LINDA SAYUTI
LINDA SAYUTI. Kejadian Infeksi Cacing hati (Fasciola spp) pada Sapi Bali di
Kabupaten Karangasem, Bali. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA.
Cacing hati merupakan salah satu masalah utama dalam peternakan sapi di
Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian infeksi cacing hati
(Fasciola spp) pada sapi bali pada tingkat umur, jenis kelamin dan lokasi di
Kabupaten Karangasem, Bali. Sampel tinja diambil secara acak dari 257 ekor sapi
berumur kurang dari enam bulan, 6-12 bulan dan lebih dari 12 bulan.
Pemeriksaan jumlah cacing hati (Fasciola spp) dalam sampel tinja dengan metode
filtrasi bertingkat kemudian dilakukan penghitungan jumlah telur tiap gram tinja
(TTGT). Prevalensi infeksi cacing hati (Fasciola spp) dan rataan TTGT diduga
dengan selang kepercayaan 95% pada umur, jenis kelamin dan lokasi yang
berbeda. Tingkat asosiasi antara lokasi, jenis kelamin dan umur sapi bali terhadap
infeksi cacing hati diuji menggunakan uji khi-kuadrat (?) dan nilai resiko relative
(RR). Hasil pemeriksaan menunjukan faktor umur mempengaruhi secara nyata
tingkat infeksi cacing hati. Sapi umur lebih dari 12 bulan beresiko 1,88 kali lebih
tinggi dibandingkan sapi umur kurang dari enam bulan dan umur 6-12 bulan.
Tingkat kejadian cacing hati tidak dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin dan
lokasi.
ABSTRACT
LINDA SAYUTI. Liver Fluke (Fasciola spp) Infection of Balis Cattle in
Karangasem Regency, Bali. Under the direction of FADJAR SATRIJA.
LINDA SAYUTI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
Disetujui,
Dosen Pembimbing
Diketahui
Wakil Dekan
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tugas akhir ini
yang berjudul Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola spp) pada Sapi Bali di
Kabupaten Karangasem, Bali. Tugas akhir ini sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis sampaikan dengan tulus kepada:
Kedua orang tua tercinta, aki, nini alm. dan adik-adikku (Ata Terek,
Syahrial, Suaka dan Sharoya) atas segala kasih sayang dan doa-doa
terbaiknya.
drh. Fadjar Satrija, MSc, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi atas
bimbingan, arahan dan saran yang diberikan.
drh. Isdoni M Biomed sebagai dosen pembimbing akademik yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan study.
drh. Yusuf Ridwan, MSi selaku dosen penguji seminar dan sidang skripsi
yang telah memberikan banyak masukan.
drh. I Ketut Artama MSi, Ayu Cendra Puspa SKH, Dzurriyatun Thaiybah
SKH dan atas bantuannya selama penulis menyusun skripsi ini.
Ria Purwito Sari SKH atas persahabatan yang tulus ini.
Lettu Anton Permadi atas dukungan dan hari-hari yang indah.
Ani S SKH, Jimmy Pangihutan SKH, Maurin A SKH, Prima M SKH, Ayu
H SKH, Reccy SKH, Atin, Yulismawati, Emi, Eev, Dita, Kak Eka, Ipit,
Cici, Fitriyani, Linda p atas dukungannya, Artropoda39, angkatan 40
semoga kita semua sentiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
Staf Laboratorium Helmintologi FKH IPB atas bantuannya selama penulis
melakukan penelitian di laboratorium.
Halaman
1 Penghitungan Resiko Relatif infeksi cacing hati pada umur yang
berbeda....................................................................................................20
2 Penghitungan Resiko Relatif infeksi cacing hati pada jenis kelamin yang
berbeda....................................................................................................20
3 Penghitungan Resiko Relatif infeksi cacing hati pada lokasi yang
berbeda....................................................................................................20
4 Prevalensi, ? dan resiko relatif cacing hati pada tingkat umur ...............21
5 Prevalensi, ?, dan resiko relatif cacing hati pada jenis kelamin yang
berbeda ...................................................................................................22
6 Prevalensi ?, dan resiko relatif cacing hati dilokasi dataran rendah dan
dataran tinggi ..........................................................................................23
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Morfologi telur dan cacing dewasa Fasciola spp......................................4
2 Siklus Hidup Fasciola spp.........................................................................5
3 Telur Fasciola spp. ..................................................................................11
4 Peta Lokasi pengambilan sampel di Kabupaten Karangasem, Bali ........15
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil analisis statistik Chi-Square..............................................................31
2 Tabel nilai resiko relatif pada lokasi yang berbeda....................................32
3 Tabel nilai resiko relatif pada jenis kelamin yang berbeda........................32
4 Tabel nilai resiko relatif pada umur yang berbeda.....................................32
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sapi Bali merupakan salah satu alternatif pilihan bagi ternak sapi potong
yang dikembangkan dan dipergunakan untuk membantu usaha tani dan pengadaan
protein hewani (Achjadi 1986). Bangsa sapi asli Indonesia ini memiliki
keunggulan berupa kemampuan adaptasi dalam lingkungan dengan ketersediaan
pakan kualitas rendah dan tingkat fertilitas yang tinggi (Sulistyowati 2002). Oleh
karena itu tingginya impor daging dan sapi bakalan untuk memenuhi kebutuhan
daging dalam negeri, dapat dijadikan pendorong untuk memperbaiki produktivitas
dan pengelolaan sapi asli Indonesia termasuk sapi Bali (Soeharsono 2002).
Kemurnian bangsa sapi asli Indonesia sebagai cadangan plasma nutfah sangat
diperlukan untuk perkembangan peternakan di masa mendatang.
Gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang
dihadapi dalam pengembangan peternakan. Peningkatan produksi dan reproduksi
akan optimal, bila secara simultan disertai penyediaan pakan yang memadai dan
pengendalian penyakit yang efektif. Diantara sekian banyak penyakit hewan di
Indonesia, penyakit parasit masih kurang me ndapat perhatian dari para peternak.
Penyakit parasitik biasanya tidak mengakibatkan kematian hewan ternak, namun
menyebabkan kerugian berupa penurunan kondisi badan dan daya produktivitas
hewan sangat besar. Di antara penyakit parasit yang sangat merugikan adalah
penyakit yang disebabkan oleh cacing hati Fasciola spp, yang dikenal dengan
nama distomatosis, fascioliasis atau fasciolosis (Mukhlis 1985).
Infeksi cacing hati (Fasciola spp) merupakan salah satu parasit penting
pada ruminansia besar di Indonesia (Suweta 1984). Tingkat prevalensi penyebaran
cacing hati (Fasciola spp) pada ternak masih menunjukkan angka-angka yang
tinggi, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Prevalensi
penyebaran Fasciola spp di beberapa negara menurut FAO (2007), sebagai
berikut: Indonesia mencapai 14%-28%, Philipina 18%-59%, Thailand 75%,
Pakistan 50%-58%, Nigeria 60%-72%, Afrika utara 43%-50%, Brasil 50%-61%,
Mexico 74%. Prevalensi Fasciola spp di Peru pada tahun 1999 18,18%-31,3%
(Keiser dan Utzinger 2005).
2
1.2. Tujuan
1. Mengetahui kejadian tingkat infeksi cacing hati pada sapi Bali di
Kabupaten Karangasem, Bali.
2. Mengetahui faktor resiko perbedaan umur, jenis kelamin, dan lokasi
peternakan terhadap kejadian infeksi cacing hati pada sapi Bali di
Kabupaten Karangasem, Bali.
1.3. Manfaat
Hasil Penelitian ini memberikan informasi mengenai kejadian infeksi
Fasciola spp pada sapi Bali di Kabupaten Karangasem serta faktor-faktor risiko
yang mempengaruhinya sebagai bahan untuk merancang program pengendalian
fasciolosis di daerah tersebut.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fasciolosis pada Ruminansia
2.1.1. Klasifikasi dan Morfologi Fasciola spp
Menurut Kusumamiharja (1992) klasifikasi taksonomi cacing hati sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelmintes
Kelas : Trematoda (Rudolphi 1808)
Ordo : Digenea (Van Beneden 1858)
Family : Fasciolidae (Railliet 1895)
Genus : Fasciola (Linnaeus 1758)
Spesies : - Fasciola hepatica (Cobbold 1885)
Cacing dewasa Fasciola spp berbentuk pipih seperti daun tanpa rongga
tubuh. Perbedaan dari kedua jenis cacing Fasciola spp adalah pada bentuk tubuh
dan ukuran telur. Telur cacing hati (Fasciola spp) berbentuk oval, berdinding
halus dan tipis berwarna kuning dan bersifat sangat permiabel, memiliki
operkulum pada salah satu kutubnya. Operkulum merupakan daun pintu telur
yang terbuka pada saat telur akan menetas dan larva miracidium yang bersilia
dibebaskan (Noble dan Elmer 1989). Cacing dewasa Fasciola spp berbentuk
pipih, seperti daun tanpa rongga tubuh.
Tubuh Fasciola gigantica relatif lebih bundar dimana bagian posteriornya
terlihat lebih mengecil dan ukuran telurnya lebih besar dibandingkan Fasciola
hepatica (Adiwinata 1955). Menurut Brown (1979) cacing dewasa dapat
dibedakan dari Faciola hepatica karena lebih panjang, kerucut kepala lebih
pendek, alat reproduksi terletak lebih anterior, batil isap perut lebih besar. Faciola
hepatica mempunyai ciri-ciri: batil isap mulut dan kepala yang letaknya
berdekatan, divertikulum usus, alat kelamin jantan (testis) yang bercabang-cabang
dan berlobus. Sedangkan alat kelamin betina mempunyai kelenjar vitellaria yang
memenuhi sisi lateral tubuh. Memiliki sebuah pharing dan oesphagus yang
pendek, uterus pendek dan bercabang- cabang (Soulsby 1969). Metabolisme
Fasciola hepatica secara anaerob, mendapat makanan dari sekresi empedu dan
4
dapat hidup selama 10 tahun (Brown 1979). Fasciola hepatica dewasa berukuran
20 mm sampai 50 mm (Noble dan Elmer 1989). Sedangkan Fasciola gigantica
mempunyai ukuran yang lebih besar dari Fasciola hepatica, yaitu 20 mm sampai
75 mm (Soulsby 1986). Di Indonesia Fasciola gigantica dewasa panjangnya 14
mm sampai 54 mm. Sisi kiri dan kanan hampir sejajar, bahu kurang jelas, alat
penghisap ventral sejajar dengan bahu, besarnya hampir sama dengan alat
penghisap mulut, kutikula dilengkapi dengan sisik. Usus buntunya bercabang-
cabang sejajar dengan sumbu badan, sirus tumbuh sempurna dan kantung sirus
mangandung kelenjar prostat serta kantong semen, ovarium bercabang terletak di
sebelah kanan garis median, kelenjar vitelin mengisi bagian lateral tubuh
(Kusumamiharja 1992).
Gambar 1. Morfologi telur dan cacing dewasa cacing hati (Anonim 2006)
Jumlah telur dalam tinja akan mencapai maximum dalam waktu 2 bulan setelah
periode prepaten, kemudian menurun lagi secara pesat (Soulsby 1986). Telur tidak
dapat berkembang dibawah suhu 100C, tetapi dapat berkembang dengan baik pada
suhu 100C sampai 260C (Levine 1977).
Perkembangan dari stadium telur sampai metacecaria hanya dapat terjadi
pada lingkungan yang tergenang air yang bertindak sebagai faktor pembatas siklus
hidup cacing di luar tubuh ternak (Noble dan Elmer 1989). Apabila telur masuk ke
dalam air, operkulum membuka dan miracidia yang bersilia dibebaskan. Miracidia
hanya dapat keluar apabila mendapat cukup cahaya. Cahaya mengaktifkan
miracidium yang kemudian mengubah permeabilitas suatu bantalan kental yang
terletak di bawah operkulum. Telur yang sudah menetas menghasilkan
miracidium. Tubuh miracidium diliputi ciliae yang berfungsi sebagai alat
penggerak di air. Gerakan miracidium dipengaruhi oleh cahaya (Foto taxis)
(Brown 1979). Miracidium berenang selama beberapa jam dan kemudian
menebus tubuh siput (Lymnaea rubiginosa). Miracidium hanya hidup dalam
6
waktu singkat (24 jam) untuk mencari sipus sebagai induk semang antara. Apabila
ditemukan siput yang sesuai miracidium akan melekat dan menusukkan
papillanya. Setelah miracidium berhasil menembus jaringan siput, ciliae di
lepaskan, kemudian menempati rumah siput tersebut. Setelah 36 jam, miracidium
berbentuk gelembung dengan dinding transparan yang disebut sporokista.
Di dalam tubuh siput setiap miracidium berkembang menjadi sebuah sporokista
(Noble dan Elmer 1989). Selanjutnya sporokista berubah bentuk menjadi oval
setelah 3 hari berada di dalam hati siput. Sporokista memperbanyak diri dengan
pembelahan transversal, sehingga dari satu miracidium terbentuk banyak
sporokista. Setelah 10 hari tubuh siput terinfeksi miracidium, terlihat gumpalan
sel di dalam sporokista yang kemudian tumbuh manjadi redia (Brown 1979). Pada
hari ke 12 redia induk mulai tampak. Pada hari ke-23 redia anak mulai terbentuk,
hari ke 25 redia anak membebaskan diri. Setelah redia anak terbentuk kemudian
redia berkembang sendiri-sendiri untuk membentuk cercaria. Tubuh redia
berbentuk silinder dengan otot kalung leher (collar). Di dalam kalung redia
terdapat sel ekskresi dan sel pertumbuhan. Cercaria dihasilkan melalui
pembelahan sel pertumbuhan. Satu redia induk biasanya mengadung 3 redia anak
yang sudah berkembang sempurna. Selama musim panas, biasanya hanya terdapat
satu generasi redia. Redia menghasilkan cercaria yang akan meninggalkan siput
(Noble dan Elmer 1989).
Tubuh cercaria berbentuk bulat telur dan memiliki ekor untuk berenang.
Cercaria yang keluar dari tubuh siput membebaskan diri dan berenang kemudian
mencari tumbuh-tumbuhan air untuk melekat dan melepaskan ekornya . Cercaria
dapat dilihat dengan mata telanjang sebagai bintik-bintik putih yang bergerak-
gerak dan akan terlihat lebih jelas pada air jernih dengan alas stoples yang gelap
yang disinari cahaya terang. Cercaria hidupnya terbatas kecuali menemukan
tumbuh-tumbuhan atau hewan yang sesuai untuk menjadi kista dan kemudian
berubah menjadi metacercaria (Brown 1979). Setelah melekatkan diri pada
tumbuhan air contohnya batang padi dengan jarak 10 cm dari batang kemudian
ekor dilepaskan. Selanjutnya cercaria berubah menjadi kista dengan cara
mensekresikan subtansi viskus untuk melapisi tubuhnya. Cercaria yang telah
menjadi kista disebut metacercaria. Proses pembentukan dinding kista disertai
7
pembentukan alat-alat dalam tubuh, berupa alat tubuh cacing dewasa, proses ini
berlangsung 2-3 hari, setelah itu metacercaria bersifat infeksius serta tahan kering
dan panas (Noble dan Elmer 1989). Metacercaria berdinding tebal berlapis dua
apabila termakan oleh sapi dewasa didalam lambungnya dinding kista yang
berhasil dihancurkan oleh asam lambung hanya lapisan luar saja. Pada anak sapi,
kemampuan lambung untuk merusak lapisan luar sangat terbatas sekali, hal ini
menyebabkan tingkat prevalensi infeksi cacing hati pada anak sapi tidak
berpengaruh secara nyata. Di dalam kista ini metacercaria berkembang menjadi
cacing muda (Suweta 1982). Agar dapat menginfeksi induk semang definitif,
metacercaria didalam induk semang antara (ikan, crutacea dan keong) atau
tumbuhan air harus termakan dahulu. Setelah mencapai saluran-saluran empedu
hati dan mencapai dewasa kelami n, maka mulai memproduksi telur. Telur berada
dalam cairan empedu. Terbawa arus ikut mengalir ke dalam kantung empedu yang
kemudian masuk ke dalam usus halus melalui ductus choleduchus. Dalam usus
terbawa keluar bersama tinja (Brown 1979).
Siput yang menjadi Induk semang antara berbeda spesies dalam wilayah
negara yang berbeda (Lapage 1956). Pada umunya jenis-jenis siput yang menjadi
induk semang antara sementara cacing hati, dari Fasciola hepatica dan Fasciola
gigantica temasuk family Lymnaeacidae. Lymnaea rubiginosa merupakan induk
semang antara cacing hati Fasciola gigantica di Indonesia. Di Afrika Lymnaea
natalensis, di Pakistan serta India adalah Lymnaea rufescens, Lymnaea truncatula
di Eropa dan Lymnaea tomentosa di Australia. (Kusumamiharja 1992). Siput
Lymnaea rubiginosa bentuk oval dengan lingkaran spiral pada ujung ekor.
Dinding rumah transparan, berwarna kuning coklat atau agak kehitaman (Suweta
1978).
disebabkan cacing hati (Fasciola spp) tergantung dari derajat infeksi dan lamanya
penyakit. Serta faktor lain seperti lokasi di dalam induk semang, jumlah cacing
yang menginfeksi, invasi telur, larva dan cacing dewasa di dalam jaringan (Brown
1979).
Gejala klinis fasciolosis dapat bersifat akut dan kronis (Anonim 2004).
Pada sapi dan kerbau umumnya bersifat kronis akibat dari infeksi yang
berlangsung sedikit demi sedikit (Kusumamiharja 1992). Gejala klinis yang
ditimbulkan dapat pula bersifat subakut yaitu berupa kelemahan, anoreksia, perut
kembung dan terasa sakit apabila disentuh (Kusumamiharja 1992). Gejala akut
pada sapi berupa gangguan pencernaan yaitu gejala konstipasi yang jelas dengan
tinja yang kering dan kadang diare, terjadi pengurusan yang cepat, lemah dan
anemia. Kematian mendadak pada kambing dan domba (Anonim 2004). Gejala
kronis berupa penurunan produktivitas dan pertumbuhan yang terhambat pada
hewan muda, keluar darah dari hidung dan anus seperti pada penyakit antrax,
kelemahan otot berupa gerakangerakan yang lamban, nafsu makan menurun,
selaput lendir pucat, bengkak diantara rahang bawah (bottle jaw), bulu kering,
rontok, kebotakan, hewan lemah dan kurus.
Pemeriksaan pasca mati penderita fasciolosis akut menunjukkan terjadinya
pembendungan dan pembengkakan hati, bercak-bercak warna merah baik di
permukaan sayatan maupun di sayatannya, kantung empedu dan usus mengadung
darah. Kondisi kronis di temukan dinding empedu dan saluran empedu menebal,
anemia, kurus, hidrotoraks, hiperperikardium, degenarasi lemak dan sirosis hati
(Anonim 2006).
mati dalam waktu 2-14 hari, kelembaban 76 % mati dalam 4-16 hari dan dalam
kelembaban 80% mati dalam 8-16 hari. Kelangsungan hidup cacing hati
tergantung pada kehadiran siput serta kecocokan toleransi siput dan fase hidup
bebas cacing, terutama suhu dan pH air (Kusumamiharja 1992).
Kerugian akibat infeksi cacing sulit diperkirakan, kerugian yang
diakibatkan cacing hati biasanya berupa kematian terutama pada pedet, penurunan
produksi, keterlambatan pertumbuhan, kerusakan jaringan, penurunan berat
badan, penurunan daya tahan tubuh, penurunan tenaga kerja pada ternak kerja
juga dapat menyebabkan penurunan mutu daging. Kerusakan organ tubuh yang
mengakibatkan diafkir pada waktu infeksi daging, pembayaran tenaga profesional,
biaya pembelian obat-obatan serta me nurunnya efisiensi makanan (Levine 1990,
Suweta 1982).
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan pada umumnya dijumpai angka yang
tinggi. Kerugian dibeberapa daerah di Indonesia bervariasi, infeksi pada sapi dan
kerbau ditaksir mencapai 5-7,5 juta kilogram daging pertahun. Kerugian mencapai
Rp.513 miliar pertahun (Anonim 2006). Menurut informasi terdahulu hasil survai
Direktorat Jendral Peternakan Jakarta (1973;1980) kerugian ekonomi akibat
infeksi cacing hati ditaksir sekitar 22 milyard rupiah pertahun, kerugian ini
merupakan kerugian nomor dua terbesar setelah New Castle Disease. Menurut
FAO (2007), kerugian akibat infeksi cacing hati (Fasciola spp) di Indonesia
mencapai 32 juta $ pertahun atau sekitar 28%. Pada sapi di Pulau Bali kerugian
dapat mencapai Rp.445.220.800,- pertahun (Suweta et al. 1978). Di Inggris
kerugian yang ditimbulkan pernah diperkirakan sebesar $ 200,000 setiap tahun
(Lapage 1956). Di Amerika Serikat, cacing hati menyebabkan kerugian karena
kematian setiap tahun sebesar $ 3.002.000 ditambah $ 1.657.000 disebabkan hati
yang diafkir pada sapi dan $ 98.000 pada domba (Brown 1979).
2.1.5. Diagnosis.
Penegakan diagnosa berdasarkan gejala klinis yang diperkuat dengan
penemuan telur cacing dalam tinja (Kusumamiharja 1992). Telur Fasciola bentuk
ovoid dan memiliki operkulum di salah satu kutubnya. Telur cacing ini memiliki
11
kerabang telur yang tipis. Di dalam telur dapat ditemukan blastomer yang
memenuhi rongga telur (Gambar3).
b
c
Menurut Brown (1979) dapat dilakukan uji ikat komplemen (CFT) dan
reaksi intradermal dengan antigen Fasciola untuk mendiagnosa infeksi ekstra
hepatik atau apabila tidak ditemukan telur pada pemeriksaan langsung. Antigen
Fasciola sebanyak 0,2 ml disuntikkan intradermal setelah sebelumnya dilakukan
pencukuran rambut. Setelah 15-30 menit daerah suntikan diperiksa untuk melihat
terjadinya penebalan kulit yang mengeras (induras) dengan mengukur diameter
daerah penebalan. Hasil positif apabila diameter penebalan lebih besar atau sama
dengan 15 mm, hasil negatif apabila diameter kurang dari 15 mm, harus dengan
resep dokter hewan (Deptan 2006). Resiko terjadinya infeksi pada suatu lokasi
penggembalaan juga dapat diketahui dengan memeriksa adanya metacercaria pada
contoh rumput yang dikirim (Anonim 2004).
2.1.6. Pengobatan.
Benzimidazol sintesis dengan dosis 5 mg/kg BB dan 10 mg/kg BB sebagai
faciolicidal pada domba (Anonim 2002). Albendazol plus Closantel yang di
berikan secara oral dapat membunuh Fasciola gigantica, cacing pita dan
nematoda (100%) (Al-Quddah at all. 1998). Fenbendazol dan Clorsulon dengan
dosis 25mg/kg BB dan dosis 35mg/kg BB dapat mengurangi infeksi cacing hati
dewasa (99,6%) dan cacing hati muda (Malone et al. 1997). Closantel dan
Rafoxanide dengan dosis masing-masing 7,5 mg/kg BB dan 10 mg/kg BB dapat
12
digunakan untuk mengontrol Haemonchus spp dan Fasciola spp (Swan 1999).
Diamphenethide dengan dosis 10 mg/kg BB juga dapat digunakan untuk
pengobatan infeksi Fasciola spp pada domba (Anonim 2002).
2.1.7. Pengendalian
Pencegahan yang efektif sulit dilakukan karena sulit untuk
menghindarkan sapi dari sawah atau daerah basah yang merupakan habitat siput,
mungkin dapat digunakan bebek yang digembalakan sehabis panen untuk
memberantas siput (Kusumamiharja 1992). Pencegahan jangka panjang
tergantung eradikasi penyakit pada binatang herbivora, pengobatan untuk binatang
peliharaan mungkin dapat diberikan, tetapi untuk binatang liar tidak
memungkinkan. Infeksi pada manusia di daerah endemi dapat dicegah dengan
tidak makan sayuran mentah (Brown 1979). Menurut Suweta (1982), upaya
pengendalian penyebarluasan penyakit dapat dilaksanakan dengan memutuskan
siklus hidup cacing, yaitu dengan memberantas siput yang hidup di air
persawahan dan lainnya dengan cara:
a. Mengeringkan tempat-tempat berair yang tidak diperlukan sehingga
siput-siput mati kekeringan
b. Dengan zat kimia, antara lain perusi (CuSO4) yang ditaburkan ke
dalam lahan berair. Cara ini tidak dianjurkan, karena menimbulkan
pencemaran lingkungan.
c. Dengan menggalakan pemeliharaan itik (bebek) di lahan sawah, karena
bebek akan memakan siput-siput yang menjadi tempat
berkembangbiak larva cacing hati.
29 orang (12%), 10-15 tahun sebanyak 32 orang (13%), dan lebih dari 15 tahun
sebanyak 180 orang (71%).
Pada umumnya pola pemeliharaan sapi bali di Kabupaten Karangasem
dengan sistem kadas atau memelihara sapi milik orang lain (Sulityowati 2002).
Survei Artama (2005) di wilayah studi menunjukkan peternak yang memiliki
Kandang permanen 35 unit (22,06%) dan Kandang semi permanen 196 unit
(77,94%). Lokasi kandang dengan pemukiman peternak jaraknya kurang dari 10
m sebanyak 40 orang (16%); berjarak 10-20 m 41 orang (15,40%); berjarak 20-30
m 45 orang (18%); dan lebih dari 30 m mencapai 124 orang (49,60%).
Umumnya peternak yang menjaga kebersihan kandang dan ternak dengan
membersihkan kandang (162 orang/65,65%) dan memandikan ternaknya (244
orang / 93,55%). Namun jumlah sebagian lain ada yang tidak membersihkan
kandang sebanyak 86 orang (34,35) dan yang tidak memandikan ternak 6 orang
(6,45%).
Penanganan limbah dilakukan dengan penampungan 155 orang (59,63%).
Tinja yang digunakan untuk pupuk oleh peternak berjumlah 98 orang (29,57%)
dan yang dibiarkan saja 145 orang (69,26%). Sumber air yang dipergunakan
adalah air sungai sebanyak 154 oranng (61,60%) dan selebihnya menggunakan air
parit sawah, air sumur, air PAM dan mata air.
Kejadian diare mencapai 42 kasus selama penelitian. Diare berlangsung 1-
2 minggu 39 kasus (32%, 2-4 minggu 3 kasus (2%). Diare pada umur kurang dari
enam bulan mencapai 32 kasus (26%), pada umur 6-12 bulan 8 kasus (6%).Diare
warna hijau 22 kasus (18%) dan diare berdarah 20 kasus (16%).
17
BAB III
METODOLOGI
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2005-Oktober 2006 di
Laboratorium Helmintologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Departemen
Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor. Sampel tinja yang diperiksa dalam penelitian ini
diambil oleh drh. I Ketut Artama (mahasiswa S2 Program Studi Sains Veteriner
2005).
n =Ukuran contoh
Z a / 2 = Nilai normal baku pada a/2
(Pada penelitian ini di gunakan a = 0,05 atau
pada tingkat kepercayaan 95%)
a = Tingkat kepercayaan (1- a) 100%
v Rataan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) diduga dengan:
x t a/2,v S a
Keterangan:
x = Rataan TTGT
S = Ragam
n = Ukuran contoh
ta/2,v = Nilai t-student pada a/2 dengan derajat bebas v
2 (?i-oi)
? =?
?i
Tabel 1. Penghitungan Resiko relatif cacing hati pada lokasi yang berbeda
Lokasi Infeksi Fasciola spp Jumlah
+ -
Dataran rendah a b a+b
Dataran tinggi c d c+d
Jumlah a+b b+d n
Keterangan: a; b; c; dan d = Jumlah sapi pada setiap sel
Tabel 2. Penghitungan Resiko relatif infeksi cacing hati pada jenis kelamin yang
berbeda
Jenis Kelamin Infeksi Fasciola spp Jumlah
+ -
Betina a b a+b
Jantan c d c+d
Jumlah a+c b+d n
Keterangan: a; b; c; dan d = Jumlah sapi pada setiap sel
Tabel 3. Penghitungan Resiko relatif infeksi cacing hati pada umur yang berbeda
Umur Infeksi Fasciola spp Jumlah
+ -
< 6 bulan a b a+b
> 6 bulan c d c+d
Jumlah a+b b+d n
Keterangan: a; b; c; dan d = Jumlah sapi pada setiap sel
BAB 1V
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Hasil pemeriksaan telur cacing sampel tinja sapi Bali dari Kabupaten
Karangasem menunjukkan prevalensi total infeksi Fasciola spp adalah sebesar
18,29%. Sapi yang terinfeksi mengeluarkan telur cacing dalam tinja dengan rata-
rata telur tiap gram tinja (TTGT) sebesar 7,03 telur/g (5,50-9,00 telur/g).
Prevalensi infeksi Fasciola spp pada umur lebih dari 12 bulan sebesar
30,61% (21,48%-39,73%). Nilai ini lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan sapi umur
kurang dari enam bulan yaitu sebesar 10,58% (4,40%-17,12%) dan umur 6-12
bulan sebesar 10,81% (3,73%-17,88%). Nilai rata-rata telur tiap gram tinja
(TTGT) pada umur lebih dari 12 bulan sebesar 9,26 telur/g (6,72-12,76 telur/g).
Nilai TTGT ini lebih tinggi (p<0,05) dibandingkan pada sapi umur kurang dari
enam bulan sebesar 3,58 telur/g (2,57-4,77 telur/g) dan umur 6-12 bulan sebesar
5,60 Telur/g (4,07-7,71 telur/g). Nilai TTGT pada sapi umur 6-12 bulan tidak
berbeda nyata dibanding sapi yang lebih muda (Tabel 4).
Uji ? dan resiko relatif (RR), menunjukan terdapat asosiasi (hubungan)
antara perbedaan umur terhadap infeksi Fasciola spp dengan nilai resiko relatif
sebesar 1,88 (p<0,05). Hal ini berarti menunjukkan sapi Bali pada tingkat umur
lebih dari 12 bulan memiliki risiko 1,88 kali lebih tinggi dibandingkan sapi Bali
pada tingkat umur kurang dari enam bulan dan umur 6-12 bulan.
Tabel 4. Prevalensi, ? dan resiko relatif (RR) cacing hati pada sapi Bali pada
berbagai tingkat umur
Tabel 5 menunjukkan hasil pemeriksaan tinja pada jenis kelamin sapi Bali
yang berbeda. Nilai prevalensi Fasciola spp pada sapi Bali betina yaitu sebesar
20,23% (14,48%-26,17%), sedangkan pada sapi jantan adalah 13,33% (5,63%-
21,02%). Nilai rata-rata TTGT pada sapi Bali jantan yaitu 6,61 telur/g (3,61-12,06
telur/g) dan sapi Bali betina 7,16 telur/g (5,46-9,39 telur/g). Pada prevalensi dan
nilai rata-rata TTGT tidak didapatkan perbedaan yang nyata infeksi Fasciola spp
untuk sapi Bali pada tingkat jenis kelamin. Uji ? dan resiko relatif (RR)
didapatkan hasil bahwa tidak terdapat asosiasi diantara kedua jenis kelamin sapi
tersebut (p>0,05).
Tabel 5. Prevalensi, ? dan resiko relatif (RR) cacing hati pada tingkat jenis
kelamin
Prevalensi infeksi Fasciola spp pada sapi Bali di lokasi dataran rendah
sebesar 19,81% (12,22%-27,39%), sedangkan di dataran tinggi sebesar 17,21%
(11,19%-23,24%). Infeksi rata-rata telur tiap gram tinja (TTGT) di lokasi dataran
rendah sebesar 6,94 telur/g (4,7-10,06 telur/g), sedangkan di dataran tinggi
sebesar 7,11 telur/g (5,08-9,94 telur/g). Tidak didapatkan perbedaan yang nyata
dalam prevalensi infeksi dan nilai rata-rata TTGT infeksi Fasciola spp untuk sapi
di lokasi dataran rendah dan di dataran tinggi. Hal ini diperkuat dengan uji ? dan
resiko relatif (RR) yang dilakukan untuk mengetahui adanya asosiasi antara
tingkat kejadian infeksi Fasciola spp dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian tersebut. Tabel 6 menunjukkan tidak ada asosiasi antara lokasi dataran
rendah dan lokasi dataran tinggi (p>0,05).
23
Tabel 6. Prevalensi, ? dan resiko relatif (RR) cacing hati pada sapi Bali di lokasi
dataran rendah dan dataran tinggi
Lokasi
JumlahJJumlah Spesimen Rata-rata Jumlah ? RR
Total + Tingkat TTGT
Prevalensi (%) ( Rata-rata)
4.2. Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi infeksi Fasciola spp
pada sapi Bali dari Kabupaten Karangasem, Bali sebesar 18,29%. Angka tersebut
jauh lebih rendah dari hasil penelitian Suweta pada tahun 1982 di Kabupaten yang
sama yaitu sebesar 30,33%. Perbedaan hasil ini diduga berkaitan dengan kurun
waktu penelitian yang berbeda jauh, serta metode diagnosa yang digunakan. Pada
penelitian ini prevalensi infeksi dihitung berdasarkan hasil pemeriksaan jumlah
telur cacing hati dalam sampel tinja, sedangkan pada penelitian Suweta didasarkan
hasil pemeriksaan postmortem di Rumah Potong Hewan. Prevalensi infeksi pada
penelitian terdahulu lebih tinggi karena pemeriksan postmortem dapat mendeteksi
keberadaan cacing dewasa maupun cacing muda. Pemeriksaan telur cacing dalam
tinja hanya dapat mendeteksi keberadaan cacing setelah mereka melampaui masa
prepaten pada saat cacing dewasa mulai menghasilkan telur. Menggunakan
metode yang serupa dengan penelitian ini, Lubis (1983) mencatat prevalensi
fasciolosis pada sapi potong di Kabupaten Sumedang sebesar 14,04%.
Penelitian ini juga menemukan adanya asosiasi antara faktor umur sapi
dengan kejadian infeksi Fasciola spp pada sapi Bali di Kabupaten Karangasem,
Bali (Tabel 4). Perbedaan yang nyata pada prevalensi dan derajat infeksi cacing
hati antara sapi berumur lebih dari 12 bulan dengan sapi yang lebih muda
disebabkan pola pemeliharaan ternak yang berbeda diantara ketiga kelompok
umur. Sapi dewasa pada umumnya digunakan untuk mengolah lahan pertanian.
24
berkaitan dengan hormon. Menurut Dobson (1964; 1965; 1966) yang diacu oleh
Suweta (1982), hormon estrogen pada ternak betina memiliki sifat pemacu sel-sel
Reticulo Endotelial System (RES) dalam membentuk antibodi terhadap parasit.
Akibatnya ternak betina relatif lebih tahan terhadap berbagai jenis penyakit dan
ternak betina juga jarang dipekerjakan terutama dalam kondisi bunting dan
menyusui (Suweta 1982).
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa faktor ketinggian lokasi dari
permukaan laut tidak berasosiasi terhadap kejadian infeksi Fasciola spp pada sapi
Bali (Tabel 6). Pada penelitian yang dilakukan sekitar 25 tahun yang lalu, Suweta
(1982) juga tidak menemukan adanya perbedaan yang nyata antara prevalensi
infeksi cacing hati antara berbagai daerah di Bali dengan luasan lahan persawahan
yang berbeda. Hal ini mungkin disebabkan kondisi mi kroklimat dan lingkungan di
dataran tinggi dan dataran rendah saat pengambilan sampel tinja tidak berbeda
nyata (Artama 2005). Waktu pengambilan sampel (Februari dan Maret) termasuk
pada musim kemarau yang biasanya berlangsung antara bulan Maret sampai bulan
Agustus. Musim hujan di Kabupaten Karangasem biasanya berlangsung selama
bulan September sampai bulan Februari.
Musim kemarau dapat mengganggu perjalanan siklus hidup cacing hati
(Boray 1985). Di Nigeria dilaporkan bahwa tingkat infeksi cacing hati pada sapi
dalam musim hujan lebih tinggi dibandingkan musim kemarau (Seddon 1967).
Kondisi tanah yang kering dan atmosfer yang cukup panas menyebabkan tinja
cepat mengering, sehingga telur cacing hati menjadi rusak dan mati. Telur
Fasciola spp menetas pada suhu optimum 26 0C (Kusumamiharja 1992). Cacing
hati (Fasciola spp) tidak berkembang biak pada siput dibawah suhu 100C dan
hidup pada suhu 10-360C. Sebaliknya, pada suhu 37 0C membunuh sebagian besar
telur dan miracidium (Levine 1990).
Kelangsungan hidup serta penyebaran cacing hati tergantung pada
kehadiran siput (Lymnaea rubiginosa) sebagai induk semang antara. Miracidium
akan mati apabila tidak menemukan siput, walaupun metacercaria tahan terhadap
kondisi kering (Brown 1979). Siput Lymnaea rubiginosa yang biasanya hidup di
sawah tidak tahan kekeringan dan akan mati apabila tidak ditemukan tempat yang
berair (Kusumamiharja 1992).
26
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
Derajat prevalensi infeksi cacing hati (Fasciola spp) di Kabupaten
Karangasem pada penelitian cukup tinggi (18,29%), berkaitan dengan
musim, manajemen, sanitasi dan pendidikan peternak .
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian disarankan kepada peternakan rakyat di
Kabupaten Karangasem Bali untuk lebih memperhatikan manajemen peternakan.
Ternak sapi betina lebih berisiko untuk terinfeksi Fasciola spp, agar lebih
diperhatikan kesehatannya. Perlu dilakukan pemeriksaan telur tiap gram tinja
(TTGT) secara teratur untuk mengontrol kesehatan ternak terhadap infeksi parasit.
.
27
DAFTAR PUSTAKA
Achjadi KR. 1986. Studi Tentang Tingkat Kesuburan Sapi Bali dalam Usaha
Pengembangannya di Indonesia. Studi Kasus di Propinsi Kalsel.
[laporan penelitian]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Jurusan
Reproduksi dan Kebidanan, Institut Pertanian Bogor.
Adiwinata RT. 1955. Tjatjing-tjatjing jang Berparasit pada Hewan Menjusui dan
Unggas di Indonesia. Hemera Zoa, 62:229-247.
[Anonim]. 2004. Buku Panduan Workshop Penyakit Eksotik dan Penyakit Penting
pada Hewan Bagi Petugas Dokter Hewan Karantina. Bogor, 12-15 Januari
2004. Kerjasama Fakultas Kedokteran Hewan dan Badan Karantina
Pertanian.
[Anonim]. 2005. Sentra Pembibitan Sapi Bali Perlu dibangun tiap Kabupaten.
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/b3. htm. [30 Januari 2005].
Arbani PR. 1992. Malaria Control Program in Indonesia. South East Asian
Journal of Tropical Medicine and Public Health. 23: 132- 148.
Artama IK. 2005. Studi Lintas Seksional Kriptosporidiosis pada Sapi Bali di
Kabupaten Karangasem, Bali. [tesis]. Bogor: Program Pasca sarjana,
Instutut Pertanian Bogor.
Boray JC. 1985. Fluke of Domestic Animal. In Gaafar SM, Howard WE, Marsh
editors. Parasites, Pests and Predators-World Animal Sciensce.
Amsterdam: Elsevier Science Publisher B.
Brotowidjoyo MD. 1987. Parasit dan Parasitisme. Edisi 1. Jakarta: Media Sarana
Press.
Cheng CT. 1973. General Parasitology. New York, San Francisco, London.
Academic Press.
Dixon KF. 1964. The Relative Suitability of Sheep and Cattle as Host For Liver
Fluke Fasciola hepatica. J. Helmint. 38:203-212.
Harris B dan Shearer JK. 1992. Parasite Problem of Dairy Replacements. IFAS
Examonation. University of Florida.
29
Kusumamiharja S. 1992. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan
Piaraan di Indonesia. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut
Pertanian Bogor.
Mallone JB. Williams JC, Lutz M, Fagan N, Jacock M, Jones E, Marbury K dan
Willis E. 1997. Efficacy of concomitans early summer treatment with
Fenbendazole and Clorsulon against Fasciola hepatica and gastrointestinal
nematodes in calves in Louisiana.
http://www.ncb.nlm.nih.gov/sites/entrez?db=pubmed&uid=2301813&cmd
=showdetailview&indexed=google. [15 December 1997].
Muchlis A. 1985. Identitas Cacing Hati (Fasciola sp) dan Daur Hidupnya di
Indonesia. [disertasi]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian
Bogor.
Pangihutan J. 2007. Telur Cacing Trematoda pada Tinja Badak Jawa (Rhinoceros
sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon. [skripsi]. Bogor: Fakultas
Kedokteran Hewan, Instutut Pertanian Bogor.
30
Suweta IGP, Putra GG, Septika G,dan Mayer GK. 1978. Fascioliasis pada Sapi
Bali. Buletin Fakultas Kedokteran Hewan dan Fakultas Peternakan
Udayana.
Suweta IGP. 1982. Kerugian Ekonomi oleh Cacing Hati pada Sapi Bali Sebagai
Implikasi Interaksi dalam Lingkungan Hidup pada Ekosistem Pertanian di
Bali. [disertasi]. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Vatta AF, Krecek RC. 2005. Trematode Infection of Goats Farmed Under
Resource-Poor Conditions in South Africa. http://updetd.Up.ac.za/thesis/
available/etd 223200-233622/unrestricted/06chapter6.pdf#search=Trema-
tode%20egg%20FEC. [26 September 2006].
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil analisis statistik Chi-Square
7/7/2007 7: 06:17 AM
Tabel Lampiran 2 Nilai resiko relatif (RR) pada lokasi yang berbeda
RRlokasi = {(a/a+b)/(c/c+d)}
= 1,15
Tabel Lampiran 3 Nilai resiko relatif (RR) pada jenis kelamin yang berbeda
RRlokasi = {(a/a+b)/(c/c+d)}
= 1,52
Tabel Lampiran 4 Nilai resiko relatif (RR) pada umur yang berbeda
Rrlokasi = {(a/a+b)/(c/c+d)}
= 1,88