Anda di halaman 1dari 26

PORTOFOLIO

KASUS MEDIK SARAF


STATUS EPILEPTIKUS
Disusun untuk memenuhi tugas Dokter Internship di RSUD Hj. Anna Lasmanah
Banjarnegara

Disusun oleh :
dr. Indah Fisilmi Kaffah

Pendamping :
dr. Farah Heniyati
dr. Lucky Mirafra

DINAS KESEHATAN KABUPATEN BANJARNEGARA


RSUD Hj. ANNA LASMANAH BANJARNEGARA
2017

PORTOFOLIO KASUS SARAF

Borang Portofolio
No. ID dan Nama Peserta : dr. Indah Fisilmi Kaffah
No. ID dan Nama Wahana : RSUD Hj. Anna Lasmanah Banjarnegara

Topik :
Tanggal (kasus) :
Pendamping : dr. Farah Heniyati dan dr. Lucky Mirafra

Obyektif Presentasi :
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi:
Laki-laki, usia 15 tahun datang dengan keluhan kejang 1 jam SMRS
Tujuan:
Menegakkan diagnosis dan menetapkan manajemen status epilepsi
Bahan bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara membahas : Diskusi Presentasi dan Diskusi Email Pos

DATA PASIEN
Nama : Sdr. F
Usia : 15 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Danaraja 2/9
Tanggal Masuk : 22 April 2017 21.20
No RM : 955142

Data Utama untuk Bahan Diskusi :


1. Diagnosis / Gambaran Klinis :
Keluhan Utama : Kejang
Keluhan Tambahan : Kejang berulang lebih dari 10 kali.
Riwayat Penyakit Sekarang : (heteroanamnesis dari ibu dan bapak pasien)
Pasien datang dengan kejang 1 jam SMRS, kejang selama kurang dari
10 menit dengan diawali badan seperti tersentak lalu tidak sadar dan badan
kaku serta kelojotan. Setelah kejang pasien sadar lalu tertidur lemas. Di IGD
setelah dipasang infus pasien kejang kelojotan dan diberikan diazepam
intravena, kejang berhenti dan pasien tertidur lemas.
Pasien setiap hari kejang kelojotan selama 3-5 menit dan hanya satu
kali sehari, tetapi hari ini pasien demam dan kejang terus menerus lebih dari
10 kali berdurasi kurang dari 10 menit dan hanya berselang beberapa menit
diantara kejang. sehingga orangtua membawanya ke IGD.
Keluhan demam tidak disertai sesak napas, batuk dan pilek. BAK
keruh tidak ada, keluar cairan dari telinga tidak ada, Mencret tidak ada,
muntah tidak ada, trauma kepala tidak ada.
Pasien mengalami epilepsi sejak umur 6 tahun tetapi tidak rutin
meminum obat dan mengalami kelumpuhan otot sejak kecil sehingga tidak
dapat berjalan atau duduk dan hanya dapat berbaring. Pasien tidak dapat
makan sendiri dan tidak dapat berbicara sehingga kegiatan sehari-hari dibantu
oleh orangtua.

2. Riwayat kesehatan/ penyakit:


Riwayat kejang neonatal (+) umur 4 hari
Riwayat kejang demam (+) umur 2 tahun
Riwayat epilepsi (+) sejak umur 6 tahun
Riwayat trauma kepala (-)
Riwayat cerebral palsi (+)

3. Riwayat pengobatan:
Pasien pernah berobat di RS Jakarta dan dilakukan CT-Scan dan EEG saat
berumur 6 tahun, dokter mengatakan pasien akan kambuh kejang karena ada
sesuatu di otak yang disebabkan kejang saat pasien bayi. Keluarga berobat ke
dokter lalu pindah ke alternatif. Orangtua pasien lupa nama obat kejang
tersebut.

4. Riwayat keluarga:
Riwayat kejang (-)
Riwayat epilepsi (-)

5. Kondisi lingkungan sosial dan fisik:


Pasien anak pertama dari 3 bersaudara dan tinggal bersama ayah, ibu, dan
2 adiknya.
Status ekonomi cukup

6. Riwayat Imunisasi:
Imunisasi lengkap

7. Tumbuh Kembang :
Tidak sesuai umur
8. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Pasien lahir BBLR
Lahir spontan, cukup bulan, presentasi kepala, langsung menangis
Riwayat infeksi atau trauma saat kehamilan (-)
Rutin kontrol kehamilan (+)

Hasil Pembelajaran :
1. Diagnosis epilepsi melalui anamnesis, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan
penunjang.
2. Pilihan terapi

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio :


1. Subyektif
Keluhan Utama : Kejang
Keluhan Tambahan : Kejang berulang lebih dari 10 kali.
Riwayat Penyakit Sekarang : (heteroanamnesis dari ibu dan bapak pasien)
Pasien datang dengan kejang 1 jam SMRS, kejang selama kurang dari
10 menit dengan diawali badan seperti tersentak lalu tidak sadar dan badan
kaku serta kelojotan. Setelah kejang pasien sadar lalu tertidur lemas. Di IGD
setelah dipasang infus pasien kejang kelojotan dan diberikan diazepam
intravena, kejang berhenti dan pasien tertidur lemas.
Pasien setiap hari kejang kelojotan selama 3-5 menit dan hanya satu
kali sehari, tetapi hari ini pasien demam dan kejang terus menerus lebih dari
10 kali berdurasi kurang dari 10 menit dan hanya berselang beberapa menit
diantara kejang. sehingga orangtua membawanya ke IGD.
Keluhan demam tidak disertai sesak napas, batuk dan pilek. BAK
keruh tidak ada, keluar cairan dari telinga tidak ada, Mencret tidak ada,
muntah tidak ada, trauma kepala tidak ada.
Pasien mengalami epilepsi sejak umur 6 tahun tetapi tidak rutin
meminum obat dan mengalami kelumpuhan otot sejak kecil sehingga tidak
dapat berjalan atau duduk dan hanya dapat berbaring. Pasien tidak dapat
makan sendiri dan tidak dapat berbicara sehingga kegiatan sehari-hari dibantu
oleh orangtua.

9. Riwayat kesehatan/ penyakit:


Riwayat kejang neonatal (+) umur 4 hari
Riwayat kejang demam (+) umur 2 tahun
Riwayat epilepsi (+) sejak umur 6 tahun
Riwayat trauma kepala (-)
Riwayat cerebral palsi (+)

10. Riwayat pengobatan:


Pasien pernah berobat di RS Jakarta dan dilakukan CT-Scan dan EEG saat
berumur 6 tahun, dokter mengatakan pasien akan kambuh kejang karena ada
sesuatu di otak yang disebabkan kejang saat pasien bayi. Keluarga berobat ke
dokter lalu pindah ke alternatif. Orangtua pasien lupa nama obat kejang
tersebut.

11. Riwayat keluarga:


Riwayat kejang (-)
Riwayat epilepsi (-)

12. Kondisi lingkungan sosial dan fisik:


Pasien anak pertama dari 3 bersaudara dan tinggal bersama ayah, ibu, dan
2 adiknya.
Status ekonomi cukup

13. Riwayat Imunisasi:


Imunisasi lengkap

14. Tumbuh Kembang :


Tidak sesuai umur

15. Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Pasien lahir BBLR
Lahir spontan, cukup bulan, presentasi kepala, langsung menangis
Riwayat infeksi atau trauma saat kehamilan (-)
Rutin kontrol kehamilan (+)

Anamnesis Sistem:
a. Demam (+)
b. Sistem Cerebrospinal : kejang (+), kaku (-)
c. Sistem Cardiovaskular : keringat dingin (-), nyeri dada (-)
d. Sistem Respirasi : sesak nafas (-), batuk (-), pilek (-)
e. Sistem Gastrointestinal : BAB cair (-), muntah (-)
f. Sistem Genitourinari : BAK (+) , nyeri supra pubik (-)
g. Sistem Muskuloskeletal : deformitas (-)
h. Sistem Integumen : ikterik (-), sianosis (-)

2. Obyektif
KU : sakit sedang, GCS : 15
Tanda Vital : TD : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/ menit
RR : 20 x/menit
S : 38,3 C
SpO2 : 99 %
BB : 23 kg
PB : 115 cm
Status gizi : kurang

Pemeriksaan Fisik
Kepala :
Mata : CA -/-, SI -/-, pupil bulat isokor 3mm ODS
Hidung : PCH (-), rhinorre (-)
Mulut : Mukosa basah
Leher : KBG tidak teraba
Telinga: Otore (-)
Thorax :

Cor I : iktus kordis kuat angkat tidak terlihat.

P : iktus kordis kuat angkat tidak teraba.

P : redup, batas jantung tidak melebar.

A : bunyi jantung murni I dan II, gallop atau murmur (-)

Pulmo: I : simetris, retraksi suprasternal (-), intercostal (-), epigastrik (-)


P : vokal fremitus kanan dan kiri normal.
P : sonor (+/+)
A : VBS +/+, Ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen :
I : datar, tidak ada benjolan, tidak ada jejas
A : Bising usus (+) normal
P : Supel, turgor kembali sangat cepat, hepar dan lien tidak teraba.
P : Timpani seluruh lapang abdomen
Ekstremitas :
Akral hangat, CRT<2 detik, Sianosis (-), Clubbing fingers (-)
Neurologis :
Rangsang Meningen : (-)

Kaku kuduk : (-)

Lassegue : spastik

Kernig : spastik

Brudzinski I : (-)

Brudzinski 2 : (-)
Nervus Cranialis : Sulit dinilai
Pemeriksaan motorik

Ekstremitas atas

Hipertoni dekstra/ Hhipertoni sinistra

Kekuatan: 5/5

Ekstremitas bawah

Hipertoni dekstra/ Hhipertoni sinistra

Kekuatan: 5/5

Pemeriksaan sensorik : sulit dinilai

Refleks fisiologis

Bisep : +/+
Trisep : +/+

Brachioradialis : +/+

Patella : +/+

Achilles : +/+

Refleks patologis

Babinski : -/-

Chaddok : -/-

Oppenheim : -/-

Gordon : -/-

Schaffer : -/-

Hoffman trommer : -/-

Koordinasi

Tes tunjuk hidung : Tidak dilakukan

Tes tumit lutut : Tidak dilakukan

Fungsi otonom

Miksi : normal

Defekasi : normal

Sekresi keringat : normal


Pemeriksaan Laboratorium
RBC : 4.6 10^6/ L
HGB : 13,6 g/dL
HCT : 39 %
MCV : 86 fL
MCH : 30 pg
MCHC : 35 g/dL
RDWc : 14.9 %
RDWs : 50 fL
PLT : 315 10^3/L
WBC : 15,2 10^3/L

3. Assessment (penalaran klinis)


Epilepsi di kalangan masyarakat awam masih terdapat pandangan yang keliru
terhadap epilepsi. Ini berpengaruh negatif terhadap upaya pelayanan pasien epilepsi.
Di negara-negara yang sedang berkembang pelayanan pasien epilepsi masih
menghadapi banyak kendala. Pada anamnesis diketahui pasien juga mengalami
cerebral palsy yang berkaitan dengan epilpesi pada kasus ini.

4. Plan:
Diagnosis:
Status Epileptikus
Cerebral Palsy
Gizi Kurang

Pengobatan:
Infus RL 20 tpm
Inj. Diazepam 1 ampul k/p
Inj. Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam
Inj. Sanmol 1 gram k/p
Sanmol 3x1 tab
Phenitoin 2x1 tab

Pendidikan:
Perlu dijelaskan kepada keluarga pasien mengenai penyebab, kondisi pasien, dan
pengobatan yang akan diberikan. Perlu juga di jelaskan untuk segera memanggil
petugas apabila pasien kejang kembali dan apa yang harus dilakukan menunggu
petugas datang.

Konsultasi:
Konsultasi dr. Sp.S
Konsul dr. Sp KFR
Konsul dr. Sp.GK

Rujukan:
Rujukan di tujukan kepada dokter spesialis saraf

Kontrol:
Kegiatan Periode Terapi
S: kejang (-), demam (-) 23-04-2017 Infus RL 20 tpm
O: status generalis : dbn Pukul 16.00 Inj. Diazepam 1 ampul k/p
Status neurologi : Inj. Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam
Rangsang meningen : (-) Inj. Sanmol 1 gram k/p
N.cranialis : sulit dinilai Sanmol 3x1 tab
Motorik : Hipertoni seluruh Phenitoin 2x1 tab
ekstermitas 5/5/5/
Sensorik : sulit dinilai
R.fisiologis : (+)
R.patologis : (-)
Kordinasi : sulit dinilai
Fungsi otonom : dbn
S: kejang (-), demam (-) 24-04-2017 Infus RL 20 tpm
O: status generalis : dbn Pukul 16.00 Inj. Diazepam 1 ampul k/p
Status neurologi : Inj. Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam
Rangsang meningen : (-) Inj. Sanmol 1 gram k/p
Motorik : Hipertoni seluruh Sanmol 3x1 tab
ekstermitas 5/5/5/ Phenitoin 2x1 tab
R.fisiologis : (+)
R.patologis : (-)
Fungsi otonom : dbn

S: kejang (-), demam (-) 25-04-2017 Infus RL 20 tpm


O: status generalis : dbn Pukul 10.00 Inj. Diazepam 1 ampul k/p
Status neurologi : Inj. Ceftriaxone 1 gram/ 12 jam
Rangsang meningen : (-) Inj. Sanmol 1 gram k/p
Motorik : Hipertoni seluruh Sanmol 3x1 tab
ekstermitas 5/5/5/ Phenitoin 2x1 tab
R.fisiologis : (+) Elloes 1x1 tab
R.patologis : (-)
Fungsi otonom : dbn
S: kejang (-), demam (-) 26-04-2017 BLPL
O: status generalis : dbn Pukul 11.30 Cefixime 2x1 tab
Status neurologi : Sanmol 3x1 tab
Rangsang meningen : (-) Phenitoin 2x1 tab
Motorik : Hipertoni seluruh Elloes 1x1 tab
ekstermitas 5/5/5/
R.fisiologis : (+)
R.patologis : (-)
Fungsi otonom : dbn

Banjarnegara, April 2017


Mengetahui

Pendamping I Pendamping II

dr. Farah Heniyati dr. Lucky Mirafra


TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Status epileptikus (SE) adalah suatu kondisi di mana bangkitan epilepsi
berlangsung terus-menerus, atau bangkitan berulang dengan /tanpa pemulihan
kesadaran, selama periode 30 menit atau lebih.1
SE adalah bangkitan yang berlangsung lebuh dari 30 menit, atau adanya dua
bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan
kesadaran.2
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik)
yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara dengan
atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel
saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked) . Epilepsi
adalah situasi dimana terjadi bangkitan kejang 2 kali atau lebih dalam setahun.3,4

KLASIFIKASI
Konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit, atau bangkitan
berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara bangkitan.2
Non-konvulsif adalah sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan elektrografik
memanjang (EEG status) dan memberikan gejala klinis nonmotorik termasuk
perubahan perilaku atau awareness.2

Tabel.1 Klasifikasi Status Epileptikus.1,3


________________________________________________________________
______
Status epilepticus confined to early childhood
Neonatal status epilepticus
Status epilepticus in specific neonatal epilepsy syndromes
Infantile spasms

Status epilepticus confined to later childhood and adult life


Febrile status epilepticus
Status inchildhood partial epilepsy syndromes
Status epilepticus in myoclonic-astatic epilepsy
Electrical status epilepticus during slow wave sleep
Landau-kleffner syndrome

Status epilepticus occuring in childhood and adult life


Tonic-clonic status epilepticus
Absence status epilepticus
Epilepsia partialis continua
Status epilepticus in coma
Specific forms of status epilepticus in learning difficulty
Syndromes of myoclonic status epilepticus
Simple partial status epilepticus
Complex partial status epilepticus

Status epilepticus confined to adult life


De novo absence status and late onset

Berdasarkan klinis:
- SE fokal
- SE general

Berdasarkan durasi:
- SE Dini( 5-30 menit)
- SE menetap/ Established(>30 menit)
- SE Refrakter ( bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau tiga jenis
antikonvulsan awal dengan dosis adekuat )

Status epileptikus nonkonvulsivus (SE-NK) dibagi menjadi dua kelompok utama:


- SE-NK Umum
- SE-NK fokal.2

PATOFISIOLOGI
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan
bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Keadaan normal,
lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila
mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau dikarenakan
breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron akan bereaksi secara
abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah:
- Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter
- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains
inhibitory neurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan
asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin,
dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan
epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut. Epileptic seizure apapun
jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak yang tidak mengikuti
pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron
yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi
yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi
inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis
serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:

Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang


optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan
konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang
mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis).
Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik.

Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan


impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi
sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh
meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan
peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.

Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk
mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.Sehingga dapat disimpulkan bahwa
untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait :

Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk
menimbulkan bangkitan.
Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron.
Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul.

Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal,


bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis
(fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron
akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu
sesaat menimbulkan serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak,
stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat
terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan
menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia,
hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus
epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya,
subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama
dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya
eksitasi selesadimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia
basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya.
Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi
spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu
dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron. (karena
kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi
bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion. Pada keadaan tertentu
(hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik depolarisasi impuls dapat
berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan
disebut status epileptikus.

DIAGNOSIS
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:
Langkah pertama: memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal
menunjukkan bangkitan epilepsi atau bukan epilepsi?
Langkah kedua: apabila ya, maka bangkitan yang ada termasuk jenis
bangkitan yang mana?
Langkah ketiga: apakah faktor penyebabnya, sindrom epilepsi apa yang
ditunjukkan oleh bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh
pasien?

Secara struktural, diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar :

1. Anamnesis (auto dan aloanamnesis)


Pola / bentuk bangkitan
Lama bangkitan
Gejala sebelum, selama dan pascabangkitan
Frekuensi bangkitan
Faktor pencetus
Ada/ tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang
Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
Riwayat penyakit, penyebab atau terapi sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologik


Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan
epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan
kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan alkohol atau
obat terlarang dan kanker.

3. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan indikasi dan bila


memungkinkan

3.1. EEG
Indikasi :
- Membantu menegakkan diagnosis
- Menentukan prognosis pada kasus tertentu
- Pertimbangan dalam penghentian obat anti-epilepsi
- Membantu dalam menentukan letak fokus

Rekaman EEG termasuk rekaman waktu tidur, stimulasi fotik, dan hiper-
ventilasi.
Kira-kira 29-38% dari pasien epilepsi dewasa, EEG tunggal menunjukkan
kelainan epileptiform. Bila diulang pemeriksaannya, gambaran
epileptiform meningkat menjadi 59-77%.,
Bila EEG normal dan persangkaan epilepsi sangat tinggi, maka dapat
dilakukan EEG ulangan dengan persyaratan khusus.

3.2. Pemeriksaan neuroimaging struktural dan fungsional


Indikasi :
- Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural
- Adanya perubahan bentuk bangkitan
- Terdapat defisit neurologik fokal
- Epilepsi bangkitan parsial
- Bangkitan pertama diatas usia 25 tahun
- Untuk persiapan operasi epilepsi

CT scan : dapat mendeteksi lesi fokal tertentu

MRI : merupakan prosedur imaging pilihan untuk epilepsi dengan


sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding CT scan. Dapat
mendeteksi sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan
hemangioma kavernosa. Diindikasikan untuk epilepsi refrakter yang
sangat mungkin memerlukan terapi pembedahan

3.3. Pemeriksaan Laboratorium


Darah : rutin, elektrolit, kadar gula, fungsi hati, dll sesuai indikasi
Cairan serebrospinal : atas indikasi
Pemeriksaan-pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi

Dagnosis pasti
Ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinis bangkitan berulang
(minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG.

TATALAKSANA
Prinsip :
1. Stabilisasi pasien dengan prinsip kegawatan umum ( ABC )
2. Menghentikan bangkitan dan mencari etiologi secara simultan
3. Mencegah bangkitan ulang atau mengatasi penyulit
4. Mengatasi faktor pencetus
Bila setelah menit ke 60 belum teratasi (refrakter), sebaiknya perawatan
dilakukan di ICU.1

Tabel 2. Penatalaksanaan Umum dan Terapi Anti Epilepsi Spesifik pada Berbagai
Stadium Status Epileptikus 1,2

Stage of Status General Measures AED treatment


Premonitory Asses cardiorespiratory function Diazepam (i.v. bolus or p.r.)
(0-10 minutes) Secure airways Midazolam (i.m., i.v.bolus, p.r)
Give oxygen Paraldehyd (i.m., p.r.)
Early Institute monitoring Lorazepam (i.v.bolus)
(0-30 minutes) i.v acces Diazepam (i.v.bolus)
Emergency investigations Second line:
Give 50 % glucose (50 ml) Lignocaine (i.v.bolus & inf)
Give thiamine where appropriate Clonazepam (i..v.bolus)
Treat acidosis Paraldehyde (i.m.)
Transfer to intensive care unit Phenytoin (i.v.bolus )

Estabilished Estabilished aetiology Phenobarbitone (i.v. loading & inf)


(30-60/90 minutes) Identify and treat medical complication Phenytoin (i.v. loading & inf )
Pressor therapy if needed Chlormethiazole ( i.v. loading & inf )
Second line:
Clonazepam (i..v.bolus or inf)
Paraldehyde (i.v. inf)
Diazepam (short inf )
Midazolam ( short inf )

Refractory EEG monitoring Thiopentone (i.v.bolus & inf )


( 60 minutes) Monitoring seizure EEG and Propofol ( i.v. bolus & inf )
cerebral function Second line:
Intracranial pressure monitoring if Pentobarbitone ( i.v. bolus &
appropriate inf )
Isoflurane (inhalation )
Etomidate (i.v.bolus & inf )

Catatan
Bila status epileptikus telah teratasi maka dilakukan pemeriksaan lanjut yang lebih
cermat.

Tabel 3. Obat-Obat Untuk Penanganan Status Epileptikus Konvulsif Akut.1,2


Generic Name Dose Rate Advantages Disadvantages
Diazepam 5-10 mg IV 2-5 mg/min Fast onset of action Possible greater chance of
(0.2-0.5 mg/kg) late seizure recurrence

Diazepam rectal 5-10 mg per rectum As tolerated Does not require Longer onset of action than
gel (0.2-0.5 mg/kg) Ivaccess IV; less control
Fosphenytoin 1400 mg IV <150 mg/min Easy transition to Long onset of action, utility
(20 mg/kg ) chronic of IM dosing unknown
administration
Lorazepam 4-8 mg IV 2 mg/min Prevent reccurence Longer onset of action than
(0.05-0.1 mg/kg diazepam
Midazolam 0.20 mg/kg IV or IM 2-5mg min Can be given IM with Possible greater chance of
efficacy equal to late seizure recurrent
diazepam
Valproic acid 1500-2000 mg IV 20-100 Appears safe Fastest administration rate
(25 mg/kg ) mg/min unknown
diluted 2:1
1. Lorazepam atau Diazepam IV adalah obat lini pertama yang paling umum
dipakai. Midazolam IM memiliki efikasi yang setara dengan diazepam dan tidak
memerlukan akses IV.
2. Berdasarkan atas berat badan rata-rata orang dewasa, dosis bolus
Benzodiazepin mungkin perlu diulang jika tidak ada efek obat dalam 5-10 menit.

Tabel. 4 Treatment of Refractory Convulsive Status Epilepticus 1,2


Generic Name IV Loading Dose Maintenance Dose Advantages Disadvantages
Ketamine 1-2 mg/kg over 2- 0.005-0.05mg/kg/min as Does not dec. BP Unknown efficacy. Inc.
4 min anesthetic dose BP.may cause dissociative
side effect
Midazolam 0.20 mg/kg 0.05-0.20 mg/kg/hr Fast,convenient Expensive,possible
(1-36 ug/kg/min) tachyphylaxis/tolerance
titrated to seizure control
Pentobarbital 1-12 mg/kg at 50 1-5 mg/kg/hr titrated Fast, available Hypotension usually
mg/min to burst to burst requires fluid and
suppression suppression pressors,Immune
suppression.
Phenobarbital 10-20 mg/kg at 30-60 mg q 12 hr Readily available Takes too long to load,
50-100 mg/min hypotension
Propofol 1-5 mg/kg over 5 1-15 mg/kg/hr titrated to Simple to adjust Requires intubation, high
min burst supression lipid and calorie content

Faktor risiko epilepsi pada anak dengan palsi serebral

1. Riwayat Kejang neonatus

Epilepsi yang ditimbulkan akibat kejang neonatus berhubungan dengan


gangguan neurologis yang permanen yaitu Mental retardasi dan palsi serebral.
Neonatus dengan klinis kejang mempunyai risiko tinggi untuk morbiditas dan
mortalitas. Dalam tindak lanjut Studi dari neonatus dengan kejang klinis, 17(27%)
berkembang menjadi epilepsi, 16(25%) menjadi palsi serebral, dimana 13 anak
menderita epilepsi dengan palsi serebral. Penelitian yang dilakukan terhadap 77
pasien dengan kejang neonatus didapatkan 23 pasien (30%) meninggal dunia, dan
dari 59% yang bertahan hidup memiliki kelainan neurologi. 40 % menderita mental
retardasi, 43% palsi serebral, dan 21 % menderita epilepsi.

2. Onset kejang

Penelitian yang dilakukan secara retrospektif pada tahun 2008, didapatkan


dari 65 anak palsi serebral dengan epilepsi diketahui 49.2 % anak mengalami onset
kejang pertama usia 12 bulan pertama kehidupan. Penelitian lain yang dilakukan di
Nigeria didapatkan 75.3% anak palsi serebral dengan epilepsi mengalami onset
kejang pertama sebelum berusia 1 tahun. Onset kejang pertama pada usia dibawah 1
tahun sering dihubungkan dengan kejadian epilepsi dimasa yang akan datang. Hal ini
disebabkan pada rentang usia ini otak masih dalam proses perkembangan sehingga
setiap gangguan yang terjadi mungkin akan menyebabkan kerusakan otak. Kejang
yang berlangsung dalam waktu yang lama juga akan meningkatkan risiko kerusakan
otak.

3. Usia gestasi

Penelitian yang dilakukan secara cross-sectional di Egypt pada 48 anak palsi


serebral dengan epilepsi didapatkan bahwa prematuritas secara statistik berpengaruh
terhadap kejadian palsi serebral dengan epilepsi.

4. Kelainan pada pemeriksaan neuroimaging

Penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 didapatkan dari 47 anak palsi
serebral dengan epilepsi didapatkan 40 anak mempunyai hasil neuroimaging yang
abnormal. Penelitian yang juga dilakukan pada tahun 2009 didapatkan 85.28 % anak
dengan palsi serebral memperlihatkan kelainan pada hasil CT-Scan atau MRI dimana
44.54% memperlihatkan epilepsi.
5. Riwayat epilepsi pada keluarga

Riwayat epilepsi pada keluarga meningatkan risiko individual untuk


mengalami epilepsi. Kondisi genetik yang diwariskan dari generasi ke generasi
mungkin menyebabkan terjadinya epilepsi. Riwayat epilepsi dalam keluarga pada
pasien dengan palsi serebral akan meningkatkan risiko terjadi epilepsi.

6. Riwayat Infeksi Susunan saraf pusat

Infeksi SSP sering ditemukan dinegara yang sedang berkembang, 30% sampai
50 % kasus diantaranya akan mengalami kecacatan. Kecacatan yang paling sering
ditemukan adalah palsi serebral dan epilepsi, yang dapat terjadi bersamaan atau
berdiri sendiri. Beberapa penelitian, menyatakan bahwa resiko terjadinya epilepsi
meningkat bila palsi serebral terjadi akibat komplikasi infeksi SSP
DAFTAR PUSTAKA

1. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Perhimpunan Dokter Saraf


2007
2. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Perhimpunan Dokter Saraf
2014
3. Kegawat Daruratan Neurologi. Status Epileptikus. Bagian Neurologi
UNPAD RSHS Bandung.2012
4. Neurology in Daily Practice. Pertolongan Pertama pada Bangkitan. Bagian
Neurologi UNPAD RSHS Bandung.2012
5. Guyton AC., Hall JE., Sistem saraf. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
(Textbook of Medical Physiology) Edisi 9.Penerbit Buku Kedokteran
EGC.Jakarta. 1996
6. Syafendra Mega. Faktor Risiko Epilepsi pada Pasien CP. USU.2015
7. Neurology in Daily Practice. Cerebral Palsy. Bagian Neurologi UNPAD
RSHS Bandung.2012

Anda mungkin juga menyukai