Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Bronkitis kronis adalah suatu inflamasi pada bronkus yang sifatnya menahun
(berlangsung lama) dan disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang berasal dari
luar bronkus maupun dari dalam bronkus itu sendiri. Bronkitis kronis itu sendiri
ditandai dengan produksi mukus trakeobronkial yang berlebihan, sehingga
menimbulkan batuk dengan ekspektorasi sedikitnya 3 bulan dalam setahun dan
paling sedikit 2 tahun secara berturut-turut.

Di negara-negara Barat, ilmu pengetahuan dan industri telah maju dengan


mencolok tetapi telah pula menimbulkan pencemaran lingkungan dan polusi.
Ditambah lagi, dengan masalah merokok, mengakibatkan penyakit bronkitis
kronik menjadi suatu masalah yang besar. Di Inggris dan Amerika Serikat
penyakit paru kronik merupakan salah satu penyebab utama kematian dan
ketidakmampuan pasien untuk bekerja.

Dewasa ini diperkirakan 16,2 juta orang Amerika menderita bronkitis kronis.
Insiden tersebut meningkat 45% sejak tahun 1950 sampai sekarang dan
merupakan penyebab kematian terbanyak keempat. Pada bronkitis kronis
menyerang pria dua kali lebih banyak daripada wanita, disebabkan karena pria
adalah perokok berat tetapi insiden pada wanita meningkat 60% sejak tahun
1950 sampai sekarang dan diperkirakan akibat perilaku merokok yang
dilakukan.

Di Indonesia sendiri belum ada angka kematian seseorang secara signifikan


akibat bronkitis kronis. Penyakit bronkitis kronis ini lebih sering terjadi pada pria
dibandingkan wanita dan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah orang
yang menghisap rokok, pesatnya kemajuan industri.

1
Bronkitis kronis sering terjadi pada para perokok dan penduduk di kota-
kota yang dipenuhi kabut asap. Beberapa penelitian menunjukan bahwa 20%
hingga 25% laki-laki berusia antara 40 hingga 65 tahun mengidap
penyakit ini.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Bronkitis kronik merupakan inflamasi kronik pada mukosa bronkus yang


menyebabkan gejala batuk kronik berdahak untuk 3 bulan pada setiap 2 tahun
berturut-turut (CHEST, 1995). Bronkitis kronik adalah eskpektorasi sputum
sekurang-kurangnya 3 bulan selama 2 tahun berturut-turut dan pada kebiasaanya
ada obstruksi pernapasan (Meyer, 2003). Bronkitis kronik adalah kelainan saluran
napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,
sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-turut, tidak disebabkan penyakit
lainnya (PDPI, 2003).

2.2 Faktor Risiko


a. Merokok
Pada tahun 1964, penasehat Committee Surgeon General of the United
States menyatakan bahwa rokok merupakan faktor risiko utama terjadinya
bronkitis kronik dan emfisema. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
dalam satu detik setelah forced expiratory maneuver (FEVL), terjadi
penurunan mendadak dalam volume ekspirasi yang bergantung pada
intensitas merokok. Merokok secara histologi dapat menyebabkan
inflamasi saluran pernapasan, hipertrofi kelenjar sekresi mukosa dan
hiperplasia sel goblet, dimana secara tidak langsung hal ini memicu untuk
terjadinya bronkitis kronik.
b. Infeksi saluran napas
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas
PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas. Infeksi
saluran napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru
dan meningkatkan gejala respirasi pada saat dewasa. Riwayat infeksi

3
tuberkulosis berhubungan dengan obstruksi jalan napas pada usia lebih dari
40 tahun.
c. Polusi udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat
menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel
akan memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya
penyakit.
d. Genetik
PPOK merupakan penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-
lingkungan. Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah
kekurangan -1 antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin.

2.3 Patofisiologi

Berbagai faktor risiko untuk terjadinya bronkitis kronis (merokok, polusi


udara, infeksi berulang, dll) menimbulkan kondisi inflamasi pada bronkus.
Perubahan patologi yang terjadi pada trakea, bronki dan bronkiolus terus sampai
ke saluran napas kecil (diameter 2-4 mm) berupa infiltrasi permukaan epitel jalan
napas, kelenjar duktus, kelenjar-kelenjar dengan eksudat inflamasi (sel dan
cairan) yang didominasi oleh sel T limfosit (CD8+), makrofag dan neutrofil.
Proses inflamasi kronik itu berhubungan dengan metaplasia sel goblet dan sel
squamosa dari epitelium, peningkatan ukuran epitel- epitel kelenjar, peningkatan
banyak otot polos dan jaringan penunjang pada dinding jalan napas, serta
degenerasi tulang rawan jalan napas. Semua perubahan patologi itu bertanggung
jawab terhadap gejala pada bronkitis kronis yaitu batuk kronik dan produksi
sputum berlebihan seperti yang dijelaskan sebagai definisi bronkitis kronis
dengan kemungkinan berkombinasi dengan masalah jalan napas perifer dan
emfisema.

Inflamasi melibatkan berbagai sel, mediator dan menimbulkan berbagai efek.


Sel makrofag banyak didapatkan di lumen jalan napas, parenkim paru dalam
cairan kurasan bronkoalveolar (BAL). Makrofag mempunyai peran penting pada

4
proses inflamasi tersebut. Aktivasi makrofag menghasilkan TNF-α dan
berbagai mediator inflamasi lainnya serta protease sebagai respons terhadap
asap rokok dan polutan. Mediator inflamasi tersebut sebagian bersifat kemokin
dan bertanggung jawab terhadap kemotaktik dan aktivasi sel neutrofil.

Selain makrofag, sel limfosit T dan neutrofil berperan pada inflamasi ini
sehingga terjadi berbagai mediator dan sitokin (perforin, granzyme-B, TNF-α
oleh limfosit T dan II-8, LTB4, GM-CSF oleh neutrofil) yang saling berinteraksi
dan menimbulkan proses inflamasi kronik. Neutrofil yang teraktivasi meningkat
terbukti pada sputum dan cairan BAL penderita PPOK ataupun bronkitis kronis
dan semakin meningkat pada saat eksaserbasi akut. Peran nuertrofil pada
bronkitis kronis adalah berkontribusi pada hipersekresi mukus melalui
produknya metease-protease dan juga destruksi parenkim pada PPOK.
Neutrofil mengeluarkan elastase dan proteinase-3 yang merupakan mediator yang
poten untuk merangsang produksi mukus sehingga terlibat dalam
hipersekresi mukus yang kronik.

Mediator inflamasi yang terlibat pada bronkitis kronis/PPOK:

• Faktor hemotaktik

o Mediator lipid misalnya LTB4 & limfosit T menarik neutrofil

o Kemokin misalnya Il-8 menjadi neutrofil

• Sitokin inflamasi misalnya TNF-α, IL-Iβ, IL-6, meningkatkan proses


inflamasi dan berefek pada inflamasi sistemik.

• Faktor pertumbuhan misalnya TGF-β menimbulkan fibrosis pada


saluran napas kecil.

Mekanisme pertahanan paru/saluran napas yang sangat kompleks


meliputi mekanik, imuniti alamiah, imuniti humoral yang didapat, baik dari
saluran napas atas dan bawah. Selain itu juga melimbatkan mekanisme
pertahanan parenkim (alveoli) dan imuniti selular didapat khususnya pada

5
saluran napas bawah. Imunoglobulin (Ig) A sekretori merupakan Ig yang
berperan pada saluran napas disebabkan fungsinya sebagai barier pada epitel
saluran napas mencegah penetrasi antigen ke dalam mukosa selain fungsi
sebagai antibodi pada umumnya kecuali tidak untuk merangsang komplemen
aktivasi sebagaimana peran IgG.

Asap rokok/polusi udara melemahkan mekanisme pertahanan saluran napas


antara lain melalui pengaruhnya terhadap ekspresi reseptor polimerik Ig yang
mengakibatkan penurunan produksi komponen sekretori juga IgA sekretori dan
melemahkan transport komponen sekretori yang mengakibatkan rendahnya
kadar IgAs dalam lumen saluran napas. Hal itu menyebabkan penurunan
mekanisme pertahanan saluran napas menimbulkan mudahnya kolonisasi
bakteri menimbulkan refluks neutrofil dan degradasi IgAs oleh neutrofil
maupun produk-produk bakteri. Sehingga kejadian menimbulkan inflamasi,
juga semakin melemahkan mekanisme pertahanan, memudahkan infeksi kronik
dan meningkatkan jumlah neutrofil dan seterusnya.

Perubahan struktur pada paru menimbulkan perubahan fisiologi yang


merupakan karakteristik bronkitis kronis seperti batuk kronis, produksi sputum,
obstruksi jalan napas, gangguan pertukaran gas, hipertensi pulmonal dan cor-
pulmonal.

Akibat perubahan bronkiolus dan alveoli terjadi gangguan pertukaran gas


yang menimbulkan 2 masalah yang serius yaitu:

1. Aliran darah dan aliran udara ke dinding alveoli yang tidak sesuai.
Sebagian alveoli terdapat aliran darah yang adekuat tetapi sedikit aliran
udara dan sebagian tempat lain sebaliknya.
2. Menurunnya aktivitas sistem respirasi terutama pada otot-otot paru
sehingga terjadi hiperinflasi dan penyempitan jalan napas, menimbulkan
hipoventilasi dan tidak cukupnya udara ke alveoli yang menyebabkan
CO2 darah meningkat dan O2 dalam darah berkurang.

6
Mekanisme patofisiologi pada bronkitis kronis sangat kompleks, berawal dari
rangsang toksik pada jalan napas yang menimbulkan 4 hal besar yaitu inflamasi
jalan napas, hipersekresi mukus, disfungsi silia, dan rangsangan refleks vagal.

2.4 Manifestasi Klinis

Bronkitis kronik sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi akut dimana


kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya dan bersifat akut.
Eksaserbasi akut ini dapat ditandai dengan gejala yang khas, seperti sesak napas
yang semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan volume atau
purulensi sputum atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti
malaise, kelelahan dan gangguan tidur. Gejala klinis bronkitis kronik
eksaserbasi akut ini dapat dibagikan menjadi dua yaitu gejala respirasi dan gejala
sistemik. Gejala respirasi berupa sesak napas yang semakin bertambah berat,
peningkatan volume dan purulensi sputum, batuk yang semakin sering, dan napas
yang dangkal dan cepat. Gejala sistemik ditandai dengan peningkatan suhu
tubuh, peningkatan denyut nadi serta gangguan status mental pasien (GOLD,
2011).

7
2.5 Diagnosis

Gejala dan tanda bronkitis kronik sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala,
gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan jelas
dan tanda inflasi paru. Penderita bronkitis kronik akan datang ke dokter dan
mengeluhkan sesak napas, batuk-batuk kronik, sputum yang produktif, serta
adanya riwayat faktor resiko. Sedangkan bronkitis kronik ringan dapat tanpa
keluhan atau gejala.

Diagnosis dapat ditegakkan yang pertama yakni dengan anamnesis meliputi


keluhan utama dan keluhan tambahan. Biasanya keluhan pasien adalah batuk
maupun sesak napas yang kronik dan berulang. Pada bronkitis kronik gejala
batuk sebagai keluhan yang menonjol, batuk disertai dahak yang banyak, kadang
kental dan kalau berwarna kekuningan pertanda adanya super infeksi bakterial.
Gangguan pernapasan kronik pada bronkitis kronik secara progresif
memperburuk fungsi paru dan keterbatasan aliran udara khususnya saat ekspirasi,
dan komplikasi dapat terjadi gangguan pernapasan dan jantung. Perburukan
penyakit menyebabkan menurunnya kemampuan untuk melakukan kegiatan
sehari-hari, bahkan sampai kehilangan kualitas hidup.

Adanya riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan. Riwayat terpajan zat iritan di tempat kerja juga sering ditemukan.
Kemudian adanya riwayat penyakit pada keluarga dan terdapat faktor
predisposisi pada masa anak, misalnya berat badan lahir rendah, infeksi saluran
napas berulang dan lingkungan asap rokok dan polusi udara. Kemudian adanya
batuk berulang dengan atau tanpa dahak dan sesak dengan atau tanpa bunyi
mengi. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik, pada inspeksi didapati pursed
- lips breathing atau sering dikatakan mulut setengah terkatup atau mulut
mencucu. Lalu adanya barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal
sebanding). Pada saat bernapas dapat ditemukan penggunaan otot bantu napas
dan hipertropi otot bantu napas. Pelebaran sela iga dan bila telah terjadi gagal
jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan edema tungkai serta
adanya penampilan pink puffer atau blue bloater. Pada saat palpasi didapati

8
stem fremitus yang lemah dan adanya pelebaran iga. Pada saat perkusi akan
didapati hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah. Auskultasi berguna untuk mendengar apakah suara napas
vesikuler normal, atau melemah, apakah terdapat ronki atau mengi pada
waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang dan bunyi
jantung terdengar jauh.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
 Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( % ). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80%
VEP1% (VEP1/KVP) < 75 % VEP1 merupakan parameter yang
paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia
atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat,
dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti
harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.

 Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi
sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai

9
VEP1 atau APE <20% nilai awal dan <200ml. Uji bronkodilator
dilakukan pada PPOK stabil.

2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit

3. Radiologi
Foto thoraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakir
paru lain. Pada bronkitis kronik biasanya gambaran radiologi terlihat
normal, atau terdapat corakan bronkovaskuler bertambah pada 21%
kasus.

2.7 Penatalaksanaan
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
bronkitis kronis stabil. Karena merupakan penyakit kronis yang ireversibel
dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas
dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru.
Tujuan edukasi:
 Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
 Melaksanakan pengobatan yang maksimal
 Mencapai aktivitas optimal
 Meningkatkan kualitas hidup

Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural, dan kondisi ekonomi
pasien.

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan:

 Pengetahuan dasar tentang bronkitis kronik


 Obat-obatan, manfaat dan efek samping

10
 Cara pencegahan perburukan penyakit
 Menghindari pencetus
 Penyesuaian aktivitas

2. Obat-obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi, nebulizer tidak dianjurkan pada
penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberiaan
obat lepas lambat atau obat berefek panjang.
Macam-macam bronkodilator:
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi mukus (maksimal 4 kali
perhari).
- Golongan agonis -2
Bentuk inhaler digunakan mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai
obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek
panjang. Bentuk nebulizer dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis -2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaak obat kombinasi lebih sederhana
dan mudah digunakan.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan jangka penjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer

11
untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip
untuk mengatasi eksaserbasi akut.
- Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan
VEP1 pascabronkodilator meningkat >20% dan minimal 250ml.
Digunakan pada PPOK stabil mulai derajat III dalam bentuk
glukokortikoid, kombinasi LABACs dan PDE-4.
- Antibiotika
Untuk mengobati infeksi bakterial yang mencetuskan eksaserbasi.
- Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup,
digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
- Mukolitik
Hanya diberikan pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronis dengan sputum
kental (misalnya ambroksol, erdostein). Mengurangi eksaserbasi pada
PPOK bronkitis kronis, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian
rutin.

Gejala Golongan Obat Obat & Kemasan Dosis


Tanpa gejala Tanpa obat
Gejala intermiten Agonis ß2 Inhalasi kerja cepat Bila perlu

( pada waktu aktiviti )

Gejala terus menerus Antikolinergik Ipratropium bromida 2 - 4 semprot →

20 µgr 3 - 4 x/hari

12
Inhalasi Agonis ß2 Fenoterol 2 - 4 semprot

kerja cepat 100µgr/semprot → 3 - 4 x/hari


salbutamol 2 - 4 semprot

100µgr/semprot → 3 - 4 x/hari
Terbutalin 2 - 4 semprot

0,5µgr/semprot → 3 - 4 x/hari
Prokaterol 2 - 4 semprot

10µgr/semprot → 3 x/hari
Kombinasi terapi Ipratropium bromid 2 - 4 semprot

20µgr+salbutamol → 3 - 4 x/hariPasien memakai Inhala


agonis ß2 kerja
100µgr → persemprot
Pasien memakai Inhalasi Inhalasi Agonis ß2 Formoterol 6µgr, 1 - 2 semprot →
agonis ß2 kerja kerja lambat ( tidak Atau
dipakai untuk 12µgr/semprot 2 x/hari tidak timbul gejala pada wak
eksaserbasi ) melebihi 2 x/hari
malam atau pagi hari
Atau
timbul gejala pada waktu salmeterol 1 - 2 semprot →
malam atau pagi hari
25µgr/semprot 2 x/hari tidak
melebihi 2 x/hari
Teofilin Teofilin lepas lambat 400 - 800mg/hari
Pasien tetap mempuny
Teofilin/ aminofilin 150
mg x 3 - 4x/hari 3 - 4 x/hari gejala dan atau terbata
dalam aktiviti harian
Anti oksidan N asetil sistein 600mg/hr meskipun mendapat
Pasien tetap mempunyai Kortikosteroid oral Prednison 30 - 40mg/hr pengobatan bronkodila
gejala dan atau terbatas selama 2mg maksimal
(uji kortikosteroid ) Metil prednisolon Uji kortikosteroid
dalam aktiviti harian
memberikan respons
meskipun mendapat
positif
pengobatan bronkodilator
maksimal

Uji kortikosteroid Inhalasi Beklometason 50µgr, 1 - 2 semprot


memberikan respons Sebaiknya pemberian
positif Kortikosteroid 250µgr/semprot → 2 - 4 x/hari
kortikosteroid inhalasi
Budesonid 100µgr, →
200 - 400µgr dicoba bila mungkin un
memperkecil efek sam
250µgr, 2x/hari maks

400µgr/semprot 2400µgr/hari

13
Sebaiknya pemberian Flutikason 125 - 250µgr →
kortikosteroid inhalasi
dicoba bila mungkin untuk 125µgr/semprot 2x/hari maks
memperkecil efek samping
1000µgr/hari

14
BAB III

PENUTUP

3.1.Kesimpulan

Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik
berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya 2 tahun berturut-
turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.

Identifikasi faktor risiko merupakan langkah penting dalam pencegahan dan


penatalaksanaan bronkitis kronis. Beberapa hal yang menjadi faktor risiko
terjadinya bronkitis kronis yaitu merokok, polusi udara, dan genetik.

Gejala dan tanda bronkitis kronik sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala,
gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan jelas
dan tanda inflasi paru. Penderita bronkitis kronik akan datang ke dokter dan
mengeluhkan sesak napas, batuk-batuk kronik, sputum yang produktif, serta
adanya riwayat faktor resiko. Sedangkan bronkitis kronik ringan dapat tanpa
keluhan atau gejala.

Tujuan penatalaksanaan pada PPOK mencakup beberapa komponen yaitu


mengurangi gejala, mencegah progretivitas penyakit, meningkatkan toleransi
latihan, meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi,
menurunkan kematian. Penatalaksanaan terhadap PPOK meliputi edukasi dan
pemberian obat-obatan.

15
DAFTAR PUSTAKA

American Lung Association, Lung Disease Data: 2008, Trends In


COPD (Chronic Bronchitis & Emphysema) Morbidity and
Mortality, Available: http//www.lungusa.org

Sutoyo, D., K., 2014. Bronkitis kronis dan Lingkaran yang tak Berujung
Pangkal (Vicious Circle). Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran
Respirasi FKUI – SMF Paru RSUP Persahabatan Jakarta

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, Global


Strategy For The Diagnosis, Management, And Prevention Of
Chronic Obstructive Pulmonary Disease Revised 2011,
Available: www.goldcopd.org/Gold_Report_2011_Feb21_pdf

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Pedoman Diagnosis &


Penatalaksanaan di Indonesia 2003, Penyakit Paru Obstruktif Kronik,
Available: www.klikpdpi.com

Kamangar N, 2010, Chronic Obstructive Pulmonary Disease, EMedicine.com,


Available: http//www.emedicine.medscape.com/article/297664-overview

Soeroto, A., Y & Suryadinata, H., 2014. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Divisi
Respirologi dan Kritis Respirasi RS Dr Hasan Sadikin FK UNPAD

16

Anda mungkin juga menyukai