Anda di halaman 1dari 57

REFERAT

HUBUNGAN TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK TERHADAP


PGE2 DAN NF KB

Pembimbing:
Mayor Laut (K/W) dr Titut H. M.Kes

Penyusun :

Wahyu Aji Alfarizi 2015.04.2.0145


Novelis Triwikarno 2016.04.2.0127

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH


RSAL dr. RAMELAN SURABAYA
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Judul referat Hubungan Terapi Hiperbarik Oksigen Terhadap PGE2


Dan Nf Kb telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas baca
dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Klinik di bagian
LAKESLA.

Pembimbing

Mayor Laut (K/W) dr Titut H., M.Kes

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkah
dan rahmatNya, kami dapat menyelesaikan referat dengan topik
Hubungan Terapi Hiperbarik Oksigen Terhadap PGE2 Dan Nf Kb ini.
Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian LAKESLA RSAL dr.
RAMELAN Surabaya, dengan harapan dapat dijadikan sebagai tambahan
ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan penulis maupun pembaca.
Dalam penulisan dan penyusunan laporan kasus ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak, untuk saya mengucapkan terima
kasih kepada:
a. dr.Titut Harnanik , M.Kes selaku pembimbing.
b. Para dokter di bagian LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya.
c. Para perawat dan staf di LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya.
Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.

Surabaya, Maret 2017

Penyusun

3
Daftar Isi

LEMBAR PENGESAHAN...............................................................................................i
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
Daftar Isi..........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................3
2.1 Terapi Oksigen Hiperbarik..............................................................................3
2.1.1 Definisi.......................................................................................................3
2.1.2 Sejarah Terapi Oksigen Hiperbarik........................................................3
2.1.3 Fisiologi terapi oksigen hiperbarik.........................................................4
2.1.4 Efek dan mekanisme aksi.......................................................................5
2.1.5 Indikasi terapi oksigen hiperbarik........................................................10
2.1.6 Kontraindikasi terapi oksigen hiperbarik.............................................12
2.2 Inflamasi..........................................................................................................14
2.2.1 Definisi.....................................................................................................15
2.3 Prostaglandin.................................................................................................20
2.3.1 Definisi prostaglandin............................................................................20
2.3.2 Peran prostaglandin....................................................................................20
2.3.3 Regulasi prostaglandin...............................................................................20
BAB III Kerangka Konseptual...................................................................................30
3.1 Hubungan terapi oksigen hiperbarik dengan PGE2..................................30
2.3. Hubungan terapi oksigen hiperbarik dengan Nf-kB......................................30
BAB IV Kesimpulan....................................................................................................32
Daftar Pustaka..............................................................................................................33

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terapi oksigen hiperbarik adalah pemberian oksigen tekanan tinggi


untuk pengobatan yang dilaksanakan dalam Ruang Udara Bertekanan
Tinggi (RUBT). Sedangkan menurut Undersea and Hyperbaric Medical
Society (UHMS), terapi oksigen hiperbarik merupakan suatu perlakuan
dimana pasien menghirup 100% oksigen murni di dalam suatu ruangan
tertutup yang diberi tekanan lebih besar dari tekanan di atas permukaan
laut (1 ATA). Peningkatan tekanan yang dilakukan harus sistemik dan
diberikan di dalam suatu monoplace atau multiplace chambers (Gill,
2004).

Pada kehidupan sehari-hari, manusia hanya menghirup oksigen


mencapai 21%. Sedangkan pada terapi oksigen hiperbarik manusia dapat
memperoleh asupan oksigen 100%. Tabung yang digunakan dalam terapi
juga telah dirancang dengan tekanan tinggi, dapat membuat oksigen
tersebut terlarut dalam tubuh sehingga masuknya oksigen dapat
mencapai 4cc sampai 6cc dalam setiap 100cc darah plasma. Sementara
jumlah oksigen sebanyak 21% yang diperoleh dalam kehidupan sehari-
hari, hanya dapat menyumbang sekitar 0,3 cc dalam setiap 100cc darah
plasma. Maka oksigen yang diberikan melalui terapi akan dapat mencapai
jaringan atau organ yang kurang mendapat oksigen. Terapi oksigen
hiperbarik juga dapat memberi lingkungan optimal pada tubuh untuk
mendukung prosel-proses vital sel (Supondha, 2014).

Terapi oksigen hiperbarik memberikan manfaat untuk kesehatan


seperti menstimulasi angiogenesis, meningkatkan kecepatan

1
penyembuhan luka, dapat meningkatkan kadar oksigen, Osteogenesis,
dapat membunuh bakteri, meningkatkan kemampuan dari fungsi
fagositosis dan sel-sel natural killer, meyebabkan penyempitan dari lumen
pembuluh darah sehingga mengurangi oedema, dapat menyebabkan
penurunan volume dari gelembung udara termasuk gelembung nitrogen
pada DCS. (Susanto, 2015).

Selain manfaat-manfaat yang disebutkan tadi, terapi HBO juga


dapat menurunkan prostaglandin Khusus nya PGE2. Selain itu terapi HBO
ini juga dapat menekan signal Nf-kB yang merupakan faktor trsanskripsi
untuk DNA sel radang. ( Liang F et al, 2013). Oleh karena itu kami ingin
menjelaskan hubungan antara penggunaan terapi oksigen hiperbarik
dengan kadar PGE2 dan Nf-kb.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terapi Oksigen Hiperbarik

2.1.1 Definisi

Definisi kesehatan hiperbarik adalah ilmu yang mempelajari tentang


masalah-masalah kesehatan yang timbul akibat pemberian tekanan lebih
dari 1 Atm terhadap tubuh dan aplikasinya untuk pengobatan. Tekanan 1
Atmosfer adalah tekanan udara yang dialami oleh semua benda, termasuk
manusia, di atas permukaan laut, bersifat tetap dari semua jurusan dan
berada dalam keseimbangan (Riyadi, 2013).

Definisi terapi oksigen hiperbarik adalah pemberian oksigen


tekanan tinggi untuk pengobatan yang dilaksanakan dalam Ruang Udara

3
Bertekanan Tinggi (RUBT). Sedangkan menurut Undersea and Hyperbaric
Medical Society (UHMS), terapi oksigen hiperbarik merupakan suatu
perlakuan dimana pasien menghirup 100% oksigen murni di dalam suatu
ruangan tertutup yang diberi tekanan lebih besar dari tekanan di atas
permukaan laut (1 ATA). Peningkatan tekanan yang dilakukan harus
sistemik and diberikan di dalam suatu monoplace atau multiplace
chambers (Gill, 2004).

2.1.2 Sejarah Terapi Oksigen Hiperbarik

Terapi hiperbarik pertama kali dicatat pada tahun 1662, ketika Dr.
Henshaw dari Inggris membuat RUBT untuk pertama kalinya. Sejak itu,
penggunaan RUBT ini banyak menghasilkan manfaat dalam mengobati
penyakit. Pada tahun 1879, penggunaan terapi hiperbarik dalam operasi
mulai dilakukan. Pada tahun 1921 Dr. J. Cunningham mulai
mengemukakan teori dasar tentang penggunaan oksigen hiperbarik untuk
mengobati keadaan hipoksia. Tetapi usahanya mengalami kegagalan.
Tahun 1930 penelitian tentang penggunaan oksigen hiperbarik mulai
terarah dan mendalam. Sekitar tahun 1960an Dr. Borrema memaparkan
hasil penelitiannya tentang penggunaan oksigen hiperbarik yang larut
secara fisik di dalam cairan darah sehingga dapat memberi hidup pada
keadaan tanpa Hb yang disebut life without blood. Hasil penelitiannya
tentang pengobatan gas gangren dengan oksigen hiperbarik membuat Dr.
Borrema dikenal sebagai Bapak RUBT. Sejak saat itu, terapi oksigen
hiperbarik berkembang pesat dan terus berlanjut sampai sekarang (S,
Rijadi, 2016).

2.1.3 Fisiologi terapi oksigen hiperbarik

Dasar dari terapi oksigen hiperbarik terletak pada hukum gas ideal
yaitu :

4
a. Hukum Boyle menyatakan bahwa pada suhu konstan, tekanan dan
volume gas berbanding terbalik.

P1 V1 = P 2 V 2

Ini adalah dasar untuk banyak aspek terapi hiperbarik, termasuk


sedikit peningkatan suhu chamber selama pengobatan dan
fenomena yang dikenal sebagai 'squeeze' (memeras), yang terjadi
ketika tuba eustachius yang tersumbat menghambat equalisasi
tekanan gas sehingga kompresi gas memberikan rasa nyeri di
telinga tengah. Pada pasien yang tidak bisa secara independen
melakukan ekualisasi tekanan, penempatan tabung tympanostomy
harus dipertimbangkan untuk menyediakan saluran rongga udara
antara telinga luar dan dalam. Demikian pula, gas yang
terperangkap dapat membesar dan membahayakan selama
dekompresi, seperti dalam contoh langka yaitu pneumotoraks yang
terjadi selama pemberian tekanan. (S, Rijadi, 2016).

b. Hukum Dalton menyatakan bahwa tekanan suatu campuran gas


sama dengan jumlah tekanan parsial masing-masing gas. (S,
Rijadi, 2016).

P = P1 + P2 + P3 + ..

c. Hukum Henry menyatakan bahwa jumlah gas terlarut dalam cairan


berbanding lurus dengan tekanan parsial gas tersebut pada
temperatur tetap. (S, Rijadi, 2016).

d. Hukum Charles menyatakan bahwa pada volume tetap, temperatur


suatu gas berbanding lurus dengan tekanannya. (S, Rijadi, 2016).

PV
=K
T

5
2.1.4 Efek dan mekanisme aksi

Sebagian besar oksigen yang dibawa dalam darah terikat pada


hemoglobin, yang mana 97 % tersaturasi pada tekanan atmosfer. Namun
beberapa oksigen yang dibawa dalam plasma meningkat pada terapi
hiperbarik karena Hukum Henry, yang kemudian akan memaksimalkan
oksigenasi jaringan. Ketika menghirup udara normobaric, tekanan oksigen
arteri adalah sekitar 100 mmHg, dan tekanan oksigen jaringan sekitar 55
mmHg. Namun, oksigen 100% pada tekanan 3 ATA dapat meningkatkan
tekanan oksigen arteri 2000 mmHg, dan tekanan oksigen jaringan menjadi
sekitar 500 mmHg, hal ini memungkinkan pengiriman 60 ml oksigen per
liter darah (dibandingkan dengan 3 ml/l pada tekanan atmosfer), yang
cukup untuk mendukung jaringan beristirahat tanpa kontribusi dari
hemoglobin. Karena oksigen terlarut banyak di dalam plasma maka dapat
menjangkau daerah-daerah yang terhambat di mana sel-sel darah merah
tidak bisa lewat, dan juga dapat mengaktifkan oksigenasi jaringan bahkan
meskipun terdapat gangguan pengangkutan oksigen, seperti pada
keracunan gas karbon monoksida dan anemia berat (Gill, 2004).

HBO meningkatkan pembentukan radikal bebas oksigen, yang


mengoksidasi protein dan lipid membran, yang kemudian akan
menyebabkan kerusakan DNA dan menghambat fungsi metabolisme
bakteri. HBO sangat efektif terhadap bakteri anaerob, dan memfasilitasi
sistem peroksidase tergantung oksigen yang digunakan leukosit untuk
membunuh bakteri. HBO juga meningkatkan transport oksigen tergantung
antibiotik tertentu di dinding sel bakteri (Gill, 2004)

Efek awal dan penekanan pada manusia adalah meningkatnya


tekanan hidrostaltik yang akan meningkatkan tekanan partial gas dan
menyebabkan pengurangan dari volume spatium yang tensi gas sesuai
dengan hokum Boyle. Telah diketahui dengan baik bahwa bernafas
dengan O2 melebihi 1 ATA akan meningkatkan produksi dari Reactive
Oxygen Species (ROS). ROS dan Reactive Nitrogen Species (RNS),

6
merupakan suatu molekul pemberi sinyal yang penting pada berbagai jalur
untuk faktor pertumbuhan, sitokin, dan hormon. ROS merupakan suatu
istilah yang digunakan untuk O 2 yang dihasilkan oleh spesies non radikal
maupun O2 yang dthasilkan radikal bebas seperti hydrogen peroksida dan
hypochlorous acid. ROS ini merupakan bagian dari metabolisme normal
oleh mitokondria, retikulurn endoplasma, dan berbagai macam enzim
oksidase dan metabolisme fostolipid (Thorn, 2011).

Peningkatan tekanan parsial O 2 akan meningkatkan konsentrasi


O2 di dalam jaringan termasuk mitokondria. Peningkatan konsentrasi O 2 di
dalam mitokondria meningkatkan terbentuknya anion superoksida yang
dikenal sebagai ROS primer. Terbentuknya ROS didalam jaringan
merupakan dasar molekuler dari mekanisme kerja HBOT di dalam tubuh.
ROS dan RNS berperan bagai pisau bermata dua. Di satu sisi ROS
mengakibatkan efek yang merugikan namun di sisi lain memberikan efek
yang menguntungkan. ROS akan merugikan apabila terjadi stres oksidatif
(suatu keadaan yang terjadi akibat produksi ROS atau RNS yang
berlebihan atau penurunan kadar antioksidan). ROS Juga mendasari
terjadinya keracunan oksigen. Namun, di sisi lain. ROS dan RNS dalam
kondisi fisiologis, diproduksi oleh tubuh kita dan diatur dengan ketat. Di
dalam kondisi fisiologis ROS dan RNS berperan sebagai molekul
penyandi intraselular. Pembentukan ROS dan RNS di dalam tubuh
berfungsi untuk memicu dan memelihara jalur-jalur transduksi isyarat yang
berperan dalam pertumbuhan dan diferensiasi set. ROS dan RNS bekerja
meialui reaksi kimia (modifikasi-modifikasi ikatan kovalen) pada atom-
atom spesifik di protein targat, ROS memicu fosforilasi tirosin dengan jalan

meningkatkan kerja dari tirosin kinase dan mencegah kerja dari tirosin
fosfatase dan juga pada residu serin dan atau threonin. Selain itu ROS
juga melepaskan komplek ASK1-Trx yang akan mengaktivasi kinase.
Tidak seperti mekanisme pada umumnya yang bekerja pada tingkat
makromolekul, namun ROS dan RNS bekerja pada tingkat atom (Susanto,
2015).

7
Efek menguntungkan lainnya dari HBOT muncul melalui jejas
yang ditimbulkan dari peningkatan ROS dan RNS, karena hampir semua
rangsangan (stimulus) jejas, ketika diberikan dibawah ambang batas
(threshold) kerusakan, malah akan mengaktifkan mekanisme-mekanisme
perlindungan endotel yang secara signifikan akan menurunkan tingkat
kerusakan pada rangsang jejas berikutnya. Untuk rangsang iskemia,
fenomena ini telah diberi nama iskemia prekondisi atau toleransi iskemia.
Iskemia prekondisi dapat dipicu oleh berbagai macam rangsang seperti
iskemia, hipoxia, oksigen hiperbarik, agen kimia, depresi yang menyebar
pada kortikal (cortical spreading depression), dan hipertermia maupun
hipotermia. Keuntungan dari munculnya iskemia prekondisi melalui HBOT
dibandingkan melalui keadaan- keadaan lainnya seperti hipoksia hipobarik
adalah keamanannya. Pemberian air breaks selama 5 menit pada HBOT
akan memberikan keadaan iskemia prekondisi. (Susanto, 2015)
HBOT akan menyebabkan hiperoksia jaringan yang
menyebabkan meningkatnya ROS dan RNS yang seianjutnya
menyebabkan meningkatnya NF-kB. NF-Kb merupakan kelompok faktor
transkripsi yang terlibal dalam pengaturan proses inflamasi. NF-Kb
berinteraksi dengan jalur PHD-HIF sehingga terjadi kaitan antara hipoksia
dan inflamasi. HIF (Hypoxia inducible factor) memiliki peran dalam
perlindungan terhadap kondisi hypoxia dari berbagai sel dalam tubuh
termasuk sel endotel dan tubulus. Manfaat yang didapatkan dari iskemia
prekondisi diperoleh melalui faktor transkripsi hypoxia inducible factor 1
(HIF-1) yang merupakan sebuah kunci pengatur {key- regulator) yang
berperan dalam adaptasi dan survival sel dalam keadaan hipoksia.
Penelitian saat ini menunjukkan bahwa HIF-1 tidak hanya dipicu oleh
kondisi hipoksia saja namun juga oleh peningkatan kadar ROS. Oleh
karena HBOT meningkatkan pembentukan ROS maka akan meningkatkan
ekspresi HIF-1 dan gen-gen dibawahnya yang diperantarai. Penelitian
menunjukan bahwa HBOT dapat menstabilisasi dan mengaktifkan HIF
namun responnya berbeda antar jaringan dimana penelitian yang

8
menggunakan jaringan saraf didapatkan penurunan kadar HIF setelah
perlakuan hiperbarik (Susanto, 2015).
ROS dan RNS akan segera menginduksi diproduksinya sitokin
pro-inflamasi. Sebagai hasilnya, maka akan terdapat kontrol dari tubuh
dengan dihasilkannya antoksidan dan sitokin anti inflamasi untuk
mengembalikan keadaan homeostasis (Schaue, et al. 2012).
HBO meningkatkan pembentukan radikal bebas oksigen, yang
mengoksidasi protein dan lipid membran, yang kemudian akan
menyebabkan kerusakan DNA dan menghambat fungsi metabolisme
bakterI. HBO sangat efektif terhadap bakteri, dan memfasilitasi sistem
peroksidase tergantung oksigen yang digunakan leukosit untuk
membunuh bakteri. HBO juga meningkatkan transport oksigen tergantung
antibiotik tertentu di dinding sel bakteri (Gill, 2004)
HBO meningkatkan penyembuhan luka dengan memperkuat
gradien oksigen sepanjang pinggir luka iskemik, dan membantu
pembentukan kolagen matriks tergantung oksigen yang dibutuhkan untuk
angiogenesis (Gill, 2004).
Infiltrasi leukosit pada jaringan iskemik diikuti dengan
pengeluaran protease dan radikal bebas yang menyebabkan
vasokontriksi dan kerusakan yang patologis. Hal ini memperburuk cedera,
menyebabkan crush compartment syndrome dan menyebabkan
kegagalan cangkok kulit, penjahitan luka, dll. Pada terapi HBO terdapat
penurunan infiltrasi leukosit dan vasokonstriksi dalam jaringan iskemik
(Gill, 2004).

Hyperoxia pada jaringan normal akibat HBO menyebabkan


vasokonstriksi yang cepat dan signifikan tapi ini dikompensasi oleh
peningkatan pengangkutan oksigen plasma, dan aliran darah
mikrovaskuler dalam jaringan iskemik juga diperbaiki oleh HBO.
Vasokonstriksi tersebut menguragi oedema jaringan post-trauma yang
akan membantu penyembuhan crush injuries, compartment syndromes
dan luka bakar (Gill, 2004).

9
Terakhir, HBO menghambat penurunan produksi ATP post-trauma
dan mengurangi akumulasi produksi asam laktat pada jaringan iskemik.
Kesimpulannya, HBO memiliki efek yang kompleks pada imunitas,
transpor oksigen dan heodinamik. Efek positif terapi ini dikerenakan
adanya pengurangan hypoxia dan oedema yang memungkinkan
timbulnya respon host normal terhadap infeksi dan iskemia (Gill, 2004).

Beberapa efek terapi hiperbarik oksigen pada tubuh antara lain:

1. Angiogenesis.

Terapi HBO dapat menstimulasi pertumbuhan dari kapiler-kapiler


pada jaringan yang hipoksia sehingga dapat meningkatkan
kecepatan penyembuhan luka.

2. Hiperoksigenasi.

Terapi HBO dapat meningkatkan kadar oksigen karena oksigen


dapat diangkut melalui plasma.

3. Osteogenesis.

Terapi HBO dapat menstimulasi produksi dari sel-sel tulang baru.

4. Microbiological.

Dengan kadar oksigen tinggi dapat membunuh bakteri.

5. Imunologi.

Terapi HBO dapat meningkatkan kemampuan dari fungsi


fagositosis dan sel-sel natural killer.

6. Menurunkan inflamasi.

Terapi HBO dapat menurunkan mediator-mediator inflamasi.

7. Vasokonstriksi.

10
Terapi HBO dapat meyebabkan penyempitan dari lumen pembuluh
darah sehingga mengurangi oedema.

8. Reduksi gelembung udara.

Terapi HBO dengan tekanan tinggi dapat menyebabkan penurunan


volume dari gelembung udara termasuk gelembung nitrogen pada
DCS.

9. Perbaikan jaringan.

Terapi HBO dapat meningkatkan kecepatan perbaikan jaringan.

2.1.5 Indikasi terapi oksigen hiperbarik

Indikasi pemberian terapi HBO adalah sebagai berikut :

a. Pada sistem syaraf pusat:

Spinal cord trauma

Iskemi cerebral

Compressive cord disease

Emboli fibrokartilago

Cortical blindness

Tetraparesis

Injury saraf tepi

b. Pada muskulo-skeletal:

Athletic injury

Tendolitis

11
Desmitis

Periostitis

Fraktur

Laminitis

Myositis

Crush injury

c. Pada penyakit infeksi:

Osteomyelitis

Septic arthtrtis

Septikemia

Blastomitosis

Lyme disease

Infeksi anaerob

Abses intracranial dan abdominal

d. Pada cardiovaskular:

Hipotensi

Shock

Infark jantung

Anemia akut

Reperfusion disease

12
Toksisitas CO atau CO2

Limpanitis

e. Pada respirasi:

Exercise induced pulmonary hemorrhage

Pleuritis

Pulmonary edema

Cutaneous wounds

Thermal burns

f. Pada gastrointestinal:

Ileus

Pankreatitis

Peritonitis

Ulser

g. Pada genitounrinary:

Infertilitas

Pre and post radiation therapy

Menurut sumber lain (Supondha, 2014), indikasi pemberian terapi


HBO dibagi menjadi dua, yaitu indikasi emegensi dan indikasi non
emergensi. Berdasarkan Undersea and Hyperbaric Medical Society, pada
1983

a. Indikasi emergensi terdiri dari embolisme gas dan udara,


seperti:

13
Keracunan karbon monoksida

Cedera remuk

Keracunan gas sianida

Penyakit dekompresi

Meningkatnya penyembuhan luka pada (ulkus diabetik,


ulkus statis venosus, ulkus dekubitus dan ulkus
insufisiensi arterial), anemia

Infeksi jaringan lunak bernekrosis (selulitis anaerob,


gangren bakterial progesif, fascistic nekrosis)

Gas gangrene, osteomyelitis refrakter

Karena radiasi, tandur kulit (skin grafts and flaps) dan luka
bakar

b. Indikasi nonemergensi: neoplasma malignan digabung


dengan kemoterapi-radioterapi, gangguan sirkulasi perifer,
paresis saraf motorik (sebagai sekuel lanjut dari serangan
serebrovaskuler, kraniotomi, dan cedera parah pada kepala),
gejala yang muncul lambat pada keracunan CO, neuropati
sumsum tulang belakang, dan osteomyelitis serta nekrosis
karena radiasi.

2.1.6 Kontraindikasi terapi oksigen hiperbarik

A. Kontraindikasi absolut (Medscape, 2014)

Absolute Reason Necessary Conditions

14
Contraindications Contraindicated Prior to HBOT
Untreated Thoracostomy
pneumothorax Tension pneumothorax

Pneumomediastinum

B. Kontraindikasi relatif (Medscape, 2014)

Relative Reason Necessary


Contraindications Contraindicated Conditions Prior to
HBOT
Asthma Air trapping upon ascent Must be well controlled
leading to with medications
pneumothorax
Claustrophobia Anxiety Treatment with
benzodiazepines
Congenital Severe hemolysis None; HBOT for
spherocytosis emergencies only
Chronic obstructive Loss of hypoxic drive to Observation in
pulmonary breathe chamber
disease(COPD)
Eustachian tube Barotrauma to tympanic Training, PE tubes
dysfunction membrane
High fever Higher risk of seizures Provide antipyretic
Pacemakers or Malfunction or Ensure company has
epidural pain pump deformation of device pressure-tested device
under pressure and learn to what
depth
Pregnancy Unknown effect on fetus None, but HBOT may

15
(Previous studies from be used in
Russia suggest HBOT is emergencies
safe.)
Seizures May have lower seizure Should be stable on
threshold medications; may be
treated with
benzodiazepines
Upper respiratory Barotrauma Resolution of
infection (URI) symptoms or
decongestants

Bleomycin Interstitial pneumonitis No treatment for


extended time from
use of medication
Cisplatin Impaired wound healing No treatment for
extended time from
use of medication
Disulfiram Blocks superoxide Discontinue medication
dismutase, which is
protective against
oxygen toxicity
Doxorubicin Cardiotoxicity Discontinue medication
Sulfamylon Impaired wound healing Discontinue and
remove medication

2.2 Inflamasi

merupakan suatu respon jaringan terhadap rangsangan fisik atau


kimiawi yang merusak. Rangsangan ini menyebabkan lepasnya mediator
inflamasi seperti histamin, serotonin, bradikinin, dan prostaglandin yang
menimbulkan reaksi radang berupa panas, nyeri, merah, bengkak, dan
disertai gangguan fungsi. Kerusakan sel yang terkait dengan inflamasi
berpengaruh pada selaput membran sel yang menyebabkan leukosit

16
mengeluarkan enzim-enzim lisosomal dan asam arakhidonat.
Metabolisme asam arakhidonat menghasilkan prostaglandin-prostaglandin
yang mempunyai efek pada pembuluh darah, ujung saraf, dan pada sel-
sel yang terlibat dalam inflamasi (Katzung, 2014).

Selain mediator tersebut peran Nuclear Factor Kappa Beta / Rel


Proteins memiliki peran penting dalam proses transkripsi gen gen sel
peradangan ( Susilo et al.,2016).

2.2.1 Definisi

Inflamasi merupakan sebuah reaksi yang kompleks dari sistem


imun tubuh pada jaringan vaskuler yang menyebabkan akumulasi dan
aktivasi leukosit serta protein plasma yang terjadi pada saat infeksi,
keracunan maupun kerusakan sel. Inflamasi pada dasarnya merupakan
sebuah mekanisme pertahanan terhadap infeksi dan perbaikan jaringan
tetapi terjadinya inflamasi secara terus-menerus (kronis) juga dapat
menyebabkan kerusakan jaringan dan bertanggung jawab pada
mekanisme beberapa penyakit (Abbas et al., 2015). Terjadinya proses
inflamasi diinisiasi oleh perubahan di dalam pembuluh darah yang
meningkatkan rekrutmen leukosit dan perpindahan cairan serta protein
plasma di dalam jaringan. Proses tersebut merupakan langkah pertama
untuk menghancurkan benda asing dan mikroorganisme serta
membersihkan jaringan yang rusak. Tubuh mengerahkan elemen-elemen
sistem imun ke tempat benda asing dan mikroorganisme yang masuk
tubuh atau jaringan yang rusak tersebut. (Kumar, 2015).

Mekanisme Inflamasi

Inflamasi dibagi dalam 3 fase, yaitu inflamasi akut (respon awal terhadap
cidera jaringan), respon imun (pengaktifan sejumlah sel yang mampu
menimbulkan kekebalan untuk merespon organisme asing), dan inflamasi

17
kronis (Katzung, 2014). Proses inflamasi akut dan inflamasi kronis ini
melibatkan sel leukosit polimorfonuklear sedangkan sel leukosit
mononuklear lebih berperan pada proses inflamasi imunologis.

Secara umum, dalam proses inflamasi ada tiga hal penting yang terjadi
yaitu :

a. Peningkatan pasokan darah ke tempat benda asing, mikroorganisme


atau jaringan yang rusak.

b. Peningkatan permeabilitas kapiler yang ditimbulkan oleh pengerutan sel


endotel yang memungkinkan pergerakan molekul yang lebih besar seperti
antibodi.

c. Fagosit bergerak keluar pembuluh darah menuju menuju ke tempat


benda asing, mikroorganisme atau jaringan yang rusak. Leukosit terutama
fagosit PMN (polymorphonuclear neutrophilic) dan monosit dikerahkan
dari sirkulasi ke tempat benda asing, mikroorganisme atau jaringan yang
rusak. (Kumar, 2015)

Terjadinya respon inflamasi ditandai oleh adanya dilatasi pada


pembuluh darah serta pengeluaran leukosit dan cairan pada daerah
inflamasi. Respon tersebut dapat dilihat dengan munculnya gejala-gejala
seperti kemerahan (erythema) yang terjadi akibat dilatasi pembuluh darah,
pembengkakan (edema) karena masuknya cairan ke dalam jaringan lunak
serta pengerasan jaringan akibat pengumpulan cairan dan sel-sel (Kumar,
2015).

Adanya rangsang iritan atau cidera jaringan akan memicu


pelepasan mediator-mediator inflamasi. Senyawa ini dapat mengakibatkan
vasokontriksi singkat pada arteriola yang diikuti oleh dilatasi pembuluh
darah, venula dan pembuluh limfa serta dapat meningkatkan
permeabilitas vaskuler pada membran sel. Peningkatan permeabilitas

18
vaskuler yang lokal dipengaruhi oleh komplemen melalui jalur klasik
(kompleks antigen-antibodi), jalur lectin (mannose binding lectin) ataupun
jalur alternative (Abbas et al., 2005).

Peningkatan permeabilitas vaskuler lokal terjadi atas pengaruh


anafilatoksin (C3a, C4a, C5a). Aktivasi komplemen C3 dan C5
menghasilkan fragmen kecil C3a dan C5a yang merupakan anafilatoksin
yang dapat memacu degranulasi sel mast dan basofil untuk melepaskan
histamin. Histamin yang dilepas sel mast atas pengaruh komplemen,
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan kontraksi otot polos,
memberikan jalan untuk migrasi sel-sel leukosit serta keluarnya plasma
yang mengandung banyak antibodi, opsonin dan komplemen ke jaringan
perifer tempat terjadinya inflamasi (Abbas et al., 2005). Sel-sel ini akan
melapisi lumen pembuluh darah selanjutnya akan menyusup keluar
pembuluh darah melalui sel-sel endotel. Aktivasi komplemen C3a, C5a
dan C5-6-7 dapat menarik dan mengerahkan selsel fagosit baik
mononuklear dan polimorfonuklear. C5a merupakan kemoaktraktan untuk
neutrofil yang juga merupakan anafilatoksin. Makrofag yang diaktifkan
melepaskan berbagai mediator yang ikut berperan dalam reaksi inflamasi.
Beberapa jam setelah perubahan vaskuler, neutrofil menempel pada sel
endotel dan bermigrasi keluar pembuluh darah ke rongga jaringan,
memakan patogen dan melepaskan mediator yang berperan dalam
respon inflamasi. Makrofag jaringan yang diaktifkan akan melepaskan
sitokin diantaranya IL-1 (interleukin-1), IL-6 dan TNF- (tumor necrosis

factor-) yang menginduksi perubahan lokal dan sistemik. Ketiga sitokin


tersebut menginduksi koagulasi. IL-1 akan menginduksi ekspresi molekul
adhesi pada sel endotel sedangkan TNF- akan meningkatkan ekspresi
selektin-E yang kemudian menginduksi peningkatan eksresi intracellular
adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan vascular cell adhesion molecule-1
(VCAM-1). Neutrofil, monosit, dan limfosit mengenali molekul adhesi
tersebut dan bergerak ke dinding pembuluh darah selanjutnya bergerak
menuju ke jaringan. IL-1 dan TNF- juga berperan dalam memacu

19
makrofag dan sel endotel untuk memproduksi kemokin yang berperan
pada influks neutrofil melalui peningkatan ekspresi molekul adhesi. IFN-
(interferon-) dan TNF- akan mengaktifkan makrofag dan neutrofil yang
dapat meningkatkan fagositosis dan pelepasan enzim ke rongga jaringan
(Abbas et al. 2005).

Gambar 2.1 proses inflamasi (Abbas et al. 2005).

20
Mediator-mediator inflamasi dalam keadaan normal akan
didegradasi setelah dilepaskan dan diproduksi secara serempak jika ada
picuan. Selama proses inflamasi berlangsung, diproduksi sinyal untuk
menghentikan reaksi inflamasi. Mekanisme ini meliputi perubahan
produksi mediator proinflamasi menjadi mediator antiinflamasi antara lain
antiinflamasi lipoxin, antiinflamasi sitokin, transforming growth factor-
(TGF-) dan perubahan kolinergik yang menghambat produksi TNF pada
makrofag. Sistem tersebut dibutuhkan untuk mencegah terjadinya
inflamasi yang berlebihan yang dapat memicu kerusakan jaringan. Hal
yang sama juga dapat terjadi ketika infeksi jaringan yang terjadi terlalu
besar dan respon inflamasi akut yang terjadi tidak mampu mengatasinya.
Proses inflamasi tersebut akan tetap berlangsung terus-menerus dan
dapat memicu terjadinya inflamasi kronis misalnya pada mekanisme
penyakit tukak lambung (Kumar et al. 2015).

21
Gambar 2.2 Respon Terhadap Stimulus (Abbas et al. 2005).

Inflamasi diketahui berkontribusi pada patofisiologi dari banyak


penyakit kronis. Ketika proses inflamasi tersebut berlangsung secara terus
menerus akan menyebabkan kerusakan jaringan setempat dan fungsi
jaringan menjadi terganggu bahkan dapat meluas sehingga
mengakibatkan kerusakan organ. Proses inilah yang kemudian akan
mengakibatkan berbagai macam penyakit (Kumar, 2015). Interaksi antara
sel dengan sistem imun bawaan, sistem imun adaptif, dan mediator-
mediator inflamasi menginisiasi terjadinya inflamasi yang mendasari
banyak penyakit pada organ. Peningkatan ekspresi gen proinflamasi
dapat dipicu oleh adanya senyawa radikal dan faktor transkripsi (Abbas et
al, 2005).

2.3 Prostaglandin

2.3.1 Definisi prostaglandin


Prostaglandin adalah molekul turunan dari asam arakidonat (AA)
yang diproduksi oleh sikloosigenase (siklooksigenase 1 dan 2) dan
PGsintase yang mana berasal dari jalur isoprostan. Secara lokal PGE2
diproduksi di myeloid dan sel stroma yang diatur dari keseimbangan
siklooksigenase 2 dan 15 hidroksiprostaglandin dehidrogenase (15-
PGDH). Reseptor PGE2 terdapat di semua sel sehubungan dengan fungsi
PGE2, yang sebelumnya nociceptif dan aspek lain dari sinyal saraf,
hematopoesis, pengaturan aliran darah, filtrasi ginjal dan tekanan darah,
pengaturan integritas mukosa, permeabilitas vascular, dan fungsi otot
halus. Focus dari PGE2 dan reseptornya dalam mengatur perbedaan

22
respon imun dan mekanisme efek yang berbeda dalam imunitas (Kalinski,
2012. Nakanisi, 2012).

2.3.2 Peran prostaglandin


PGE2 berperan dalam inflamasi dan berbagai jenis imunitas yang
spesifik. Meskipun secara umum dikenal sebagai mediator inflamasi yang
aktif, berperan dalam vasodilatasi, aktifasi neutrofil, dan sel mast pada
stadium awal inflamasi, kemampuannya untuk menginduksi penekanan IL-
10 dan menekan produksi dari berbagai sitokin proinflamasi sehingga
membatasi inflamasi nonspesifik, menekan imunitas yang berhubungan
dengan inflamasi kronis dan kanker. Meskipun PGE2 memicy aktivasi,
maturasi, dan migrasi sel dendritik, inti sel selama pembentukan imunitas
antigen spesifik dan innate (murni) secara luas pada tingkat molekuler dan
seluler (Kalinski, 2012. Nakanisi).

Terdapat beberapa inhibitor PGE2 seperti steroid (menghambat


pelepasan asam arakidonat) dan NSAID (menghambat fungsi dari COX1
dan COX2) dari agen farmakoterapi tersebut berefek secara potensial
yang menargetkan PGE2 dalam pengobatan infeksi kronis, inflamasi, dan
kanker sebatas pada komplek imunoregulasi yang dimediasi PGE2 dan
mekanismenya masih belum dapat dipahami (Kalinski, 2012).

2.3.3 Regulasi prostaglandin


PGE2 diproduksi oleh semua sel ditubuh, epitel, fibroblast, dan sel
penginfiltrasi inflamasi menunjukkan sumber utama dari PGE2 pada
respon imun. Proses sintesis PGE2 meliputi foSfolipase A2 yang
memindahkan AA menjadi PGH2 dan PGE sintase dibutuhkan untuk
pembentukan akhir PGE2. Walaupun sintesis PGE2 menghasilkan
inflamasi dapat dipengaruhi factor-faktor lain, seperti keberadaan local AA,
dalam leadaan fisiologis sintesis PGE2 dikontrol oleh COX2 (Kalinski,
2012).

Degradasi prostaglandin

Secara in vitro PGE2 relatif stabil meskipun dilambatkan oleh


albumin. Kebalikannya, PGE2 in vivo memiliki daya perubahan yang cepat
dieliminasi dari jaringan dan sirkulasi. Kecepatan degradasi PGE2 di
jaringan dikontrol oleh 15-PGDH telah diobservasi pada banyak jenis
kanker atau kulit yang mengalami radiasi UV, PGE2 yang melimpah dan
lingkungan imunosupresif. Apoptosis sel kanker dapat memodulasi
produksi prostanoid yang ditambahkan ekspresi makrofag dari COX2 dan
mikrosomal PGEsintase 1 saat menekan 15PGDH. Saat 15PGDH
dinonaktifkan menunjukkan resistensi pada lesi kolon premaligna terhadap
celecoxib (Kalinski, 2012).

23
Jalur sinyal dan reseptor prostaglandin

Keberagaman efek PGE2 direfleksikan dengan adanya 4 reseptor


PGE2 yaitu EP1, EP2, EP3, EP4 dengan suatu tingkat keberagaman
fungsional dari berbagai varian ep3 yang ditemukan, 8 macam pada
manusia dan 3 macam pada mencit (Kalinski, 2012).

Gambar 2.3 Sintesis Prostaglandin E2 (Kalinski, 2012).

PGE2 dan aktivitas pada sel imun innate (alami)

Walaupun PGE2 dapat meningkatkan jumlah neutrophil, makrofag,


dan sel mast ke jaringan, namun selain itu juga memiliki pengaruh yang
berbeda-beda dan fungsinya dari efektor murni yang berbeda, pada sel
natural killer PGE2 menekan fungsi efektor sitolitiknya, selain itu juga
menekan fungsi granulosit makrofag berperan sebagai EP2 bebas dan
PTEN bebas dengan membatasi fagositosis alveolar makrofag dan fungsi
membunuh pathogen. Pada sel mast PGE2 mempengaruhi induksinya

24
dan atraksi lokal serta degranulasi dalammekanisme yang menyangkut
EP1 dan EP3 (Kalinski, 2012).

PGE2 menginduksi respon imun Ag spesifik

PGE2 mempengaruhi beberapa fenomena utama yang


berhubungan induksi respon imun, diantaranya mempengaruhi
pengaturan fungsi sel dendritik sejak awal pembentukan sel T selain itu
juga menghambat produksi sel T pada IL-2 dan respons IL-2 dan
menekan aktivasi dan ekspansi Ag spesifik pada sel T (Kalinski, 2012).

Gambar 2.4 Mekanisme Kerja PGE2 (Kalinski, 2012).

2.4. Nf Kb

2.4.1 Definisi

25
Terapi oksigen hiperbarik tidak hanya meningkatkan oksigenasi
jaringan tubuh tetapi juga menstimulus formasi H2O2 yang merupakan
secondary messeger dari phosphorylasi Nuclear Factor Kappa Beta (NF-
kB). Nuclear Factor Kappa Beta / Rel Proteins memiliki peran penting
dalam proses transkripsi gen gen sel peradangan.( Susilo et al.,2016)

NF-KB ( Nuclear factor kappa-light-chain-enhancer of activated B


cell) adalah komplek protein yang mengontrol proses transkripsi DNA.
NFkB berperan mengendalikan sebagian besar proses seluler organism
normal seperti respon imun dan respon inflamasi, proses perkembangan,
pertumbuhan sel dan proses apoptosis. NF-kB terlibat dalam respon
seluler terhadap berbagai stimuli seperti stress, sitokin, radikal bebas,
iradiasi ultraviolet, LDL teroksidasi dan antigen viral atau bakterial. Faktor
transkripsi ini juga aktif secara terus menerus dalam beberapa kondisi
penyakit seperti kanker, arthritis, inflamasi kronis , asma, penyakit saraf
degeneratif dan penyakit jantung. .( Susilo et al.,2016)

Faktor transkripsi NF-kB adalah suatu kompleks heterodimer yang


biasanya terdiri dari dua subunit yang dinamakan p50 dan p65. Secara
normal, NF-kB tersekuestrasi dalam sitoplasma dalam bentuk inaktif oleh
anggota inhibitor familli NF-kB (IkB) (Harper, 2009)

2.4.2 Struktur NF-kB

Semua protein dari NF- B family sama sama memiliki domain Rel
homologi pada Nterminus. Subfamily dari protein NF-B , termasuk RelA,
RelB, dan c-Rel, memiliki transactivation domain pada C-Termini mereka.
Sebaliknya, NF-B1 dan NF-B2 protein disintesis sebagai prekursor
besar, p105, dan P100, yang mengalami pengolahan untuk membentuk
subunit NF-B matang, P50 dan p52 . pengolahan P105 dan P100
diperantarai oleh ubiquitin /jalur proteasome dan melibatkan degradasi
selektif pada daerah C-terminal yang mengandung ankyrin berulang.

26
Sedangkan pembentukan p52 dari P100 adalah sebuah proses yang
diatur ketat, P50 dihasilkan dari pengolahan konstitutif p105. (Tripathi P,
2006. Amanda L, 2016).

2.4.3 Familli NF- B

Anggota keluarga NF- B mempunyai struktural homologi yang


sama dengan retrovirus oncoprotein v-Rel, sehingga mereka
diklasifikasikan sebagai NF-B/Rel protein. (Lindsey, 2013)

Ada lima protein dalam mamalia NFB -family:

Kelas I NF-B1 p105 P50 NFKB1

NF-B2 P100 p52 NFKB2

Kelas II RelA p65

RelB

c-Rel

2.4.4 Mekanisme Kerja NF- B

AKTIVASI NF- B

Salah satu arti penting dari NF-B's dalam pengaturan respon


selular adalah bahwa NFkB termasuk dalam kategori faktor transkripsi
primer yang rapid acting, yaitu factor transkripsi yang terdapat pada sel-
sel dalam keadaan tidak aktif dan tidak memerlukan sintesis protein baru
untuk diaktifkan (anggota lain dari keluarga ini termasuk faktorfaktor
transkripsi seperti c-Jun, STATS, dan reseptor nuclear hormon ). Hal ini

27
memungkinkan NF-B untuk bertindak sebagai "kelompok pertama yang
merespon" untuk rangsangan seluler berbahaya. Stimulasi dari berbagai
reseptor permukaan sel , seperti RANK, TNFR, secara langsung
mengaktifkan NF-B dan membuat perubahan cepat dalam ekspresi gen.
(Amanda L, 2016)

Berbagai produk bakteri dapat mengaktifkan NF-B. Identifikasi


Toll-like receptors (TLRs) sebagai molekul pengenal pola spesifik dan
temuan bahwa stimulasi TLRs dapat mengaktivasi NF-B meningkatkan
pemahaman kita mengenai bagaimana patogen yang berbeda dapat
mengaktifkan NFB . Sebagai contoh, penelitian telah menunjukkan TLR4
sebagai reseptor untuk komponen LPS dari bakteri Gram-negatif. TLRs
merupakan regulator kunci dari kedua respon imun, innate maupun
adaptif. Transactivation Tidak seperti RelA, RelB, dan c-Rel, sub unit
NFkB P50 dan p52 tidak mengandung transactivation domain dalam
terminal C mereka. Walaupun demikian, P50 dan p52 memegang peranan
penting dalam memodulasi spesifisitas fungsi NF- B. Meskipun
homodimers P50 dan p52, pada umumnya, merupakan represor dari situs

transkripsi B, namun baik P50 dan p52 berpartisipasi dalam transaktivasi


gen target dengan membentuk heterodimers dengan RelA, RelB, atau c-
Rel. Di samping itu, P50 dan p52 homodimers juga mengikat protein inti
Bcl-3, dan kompleks tersebut dapat berfungsi sebagai aktivator transkripsi.
(Tripathi P, 2006)

INHIBISI NF-kB

Dalam sel-sel yang tidak distimulasi, NF-B dimer diasingkan


dalam sitoplasma oleh keluarga inhibitor, yang disebut IBs (Inhibitor dari
B), yaitu protein yang berisi beberapa salinan dari urutan kode yang
disebut ankyrin berulang (ankyrin repeats). Berdasarkan domain ankyrin
repeat tersebut, IB protein menutupi sinyal lokalisasi inti (Nuclear

28
Localization Signal/ NLS) dari protein NF-B dan menjaga mereka
diasingkan dalam keadaan tidak aktif di dalam sitoplasma. IBs adalah
family dari protein yang memiliki N-terminal domain, diikuti oleh enam atau
lebih ankyrin repeats dan PEST domain di dekat C terminus mereka
(Lindsey, 2013).

Meskipun keluarga IB terdiri dari IB, IB, IB, IB, dan Bcl-3,
yang paling dipelajari dan IB utama adalah IB. Karena adanya ankyrin
repeats dalam bagian C-terminal, maka p105 dan P100 juga berfungsi
sebagai IB protein. Dari semua anggota IB, IB merupakan yang
terunik karena disintesis dari gen nF-kb1 menggunakan promotor internal,
sehingga menghasilkan protein yang identik dengan C-terminal setengah
dari p105. [20] cterminal setengah dari P100, yang sering disebut sebagai
IB, juga berfungsi sebagai inhibitor. Degradasi IB sebagai respon
terhadap rangsangan perkembangan, seperti yang ditransduksi melalui
LTR, memungkinkan terjadi NF- B dimer aktivasi dalam tergantung NIK
jalur. non - kanonik Aktivasi dari NF-B dimulai oleh sinyal-induced IB
degradasi protein (Tripathi P, 2006).

Hal ini terjadi terutama melalui aktivasi kinase yang disebut IB


kinase (IKK). IKK ini terdiri dari sebuah heterodimer dari katalitik subunit
IKK alfa dan IKK beta dan "master" protein regulator yang disebut NEMO
(NF-B essential modulator) atau IKK gamma. Ketika diaktifkan oleh
sinyal, biasanya sinyal berasal dari luar sel, IB kinase memfosforilasi dua
residu serin yang terletak di IB regulatory domain. Ketika serines tersebut
terfosforilasi (misalnya, serines 32 dan 36 dalam IB manusia), maka
molekul inhibitor IB mengalami proses yang disebut ubiquitination, yang
kemudian membuat mereka didegradasi oleh struktur sel yang disebut
proteasome. Dengan degradasi IB inhibitor, kompleks NF-B kemudian
bebas memasuki inti sel di mana ia dapat 'menyalakan' ekspresi gen-gen
tertentu yang mempunyai DNAbinding site terhadap NF-B di dekatnya.
Pengaktifan gen ini oleh NF-B kemudian menghasilkan respon fisiologis,
misalnya, peradangan atau respon imun, respon survival sel, atau

29
proliferasi selular. NF-B menyalakan sendiri ekspresi represor nya yaitu
IB. IB yang baru disintesis kemudian kembali menghambat NF-B
dan, dengan demikian (Lindsey, 2013)

membentuk mekanisme umpan balik otomatis, yang akan


menghasilkan level osilasi aktivitas NF B. Selain itu, beberapa virus,
termasuk virus HIV AIDS, mempunyai binding site untuk NF-B yang
mengendalikan ekspresi gen virus, yang pada gilirannya memberikan
kontribusi untuk replikasi virus atau patogenisitas virus . Dalam kasus HIV-
1, aktivasi NF-B ,mungkin atau setidaknya mempunyai peran, terlibat
dalam aktivasi virus dari kondisi laten(stadium inaktif). YopJ adalah faktor
yang disekresi oleh Yersinia pestis, suatu organisme penyebab wabah,
yang mencegah ubiquitination dari IB. Hal ini menyebabkan patogen ini
untuk secara efektif menghambat jalur NF-B dan dengan demikian
menghalangi respon kekebalan manusia yang terinfeksi Yersinia. (Lindsey,
2013).

Non-kanonik

mengaktifkan non-kanonik NF-B jalur untuk mendorong NF-


B/RelB: p52 dimer dalam nukleus. Di jalur ini, aktivasi NF-B induced
kinase (NIK) pada ligasi reseptor menyebabkan fosforilasi dan selanjutnya
pengolahan proteasomal NF-B2 protein prekursor P100 ke subunit p52
matang dalam cara tergantung IKK1/IKKa. Kemudian p52 dimerizes
dengan RelB untuk muncul sebagai RelB nuklir: p52 kegiatan pengikatan
DNA dan mengatur kelas yang berbeda gen. Berbeda dengan sinyal
kanonik yang bergantung pada IKK2 Nemo-degradasi dimediasi IB,-,-
, non-kanonik signaling kritis tergantung pada pengolahan dimediasi NIK
P100 ke p52. Mengingat mereka peraturan yang berbeda, kedua jalur itu
dianggap independen satu sama lain (Lindsey, 2013).

Namun, analisis baru-baru ini menunjukkan bahwa sintesis dari


konstituen dari jalur non-kanonik, yaitu RelB dan p52, yang dikendalikan
oleh kanonik IKK2-IB-relativitas: P50 pensinyalan. Selain itu, generasi

30
yang kanonik dan nonkanonik dimer , yaitu relativitas: P50 dan RelB: p52,
dalam lingkungan selular juga saling terkait secara mekanis. Analisis ini
menunjukkan bahwa yang terintegrasi NF-B jaringan sistem aktivasi
mendasari dari kedua relativitas dan RelB mengandung dimer dan bahwa
tidak berfungsinya jalur kanonik akan memimpin ke respon selular
menyimpang juga melalui jalur non-kanonik (Lindsey, 2013).

Gambar 2.5 Mekanisme Kerja Nf-kB (Tripathi P, 2006).

31
2.4 Mekanisme Kerja Nf-kB

2.4.5 Fungsi Nf-kB

Nf-kB mengatur banyak transkripsi gen tubuh dalam jumlah yang


sangat banyak. Nf-kb berperan dalam pembentukan respon imunitas dan
juga respon inflamasi, selain itu Nf-kb ini juga mengatur proliferasi sel dan
apoptosis sel. Nf-kb pada sel tubuh akan meningkatkan proliferasi sel.
Sehingga Nf-kb sering kali dikaitkan dengan penyakit keganasan. Dan Nf-
kb di jadikan target untuk obat kanker tersebut. Nf-kb juga menekan atau
menghambat proses apoptosis. (Tripathi P, 2006)

32
BAB III

Kerangka Konseptual

HBOT

Po2
Sitoplasma
ROS

TLRs

EP3
SOD

HO-1

GPX
33
NUKLEUS Nf-kB

AA
COX1/COX2
el
PGE2
Lai
n

TLRs EP3 EP4

3.1 Hubungan terapi oksigen hiperbarik dengan PGE2


Terapi oksigen hiperbarik menurunkan secara nyata pada PGE2
dan COX2. Pada tulang alveolar dan gingiva didapatkan terapi oksigen
hiperbarik menurunkan PGE2, selain itu juga menurunkan produksi IL-1.
Ditemukan penurunan yang signifikan produksi PGE2 yang diproduksi
oleh splenic makrofag. Penghambatan yang nyata dari eksresi PGE2 di
ginjal yang dihubungkan dengan efek antidiuresis selama terapi oksigen
hiperbarik yeng dievaluasi pada anjing yang sadar. Efek terapi oksigen
hiperbarik pada COX2 setelah terjadi fokal iskemia pada otak dengan
pemberian oksigen hiperbarik 3 ATA selama 1 jam setelah 6 jam reperfusi,
yangmana menunjukkan penurunan secara signifikan area infark daripada
kelompok yang tidak diberi oksigen hiperbarik. Ini merupakan keadaan
kebalikan, dimana pemberian terapi oksigenhiperbarik menurunkan COX2
dan level protein yang seharusnya meningkat setelah reperfusi. Dapat
disimpulkan terapi oksigen hiperbarik menurunkan area infark dalam 6 jam
sejak serangan (Noori et al, 2006. Nakanisi, 2012).

34
2.3. Hubungan terapi oksigen hiperbarik dengan Nf-kB

Dalam beberapa penelitian, ditemukannya hubungan antara terapi


oksigen hiperbarik dengan kadar Nf-kB di dalam tubuh. Seperti hasil
penelitian pada jurnal susilo et al, 2016 yang menyatakan bahwa terapi
oksigen hiperbarik terbukti meningkatkan kadar Nf-kB yang dilakukan
pada uji coba mencit yang diberi terapi oksigen hiperbarik 5 sesi dengan
tekanan 2.4 ata selama 3x30 menit. Peningkatan Nf-kB tersebut
disebabkan oleh Reactive Oxygen Species (ROS) pada terapi oksigen
hiperbarik ini meningkat pula sehingga menyebabkan aktifasi dari Nf-kB
tersebut. (susilo et al, 2016).

Namun hasil penelitian tersebut berbeda dengan hasil penelitian


yang penulis dapat dari penelitian Liang F et al, 2013 yang memberikan
hasil bahwa pemberian terapi oksigen hiperbarik dapat menurunkan atau
menekan Nf-kB. Penurunan Nf-kB tersebut dengan cara menghambat
receptor TLRs (Toll like receptor) bereaksi dengan agen stimulusnya
sehingga memutus signal pathway.( Liang F et al, 2013).

Penelitian Liang F et al, 2013 sesuai dengan penelitian Rinaldi,


2011. Pada penelitian rinaldi menyatakan bahwa pemberian terapi
hiperbarik dapat menghambat TLRs terutama TLR2 dan TRL4 sehingga
aktifasi Nf-kB dapat ditekan dan menekan produksi cytokine. (Rinaldi,
2011).

Terapi oksigen hiperbarik dapat meningkatkan ROS sehingga dapat


menyebabkan kerusakan pada sel. Ketika tubuh hyperoxia maka sejumlak
enzyme kalsik antioxidant distimulasi menuju ke paru dan diaktifkan.
Enzyme klasik antioxidant tersebut seperti superoxide dismutases
(SODs), cycloplasmic glutation peroxidase (GPx). Kerja dari enzyme
tersebut untuk menurunkan ROS tersebut. Heme oxygenase-1 (HO-1)
juga merupakan factor penting untuk antioksidan dan anti inflamasi
sehingga dapat melindungi sel tubuh dari kerusakan. Pada pemberian
terapi oksigen hiperbarik dapat meningkatkan enzyme-enzyme tersebut.

35
Sehingga dapat menekan peningkatan ROS dan Nf-kB. (Chavco et al,
2007).

BAB IV

Kesimpulan

Terapi oksigen hiperbarik merupakan suatu perlakuan dimana pasien


menghirup 100% oksigen murni di dalam suatu ruangan tertutup yang
diberi tekanan lebih besar dari tekanan di atas permukaan laut (1 ATA)
(Gill, 2004).

HBO dapat menurunkan mediator-mediator inflamasi prostaglandin


(PGE2) dan juga dapat menekan signal Nf-kB yang merupakan faktor
trsanskripsi untuk DNA sel radang ( Liang F et al, 2013).

Mekanisme yang menunjukkan HBO berpengaruh terhadap PGE2


yakni dengan pemberian O2 pada 3 ATA disini dapat menghambat dari
kerja enzim siklooksigenase sehingga asam arakidonat tidak dapat diubah

36
menjadi PGH2 yang selanjutnya diubah menjadi PGE2 sehingga
pemberian HBO disini berperan sebagai antiinflamasi (Noori et al, 2006.
Nakanisi, 2012).

HBO dapat meningkatkan ROS. Dimana peningkatan ROS ini


dapat memicu enzim anti oksidan yaitu SOD, HO-1, glutation meningkat,
sehingga ROS dapat ditekan dan menyebabkan aktivasi NF-kB tidak
terjadi atau NF-kB dapat diturunkan. Hal ini dapat mencegah peradangan
kronis atau terjadinya tumor. Namun apabila ROS yang terlalu tinggi dan
enzim antioksidan tidak dapat mengatasi, maka menjadi proinflamasi yang
mempercepat terjadinya peradangan (Chavco et al, 2007.Rinaldi, 2011.
susilo et al, 2016).

Daftar Pustaka

Amanda L, Albert S. 2016. The Nf-kB pathway and cancer stem cells.
Department of pathology and laboratory madicene university of
north calorina, chapel hill, USA

Chavko M, Richard T, Richard M. 2008. Mechanisms Of Protection Against


Pulmonary Hyperbaric O2 Toxicity By Intermittent Air Breaks. Eur J
Appl Physiol

37
Gill, A. L. 2004. Hyperbaric oxygen: its uses, mechanisms of action and
outcomes. QJ Med. Volume 97. diakses pada 13 maret 2017.

Kalinski P. 2012. Regulation Of Immune Responses By Prostaglandin E2.


The Journal Of Immunology

Katzung. 2015. Dasar dan klinik farmakologi. Edisi 12. Jakarta : EGC

7th
Kumar V, Abbas AK, Fausto N. 2005. Pathologic basic of disease. ed.
Philadelphia: Elsavier Saunders,

Kumar V, Abbas AK, Aster J. 2015. Buku ajar patologis robbins.9thed.


Philadelphia: Elsavier Saunders,

Liang F, Kang N, liu X. 2013. Effect of HMGB1/NF-B in hyperbaric


oxygen treatment on decreasing injury caused by skin flap grafts in
rats. Department of Hyperbaric Oxygen, Beijing Chaoyang Hospital,
Capital Medical University, Beijing, China

Lindsey, Hyperbaric Oxygen Therapy Reduces The Toll-Like Receptor


Signaling Pathway In Multiple Organ Failures. 3 mei 2011.
https://www.scribd.com/doc/139919271/NF-kB Diakses Tanggal 12
Maret 2017

Nakanisi M, Daniel W. 2012. Multifaceted roles of PGE2 in inflammation


and cancer. NHS public access.

Noori S, Glenn J. 2006. Effects Of Hyperbaric Oxygen On Inflammatory

Response To Wound And Trauma: Possible Mechanism Of Action.


The scientific world journal

38
Riyadi, 2016. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik,
Lakesla Supondha, Erick. 2014. Terapi Oksigen Hiperbarik. Matana
Bina Utama: Tangerang

Schaue, Dorothy. Kachikwu, Evelyn L. McBride, Wiliam H. 2012.


Cytokines in Radiobiological Response: A Review. Radiation
Research. Volume 178. Oktober 2012. Diakses pada 11 Januari
2017
Supondha, Erick. 2014. Terapi Oksigen Hiperbarik. Matana Bina Utama:
Tangerang

Susanto L. 2015. Efek Terapi Hiperbarik Oksigen pada Ekspresi pada NF-
Kb dan avb3 Integrin pada Endometrium Tikus Betina (Rattus
norvegicus Wistars)

Susilo I, Devi A, Purwandhono A, Hadi S. 2016. Effects of Hyperbaric


Oxygen Therapy on The Increase of Inos and Nfkb Expressions
and The Acceleration of Wound Healing Process During
Inflammation and Proliferation Phases. Journal of Applied
Environmental and Biological Sciences

Tripathi P, Aggarwal A. 2006. NF-Kb Transcription Factor: A Key Player In


The Generation Of Immune Response. Sanjay Gandhi
Postgraduate Institute Of Medical Sciences

Thom, Stephen R. 2011. Hyperbaric oxygen its mechanisms and


efficacy. NIH. Volume 127. Diakses pada 11 maret 2017

LAMPIRAN

39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53

Anda mungkin juga menyukai