
11

tes toleransi glukosa oral (oral glucose tolerance test). Caranya pasien
yang telah berpuasa selama 10 jam (jangan lebih dari 16 jam) diambil
darahnya untuk diperiksa. Segera setelah darah diperoleh, pasien diberi
minuman yang mengandung 75 gram glukosa (1,75g/kgBB untuk anak-
anak dan 100g bagi wanita hamil). Darah pasien kemudian diambil lagi
setelah , 1, 2, dan 3 jam utntuk diperiksa. Kadar gula darah 110
mg/dL dianggap sebagai respon gula darah yang normal.6
Gula darah disimpulkan terganggu jika hasil pemeriksaan
menunjuk pada kisaran angka 110 hingga 126 mg/dL pada 2 jam
postprandial, dikatakan sebagai toleransi glukosa terganggu. Pasien
dipastikan mengidap DM seandainya kadar gula darah 2 jam
postprandial bernilai 200 mg/dL. 6

Tabel 2.3 : Patokan Kadar Glukosa Darah Sewaktu Dan Puasa Untuk
Menyaring Dan Mendiagnosis Diabetes Melitus6
Bukan Belum Pasti Pasti
Kadar glukosa darah Plasma Vena <100 100-199 200
sewaktu (mg/dL) Darah Kapiler <90 90-199 200
Kadar glukosa darah Plasma Vena <100 100-125 126
puasa (mg/dL) Darah Kapiler <90 90-199 100
(sumber : Buku Obesitas Diabetes Melitus dan Dislipidemia, Tahun 2011)

b. Pemeriksaan kadar kolesterol dan trigliserida menjadi penting karena


diabetesi memiliki kecendrungan yang lebih tinggi untuk mengalami
aterosklerosis dan hiperlipoproteinemia tipe 4 (ditandai dengan
peningkatan VLDL).1
c. Pemeriksaan kadar kalium berguna untuk mengetahui derajat
katabolisme protein.
d. Pemeriksaan HbA1c sangat bermanfaat dan akurat, terutama selama
pemantauan terapi.
2. Pemeriksaan Urin
a. Glukosa akan merembes ke dalam urin jika kadar gula darah telah
mencapai ambangnya, pada kisaran angka 150-180 mg/dL.
12

Pemeriksaan urin dapat dilakukan dengan berbagai teknik dan


dilaporkan dengan sistem plus : 1+ hingga 4+.
b. Keton terutama harus diperiksa selama infeksi, stress emosional,
atau jika terjadi peningkatan kadar gula darah yang sangat tinggi.
c. Protein urin juga harus diperiksa, terutama jika terjadi komplikasi
ginjal (nefropati) mulai tampak.

Tabel 2.4 : Kriteria Diagnosis DM Tipe 26

Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu 200 mg/dL

Gejala klasik DM + glukosa darah puasa 126 mg/dL

Kadar gula darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dL

2.1.8 Diagnosis
Pada tahun 1997, The Americans Diabetes Association ,membuat kriteria
diagnosa diabetes mellitus adalah sebagai berikut :
1. Glukosa plasma darah (FPG) 126mg/dL, pasien tidak mendapatkan
asupan kalori tambahan sedikitnya 8 jam
2. Gejala khas diabetes (poliuria, polidipsia, penurunan berat badan)
ditambah pada glukosa darah sewaktu 200mg/dL, kapan saja tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir
Glukosa plasma 2 jam 200mg/dL pada tes toleransi glukosa oral (TTGO). TTGO
ini dilakukan dengan menggunakan beban gluksa yang setara dengan 75g glukosa
anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.2

2.1.9 Pengobatan Diabetes Melitus


Pemberian obat hipoglikemik ini boleh dimulai jika olahraga dan diet tidak
berhasil menyentuh target penyusutan gula darah dalam waktu 6-12 minggu.
Selama penggunaan obat hipoglikemik, olahraga dan diet tetap dilakukan. Dengan
ketiga pendekatan ini, obat hipoglikemik akan memberikan pengaruh lebih cepat,
dan kemungkinan timbulnya komplikasi dapat diperlambat.1
13

Berdasarkan cara kerjanya, obat hipoglikemik oral dapat dibagi sebagai


berikut:
1. Obat yang berfungsi sebagai perangsang sekresi insulin. Contohnya
Sulfonilurea. Paling banyak digunakan.
2. Obat yang mempengaruhi kerja insulin seperti Metformin dan
Tiazolidindion.
3. Obat yang menghalangi penyerapan glukosa. Penghambat glukosidase
dan miglitol merupakan preparat yang banyak digunakaan saat ini.
Tabel 2.5 : Obat Hiperglikemik Oral6

Generik Kandungan Dos Lama Frekuensi/


(mg/tablet) is kerja hari
harian (jam)
(mg)
Sulfonilurea Klorpropamid 100 250 100 24 1 Pemberian
Glibenklamid 2,5 5 500 36 12 sebelum
Glipizid 5 10 2,5 12 12 makan
Gliklazid 80 15 24 12
Glikuidon 30 5 20 10 -
Glimepirid 1, 2, 3, 4 80 16 1
240 10
Meglitinid Repaglinid , 1, 2 30 20
120 -
Nateglinid 120 0,5 - 24 Tidak
6 bergantung
Tiazolidindion Pioglitazon 15 30 1 jadwal
makan
Penghambat Akarbose 50 100 3 Bersama
-glukosidase suapan
24 pertama
Biguanid Metformin 500 850 15 1-3 Bersama /
30 100 sesudah
14

300 makan
50
100
68

250 -
3000

2.2 TB Paru

2.2.1 Definisi

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,


tidak termasuk pleura (selaput paru).7

2.2.2 Etiologi

TB paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa. Kuman ini


berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil tahan Asam (BTA). Kuman
TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat hidup beberapa jam
di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant,
tertidur lama selama beberapa hari. Sumber penularan adalah penderita TBC BTA
Positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk droplet (percikan dahak).7

2.2.3 Gejala klinis

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala


respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.7

1. Gejala respiratorik
a. batuk 3 minggu
b. batuk darah
c. sesak napas
d. nyeri dada
15

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis
pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit,
maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi
karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak
ke luar.7

2. Gejala sistemik
a. Demam
b. gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun

2.2.4 Klasifikasi

1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)7


a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberculosis aktif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak
respons dengan pemberian antibiotic spektrum luas
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M.tuberculosis positif
Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
2. Berdasarkan Tipe Penderita
a. Kasus baru
16

Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan


OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis
harian)7
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada
gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus
dipikirkan beberapa kemungkinan : 7
Infeksi sekunder
Infeksi jamur
TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah7
d. Kasus lalai berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan
berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif. 7
e. Kasus Gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) 7
Adalah penderita dengan hasil BTA negative gambaran radiologik positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran
radiologik ulang hasilnya perburukan7
f. Kasus kronik
17

Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih


positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan
yang baik7
g. Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif
dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih
gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap.
Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung7
Pada kasus dengan gambaran radiologic meragukan lesi TB aktif, namun
setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada
perubahan gambaran radiologi. 7

2.2.5 Patogenesis

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang


di jaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang
disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di
bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang
primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar
getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama
dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks
primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut : 7

1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad


integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya Salah satu contoh
adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan
bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang
membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
18

bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan


menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis
dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelectasis tersebut, yang
dikenal sebagai epituberkulosis. 7
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan
maupun ke paru sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus. 7
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian
penyebaran ini sangat bersangkutan dengan daya tahan7

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman
tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal
dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus,
bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar
lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum
halus/BJH) 7
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut turut
atau dengan cara: 7
Sewaktu /spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Dahak Pagi ( keesokan harinya )
Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)

2. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto
lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-
Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform). 7
a. Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
19

Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus


atas paru dan segmen superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
b. Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas

Kalsifikasi atau fibrotic

Kompleks ranke

Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

3. Pemeriksaan Serologi
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat
mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang
terjadi. 7
b. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM)
yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. 7
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
d. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis)
adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam
serum. 7
4. Polymerase chain reaction (PCR):
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat
mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. 7
5. Pemeriksaan BACTEC
20

Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah


metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang
kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya
oleh mesin ini. 7

6. Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta


7. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsy
paru dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal
biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah
bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi
aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus). Diagnosis
pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada
jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa
granuloma dengan perkejuan7
8. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator
yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam
pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai
indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik
penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap
pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat
penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa
menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderita, yaitu dalam
keadaan supresi / tidak. 7

9. Uji tuberkulin
Gambar 2.1 Alur Diagnosis TB7
21

2.2.7 Tatalaksana

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3


bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan. 7

1. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)


Obat yang dipakai: 7
a. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol

Obat Dosis Efek Samping


Rifampisin 10 mg/ kg BB, maksimal Ringan : demam, menggigil dan
600mg 2-3X/ minggu nyeri tulang, sakit perut, mual,
tidak
nafsu makan, muntah kadang-
kadang diare, gatal-gatal
kemerahan
Warna merah pada air
22

seni, keringat, air mata, air liur

Berat : Hepatitis, Purpura, anemia


hemolitik yang akut, syok dan
gagal ginjal, dan sesak napas
5 mg/kg BB, maksimal Ringan : tanda-tanda keracunan
300mg, 10 mg /kg BB 3 X pada syaraf tepi, kesemutan, rasa
INH seminggu, 15 mg/kg BB 2 X terbakar di kaki dan nyeri
semingggu atau 300 mg/hari otot.
untuk dewasa. Berat : hepatitis
Ringan : reaksi
demam, mual, kemerahan dan
fase intensif 25 mg/kg BB,
reaksi kulit yang lain serta nyeri
Pirazinamid 35 mg/kg BB 3 X
sendi
semingggu

Berat : Hepatitis
Telinga mendenging (tinitus),
Streptomisin 15mg/kgBB pusing dan
kehilangan keseimbangan
fase intensif 20mg /kg BB, Gangguan penglihatan
fase lanjutan 15 mg berupa berkurangnya ketajaman,
Etambutol /kg BB, 30mg/kg BB 3X buta warna untuk warna
seminggu, 45 mg/kg BB 2 X merah dan hijau.
Seminggu
Tabel 2.6. Dosis dan efek samping OAT lini 1

b. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)


Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari : 7
Empat obat anti tuberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150
mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan
Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg dan pirazinamid 400 mg
23

c. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)


Kanamisin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam
klavulanat
Derivat rifampisin dan INH

2. PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS

3. TERAPI PEMBEDAHAN7
a. lndikasi operasi
- Indikasi mutlak
Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi
dahak tetap positif
Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan
cara konservatif
Penderita dengan fistula bronkopleura dan empyema yang tidak
dapat diatasi secara konservatif
- lndikasi relatif
24

Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang


Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
Sisa kaviti yang menetap.

2.3 Hubungan Diabetes Melitus dengan TB paru

Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang berkaitan dengan


gangguan fungsi imunitas tubuh, sehingga penderita lebih rentan terserang infeksi,
termasuk TB paru. Penyebab infeksi TB paru pada penderita DM adalah karena
defek fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan tubuh, termasuk gangguan
fungsi dari epitel pernapasan serta motilitas silia. Paru pada penderita DM akan
mengalami perubahan patologis, seperti penebalan epitel alveolar dan lamina
basalis kapiler paru yang merupakan akibat sekunder dari komplikasi
mikroangiopati sama seperti yang terjadi pada retinopati dan nefropati. Gangguan
neuropati saraf autonom berupa hipoventilasi sentral dan sleep apneu. Perubahan
lain yang juga terjadi yaitu penurunan elastisitas rekoil paru, penurunan kapasitas
difusi karbonmonoksida, dan peningkatan endogen produksi karbondioksida.6
Terdapat penurunan jumlah sel limfosit T dan netrofil pada pasien DM
yang disertai dengan penurunan jumlah T helper 1 (Th1) dan penurunan produksi
mediator inflamasi seperti TNF , IL-1 serta IL-6. Limfosit Th1 mempunyai
peranan penting untuk mengontrol dan menghambat pertumbuhan basil M.tb,
sehingga terdapatnya penurunan pada jumlah maupun fungsi limfosit T secara
primer akan bertanggungjawab terhadap timbulnya kerentanan pasien DM untuk
terkena TB. Fungsi makrofag juga mengalami gangguan yang ditandai dengan
ketidakmampuan untuk menghasilkan reactive oxygen species, fungsi kemotaksis
dan fagositik yang menurun.7 Infeksi oleh basil tuberkel akan menyebabkan
gangguan yang lebih lanjut pada sitokin, makrofag-monosit dan populasi sel T
CD4/CD8. Keseimbangan antara sel limfosit T CD4 dan CD8 memainkan peranan
penting dalam mengatur pertahanan tubuh melawan mikobakteri dan menentukan
kecepatan regresi pada TB aktif.8
2.4 Hipotesis
25

Ha : Ada hubungan diabetes melitus tipe 2 dengan TB paru pada


pasien di puskesmas tanjung rejo kec. Percut sei tuan tahun 2017.
Ho : Tidak ada hubungan diabetes melitus tipe 2 dengan TB paru pada
pasien di puskesmas tanjung rejo kec. Percut sei tuan tahun 2017.

BAB III
KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Indeks Massa Tubuh


Pasien DM tipe 2
TB paru

Kepatuhan Meminum
Obat DM

3.2 Variabel Penelitian


1. Variabel Independen
Variabel independen pada penelitian ini adalah DM tipe 2
2. Variabel Dependen
Variabel dependen pada penelitian ini adalah TB paru
3.3 Definisi Operasional
Definisi operasional sangat dibutuhkan untuk membatasi ruang lingkup
atau pengertian variabel-variabel yang diamati atau diteliti. Untuk memudahkan
pelaksanaan penelitian ini dan agar penelitian tidak terlalu luas maka dibuat
definisi operasional sebagai berikut :

Tabel 3.1 Definisi Operasional


Variabel Definisi Operasional Alat ukur Cara Hasil ukur Skala
ukur
Index Nilai yang diambil Timbangan Rumus 1= Kurus (17,0 Interval
Massa dari perhitungan badan, IMT 18,4)
26

Tubuh antara berat badan Stature 2 = Normal (18,5-


Pasien DM dan tinggi badan Meter 25,0)
3 = Gemuk (25,1-
27,0)
4 = Obesitas
(>27,0)
Kepatuhan Perilaku pasien yang Kuesioner Check 1 = Rendah (1 - Interval
Minum mentaati semua list 5)
Obat DM nasihat dan petunjuk 2 = Sedang (6 -
yang dianjurkan oleh 10)
kalangan tenaga 3 = Tinggi (11
medis mengenai 15)
penggunaan obat
untuk mencapai
tujuan pengobatan
TB paru Tuberkulosis yang Rekam Check 1 = Terkena Nominal
menyerang jaringan Medis list 2 = Tidak Terkena
paru
27

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang bertujuan mengetahui
hubungan diabetes melitus tipe 2 dengan TB paru pada pasien di Puskesmas
Tanjung Rejo Kec. Percut Sei Tuan Tahun 2017.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian akan dilakukan di Puskesmas Tanjung Rejo Kec. Percut Sei
Tuan Tahun 2017.

4.3 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah


pendekatan cross sectional dimana peneliti melakukan pengukuran atau
pengamatan pada saat bersamaan (sekali waktu) antara variable independen dan
variable dependen.9
4.4 Subjek Penelitian
4.4.1 Populasi
Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah seluruh pasien
DM tipe 2 sebanyak 60 orang berdasarkan data rekam medis di Puskesmas
Tanjung Rejo Kec. Percut Sei Tuan Tahun 2017.

4.4.2 Sampel dan Besar Sampel


Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek
peneliti yang dianggap mewakili seluruh populasi. 9 Pada penelitian ini
sampel yang diambil adalah seluruh pasien DM tipe 2 di Puskesmas
Tanjung Rejo Kec. Percut Sei Tuan Tahun 2017 berjumlah 60 orang
penderita DM tipe 2.
28

4.4.3 Tehnik Pengambilan Sampel


Sampel pada penelitian ini diambil dengan berdasarkan total
sampling, pengambilan sampel berdasarkan suatu pertimbangan tertentu
yang dibuat oleh peneliti berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang
sudah diketahui sebelumnya.9

4.4.4 Kriteria Inklusi


a. Penderita Diabetes Melitus tipe 2 di Puskesmas Tanjung Rejo Kec.
Percut Sei Tuan Tahun 2017.

b. Bersedia menjadi responden

4.4.5 Kriteria Eksklusi

a. Pasien tidak bersedia menjadi responden


b. Pasien yang memiliki riwayat TB paru sebelum didiagnosis DM tipe 2
4.5 Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pengumpulan data secara primer, yang artinya data diperoleh dengan memberikan
kuesioner pada pasien DM tipe 2 yang berobat di Puskesmas Tanjung Rejo Kec.
Percut Sei Tuan Tahun 2017.

4.6 Pengolahan Data


Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan pengolahan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Editing
Melakukan pengecekan formulir atau lembar observasi dan check list
seperti kelengkapan pengisian.
2. Scoring
Proses penilaian data dengan memberikan skor.
3. Coding
Untuk memudahkan dalam pengolahan data dan pengisian dilakukan.
4. Cleaning
29

Mengecek kembali data yang sudah di-entri, apakah ada kesalahan saat
meng-entri ke komputer.
4.7 Analisis Data
4.7.1 Analisis Univariat
Analisa univariat digunakan persentase, hasil dari setiap variabel
ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi.
4.7.2 Analisis Multivariat
A. Uji Normalitas Data
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui sebaran distribusi suatu
data apakah normal atau tidak. Uji normalitas dua data berupa uji
Kolmogrov Smirnov digunakan besar sampel >50 sedangkan uji Shapiro-
Wilk digunakan apabila besar sampel 50. Distribusi normal baku adalah
data yang telah ditransformasikan ke dalam bentuk p dan diasumsikan
normal. Jika nilainya diatas 0,05 maka distribusi data dinyatakan
memenuhi asumsi normalitas, dan jika nilainya dibawah 0,05 maka
diinterpretasikan sebagai tidak normal.9
B. Uji Korelasi
Uji korelasi menggunakan uji statistik ANOVA. Pengujian analisis
dilakukan menggunakan program Software Statistik pada komputer
dengan tingkat kesalahan 5%. Apabila didapatkan nilai p < 0,05, maka H0
ditolak dan Ha diterima.9

Penyerahan surat izin penelitian ke Kepala Tanjung Rejo


Kec. Percut Sei Tuan Tahun 2017
4.8 Alur Penelitian
Alur penelitian dapat dijelaskan melalui gambar dibawah ini :
Pencatatan nomor rekam medik di bagian SP2TP

Pencocokkan nomor dan peminjaman rekam medik di SP2TP

Pencatatan dan pengelompokkan data : Hubungan Hipertensi dengan


Diabetes Melitus Tipe 2

Pengolahan dan analisa data


30

Gambar 4.1 Prosedur Penelitian

BAB V
HASIL PENELITIAN

Sampel penelitian dari priode Januari Mei 2017 diperoleh sejumlah 60


sampel yang memenuhi kriteria penelitian. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat
pada tabel-tabel sebagai berikut:
5.1. Analisis Univariat
31

5.1.1 Distribusi Frekuensi IMT pada Pasien DM tipe 2


Tabel 5.1 Index Massa Tubuh
Index Massa Jumlah (orang) Persentase (%)
Tubuh

Kurus 19 31,7

Normal 17 28,3

Gemuk 16 26,7

Obesitas 8 13,3

Total 60 100

P
aPada peneltian ini didapat dari 60 responden didapatkan bahwa
Index Massa Tubuh yang terbanyak yaitu Kurus sebanyak 19 orang
(31,7%), diikuti normal sebanyak 17 orang (28,3%), gemuk
sebanyak 16 orang (26,7%), dan yang tersedikit yaitu obesitas
sebanyak 8 orang (13,3%).
32

5.1.2 Distribusi Frekuensi Kepatuhan Minum Obat DM


Tabel 5.2 Kepatuhan Minum Obat
Kepatuhan Jumlah (orang) Persentase (%)
Minum Obat

Rendah 16 26,7

Sedang 19 31,7

Tinggi 25 41,7

Total 60 100

Pada peneltian ini didapat dari 60 responden didapatkan kepatuhan


minum obat DM yaitu yang terbanyak kepatuhan tinggi sebanyak 25 orang
(41,7%), diikuti sedang sebanyak 19 orang (31,7%) dan rendah sebanyak
16 orang (26,7%).

5.1.3 Distribusi Pasien DM tipe 2 yang Terkena TB paru


Tabel 5.3 Pasien DM tipe 2 yang Terkena TB paru
TB Paru Jumlah (orang) Persentase (%)

Terkena 26 43,3

Tidak Terkena 34 56,7

Total 60 100

Pada peneltian ini didapat dari 60 responden didapatkan pasien DM tipe 2


yang terkena TB paru sebanyak 26 orang (43,3%) dan yang tidak terkena
33

sebanyak 34 orang (56,7%).


5.2 Analisis Multivariat
5.2.1 Analisis Hubungan IMT pada Pasien DM tipe 2 dengan TB paru
pada Pasien di Puskesmas Tanjung Rejo Kec. Percut Sei Tuan Tahun
2017
Analisa Multivariat ANOVA untuk mengetahui hubungan IMT pada
Pasien DM tipe 2 dengan TB Paru pada pasien di Puskesmas Tanjung Rejo Kec.
Percut Sei Tuan Tahun 2017.

Tabel 5.4 Hubungan IMT dengan TB paru pada Pasien di Puskesmas


Tanjung Rejo Kec. Percut Sei Tuan Tahun 2017

TB Paru IMT N Sig


Terkena Kurus 11 0,003
Normal 3 0,240
Gemuk 8 0,103
Obesitas 4 0,232
26
Tidak terkena Kurus 11 0,103
Normal 14 0,001
Gemuk 5 0,127
Obesitas 4 0,233
34
Pada penelitian ini diketahui dari 60 responden didapatkan 26
orang terkena TB paru dengan rincian yang IMT dengan kategori kurus
yang paling sering terkena TB paru dibuktikan dengan nilai sig = 0,003
(p<0,05) dan diikuti dengan kategori gemuk dengan nilai sig = 0,103.
Artinya IMT dengan kategori kurus memiliki resiko lebih tinggi terkena
TB paru dibandingkan dengan kategori IMT lainnya pada Pasien DM tipe
2 di Puskesmas Tanjung Rejo Kec. Percut Sei Tuan Tahun 2017 Kabupaten
Deli Serdang
Pasien yang tidak terkena TB paru yaitu sebanyak 34 orang dengan
rincian IMT yang termasuk kategori normal yang paling kecil
34

kemungkinan terkena TB paru yang dibuktikan dengan nilai sig = 0,001


(p<0,005) dan diikuti dengan kategori kurus sig = 0,103. Artinya pasien
yang termasuk kategori IMT normal memiliki kemungkinan paling kecil
untuk terkena TB paru.

5.2.2 Analisis Hubungan Kepatuhan Minum Obat DM dengan TB paru


pada Pasien di Puskesmas Tanjung Rejo Kec. Percut Sei Tuan Tahun
2017
Analisa Multivariat ANOVA untuk mengetahui hubungan Kepatuhan
Minum Obat DM dengan TB Paru pada pasien di Puskesmas Tanjung Rejo
Kec. Percut Sei Tuan Tahun 2017.

Tabel 5.5 Hubungan Kepatuhan Minum Obat DM dengan TB paru


pada Pasien di Puskesmas Tanjung Rejo Kec. Percut Sei Tuan
Tahun 2017
TB Paru Kepatuhan N Sig
Terkena Rendah 14 0,001
Sedang 8 0,180
Tinggi 4 0,205
26
Tidak terkena Rendah 2 0,511
Sedang 11 0,203
Tinggi 21 0,001
34

Pada penelitian ini diketahui dari 60 responden didapatkan 26


orang terkena TB paru diketahui memiliki kepatuhan yang rendah
dibuktikan dengan nilai sig = 0,001 (p<0,05) dan tingkat kepatuhan sedang
dengan nilai sig = 0,180. Artinya Tingkat Kepatuhan yang rendah akan
35

meningkatkan resiko terkena TB paru dibandingkan tingkat kepatuhan


yang sedang dan tinggi .
Pasien yang tidak terkena TB paru yaitu sebanyak 34 orang
diketahui memiliki kepatuhan yang tinggi dibuktikan dengan nilai sig =
0,001 (p>0,05) dibandingkan dengan tingkat kepatuhan sedang nilai sig =
0,203 dan tingkat kepatuhan rendah dengan nilai sig = 0,501. Artinya
tingkat kepatuhan yang tinggi akan menurukan resiko terkena TB paru
dibandingkan tingkat kepatuhan sedang maupun rendah.
36

BAB VI
PEMBAHASAN

6.1 Pembahasan
6.1.1 Distribusi Pasien DM tipe 2 yang Terkena TB paru
Pada peneltian ini didapat dari 60 responden didapatkan pasien DM tipe 2
yang terkena TB paru sebanyak 26 orang (43,3%) dan yang tidak terkena
sebanyak 34 orang (56,7%). Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh
Alishjabana,dkk10, yang didapatkan bahwa dari 454 orang penderita TB paru 181
orang diantaranya (40%) juga memiliki riwayat DM tipe 2 sebelumnya.
Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang berkaitan dengan
gangguan fungsi imunitas tubuh, sehingga penderita lebih rentan terserang infeksi,
termasuk TB paru. Penyebab infeksi TB paru pada penderita DM adalah karena
defek fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan tubuh, termasuk gangguan
fungsi dari epitel pernapasan serta motilitas silia.6
Sel-sel efektor yang sering berkontribusi terhadap infeksi M. tuberculosis
adalah fagosit, yaitu makrofag alveolar, perkursor monosit, dan limfosit sel-T.
Makrofag alveolar, berkolaborasi dengan limfosit sel-T, berperan penting dalam
mengeliminasi infeksi tuberkulosis. Pada penderita diabetes melitus, diketahui
terjadi gangguan kemotaksis, fagositosis, dan antigen presenting oleh fagosit
terhadap bakteri M. tuberculosis; kemotaksis monosit tidak terjadi pada penderita
DM.11

6.1.2 Analisis Hubungan IMT pada Pasien DM tipe 2 dengan TB paru


pada Pasien di Puskesmas Tanjung Rejo Kec. Percut Sei Tuan Tahun
2017
Pada penelitian ini diketahui dari 60 responden didapatkan 26 orang
terkena TB paru dengan rincian yang IMT dengan kategori kurus yang paling
sering terkena TB paru dibuktikan dengan nilai sig = 0,003 (p<0,05) dan diikuti
dengan kategori gemuk dengan nilai sig = 0,103. Artinya IMT dengan kategori
kurus memiliki resiko lebih tinggi terkena TB paru dibandingkan dengan kategori
37

IMT lainnya pada Pasien DM tipe 2 di Puskesmas Tanjung Rejo Kec. Percut Sei
Tuan Tahun 2017 Kabupaten Deli Serdang
Pasien yang tidak terkena TB paru yaitu sebanyak 34 orang dengan
rincian IMT yang termasuk kategori normal yang paling kecil kemungkinan
terkena TB paru yang dibuktikan dengan nilai sig = 0,001 (p<0,005) dan diikuti
dengan kategori kurus sig = 0,103. Artinya pasien yang termasuk kategori IMT
normal memiliki kemungkinan paling kecil untuk terkena TB paru.
Hal ini sama seperti penelitian yang dilakukan Izzati 12, diketahui
p=0,001 (p<0,05 ) yang berarti di dapatkan hubungan yang bermakna antara status
gizi dengan kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas Andalas. Odds Ratio
9,412 artinya responden dengan status gizi kurang beresiko 9,4 kali menderita TB
Paru dibandingkan dengan responden dengan status gizi normal dan atau berlebih.
Status gizi yang buruk mengganggu sistem imun yang diperantarai
penurunan kadar respons Th-1, produksi TNF-, IFN-, serta produksi IL-1 dan
IL-6 juga ditemukan pada penderita TB paru disertai DM dibandingkan pada
penderita TB tanpa DM. Penurunan produksi IFN- lebih signifikan pada pasien
TB paru dengan DM tidak terkontrol dibandingkan pada pasien TB paru dengan
DM terkontrol. Hal itu memudahkan terjadinya penyakit infeksi termasuk TB paru
Hanya 10% dari yang terinfeksi basil TB akan menderita penyakit TB Setelah
terjadi infeksi primer dan sampai pada akhirnya basil TB menyebar ke seluruh
tubuh banyaknya basil TB yang masuk dan daya tahan tubuh host akan
menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Pada penderita yang daya tahan
tubuhnya buruk, respon imunnya buruk, tidak dapat mencegah multiplikasi kuman
sehingga dapat menjadi sakit dalam beberapa bulan kemudian.Tuberkulosis
sekunder dapat pula terjadi ketika daya tahan tubuh seseorang menurun karena
status gizi buruk.13,14,15
6.1.3 Analisis Hubungan Kepatuhan Minum Obat DM dengan TB paru
pada Pasien di Puskesmas Tanjung Rejo Kec. Percut Sei Tuan Tahun 2017
Pada penelitian ini diketahui dari 60 responden didapatkan 26 orang
terkena TB paru diketahui memiliki kepatuhan yang rendah dibuktikan dengan
nilai sig = 0,001 (p<0,05) dan tingkat kepatuhan sedang dengan nilai sig = 0,180.
38

Artinya Tingkat Kepatuhan yang rendah akan meningkatkan resiko terkena TB


paru dibandingkan tingkat kepatuhan yang sedang dan tinggi .
Pasien yang tidak terkena TB paru yaitu sebanyak 34 orang diketahui
memiliki kepatuhan yang tinggi dibuktikan dengan nilai sig = 0,001 (p>0,05)
dibandingkan dengan tingkat kepatuhan sedang nilai sig = 0,203 dan tingkat
kepatuhan rendah dengan nilai sig = 0,501. Artinya tingkat kepatuhan yang tinggi
akan menurukan resiko terkena TB paru dibandingkan tingkat kepatuhan sedang
maupun rendah.
Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Ulum 16, Kepatuhan
minum obat memiliki hubungan dengan TB paru ditandai dengan nilai p=0,034
(p<0,05) dengan tingkat keeratan hubungan sedang (r=0,402). Odds Ratio 9,012
artinya responden dengan kepatuhan minum obat yang rendah beresiko 9,0 kali
menderita TB Paru dibandingkan dengan responden dengan tingkat kepatuhan
sedang dan tinggi.
Kepatuhan minum obat DM akan berpengaruh kadar gula darah pada
pasien DM. Pada pasien DM yang tingkat kepatuhannya rendah akan
menyebabkan kadar gula darah akan selalu tinggi yang akan terjadi hiperglikemia
yang dapat menyebabkan menurunnya aktivitas sel fagosit untuk membunuh
mikroorganisme dalam leukosit. 17
Penurunan kadar respons Th-1, produksi TNF-, IFN-, serta produksi
IL-1 dan IL-6 juga ditemukan pada penderita TB paru disertai DM
dibandingkan pada penderita TB tanpa DM. Penurunan produksi IFN- lebih
signifikan pada pasien TB paru dengan DM tidak terkontrol dibandingkan pada
pasien TB paru dengan DM terkontrol. Produksi IFN- ini akan kembali normal
dalam 6 bulan, baik pada pasien TB paru saja maupun pasien TB paru dengan
DM terkontrol, tetapi akan terus menurun pada pasien TB paru dengan DM tidak
terkontrol. Selain itu, terjadi perubahan vaskuler pulmonal dan tekanan oksigen
alveolar yang memperberat kondisi pasien.15

BAB VII
KESIMPILAN DAN SARAN
39

7.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat setelah dilakukan penelitian adalah:
1. Pada peneltian ini didapat dari 60 responden didapatkan pasien DM tipe 2
yang terkena TB paru sebanyak 26 orang (43,3%) dan yang tidak terkena
sebanyak 34 orang (56,7%).
2. IMT dengan kategori kurus yang paling sering terkena TB paru dibuktikan
dengan nilai sig = 0,003 (p<0,05)
3. Kepatuhan yang rendah yang meningktkan resiko terkena TB Paru
dibuktikan dengan nilai sig = 0,001 (p<0,05)
7.2 Saran
1. Bagi peneliti
Dapat menggunakan hasil ini sebagai perbandingan untuk melakukan
penelitian yang sama dikemudian hari.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi ilmiah sehingga dapat
menambah wawasan dan memberikan sumbangan pengetahuan dibidang
kesehatan terutama khususnya mengenai hubungan DM tipe 2 dengan TB
Paru.
3. Bagi Tenaga Medis
Dengan adanya hasil dari penelitian ini diharapkan bagi pihak puskesmas
agar tetap dapat mempertahankan pola kerja yang ada dan membantu
menegakkan diagnosis dan membantu upaya pengobatan serta pencegahan
tentang terjadinya TB Paru yang disebabkan DM Tipe 2.

Anda mungkin juga menyukai