Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pemanasan global dan perubahan iklim saat ini menjadi permasalahan

yang, perlahan namun pasti, mengancam ekosistem di seluruh dunia. Shah (2013)

menyatakan bahwa pemanasan global dan perubahan iklim mengacu pada

kenaikan suhu udara secara global yang disebabkan oleh efek rumah kaca

(greenhouse effect). Efek ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca seperti CO2.

Pemanasan global memiliki banyak dampak negatif, seperti perubahan

suhu global yang sangat cepat, pola cuaca yang ekstrem, dan kenaikan tingkat

permukaan laut (Shah, 2013). Pemanasan global menjadi lebih cepat terjadi

dikarenakan aktivitas manusia, utamanya industri, yang menyebabkan lebih

banyak emisi gas rumah kaca terlepas ke atmosfer. The World Meteorological

Organization (WMO) dalam Shah (2013), menyatakan bahwa jumlah jumlah gas

rumah kaca di atmosfer mencapai jumlah terbanyak pada 2012 dan memiliki tren

yang terus meningkat. 80% peningkatan ini disebabkan oleh gas karbon dioksida

yang disebabkan oleh emisi bahan bakar fosil.

Lebih lanjut, Shah (2013) menyatakan bahwa negara-negara berkembang

akan mengalami dampak perubahan iklim yang paling parah. Hal tersebut ia

nyatakan sebagai berikut.

It has been known for some time that developing countries will be
affected the most. Reasons vary from lacking resources to cope,
compared to developed nations, immense poverty, regions that many
developing countries are in happen to be the ones where severe
weather will hit the most, small island nations area already seeing sea
level rising, and so on.

1
Chartered Institute of Management Accountants (CIMA, 2012)

menyatakan bahwa perubahan iklim memberikan risiko besar terhadap

perekonomian global, bahkan berpotensi menyusutkan outputnya sebesar 20%.

Oleh karena efeknya yang mirip terhadap habitat serta ketersediaan dan konsumsi

sumber daya, setiap organisasi akan terkena dampak perubahan iklim tersebut.

Menurut penelitian yang diselenggarakan oleh Carbon Trust dan McKinsey pada

tahun 2008, penanggulangan perubahan iklim dapat memberikan kesempatan bagi

perusahaan untuk meningkatkan nilainya hingga 80%, akan tetapi, 65% dari

nilainya dapat rusak jika perusahaan lambat dalam menghadapi perubahan iklim

(CIMA, 2012).

Dalam kaitannya dengan perubahan lingkungan dan dampaknya bagi

perusahaan, CIMA melakukan sebuah survei internasional tentang akuntansi

keberlanjutan dengan melibatkan hampir 900 praktisi keuangan dan profesional di

bidang keberlanjutan pada tahun 2012. Dalam survei tersebut, dinyatakan bahwa

salah satu peran akuntan managemen dalam membantu perusahaan menghadapi

perubahan iklim adalah dengan mengadakan pelaporan keberlanjutan, baik yang

bersifat eksternal maupun internal. Khusus untuk pelaporan eksternal, tercatat

bahwa 59% responden menyatakan bahwa praktisi keuangan, seperti akuntan

managemen, telah dilibatkan dalam pelaporan keberlanjutan. Adapun 21%

responden menyatakan bahwa praktisi keuangan dapat dilibatkan di masa datang

(CIMA, 2012).

Pelaporan keberlanjutan eksternal sendiri telah cukup berkembang di

Indonesia. Salah satu dorongan yang menyebabkan perkembangan pesat ini tidak

lain adanya Indonesia Sustainability Reporting Award (ISRA) yang

2
diselenggarakan oleh National Center for Sustainability Reporting (NCSR) sejak

tahun 2005. Jika pada tahun 2005 tercatat hanya satu perusahaan yang membuat

laporan keberlanjutan, pada tahun 2012, atau sewindu setelah penyerahan ISRA

yang pertama kali, tercatat telah ada 40 perusahaan di Indonesia yang membuat

laporan keberlanjutan sebagai sarana komunikasi kegiatan tanggung jawab sosial

dan lingkungannya kepada publik (isra.ncsr-id.org).

Terdapat dua teori yang mendasari hubungan antara kinerja lingkungan

dengan pengungkapan informasi lingkungan (Clarkson, 2008). Menurut Clarkson,

teori pengungkapan sukarela (voluntary disclosure theory) memprediksi bahwa

terdapat hubungan positif antara kinerja lingkungan dan tingkat pengungkapan

informasi lingkungan sukarela. Hal ini dikarenakan perusahaan dengan kinerja

lingkungan yang lebih baik akan menyatakan diri mereka dengan menunjukkan

indikator kinerja lingkungan yang bersifat objektif yang tidak dapat ditiru oleh

perusahaan dengan kinerja lingkungan buruk. Adapun teori sosial politik (socio-

political theory) memprediksi adanya hubungan negatif antara kinerja lingkungan

dengan tingkat pengungkapan informasi lingkungan sukarela. Termasuk di dalam

teori sosial politik adalah ekonomi politis (political economy), teori legitimasi

(legitimacy theory), dan teori pemegang pancang (stakeholder theory).

Baik teori pengungkapan sukarela maupun teori sosial politik sama-sama

terkait dengan hubungan antara kinerja lingkungan perusahaan dengan

pengungkapan informasi lingkungannya. Hal ini konsisten dengan hasil penelitian

Toms (2002) yang menyatakan bahwa pengungkapan informasi lingkungan

berperan sebagai pemberi sinyal bagi pemegang pancang dan mampu

meningkatkan reputasi perusahaan. Perbedaannya, teori sosial politik lebih

3
mengacu pada apa yang dikatakan perusahaan, alih-alih apa gambaran

mengenai kinerja lingkungan perusahaan yang sebenarnya (Clarkson, 2008).

Berdasarkan teori legitimasi, perusahaan yang menghadapi tekanan lebih

besar, seperti perusahaan dengan kinerja lingkungan buruk, memiliki

kecenderungan untuk lebih banyak mengungkapkan informasi lingkungannya

(Patten, 2002). Hal ini dikarenakan pengungkapan informasi lingkungan

dipengaruhi oleh tekanan publik dalam lingkungan sosial dan politik (Cho dan

Patten, 2007). Perusahaan-perusahaan tersebut menggunakan pengungkapan

untuk mengatasi paparan tersebut. Dengan demikian, pengungkapan informasi

lingkungan berfungsi sebagai variabel pemediasi antara kinerja lingkungan

perusahaan dengan reputasi perusahaan tersebut (Cho, 2012).

Seiring dengan bertambah parahnya permasalahan lingkungan seperti

perubahan iklim, pemegang pancang memberikan tekanan yang lebih besar pada

perusahaan untuk semakin peduli dengan lingkungan. CIMA (2012), antara lain

mengungkapkan bahwa kerusakan iklim menyebabkan ekspektasi investor

berubah: mereka mulai menginginkan pelaporan yang lebih bersih dan handal

tentang risiko dan biaya terkait perubahan lingkungan. Adapun karyawan dan

konsumen ingin mengetahui komitmen dan ketegasan perusahaan dalam hal

aktivitas terkait perubahan iklim. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan,

apalagi yang kinerja lingkungannya buruk dan beroperasi di industri yang sensitif

terhadap lingkungan, akan memiliki kecenderungan lebih besar untuk

melegitimasi aksinya agar reputasi perusahaan tersebut tidak jatuh.

Penelitian tentang teori sosial politik, khususnya teori legitimasi, telah

banyak berkembang. Studi pertama yang meneliti hubungan kinerja lingkungan

4
dan pengungkapan informasinya dilakukan oleh Ingam dan Frazier pada tahun

1980 (Patten, 2002). Patten menguraikan kekurangan penelitian-penelitian

terdahulu yang mengakibatkan tidak adanya hubungan signifikan antara kinerja

lingkungan dan pengungkapan informasi lingkungan. Dengan mengatasi

kekurangan-kekurangan tersebut, Patten melakukan sebuah penelitian yang

menyajikan bukti empiris bagi keberadaan teori legitimasi. Selanjutnya, studi

tentang teori legitimasi dalam pengungkapan informasi lingkungan banyak

dilakukan dalam bentuk archival study, yaitu penelitian yang mendasarkan diri

pada data empiris yang didapat di dunia nyata dan tidak dilakukan dalam

lingkungan buatan (Alewine, 2010). Alewine memberikan overview penelitian-

penelitian tersebut, sebelum akhirnya menyarankan penggunaan eksperimen sebab

archival study hanya dapat memberikan bukti korelasi antara dua variabel dan

tidak dapat menunjukkan hubungan kausalitas ataupun alasan mengapa sebuah

korelasi antarvariabel dapat muncul.

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, penelitian ini dibuat dengan

tujuan untuk membuktikan hubungan antara pengungkapan informasi lingkungan

terhadap reputasi perusahaan dengan metode eksperimen, alih-alih archival study

yang sudah banyak dilakukan. Eksperimen mempelajari proses kognitif dalam

hubungan antara pengungkapan informasi lingkungan dan reputasi perusahaan.

Selanjutnya, eksperimen akan dapat meningkatkan validitas internal teori

legitimasi dengan memberikan bukti empiris mengenai hubungan kausalitas

antara pengungkapan infomasi lingkungan dan reputasi perusahaan (Cho, 2012).

Dengan demikian, penelitian ini tidak lagi berfokus pada hubungan antara kinerja

5
perusahaan dengan tingkat pengungkapan, tetapi, lebih lanjut, berfokus pada

hubungan antara tingkat pengungkapan dengan reputasi perusahaan.

1.2 Perumusan Masalah

Penelitian ini akan berfokus lebih dalam mengenai hubungan kausalitas

antara pengungkapan informasi lingkungan dengan reputasi perusahaan dalam

kaitannya dengan teori legitimasi. Sesuai penjabaran pada bagian pendahuluan,

rumusan masalah dalam penelitian ini berfokus pada apakah terdapat perbedaan

signifikan antara reputasi perusahaan yang melakukan pengungkapan informasi

lingkungan yang bersifat soft disclosure dengan perusahaan yang tidak melakukan

pengungkapan informasi lingkungan, jika kinerja kedua perusahaan sama

buruknya.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris efektivitas

pengungkapan informasi lingkungan yang bersifat soft disclosure untuk

menyelamatkan reputasi perusahaan yang kinerjanya buruk. Hal tersebut

dinyatakan dalam beda signifikan yang terdapat dalam reputasi perusahaan yang

melakukan pengungkapan informasi lingkungan yang bersifat soft disclosure

dengan yang tidak.

1.4 Metoda Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metoda eksperimen.

Merangkum penjelasan Nahartyo (2012), eksperimen adalah desain riset yang

6
melibatkan prosedur manipulasi dan melihat dampaknya pada perbedaan variabel

dependen. Lebih khusus, berdasarkan jenis eksperimen menurut Nahartyo,

penelitian ini digolongkan termasuk ke dalam eksperimen tulen, yaitu jenis

eksperimen di mana manipulasi dilakukan secara random kepada grup-grup

subjek.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dijelaskan sebagai berikut.

a) Cho (2012) menyatakan bahwa, dalam kaitannya dengan teori legitimasi,

pengungkapan informasi lingkungan dapat menghambat perbaikan kinerja

lingkungan perusahaan, sebab perusahaan cukup membuat laporan

lingkungan yang baik untuk melegitimasi kinerja lingkungannya yang

buruk. Apabila penelitian ini mampu menyajikan bukti empiris bahwa

pengungkapan informasi lingkungan oleh perusahaan yang kinerja

lingkungannya buruk memang menyebabkan reputasi perusahaan tersebut

berbeda secara signifikan bila dibandingkan dengan perusahaan sejenis

yang tidak melakukan pengungkapan informasi lingkungan, pemerintah

dan pihak regulator terkait pelaporan keuangan perlu melakukan tindakan

proaktif untuk mendukung perbaikan kinerja lingkungan, lebih dari

pengungkapan informasi lingkungan perusahaan. Hal tersebut dapat

dilakukan misalnya dengan mengharuskan perusahaan mengungkapkan

informasi lingkungan yang tidak hanya menunjukkan komitmen, tetapi

sungguh-sungguh merepresentasikan kinerja lingkungannya.

7
b) Penelitian ini memberikan bukti empiris yang menguatkan validitas

internal teori legitimasi dengan menunjukkan tidak hanya terdapat

hubungan asosiasi antara kinerja lingkungan, pengungkapan informasi

lingkungan, dan reputasi perusahaan, tetapi juga bahwa pengungkapan

informasi lingkungan menyebabkan reputasi perusahaan meningkat.

c) Pemahaman mengenai proses kognitif dalam pengungkapan informasi

lingkungan akan membantu pemegang pancang untuk memahami

informasi apa saja yang relevan untuk pengambilan keputusan terkait

lingkungan. Hal ini menjadi lebih penting ketika terdapat asimetri

informasi yang memudahkan perusahaan mengungkapan informasi retoris

yang tidak menunjukkan kinerja lingkungan yang sebenarnya. Setelah

memahami informasi apa yang hanya digunakan untuk melegitimasi

perilaku perusahaan, pemegang pancang dapat menuntut informasi yang

lebih handal dan mencerminkan kinerja sebenarnya. Dengan demikian, di

masa datang, perusahaan-perusahaan akan menjadi harus untuk

melakukan perbaikan kinerja lingkungan sebab laporan yang bersifat

retoris tidak lagi cukup untuk meningkatkan reputasi perusahaan.

d) Pembuktian dalam penelitian ini dapat membantu akuntan managemen

untuk memahami informasi seperti apa yang dapat meningkatkan

kehandalan laporan lingkungan, yaitu dengan memahami informasi apa

yang benar-benar mencerminkan kinerja perusahaan dan informasi apa

yang hanya menjadi sarana legitimasi atau mencerminkan apa yang

dikatakan perusahaan. Jika di masa datang tuntutan pemegang pancang

8
terhadap informasi lingkungan yang handal meningkat, akuntan

managemen akan dapat memenuhi kebutuhan tersebut.

e) Perbaikan pemahaman pemegang pancang, akuntan managemen, dan

pemerintah akan berdampak positif pada perilaku managemen, sebab

managemen harus melakukan perbaikan kinerja lingkungan yang nyata

agar dapat melakukan pengungkapan informasi lingkungan. Dengan

demikian, perbaikan kondisi lingkungan akan terjadi, begitu pula dengan

peningkatan kehandalan laporan keuangan.

Anda mungkin juga menyukai