Anda di halaman 1dari 18

Industri Nasional

Industri Nasional

Dalam era global dan upaya peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat, industri
nasional memegang peran penting. Kajian dari perspektif teknologi akan melihat hubungan
antara instrumen dan faktor teknologi terhadap peningkatan dan efisiensi industri nasional.
Kajian dari disiplin ekonomi akan melihat besaran output dan penyiapan infrastruktur ekonomi
untuk mencapai peningkatan dan efisiensi industri nasional.

Industri nasional tidak lahir dari konteks sosial, ekonomi, politik yang vakum. Pengalaman
banyak negara pada tahun 1960-an dan 1970-an yang menekankan pada substitusi ekspor dan
nasionalisasi adalah pilihan-pilihan kebijakan politik dan sosial. Demikian juga halnya dengan
pilihan kebijakan pembangunan dengan penekanan pada sektor-sektor tertentu pada periode-
periode selanjutnya.

Dari perspektif ilmu-ilmu sosial, beberapa aspek industri nasional sangat menarik dikaji:

Peran negara. Apakah negara akan menjadi regulator utama dalam menggerakan industri
nasional? Pertanyaan ini pada dasarnya menjadi perdebatan tentang peran negara apakah
manjadi negara maximalis atau negara minimalis
Transformasi masyarakat dalam proses, dan akibat dari pengembangan industri nasional:
perubahan norma dan nilai, perubahan ikatan atau kohesi sosial, dan perubahan hubungan
desa dan perkotaan. Termasuk aspek ini adalah pembentukan identitas dan loyalitas baru
sebagai akibat tranformasi masyarakat.
Hubungan antara industri nasional dengan interaksi politik. Apakah industri nasional
menjadikan masyarakat sebagai lebih independen ataukah justru menjadi lemah karena
sempitnya ruang untuk bergerak yang diciptakan oleh negara melalui berbagai instrumen
pembangunan nasional, khususnya kebijakan industri nasional.
Industri nasional dan globalisasi. Apakah kebijakan industri nasional akan memperkuat
posisi masyarakat dan negara untuk bersaing pada tingkat global? Sektor-sektor apa yang
harus dikembangkan untuk memberdayakan masyarakat dan negara? Apakah langkah ini
akan membawa implikasi terhadap sistem politik, ekonomi, dan sosial?

This Category is currently empty

Integrasi Sosial, etnisitas, dan kemiskinan ( 1 items )


Integrasi Sosial, Etnisitas dan Kemiskinan

Masalah integrasi sosial dan etnisitas serta kemiskinan, akan terus dihadapi oleh
Indonesia. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor. Pertama, karakter alamiah
Indonesia sebagai negara plural akan selalu melahirkan masalah state and nation
buildings. Kedua, masalah ini belum sepenuhnya selesai dan bahkan dipersulit oleh
faktor kemiskinan dan kompleksitas hubungan antara masyarakat dan negara. Kesulitan
dan masalah akan muncul jika negara gagal mewakili dan memenuhi kepentingan
masyarakat yang majemuk tersebut, seperti terlihat dalam beberapa kasus belakangan ini
dimana negara tidak hadir dalam berbagai masalah sosial dan konflik/kekerasan di akar
rumput. Jadi, dapat dikatakan bahwa integrasi sosial akan terkait dengan kemampuan
negara untuk memenuhi kepentingan masyarakat, state-building dan nation-building,
serta masalah sosial ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat. Masalah ini telah
berkembang makin kompleks karena tekanan globalisasi dan demokratisasi yang
melahirkan multi-identitas dan multi-loyalitas.

Integrasi sosial mengadung dua elemen besar yaitu integrasi pada tingkat infrastruktur,
berupa unsur-unsur yang hidup dan berkembang dalam masyarakat seperti historic
territory atau homeland, common myths dan kolektif memori sejarah, unsur budaya, dan
ikatan ekonomi. Unsur kedua adalah integrasi institusional-politis dengan membentuk
sistem politik, hukum, dan ekonomi yang mengatur persamaan hak dan kewajiban bagi
seluruh anggota.

Kluster kajian tentang integrasi sosial akan mencakup:


o Politik pembangunan, kesenjangan pusat-daerah, dan kesenjangan antar daerah,
serta pengentasan kemiskinan
o Pemberdayaan masyarakat
o Conflict management, conflict resolution, post-conflict reconstruction: konflik
horisontal dan vertikal
o Gender, etnisitas dan agama
o Bangsa (nation), nasionalisme, dan identitas nasional
o State dan nation-building
o Birokrasi dan integrasi nasional

Cakupan kluster integrasi nasional menggarisbawahi esensi dari masalah-masalah sosial,


ekonomi, dan politik yang sedang adan akan dihadapi oleh Indonesia. Kajian tentang
integrasi nasional akan bersifat interdisipliner untuk memberikan sumbangan pengayaan
dan penajaman analisis-teoritis serta pemecahan masalah.

Democracy & Governance ( 3 items )


DEMOCRACY & GOVERNANCE

Governance adalah suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai suatu


tujuan yang telah ditetapkan. Good governance secara umum diartikan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan untuk memenuhi tujuan dan kepentingan masyarakat
harus dijalankan secara akuntabel dan transparan. Hal ini hanya bisa diwujudkan dalam
sistem politik yang demokratis yang memberi ruang kebebasan bagi rakyat melalui
mekanisme yang mereka sepakati untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggara
pemerintahan. Karena itu demokrasi adalah dasar dari governance. Sementara itu, secara
teknis, akuntabilitas harus didasarkan atas prinsip efisiensi dan efektifitas.

Mungkin dapat dikatakan bahwa demokrasi tidak asing bagi sebagian besar orang. Tetapi
masih banyak juga yang mempertentangkan antara demokrasi Barat dan demokrasi non-
Barat atau Timur. Perbedaan Barat-Timur sering digunakan untuk menunjukkan atau
mengklaim bahwa salah satu pihak mempunyai sistem demokrasi yang khas atau benar,
dan bahwa nilai-nilai demokrasi pihak lain telah gagal membawa perbaikan ke arah
pencapaian tujuan dan kepentingan. Padahal, sebagai nilai dan norma, demokrasi bersifat
universal yaitu adanya penghormatan terhadap dan pelaksanaan hak-hak rakyat dan
bahwa pemerintahan harus akuntabel yang berarti dapat diganti melalui sistem yang
disepakati. Sementara itu sistem demokrasi adalah tentang bagaimana hak-hak rakyat
tersebut diwujudkan dan disalurkan, serta bagaimana akuntabilitas tersebut dilaksanakan.
Oleh karena itu, nilai dan norma demokrasi adalah universal, sementara itu sistem untuk
menjamin dan mengimplementasi nilai dan norma tersebut bisa berbeda satu sama lain.

Sebagai negara yang baru lepas dari sistem otoriter dan saat ini sedang berada dalam
proses transformasi demokrasi, kluster kajian tentang demokrasi dan governance menjadi
sangat penting, baik secara praktis maupun teoritis. Tidak hanya hal ini merupakan
respon dari tuntutan domestik, melainkan juga untuk mempersiapkan Indonesia
menghadapi karakter baru hubungan internasional yang kini menempatkan demokrasi
dan good governance sebagai salah satu pilar diplomasi.

Dari argumen di atas, kluster demokrasi dan governance akan difokuskan pada:
o Sistem demokrasi dan kepartaian dalam masyarakat Indonesia yang plural
o Reformasi birokrasi untuk membentuk governance yang akuntabel
o Hubungan pusat dan daerah, termasuk tentang otonomi daerah dan administrasi
pemerintahan
o Civil society sebagai infrastruktur dari demokrasi
Global Awareness ( 4 items )
GLOBAL AWARENESS

Kesadaran tentang globalisasi mencakup empat pemahaman besar. Pertama, negara tidak
lagi menjadi satu-satunya aktor baik dalam hubungan-hubungan politik dan ekonomi baik
di tingkat lokal, nasional dan internasional. Dengan demikian negara tidak lagi satu-
satunya pemegang legitimasi politik. Banyak kebijakan-kebijakan ekonomi, sosial, dan
politik yang tidak hanya dierptanyakan oleh individu dan masyarakat domestik,
melainkan juga menjadi subyek dari perdebatan diluar batas negara yang bersangkutan.
Selain itu, kedaulatan negara menjadi tidak mutlak karena sumber, dampak, maupun
pemecahan masalah-masalah yang berkembang melampaui batas kedaulatan negara.
Bahkan sulit, memisahkan secara mutlak masalah domestik dan masalah eksternal.

Kedua, munculnya kombinasi kekuatan ekonomi dan teknologi informasi yang tidak
dapat sepenuhnya dikontrol oleh negara. Oleh kaum realis, gejala ini dilihat sebagai
ekspansi kekuatan negara besar; sebagai gejala munculnya aktor baru dalam dunia yang
makin kompleks dan plural bagi kaum liberal; dan sebagai wujud dari kekuasaan
kekuatan kapitalisme global bagi kaum Marxis dan Neo-Marxis. Meskipun demikian,
ketiga, semua sepakat bahwa konsekuensi mendasar dari globalisasi adalah keterbukaan
(openess), persaingan (competition) dan efisiensi.

Terakhir, keempat, interaksi global memunculkan masalah-masalah transnasional yang


hanya dapat diatasi melalui kerjasama internasional. Paradigma neo-fungsionalisme
melihat hal ini sebagai jalan ke arah integrasi regional. Disinilah hubungan antara
individu, kelompok dan masyarakat, negara, dan aktor-aktor global/internasional
melahirkan saling ketergantungan dan saling vulnerabilitas yang tinggi satu sama lain.
Mereka menjadi sensitif satu sama lain.

Kesadaran tentang globalisasi seperti di atas memunculkan pentingnya kajian tentang:

o Hubungan antara negara, pasar, dan masyarakat (state, market, and society)
o Perubahan-perubahan besar yang digerakkan oleh teknologi informasi, gerakan
individu, dan masyarakat, serta modal (kekuatan ekonomi) lintas nasional
o Integrasi regional baik dibidang ekonomi, politik, dan budaya-sosiologis
o Masalah-masalah transnasional dan global: money laundrering, migrant workers,
terorisme, drug trafficking, illegal migration, penyelundupan senjata, kejahatan
cyber (cyber crimes), dan masalah-masalah lingkungan hidup
o Munculnya masalah identitas sebagai basis interaksi dan kepentingan individu
dan masyarakat baik pada tingkat domestik maupun internasional

http://www.fisip.ui.ac.id/index.php?option=com_content&task=category&sectionid=13&id=54&Itemid=
164eg

MASALAH EKONOMI DI NEGARA BERKEMBANG DAN NEG MAJU

Berikut ini adalah masalah-masalah ekonomi yang dihadapi oleh negara berkembang seperti
Indonesia, dan juga negara maju. Postingan ini adalah kelanjutan dari Interaksi Globalisasi
dalam Bidang Ekonomi dan Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam.

Masalah Ekonomi di Negara Berkembang


Indonesia termasuk salah satu negara berkembang. Seperti juga negara berkembang lainnya,
Indonesia menghadapi masalah ekonomi yang sama. Kemiskinan terjadi di mana-mana, jumlah
pengangguran meningkat, tingkat kecerdasan masyarakat masih rendah, dan distribusi
pendapatan tidak merata.

Di kota besar seperti Jakarta, keadaan seperti ini sudah menjadi pemandangan umum. Banyak
orang yang hidup kurang beruntung terpaksa hidup sebagai pemulung sampah. Oleh karena
pendapatan yang diperoleh sangat rendah, anaknya tidak dapat disekolahkan sehingga tingkat
kecerdasan anak tersebut tidak berkembang. Hal ini juga menimbulkan kesenjangan ekonomi
yang tajam antara orang yang berpenghasilan tinggi dan orang yang berpenghasilan rendah.

Masalah Ekonomi di Negara Berkembang : Kemiskinan

Kemiskinan merupakan perwujudan keadaan serta kekurangan. Setiap negara memilik ukuran
batas kemiskinan yang berbeda dengan negara lain. Pemerintah Indonesia memberikan perhatian
serius dalam menanggulangi masalah kemiskinan yang dialami masyarakat. Dari tahun ke tahun
pemerintah terus berupaya menurunkan jumlah dan persentase penduduk miskin dengan berbagai
cara, antara lain subsidi silang. Subsidi silang yang dilakukan pemerintah yaitu dengan
menetapkan harga BBM untuk minyak tanah lebih rendah daripada bensin. Subsidi untuk bensin
sedikit demi sedikit dikurangi dan nantinya dihilangkan sama sekali. Subsidi untuk minyak tanah
masih dipertahankan agar masyarakat berpenghasilan rendah mampu membeli minyak tanah.

Masalah Ekonomi di Negara Berkembang : Keterbelakangan

Masalah keterbelakangan sangat berhubungan dengan masalah kualitas sumber daya manusia.
Disamping itu, masalah keterlebakangan sangat erat hubungannya dengan rendahnya tingkat
kemajuan dan pelayanan kesehatan, kurang terpeliharanya fasilatas-fasilitas umum, dan
rendahnya disiplin masyarakat.

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, pemerintahan Indonesia berupaya meningkatkan


kualitas sumber daya manusia, misalnya dengan meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Persentase alokasi dana untuk pendidikan pada anggaran APBN setiap tahunnya ditingkatkan.
Hal ini dimaksudkan untuk membantu sekolah yang kekurangan sarana dan prasarana belajar,
seperti gedung sekolah yang rusak, buku-buku pelajaran yang kurang dan murid-murid yang
memerlukan bantuan biaya sekolah.

Masalah Ekonomi di Negara Berkembang : Pengangguran

Masalah lain yang dihadapi negara berkembang dalam pembangunan ekonomi adalah masalah
keterbatasan lapangan pekerjaan. Masalah pengangguran timbul karena ada ketimpangan antara
jumlah angkatan kerja dan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Hal ini biasa terjadi karena
negara yang bersangkutan sedang mengalami masa transisi perubahan struktur ekonomi dari
negara agraris menjadi negara industry. Akibatnya angkatan

kerja yang tersedia berada di sector agraris, sedangkan lapangan pekerjaan yang tersedia
menuntut keahlian di sector industry.

Negara berkembang memiliki pertumbuhan penduduk lebih cepat daripada pertumbuhan


kesempatan kerja. Untuk mengatasi masalah pengangguran, pemerintahan melakukan pelatihan
kerja sehingga tenaga kerja memiliki keahlian sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia.
Pelatihan kerja biasanya diselenggarakan oleh balai latihan kerja (BLK). Melalui program ini
diharapkan peserta pelatihan dapat mengembangkan bakat dan keahlian untuk bekerja atau
bahkan membuka usaha sendiri.

Masalah Ekonomi di Negara Berkembang : Kekurangan Modal

Kekurangan modal adalah satu cirri setiap negara yang sedang mengalami proses pembangunan
ekonomi. Kekurangan modal tidak hanya menghambat percepatan pembangunan, tetapi juga
menyebabkan kesukaran negara tersebut keluar dari kemiskinan.

Perkembangan zaman dan modernisasi perekonomian memerlukan modal yang besar. Negara
berkembang mengalami kesulitan yang sama, yaitu kekurangan modal. Hal ini disebabkan
tingkat tabungan dan tingkat pembentukan modal yang rendah.
Untuk mengatasi kekurangan modal, pemerintah menarik investor, baik dari dalam maupun luar
negeri. Misalnya BUMN menawarkan saham kepada investor agar bersedia bekerjasama.
Dengan meningkatkan investasi, diharapkan tabungan permintahan juga meningkat. Jika
tabungan pemerintah meningkat, modal yang dikumpulkan pun akan lebih banyak.

Masalah Ekonomi di Negara Berkembang : Ketidakmerataan hasil pembangunan

Masalah lain yang dihadapi negara berkembang adalah melaksanakan pembangunan ekonomi
adalah masalah pemerataan pendapatan. Contohnya di Indonesia, perekonomian terkonsentrasi di
kota-kota besar, terutama di pulau jawa. Sementara itu, dilihat dari hak penguasaan sector
industry, perekonomian didominasi oleh kurang lebih 200 konglomerat. Hal ini disebabkan
sistem perekonomian yang terlau terpusat kepada negara sehingga potensi daerah kurang
diperhatikan.

Melalui perubahan sistem perundang-undangan pemerintah Indonesia mulai memperbaiki sistem


perekonomian negara. Sistem perundang-undangan yang memihak praktik monopoli mulai
dihapus. Di samping itu, untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antara pemerintah pusat
dan daerah, diberlakukan undang-undang otonomi daerah. Daerah diberi kebebasan untuk
mengembangkan potensi dan pemerintah pusat tidak lagi terlalu campur tangan dalam urusan
rumah tangga pemerintah daerah.

Masalah Ekonomi di Negara Maju


Kota Tokyo di Jepang terkenal dengan masyarakatnya yang disiplin dan teratur. Setiap jalan
diatur sedemikian rupa sehignga terlihat rapih, begitu pun gedung-gedung dibangun dengan
teratur.

Meskipun sudah terbiasa dengan budaya disiplin dan teratur, tetapi tetap saja negara-negara maju
menghadapi berbagai masalah ekonomi. Masalah tersebut adalah sebagai berikut:

Masalah Ekonomi di Negara Maju : Tenaga kerja negara berkembang masuk ke negara maju

Negara maju memiliki pertumbuhan penduduk yang lambat atau bahkan berangka satu (zero
population growth) sehingga negara maju kekurangan tenaga kerja. Meskipun di negara maju
peraturan ketenagakerjaan sudah baik, tetapi tetap saja arus masuk tenaga kerja dari negara
berkembang ke negara maju membawa dampak negative. Hal ini disebabkan perbedaan budaya
antara penduduk asli dan penduduk pendatang. Dampak negative itu diantaranya, terjadi
bentrokan fisik atau konflik sosial lain antara penduduk asli dan penduduk pendatang.

Masalah Ekonomi di Negara Maju : Produk negara berkembang masuk ke negara maju

Produk negara berkembang banyak masuk kenegara maju. Globalisasi ekonomi menyebabkan
hambatan perdagangan antarnegara semakin berkurang. Produk negara berkembang seperti dari
Cina dan Taiwan banyak beredar dipasar negara Eropa sehingga konsumen lebih banyak
memiliki pilihan produk. Produk cina dan Taiwan tidak kalah bersaing dari segi inovasi maupun
kualitasnya. Produk-produk cina dan Taiwan biasanya lebih murah sehingga dapat mengancam
produk-produk eropa yang biasanya lebih mahal harganya.

Masalah Ekonomi di Negara Maju : Investasi negara maju masuk ke negara berkembang

Banyak pengusaha dari negara maju yang menanamkan investasi di negara berkembang. Mereka
berusaha menghindari pajak yang tinggal di negaranya sendiri dan berusaha untuk menghemat
biaya produksi. Disamping itu, negara berkembang merupakan pasar potensial bagi produk-
produk dari luar negeri. Jika pengusaha dari negara maju membuka perusahaan di negara
berkembang, tentu akan lebih mendekatkan diri dengan konsumen. Hal ini jelas akan lebih
mempermudah sistem pemasarannya. Akibat langsung dari pengusaha negara maju yang
berinvestasi di negara berkembang adalah menurunnya tingkat investasi di negara maju tersebut.

Masalah Ekonomi di Negara Maju : Kerusakan lingkungan meningkat

Negara maju mengklaim bahwa negara berkembanglah yang banyak membuat kerusakan
lingkungan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena memang sebagian besar negera berkembang
belum memiliki peraturan yang jelas mengenai pencemaran lingkungan. Akan tetapi, hal tersebut
tidak sepenuhnya benar karena banyak juga pengusaha dari negara maju yang mengeruk sumber
daya alam sebesar-besarnya untuk keperluan produksi. Bahkan, ada pengusaha dari negara maju
yang mengambil sumber daya alam dari negara berkembang tanpa memperhatikan kelestarian
lingkungan. Masalah Ekonomi di Negara Berkembang & Negara Maju.

www.masbied.com/2011/07/19/masalah-ekonomi-di-negara-berkembang-negara-maju/

PENGARUH KESEHATAN DAN GIZI TERHADAP


TINGKAT KEMISKINAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hasil sementara Sensus Penduduk tahun 2000 memperkirakan jumlah penduduk 203.456.005,
dengan laju pertumbuhan penduduk 1990-2000 adalah 1,35 (BPS, 2001). Dari total penduduk
tersebut, diperkirakan proporsi balita adalah 8.88%, usia reproduktif 15-49 tahun: 55,28%
(perempuan), dan 54,86% (laki-laki). (lihat table 1). Uraian berikut ini dikaitkan dengan analisis
situasi, issue serta kebijakan tentang kesehatan dan gizi. Informasi dari Sensus Penduduk ini
menjadi penting dalam upaya pemerintah, khususnya kesehatan dan gizi, dalam mentargetkan
kelompok rawan pada penduduk yang memerlukan intervensi.
Memasuki milenium baru, Indonesia dihadapi dengan perubahan ekonomi dan politik yang tidak
menentu. Walaupun tidak merata, secara umum Bank Dunia melaporkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang positif sebelum tahun 1997 (lihat figure 1: GNP per capita 1986-2000).
Pertumbuhan ekonomi ini berdampak pada penurunan angka kemiskinan dari 40% tahun 1976
menjadi 11% tahun 1996 (Figure 2); penurunan kematian bayi; penurunan kematian anak 0-4
tahun; dan 25% penurunan kematian ibu. Secara statistik hal ini ditunjang pula dengan
pencapaian keamanan pangan, dan pencapaian pelayanan kesehatan terutama pada ibu dan anak.

Krisis ekonomi memperlambat proses penurunan yang telah terjadi selama tiga dekade terkakhir.
Krisis ekonomi menurunkan nilai rupiah yang berakibat pada merosotnya pendapatan perkapita
(lihat figure 1) dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 11% tahun 1996 atau 34.5 juta orang
menjadi 16.64% tahun 1999 atau 47,9 juta orang (lihat figure 2). Dampak krisis ekonomi
ternadap kesehatan masyarakat dapat dilihat secara tidak langsung. Disadari secara luas bahwa
dampak krisis ekonomi berdampak negatif pada status kesehatan masyarakat, akan tetapi bukti
nyata secara statistik masih perlu dikaji agar tidak terjadi kontradiksi. Kenyataannya kajian
perubahan morbiditas dan mortalitas pada penduduk masih dilakukan terus menerus. Diperlukan
informasi data kesehatan dengan kualitas yang baik dari sistem pelayanan kesehatan dan juga
survei lainnya.
Berikut ini adalah kajian kecenderungan beberapa indikator kesehatan dan gizi tahun 1990-2000,
serta issue dan kebijakan untuk program kesehatan dan gizi pada masa mendatang.

B. Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh kesehatan dan gizi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A. MEMAHAMI KEMISKINAN
1. Berbagai Pengertian
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya
masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalani bentuk minimnya
kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masakini mereka tidak menikmati
fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia
pada jaman modern.

Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang
sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara
Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi
industri yang muncul di Eropah. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga
kerja pabrik yang sebefumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga
kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang
rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada masa
depresi dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat sebagai
negara adi daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan.
Bahkan Amerika Serikat telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain. Namun, di
balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari jumlah penduduknya
tergolong miskin.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta jiwa
penduduk yang tergolong miskin (Survai Sosial Ekonomi Nasional / Susenas 1998). Jumlah
penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di perdesaan.
Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis
ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di Perkotaan dan
15,3 juta jiwa perdesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin diperkirakan makin bertambah.

Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan
karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas,
penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan buatan terjadi karena
lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu
menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin.
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai aspek,
sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutarria akibat terbatasnya interaksi sosial
dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat
produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah mengantisipasi peluang. Dari
aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan,
dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fa,silitas dan kesempatan,
diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambil keputusan.

Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif
dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil
pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup
minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin
relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah
kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap
seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat
kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang membantunya.
Garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup minimum. Melalui pendekatan sosial masih sulit mengukur garis kemiskinan
masyarakat, tetapi dari indikator ekonomi secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan
tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Sementara ini yang
dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) untuk menarik garis kemiskinan adalah pendekatan
pengeluaran.

Menurut data BPS hasil Susenas pada akhir tahun 1998, garis kemiskinan penduduk perkotaan
ditetapkan sebesar Rp. 96.959 per kapita per bulan dan pendudukjniskin perdesaan sebesar Rp.
72.780 per kapita per bulan. Dengan perhitungah uang tersebut dapat dibelanjakan untuk
memenuhi konsumsi setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari, ditambah dengan pemenuhan
kebutuhan pokok minimum lainnya, seperti sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi. Angka
garis kemiskinan ini jauh sangat tinggi bila dibanding dengan angka tahun 1996 sebelum krisis
ekonomi yang hanya sekitar Rp. 38.246 per kapita per bulan untuk penduduk perkotaan dan Rp.
27.413 bagi penduduk perdesaan.
Banyak pendapat di kalangan pakar ekonomi mengenai defmisi dan klasifikasi kemiskinan ini.
Dalam bukunya The Affluent Society, John Kenneth Galbraith melihat kemiskinan di Amerika
Serikat terdiri dari tiga macam, yakni kemiskinan umum, kemiskinan kepulauan, dan kemiskinan
kasus. Pakar ekonomi lainnya melihat secara global, yakni kemiskinan massal/kolektif,
kemiskinan musiman (cyclical), dan kemiskinan individu.
Kemiskinan kolektif dapat terjadi pada suatu daerah atau negara yang mengalami kekurangan
pangan. Kebodohan dan eksploitasi manusia dinilai sebagai penyebab keadaan itu. Kemiskinan
musiman atau periodik dapat terjadi manakala daya beli masyarakat menurun atau rendah.
Misalnya sebagaimana, sekarang terjadi di Indonesia. Sedangkan, kemiskinan individu dapat
terjadi pada setiap orang, terutama kaum cacat fisik atau mental, anak-anak yatim, kelompok
lanjut usia.

2. Penanggulangan Kemiskinan
Bagaimana menangani kemiskinan memang menarik untuk disimak. Teori ekonomi mengatakan
bahwa untnk memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan peningkatan
keterampilan sumber daya manusianya, penambahan modal investasi, dan mengembangkan
teknologi. Melalui berbagai suntikan maka diharapkan produktifitas akan meningkat. Namun,
dalam praktek persoalannya tidak semudah itu. Lantas apa yang dapat dilakukan?
Program-program kemiskinan sudah banyak dilaksanakan di berbagai negara. Sebagai
perbandingan, di Amerika Serikat program penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk
meningkatkan kerja sama ekonomi antar negara bagian, memperbaiki kondisi permukiman
perkotaan dan perdesaan, perluasan kesempatan pendidikan dan kerja untuk para pemuda,
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi orang dewasa, dan pemberian bantuan kepada
kaum miskin usia lanjut. Selain program pemerintah, juga kalangan masyarakat ikut terlibat
membantu kaum miskin melalui organisasi kemasyarakatan, gereja, dan lain sebagainya.

Di Indonesia program-program penanggulangan kemiskinan sudah banyak pula dilaksanakan,


seperti: pengembangan desa tertinggal, perbaikan karnpung, gerakan terpadu pengentasan
kemiskinan. Sekarang pemerintah menangani program tersebut secara menyeluruh, terutama
sejak krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, melalui
program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS ini masyarakat sasaran ikut terlibat
dalam berbagai kegiatan.
Sedangkan, P2KP sendiri sebagai program penanggulangan kemiskinan di perkotaan lebih
mengutamakan pada peningkatan pendapatan masyarakat dengan mendudukan masyarakat
sebagai .pelaku utamanya melalui partisipasi aktif. Melalui partisipasi aktif mi dari masyarakat
miskin sebagai kelompok sasaran tidak hanya berkedudukan menjadi obyek program, tetapi ikut
serta menentukan program yang paling cocok bagi mereka. Mereka memutuskan, menjalankan,
dan mengevaluasi hasil dari pelaksanaan program. Nasib dan program, apakah akan terus
berlanjut atau berhenti, akan tergantung pada tekad dan komitmen masyarakat sendiri.
JAKARTA, 7 Agustus 2006 Anggaran penanggulangan kemiskinan pada kement;erian dan
lembaga (KL) di dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) pada 2007 sebesar Rp25,41 triliun
atau 11,05% dari total pagu indikatif KL (Rp230,3 triliun).

Deputi Bidang Pendanaan Kemenneg PPN/ Bappenas Lukita Dinarsyah Tuwo mengemukakan
dana tersebut merupakan rancangan awal pada RKP 2007. Selanjutnya, anggaran itu dibahas
Panitia Kerja (Panja) Panitia Anggaran DPR sekaligus mengakomodasi usulan KL jika ada
rencana mengubah pagu indikatif tersebut.
Penanggulangan kemiskinan menjadi prioritas pertama dari sembilan prioritas program Kerja
pemerintah pada,2007, Deputi Bidang Pendanaan Kemenneg PPN/ Bappenas Lukita Dinarsyah
Tuwo mengemukakan dana tersebut merupakan rancangan awal pada RKP 2007. Selanjutnya,
anggaran itu dibahas Panitia Kerja (Panja) Panitia Anggaran DPR sekaligus mengakomodasi
usulan KL jika ada rencana mengubah pagu indikatif tersebut.
Target program penanggulangan kemiskinan pada 2007 adalah mengurangi penduduk miskin
sampai 14,4% dari saat ini yang mencapai di atas 15%. Berdasarkan Data yang diperoleh dari
Bappenas menyebutkan dana akan disalurkan kepada masyarakat melalui beberapa KL.

Untuk peningkatan akses dan kualitas pendidikan dikelola Departemen Pendidikan Nasional dan
Departemen Agama senilai Rp 12,84 triliun. Pelayanan kesehatan keluarga miskin di Puskemas,
Rumah Sakit kelas III, daerah terpencil dan terisolasi, serta pelatihan teknis bidan dan tenaga
medis melalui Departemen Kesehatan senilai Rp5,751 triliun.
Rehabilitasi rumah nelayan, rakyat perbatasan, dan pulau kecil sebanyak 2.600 unit senilai Rp
108,4 miliar dikerjakan Kemenneg Perumahan Rakyat. Departemen Pekerjaan Umum mengelola
dana kemiskinan sebesar senilai Rp385 miliar.
Dana ini digunakan membangun rumah dan sarana prasarananya di pemukiman kumuh, desa
tradisional, nelayan, eks transmigrasi (150 kawasan), dan kawasan terpencil (25 kawasan),
perbaikan sarana dan prasarana air minum pada 150 desa miskin, desa rawan air, desa pesisir dan
terpencil.

3. SLT Bersyarat
Dana subsidi tunai langsung bersyarat direncanakan sebesar Rp4 triliun, disalurkan Dinas
Pendidikan Nasional sebanyak Rpl,8 triliun, dan KL yang dikoordinasikan Bappenas Rp2,2
triliun. Program perlindungan sosial dilaksanakan Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional senilai Rp285,9 triliun untuk program KB dan membuka akses informasi kesehatati
masyarakat.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan mengelola program penanggulangan kemiskinan senilai
Rp4 miliar untuk mengatasi masalah gender dan anak. Departemen Sosial melaksanakan
program pemberdayaan masyarakat miskin, dan memberikan bantuan jaminan sosial bagi
masyarakat korban atau masyarakat rentan terkena bencana senilaj Rp550 miliar. -.
Penanganan masalah gizi kurang dan rawan pangan dilaksanakan Departemen Kesehatan dengan
kebutuhan dana sebesar RpSOO miliar. Bentuk kegiatan member! gizi dan vitamin kepada
masyarakat.
Bagi Badan Pertanahan Nasional dianggarkan Rp218,l miliar untuk melayani masyarakat
mendapatkan kepastian hukum atas hak tanah. Kemenkop dan UKM sebesar Rpl55 miliar untuk
menyediakan sarana dan prasarana, pelatihan bagi pelaku usaha mikro.
Departemen Dalam Negeri meningkatkan kelembagaan dan keberadaan masyarakat pedesaan
dengan anggaran Rp860,3 miliar. Pada 2007 pemerintah juga berencana meningkatkan kapasitas
masyarakat miskin perkotaan melalui Departemen Pekerjaan. Umum dengan perkiraan anggaran
Rp221 miliar.

B. SDM Bangsa Dan Gizi Buruk


Salah satu masalah sosial yang dihadapi Indonesia adalah rendahnya status gizi masyarakat. Hal
ini mudah dilihat, misalnya dari berbagai masalah gizi, seperti kurang gizi, anemia gizi besi,
gangguan akibat kekurangan yodium, dan kurang vitamin A. Rendahnya status gizi jelas
berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Oleh karena, status gizi memengaruhi
kecerdasan, daya tahan tubuh terhadap penyakit, kematian bayi, kematian ibu, dan produktivitas
kerja.
Program gizi yang kini telah diimplementasikan oleh pemerintah mempunyai beberapa sasaran.
Pertama, menurunkan prevalensi gizi kurang pada anak balita menjadi 20 person. Kedua,
menurunkan prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada anak menjadi kurang dari
5 persen. Ketiga, menurunkan anemia gizi besi pada ibu hamil menjadi 40 persen. Keempat,
tidak ditemukannya kekurangan vitamin A (KVA) klinis pada anak balita dan ibu hamil. Kelima,
meningkatkan jumlah rumah tangga yang mengonsumsi garam beryodium menjadi 90 persen.
Keenam, tercapainya konsumsi gizi seimbang dengan rata-rata konsumsi energi sebesar 2.200
kkal per kapita per hari dan protein 50 gram per kapita per hari.

Dari diskusi terbatas pada Oktober 2005 di Bappenas, terungkap bahwa pada tahun 2003
prevalensi gizi kurang dan buruk adalah 27,5 persen, mengindikasikan belum tercapainya
sasaran (20 persen).
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) ini; jauh berbeda dengan data Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) 2001-2004. Dengan menggunakan acuan BB/U (berat badan menurut
umur), SKRT 2001 menemukan prevalensi gizi kurang sebesar 22,5 persen dan gizi buruk 8,5
persen. Adapun data Susenas menunjukkan prevalensi gizi kurang 19,8 persen dan gizi buruk 6,3
persen. Karena itu, diperlukan harmonisasi data dengan memerhatikan keunggulan dan
kelemahan pelaksanaan masing-masing survei.

Hasil survei nasional tahun 1980, 1990, 1996/1998, dan 2003 menunjukkan penurunan
prevalensi GAKY yang cukup berarti. Pada tahun 1980, prevalensi GAKY pada anak usia
sekolah adalah 30 persen, lalu turun menjadi 27,9 (1990), selanjutnya menjadi 9,8 persen
(1996/1998). Survei tahun 2003 menunjukkan, prevalensi ini sedikit meningkat menjadi 11,1
persen.
Usaha-usaha menurunkan prevalensi GAKY mungkin dapat dikatakan sudah on the right track.
Pencapaian target GAKY biasanya terkait cakupan konsumsi garam beryodium di rumah tangga.
Rumah tangga yang mengonsumsi garam beryodium secara cukup, hingga tahun 2003 adalah
73.2 persen. Jika dibandingkan dengan target tahun 2004 sebesar 90 persen, maka pencapaian
sasaran adalah 81,3 persen.
Prevalensi anemia gizi besi (AGB) pada ibu hamil turun dari 50,9 persen (1995) menjadi 40,1
persen (2001). Dengan sasaran yang ingin dicapai 40 persen, maka pencapaian target adalah
sebesar 99,75 persen. Intervensi yang dilakukan saat ini masih berkisar pada suplementasi atau
pemberian tablet besi. Strategi lain masih belum dioptimalkan seperti fortifikasi besi pada
makanan serta penyuluhan.

Banyak wanita hamil yang menderita anemia karena kebutuhan zat gizi umumnya meningkat,
tetapi konsumsi makanannya tidak memenuhi syarat gizi. Selain konsumsi makanan yang tidak
cukup, kondisi anemia juga diperburuk oleh kehamilan berulang dalam waktu singkat. Cadangan
gizi yang belum pulih akhirnya terkuras untuk keperluan janin yang dikandung berikutnya. Itulah
sebabnya, pengaturan jarak kehamilan menjadi penting untuk diperhatikan sehingga ibu siap
hamil kembali tanpa harus menguras cadangan gizi.
Meski dinyatakan bebas xerophthalmia (kurang vitamin A) pada tahun 1992, di Indonesia masih
dijumpai 50 persen dari anak balita mempunyai serum retinol kurang dari 20 meg/100 ml.
Tingginya proporsi anak balita dengan serum retinol kurang dari 20 meg/100 ml disertai pola
makanan anak balita yang belum seimbang menyebabkan anak balita di Indonesia berisiko dan
menjadi amat tergantung kapsul vitamin A dosis tinggi, terutama pada daerah-daerah dengan
tingkat kemiskinan tinggi.

Masalah kekurangan vitamin A adalah bentuk kelaparan tak kentara yang sering lepas dari
perhatian para pengambil kebijakan. WHO memperkirakan, pada tahun 1995 lebih kurang 250
juta anak balita di seluruh dunia menderita kurang vitamin A, 3 juta di antaranya dengan gejala
kerusakan mata yang menuju kebutaan. Kira-kira 10 person kasus orang buta di negara
berkembang disebabkan kekurangan vitamin A.
Mereka yang buta karena kurang vitamin A sekitar 70 persennya meninggal dalam waktu satu
tahun. Hasil penelitian Tarwotjo, Muhilal, dan Sommer di Sumatera tahun 1980-an yang
dipublikasikan di berbagai jurnal internasional mengungkap kaitan kekurangan vitamin A
dengan mortalitas dan morbiditas.
Angka kematian bayi terkait erat status gizi anak. Anak-anak penderita gizi kurang umumnya
memiliki kekebalan tubuh yang rendah dan hal ini menjadikan dirinya rawan terhadap infeksi
yang dapat menyebabkan kematian. Penyakit infeksi yang senantiasa mengintai bayi adalah diare
dan infeksi saluran pernapasan.

Dalam hal angka kematian bayi, Indonesia (31/1.000 kelahiran) hanya lebih baik dibandingkan
dengan Kamboja (97/1.000) dan Laos (82/1.000). Jika dibandingkan dengan negara-negara lain,
kita masih tertinggal. Singapura dan Malaysia memiliki angka kematian bayi amat rendah,
masing-masing 3 dan 7 per 1.000 kelahiran. Ini menunjukkan besarnya perhatian negara itu
terhadap masalah gizi dan kesehatan yang dihadapi anak-anak.
Berdasar Susenas 2002, konsumsi kalori rata-rata penduduk 1.985 kkal dan 54,4 gram protein.
Angka ini mendekati sasaran yang ditetapkan pemerintah. Namun, ketidakseimbangan di
wilayah masih terjadi karena banyak penduduk mengonsumsi kurang dari 70 persen dari
kecukupan gizi yang dianjurkan. Ini mengindikasikan, isu ketahanan pangan masih perlu
diwaspadai.
Pada tahun 1997, WHO Expert Consultation on Obesity memperingatkan tentang meningkatnya
masalah kegemukan dan obesitas di berbagai belahan dunia. Jika tidak ada tindakan untuk
mengatasi masalah pandemik ini, jutaan manusia di negara maju maupun berkembang akan
menghadapi risiko noncommunicable diseases (NCDs) seperti penyakit jantung koroner,
hipertensi, dan stroke.

Disadari, banyak negara tidak memiliki data akurat mengenai masalah kegemukan dan obesitas
di kalangan penduduknya. Hal ini disebabkan kurangnya prioritas untuk memahami masalah
kesehatan yang amat serius ini. Apalagi negara-negara berkembang lebih memfokuskan diri pada
dimensi masalah gizi kurang.
Berbagai indikator gizi itu menunjukkan, masih ada PR bagi pemerintah untuk memperbaiki
kualitas SDM kita. Persoalan kualitas SDM masih ditambah masalah-masalah moral, kejujuran,
kedisiplinan yang menjadikan bangsa Indonesia sulit bersaing dengan bangsa-bangsa lain.

1. Analisa Situasi Kesehatan Dan Gizi


Wanita, terutama wanita usia subur/WUS, bayi dan anak balita adalah kelompok rawan pada
penduduk yang selalu harus menjadi perhatian. Indonesia tidak mempunyai vital statistic yang
dapat dilakukan untuk menghitung angka kematian ibu. Biasanya dilakukan estimasi berdasarkan
survei yang ada seperti Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dan Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Dari analisis SDKI 1991, 1994 diperkirakan Angka
Kematian Ibu (AKI) adalah 390 per 100,000 kelahiran hidup untuk periode 1989-1994, dan 334
pada periode tahun 1992-1997. Sebelum tahun 1997, Pemerintah Indonesia mentargetkan
penurunan AKI ini dari 450 (1995) menjadi 225 (1999). Melihat variasi AKI di lima provinsi
dari analisis SKRT 1995 yang menunjukkan AKI antara 1025 (Irian), 796 (Maluku), 686 (Jawa
Barat), 554 (NTT) dan 248 (Jawa Tengah), diasumsikan AKI masih sangat bermasalah
memasuki milenium ketiga ini (Sumantri, et.al, 1999).

Untuk kelompok bayi dan anak yang dipantau perkembangannya, ada peningkatan yang cukup
baik, akan tetapi angkanya masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara tetangga, seperti
Malaysia, Filipina dan Thailand. Walaupun terjadi penurunan angka kematian bayi dan balita,
masih diperkirakan dari 4 juta anak yang lahir di Indonesia, 300.000 diantaranya meninggal
sebelum mencapai usia 5 tahun (Sumantri, 2000). Lihat figure 3. Angka kematian bayi dan
anak ini bervariasi cukup lebar antar provinsi. Dijumpai 23 kematian bayi per 1000 lahir hidup di
Jogjakarta dan 111 kematian bayi per 1000 lahir hidup di NTB, hal yang sama terjadi juga untuk
kematian balita (Sumantri, 2000).
Masalah gizi kurang, terutama pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas. Pada
tahun 1989, prevalensi gizi kurang pada balita adalah 37.5% menurun menjadi 24,7% tahun
2000. Walaupun terjadi penurunan prevalensi gizi kurang, yang menjadi pusat perhatian adalah
penderita gizi buruk pada anak balita, yang terlihat tidak ada penurunan semenjak tahun 1989.
Pada tahun 1989, prevalensi gizi buruk anak balita adalah 6.3%. Prevalensi ini meningkat
menjadi 11,56% pada tahun 1995 dan menurun menjadi 7,53% pada tahun 2000 (Direktorat Gizi,
2001). Berdasarkan hasil sementara SP 2000, maka diperkirakan jumlah penderita gizi buruk
pada balita adalah 1.520.000 anak, atau 4.940.000 anak menderita gizi kurang.

Masih tingginya prevalensi gizi kurang pada anak balita berhubungan dengan masih tingginya
bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Prevalensi BBLR ini masih berkisar antara 7
sampai 14% pada periode 1990-2000. (Lihat figure 5). Akibat dari BBLR dan gizi kurang pada
balita berkelanjutan pada masalah pertumbuhan anak usia masuk sekolah. Berdasarkan hasil
pemantauan tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS), diketahui bahwa prevalensi anak
pendek tahun 1994 adalah 39,8%. Prevalensi ini turun menjadi 36,1% pada tahun 1999. Anak
yang terpantau dari TBABS adalah anak usia 5-9 tahun. Jika jumlah anak 5-9 tahun menurut SP
2000 diperkirakan 21.777.000, maka 7.800.000 anak usia baru masuk sekolah mengalami
hambatan dalam pertumbuhan. Masalah gizi kurang pada anak berkelanjutan pada wanita usia
subur, yang akan melahirkan anak dengan risiko BBLR disertai dengan masalah anemia dan gizi
mikro lainnya. Dari kajian Susenas, proporsi wanita usia 15-49 tahun dengan Lingkar Lengan
Atas (LILA <23.5 cm) adalah 24,9% tahun 1999 dan 21,5% pada tahun 2000 (Lihat Figure 6 dan
7). Proporsi ini sama dengan 13.316.561 wanita usia subur diperkirakan mempunyai risiko
kurang energi kronis. Terlihat juga bahwa wanita usia subur, khususnya pada kelompok yang
paling produktif: usia 15-19, 20-24 dan 25-29 tahun, mempunyai proprosi LILA <23.5% yang
tertinggi.
Masalah gizi lainnya yang cukup penting adalah masalah gizi mikro, terutama untuk kurang
yodium dan zat besi. Pada tahun 1980, prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GARY) pada
anak usia sekolah adalah 30%, prevalensi ini menurun menjadi 9,8% pada tahun 1998. Walaupun
terjadi penurunan yang cukup berarti, masih dianggap masalah kesehatan masyarakat, karena
prevalensi di atas 5%. Prevalensi tersebut bervariasi antar kecamatan, masih dijumpai kecamatan
dengan prevalensi GAKY di atas 30% (daerah endemik berat). Berdasarkan prevalensi tersebut,
diperkirakan 10 juta penduduk menderita GAKY, dan kemungkinan 9000 bayi lahir dengan
kretin. Masalah berikutnya adalah anemia gizi akibat kurang zat besi. Kajian Survei Kesehatan
Rumah Tangga (1995) menunjukkan bahwa prevalensi anemi pada ibu hamil adalah 50,9%, pada
wanita usia subur 39,5%, pada remaja putri 57,1%, dan pada balita 40,5%.

Faktor penyebab dari tingginya kematian ibu, bayi dan anak ini tidak lain disebabkan karena
belum memadainya pelayanan kesehatan masyarakat dan keadaan gizi, diluar faktor pencetus
lainnya yang memperkuat masalah ini seperti kemiskinan dan tingkat pendidikan. Akibat yang
terlihat dari kemiskinan adalah masih dijumpai hampir 50% rumah tangga mengkonsumsi
makanan kurang dari 70% terhadap angka kecukupan gizi yang dianjurkan (2200
Kkal/kapita/hari; 48 gram protein/kapita/hari). Kita ketahui Human Development Index pada
tahun 2000 yang dilaporkan oleh UNDP adalah 109 untuk Indonesia, tertinggal jauh dari
Malaysia, Filipina dan Thailand. Masih tingginya masalah gizi, akan berpengaruh nyata terhadap
tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita. Rendahnya kondisi gizi akan berakibat pada
rawannya penyakit infeksi dan semakin tinggi pengeluaran terhadap kesehatan. Krisis ekonomi
yang berkepanjangan akan berdampak lebih nyata pada masalah kesehatan dan gizi penduduk.

2. Issue Strategis, Strategi Dan Kebijakan


Memasuki milenium ketiga, pelayanan kesehatan masih difokuskan pada pelayanan pada orang
sakit dan kurang gizi. Rendahnya alokasi yang diberikan untuk pelayanan kesehatan masyarakat
memperburuk situasi yang ada. Indonesia masih dihadapi pada rendahnya rasio dokter dan
tenaga
kesehatan lainnya untuk memberikan pelayanan kesehatan, ditambah fasilitas kesehatan (rumah
sakit dan puskesmas) yang juga masih jauh dari optimal.
Semenjak terjadi krisis ekonomi 1997, banyak upaya yang dilakukan untuk mempertahankan
situasi kesehatan dan gizi masyarakat, terutama pada kelompok rawan. Jaring Pengaman Sosial
Bidang Kesehatan (JPS-BK) yang mulai dioperasionalkan tahun 1998 melakukan upaya
pelayanan kesehatan dasar, kesehatan ibu/safemotherhood dan gizi, terutama untuk penduduk
miskin. Upaya yang telah dilakukan antara lain:

1. Mentargetkan dan memberikan pelayanan kesehatan khusus pada keluarga miskin yang
membutuhkan. Pemilihan keluarga miskin ini dilakukan menurut indikator yang telah disepakati
bersama.
2. Memberikan pelayanan khusus seperti pemberian makanan tambahan pada balita dan ibu hamil
kurang gizi.
3. Memberikan pelayanan kebidanan pada ibu hamil dengan memberdayakan bidan di desa
4. Melakukan revitalisasi Posyandu agar pemantauan pertumbuhan pada bayi dan balita
tetap dilaksanakan.
5. Melakukan advokasi pada pemerintah daerah setempat untuk selalu mentargetkan dengan
alokasi yang memadai untuk lokasi yang berisiko tinggi masalah gizi dan kesehatan.
6. Melakukan promosi untuk peningkatan pendidikan dan peningkatan pelayanan kesehatan dasar.
7. Mengembangkan program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat.
8. Mengembangkan dan memperkuat sistem monitoring dan evaluasi (surveilans) untuk
kepentingan daerah, terutama untuk memperbaiki kebijakan daerah terhadap pelayanan
kesehatan dan gizi.

Mempelajari permasalahan yang ada dan upaya yang telah dilakukan, Indonesia mencanangkan
Indonesia Sehat 2010, dengan menetapkan issue strategis yang menjadi titik tolak kebijakan
intervensi atau program yang diperlukan pada saat ini dan masa yang akan datang. Issue
strategisnya adalah sebagai berikut1:
1. Kerjasama lintas sektor
Perubahan perilaku masyarakat untuk hidup sehat dan peningkatan mutu lingkungan sangat
berpengaruh terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Selain itu, masalah kesehatan
dan gizi merupakan masalah nasional yang tidak dapat terlepas dari berbagai kebijakan dari
sektor lain. Peningkatan upaya dana manajemen pelayanan kesehatan tidak dapat terlepas dari
peran sektor yang membidangi pembiayaan, pemerintahan dan pembangunan daerah,
ketenagaan, pendidikan, perdagangan dan social budaya. Dengan demikian kerja sama lintas
sektor yang masih belum berhasil pada masa lalu perlu lebih ditingkatkan.

2. Sumber daya manusia kesehatan


Mutu sumber daya manusia kesehatan sangat menentukan keberhasilan upaya dan manajemen
kesehatan. Sumber daya manusia kesehatan yang bermutu harus selalu mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, dan berusaha untuk mengusai IPTEK yang mutakhir. Disadari
bahwa jumlah sumber daya manusia kesehatan yang mengikuti perkembangan IPTEK dan
menerapkan nilai-nilai moral dan etika profesi masih terbatas. Adanya kompetisi dala era pasar
bebas sebagai akibat dari globalisasi harus diantisipasi dengan peningkatan mutu dan
profesionalisme sumber daya manusia kesehatan. Hal ini diperlukan tidak saja untuk
meningkatkan daya saing sektor kesehatan, tetapi juga untuk membantu peningkatan daya saing
sektor lain, antara lain pengamanan komoditi bahan makanan dan makanan jadi.

3. Mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan


Dipandang dari segi fisik persebaran sarana pelayanan kesehatan baik Puskesmas, Rumah sakit,
maupun sarana kesehatan lainnya termasuk sarana penunjang upaya kesehatan telah dapat
dikatakan merata keseluruh wilayah Indonesia. Akan tetapi persebaran fisik tersebut masih
belum diikuti sepenuhnya dengan peningkatan mutu pelayanan dan keterjangkauan oleh seluruh
lapisan masyarakat. Mutu pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh kualitas sarana fisik,
jenis tenaga yang tersedia, obat, alat kesehatan dan sarana penunjang lainnya, proses pemberian
pelayanan, dan kompensasi yang diterima serta harapan masyarakat pengguna. Faktor-faktor
tersebut di atas merupakan prakondisi yang harus dipenuhi untuk peningkatan mutu dan
keterjangkauan pelayanan kesehatan. Peningkatan pelayanan dilakukan melalui peningkatan
mutu dan profesionalisme sumber daya kesehatan. Sedangkan harapan masyarakat pengguna
dilakukan melalui peningkatan pendidikan umum, penyuluhan kesehatan, serta komunikasi yang
baik antara pemberi pelayanan kesehatan dan masyarakat.

4. Prioritas, sumber daya pembiayaan, dan pemberdayaan masyarakat


Selama ini upaya kesehatan masih kurang mengutamakan atau memprioritaskan masalah
kesehatan yang dihadapi masyarakat. Selain itu permasalahan kesehatan yang diderita oleh
masyarakat banyak masih belum diikuti dengan pembiayaan kesehatan yang memadai. Disadari
bahwa keterbatasan dana pemerintah dan masyarakat merupakan ancaman yang besar bagi
kelangsungan program pemerintah serta ancaman pencapaian derajat kesehatan yang optimal.
Diperlukan upaya yang intensif untuk meningkatkan sumber daya pembiayaan dari sektor publik
yang diutamakan untuk kegiatan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta pencegahan
penyakit. Ketersediaan sumber daya yang terbatas, mengharuskan adanya upaya untuk
meningkatkan peran serta sektor swasta khususnya dalam upaya yang bersifat penyembuhan dan
pemulihan. Upaya tersebut dilakukan melalui pemberdayaan sektor swasta agar mandiri,
peningkatan kemitraan yang setara dan saling menguntungkan antara sektor publik dan swasta
sehingga sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal.
Sementara itu, issue strategis bidang gizi, karena berhubungan dengan pangan, keluarga dan
anak, maka hal yang berkaitan dengan:

1. Ketahanan pangan tingkat rumah tangga


2. Pengembangan agribisnis
3. Pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan yang berkaitan erat dengan
upaya peningkatan daya beli dan akses terhadap pangan.
4. Pola pengasuhan yang tepat dan bermutu untuk anak

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka strategi pembangunan kesehatan untuk mewujudkan
Indonesia Sehat 2010 adalah:

1. Pembangunan Nasional Berwawasan Kesehatan


2. Profesionalisme
3. Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat
4. Desentralisasi

Strategi program gizi mengikuti strategi pembangunan kesehatan dan juga memfokuskan pada:

1. Pemberdayaan keluarga dan masyarakat


2. Pemantapan kelembagaan pangan dan gizi
3. Pemantapan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
4. Advokasi dan mobilisasi social
5. Peningkatan mutu dan cakupan pelayanan gizi melalui penerapan paradigma sehat

Berdasarkan strategi tersebut, maka tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan


kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan mayarakat yang optimal. Dan kebijaksanan pembangunan kesehatan untuk
mewujudkan tujuan tesebut adalah:

1. Pemantapan kerja sama lintas sektoral


2. Peningkatan kemandirian masyarakat dan kemitraan swasta
3. Peningkatan perilaku hidup sehat
4. Peningkatan lingkungan sehat
5. Peningkatan upaya kesehatan
6. Peningkatan sumber daya kesehatan
7. Peningkatan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan
8. Peningkatan IPTEK
9. Peningkatan derajat kesehatan

Sejalan dengan kebijakan pembangunan kesehatan, telah dibuat pula rencana program aksi
pangan dan gizi yang juga merupakan penjabaran Propenas, yaitu:

1. Pengembangan kelembagaan pangan dan gizi


2. Pengembangan tenaga pangan dan gizi
3. Peningkatan ketahanan pangan
4. Kewaspadaan pangan dan gizi
5. Pencegahan dan penanggulangan gizi kurang dan gizi lebih
6. Pencegahan dan penanggulangan kurang zat gizi mikro
7. Peningkatan perilaku sadar pangan dan gizi
8. Pelayanan gizi di Institusi
9. Pengembangan mutu dan keamanan pangan
10. Penelitian dan pengembangan

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Indonesia Sehat 2010 merupakan goal yang akan dicapai. Hal ini tidak mungkin dicapai jika
peningkatan kualitas dan akses masyarakat terhadap kesehatan dan gizi tidak menjadi perhatian
utama. Alokasi kesehatan yang masih sekitar 3% tentunya tidak berarti untuk mencapai tujuan
ini. Goal ini juga mengarahkan kita semua untuk mendukung upaya berkaitan dengan
peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan dan kualitas hidup. Diperlukan penjabaran
Propenas dan Propeda kedalam bentuk program aksi yang lebih konkrit. Fokus perhatian
diutamakan pada keluarga miskin di wilayah kumuh perkotaan dan pedesaan. Selain itu
peningkatan kesehatan dan gizi masyarakat tidak akan terlepas juga dari kontribusi
komprehensif dan pelayanan profesional yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat secara
keseluruhan.
Rekomendasi yang diperlukan tentunya berkaitan dengan:

1. paradigma sehat yang berlandaskan pada visi dan misi pembangunan kesehatan nasional;
2. revitalisasi pada infrastruktur yang berkaitan dengan upaya desentralisasi;
3. alokasi kesehatan dan gizi yang optimal;
4. memperkuat aspek teknologi bidang kesehatan dan gizi;
5. memperkuat aspek pelayanan kesehatan dan gizi secara profesional;
6. mengembangkan JPKM;
7. memperkuat sistem pemantauan dan evaluasi program.

Pada akhirnya kajian terus menerus berkaitan dengan kependudukan sangat diperlukan, terutama
pada kelompok sasaran yang menjadi prioritas dalam pembangunan kesehatan dan gizi.
Peningkatan derajat kesehatan dan gizi penduduk merupakan investasi yang besar bagi negara.

Anda mungkin juga menyukai