Anda di halaman 1dari 3

Semua pemerintahan selain Islam tidak dibenarkan dan merupakan pemerintahan

kufur. Petikan tulisan diatas saya ambil dari tulisan balasan saudara Firman Gani yang di muat
di Rubrik Opini PK identitas Awal Agustus atas tulisan saya di rubrik Bias edisi Akhir Juni
2010. Judul tulisan saya saat itu, Negara Islam, No Way. Dari bahasa yang di lontarkan sodara
Firman dalam tulisannya, saya melihat ada kesalahan fatal dalam menafsirkannya. Parahnya,
sodara Firman secara implisit mengatakan kalau saya congkak dan salah baca. Tapi saya sendiri
tidak akan mengomentari bahasa-bahasa seperti itu. Menurut saya, lontaran seperti itu tidak lahir
dari rasio yang sehat, namun datang dari nafsu amarah yang menggebu.

Dari hasil pencarian saya di beberapa kamus dan mesin pencari Google, secara bahasa kafir
berasal dari kata kufur yang artinya menutupi kebenaran, melanggar kebenaran yang telah
diketahui dan tidak berterima kasih. Kata jamak dari kafir adalah kaafirun atau kuffar. Kata kafir
dan derivasinya disebutkan sebanyak 525 kali dalam Al Quran. Semuanya mengacu pada
perbuatan mengingkari Allah swt. Kalau kita cermati, arti kafir yang paling dominan disebutkan
dalam Al Quran adalah pengingkaran terhadap Allah dan Rasul-Nya, khususnya Muhammad
saw. dengan ajaran-ajaran yang dibawanya.

Jadi, orang kafir adalah mereka yang menolak, menentang, mendustakan, mengingkari, dan
bahkan anti kebenaran. Seseorang disebut kafir apabila melihat sinar kebenaran, ia akan
memejamkan matanya. Apabila mendengar ajakan kebenaran, ia menutupi telinganya. Ia tidak
mau mempertimbangkan dalil apa pun yang disampaikan padanya dan tidak bersedia tunduk
pada sebuah argumen meski telah mengusik nuraninya.

Nah, disinilah titik krusialnya. Apakah islam selain tafsiran sodara Firman lantas bisa kita cap
kafir? Karena banyak umat islam sendiri, termasuk para ulama (baca: ulama NU) menolak keras
pendirian Negara Islam. Pada titik inilah saya berbeda pemahaman dengan sodara Firman, bukan
persoalan lain. Apalagi sampai berdebat soal sejarah Kebangkitan Nasional. Bukan itu esensi
tulisan yang ingin saya sampaikan.

Perlu juga diketahui, tulisan saya tidak bermaksud menimbulkan islamophobia. Saya hanya ingin
semua umat manusia saling menghargai, tidak saling menghujat, cinta damai. Bisa menerima
perbedaan pendapat. Dan, cita-cita inilah yang kadang disalah-tafsirkan oleh orang-orang yang
membenci Nucholis Madjid dan Gusdur yang dengan gencar mewacanakan pluralisme. Bagi
saya, bukan Negara Islam yang menjadi keharusan, tapi pluralisme. Sebuah sikap yang saling
menghargai, saling memberikan kesempatan mengeluarkan semua potensi yang ada. Dan, inilah
inti demokrasi. Lalu apa alasan menolak demokrasi?

Mungkin kita harus sedikit merenung, kenapa Tuhan menciptakan manusia dengan bersuku-
suku, berbangsa-bangsa. Ini tidak lain agar mereka saling berbuat dalam kebaikan dan taqwa.
Bukan malah sebaliknya, mencap orang lain kafir.
Landasan saya mengatakan pemahaman islam macam Firman bisa menggiring islam dari agama
menjadi ideologi? Kalau kita ingin membuka selubung ideologis pemikiran Firman, kita bisa
melacaknya dari landasan pemahamannya. Dalam hal ini filsafat yang mendasarinya. Meskipun
saudara Firman sendiri akan membantah kalau sedang berfilsafat. Namun, kalau di lacak secara
hati-hati, kita bisa menemukan bahwa sodara Firman telah terkontaminasi paradigma positivistik.
Sesuatu yang tidak mungkin disadarinya, baik olehnya maupun oleh pengikutnya yang lain.

Salah seorang pendiri Mahzab Frankfurt, Max Hokheimer menunjukkan tiga pengandaian dasar
yang membuat paradigma posistivistik menjadi ideologi dalam arti ketat. Pertama, paradigma
positivistik mengandaikan bahwa pengetahuan manusia tidak menyejarah atau ahistoris, dan
karenanya teori yang dihasilkan juga ahistoris dan asosial, maka tak salah Firman menganggap
saya dan atau yang berpikiran lain dari dia sebagai kafir. Berdasarkan ciri ahistorisnya itu,
muncullah pengandaian kedua, yaitu pengetahuan bersifat netral. Teori merupakan dekskripsi
murni tentang fakta, yang merupakan pengetahuan demi pengetahuan. Akhirnya, karena
pengetahuan bersifat netral, maka ia terpisah dari praxis. Proses penelitian dipisahkan dari
tindakan etis, dan pengetetahuan dapat dipisahkan dari kepentingan.

Lebih lanjut Hokheimer menjelaskan, sifat ideologis paradigma positivistik itu tampak dalam
tiga gejala. Pertama, dengan anggapan teori itu ahistoris, ia mengklaim diri universal, berlaku
dimana saja secara transendental dan suprasosial sehingga melupakan proses kehidupan dalam
masyarakat real. Maka tak salah saudara Firman kemudian ingin menerapkan Negara Islam di
Negara Indonesia yang majemuk ini. Ia tidak akan mau tahu akan perbedaan konteks antara
Negara Timur-tengah sana dengan Indonesia. Bagi dia, pemikiran yang berbeda dengan mereka
adalah salah dan kufur. Salah dan kufur artinya apa? Bahwa pemikiran yang sah ada di muka
bumi hanya pemikiran kelompoknya, selain itu harus dibumihanguskan. Inilah kenapa saya
mengatakan bahwa islam tak akan jauh dari bayang-bayang totaliterianisme.

Kedua, dengan mengangap diri netral, paradigma ini berdiam diri terhadap masyarakat yang
menjadi objeknya dan membenarkan kenyataan tanpa mempertanyakannya. Firman tak
mempertanyakan pemikirannya sendiri, dan menerapkan teorinya secara taken for granted. Ciri-
cirinya, tafsirnya lah yang paling sahih. Ketiga, yang tak kalah pentingnya, dengan memisahkan
diri dari praxis, ia hanya mengejar teori demi teori dan karenanya tidak memiliki implikasi
praktis.

Dari penjelasan diatas, tak salah kalau senior saya Muh Absariarpin mengatakan antara islam
versi Firman dengan Marxisme ortodoks tak ada bedanya. Menurutnya, kedua pemikiran tersebut
meskipun saling bertentangan, sama-sama berlandaskan diri pada paradigma positivistik. Bagi
Marxisme, kebenaran itu hanya ada dan pasti ada di Sosialisme Komunisme, sementara bagi
Firman, kebenaran itu hanya ada di Negara Islam. Peran subjek kemudian diabaikan, gerak
sejarah dilepaskan dari subjek penggerak sejarah itu sendiri.
Akhirnya, saya sendiri tak hentinya untuk terus menyerukan kalau kita ini bukan siapa-siapa, kita
ini hanyalah buai yang terombang-ambing ditengah lautan. Marilah kita menghargai perbedaan.
Mencintai sesame umat manusia, meskipun kita hakikatnya berbeda.

Anda mungkin juga menyukai