Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Penyakit serebrovaskuler (CVD) atau stroke, yang menyerang kelompok usia


di atas 40 tahun adalah setiap kelainan otak akibat proses patologi pada sistem
pembuluh darah otak. Proses ini dapat berupa penyumbatan lumen pembuluh
darah oleh trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh darah otak,
perubahan permeabilitas dinding pembuluh darah dan perubahan viskositas
maupun kualitas darah sendiri. Perubahan dinding pembuluh darah otak serta
komponen lainnya dapat bersifat primer karena kelainan kongenital maupun
degeneratif, atau sekunder akibat proses lain, seperti peradangan, arteriosklerosis,
hipertensi dan diabetes mellitus. Karena itu penyebab stroke sangat kompleks.

Proses primer yang terjadi mungkin tidak menimbulkan gejala (silent) dan
akan muncul secara klinis jika aliran darah ke otak turun sampai ketingkat
melampaui batas toleransi jaringan otak, yang disebut ambang aktivitas fungsi
otak (threshold of brain function activity).

Keadaan ini menyebabkan sindrom klinik yang disebut stroke. Gejala klinik
tergantung lokalisasi daerah yang mengalami iskemia, misalnya bila mengenai
daerah pusat penglihatan maka akan timbul gangguan ketajaman penglihatan atau
gangguan lapangan pandang.

Dua pertiga depan dari kedua belahan otak dan struktur subkortikal mendapat
darah dari sepasang arteri karotis interna, sedangkan 1/3 bagian belakang yang
meliputi serebelum, korteks oksipital bagian posterior dan batang otak,
memperoleh darah dari sepasang arteri vertebralis (arteri basilaris). Jumlah aliran
darah ke otak (Cerebral Blood Flow) biasanya dinyatakan dalam cc/menit/100
gram otak. Nilainya tergantung pada tekanan perfusi otak (cerebral perfusion
pressure = CPP) dan resistensi serebrovaskuler (cerebrovascular resistance =
CVR).
Komponen CPP ditentukan oleh tekanan darah sistemik (MABP = mean
arterial blood pressure) dikurangi dengan tekanan intracranial (ICP = intracranial
pressure), sedangkan komponen CVR ditentukan oleh beberapa faktor yaitu:

1. Tonus pembuluh darah otak


2. Struktur dinding pembuluh darah
3. Viskositas darah yang melewati pembuluh darah otak.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Stroke

Stroke adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda klinis
yang berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional otak fokal
maupun global secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam
yang tidak disebabkan oleh sebab lain selain penyebab vaskuler. Definisi ini
mencakup stroke akibat infark otak (stroke iskemik), perdarahan intraserebral
(PIS) non traumatic, perdarahan intraventrikuler dan beberapa kasus perdarahan
subarachnoid (PSA).

Gejala neurologis fokal adalah gejala-gejala yang muncul akibat gangguan


di daerah yang terlokalisir dan dapat teridentifikasi. Misalnya kelemahan
unilateral akibat lesi di traktus kortikospinalis. Gangguan non fokal/global
misalnya adalah terjadinya gangguan kesadaran sampai koma. Gangguan
neurologi non fokal tidak selalu disebabkan oleh stroke. Ada banyak penyebab
lain yang mungkin menyebabkannya. Oleh karena itu gejala non fokal tidak
seharusnya diinterpretasikan sebagai akibat stroke kecuali bila disertai gangguan
neurologis fokal.

2.2. Epidemiologi Stroke

Usia merupakan faktor risiko yang paling penting bagi semua jenis stroke.
Insiden stroke meningkat secara eksponensial dengan bertambahnya usia. Di
Oxfordshire, selama tahun 1981 1986, tingkat insiden (kasus baru per tahun)
stroke pada kelompok usia 45-54 tahun ialah 57 kasus per 100.000 penduduk
dibanding 1987 kasus per 100.000 penduduk pada kelompok usia 85 tahun keatas.
Sedangkan di Aucland, Selandia Baru, insiden stroke pada kelompok usia 55 64
tahun ialah 20 per 10.000 penduduk dan di Soderhamn, Swedia, insiden stroke
pada kelompok usia yang sama 32 per 10.000 penduduk. Pada kelompok usia
diatas 85 tahun dijumpai insiden stroke dari 184 per 10.000 di Rochester,
Minnesota, dan 397 per 10.000 penduduk di Soderhamn, Swedia.

Berdasarkan jenis kelamin, insidens stroke di Amerika Serikat 270 per


100.000 pada pria dan 201 per 100.000 pada wanita. Di Denmark, insidens stroke
270 per 100.000 pada pria dan 189 per 100.000 pada wanita. Di Inggris insidens
stroke 174 per 100.000 pada pria dan 233 per 100.000 pada wanita. Di Swedia,
insidens stroke 221 per 100.000 pada pria dan 196 per 100.000 pada wanita.

Data di Indonesia menunjukkan terjadinya kecendrungan peningkatan


insidens stroke. Di Yogyakarta, dari hasil penelitian morbiditas di 5 rumah sakit
dari 1 Januari 1991 sampai dengan 31 Desember 1991 dilaporkan sebagai berikut
: (1) angka insidensi stroke adalah 84,68 per 10.000 penduduk, (2) angka insidensi
stroke wantia adalah 62,10 per 100.000 penduduk, sedangkan laki-laki 110,25 per
100.000 penduduk, (3) angka insidensi kelompok umur 30 50 tahun adalah
27,36 per 100.000 penduduk, kelompok umur 51 70 tahun adalah 142,37 per
100.000 penduduk; kelompok umur > 70 tahun adalah 182,09 per 100.000
penduduk, (4) proporsi stroke menurut jenis patologis adalah 74% stroke infark,
24% stroke perdarahan intraserebral, dan 2% stroke perdarahan subarachnoid.

2.3. Klasifikasi Stroke

Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke. Semuanya berdasarkan atas


gambaran klinik, patologi anatomi, system pembuluh darah dan stadiumnya.
Dasar klasifikasi yang berbeda-beda ini perlu, sebab setiap jenis stroke
mempunyai cara pengobatan, preventif dan prognosa yang berbeda, walaupun
patogenesisnya serupa. Adapun klasifikasi tersebut, antara lain:

Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:

I. Stroke Iskemik
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
b. Trombosis serebri
c. Embolia serebri
II. Stroke Hemoragik
a. Perdarahan intra serebral
b. Perdarahan subarachnoid
Berdasarkan stadium/ pertimbangan waktu:

a. Serangan iskemik sepintas/ TIA


Pada bentuk ini gejala neurologik yang timbul akibat
gangguan peredaran darah di otak akan menghilang dalam
waktu 24 jam
b. RIND
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu
lebih lama dari 24 jam, tetapi tidak lebih dari seminggu.
c. Progressing stroke atau stroke in evolution
Gejala neurologik yang makin lama makin berat
c. Completed stroke
Gejala klinis sudah menetap.

Berdasarkan sistem pembuluh darah:

a. Sistem Karotis
b. Sistem vertebro-basiler
Secara garis besar berdasarkan kelainan patologis yang terjadi, stroke
dapat diklasifikasikan sebagai stroke iskemik dan stroke hemoragik (perdarahan).
Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena aterosklerosis atau
bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah. Pada stroke
hemoragik, pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah yang
normal dan darah merembes ke dalam suatu daerah di otak dan merusaknya.
Gambar 4 Jenis-jenis stroke

1. Stroke Iskemik

Stroke iskemik disebut juga stroke sumbatan atau stroke infark


dikarenakan adanya kejadian yang menyebabkan aliran darah menurun atau
bahkan terhenti sama sekali pada area tertentu di otak, misalnya terjadinya emboli
atau trombosis. Penurunan aliran darah ini menyebabkan neuron berhenti
berfungsi. Aliran darah kurang dari 18 ml/100 mg/menit akan mengakibatkan
iskemia neuron yang sifatnya irreversibel. Hampir sebagian besar pasien atau
sebesar 83% mengalami stroke jenis ini.2

Aliran darah ke otak pada stroke iskemik terhenti karena aterosklerosis


(penumpukan kolesterol pada dinding pembuluh darah) atau adanya bekuan darah
yang telah menyumbat suatu pembuluh darah ke otak. Penyumbatan dapat terjadi
di sepanjang jalur arteri yang menuju ke otak. Misalnya suatu ateroma (endapan
lemak) bisa terbentuk di dalam arteri karotis sehingga menyebabkan
berkurangnya aliran darah. Keadaan ini sangat serius karena setiap arteri karotis
dalam keadaan normal memberikan darah ke sebagian besar otak.

Terjadinya hambatan dalam aliran darah pada otak akan mengakibatkan


sel saraf dan sel lainnya mengalami gangguan dalam suplai oksigen dan glukosa.
Bila gangguan suplai tersebut berlangsung hingga melewati batas toleransi sel,
maka akan terjadi kematian sel. Sedangkan bila aliran darah dapat diperbaiki
segera, kerusakan dapat diminimalisir.

Gambar 5 Stroke iskemik

Mekanisme terjadinya stroke iskemik secara garis besar dibagi menjadi


dua, yaitu akibat trombosis atau akibat emboli. Diperkirakan dua per tiga stroke
iskemik diakibatkan karena trombosis, dan sepertiganya karena emboli. Akan
tetapi untuk membedakan secara klinis, patogenesis yang terjadi pada sebuah
kasus stroke iskemik tidak mudah, bahkan sering tidak dapat dibedakan sama
sekali.

Trombosis dapat menyebabkan stroke iskemik karena trombosis dalam


pembuluh darah akan mengakibatkan terjadinya oklusi (gerak menutup atau
keadaan tertutup) arteri serebral yang besar, khususnya arteri karotis interna, arteri
serebri media, atau arteri basilaris. Namun, sesungguhnya dapat pula terjadi pada
arteri yang lebih kecil, yaitu misalnya arteri-arteri yang menembus area lakunar
dan dapat juga terjadi pada vena serebralis dan sinus venosus.

Stroke karena trombosis biasanya didahului oleh serangan TIA (Transient


ischemic attack). Gejala yang terjadi biasanya serupa dengan TIA yang
mendahului, karena area yang mengalami gangguan aliran darah adalah area otak
yang sama. TIA merupakan defisit neurologis yang terjadi pada waktu yang
sangat singkat yaitu berkisar antara 5-20 menit atau dapat pula hingga beberapa
jam, dan kemudian mengalami perbaikan secara komplit. Meskipun tidak
menimbulkan keluhan apapun lagi setelah serangan, terjadinya TIA jelas
merupakan hal yang perlu ditanggapi secara serius karena sekitar sepertiga
penderita TIA akan mengalami serangan stroke dalam 5 tahun. Dalam keadaan
lain, defisit neurologis yang telah terjadi selama 24 jam atau lebih dapat juga
mengalami pemulihan secara komplit atau hampir komplit dalam beberapa hari.
Keadaan ini kerap diterminologikan sebagai stroke minor atau reversible ischemic
neurological defisit (RIND).2,5

Emboli menyebabkan stroke ketika arteri di otak teroklusi oleh adanya


trombus yang berasal dari jantung, arkus aorta, atau arteri besar lain yang terlepas
dan masuk ke dalam aliran darah di pembuluh darah otak. Emboli pada sirkulasi
posterior umumnya mengenai daerah arteri serebri media atau percabangannya
karena 85% aliran darah hemisferik berasal darinya. Emboli pada sirkulasi
posterior biasanya terjadi pada bagian apeks arteri basilaris atau pada arteri serebri
posterior.

Stroke karena emboli memberikan karakteristik dimana defisit neurologis


langsung mencapai taraf maksimal sejak awal (onset) gejala muncul. Seandainya
serangan TIA sebelum stroke terjadi karena emboli, gejala yang didapatkan
biasanya bervariasi. Hal ini dikarenakan pada TIA yang terjadi mendahului stroke
iskemik karena emboli, umumnya mengenai area perdarahan yang berbeda dari
waktu ke waktu.

Endapan lemak juga bisa terlepas dari dinding arteri dan mengalir di
dalam darah yang kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil. Arteri karotis dan
arteri vertebralis beserta percabangannya bisa juga tersumbat karena adanya
bekuan darah yang berasal dari tempat lain, misalnya dari jantung atau satu
katupnya. Stroke semacam ini disebut emboli serebral, yang paling sering terjadi
pada penderita yang baru menjalani pembedahan jantung dan penderita kelainan
katup jantung atau gangguan irama jantung (terutama fibrilasi atrium). Emboli
lemak terbentuk jika lemak dari sumsum tulang yang pecah dilepaskan ke dalam
aliran darah dan akhirnya bergabung di dalam sebuah arteri.
2. Stroke hemoragik

Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh perdarahan


intrakranial non traumatik. Pada strok hemoragik, pembuluh darah pecah sehingga
menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam suatu
daerah di otak dan merusaknya.

Gambar 6 Stroke hemoragik

Hampir 70% kasus strok hemoragik terjadi pada penderita hipertensi.


Stroke hemoragik meliputi perdarahan di dalam otak (intracerebral hemorrhage)
dan perdarahan di antara bagian dalam dan luar lapisan pada jaringan yang
melindungi otak (subarachnoid hemorrhage). Gangguan lain yang meliputi
perdarahan di dalam tengkorak termasuk epidural dan hematomas subdural, yang
biasanya disebabkan oleh luka kepala. Gangguan ini menyebabkan gejala yang
berbeda dan tidak dipertimbangkan sebagai stroke. Berikut ini adalah penjelasan
lebih rinci mengenai jenis-jenis stroke hemoragik:

2.1 Intracerebral hemorrhage (perdarahan intraserebral)


Perdarahan intraserebral terjadi karena adanya ekstravasasi darah ke
dalam jaringan parenkim yang disebabkan ruptur arteri perforantes dalam.
Stroke jenis ini berjumlah sekitar 10% dari seluruh stroke tetapi memiliki
persentase kematian lebih tinggi dari yang disebabkan stroke lainnya. Di
antara orang yang berusia lebih tua dari 60 tahun, perdarahan intraserebral
lebih sering terjadi dibandingkan perdarahan subarakhnoid.
Perdarahan intraserebral sering terjadi di area vaskularis dalam pada
lapisan hemisfer serebral. Perdarahan yang terjadi kebanyakan pada
pembuluh darah berkaliber kecil dan terdapat lapisan dalam (deep arteries).
Perdarahan intraserebral sangat sering terjadi ketika tekanan darah tinggi
kronis (hipertensi) melemahkan arteri kecil, menyebabkannya menjadi pecah.
Korelasi hipertensi sebagai kausatif perdarahan ini dikuatkan dengan
pembesaran vertikel jantung sebelah kiri pada kebanyakan pasien. Hipertensi
yang menahun memberikan resiko terjadinya stroke hemoragik akibat
pecahnya pembuluh darah otak diakibatkan karena adanya proses degeneratif
pada dinding pembuluh darah.

Beberapa orang yang tua memiliki kadar protein yang tidak normal
disebut amyloid yang menumpuk pada arteri otak. Penumpukan ini (disebut
amyloid angiopathy) melemahkan arteri dan bisa menyebabkan perdarahan.
Umumnya penyebabnya tidak banyak, termasuk ketidaknormalan pembuluh
darah yang ada ketika lahir, luka, tumor, peradangan pada pembuluh darah
(vaskulitis), gangguan perdarahan, dan penggunaan antikoagulan dalam dosis
yang terlalu tinggi. Gangguan perdarahan dan penggunaan antikoagulan
meningkatkan resiko sekarat dari perdarahan intraserebral.

Perdarahan intraserebral ini merupakan jenis stroke yang paling


berbahaya. Lebih dari separuh penderita yang memiliki perdarahan yang luas,
meninggal dalam beberapa hari. Penderita yang selamat biasanya kembali
sadar dan sebagian fungsi otaknya kembali, karena tubuh akan menyerap sisa-
sisa darah.

2.2 Subarachnoid hemorrhage (perdarahan subarakhnoid)

Perdarahan subarakhnoid adalah perdarahan ke dalam ruang (ruang


subarachnoid) diantara lapisan dalam (pia mater) dan lapisan tengah
(arachnoid mater) para jaringan yang melindungan otak (meninges).
Penyebab yang paling umum adalah pecahnya tonjolan pada pembuluh
(aneurisma). Biasanya, pecah pada pembuluh menyebabkan tiba-tiba, sakit
kepala berat, seringkali diikuti kehilangan singkat pada kesadaran.
Perdarahan subarakhnoid adalah gangguan yang mengancam nyawa yang
bisa cepat menghasilkan cacat permanen yang serius. Hal ini adalah satu-
satunya jenis stroke yang lebih umum terjadi pada wanita.

Perdarahan subarakhnoid biasanya dihasilkan dari luka kepala. Meskipun


begitu, perdarahan mengakibatkan luka kepala yang menyebabkan gejala
yang berbeda dan tidak dipertimbangankan sebagai stroke. Perdarahan
subarakhnoid dipertimbangkan sebagai sebuah stroke hanya ketika hal itu
terjadi secara spontan, yaitu ketika perdarahan tidak diakibatkan dari
kekuatan luar, seperti kecelakaan atau jatuh.

Perdarahan spontan biasanya diakibatkan dari pecahnya secara tiba-tiba


aneurisma di dalam arteri cerebral. Aneurisma menonjol pada daerah yang
lemah pada dinding arteri. Aneurisma biasanya terjadi dimana cabang nadi.
Aneurisma kemungkinan hadir ketika lahir (congenital), atau mereka
berkembang kemudian, setelah tahunan tekanan darah tinggi melemahkan
dinding arteri. Kebanyakan perdarahan subarakhnoid diakibatkan dari
aneurisma sejak lahir.

Perdarahan subarakhnoid terkadang diakibatkan dari pecahnya jaringan


tidak normal antara arteri dengan pembuluh (arteriovenous malformation) di
otak atau sekitarnya. Arteriovenous malformation kemungkinan ada sejak
lahir, tetapi hal ini biasanya diidentifikasikan hanya jika gejala terjadi. Jarang,
penggumpalan darah terbentuk pada klep jantung yang terinfeksi,
mengadakan perjalanan (menjadi embolus) menuju arteri yang mensuplai
otak, dan menyebabkan arteri menjadi meradang. Arteri tersebut bisa
kemudian melemah dan pecah.

2.4. Faktor Risiko Stroke


Setiap orang selalu mendambakan hidup nyaman, sehat dan bebas dari
berbagai macam tekanan. Namun, keinginan tersebut tidak diimbangi dengan pola
hidup yang memadai. Pola hidup yang tidak baik tersebut dapat menyebabkan
masalah kesehatan. Faktor potensial kejadian stroke dibedakan menjadi 2 kategori
besar yakni:

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi


Usia
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa semakin tua usia, semakin
besar pula risiko terkena stroke. Hal ini berkaitan dengan adanya proses
degenerasi (penuan) yang terjadi secara alamiah dan pada umumnya pada
orang lanjut usia, pembuluh darahnya lebih kaku oleh sebab adanya plak
(atherosklerosis).

Jenis kelamin
Laki-laki memiliki risiko lebih besar untuk terkena stroke dibandingkan
dengan perempuan. Hal ini diduga terkait bahwa laki-laki cenderung
merokok. Rokok itu sendiri ternyata dapat merusak lapisan dari pembuluh
darah tubuh yang dapat mengganggu aliran darah.

Herediter
Hal ini terkait dengan riwayat stroke pada keluarga. Orang dengan riwayat
stroke pada kelurga, memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena stroke
dibandingkan dengan orang tanpa riwayat stroke pada keluarganya.

Ras/etnik
Dari berbagai penelitian diyemukan bahwa ras kulit putih memiliki
peluang lebih besar untuk terkena stroke dibandingkan dengan ras kulit
hitam.

2. Faktor yang dapat dimodifikasi

Hipertensi (darah tinggi)


Orang yang mempunyai tekanan darah yang tinggi memiliki peluang besar
untuk mengalami stroke. Bahkan hipertensi merupakan penyebab terbesar
(etiologi) dari kejadian stroke itu sendiri. Hal ini dikarenakan pada kasus
hipertensi, dapat terjadi gangguan aliran darah tubuh dimana diameter
pembuluh darah akan mengecil (vasokontriksi) sehingga darah yang
mengalir ke otak pun akan berkurang. Dengan pengurangan aliran darah
otak (ADO) maka otak akan akan kekurangan suplai oksigen dan juga
glukosa (hipoksia), karena suplai berkurang secara terus menerus, maka
jaringan otak lama-lama akan mengalami kematian.
Penyakit jantung
Adanya penyakit jantung seperti penyakit jantung koroner, infak miokard
(kematian otot jantung) juga merupakan faktor terbesar terjadinya stroke.
Seperti kita ketahui, bahwa sentral dari aliran darah di tubuh terletak di
jantung. Bilamana pusat mengaturan aliran darahnya mengalami
kerusakan, maka aliran darah tubuh pun akan mengalami gangguan
termasuk aliran darah yang menuju ke otak. Karena adanya gangguan
aliran, jaringan otak pun dapat mengalami kematian secara mendadak
ataupun bertahap.
Diabetes melitus
Diabetes melitus (DM) memiliki risiko untuk mengalami stroke. Hal ini
terkait dengan pembuluh darah penderita DM yang umumnya menjadi
lebih kaku (tidak lentur). Adanya peningkatan ataupun penurunan kadar
glukosa darah secara tiba-tiba juga dapat menyebabkan kematian jaringan
otak.
Hiperkolesterolemia
Hiperkolesterolemia merupakan keadaan dimana kadar kolesterol didalam
darah berlebih (hiper = kelebihan). Kolesterol yang berlebih terutama jenis
LDL akan mengakibatkan terbentuknya plak/kerak pada pembuluh darah,
yang akan semakin banyak dan menumpuk sehingga dapat mengganggu
aliran darah.
Obesitas
Kegemukan juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya stroke. Hal
tersebut terkait dengan tingginya kadar lemak dan kolesterol dalam darah
pada orang dengan obesitas, dimana biasanya kadar LDL (lemak jahat)
lebih tinggi dibandingkan dengan kadar HDLnya (lemak
baik/menguntungkan).
Merokok
Berdasarkan penelitian didapatkan, bahwa orang-orang yang merokok
ternyata memiliki kadar fibrinogen darah yang lebih tinggi dibandingkan
dengan orang yang tidak merokok. Peningkatan kadar fibrinogen ini dapat
mempermudah terjadinya penebalan pembuluh darah sehingga pembuluh
darah menjadi sempit dan kaku dengan demikian dapat menyebabkan
gangguan aliran darah.

2.5. Manifestasi Klinis

Secara umum gejala stroke antara lain adalah:

Kelemahan atau kelumpuhan dari anggota badan yang dipersarafi.


Kesulitan menelan
Kehilangan kesadaran (Tidak mampu mengenali bagian dari tubuh)
Nyeri kepala
Hilangnya sebagian penglihatan atau pendengaran
Penglihatan ganda.
Sulit memikirkan atau mengucapkan kata-kata yang tepat.
Pergerakan yang tidak biasa.
Hilangnya pengendalian terhadap kandung kemih.
Ketidakseimbangan dan terjatuh.
Pingsan.
Rasa mual, panas dan sangat sering muntah-muntah.

Stroke iskemik dan hemoragik menampakkan gejala awal yang sama,


misalnya anggota gerak pertama-tama terasa lemah, lalu semakin parah dan
lumpuh. Penderita juga mengalami gangguan penglihatan dan kaki sering
kesemutan. Bila telah terserang, dokter biasanya akan mudah mendeteksi. Bila
hanya organ sebelah kiri yang lumpuh, berarti serangan stroke terjadi disebelah
kanan dan sebaliknya. Gejala stroke iskemik tergantung pada lokasi dan luasnya
sumbatan atau perdarahan.

Gejala stroke iskemik

Gejala klinis stroke iskemik dapat terjadi pada lokasi yang berbeda
tergantung neuroanatomi dan vaskularisasi yang diserang, antara lain:

1. Arteri serebri anterior


Arteri serebri anterior merupakan arteri yang memberikan suplai darah ke
area korteks serebri parasagital, yang mencakup area korteks motorik dan
sensorik untuk anggota gerak bawah kontralateral, juga merupakan pusat
inhibitoris dari kandung kemih (pusat miksi).
Gejala yang akan timbul apabila terjadi gangguan pada aliran darah serebri
anterior adalah paralisis kontralateral dan gangguan sensorik yang mengenai
anggota gerak bawah. Selain itu, dapat pula dijumpai gangguan kendali dari
miksi karena kegagalan dalam inhibisi refleks kontraksi kandung kemih,
dengan dampak terjadi miksi yang bersifat presipitatif.
2. Arteri serebri media
Arteri serebri media merupakan arteri yang mensuplai sebagian besar dari
hemisfer serebri dan struktur subkortikal dalam, yang mencakup area divisi
kortikal superior, inferior, dan lentikolostriaka.
Gejala yang akan timbul apabila mengenai divisi kortikal superior yaitu
menimbulkan hemisensorik kontralateral dengan distribusi serupa, tetapi
tanpa disertai hemianopia homonimus. Seandainya hemisfer yang terkena
adalah sisi dominan, gejala juga akan disertai dengan afasia Brocca (afasia
ekspresif) yang memiliki ciri berupa gangguan ekspresi berbahasa. Gejala
pada divisi kortikal inferior jarang terserang secara tersendiri, dapat berupa
homonimus hemianopia kontralateral, gangguan fungsi sensorik kortikal,
seperti graphestesia, stereonogsia kontralateral, gangguan pemahaman
spasial, anosognosia, gangguan identifikasi anggota gerak kontralateral, dan
apraksia. Pada lesi yang mengenai sisi dominan, maka akan terjadi pula afasia
Wernicke (afasia reseptif).
Apabila stroke terjadi akibat oklusi di daerah bifurkasio atau trifurkasio
(lokasi percabangan arteri serebri media) dimana merupakan pangkal dari
divisi superior dan inferior, maka akan terjadi stroke yang berat. Dengan
demikian, akan terjadi hemiparesis dan hemisensorik kontralateral, yang lebih
melibatkan wajah dan lengan dibanding kaki, terjadi homonimus hemianopia,
dan bila mengenai sisi dominan akan terjadi afasia global (perseptif dan
ekspresif).
Oklusi yang terjadi di pangkal arteri serebri media akan mengakibatkan aliran
darah ke cabang lentikulostriata terhenti dan akan terjkadi stroke yang lebih
hebat. Sebagai dampaknya, selain gabungan gejala pada oklusi di bifurkarsio
atau trifurkarsio seperti yang disebutkan di atas, juga akan didapatkan gejala
paralisis kaki sisi kontralateral.
3. Arteri karotis interna
Arteri karotis interna merupakan arteri yang berpangkal pada ujung arteri
karotis komunis yang membelah dua. Arteri karotis interna bercabang-cabang
menjadi arteri serebri anterior dan media, juga menjadi arteri oftalmikus yang
memberikan suplai darah ke retina.
Berat ringannya gejala yang ditimbulkan akibat oklusi arteri karotis interna
ditentukan oleh aliran kolateral yang ada. Kurang lebih sekitar 15% stroke
iskemik yang disebabkan oklusi arteri karotis interna ini akan didahului oleh
gejala TIA atau gejala gangguan penglihatan monokuler yang bersifat
sementara, yang mengenai retina mata sisi ipsilateral.
Secara keseluruhan, gejala yang muncul merupakan gabungan dari oklusi
arteri serebri media dan anterior ditambah gejala akibat oklusi arteri
oftalmikus yang muncul sebagai hemiplegia dan hemisensorik kontralateral,
afasia, homonimus hemianopia, dan gangguan penglihatan ipsilateral.
4. Arteri serebri posterior
Arteri serebri posterior merupakan cabang dari arteri basilaris yang
memberikan aliran darah ke korteks oksipital serebri, lobus temporalis
medialis, talamus, dan bagian rostral dari mesensefalon. Emboli yang berasal
dari arteri basilaris dapat menyumbat arteri ini. Apabila oklusi mengenai
lobus oksipital sisi hemisfer dominan, dapat terjadi afasia anomik (kesulitan
menyebutkan nama benda), aleksia tanpa agrafia (tidak dapat membaca tanpa
kesulitan menulis), agnosia visual (ketidakmampuan untuk mengidentfikasi
objek yang ada di sisi kiri), dan akibat adanya lesi di korpus kalosum
menyebabkan terputusnya hubungan korteks visual kanan dengan area bahasa
di hemisfer kiri. Oklusi yang mengenai kedua arteri serebri posterior (kanan
dan kiri) mengakibatkan penderita mengalami kebutaan kortikal, gangguan
ingatan dan prosopagnosia (ketidakmampuan mengenali wajah yang
sebenarnya sudah dikenali).

5. Arteri basilaris
Arteri basilaris merupakan gabungan dari sepasang arteri vertebra. Cabang
dari arteri basilaris memberikan suplai darah untuk lobus oksipital, lobus
temporal media, talamus media, kapsula internal krus posterior, batang otak
dan serebelum.
Gejala yang muncul akibat oklusi trombus arteri basilaris menimbulkan
defisit neurologis bilateral dengan keterlibatan beberapa cabang arteri.
Trombosis basiler mempengaruhi bagian proksimal dari arteri basilaris yang
memberikan darah ke pons. Keterlibatan sisi dorsal pons mengakibatkan
gangguan pergerakan mata horizontal, adanya nigtagmus vertikal, dan
gerakan okular lainnya seperti konstriksi pupil yang reaktif, hemiplegi yang
sering disertai koma dan sindrom oklusi basiler dengan penurunan kesadaran.
Emboli dari arteri vertebralis yang menyumbat bagian distal arteri basilaris
mengakibatkan penurunan aliran darah menuju formasio retikularis asendens
di mesensefalon dan talamus sehingga timbul penurunan kesadaran.
Sedangkan emboli yang lebih kecil dapat menyumbat lebih rostral dan pada
kasus demikian, mesensefalon, talamus, lobus temporal, dan oksipital dapat
mengalami infark. Kondisi ini dapat mengakibatkan gangguan visual
(hemianopia homonim, buta kortikal), visiomotor (gangguan gerak
konvergen, paralisis penglihatan vertikal, diplopia), dan prilaku (terutama
disorientasi) abnormal tanpa gangguan motorik.

Gejala Stroke Hemoragik

1. Perdarahan Intraserebral
Gejala yang diakibatkan oleh perdarahan intraserebral yaitu onset yang hampir
selalu timbul pada saat beraktivitas dan terkadang terjadi saat pasien dalam
keadaan tidur (hanya 3%). Gejala yang paling umum ditemukan adalah sakit
kepala dan muntah. Walaupun tidak spesifik dan tergantung lokasi lesi, hal ini
membedakannya dengan stroke iskemik. Sakit kepala pada saat onset merupakan
suatu gejala klinis yang penting pada pasien dengan perdarahan lobar, diakibatkan
karena adanya distensi lokal, distorsi, atau peregangan struktur intrakranial
superfisial yang sensitif terhadap rasa sakit.
Gejala lainnya yaitu kejang yang menunjukkan adanya suatu perdarahan lobaris
dibandingkan perdarahan pada bagian yang lebih dalam. Kecepatan penurunan
kesadaran pada pasien bervariasi sesuai lokasi dan luas perdarahan yang terjadi.
Mayoritas kasus dari perdarahan intraserebral terdapat pada kompartemen
supratentorial dan sebagian lagi pada bagian hemisfer serebral, ganglia basalis,
dan talamus.
1.1 . Perdarahan serebral
Perdarahan serebral disebabkan oleh hipertensi arterial. Perdarahan yang
terjadi berasal dari cabang distal arteri serebralis posteriol inferior. Gejala
krinis muncul pada saat pasien melakukan aktifitas. Gejala awal yang
mendahului rasa pening disertai perasaan seperti saat mabuk, mati rasa
pada wajah dan selanjutnya pasien tiba-tiba tidak mampu berjalan dan
bahkan berdiri. Kekakuan pada leher dan daerah bahu, tinitus dan
cekukan terjadi pada beberapa pasien.

1.2 . Perdarahan mesensefalon


Perdarahan spontan nontraumatik pada otak tengah sangat jarang
ditemukan perdarahan biasanya berasal dari bagian bawah talamus atau
lesi yang berawak dicerbelum atau ponds. Gejala yang ditimbulkan
umumnya bertahap dan progresif. Kerap terjadi ataksia dan oftalmoplegia
juga hidrposefalus akibat blokade atau distensi pada akuaduktus. Gejala
lain yang ditimbulkan antara lain berupa kelumpuhan bilateral nervus III,
kelemahan bulbar, reflek extensor plantar, sakit kapal yang menyeluruh,
muntah, hemiparesis, diplopia, dan pinpoint pupil.

1.3 . Perdarahan pons


Perdarahan pons terjadi karena peningkatan tekanan intrakranial yang
disebabkan masuknya darah keruangan tertutup intrakranial. Gejala klinis
yang terjadi adalah sakit kepala yang hebat di daerah oksipital sebelum
terjadi koma, gejala kejang, menggigil hebat, dan terjadi disfungsi sistem
otonom. Selain itiu gajala lainnya adalah mati rasa pada wajah dan
tungkai atas, ketulian, diplopia, kelemahan kaki bilateral, dan pola
pernapasan yang abnormal, apnea.

1.4 . Perdarahan medula oblongata


Perdarahan medula oblongata yang sangat jarang sekali terjadi bahkan
lebih jarang dibandingkan pedarahan otak tengah. Gejala yang
ditimbulkan dapat berupa rasa pening, muntah, sakit kepala, diplopia, dan
paresthesia tungkai atas kanan. Umumnya terjadi somnolen dalam waktu
singkat dan ataksik disertai kaku kuduk, hemiparesis kiri, nistagmus,
disfonia, dan disfagia.

2. Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya suatu
aneurisma intrakranial. Sebelum pecah, aneurisma biasanya tidak menyebabkan
gejala-gejala sampai menekan saraf atau bocornya darah dalam jumlah sedikit,
biasanya sebelum pecahnya besar (yang menyebabkan sakit kepala). Kemudian
menghasilkan tanda bahaya, seperti berikut di bawah ini :

Sakit kepala, yang bisa tiba-tiba tidak seperti biasanya dan berat
(kadangkala disebut sakit kepala thunderclap).
Nyeri muka atau mata.
Penglihatan ganda.
Kehilangan penglihatan sekelilingnya.

Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan cerebrospinal disekitar otak melukai
lapisan pada jaringan yang melindungi otak (meninges), menyebabkan leher kaku
sama seperti sakit kepala berkelanjutan, sering muntah, pusing, dan rasa sakit di
punggung bawah. Frekuensi naik turun pada detak jantung dan bernafas seringkali
terjadi, kadangkala disertai kejang yang semakin meningkat.
Selain itu, subarachnoid hemorrhage juga dapat menyebabkan beberapa
masalah serius lainnya :
1. Hidrosefalus: dalam waktu 24 jam. Darah dari subarachnoid hemorrhage
bisa menggumpal. Darah yang menggumpal bisa mencegah cairan di
sekitar otak (cairan cerebrospinal) dari kekeringan seperti normalnya.
Akibatnya, penumpukan darah di dalam otak, meningkatkan tekanan di
dalam tengkorak. Hidrosefalus bisa menyebabkan gejala-gejala seperti
sakit kepala, mengantuk, pusing, mual, dan muntah dan bisa meningkatkan
resiko pada koma dan kematian.
2. Vasospasm: sekitar 3 sampai 10 hari setelah perdarahan, arteri di dalam
otak bisa kontraksi (kejang), membatasi aliran darah menuju otak.
Kemudian, jaringan otak bisa tidak mendapatkan cukup oksigen dan bisa
mati, seperti stroke iskemik. Vasopasm bisa menyebabkan gejala yang
serupa pada stroke iskemik, seperti kelemahan atau kehilangan rasa pada
salah satu bagian tubuh, kesulitan menggunakan atau memahami bahasa,
vertigo, dan koordinasi lemah.
3. Pecahan kedua: kadangkala pecahan kedua terjadi, biasanya dalam waktu
seminggu.

2.6.Diagnosis
Anamnesis

Pada anamnesis akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak sebelah badan, mulut
mencong atu bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Keadaan ini
timbul sangat mendadak, dapat sewaktu bangun tidur, mau sholat, selesai sholat,
sedang bekerja atau sewaktu istirahat.

Selain itu perlu ditanyakan pula faktor-faktor risiko yang menyertai stroke
misalnya penyakit kencing manis, darah tinggi dan penyakit jantung. Dicatat obat-
obat yang sedang dipakai. Selanjutnya ditanyakan pula riwayat keluarga dan
penyakit lainnya.

Pada kasus-kasus berat yaitu dengan penurunan kesadaran sampai koma,


dilakukan pencatatan perkembangan kesadaran sejak serangan terjadi. Anamnesis
tersebut harus memperoleh informasi tentang berikut ini:

1. Karakteristik gejala dan tanda:


Modalitas mana yang terlibat (motorik, sensoris, visual)?
Daerah anatomi mana yang terlibat (wajah, lengan, tangan, kaki,
dan apakah seluruh atau sebagian tungkai, satu atau kedua mata)?
Apakah gejala-gejala tersebut fokal atau non fokal
Apa kualitasnya (apakah negatif misalnya hilang kemampuan
sensoris, hilangnya kemampuan motorik atau visual) atau positif
(misalnya menyebabkan sentakan tungkai (limb jerking),
kesemutan, halusinasi)?
2. Apa konsekuensi fungsionalnya (misalnya tidak bisa berdiri, tidak bisa
mengangkat tangan)
3. Kecepatan onset dan perjalanan gejala neurologi:
Kapan gejala tersebut dimulai (hari apa dan jam berapa)?
Apakah onsetnya mendadak?
Apakah gejala tersebut lebih minimal atau lebih maksimal saat
onset; apakah menyebar atau semakin parah secara bertahap, hilang
timbul, ataukah progresif dalam menit/jam/hari. Atau apakah ada
fluktuasi antara fungsi normal dan abnormal.
4. Apakah ada kemungkinan presipitasi.
Apa yang pasien sedang lakukan pada saat dan tidak lama sebelum
onset
5. Apakah ada gejala-gejala lain yang menyertai, misalnya:
Nyeri kepala, kejang epileptik, panic atau anxietas, muntah, nyeri
dada.
6. Apakah ada riwayat penyakit dahulu atau riwayat penyakit keluarga yang
relevan.
Apakah ada riwayat TIA atau stroke terdahulu?
Apakah ada riwayat hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes
mellitus, angina, infark miokard, intermittent claudicatio, atau
arteritis?
7. Apakah ada perilaku atau gaya hidup yang relevan?
Merokok, konsumsi alcohol, diet, aktivitas fisik, obat-obatan
(khusus obat kontrasepsi oral, obat antitrombotik, antikoagulan,
dan obat-obatan rekreasional seperti amfetamin).

Pemeriksaan Fisik

Setelah penentuan keadaan kardiovaskular penderita serta fungsi vital


seperti tekanan darah kiri dan kanan, nadi, pernafasan, tentukan juga tingkat
kesadaran penderita. Jika kesadaran menurun, tentukan skor dengan Skala Koma
Glasgow agar pemantauan selanjutnya lebih mudah. Jika pasien tidak dapat
berespon terhadap stimulasi verbal, harus mencoba membangkitkan respon
stimulasi taktil dengan cara mengguncang hingga mencubit, menekan kuku, dan
mencubit dada, tetapi seandainya penderita sadar tentukan berat kerusakan
neurologis yang terjadi, disertai pemeriksaan saraf-saraf otak dan motorik apakah
fungsi komunikasi masih baik atau adakah disfasia.

Waspada dengan ketidakmampuan untuk memahami bahasa yang


disampaikan maka menunjukkan afasia atau abulia berat. Dysnomia (gangguan
mengingat nama objek atau kata), kesalahan paraphrase, dan cara berbicara yang
sulit dengan gagap semuanya menunjukkan dugaan afasia. Ketidakmampuan
untuk memperhatikan stimuli pada satu sisi lapang pandang atau tubuh
menunjukkan neglect syndrome. Temuan tunggal berupa ketidakmampuan pasien
untuk menentukan atau mengidentifikasi tangan kirinya sendiri adalah bukti kuat
untuk kejadian disfungsi parietalis kanan. Berikutnya, harus dilakukan
pemantauan pasien berupa:

Fungsi visual, dengan pemeriksaan lapang pandang dan tes konfrontasi


Pemeriksaan pupil dan refleks cahaya
Pemeriksaan Dolls eye phenomenon (jika tidak ada kecurigaan cedera
leher)
Sensasi, dengan memeriksa sensasi korena dan wajah terhadap benda
tajam
Gerakan wajah mengikuti perintah atau sebagai respon terhadap stimuli
noxious (menggelitik hidung)
Fungsi faring dan lingual, dengan mendengarkan dan mengevaluasi cara
berbicara dan memeriksa mulut
Fungsi motorik dengan memeriksa gerakan pronator, kekuatan, tonus,
kekuatan gerakan jari tangan atau jari kaki
Fungsi sensoris, dengan cara memeriksa kemampuan pasien untuk
mendeteksi sensoris, dengan jarum, rabaan, vibrasi, dan posis (tingkat
level gangguan sensibilitas pada bagian tubuh sesuai dengan lesi patologis
di medulla spinalis, sesuai dermatomnya)
Fungsi serebelum, dengan melihat cara berjalan penderita dan
pemeriksaan disdiadokokinesis
Ataksia pada tungkai, dengan meminta pasien menyentuh jari kaki pasien
ke tangan pemeriksa
Refleks asimetri (contoh: refleks fisiologi anggota gerak kanan meningkat,
yang kiri normal)
Refleks patologis (Babinski, Chaddock)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin


Pemeriksaan kimia darah lengkap:
o Gula darah sewaktu
Pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia reaktif. Gula darah
dapat mencapai 250mg dalam serum dan kemudian berangsur-
angsur kembali turun.

o Kolesterol, ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati, enzim SGOT,


SGPT, CPK, dan profil lipid (trigliserida, LDH, HDL serta total
lipid)
Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap):
o Waktu protrombin
o APTT
o Kadar fibrinogen
o D-dimer
o INR
o Viskositas plasma
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan atas indikasi:
o Protein S
o Protein C
o ACA
o Homosistein
Pemeriksaan Neurokardiologi
Pada sebagain kecil penderita stroke terdapat juga perubahan
elektrokardiografi. Perubahan ini dapat berarti kemungkinan mendapat
serangan infark jantung atau pada stroke dapat terjadi perubahan-
perubahan elektrokardiografi sebagai akibat perdarahn oatak yang
menyerupai suatu infark miokard. Dalam hal ini pemeriksaan khusus atas
indikasi, misalnya CK-MB follow-up nya akan memastikan diagnosis.
Pada pemeriksaan EKG dan pemeriksaan fisik, mengarah kepada
kemungkinan adanya potensial source of cardiac emboli (PSCE) maka
pemeriksaan echocardiography terutama Transesofagial ekokardiografi
dapat diminta untuk visualisasi emboli cardial.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang paling penting adalah
1. CT-Scan otak; segera memperlihatkan perdarahan intraserebral.
Pemeriksaan ini sangat penting karena perbedaan manajemen
perdarahan otak dan infark otak. Pada infark otak, pemeriksaan
CT-Scan otak mungkin tidak memperlihatkan gambaran jelas jika
dikerjakan pada hari-hari pertama, biasanya tampak setelah 72 jam
serangan. Jika ukuran infark cukup besar dan hemisferik.
Perdarahan/infark di batang otak sangat sulit diidentifikasi, oleh
karena itu perlu dilakukan pemeriksaan MRI untuk memastikan
proses patologik di batang otak.
2. Pemeriksaan foto toraks:
Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat
pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda
hipertensi kronis pada penderita stroke dan adakah kelainan
lain pada jantung.
Selain itu dapat mengidentifikasi kelainan paru yang
potensial mempengaruhi proses manajemen dan
memperburuk prognosis.
2.7.Penatalaksanaan
Stroke Iskemik

Terapi umum:

Letakkan kepala pasien pada posisi 30, kepala dan dada pada satu bidang;
ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik
sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit
sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam
diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika
kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten).
Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL
dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin
isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika
didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui slang
nasogastrik.

Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah
sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama.
Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi
segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari
penyebabnya.

Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan
sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan
sistolik 220 mmHg, diastolik 120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure
(MAP) 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit),
atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal.
Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang
direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat
ACE, atau antagonis kalsium.

Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik 90 mm Hg, diastolik 70


mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4
jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum
terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin
2-20 g/kg/menit sampai tekanan darah sistolik 110 mmHg.

Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit,


maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan peroral (fenitoin,
karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan
peroral jangka panjang.

Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus


intravena 0,25 sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena
rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit
setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320
mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau
furosemid.

Terapi khusus:

Terapi medik stroke iskemik akut dapat dibagi menjadi 2 bagian seperti
pada penderita dengan kedaruratan medik perlu ditekankan bahwa penanganan
stroke akut, harus disamakan dengan keadaan darurat pada jantung, karena baik
pada kedaruratan kardiologik maupun neurologic, faktor waktu adalah sangat
penting, akhirnya otak dan sel-sel neuron harus diselamatkan secara cepat, karena
kondisi otak tidak mrmpunyai anaerob glycolysis sehingga survival time
hanya beberapa menit pada iskemik otak fokal dan lebih lama (mendekati 60)
pada iskemia global. Terapi medic stroke merupakan intervensi medik dengan
tujuan mencegah luasnya proses sekunder dengan menyelamatkan neuron-neuron
di daerah penumbra serta merestorasikan fungsi neurologic yang hilang.

Terapi trombolisis

Obat yang diakui FDA sebagai standar ini adalah pemakaian t-TPA
(recombinant tissue plasminogen activator) yang diberikan pada penderita
stroke akut baik i.v maupun intra arterial dalam waktu kurang dari 3 jam setelah
onset stroke. Diharapkan dengan pengobatan ini, terapi penghancuran thrombus
dan reperfusi jaringan otak terjadi sebelum ada perubahan irreversible pada otak
yang terkena terutama daerah penumbra.

1. Terapi reperfusi lainnya adalah pemberian antikoagulan pada stroke


iskemik akut. Obat-obatan yang diberikan adalah heparin atau heparinoid
(fraxiparine). Obat ini diharapkan akan memperkecil trombus yang terjadi
dan mencegah pembentukan thrombus baru. Efek antikoagulan heparin
adalah inhibisi terhadap faktor koagulasi dan mencegah/memperkecil
pembentukan fibrin dan propagasi thrombus.
2. Pengobatan anti platelet pada stroke akut.
Pengobatan dengan obat antiplatelet pada fase akut stroke sangat
dianjurkan. Uji klinis pemberian aspirin pada fase akut menurunkan
frekuensi stroke berulang dan menurunkan mortalitas penderita stroke
akut.

Terapi neuroprotektif

Pengobatan spesifik stroke iskemik akut yang lain adalah dengan obat-
obat neuroprotektor yaitu obat yang mencegah dan memblok proses yang
menyebabkan kematian sel-sel terutama di daerah penumbra. Obat-onat ini
berperan dalam menginhibisi dan mengubah reversibilitas neuronal yang
terganggu akibat ischemic cascade. Termasuk dalam kaskade ini adalah:
kegagalan hemostasis Calsium, produksi berlebih radikal bebas, disfungsi
neurotransmitter, edema serebral, reaksi inflamasi oleh leukosit, dan obstruksi
mikrosirkulasi. Proses delayed neuronal injury ini berkembang penuh setelah
24-72 jam dan dapat berlangsung sampai 10 hari.

Banyak obat-obat yang dianggap mempunyai efek neuroprotektor antara


lain: citicoline, pentoxyfilline, pirasetam. Penggunaan obat-obat ini melalui
beberapa percobaan dianggap bermanfaat, dalam skala kecil.
Stroke Hemoragik

Terapi umum

Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30
mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis
cenderung memburuk.

Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-
20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg,
dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah
harus segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit)
sampai 20mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg; enalapril iv 0,625-
1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral.

Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat, posisi kepala


dinaikkan 30, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol (lihat
penanganan stroke iskemik), dan hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg).

Terapi khusus

Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator.


Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien
yang kondisinya kian memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3
cm3, hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan
VP-shunting, dan perdarahan lobar >60 mL dengan tanda peningkatan tekanan
intrakranial akut dan ancaman herniasi.

Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium


(nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma
knife) jika penyebabnya adalah aneurisma atau malformasi arteri-vena
(arteriovenous malformation, AVM).
BAB III

PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Stroke adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda
klinis yang berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional
otak fokal maupun global secara mendadak dan akut yang berlangsung
lebih dari 24 jam yang tidak disebabkan oleh sebab lain selain penyebab
vaskuler. Definisi ini mencakup stroke akibat infark otak (stroke iskemik),
perdarahan intraserebral (PIS) non traumatic, perdarahan intraventrikuler
dan beberapa kasus perdarahan subarachnoid (PSA).
Gejala neurologis fokal adalah gejala-gejala yang muncul akibat
gangguan di daerah yang terlokalisir dan dapat teridentifikasi. Misalnya
kelemahan unilateral akibat lesi di traktus kortikospinalis. Gangguan non
fokal/global misalnya adalah terjadinya gangguan kesadaran sampai koma.
Gangguan neurologi non fokal tidak selalu disebabkan oleh stroke. Ada
banyak penyebab lain yang mungkin menyebabkannya. Oleh karena itu
gejala non fokal tidak seharusnya diinterpretasikan sebagai akibat stroke
kecuali bila disertai gangguan neurologis fokal.
Secara garis besar berdasarkan kelainan patologis yang terjadi,
stroke dapat diklasifikasikan sebagai stroke iskemik dan stroke hemoragik
(perdarahan). Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena
aterosklerosis atau bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh
darah. Pada stroke hemoragik, pembuluh darah pecah sehingga
menghambat aliran darah yang normal dan darah merembes ke dalam
suatu daerah di otak dan merusaknya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Goldszmidt AJ, Caplan LR. Stroke Essentials. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran, 2009.
2. Misbach HJ. Stroke: Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999.
3. Gofir A. Manajemen Stroke: Evidence Based Medicine. Jakarta: Pustaka
Cendekia Press, 2009.
4. Brass LM. Stroke. Available at http://www.med.yale.edu/library/heartbk/18.pdf.
Accessed on 10th January 2012.
5. Smith WS, Johnston SC. Cerebrovascular Diseases. In: Harrisons
Neurology in Clinical Medicine. California: University of California, San
Framsisco, 2006: 233-271.
6. Primary Prevention of Stroke, AHA/ASA Guideline, Stroke, June 2006;
1583-1633.
7. Guidelines Stroke 2004. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, Seri
Ketiga. Jakarta, 2004.
8. Rasyid A, Soertidewi L. Unit Stroke: Manajemen Stroke Secara
Komprehensif. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.

Anda mungkin juga menyukai