Anda di halaman 1dari 8

Panduan Shalat Gerhana

Des 31, 2009Muhammad Abduh Tuasikal, MScArtikel Terhangat 2, Shalat16 Komentar

Bagaimanakah cara melaksanakan shalat gerhana?

Berikut panduan lengkapnya.

Bagi yang Menyaksikan Gerhana Hendaklah Melaksanakan Shalat Gerhana

Jika seseorang menyaksikan gerhana, hendaklah ia melaksanakan shalat gerhana sebagaimana


tata cara yang nanti akan kami utarakan, insya Allah.
Lalu apa hukum shalat gerhana? Pendapat yang terkuat, bagi siapa saja yang melihat gerhana
dengan mata telanjang, maka ia wajib melaksanakan shalat gerhana.
Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,




Jika kalian melihat gerhana tersebut (matahari atau bulan) , maka bersegeralah untuk
melaksanakan shalat.2
Karena dari hadits-hadits yang menceritakan mengenai shalat gerhana mengandung kata perintah
(jika kalian melihat gerhana tersebut, shalatlah: kalimat ini mengandung perintah). Padahal
menurut kaedah ushul fiqih, hukum asal perintah adalah wajib. Pendapat yang menyatakan
wajib inilah yang dipilih oleh Asy Syaukani, Shidiq Hasan Khoon, dan Syaikh Al Albani
rahimahumullah.

Catatan: Jika di suatu daerah tidak nampak gerhana, maka tidak ada keharusan melaksanakan
shalat gerhana. Karena shalat gerhana ini diharuskan bagi siapa saja yang melihatnya
sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.

Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana

Waktu pelaksanaan shalat gerhana adalah mulai ketika gerhana muncul sampai gerhana tersebut
hilang.
Dari Al Mughiroh bin Syubah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,








Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana
tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya,
berdoalah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).3
Shalat gerhana juga boleh dilakukan pada waktu terlarang untuk shalat. Jadi, jika gerhana
muncul setelah Ashar, padahal waktu tersebut adalah waktu terlarang untuk shalat, maka shalat
gerhana tetap boleh dilaksanakan. Dalilnya adalah:




Jika kalian melihat kedua gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.4
Dalam hadits ini tidak dibatasi waktunya. Kapan saja melihat gerhana termasuk waktu terlarang
untuk shalat, maka shalat gerhana tersebut tetap dilaksanakan.

Hal-hal yang Dianjurkan Ketika Terjadi Gerhana

Pertama: perbanyaklah dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya.
Dari Aisyah radhiyallahu anha, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,







Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah.
Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal
tersebut maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.5

Kedua: keluar mengerjakan shalat gerhana secara berjamaah di masjid.

Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini sebagaimana dalam hadits dari Aisyah bahwasanya
Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengendari kendaraan di pagi hari lalu terjadilah gerhana.
Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam melewati kamar istrinya (yang dekat dengan masjid), lalu
beliau berdiri dan menunaikan shalat.6 Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu
alaihi wa sallam mendatangi tempat shalatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat di situ.7
Ibnu Hajar mengatakan, Yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah
mengerjakan shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu shalat tersebut lebih
tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah melihat berakhirnya gerhana.8

Lalu apakah mengerjakan dengan jamaah merupakan syarat shalat gerhana? Perhatikan
penjelasan menarik berikut.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, Shalat gerhana secara jamaah
bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di
rumah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,



Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah.9
Dalam hadits ini, beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak mengatakan, (Jika kalian
melihatnya), shalatlah kalian di masjid. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa shalat
gerhana diperintahkan untuk dikerjakan walaupun seseorang melakukan shalat tersebut
sendirian. Namun, tidak diragukan lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjamaah
tentu saja lebih utama (afdhol). Bahkan lebih utama jika shalat tersebut dilaksanakan di masjid
karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengerjakan shalat tersebut di masjid dan mengajak
para sahabat untuk melaksanakannya di masjid. Ingatlah, dengan banyaknya jamaah akan lebih
menambah kekhusuan. Dan banyaknya jamaah juga adalah sebab terijabahnya (terkabulnya)
doa.10

Ketiga: wanita juga boleh shalat gerhana bersama kaum pria

Dari Asma` binti Abi Bakr, beliau berkata,




.









Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu anha -isteri Nabi shallallahu alaihi wa sallam- ketika
terjadi gerhana matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri
untuk melakukan sholat, saya bertanya: Kenapa orang-orang ini? Aisyah mengisyaratkan
tangannya ke langit seraya berkata, Subhanallah (Maha Suci Allah). Saya bertanya: Tanda
(gerhana)? Aisyah lalu memberikan isyarat untuk mengatakan iya.11

Bukhari membawakan hadits ini pada bab:






Shalat wanita bersama kaum pria ketika terjadi gerhana matahari.
Ibnu Hajar mengatakan,

Judul bab ini adalah sebagai sanggahan untuk orang-orang yang melarang wanita tidak boleh
shalat gerhana bersama kaum pria, mereka hanya diperbolehkan shalat sendiri.12

Kesimpulannya, wanita boleh ikut serta melakukan shalat gerhana bersama kaum pria di masjid.
Namun, jika ditakutkan keluarnya wanita tersebut akan membawa fitnah (menggoda kaum pria),
maka sebaiknya mereka shalat sendiri di rumah.13

Keempat: menyeru jamaah dengan panggilan ash sholatu jaamiah dan tidak ada adzan
maupun iqomah.
Dari Aisyah radhiyallahu anha, beliau mengatakan,
:
.




.
Aisyah radhiyallahu anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam
pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jamaah
dengan: ASH SHALATU JAMIAH (mari kita lakukan shalat berjamaah). Orang-orang lantas
berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku dan empat kali
sujud dalam dua rakaat.14 Dalam hadits ini tidak diperintahkan untuk mengumandangkan adzan
dan iqomah. Jadi, adzan dan iqomah tidak ada dalam shalat gerhana.

Kelima: berkhutbah setelah shalat gerhana

Disunnahkah setelah shalat gerhana untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy
Syafii, Ishaq, dan banyak sahabat15. Hal ini berdasarkan hadits:


.

:















:

. .





.
.
: :

.
Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu alaihi wa sallam bangkit dan mengimami
manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku dan memperpanjang
rukunya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat
dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku kembali dan memperpanjang ruku
tersebut namun lebih singkat dari ruku yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan
memperpanjang sujud tersebut. Pada rakaat berikutnya, beliau mengerjakannya seperti rakaat
pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah
nampak.
Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah,
kemudian bersabda,
Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah.
Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal
tersebut maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.
Nabi selanjutnya bersabda,
Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah
karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat
Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit
tertawa dan banyak menangis.16
Khutbah yang dilakukan adalah sekali sebagaimana shalat ied, bukan dua kali khutbah. Inilah
pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Imam Asy Syafii.17

Tata Cara Shalat Gerhana

Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua rakaat dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama.
Namun, para ulama berselisih mengenai tata caranya.

Ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan
dua rakaat dan setiap rakaat ada sekali ruku, dua kali sujud. Ada juga yang berpendapat bahwa
shalat gerhana dilakukan dengan dua rakaat dan setiap rakaat ada dua kali ruku, dua kali sujud.
Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat sebagaimana yang dipilih oleh mayoritas ulama.18

Hal ini berdasarkan hadits-hadits tegas yang telah kami sebutkan:


Aisyah radhiyallahu anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam
pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk menyeru ASH
SHALATU JAMIAH (mari kita lakukan shalat berjamaah). Orang-orang lantas berkumpul.
Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku dan empat kali sujud dalam
dua rakaat.19

Aisyah menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia
dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku dan memperpanjang rukunya.
Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari
berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku kembali dan memperpanjang ruku tersebut
namun lebih singkat dari ruku yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang
sujud tersebut. Pada rakaat berikutnya beliau mengerjakannya seperti rakaat pertama. Lantas
beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.20

Ringkasnya, tata cara shalat gerhana -sama seperti shalat biasa dan bacaannya pun sama-,
urutannya sebagai berikut.
[1] Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan niat termasuk perkara yang
tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu alaihi wa sallam dan beliau shallallahu alaihi
wa sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para
sahabatnya.

[2] Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.

[3] Membaca doa istiftah dan bertaawudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca
surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan
lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:




Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana. (HR.
Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)
[4] Kemudian ruku sambil memanjangkannya.

[5] Kemudian bangkit dari ruku (itidal) sambil mengucapkan SAMIALLAHU LIMAN
HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD

[6] Setelah itidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah
dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.

[7] Kemudian ruku kembali (ruku kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku
sebelumnya.

[8] Kemudian bangkit dari ruku (itidal).

[9] Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku, lalu duduk di antara dua sujud
kemudian sujud kembali.

[10] Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan rakaat kedua sebagaimana rakaat pertama
hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.

[11] Tasyahud.

[12] Salam.

[13] Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jamaah yang berisi anjuran untuk
berdzikir, berdoa, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. 21

Nasehat Terakhir

Saudaraku, takutlah dengan fenomena alami ini. Sikap yang tepat ketika fenomena gerhana ini
adalah takut, khawatir akan terjadi hari kiamat. Bukan kebiasaan orang seperti kebiasaan orang
sekarang ini yang hanya ingin menyaksikan peristiwa gerhana dengan membuat album kenangan
fenomena tersebut, tanpa mau mengindahkan tuntunan dan ajakan Nabi shallallahu alaihi wa
sallam ketika itu. Siapa tahu peristiwa ini adalah tanda datangnya bencana atau adzab, atau tanda
semakin dekatnya hari kiamat. Lihatlah yang dilakukan oleh Nabi kita shallallahu alaihi wa
sallam:


- -













Abu Musa Al Asyari radhiyallahu anhu menuturkan, Pernah terjadi gerhana matahari pada
zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri takut karena khawatir akan
terjadi hari kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid kemudian beliau mengerjakan shalat
dengan berdiri, ruku dan sujud yang lama. Aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat
sedemikian rupa.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam lantas bersabda,Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda
kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau
hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-
Nya. Jika kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir,
berdoa dan memohon ampun kepada Allah.22

An Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai maksud kenapa Nabi shallallahu alaihi wa


sallam takut, khawatir terjadi hari kiamat. Beliau rahimahullah menjelaskan dengan beberapa
alasan, di antaranya:
Gerhana tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum tanda-tanda kiamat seperti terbitnya
matahari dari barat atau keluarnya Dajjal. Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian
tanda kiamat. 23
Hendaknya seorang mukmin merasa takut kepada Allah, khawatir akan tertimpa adzab-Nya.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam saja sangat takut ketika itu, padahal kita semua tahu bersama
bahwa beliau shallallahu alaihi wa sallam adalah hamba yang paling dicintai Allah. Lalu
mengapa kita hanya melewati fenomena semacam ini dengan perasaan biasa saja, mungkin
hanya diisi dengan perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia, bahkan mungkin diisi dengan
berbuat maksiat. Naudzu billahi min dzalik.

Demikian penjelasan ringkas kami mengenai shalat gerhana . Semoga bermanfaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Artikel Rumaysho.com

Wisma MTI, Pogung Kidul, sekretariat YPIA, 14 Muharram 1431 H

Footnote:

1 Sumber bacaan: detik.com


2 HR. Bukhari no. 1047
3 HR. Bukhari no. 1060 dan Muslim no. 904
4 HR. Bukhari no. 1047
5 HR. Bukhari no. 1044
6 HR. Bukhari no. 1050
7 Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/343
8 Fathul Bari, 4/10
9 HR. Bukhari no. 1043
10 Syarhul Mumthi, 2/430
11 HR. Bukhari no. 1053
12 Fathul Bari, 4/6
13 Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/345
14 HR. Muslim no. 901
15 Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435
16 HR. Bukhari, no. 1044
17 Lihat Syarhul Mumthi, 2/433
18 Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435-437
19 HR. Muslim no. 901
20 HR. Bukhari, no. 1044
21 Lihat Zaadul Maad, Ibnul Qayyim, 349-356, Darul Fikr dan Shohih Fiqih Sunnah, 1/438
22 HR. Muslim no. 912
23 Syarh Muslim, 3/322
Print PDF

Anda mungkin juga menyukai