Anda di halaman 1dari 38

CASE REPORT

PENGARUH TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK TERHADAP


HEPATITIS B

Pembimbing:
Mayor Laut (K/W) dr Titut H., M.Kes

Oleh :
Wahyu Aji Alfarizi 2015.04.2.0145
Novelis Triwikarno 2016.04.2.0127

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH

RSAL DR RAMELAN SURABAYA

2017
LEMBAR PENGESAHAN

Judul referat Pengaruh Terapi Oksigen Hiperbarik terhadap Hepatitis B


telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas baca dalam rangka
menyelesaikan studi kepaniteraan klinik di bagian LAKESLA.

Pembimbing

Mayor Laut (K/W) dr Titut H., M.Kes


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkah dan rahmatNya, kami bisa menyelesaikan case report dengan topik
Pengaruh Terapi Oksigen Hiperbarik terhadap Hepatitis B dengan lancar. Case
report ini disusun sebagai salah satu tugas wajib untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik di bagian LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya, dengan harapan dapat
dijadikan sebagai tambahan ilmu yang bermanfaat bagi pengetahuan penulis
maupun pembaca.

Dalam penulisan dan penyusunan referat ini tidak lepas dari bantuan dan
dukungan berbagai pihak, untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada:

a. dr Titut H, M.Kes, M.Kes, selaku Pembimbing Referat.


b. Para dokter di bagian LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya.
c. Para perawat dan staf di LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya.
Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.

Surabaya, Maret 2017

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................1

1.1 Latar Belakang................................................................................................1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................3

2.1 Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Hepar..........................................................3

2.1.1. Anatomi Hepar..........................................................................................3

2.2 Hepatitis...........................................................................................................8

2.3.1 Definisi......................................................................................................8

2.3.2 Epidemiologi.............................................................................................9

2.3.3 Etiologi....................................................................................................10

2.3.4 Patofisiologi.............................................................................................11

2.3.5 Manifestasi Klinis....................................................................................12

2.3.6 Diagnosa.................................................................................................14

2.3.7 Penanganan Hepatitis............................................................................15

2.2.2. Komplikasi..............................................................................................16

2.2.3. PENCEGAHAN.......................................................................................16

2.4 Terapi Oksigen Hiperbarik.............................................................................17

2.4.1 Definisi....................................................................................................17

2.4.2 Sejarah Terapi Oksigen Hiperbarik.........................................................17

2.4.3 Fisiologi terapi oksigen hiperbarik..........................................................18

2.4.4 Efek dan mekanisme aksi.......................................................................19

2.4.5 Indikasi terapi oksigen hiperbarik...........................................................23

2.4.6 Kontraindikasi terapi oksigen hiperbarik.................................................26

BAB 3..........................................................................................................................29

KERANGKA KONSEP................................................................................................29

ii
BAB 4 Kesimpulan......................................................................................................32

4.1 Kesimpulan....................................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................33

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hepatitis adalah proses terjadinya inflamasi dan atau nekrosis
jaringan hati yang dapat disebabkan infeksi, obat-obatan, toksin,
gangguan metabolik, maupun gangguan autoimun. Infeksi yang
disebabkan virus, bakteri, maupun parasit merupakan penyebab
terbanyak hepatitis akut. Infeksi virus hepatitis masih merupakan masalah
kesehatan utama, baik di Negara berkembang maupun dinegara maju.
(Dienstag, 2006). Infeksi virus hepatitis merupakan infeksi sistemik
dimana hati merupakan organ target utama dengan kerusakan berupa
inflamasi dan atau nekrosis hepatosit serta infiltrasi panlobular oleh sel
mononuclear. Dengan kemajuan dibidang molekuler maka pengertian,
indentifikasi, serta pathogenesis hepatitis virus menjadi lebih baik.
Penyebab utama infeksi akut, yaitu virus hepatitis A,B,C,D,dan E
(Askandar, 2015).
Terapi oksigen hiperbarik adalah pemberian oksigen tekanan tinggi
untuk pengobatan yang dilaksanakan dalam Ruang Udara Bertekanan
Tinggi (RUBT). Sedangkan menurut Undersea and Hyperbaric Medical
Society (UHMS), terapi oksigen hiperbarik merupakan suatu perlakuan
dimana pasien menghirup 100% oksigen murni di dalam suatu ruangan
tertutup yang diberi tekanan lebih besar dari tekanan di atas permukaan
laut (1 ATA). Peningkatan tekanan yang dilakukan harus sistemik and
diberikan di dalam suatu monoplace atau multiplace chambers (Gill,
2004).
Terapi oksigen hiperbarik memberikan manfaat untuk kesehatan
seperti menstimulasi angiogenesis, meningkatkan kecepatan
penyembuhan luka, dapat meningkatkan kadar oksigen, Osteogenesis,
dapat membunuh bakteri, meningkatkan kemampuan dari fungsi
fagositosis dan sel-sel natural killer, meyebabkan penyempitan dari lumen
pembuluh darah sehingga mengurangi oedema, dapat menyebabkan

1
penurunan volume dari gelembung udara termasuk gelembung nitrogen
pada DCS. Selain manfaat-manfaat yang disebutkan tadi, terapi HBOT
juga dapat menurunkan mediator-mediator inflamasi (Susanto 2015).
Pada penyakit hepatitis terjadi proses inflamasi yang disebabkan
karena adanya infeksi maupun non infeksi, inflamasi tersebut dapat
dikurangi dengan pemberian terapi oksigen hiperbarik sehingga reaksi
inflamasi tersebut tidak bersifat kronis. Terutama hepatitis B yang resiko
tinggi menjadi hepatitis kronis dan dapat menjadi komplikasi sirosis
hepatis atau hepatoma. Selain itu pemberian terapi oksigen hiperbarik
pada hepatitis ini efektif dan dianjurkan. Hal tersebut dikarenakan terapi
oksigen hiperbarik dapat menurunkan terjadinya degenerasi dan nekrosis
sel hepatosit, selain itu dapat meningkatkan aliran darah pada pembuluh
darah hepar sehingga distribusi nutrisi dan oksigen meningkat, memicu
regenerasi sel kupffer, dan meningkatkan limphosit. Namun pemberian
terapi oksigen hiperbarik ini tidak dapat menghilangkan jaringan fibrosis.
Pemberian terapi oksigen hiperbarik ini paling efektif diberikan pada
stadium awal dan menengah pengobatan. (Liu W et al, 2002).
Selain itu terapi oksigen hiperbarik ini juga berperan menekan PGE2
dan Nf-kB yang memiliki peran pada reaksi inflamasi ini (Nakanisi, 2012.
Liang F et al., 2013).

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Hepar


2.1.1. Anatomi Hepar
Hepar merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia. Hepar
pada manusia terletak pada bagian atas cavum abdominis, di bawah
diafragma, di kedua sisi kuadran atas, yang sebagian besar terdapat pada
sebelah kanan. Beratnya 1200-1600 gram. Permukaan atas terletak
bersentuhan di bawah di atas organ-organ abdomen. Hepar difiksasi
secara erat oleh tekanan tekanan intraabdominal dan dibungkus oleh
peritoneum kecuali di daerah posterior-superior yang berdekatan dengan
v. cava inferior dan mengadakan kontak langsung dengan diafragma.
Bagian yang tidak diliputi oleh peritoneum diebut bare area. Terdapat
refleksi peritoneum dari dinding abdomen anterior, diafragma dan organ-
organ abdomen ke hepar berupa ligament. (Moore, 2013).

Macam-macam ligamennya :

1. Ligamentum falciformis : menghubungkan hepar ke dinding anterior


abdomen dan terletak di antara umbilicus dan diafragma.
2. Ligamentum teres hepatis = round ligament : merupakan bagian
bawah lig. Falciformis ; merupakan sisa-sisa peninggalan v.
umbilicalis yang telah menetap.
3. Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis :
merupakan bagian dari omentum minus yang terbentang dari
curvature minor lambung dan duodenum sebelah proximal ke hepar.
Di dalam ligamentum ini terdapat Aa. Hepatica, v. porta dan duct.
Choledocus comm. Ligament hepatoduodenale turut membentuk tepi
anterior dari foramen Wislow.
4. Ligamentum triangularis kiri-kanan : merupakan fusi dari ligamentum
coronaria anterior dan posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar.

3
5. Ligamentum coronaria anterior kiri-kanan dan ligamentum coronaria
posterior kiri-kanan : merupakan refleksi peritoneum terbentang dari
diafragma ke hepar.

Secara anatomis, organ hepar terletak di hipochondrium kanan dan


epigastrium, dan melebar ke hipokondrium kiri. Hepar dikelilingi oleh
cavum toraks dan bahkan pada orang normal tidak dapat dipalpasi (bila
teraba berarti ada pembesaran hepar). Lig. Falciformis membagi hepar
secara topografis bukan secara anatomis yaitu lobus kanan yang besar
dan lobus kiri. (Moore, 2013).

Gambar 1. Anatomi Liver (Netter, 2014)

2.1.2 Histologi Hepar

Hepar dibungkus oleh simpai yang tebal, terdiri dari serabut


kolagen dan jaringan elastis yang disebut kapsul Glisson. Simpai ini akan

4
masuk ke dalam parenkim hepar mengikuti pembuluh darah, getah bening
dan duktus biliaris. Massa dari hepar sepeti spons yang terdiri dari sel-sel
yang disusun di dalam lempeng-lempeng dimana akan masuk ke
dalamnya system pembuluh kapiler yang disebut sinusoid. Sinusoid-
sinusoid tersebut berbeda denga kapiler di bagian tubuh yang lain, oleh
karena lapisan endotel yang meliputinya terdiri dari sel-sel fagosit yang
disebut sel kupfer. Sel kupfer lebih permeable yang artinya mudah dilalui
oleh sel-sel makro dibandingkan kapiler-kapiler yang lain. Lempengan sel-
sel hepar tersebut tebalnya 1 sel dan punya hubungan erat dengan
sinusoid. (Junqueira, 2010).

Pada pemantauan selanjutnya nampak parenkim yang tersusun


dalam lobuli-lobuli. Di tengah-tengah lobuli terdapat 1 vena sentralis yang
merupakan cabang dari vena-vena hepatica. Di bagian tepi diantara lobuli-
lobuli terhadap tumpukan jaringan ikat yang disebut traktus
portalis/TRIAD, yaitu traktus portalis yang mengandung cabang-cabang V.
porta dan A. hepatica, ductus biliaris. Cabang dari vena porta dan A.
hepatica akan mengeluarkan isinya langsung ke dalam sinusoid setelah
banyak percabangan system bilier dimulai dari canaliculi biliaris yang
halus yang terletak di antara sel-sel hepar dan bahkan turut membentuk
dinding sel. Canaliculi akan mengeluarkan isinya ke dalam intralobularis,
dibawa ke dalam empedu yang lebih besar, air keluar dari saluran empedu
menuju kandung empedu. (Junqueira, 2010).

2.1.3 Fisiologi Hepar

Hati sebagai kelenjar terbesar dalam tubuh memiliki banyak fungsi


yang kompleks. Fungsi hepar salah satunya bersangkutan dengan
metabolisme tubuh khususnya metabolisme asupan makanan dan darah.
Hepar merupakan pabrik kimia terbesar dalam tubuh karena bekerja
sebagai perantara metabolisme dengan mengubah zat makanan yang
diabsorbsi dari usus dan yang disimpan di suatu tempat di dalam tubuh
untuk pemakaiannya di dalam jaringan. Hepar juga mengubah zat
buangan dan bahan racun agar lebih mudah untuk diekskresi ke saluran

5
empedu dan urin. Hepar juga menghasilkan glikogen dari glukosa yang
diambil dari makanan yang mengandung karbohidrat dengan bantuan
suatu enzim. Zat ini disimpan sementara oleh sel hepatosit dan diubah
kembali menjadi glukosa oleh kerja enzim bila diperlukan oleh jaringan
tubuh. Karena fungsi ini maka hepar membantu mempertahankan kadar
gula yang normal dalam darah yaitu 80-100 mg glukosa setiap 100 cc
darah. Akan tetapi fungsi ini dikendalikan oleh sekresi dari pankreas, yaitu
insulin. Hepar juga dapat mengubah asam amino menjadi glukosa
(Guyton, 2009).
Hepar juga berguna dalam sintesis banyak protein penting,
termasuk di dalamnya protein fase akut atau protein yang disintesis dan
disekresikan ke dalam plasma apabila ada rangsangan stress. Hepar juga
membentuk protein-protein lain seperti protein yang berguna mengangkut
steroid dan hormon lain dalam plasma serta faktor pembekuan (Ganong,
2005).
Beberapa dari unsur susunan empedu, misalnya garam empedu,
dibuat dalam hepar. Unsur lain misalnya pigmen empedu dibentuk di
dalam sistem retikulo-endotelium dan dialirkan ke dalam empedu oleh
hepar. Garam empedu adalah garam natrium dan kalium asam empedu,
dan semua yang disekresikan dalam empedu yang dikonjugasikan
dengan glisin atau taurin, yakni suatu turunan sistein. Asam empedu
disintesis dari kolesterol. Garam empedu memiliki sejumlah efek penting.
Garam-garam ini menurunkan tegangan permukaan dan, bersama
fosfolipid dan monogliserida, berperan dalam emulsifikasi lemak sebagai
persiapan untuk pencernaan dan penyerapannya di usus halus (Ganong,
2005). Hepar juga menerima asam amino yang diabsorbsi oleh darah
untuk kemudian dilakukan deaminasi oleh sel, artinya nitrogen dipisahkan
dari bagian asam amino, dan amonia diubah menjadi ureum. Ureum dapat
dikeluarkan dari daerah oleh ginjal dan diekskresikan ke dalam urin
(Guyton, 2009).
Hepar juga berperan dalam metabolisme dan sekresi bilirubin.
Sebagian besar bilirubin dalam tubuh terbentuk dari hasil pemecahan

6
hemoglobin. Dalam peredaran darah, bilirubin berikatan dengan albumin.
Sebagian berikatan dengan erat, tetapi sebagian besar dapat terurai di
hati, dan bilirubin bebas masuk ke dalam sel-sel hati tempat empedu
berikatan dengan protein-protein sitoplasma. Bilirubin kemudian
dikonjugasikan dengan asam glukoronat dalam suatu reaksi yang
dikatalisis oleh enzim glukoronil transferase (UDP-glukoroniltransferase).
Enzim ini terutama terdapat dalam retikulum endoplasma halus. Setiap
molekul bilirubin bereaksi dengan dua molekul asam uridin
difosfoglukoronat (UDPGA) dan membentuk bilirubin diglukoronida.
Glukoronida ini lebih mudah larut dalam air daripada bilirubin bebas, lalu
diangkut melawan gradien konsentrasi, kemungkinan oleh suatu proses
aktif ke dalam kanalikulus biliaris. Sejumlah kecil bilirubin glukoronida
dapat masuk ke dalam darah lalu berikatan dengan albumin, tetapi ikatan
ini lebih longgar dibandingkan ikatan bilirubin bebas dengan albumin.
Akhirnya, bilirubin tersebut diekskresikan ke dalam urine. Sebagian besar
bilirubin glukoronida disalurkan melalui duktus biliaris ke dalam usus
(Ganong, 2005)
Hepar juga mempunyai fungsi yang memiliki ketersangkutan
dengan darah, yaitu:
a) Hepar membentuk sel darah merah pada masa hidup janin
b) Hepar berperan dalam penghancuran sel darah merah
c) Menyimpan hematin yang diperlukan untuk penyempurnaan
sel darah merah baru
d) Membuat sebagian besar dari protein plasma
e) Membersihkan bilirubin dari darah
f) Berkenaan dengan penghasilan protrombin dan fibrinogen
yang perlu untuk penggumpalan darah
Hepar juga berperan dalam penyimpanan dan penyebaran
berbagai bahan, termasuk glikogen, lemak, vitamin dan besi. Vitamin A
dan D yang dapat larut lemak disimpan di dalam hepar, maka itulah
mengapa minyak hati merupakan sumber vitamin ini yang begitu baik.
Hepar membantu mempertahankan suhu tubuh sebab luasnya organ dan

7
banyaknya kegiatan metabolik yang berlangsung mengakibatkan darah
yang mengalir melalui organ itu naik suhunya. Hepar juga memiliki fungsi
detoksikasi. Beberapa obat tidur dan dan alkohol dapat dimusnahkan
sama sekali oleh hepar; tetapi dalam dosis besar obat bius dapat merusak
sel hepar (Guyton, 2009).

2.2 Hepatitis
2.2.1 Pengantar

Hepatitis adalah proses peradangan atau inflamasi pada sel-sel


hati yang menghasilkan kumpulan perubahan klinis, biokimia, serta
selluler yang khas. Hepatitis merupakan suatu proses peradangan difusi
pada jaringan hati yang memberikan gejala khas berupa badan lemah,
mudah lelah, nafsu makan berkurang, urin berwarna seperti the pekat,
mata dan seluruh badan menjadi kuning (ikterus). Penyakit ini telah
ditemukan sejak tahun 2000 oleh hipocrates, dan semua dianggap
menjadi satu kesatuan klinis tersendiri. Hepatitis dapat disebabkan oleh
bakteri, virus, obat-obatan. (Askandar, 2015).

2.2.2 Klasifikasi

Bedasarkan penyebab (Askandar, 2015) :

Hepatitis oleh virus ( Hepatitis A,B,C,D,E )


Hepatitis oleh bakteri
Hepatitis oleh obat-obatan

Berdassarkan perjalanan penyakit (Askandar, 2015) :

Hepatitis akut

Hepatitis Kronis.

2.3. Hepatitis B

8
2.2.1. Definisi
Hepatitis B Merupakan penyakit infeksi akut yang menyebabkan
peradangan hati yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B. Infeksi HBV
mempunyai 2 fase akut dan kronis. (Dienstag, 2015. WHO, 2016).
Akut, infeksi muncul segera setelah terpapar virus itu. beberapa
kasus dapat berubah menjadi hepatitis fulminan.
Kronik, bila infeksi menjadi lebih lama dari 6 bulan.

Infeksi virus hepatitis B (VHB) merupakan salah satu infeksi kronis


yang sering diderita manusia, dan merupakan salah satu penyebab utama
penyakit hati kronis, sirosis hepatis (SH), karsinoma hepatoseluler (KHS)
(Askandar, 2015).

2.2.2. Epidemiologi
Hepatitis B merupakan penyakit endemis di seluruh dunia, tetapi
distribusi carier virus hepatitis B sangat bervariasi dari satu negara ke
negara lainnya. Di area dengan prevalensi tinggi seperti Asia Tenggara,
Cina, dan Afrika, lebih dari setengah populasi pernah terinfeksi oleh virus
hepatitis B pada satu saat dalam kehidupan mereka, dan lebih dari 8%
populasi merupakan pengidap kronik virus ini. Keadaan ini merupakan
akibat infeksi VHB yang terjadi pada usia dini. (Dienstag, 2015. WHO,
2016)
Penyakit hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di Negara
berkembang di dunia, termasuk Indonesia. VHB telah menginfeksi
sejumlah 2 milyar orang di dunia dan sekitar 240 juta merupakan
pengidap virus hepatitis B kronis. Indonesia merupakan Negara dengan
pengidap hepatitis B nomor 2 terbesar sesudah Myanmar di antara
negara Asia Tenggara . (Askandar, 2015).

Masa inkubasi 15-180 hari (rata-rata 60-90 hari)


Viremia berlangsung selama beberapa minggu sampai bulan setelah
infeksi akut
Sebanyak 1-5% dewasa, 90% neonatus dan 50% bayi akan
berkembang menjadi hepatitis kronik dan viremia yang persisten

9
Infeksi persisten dihubungkan dengan hepatitis kronik, sirosis, dan
kanker hati.
HBV ditemukan di darah, semen, sekret servikovaginal, saliva, cairan
tubuh lain
Cara transmisi :
- Melalui darah : penerima produk darah, IVDU, pasien hemodialisis,
pekerja kesehatan, pekerja yang terpapar darah
- Transmisi seksual
- Penetrasi jaringan (perkutan) atau permukosa : tertusuk jarum,
penggunaan ulang alat medis yang terkontaminasi, penggunaan
bersama pisau cukur, tato, akupuntur, penggunaan sikat gigi
bersama.
- Transmisi maternal neonatal
- Tak ada bukti penyebaran fecal-oral

2.2.3. Etiologi

Virus Hepatitis B adalah virus DNA terkecil berasal dari genus


Orthohepadnavirus famili Hepadnaviridae berdiameter 40-42 nm. Bagian
luar dari virus ini adalah protein envelope lipoprotein, sedangkan bagian
dalam berupa nukleokapsid atau core. 11 Genom VHB merupakan
molekul DNA sirkular untai-ganda parsial dengan 3200 nukleotida. Genom
berbentuk sirkuler dan memiliki empat Open Reading Frame (ORF) yang
saling tumpang tindih secara parsial protein envelope yang dikenal
sebagai selubung HBsAg seperti large HBs (LHBs), medium HBs (MHBs),
dan small HBs (SHBs) disebut gen S, yang merupakan target utama
respon imun host, dengan lokasi utama pada asam amino 100-160.
HBsAg dapat mengandung satu dari sejumlah subtipe antigen spesifik,
disebut d atau y, w atau r. Subtipe HBsAg ini menyediakan penanda
epidemiologik tambahan. Gen C yang mengkode protein inti (HBcAg) dan
HBeAg, gen P yang mengkode enzim polimerase yang digunakan untuk
replikasi virus, dan terakhir gen X yang mengkode protein X (HBx), yang
memodulasi sinyal sel host secara langsung dan tidak langsung

10
mempengaruhi ekspresi gen virus ataupun host, dan belakangan ini
diketahui berkaitan dengan terjadinya kanker hati (Jawetz, 2008).

Gambar 2. Struktur Genom Virus Hepatitis B (Jawetz, 2008)

2.2.4. Patofisiologi
Menurut WHO (2016), model transmisi hepatitis B adalah sama
dengan mode transmisi virus human immunodeficiency (HIV). Tetapi virus
hepatitis B 50 -100 kali lebih menular. Tidak seperti HIV, virus hepatitis B
dapat bertahan hidup diluar tubuh dan stabil pada permukaan lingkungan
selama 7 hari. Selama waktu ini, virus tetap dapt menyebabkan infeksi jika
memasuki tubuh orang yang tidak dilindungi vaksin. Inokulasi langsung
virus hepatitis B dapat terjadi melalui benda mati seperti sikat gigi, botl
bayi, mainan, pisau cukur, peralatan masak, peralatan rumah sakit, dan

11
benda-benda lain serta melalui kontak dengan selaput lender atau kulit
yang terluka. Masa inkubasi dari virus hepatitis B rata-rata 90 hari, tetapi
dapat bervariasi 30-180 hari. Virus ini dapat dideteksi 30-60 hari setelah
infeksi dan berlangsung selama periode variabel waktu tertentu.
Pathogenesis dan manifestasi klinis hepatitis B adalah karena interaksi
antara virus dengan system imun sel inang. System imun menyerang virus
hepatitis b dan menyebabkan terjadinya luka pada hati. Linfosit CD4+ dan
CD8+ yang teraktifasi mengenali berbagai peptide virus hepatitis B yang
terletak pada permukaan hepatosit, dan reaksi imunologis pun terjadi.
Reaksi imun yang terganggu (pelepasan cytokine, produksi antibodi) atau
status imun yang relative toleran dapat mengakibatkan hepatitis kronis.
Keadan akhir penyakit hepatitis B adalah sirosis hepatis. Pasien dengan
sirosis hati dan infeksi virus hepatitis B cenderung untuk berkembang
menjadi karsinoma hepatoselluler (fan et al, 2012). Pada saat awal infeksi
hepatitis B terjadi toleransi imunologi, dimana virus masuk ke dalam sel
hati melalui aliran darah dan dapat melakukan replikasi tanpa adanya
kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala klinis. Pada saat ini DNA HBV,
HBs Ag, HBE Ag dan Anti HBC terdeteksi dalam serum. Keaadan ini
berlagsung terus selama bertahun-tahun terutama pada neonates dan
anak, yang dinamakan sebagai pengidap sehat. Pada tahap selanjutnya
terjadi reaksi imunologis sehingga terjadi kerusakan sel hati yang
terinfeksi. Pada akhirnya penderita dapat sembuh atau berkembang
menjadi hepatitis kronis.

2.2.5. Manifestasi Klinis


Hepatitis B biasanya asimtomatik atau dengan gejala yang ringan
saja. Walaupun demikian infeksi HBV yang terjadi pada masa anak-anak
mempunyai risiko untuk menjadi kronis. Kronisitas terutama terjadi pada
anak yang mendapat infeksi perinatal. Meskipun asimtomatik, sebetulnya
tingkat replikasi DNA-VHB tinggi. Tetapi hal ini tidak berarti infeksi hepatitis
B kronis selalu ringan pada anak-anak karena dapat langsung terjadi

12
KHS. Pada pemeriksaan fisik, hepatomegali merupakan satu-satunya
kelainan yang ditemukan. (Dienstag, 2015. WHO, 2016).
Infeksi hepatitis B kronis pada anak yang melanjut sampai dewasa
berhubungan dengan tingginya angka kejadian sirosis dan KHS.
Karsinoma hepatoseluler akibat hepatitis B walaupun jarang ditemukan
telah diketahui dapat terjadi pada anak pengidap hepatitis B kronis. Risiko
pengidap VHB untuk berkembang menjadi KHS 230 x lebih besar
dibandingkan populasi umum. Frekuensi tertinggi terjadinya KHS
ditemukan pengidap hepatitis B berjenis kelamin lelaki dengan sirosis.
Hubungan KHS dengan VHB pada anak telah dilaporkan. Walaupun
hampir semua kasus KHS yang dilaporkan terjadi pada anak didahului
terjadinya sirosis, tetapi adanya kasus yang tanpa sirosis mengarah pada
kesimpulan bahwa integrasi genom VHB mungkin bersifat onkogenik
(Dienstag, 2015).
Walaupun umumnya infeksi hepatitis B bersifat asimtomatik, tetapi
pada sebagian kecil kasus (kurang dari 1%) dapat terjadi hepatitis
fulminan. Bila sudah hepatitis fulminan, umumnya bersifat fatal. Hepatitis
fulminan pada bayi berhubungan erat dengan ibu pengidap dengan
HBeAg negative dan anti-HBe positif. Selain itu terdapat hubungan
adanya mutan pre-core dengan gejala infeksi hepatitiS B yang berat,
termasuk hepatitis fulminan. (Dienstag, 2015)

Gambar 3. Keadaan hati pada hepatitis yang menjadi kronis


(Isselbacher, 2006)
Diperkirakan akibat ketidakhadiran HBeAg di dalam serum
menyebabkan virus tidak mampu membuat respons imun untuk toleran

13
terhadap VHB. Mutasi pada daerah pre-core merupakan cara virus untuk
melepaskan diri terhadap tekanan respons imun. Adanya antibody
terhadap HBeAg (anti-HBe) mendahului timbulnya stop codon pre-core,
sehingga tidak mengherankan bahwa sekuens pre-core tipe wild dapat
ditemukan bila terdapat anti-HBe. (Isselbacher, 2006. WHO,2016).
Gejala berkembang dan muncul antara 30-180 hari setelah terpapar virus.
Awalnya gejala seperti flu biasa. Gejala-gejala yang muncul antara lain
(Askandar, 2015) :
- Kehilangan nafsu makan
- Cepat lelah
- Mual dan muntah
- Gatal seluruh tubuh
- Nyeri abdomen kanan atas
- Kuning, kulit dan atau sklera
- Warna urin seperti teh atau cola
- Warna feses lebih pucat
Hepatitis fulminan adalah perkembangan yang lebih berat dari bentuk
akut. Gejalanya:
- Ketidak seimbangan mental seperti : bingung, lethargy, halusinasi
(hepatic encephalopati)
- Kolaps mendadak disertai keadaan sangat lemah
- Jaundice
- Pembengkakan abdomen
Gagal hati, gejalanya :
- Asites
- Jaundice yang persisten
- Kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan
- Muntah disertai darah
- Perdarahan pada hidung, mulut, anus, atau keluar bersama feses

2.2.6. Diagnosa

Skrining untuk hepatitis B rutin memerlukan assay sekurang-


kurangnya 2 pertanda serologis. HBsAg adalah pertanda serologis
pertama infeksi yang muncul dan terdapat pada hampir semua orang yang
terinfeksi; kenaikannya sangat bertepatan dengan mulainya gejala.
HBeAg sering muncul selama fase akut dan menunjukkan status yang
sangat infeksius. Karena kadar HBsAg turun sebelum akhir gejala,
antibody IgM terhadap antigen core hepatitis B (IgM anti HBcAg) juga

14
diperlukan karena ia naik awal pasca infeksi dan menetap selama
beberapa bulan sebelum diganti dengan IgG anti-HBcAg, yang menetap
selama beberapa tahun. IgM anti-HBcAg biasanya tidak ada pada infeksi
HBV perinatal. Anti-HBcAg adalah satu pertanda serologis infeksi HBV
akut yang paling berharga karena ia muncul hampir seawal HBsAg dan
terus kemudian dalam perjalanan penyakit bila HBsAg telah menghilang.
Hanya anti-HBsAg yang ada pada orang-orang yang diimunisasi dengan
vaksin hepatitis B, sedang anti-HBsAg dan anti-HBcAg terdeteksi pada
orang dengan infeksi yang sembuh (Isselbacher, 2006. Dienstag, 2015)

2.2.7. Penanganan Hepatitis


Tatalaksana hepatits B akut tidak membutuhkan terapi antiviral dan
prinsipnya adalah suportif. Pasien dianjurkan beristirahat cukup pada
periode simptomatis. Hepatitis B immunoglobulin (HBIg) dan kortikosteroid
tidak efektif. Lamivudin 100 mg/hari dilaporkan dapat digunakan pada
hepatitis fulminan akibat eksaserbasi akut HVB. (Isselbacher, 2006.
Dienstag, 2015).
Pada HBV kronis, tujuan terapi adalah untuk mengeradikasi infeksi
dengan menjadi normalnya nilai aminotransferase, menghilangnya
replikasi virus dengan terjadinya serokonversi HBeAg menjadi antiHBe
dan tidak terdeteksinya HBV-DNA lagi. Bila respons terapi komplit, akan
terjadi pula serokonversi HBsAg menjadi anti HBs, sehingga sirosis serta
karsinoma hepatoseluler dapat dicegah. (Askandar, 2015).
Berdasarkan rekomendasi APASL (Asia Pacific Association for
Study of the Liver), anak dengan HBV dipertimbangkan untuk mendapat
terapi antiviral bila nilai ALT lebih dari 2 kali batas atas normal selama
lebih dari 6 bulan, terdapat replikasi aktif (HBeAg dan/atau HBV-DNA
positif). Sebaiknya biopsy hati dilakukan sebelum memulai pengobatan
untuk mengetahui derajat kerusakan hati. Interferon dan lamivudin telah
disetujui untuk digunakan pada terapi hepatitis B kronis. Bila hanya
memakai interferon (dosis 5-10 MU/m2, subkutan 3x/minggu) dianjurkan
diberikan selama 4-6 bulan, sedangkan bila hanya digunakan lamivudin
tersendiri diberikan paling sedikit selama 1 tahun atau paling sedikit 6

15
bulan bila telah terjadi konversi HBeAg menjadi anti HBe. (Isselbacher,
2006. WHO,2016).
Faktor yang berpengaruh pada respon pengobatan adalah :
1. Faktor genetik
2. Adanya strain mutan
3. Transmisi vertikal
4. Lamanya infeksi singkat
5. Nilai transaminase basal
6. Level HBV-DNA rendah
7. Nilai alanin aminotransferase basal tinggi
8. Didapat pada dewasa
9. Imunokompeten
10. Tipe wild (HBeAg positif)
11. Penyakit hati kompensasi

2.2.8. Komplikasi
Hepatitis fulminan akut terjadi lebih sering pada HBV daripada virus
hepatitis lain, dan risiko hepatitis fulminan lebih lanjut naik bila ada infeksi
bersama atau superinfeksi dengan HDV. Mortalitas hepatitis fulminan lebih
besar dari 30%. Transplantasi hati adalah satu-satunya intervensi efektif;
perawatan pendukung yang ditujukan untuk mempertahankan penderita
sementara memberi waktu yang dibutuhkan untuk regenerasi sel hati
adalah satu-satunya pilihan lain. (Isselbacher, 2006. Askandar, 2015 )
Infeksi VHB juga dapat menyebabkan hepatitis kronis, yang dapat
menyebabkan sirosis dan karsinoma hepatoseluler primer. Interferon alfa-
2b tersedia untuk pengobatan hepatitis kronis pada orang-orang berumur
18 tahun atau lebih dengan penyakit hati kompensata dan replikasi HBV.
Glomerulonefritis membranosa dengan pengendapan komplemen dan
HBeAg pada kapiler glomerulus merupakan komplikasi infeksi HBV yang
jarang. (Isselbacher, 2006 )
2.2.9. PENCEGAHAN
Dasar utama imunoprofilaksis adalah pemberian vaksin hepatitis B
sebelum paparan (WHO, 2016).

16
2.4 Terapi Oksigen Hiperbarik
2.4.1 Definisi
Definisi kesehatan hiperbarik adalah ilmu yang mempelajari tentang
masalah-masalah kesehatan yang timbul akibat pemberian tekanan lebih
dari 1 Atm terhadap tubuh dan aplikasinya untuk pengobatan. Tekanan 1
Atmosfer adalah tekanan udara yang dialami oleh semua benda, termasuk
manusia, di atas permukaan laut, bersifat tetap dari semua jurusan dan
berada dalam keseimbangan (Riyadi, 2016).
Definisi terapi oksigen hiperbarik adalah pemberian oksigen
tekanan tinggi untuk pengobatan yang dilaksanakan dalam Ruang Udara
Bertekanan Tinggi (RUBT). Sedangkan menurut Undersea and Hyperbaric
Medical Society (UHMS), terapi oksigen hiperbarik merupakan suatu
perlakuan dimana pasien menghirup 100% oksigen murni di dalam suatu
ruangan tertutup yang diberi tekanan lebih besar dari tekanan di atas
permukaan laut (1 ATA). Peningkatan tekanan yang dilakukan harus
sistemik and diberikan di dalam suatu monoplace atau multiplace
chambers (Gill, 2004).

2.4.2 Sejarah Terapi Oksigen Hiperbarik


Terapi hiperbarik pertama kali dicatat pada tahun 1662, ketika Dr.
Henshaw dari Inggris membuat RUBT untuk pertama kalinya. Sejak itu,
penggunaan RUBT ini banyak menghasilkan manfaat dalam mengobati
penyakit. Pada tahun 1879, penggunaan terapi hiperbarik dalam operasi
mulai dilakukan. Pada tahun 1921 Dr. J. Cunningham mulai
mengemukakan teori dasar tentang penggunaan oksigen hiperbarik untuk
mengobati keadaan hipoksia. Tetapi usahanya mengalami kegagalan.
Tahun 1930 penelitian tentang penggunaan oksigen hiperbarik mulai
terarah dan mendalam. Sekitar tahun 1960an Dr. Borrema memaparkan
hasil penelitiannya tentang penggunaan oksigen hiperbarik yang larut
secara fisik di dalam cairan darah sehingga dapat memberi hidup pada
keadaan tanpa Hb yang disebut life without blood. Hasil penelitiannya
tentang pengobatan gas gangren dengan oksigen hiperbarik membuat Dr.
Borrema dikenal sebagai Bapak RUBT. Sejak saat itu, terapi oksigen

17
hiperbarik berkembang pesat dan terus berlanjut sampai sekarang
(Riyadi, 2016).
2.4.3 Fisiologi terapi oksigen hiperbarik
Dasar dari terapi oksigen hiperbarik terletak pada hukum gas ideal
yaitu :
a. Hukum Boyle menyatakan bahwa pada suhu konstan, tekanan dan
volume gas berbanding terbalik.
P1 V1 = P 2 V 2
Ini adalah dasar untuk banyak aspek terapi hiperbarik, termasuk
sedikit peningkatan suhu chamber selama pengobatan dan
fenomena yang dikenal sebagai 'squeeze' (memeras), yang terjadi
ketika tuba eustachius yang tersumbat menghambat equalisasi
tekanan gas sehingga kompresi gas memberikan rasa nyeri di
telinga tengah. Pada pasien yang tidak bisa secara independen
melakukan ekualisasi tekanan, penempatan tabung tympanostomy
harus dipertimbangkan untuk menyediakan saluran rongga udara
antara telinga luar dan dalam. Demikian pula, gas yang
terperangkap dapat membesar dan membahayakan selama
dekompresi, seperti dalam contoh langka yaitu pneumotoraks yang
terjadi selama pemberian tekanan. (Riyadi, 2016).
b. Hukum Dalton menyatakan bahwa tekanan suatu campuran gas
sama dengan jumlah tekanan parsial masing-masing gas. (Riyadi,
2016).
P = P1 + P2 + P3 + ..
c. Hukum Henry menyatakan bahwa jumlah gas terlarut dalam cairan
berbanding lurus dengan tekanan parsial gas tersebut pada
temperatur tetap. (Riyadi, 2016).
d. Hukum Charles menyatakan bahwa pada volume tetap, temperatur
suatu gas berbanding lurus dengan tekanannya. (Riyadi, 2016).

2.4.4 Efek dan mekanisme aksi


Sebagian besar oksigen yang dibawa dalam darah terikat pada
hemoglobin, yang mana 97 % tersaturasi pada tekanan atmosfer. Namun

18
beberapa oksigen yang dibawa dalam plasma meningkat pada terapi
hiperbarik karena Hukum Henry, yang kemudian akan memaksimalkan
oksigenasi jaringan. Ketika menghirup udara normobaric, tekanan oksigen
arteri adalah sekitar 100 mmHg, dan tekanan oksigen jaringan sekitar 55
mmHg. Namun, oksigen 100% pada tekanan 3 ATA dapat meningkatkan
tekanan oksigen arteri 2000 mmHg, dan tekanan oksigen jaringan menjadi
sekitar 500 mmHg, hal ini memungkinkan pengiriman 60 ml oksigen per
liter darah (dibandingkan dengan 3 ml/l pada tekanan atmosfer), yang
cukup untuk mendukung jaringan beristirahat tanpa kontribusi dari
hemoglobin. Karena oksigen terlarut banyak di dalam plasma maka dapat
menjangkau daerah-daerah yang terhambat di mana sel-sel darah merah
tidak bisa lewat, dan juga dapat mengaktifkan oksigenasi jaringan bahkan
meskipun terdapat gangguan pengangkutan oksigen, seperti pada
keracunan gas karbon monoksida dan anemia berat (Gill, 2004).
HBO meningkatkan pembentukan radikal bebas oksigen, yang
mengoksidasi protein dan lipid membran, yang kemudian akan
menyebabkan kerusakan DNA dan menghambat fungsi metabolisme
bakteri. HBO sangat efektif terhadap bakteri anaerob, dan memfasilitasi
sistem peroksidase tergantung oksigen yang digunakan leukosit untuk
membunuh bakteri. HBO juga meningkatkan transport oksigen tergantung
antibiotik tertentu di dinding sel bakteri (Gill, 2004)
Efek awal dan penekanan pada manusia adalah meningkatnya
tekanan hidrostaltik yang akan meningkatkan tekanan partial gas dan
menyebabkan pengurangan dari volume spatium yang tensi gas sesuai
dengan hokum Boyle. Telah diketahui dengan baik bahwa bernafas
dengan O2 melebihi 1 ATA akan meningkatkan produksi dari Reactive
Oxygen Species (ROS). ROS dan Reactive Nitrogen Species (RNS),
merupakan suatu molekul pemberi sinyal yang penting pada berbagai jalur
untuk faktor pertumbuhan, sitokin, dan hormon. ROS merupakan suatu
istilah yang digunakan untuk O 2 yang dihasilkan oleh spesies non radikal
maupun O2 yang dthasilkan radikal bebas seperti hydrogen peroksida dan
hypochlorous acid. ROS ini merupakan bagian dari metabolisme normal

19
oleh mitokondria, retikulurn endoplasma, dan berbagai macam enzim
oksidase dan metabolisme fostolipid (Thorn. 2011).
Peningkatan tekanan parsial O 2 akan meningkatkan konsentrasi
O2 di dalam jaringan termasuk mitokondria. Peningkatan konsentrasi O 2 di
dalam mitokondria meningkatkan terbentuknya anion superoksida yang
dikenal sebagai ROS primer. Terbentuknya ROS didalam jaringan
merupakan dasar molekuler dari mekanisme kerja HBOT di dalam tubuh.
ROS dan RNS berperan bagai pisau bermata dua. Di satu sisi ROS
mengakibatkan efek yang merugikan namun di sisi lain memberikan efek
yang menguntungkan. ROS akan merugikan apabila terjadi stres oksidatif
(suatu keadaan yang terjadi akibat produksi ROS atau RNS yang
berlebihan atau penurunan kadar antioksidan). ROS Juga mendasari
terjadinya keracunan oksigen. Namun, di sisi lain. ROS dan RNS dalam
kondisi fisiologis, diproduksi oleh tubuh kita dan diatur dengan ketat. Di
dalam kondisi fisiologis ROS dan RNS berperan sebagai molekul
penyandi intraselular. Pembentukan ROS dan RNS di dalam tubuh
berfungsi untuk memicu dan memelihara jalur-jalur transduksi isyarat yang
berperan dalam pertumbuhan dan diferensiasi set. ROS dan RNS bekerja
meialui reaksi kimia (modifikasi-modifikasi ikatan kovalen) pada atom-
atom spesifik di protein targat, ROS memicu fosforilasi tirosin dengan jalan
meningkatkan kerja dari tirosin kinase dan mencegah kerja dari tirosin
fosfatase dan juga pada residu serin dan atau threonin. Selain itu ROS
juga melepaskan komplek ASK1-Trx yang akan mengaktivasi kinase.
Tidak seperti mekanisme pada umumnya yang bekerja pada tingkat
makromolekul, namun ROS dan RNS bekerja pada tingkat atom (Susanto
2015).
Efek menguntungkan lainnya dari HBOT muncul melalui jejas yang
ditimbulkan dari peningkatan ROS dan RNS, karena hampir semua
rangsangan (stimulus) jejas, ketika diberikan dibawah ambang batas
(threshold) kerusakan, malah akan mengaktifkan mekanisme-mekanisme
perlindungan endotel yang secara signifikan akan menurunkan tingkat

20
kerusakan pada rangsang jejas berikutnya. Untuk rangsang iskemia,
fenomena ini telah diberi nama iskemia prekondisi atau toleransi iskemia.
Iskemia prekondisi dapat dipicu oleh berbagai macam rangsang seperti
iskemia, hipoxia, oksigen hiperbarik, agen kimia, depresi yang menyebar
pada kortikal (cortical spreading depression), dan hipertermia maupun
hipotermia. Keuntungan dari munculnya iskemia prekondisi melalui HBOT
dibandingkan melalui keadaan- keadaan lainnya seperti hipoksia hipobarik
adalah keamanannya. Pemberian air breaks selama 5 menit pada HBOT
akan memberikan keadaan iskemia prekondisi. (Susanto 2015)
HBOT akan menyebabkan hiperoksia jaringan yang menyebabkan
meningkatnya ROS dan RNS yang seianjutnya menyebabkan
meningkatnya NF-kB. NF-Kb merupakan kelompok faktor transkripsi yang
terlibal dalam pengaturan proses inflamasi. NF-Kb berinteraksi dengan
jalur PHD-HIF sehingga terjadi kaitan antara hipoksia dan inflamasi. HIF
(Hypoxia inducible factor) memiliki peran dalam perlindungan terhadap
kondisi hypoxia dari berbagai sel dalam tubuh termasuk sel endotel dan
tubulus. Manfaat yang didapatkan dari iskemia prekondisi diperoleh
melalui faktor transkripsi hypoxia inducible factor 1 (HIF-1) yang
merupakan sebuah kunci pengatur {key- regulator) yang berperan dalam
adaptasi dan survival sel dalam keadaan hipoksia. Penelitian saat ini
menunjukkan bahwa HIF-1 tidak hanya dipicu oleh kondisi hipoksia saja
namun juga oleh peningkatan kadar ROS. Oleh karena HBOT
meningkatkan pembentukan ROS maka akan meningkatkan ekspresi HIF-
1 dan gen-gen dibawahnya yang diperantarai. Penelitian menunjukan
bahwa HBOT dapat menstabilisasi dan mengaktifkan HIF namun
responnya berbeda antar jaringan dimana penelitian yang menggunakan
jaringan saraf didapatkan penurunan kadar HIF setelah perlakuan
hiperbarik (Susanto, 2015).
ROS dan RNS akan segera menginduksi diproduksinya sitokin pro-
inflamasi. Sebagai hasilnya, maka akan terdapat kontrol dari tubuh
dengan dihasilkannya antoksidan dan sitokin anti inflamasi untuk
mengembalikan keadaan homeostasis (Schaue et al,. 2012).

21
HBO meningkatkan pembentukan radikal bebas oksigen, yang
mengoksidasi protein dan lipid membran, yang kemudian akan
menyebabkan kerusakan DNA dan menghambat fungsi metabolisme
bakterI. HBO sangat efektif terhadap bakteri, dan memfasilitasi sistem
peroksidase tergantung oksigen yang digunakan leukosit untuk
membunuh bakteri. HBO juga meningkatkan transport oksigen tergantung
antibiotik tertentu di dinding sel bakteri (Gill, 2004)
HBO meningkatkan penyembuhan luka dengan memperkuat
gradien oksigen sepanjang pinggir luka iskemik, dan membantu
pembentukan kolagen matriks tergantung oksigen yang dibutuhkan untuk
angiogenesis (Gill, 2004).
Infiltrasi leukosit pada jaringan iskemik diikuti dengan pengeluaran
protease dan radikal bebas yang menyebabkan vasokontriksi dan
kerusakan yang patologis. Hal ini memperburuk cedera, menyebabkan
crush compartment syndrome dan menyebabkan kegagalan cangkok kulit,
penjahitan luka, dll. Pada terapi HBO terdapat penurunan infiltrasi leukosit
dan vasokonstriksi dalam jaringan iskemik (Gill, 2004).
Hyperoxia pada jaringan normal akibat HBO menyebabkan
vasokonstriksi yang cepat dan signifikan tapi ini dikompensasi oleh
peningkatan pengangkutan oksigen plasma, dan aliran darah
mikrovaskuler dalam jaringan iskemik juga diperbaiki oleh HBO.
Vasokonstriksi tersebut menguragi oedema jaringan post-trauma yang
akan membantu penyembuhan crush injuries, compartment syndromes
dan luka bakar (Gill, 2004).
Terakhir, HBO menghambat penurunan produksi ATP post-trauma
dan mengurangi akumulasi produksi asam laktat pada jaringan iskemik.
Kesimpulannya, HBO memiliki efek yang kompleks pada imunitas,
transpor oksigen dan heodinamik. Efek positif terapi ini dikerenakan
adanya pengurangan hypoxia dan oedema yang memungkinkan
timbulnya respon host normal terhadap infeksi dan iskemia (Gill, 2004).

Beberapa efek terapi hiperbarik oksigen pada tubuh antara lain:


1. Angiogenesis.

22
Terapi HBO dapat menstimulasi pertumbuhan dari kapiler-kapiler
pada jaringan yang hipoksia sehingga dapat meningkatkan
kecepatan penyembuhan luka.
2. Hiperoksigenasi.
Terapi HBO dapat meningkatkan kadar oksigen karena oksigen
dapat diangkut melalui plasma.
3. Osteogenesis.
Terapi HBO dapat menstimulasi produksi dari sel-sel tulang baru.
4. Microbiological.
Dengan kadar oksigen tinggi dapat membunuh bakteri.
5. Imunologi.
Terapi HBO dapat meningkatkan kemampuan dari fungsi
fagositosis dan sel-sel natural killer.
6. Menurunkan inflamasi.
Terapi HBO dapat menurunkan mediator-mediator inflamasi.
7. Vasokonstriksi.
Terapi HBO dapat meyebabkan penyempitan dari lumen pembuluh
darah sehingga mengurangi oedema.
8. Reduksi gelembung udara.
Terapi HBO dengan tekanan tinggi dapat menyebabkan penurunan
volume dari gelembung udara termasuk gelembung nitrogen pada
DCS.
9. Perbaikan jaringan.
Terapi HBO dapat meningkatkan kecepatan perbaikan jaringan.

2.4.5 Indikasi terapi oksigen hiperbarik


Indikasi pemberian terapi HBO adalah sebagai berikut :

a. Pada sistem syaraf pusat:


Spinal cord trauma
Iskemi cerebral
Compressive cord disease
Emboli fibrokartilago
Cortical blindness
Tetraparesis
Injury saraf tepi
b. Pada muskulo-skeletal:
Athletic injury
Tendolitis
Desmitis
Periostitis
Fraktur

23
Laminitis
Myositis
Crush injury
c. Pada penyakit infeksi:
Osteomyelitis
Septic arthtrtis
Septikemia
Blastomitosis
Lyme disease
Infeksi anaerob
Abses intracranial dan abdominal
d. Pada cardiovaskular:
Hipotensi
Shock
Infark jantung
Anemia akut
Reperfusion disease
Toksisitas CO atau CO2
Limpanitis

e. Pada respirasi:
Exercise induced pulmonary hemorrhage
Pleuritis
Pulmonary edema
Cutaneous wounds
Thermal burns
f. Pada gastrointestinal:
Ileus
Pankreatitis
Peritonitis
Ulser
g. Pada genitounrinary:
Infertilitas
Pre and post radiation therapy

Menurut sumber lain (Supondha, 2014), indikasi pemberian terapi


HBO dibagi menjadi dua, yaitu indikasi emegensi dan indikasi non
emergensi. Berdasarkan Undersea and Hyperbaric Medical Society, pada
1983

a. Indikasi emergensi terdiri dari embolisme gas dan udara,


seperti:

24
Keracunan karbon monoksida
Cedera remuk
Keracunan gas sianida
Penyakit dekompresi
Meningkatnya penyembuhan luka pada (ulkus diabetik,
ulkus statis venosus, ulkus dekubitus dan ulkus
insufisiensi arterial), anemia
Infeksi jaringan lunak bernekrosis (selulitis anaerob,
gangren bakterial progesif, fascistic nekrosis)
Gas gangrene, osteomyelitis refrakter
Karena radiasi, tandur kulit (skin grafts and flaps) dan luka
bakar

b. Indikasi nonemergensi: neoplasma malignan digabung


dengan kemoterapi-radioterapi, gangguan sirkulasi perifer,
paresis saraf motorik (sebagai sekuel lanjut dari serangan
serebrovaskuler, kraniotomi, dan cedera parah pada kepala),
gejala yang muncul lambat pada keracunan CO, neuropati
sumsum tulang belakang, dan osteomyelitis serta nekrosis
karena radiasi.

2.4.6 Kontraindikasi terapi oksigen hiperbarik

A. Kontraindikasi absolut (Medscape, 2014)

Absolute Reason Necessary Conditions


Contraindications Contraindicated Prior to HBOT

Untreated Thoracostomy
pneumothorax Tension pneumothorax

Pneumomediastinum

25
B. Kontraindikasi relatif (Medscape, 2014)

Relative Reason Necessary


Contraindications Contraindicated Conditions Prior to
HBOT
Asthma Air trapping upon ascent Must be well controlled
leading to with medications
pneumothorax
Claustrophobia Anxiety Treatment with
benzodiazepines
Congenital Severe hemolysis None; HBOT for
spherocytosis emergencies only
Chronic obstructive Loss of hypoxic drive to Observation in
pulmonary breathe chamber
disease(COPD)
Eustachian tube Barotrauma to tympanic Training, PE tubes
dysfunction membrane
High fever Higher risk of seizures Provide antipyretic
Pacemakers or Malfunction or Ensure company has
epidural pain pump deformation of device pressure-tested device
under pressure and learn to what
depth
Pregnancy Unknown effect on fetus None, but HBOT may
(Previous studies from be used in
Russia suggest HBOT is emergencies
safe.)
Seizures May have lower seizure Should be stable on
threshold medications; may be
treated with
benzodiazepines
Upper respiratory Barotrauma Resolution of
infection (URI) symptoms or
decongestants

26
Bleomycin Interstitial pneumonitis No treatment for
extended time from
use of medication
Cisplatin Impaired wound healing No treatment for
extended time from
use of medication
Disulfiram Blocks superoxide Discontinue medication
dismutase, which is
protective against
oxygen toxicity
Doxorubicin Cardiotoxicity Discontinue medication
Sulfamylon Impaired wound healing Discontinue and
remove medication

27
BAB 3

KERANGKA KONSEP

HBOT Po2

ROS

TLRs
HBV
EP3
SOD
HO-1
GPX

Nf-kB
Sitoplasma
NUKLE
Sel Kupfer US

AA

COX1/COX2

PGE2

S Sirosis Hepatis
e
l

TLRs EP3 EP4


H
e
p
28 a
t
o
s
i
t

3.1 Hubungan Terapi oksigen Hiperbarik dengan Hepatitis B

Pada penyakit hepatitis terjadi proses inflamasi yang disebabkan


karena adanya infeksi maupun non infeksi, inflamasi tersebut dapat
dikurangi dengan pemberian terapi oksigen hiperbarik sehingga reaksi
inflamasi tersebut tidak bersifat kronis. Terutama hepatitis B yang resiko
tinggi menjadi hepatitis kronis dan dapat menjadi komplikasi sirosis
hepatis atau hepatoma. Selain itu pemberian terapi oksigen hiperbarik
pada hepatitis ini efektif dan dianjurkan. Hal tersebut dikarenakan terapi
oksigen hiperbarik dapat menurunkan terjadinya degenerasi dan nekrosis
sel hepatosit, selain itu dapat meningkatkan aliran darah pada pembuluh
darah hepar sehingga distribusi nutrisi dan oksigen meningkat, memicu
regenerasi sel kupffer, dan meningkatkan limphosit. Namun pemberian
terapi oksigen hiperbarik ini tidak dapat menghilangkan jaringan fibrosis.
Pemberian terapi oksigen hiperbarik ini paling efektif diberikan pada
stadium awal dan menengah pengobatan. (Liu W et al, 2002).
Selain itu terapi oksigen hiperbarik ini juga berperan menekan PGE2
dan Nf-kB yang memiliki peran pada reaksi inflamasi ini. ( Liang F et al,
2013. Nakanisi, 2012).
Terapi oksigen hiperbarik menurunkan secara nyata pada PGE2 dan
COX2. Pada tulang alveolar dan gingiva didapatkan terapi oksigen
hiperbarik menurunkan PGE2, selain itu juga menurunkan produksi IL-1.
Ditemukan penurunan yang signifikan produksi PGE2 yang diproduksi
oleh splenic makrofag. Penghambatan yang nyata dari eksresi PGE2 di
ginjal yang dihubungkan dengan efek antidiuresis selama terapi oksigen
hiperbarik yeng dievaluasi pada anjing yang sadar. Efek terapi oksigen
hiperbarik pada COX2 setelah terjadi fokal iskemia pada otak dengan
pemberian oksigen hiperbarik 3 ATA selama 1 jam setelah 6 jam reperfusi,
yangmana menunjukkan penurunan secara signifikan area infark daripada
kelompok yang tidak diberi oksigen hiperbarik. Ini merupakan keadaan
kebalikan, dimana pemberian terapi oksigenhiperbarik menurunkan COX2
dan level protein yang seharusnya meningkat setelah reperfusi. Dapat

29
disimpulkan terapi oksigen hiperbarik menurunkan area infark dalam 6 jam
sejak serangan (Noori et al, 2006. Nakanisi, 2012).

HBO dapat meningkatkan ROS. Dimana peningkatan ROS ini


dapat memicu enzim anti oksidan yaitu SOD, HO-1, glutation meningkat,
sehingga ROS dapat ditekan dan menyebabkan aktivasi NF-kB tidak
terjadi atau NF-kB dapat diturunkan. Hal ini dapat mencegah peradangan
kronis atau terjadinya tumor. Namun apabila ROS yang terlalu tinggi dan
enzim antioksidan tidak dapat mengatasi, maka menjadi proinflamasi yang
mempercepat terjadinya peradangan (Chavco et al, 2007.Rinaldi, 2011.
susilo et al, 2016).

30
BAB 4
KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Hepatitis adalah proses terjadinya inflamasi dan atau nekrosis
jaringan hati yang dapat disebabkan infeksi, obat-obatan, toksin,
gangguan metabolik, maupun gangguan autoimun. Infeksi yang
disebabkan virus, bakteri, maupun parasit merupakan penyebab
terbanyak hepatitis akut. Infeksi virus hepatitis masih merupakan masalah
kesehatan utama, baik di Negara berkembang maupun dinegara maju.
Penyebab utama infeksi akut, yaitu virus hepatitis A,B,C,D, dan E
(Askandar, 2015).

Terapi oksigen hiperbarik merupakan suatu perlakuan dimana


pasien menghirup 100% oksigen murni di dalam suatu ruangan tertutup
yang diberi tekanan lebih besar dari tekanan di atas permukaan laut (1
ATA). Peningkatan tekanan yang dilakukan harus sistemik and diberikan di
dalam suatu monoplace atau multiplace chambers (Gill, 2004).

Hepatitis B yang resiko tinggi menjadi hepatitis kronis dan dapat


menjadi komplikasi sirosis hepatis atau hepatoma. Selain itu pemberian
terapi oksigen hiperbarik pada hepatitis ini efektif dan dianjurkan. Hal
tersebut dikarenakan terapi oksigen hiperbarik dapat menurunkan
terjadinya degenerasi dan nekrosis sel hepatosit, selain itu dapat
meningkatkan aliran darah pada pembuluh darah hepar sehingga
distribusi nutrisi dan oksigen meningkat, memicu regenerasi sel kupffer,
dan meningkatkan limphosit. Namun pemberian terapi oksigen hiperbarik
ini tidak dapat menghilangkan jaringan fibrosis. Pemberian terapi oksigen
hiperbarik ini paling efektif diberikan pada stadium awal dan menengah
pengobatan. (Liu W et al, 2002).
Selain itu terapi oksigen hiperbarik ini juga berperan menekan PGE2
dan Nf-kB yang memiliki peran pada reaksi inflamasi ini. ( Liang F et al,
2013. Nakanisi, 2012).

31
DAFTAR PUSTAKA

Arthur C Guyton, John E Hall, 2009, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi
11, Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Askandar. 2015. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Surabaya. Airlangga
University Press.
Dienstag, Jules L. Viral Hepatitis. Kasper, Braunwald, Fauci, et all. In
Harrisons : Principles of Internal Medicine : 1822-37. McGraw-Hill,
Medical Publishing Division, 2005.
Netter F.H. 2014. Atlas Of Human Anatomy. Edisi 6. Elsevier.
Gill, A. L. 2004. Hyperbaric oxygen: its uses, mechanisms of action and
outcomes. QJ Med. Volume 97. diakses pada 13 maret 2017.

Ganong W. 2005. Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta. EGC.

Isselbacher, Kurt. Hepatology. Thomas D Boyer MD, Teresa L Wright MD,


Michael P Manns MD A Textbook of Liver Disease. Fifth Edition.
Saunders Elsevier. Canada. 2006

Jawetz, Melnick, Adelberg. 2008. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23.


Jakarta. EGC.

Junquiera L. 2010. Atlas dan teks histologi dasar. Jakarta. EGC.

Keith L Moore, Anne MR, 2013, Anatomi Klinis Dasar, Jakarta: Hipokrates.
Liang F, Kang N, liu X. 2013. Effect of HMGB1/NF-B in hyperbaric
oxygen treatment on decreasing injury caused by skin flap grafts in
rats. Department of Hyperbaric Oxygen, Beijing Chaoyang Hospital,
Capital Medical University, Beijing, China
Liu W, 2002, Chlinical pathological study of treatment of cronic hepatitis
with hyperbaric oxygenation

Lindsey, Hyperbaric Oxygen Therapy Reduces The Toll-Like Receptor


Signaling Pathway In Multiple Organ Failures. 3 mei 2011.

32
https://www.scribd.com/doc/139919271/NF-kB Diakses Tanggal
12 Maret 2017

Nakanisi M, Daniel W. 2012. Multifaceted roles of PGE2 in inflammation


and cancer. NHS public access.
Riyadi, 2016. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik,
Lakesla. Surabaya.

Schaue, Dorothy. Kachikwu, Evelyn L. McBride, Wiliam H. 2012.


Cytokines in Radiobiological Response: A Review. Radiation
Research. Volume 178. Oktober 2012. Diakses pada 11 Januari
2017
Supondha, Erick. 2014. Terapi Oksigen Hiperbarik. Matana Bina Utama:
Tangerang

Susanto L. 2015. Efek Terapi Hiperbarik Oksigen pada Ekspresi pada NF-
Kb dan avb3 Integrin pada Endometrium Tikus Betina (Rattus
norvegicus Wistars)

Tripathi P, Aggarwal A. 2006. NF-Kb Transcription Factor: A Key Player In


The Generation Of Immune Response. Sanjay Gandhi
Postgraduate Institute Of Medical Sciences

Thom, Stephen R. 2011. Hyperbaric oxygen its mechanisms and


efficacy. NIH. Volume 127. Diakses pada 11 maret 2017

WHO. 2016. Hepatitis B.


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs204/en/. Diakses 14
Februari 2017.

33

Anda mungkin juga menyukai