Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Organ penglihatan manusia terdiri atas banyak elemen yang saling bersinergi
untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Salah satu organ yang berperan
penting dalam melaksanakan fisiologis dari penglihatan ini adalah suatu lapisan
vaskular pada mata yang dilindungi oleh kornea dan sklera disebut uvea.1

Uvea terdiri atas 3 struktur: iris, badan siliar, dan koroid. Iris merupakan
bagian yang paling depan dari lapisan uvea. Iris disusun oleh jaringan ikat longgar
yang mengandung pigmen dan kaya akan pembuluh darah. Korpus siliaris (badan
siliaris) adalah struktur melingkar yang menonjol ke dalam mata terletak di antara
ora serrata dan limbus. Struktur ini merupakan perluasan lapisan koroid ke arah
depan. Koroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera.
Koroid merupakan lapisan yang banyak mengandung pembuluh darah dan sel-sel
pigmen sehingga tampak berwarna hitam.1

Uveitis didefinisikan sebagai proses inflamasi pada salah satu atau semua
bagian dari uvea (iris, badan siliar/korpus siliar, dan koroid). Uvea merupakan
lapisan vaskular mata yang tersusun atas banyak pembuluh darah yang dapat
memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan pada area ini dapat
mempengaruhi elemen mata yang lain seperti kornea, retina, sklera, dan beberapa
elemen mata penting lainnya. Sehingga kadang gejala yang dikeluhkan pasien
mirip dengan penyakit mata yang lain. Adapun gejala yang sering dikeluhkan
pasien uveitis secara umum yaitu mata merah (hiperemis konjungtiva), mata
nyeri, fotofobia, pandangan mata menurun dan kabur, dan epifora.1

Berbagai faktor dapat mencetuskan terjadinya uveitis, seperti trauma, infeksi,


penyakit autoimun, neoplasma, dan idiopatik. Pada negara-negara berkembang
uveitis lebih banyak ditemukan karena lebih tingginya prevalensi infeksi yang
bisa mempengaruhi mata, seperti toksoplasmosis dan tuberkulosis.1

1
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO pada
tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada
tahun 2002. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan
menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu
33% dari seluruh kasus TB di dunia.2

Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB


setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar
140.000 kematian akibat TB.3

TB merupakan penyakit multisistemik yang utama mengenai paru-paru dan


bisa mengenai organ lain termasuk mata. Uveitis merupakan manifestasi yang
paling sering terjadi pada organ mata. Tuberkulosis terjadi akibat penyebaran
endogen dari fokus-fokus sistemik. Insiden kelainan mata adalah kurang dari 1%
kasus-kasus tuberkulosis paru.1,4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

TRAKTUS UVEA

Mata sebagai organ penglihatan manusia, tersusun atas elemen-elemen


yang memiliki struktur yang berbeda-beda. Struktur yang dimiliki oleh masing-
masing elemen menunjang fungsi dari elemen tersebut dalam fisiologis
penglihatan manusia. Salah satu elemen mata manusia adalah uvea yaitu suatu
lapisan vaskular tengah mata yang membungkus bola mata dan dilindungi oleh
kornea dan sklera. Uvea terdiri atas 3 unsur yaitu iris, badan siliar, dan koroid.1

Gambar 1 Anatomi Traktus Uvea

2.1 Iris
Iris merupakan bagian yang paling depan dari lapisan uvea. Struktur ini
muncul dari badan siliar dan membentuk sebuah diafragma di depan lensa. Iris
juga memisahkan bilik mata depan dan belakang. Celah di antara iris kiri dan
kanan dikenal sebagai pupil.1

3
Iris disusun oleh jaringan ikat longgar yang mengandung pigmen dan
kaya akan pembuluh darah. Permukaan depan iris yang menghadap bilik mata
depan (kamera okuli anterior) berbentuk tidak teratur dengan lapisan pigmen yang
tak lengkap dan sel-sel fibroblas. Permukaan posterior iris tampak halus dan
ditutupi oleh lanjutan 2 lapisan epitel yang menutupi permukaan korpus siliaris.
Permukaan yang menghadap ke arah lensa mengandung banyak sel-sel pigmen
yang akan mencegah cahaya melintas melewati iris. Dengan demikian iris
mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata dan cahaya akan
terfokus masuk melalui pupil.1

Pada iris terdapat 2 jenis otot polos yaitu otot dilatator pupil dan otot
sfingter/konstriktor pupil. Kedua otot ini akan mengubah diameter pupil. Otot
dilatator pupil yang dipersarafi oleh persarafan simpatis akan melebarkan pupil,
sementara otot sfingter pupil yang dipersarafi oleh persarafan parasimpatis (N.
III) akan memperkecil diameter pupil.1

Jumlah sel-sel melanosit yang terdapat pada epitel dan stroma iris akan
mempengaruhi warna mata. Bila jumlah melanosit banyak mata tampak hitam,
sebaliknya bila melanosit sedikit mata tampak berwarna biru. 1

2.2 Badan Siliaris

Korpus siliaris (badan siliaris) adalah struktur melingkar yang menonjol


ke dalam mata terletak di antara ora serrata dan limbus. Struktur ini merupakan
perluasan lapisan koroid ke arah depan. Korpus siliar disusun oleh jaringan
penyambung jarang yang mengandung serat-serat elastin, pembuluh darah dan
melanosit.1
Badan siliaris membentuk tonjolan-tonjolan pendek seperti jari yang
dikenal sebagai prosessus siliaris. Dari prosessus siliaris muncul benang-benang
fibrillin yang akan berinsersi pada kapsula lensa yang dikenal sebagai zonula zinii
(Jusuf, 2003).1

4
Korpus siliaris dilapisi oleh 2 lapis epitel kuboid. Lapisan luar kaya akan
pigmen dan merupakan lanjutan lapisan epitel pigmen retina. Lapisan dalam yang
tidak berpigmen merupakan lanjutan lapisan reseptor retina, tetapi tidak sensitif
terhadap cahaya. Sel-sel di lapisan ini akan berfungsi sebagai pembentuk humor
aqueaeus (mengeluarkan cairan filtrasi plasma yang rendah protein ke dalam bilik
mata belakang (kamera okuli posterior).1
Humor aqueaeus mengalir dari bilik mata belakang (kamera okuli
posterior) ke bilik mata depan (kamera okuli anterior) melewati celah pupil (celah
di antara iris dan lensa), lalu masuk ke dalam jaringan trabekula di dekat limbus
dan akhirnya masuk ke dalam kanal Schlemm. Dari kanal Schlemm humor
aqueaeus masuk ke pleksus sklera dan akhirnya bermuara ke sistem vena.1
Korpus siliar mengandung 3 berkas otot polos yang dikenal
sebagai muskulus siliaris. Muskulus siliaris tersusun dari gabungan serat
longitudina, sirkuler, dan radial. Fungsi serat-serat sirkulaer adalah untuk
mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula, yang berorigo di lembah-lembah di
antara processus siliaris. Otot ini mengubah tegangan pada kapsul lensa, sehingga
lensa dapat mempunyai berbagai fokus baik untuk obyek berjarak dekat maupun
yang berjarak jauh dalam lapangan pandang Serat-serat longitudinal muskulus
siliaris menyisip ke dalam anyaman-anyaman trabekula untuk mempengaruhi
besar pori-porinya. 1

2.3 Koroid
Koroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera.
Koroid merupakan lapisan yang banyak mengandung pembuluh darah dan sel-sel
pigmen sehingga tampak berwarna hitam. Lapisan ini tersusun dari jaringan
penyambung jarang yang mengandung serat-serat kolagen dan elastin, sel-sel
fibroblas, pembuluh darah dan melanosit. Koroid terdiri atas 4 lapisan yaitu :
1. Epikoroid merupakan lapisan koroid terluar tersusun dari serat-serat kolagen
dan elastin.
2. Lapisan pembuluh merupakan lapisan yang paling tebal tersusun dari
pembuluh darah dan melanosit.

5
3. Lapisan koriokapiler, merupakan lapisan yang terdiri atas pleksus kapiler,
jaring-jaring halus serat elastin dan kolagen, fibroblas dan melanosit. Kapiler-
kapiler ini berasal dari arteri koroidalis. Pleksus ini mensuplai nutrisi untuk bagian
luar retina.
4. Lamina elastika, merupakan lapisan koroid yang berbatasan dengan epitel
pigmen retina. Lapisan ini tersusun dari jarring-jaring elastik padat dan suatu
lapisan dalam lamina basal yang homogen.

UVEITIS TUBERKULOSIS

Istilah uveitis menunjukkan suatu peradangan pada iris (iritis,


iridosiklitis), corpus siliare (uveitis intermediate, siklitis, uveitis perifer, atau pars
planitis), atau koroid (koroiditis). Namun dalam praktiknya, istilah ini turut
mencakup peradangan pada retina (retinitis), pembuluh retina (vaskulitis retinal),
dan nervus optikus intraokular (papilitis). Uveitis bisa juga terjadi sekunder akibat
radang kornea (keratitis), radang sklera (skleritis), atau keduanya (sklerokeratitis).
Uveitis biasanya terjadi pada usia 20 hingga 50 tahun dan berpengaruh pada 10-
20% kasus kebutaan yang tercatat di negara-negara maju. Uveitis lebih banyak
ditemukan di negara-negara berkembang dibandingkan di negara-negara maju
karena lebih tingginya prevalensi infeksi yang bisa mempengaruhi mata seperti
toksoplasmosis dan tuberkulosis di negara-negara berkembang.1

2.4. Definisi

Uveitis tuberkulosis merupakan suatu keadaan yang jarang terjadi, yang


disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Keterlibatan traktus uvea
merupakan manifestasi yang paling umum dari penyakit ini.5

2.5. Etiologi

Tuberkulosis uveitis terjadi akibat penyebaran endogen dari fokus-fokus


sistemik. Penyebab utamanya yaitu Mycobacterium tuberculosis. Bakteri
M.tuberculosis merupakan bakteri aerob obligat, yang biasanya ditemukan pada

6
jaringan yang kaya akan oksigen. TB mengenai paru-paru pada 80% kasus,
sementara 20% mengenai organ lain, termasuk mata, dimana koroid merupakan
salah satu bagian dengan tekanan oksigen tertinggi dalam tubuh.1,4

Gambar 2 Mycobacterium tuberculosis

2.6. Patofisiologi

Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB.
Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet
nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini
akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag
alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan
sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam
makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak,
akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama
koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.

Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju


kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke

7
lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena.
Jika focus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe
yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus
primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer,
kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran
limfe yang meradang (limfangitis).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya


kompleks primer secara lengkap disebut masa inkubasi TB. Masa inkubasi TB
biasanya berlangsung dalam waktu 4 8 minggu dengan rentang waktu antara 2-

12 minggu. Dalam waktu tersebut kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 10 3-


104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi


pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya
belum tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas.
Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan
telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas
terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji
tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah
kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah
terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi
baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB
terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam
granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk
ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.

Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan


paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar

8
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru.
Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini.

Gambar 3 Patofisiologi Tuberkulosis Paru

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi


yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe
regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat,
bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus
atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat
menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan
nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,
sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa
kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler,


dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran

9
limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk
kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk


penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara
ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit
sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan
mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju
adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang,
ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di
berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni
kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya.

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi


pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk
dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit tetapi
berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Bertahun-tahun kemudian, bila daya
tahan tubuh menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi
penyakit TB diorgan terkait.

Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran


hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread).
Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam
darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB
diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB
yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis

10
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host)
dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.

Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted


hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus
perkijuan menyebar ke saluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah
kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB
akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized
hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun


pertama), biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3
bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB
endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran
limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini
biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial
(lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat
terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik
sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru
kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak
mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi
sering pada remaja dan dewasa muda.

Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang


terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi,
dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian.
TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.6

2.7. Manifestasi Klinis

Pada umumnya, penglihatan kabur dan fotopobia merupakan gejala


yang sangat sering terjadi dan gejala yang dikeluhkan oleh pasien. Gejala
juga bisa asimptomatik atau bisa dengan keluhan lain seperti nyeri kepala,
sering berkedip, atau mata merah.4,7

11
a) Uveitis anterior

Gambar 3 Uveitis Anterior

- Unilateral atau bilateral


- Granulomatosa, mutton-fat keratic precipitates
- Nodul pada iris bisa didapati didekat pinggiran pupil atau pada
permukaan iris
- Sinekia anterior
- Hipopion

Gambar 4 Hipopion

- Biasanya disertai dengan vitritis

12
b) Uveitis posterior
- Unilateral atau bilateral
- 3 gambaran funduskopi:
Tuberkel yang soliter
Tuberkel miliar pada koroid
Tuberkuloma (lesi tunggal yang besar yang biasanya
menunjukkan adanya tumor, biasanya komplikasi dari tuberkel
yang tidak ditangani)

- Lesi biasanya terdapat pada koroid dan bermanifestasi sebagai:


Serpiginous-like choroiditis (SLC)

Tuberkel pada koroid


o Merupakan lesi yang paling khas pada TB intraokular

13
o Lesi kekuningan dengan batas yang sulit ditentukan
dan biasanya meningkat pada daerah tengah
o Umunya terdapat di daerah posterior
o Bisa terdapat sel-sel inflamasi dan cairan subretinal
o Tuberkel yang terdapat didekat atau tepat pada makula
dimanifestasikan dengan ketajaman penglihatan yang
berkurang

2.8. Diagnosis

Diagnosis dari uveitis TB sering sulit dilakukan karena gejala klinis yang
tidak khas dan tidak mudah untuk melakukan biopsi uvea untuk dikultur dan
pemeriksaan histopatologi langsung untuk mendiagnosis infeksi okular. Dalam
hampir kebanyak kasus dilaporkan bahwa TB okular hanyalah sebuah dugaan.4

Banyak pasien dengan gangguan pada mata tidak mempunyai riwayat


penyakit paru atau penyakit sistemik lainnya. Tidak adanya gejala klinis TB paru
tidak menutupi kemungkinan adanya uveitis TB, sama seperti 60% kasus TB
paru yang tidak memiliki kelainan radiologis dan pemeriksaan paru yang normal
dalam kasus TB laten.4

14
Dalam kebanyakan penelitian, kriteria diagnostik untuk dugaan uveitis
TB yaitu: tinggal atau migrasi dari daerah endemik TB, riwayat kontak dengan
pasien TB yang terinfeksi, adanya gangguan pada mata, menyingkirkan
penyebab lain uveitis, bukti yang nyata seperti test tuberkulin yang positif. Pada
sebuah penelitian dengan menggunakan 64 pasien dengan dugaan uveitis TB, 24
pasien (37,5%) dilaporkan bahwa mereka mempunyai riwayat kontak dengan
penderita TB, kadang-kadang kontak tersebut terjadi beberapa tahun sebelum
adanya gejala pada mata.4

2.9. Penatalaksanaan

Pada umumnya uveitis TB diterapi mengikuti pedoman terapi pada TB


paru aktif atau TB ekstraparu. Terdapat 2 fase pengobatan, yaitu intensif (2-3
bulan) dan lanjutan (4-7 bulan). Terdapat empat jenis obat-obatan (isoniazid 5
mg/kg/hr, rifampicin 450 mg/hr untuk BB <50 kg dan 600 mg jika BB >50 kg,
ethambutol 15 mg/kg/hr, and pyrazinamide 2530 mg/kg/hr) diberikan pada 8
minggu pertama, lalu dilanjutkan dengan dua macam obat (rifampicin and
isoniazid) untuk 18 minggu.4,8

Kortikosteroid (topikal dan atau oral) bisa diberikan untuk mengontrol


inflamasi dan diturunkan dosisnya setelah 6-12 minggu penggunaan.7

15
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Uveitis didefinisikan sebagai proses inflamasi pada salah satu atau semua
bagian dari uvea (iris, badan siliar/korpus siliar, dan koroid). Uvea merupakan
lapisan vaskular mata yang tersusun atas banyak pembuluh darah yang dapat
memberikan nutrisi kepada mata. Adanya peradangan pada area ini dapat
mempengaruhi elemen mata yang lain seperti kornea, retina, sklera, dan beberapa
elemen mata penting lainnya. Sehingga kadang gejala yang dikeluhkan pasien
mirip dengan penyakit mata yang lain. Adapun gejala yang sering dikeluhkan
pasien uveitis secara umum yaitu mata merah (hiperemis konjungtiva), mata
nyeri, fotofobia, pandangan mata menurun dan kabur, dan epifora.

Berbagai faktor dapat mencetuskan terjadinya uveitis, seperti trauma, infeksi,


penyakit autoimun, neoplasma, dan idiopatik. Pada negara-negara berkembang
uveitis lebih banyak ditemukan karena lebih tingginya prevalensi infeksi yang
bisa mempengaruhi mata, seperti toksoplasmosis dan tuberkulosis.

TB merupakan penyakit multisistemik yang utama mengenai paru-paru dan


bisa mengenai organ lain termasuk mata. Uveitis merupakan manifestasi yang
paling sering terjadi pada organ mata. Tuberkulosis terjadi akibat penyebaran
endogen dari fokus-fokus sistemik. Insiden kelainan mata adalah kurang dari 1%
kasus-kasus tuberkulosis paru.

Pengobatannya uveitis TB mengikuti pedoman terapi pada TB paru aktif


atau TB ekstraparu, yaitu dengan pengobatan minimal 6 bulan.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan & Asbury, 2014. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2006. Tuberkulosis: Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
3. Depkes RI, 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2.
4. Faiz & Shakarchi, 2015. Ocular tuberculosis: current perspectives. Available
at:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4664543/#__abstractid490
750title
5. Prabhu, S & Tsai, J., 2015. Tuberculosis uveitis.
Available at: http://eyewiki.aao.org/Tuberculosis_Uveitis#Etiology
6. Werdhani, R., 2012. Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi Tuberkulosis.
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI
7. Chan, P., 2014. Ocular Tuberculosis. San Fransisco. American Academy of
Ophthalmology. Available at:
https://www.aao.org/topic-detail/ocular-tuberculosis-tb--asia-pacific-
2#figure5
8. Wardhani & Uyainah, 2014. Kapita Selekta: Tuberkulosis. Edisi IV. Jilid II.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI.

17

Anda mungkin juga menyukai