Anda di halaman 1dari 8

BAB I

KONSEP MEDIS

A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinyutas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang
diabsorbsinya (Smeltzer & Bare, 2003).
Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat
disebabkan oleh trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian),
kelelahan otot, serta kelainan patologik pada tulang seperti adanya tumor, infeksi, pada
pendertia penyakit paget) yang mengakibatkan kerusakan jaringan tulang paha.
Fraktur patologis adalah fraktur yang terjadi pada tulang yang abnormal. Tulang
yang abnormal tersebut bisa sangat lemah sehingga fraktur terjadi dengan trauma ringan
atau bahkan pada aktivitas biasa.
Ada 2 tipe dari fraktur femur, yaitu :
1. Fraktur Intrakapsuler; femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul
dan kapsula.
a. Melalui kepala femur (capital fraktur)
b. Hanya di bawah kepala femur
c. Melalui leher dari femur
2. Fraktur Ekstrakapsuler;
a. Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokhanter femur yang lebih
besar/yang lebih kecil /pada daerah intertrokhanter.
b. Terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2
inci di bawah trokhanter kecil.

B. Etiologi
Menurut Sachdeva (2010), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Cedera traumatic
a. cedera langsung, berarti pukulan langsung pada tulang sehingga tulang
patah secara spontan
b. cedera tidak langsung, berarti pukulan langsung berada jauh dari benturan,
misalnya jatuh dengan tangan menjulur dan menyebabkan fraktur klavikula.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras dari otot yang kuat.
2. Fraktur patologik (Kelemahan abnormal pada tulang)
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal jika tulang itu le
mah (misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada
penyakit paget). Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit, dimana
dengan trauma minor atau tanpa trauma mengakibatkan fraktur, dapat juga
terjadi pada keadaan :
a. Tumor tulang (jinak atau ganas)
b. Infeksi seperti osteomielitis
c. Rakhitis, suatu penyakti tulang yang disebabkan oleh defisiensi
vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain.

Klasifikasi berdasarkan lokasi terjadinya fraktur patologis pada femur:

Fraktur caput femur


Fraktur collum femur
Fraktur intertrochanter femur
Fraktur subtrochanter femur
Fraktur shaft femur
Fraktur femur distal (supracondyler/intercondyler)
3. Secara spontan, disebabkan oleh stress tulang dimana terjadi trauma yang
terus menerus pada suatu tempat tertentu.

C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran fragmen pada
tulang tungkai menyebabkan deformitas ekstremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkannya pada ekstremitas normal
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur.

D. Komplikasi
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat
penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik.
1. Komplikasi umum
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus
dan gangguan fungsi pernafasan. Ketiga macam komplikasi tersebut diatas
dapat terjadi dalam 24 jam pertama pasca trauma dan setelah beberapa hari
atau minggu akan terjadi gangguan metabolisme, berupa peningkatan
katabolisme. Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis
vena dalam (DVT), tetanus atau gas gangren.
2. Komplikasi dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca.
trauma.
Syok
Emboli lemak.
Infeksi, terutama jika luka terkontaminasi dan debridemen tidak
memadai
3. Komplikasi lanjut
Komplikasi lanjut adalah kejadian komplikasi yang terjadi setelah lebih
dari satu minggu pasca operasi.
Pada tulang dapat berupa malunion, delayedunion atau nonunion.
Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan
secara normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat
bayangan sklerosis pada ujung-ujung fraktur,
Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal
dilakukan Osteotomi. Lebih 20 minggu dilakukan cancellus
grafting (12-16 minggu).
Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi
penyambungan.
Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal
sehingga menimbukan deformitas. Tindakan refraktur atau
osteotomi koreksi.

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
a. Sinar rontgen (X-ray). Penilaian harus dilakukan secara menyeluruh : adakah
lesi intra osseus, densitas tulang, massa ekstraosseus. Dari foto kita bisa
menilai atau mendiagnosis suatu lesi dengan melihat karakteristik darilesi
tersebut antara lain densitas, formasi tulang, kalsifikasi, batas, reaksi jaringan
sekitar.
b. CT scan biasanya dilakukan hanya dilakukan pada beberapa kondisi fraktur
yangmana pemeriksaan radiografi tidak mencapai kebutuhan diagnosis.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang lazim dilakukan untuk mengetahui lebih jauh
kelainan yang terjadi seperti berikut :
a. Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
b. Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
c. Enzim otot seperti kreatinin kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH -5),
Asparat Amino Transferase (AST), aldolase meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.

3. Pemeriksaan lainnya
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan tes sensitivitas: Dilakukan pada
kondisi fraktur dengan komplikasi, pada kondisi infeksi, maka biasanya
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
b. Biopsy tulang dan otot : Diindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromiografi : Terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
d. Arthroscopi : Didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan.
e. Indium imaging : Pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi.
f. MRI : Menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

F. Penatalaksanaan
1. Reduksi fraktur, berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasi anatomis.
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya dengan manipulasi dan traksi manual.
Traksi digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya
traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
Reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat
fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan
logam yang dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
2. Imobilisasi fraktur, mempertahnkan reduksi sampai terjadi penyembuhan.
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai trejadi penyatuan.
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan
teknik gips atau fiksator eksterna. Sedangkan fiksasi interna dapat digunakan
implant logam yang dapat berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur.
3. Rehabilitasi, mempertahankan dan mengembalikan fungsi setelah dilakukan
reduksi dan imobilisasi.

BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
1. Data Biografi
Identitas pasien seperti umur, jenis kelamin, alamat, agama, penaggung jawab, status
perkawinan.
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat medis dan kejadian yang lalu
b. Riwayat kejadian cedera kepala, seperti kapan terjadi dan penyebab terjadinya
c. Penggunaan alkohol dan obat-obat terlarang lainnya.
3. Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas/istirahat
Tanda: Keterbatasab/kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera,
fraktur itu sendiri, atau terjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan,
nyeri).
b. Sikulasi
Tanda: Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri/ansietas)
atau hipotensi (kehilangan darah).
Takikardia (respon stres, hipovolemia).
Penurunan/tak ada nadi pada bagian distal yang cedera, pengisian kapiler
lambat, pucat pada bagian yang terkena.
Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi cedera.
c. Neurosensori
Gejala: hilang gerakan/sensasi, spasme otot, kebas/kesemutan (parestesis).
Tanda: deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi (bunyi
berderit), spasme otot, terlihat kelemahan/hilang fungsi.
Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri/ansietas atau trauma
lain).
d. Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada
area jaringan/kerusakan tulang, dapat berkurang pada imobilisasi), tidak ada
nyeri akibat kerusakan saraf.
Spasme/kram otot (setelah imobilisasi)
e. Keamanan
Tanda: laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna.
Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
4. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan Ronsen : menentukan lokasi/luasnya fraktur femur/trauma.
b. Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel).
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal setelah trauma.
e. Kreatinin : trauma otot mungkin meningkatkan beban kreatininuntuk klirens ginjal.
f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multipel, atau cedera hati.
B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema
dan cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik,
kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi,
kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan
muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
4. Risiko infeksi
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah
interpretasi informasi.
6. Risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
7. Konstipasi berhubungan dengan fungsi, kelemahan otot abdominal, aktivitas fisik tidak
mencukupi.
8. Defisit perawatan diri berhubungan dengan hambatan lingkungan, kerusakan
muskuloskeletal, nyeri, dan kelemahan.
9. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional, perubahan status kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, G. M., et.al. (2015). Nursing interventions classification (NIC). United States of
America: Elsevier.
Corwin, E. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Herdman, T. H. (2015). Diagnosa keperawatan: definisi & klarifikasi 2015-2017. Jakarta:


EGC.
Mansjoer, Suprohaita, Wardhani, Setiowulan, (2012). Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3.
Jakarta : Media Aesculapius.

Moorhead, S., et.al. (2015). Nursing outcomes classification (NOC). United States of America:
Elsevier.
Price & Wilson, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyaki. Volume 2. Edisi
6. Jakarta : EGC.

Smeltzer & Bare, (2003). Buku ajar keperawatan medical bedah. Volume 3. Edisi 8. Jakarta :
EGC.

Anda mungkin juga menyukai