Anda di halaman 1dari 23

TUGAS AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

PENENTUAN HARGA PELAYANAN PUBLIK

Dibuat Oleh :

RA Riski Fera Susanti 01022681620003


Sari Mustika Widiyastuti 01022681620009
Tiwi Aliffiani TH 01022681620012
Rahman Maulidin 01022681620045

Dosen Pengasuh :
Dr. Saadah Siddik, M.Si, Ak

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS EKONOMI
2017

0
I. PENDAHULUAN

Pemerintah memiliki tugas pokok dalam menjalankan pemerintahan salah satunya


adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam memberikan pelayanan publik,
pemerintah memerlukan sumber pembiayaan. Pembiayaan ini dapat diperoleh dari pajak dan
pembebanan langsung kepada masyarakat sebagai konsumen jasa publik. Jika pelayanan
publik dibiayai dengan pajak, maka setiap wajib pajak harus membayar tanpa memperdulikan
apakah dia menikmati secara langsung jasa publik tersebut atau tidak. Karena pajak
merupakan iuran masyarakat kepada negara yang tidak memiliki jasa timbal balik
(kontraprestasi) individual yang secara langsung dapat dinikmati oleh pembayar pajak. Jika
pelayanan publik dibiayai melalui pembebanan langsung, maka yang membayar hanyalah
mereka yang memanfaatkan jasa pelayanan publik tersebut, sedangkan yang tidak
menggunakan tidak diwajibkan untuk membayar.
Kewajiban aparatur negara mengikuti kewajiban negara dalam menyelenggarakan tugas
negara seperti yang diamanatkan UUD 1945, GBHN dan UU APBN adalah memberikan
pelayanan kepada masyarakat (public service) dalam bentuk penyediaan jasa dan barang
secara prima. Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat/publik, pemerintah dapat
dibenarkan menarik tarif untuk pelayanan tertentu baik secara langsung atau tidak langsung
melalui perusahaan milik pemerintah apakah BUMD atau BUMN dan akan memberikan tarif
pelayanan publik yang diwujudkan dalam bentuk retribusi, pajak dan pembebanan tarif jasa
langsung kepada masyarakat sebagai konsumen jasa publik (charging for sevice).

II. PEMBAHASAN

2.1 Pelayanan Publik Yang Dapat Dijual


Dalam memberikan memberikan pelayanan publik, pemerintahan dapat dibenarkan
menarik tarif untuk pelayanan tertentu baik secara langsung atau tidak langsung melalui
perusahaan milik pemerintah. Beberapa pelayanan publik yang dapat dibebankan tarif
pelayanan misalnya :
1. Penyediaan air bersih.
2. Transportasi publik.
3. Jasa pos dan telekomunikasi.
4. Energy dan listrik.
5. Perumahan rakyat.
6. Fasilitas rekreasi (pariwisata).
7. Pendidikan.
8. Jalan tol.
9. Irigasi.
10. Jasa pemadaman kebakaran.

1
11. Pelayanan kesehatan.
12. Pengolahan sampah/limbah.

Pembebanan tarif pelayanan publik kepada konsumen dapat dibenarkan karena


beberapa alasan, yaitu adanya barang privat dan barang publik, efisiensi ekonomi dan prinsip
keuntungan. Penjelasan masing-masing alasan akan dijelaskan dibawah ini :
1. Adanya Barang Privat Dan Barang Publik
Terdapat 3 jenis barang yang menjadi kebutuhan masyarakat, yaitu :

a. Barang privat, yaitu barang-barang kebutuhan masyarakat yang manfaat barang atau
jasa tersebut hanya dinikmati secara individual oleh yang membelinya, sedangkan yang
tidak mengkonsumsi tidak dapat menikmati barang/jasa tersebut. Contoh : makanan,
listrik dan telepon.
b. Barang publik, yaitu barang-barang kebutuhan masyarakat yang manfaatnya dinikmati
oleh seluruh masyarakat secara bersama-sama. Contoh : pertahanan nasional,
pengendalian penyakit, jasa polisi.
c. Campuran antara barang privat dan publik. Terdapat beberapa barang dan jasa yang
merupakan campuran antara barang privat dan barang publik. Karena, meskipun
dikonsumsi secara individual seringkali masyarakat secara umum juga membutuhkan
barang dan jasa tersebut. Contoh : pendidikan, pelayanan kesehatan, transportasi publik,
dan air bersih. Barang barang tersebut sering disebut dengan merit good karena
semua orang membutuhkannya akan tetapi tidak semua orang bisa mendapatkan barang
dan jasa tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan barang tersebut pemerintah dapat
menyediakannya secara langsung (direct publik privision), memberikan subsidi, atau
mengontrakkan ke pihak swasta. Sebagai contoh pendidikan, meskipun pemerintah
bertanggungjawab untuk menyediakan pendidikan, namun bukan berarti barang tersebut
sebagai pure publik good yang harus dibiayai semuanya dengan pajak dan dilaksanakan
sendiri oleh pemerintah. Dapat saja sektor swasta terlibat dalam penyediaan pelayanan
pendidikan tersebut.

Pada tataran praktek, terdapat kesulitan membedakan barang publik dan barang
barang privat. Beberapa sebab kesulitan membedakan barang publik dengan barang privat
tersebut antara lain :

1. Batasan antara barang publik dan barang privat sulit untuk ditentukan.
Barang-barang yang memiliki sifat sebagai barang privat, seperti transportasi atau
perumahan yang memadai dianggap sebagai kebutuhan dasar manusia. Apakah akses
terhadapnya harus dibatasi hanya bagi mereka yang mampu membayar? Padahal

2
mekanisme distribusi pelayanan public harus dapat dinikmati oleh setiap orang, baik orang
kaya maupun miskin.
2. Terdapat barang dan jasa yang merupakan barang/jasa publik, tapi dalam penggunaannya
tidak dapat dihindari keterlibatan beberapa elemen pembebanan langsung. Contohnya
adalah biaya pelayanan medis, tarif obat-obatan, dan air. Pembebanan terhadap
pemanfaatan barang tersebut memaksa orang untuk berhati-hati dalam mengkonsumsi
sumber-sumber yang mahal atau langka.
3. Terdapat kecenderungan untuk membebankan tarif pelayanan daripada membebankan
pajak karena pembebanan tarif lebih mudah pengumpulkannya. Jika digunakan pajak, maka
akan terdapat kesulitan dalam menentukan besar pajak yang pantas dan cukup. Sedangkan
jika digunakan pembebanan tarif pelayanan, orang harus membayar untuk memperoleh jasa
yang diinginkannya, dan mungkin bersedia untuk membayar lebih tinggi dibandingkan
dengan tarif pajak. Terdapat argument yang menyatakan bahwa pembebanan pada
dasarnya demokratis karena orang dapat memilih barang apa yang ingin mereka bayar dan
apa yang tidak mereka inginkan, sehingga pola pengeluaran publik dapat diarahkan menurut
pilihan mereka.

Biasanya terdapat anggapan bahwa dalam suatu sistem ekonomi campuran (mixed
economy), barang privat lebih baik disediakan oleh pihak swasta (privat market) dan barang
publik lebih baik diberikan secara kolektif oleh pemerintah yang dibiayai melalui pajak. Namun
demikian, tidak menutup kemungkinan pemerintah menyerahkan penyediaan barang publik
kepada sektor swasta melalui regulasi, subsidi, atau sistem kontrak.
Jika manfaat dirasakan secara perorangan, seperti listrik,telepon, dan air bersih, maka
untuk memperoleh barang-barang tersebut masyarakat biasanya dibebani dengan tarif untuk
penyediaan kebutuhan tersebut. Jika manfaat dirasakan secara umum, karena spillover effects
(eksternalitas positif), yang tidak bisa dihilangkan dan pasti ada seperti pertahanan dan
pengendalian kesehatan, maka pendanaan untuk hal-hal tersebut lebih tepat didanai lewat
pajak. Dalam hal penyediaan pelayanan publik, yang perlu diperhatikan adalah :

1. Identifikasi barang/jasa yang menjadi kebutuhan masyarakat (apakah barang publik atau
privat)
2. Siapa yang lebih berkompeten (lebih efisien) untuk menyediakan kebutuhan publik tersebut
(pemerintah atau swasta)
3. Dapatkah penyediaan pelayanan publik tertentu diserahkan kepada sektor swasta dan
sektor ketiga
4. Pelayanan publik apa saja yang tidak harus dilakukan oleh pemerintah namun dapat
ditangani oleh swasta.

3
Pola hubungan sektor publik, sektor swasta dan sektor ketiga dapat digambarkan sebagai
berikut :

2. Efisiensi Ekonomi
Ketika setiap individu bebas menentukan banyaknya barang dan jasa yang mereka ingin
konsumsi , mekanisme harga memiliki peran penting dalam mengalokasikan sumber daya
melalui:
a. Pendistribusian permintaan, pihak yang mendapatkan manfaat paling banyak harus
membayar lebih banyak pula.
b. Pemberian insentif untuk menghindari pemborosan.
c. Pemberian insentif pada suplier berkaitan dengan skala produksi.
d. Penyediaan sumber daya pada supplier untuk mempertahankan dan meningkatkan
persediaan jasa (supply of servise).
Tanpa adanya suatu mekanisme harga, permintaan dan penawaran tidak mungkin
menuju titik keseimbangan sehingga alokasi sumber daya tidak efisien, seperti : penyediaan air,
obat-obatan dan sebagainya. Tetapi kondisi pasar seringkali tidak sempurna. Dalam banyak hal
pemerintah mungkin menjadi supplier namun tidak boleh memanfaatkan situasi ini untuk
memaksimalkan keuntungan, seperti penyediaan air dan obat-obatan. Dalam kondisi tertentu
ketika barang dan jasa mengandung sifat public goods (ekternalitas positif), pemerintah lebih
baik menerapkan harga di bawah harga normalnya (full price) atau bahkan tanpa dipungut
biaya. Pemerintah juga dihadapkan pada masalah distribusi pendapatan yang tidak seimbang,
yang berate golongan kaya mampu membayar lebih dibandingkan yang miskin sehingga
golongan kaya mampu mendapatkan pelayanan lebih baik.
Mekanisme pembebanan tarif pelayanan merupakan satu cara menciptakan
keadilandalam distribusi pelayanan publik. Masyarakat yang memanfaatkan pelayanan public
lebih banyak akan membayar lebih banyak. Sehingga pembebanan tarif pelayanan akan
mendorong efisiensi ekonomi karena setiap orang dihadapkan pada masalah pilihan karena
adanya kelangkaan sumber daya. Jika diberlakukan tarif, maka setiap orang dipaksa berpikir
ekonomis dan tidak boros.

4
3. Prinsip Keuntungan
Ketika pelayanan tidak dinikmati oleh semua orang, pembebanan langsung kepada
masyarakat yang menerima jasa tersebut dianggap wajar bila didasarkan prinsip bahwa yang
tidak menikmati manfaat tidak perlu membayar. Jadi pembebanan hanya dikenakan kepada
masyarakat atau mereka yang diuntungkan kepada pelayanan tersebut. Pembebanan tariff
pelayanan public pada dasarnya juga menguntungkan pemerintah karena dapat digunakan
sebagai salah satu sumber penerimaan pemerintah. Tetapi pemerintah tidak boleh melakukan
maksimisasi keuntungan bahkan lebih baik menetapkan harga di bawah full cost, memberikan
subsidi, bahkan tanpa dipungut biaya.
Charging for service berbeda dengan Fee. Fee adalah biaya atas perijinan atau lisensi
yang diberikan pemerintah. Biaya perijinan/lisensi relatif kecil, umumnya berupa biaya
administrasi & pengaawasan, yang didasarkan pada kategori perijinan yang dilakukan dan ada
tidaknya keuntungan yg diperoleh pemegang ijin/lisensi atas ijin/lisensi yang dimiliki. Kendati
demikian, tujuan utama perijinan/lisensi adalah untuk mengontrol suatu aktivitas, sehingga
tingkat fee tidak dapat ditetapkan terlalu tinggi untuk mendorong masyarakat untuk mengajukan
ijin/lisensi tersebut. Sebagai contoh, pemerintah dapat menarik fee dari Ijin Mendirikan
Bangunan (IMB). Tetapi sebaiknya biaya IMB tidak terlalu tinggi agar tidak menimbukan
kecenderungan masyarakat untuk tidak memiliki IMB.

2.2 Argumen Terhadap Tarif Pembebanan Pelayanan


Dalam praktik, pembebanan langsung (direct charging) biasanya ditentukan karena
alasan-alasan sebagai berikut :

a. Suatu jasa, baik merupakan barang publik maupun barang privat, mungkin tidak dapat
diberikan kepada setiap orang, sehingga tidak adil bila biayanya dibebankan kepada
semua masyarakat melalui pajak, sementara mereka tidak menikmati jasa tersebut.
b. Suatu pelayanan mungkin membutuhkan sumber daya yang mahal atau langka sehingga
konsumsi publik harus didisiplinkan (hemat), misalnya pembebanan terhadap penggunaan
air dan obat-obatan medis.
c. Terdapat variasi dalam konsumsi individual yang lebih berhubungan dengan pilihan
daripada kebutuhan, misalnya penggunaan fasilitas rekreasi.
d. Suatu jasa mungkin digunakan untuk operasi komersial yang menguntukan dan untuk
memenuhi kebutuhan domestik secara individual maupun industrial, misalnya air, listrik,
jasa pos dan telepon.
e. Pembebanan dapat digunakan untuk mengetahui arah dan skala permintaan publik atas
suatu jasa apabila jenis dan standar pelayanannya tidak dapat ditentukan secara tegas.

5
Terlepas dari kasus yang merupakan barang publik murni, terdapat argument yang
menentang pembebanan tarif pelayanan, yaitu terdapat kesulitan administrasi dalam
menghitung biaya pelayanan, yang miskin tidak mampu untuk membayar dan adanya
eksternalitas, merit good dan persyaratan legal. Penjelasan dari argument yang menentang
pembebanan tarif pelayanan adalah sebagai berikut :

1. Terdapat kesulitan administrasi dalam menghitung biaya pelayanan. Penetapan tarif


pelayanan mensyaratkan adanya sistem pencatatan dan pengukuran yang handal
(seperti:tarif jalan tol, meteran untuk air). Hal tersebut dapat meningkatkan biaya penyediaan
pelayanan. Akan tetapi keterukuran membuat penafsiran tarif pelayanan lebih mudah
dibandingkan dengan perhitungan pajak (seperti: menghitung besarnya biaya untuk air dan
listrik lebih mudah dibandingakan dengan menghitung pajak penghasilan).
2. Yang miskin tidak mampu untuk membayar. Kesenjangan ekonomi dan pendapatan yang
lebar menyebabkan orang miskin tidak mampu membayar pelayanan dasar yang
seharusnya mereka dapatkan, seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, transportasi umum
dan bahkan makanan sehat. Namun, yang menjadi masalah adalah dapatkah kita membuat
daftar kebutuhan dasar secara objektif. Yang penting bagi seseorang belum tentu penting
bagi orang lain, sehingga skala prioritas dan pilihan individu berbeda-beda. Pilihan yang
berbeda-beda tesebut membutuhkan perlakuan yang berbeda-beda pula, sehingga
pembebanan tarif pelayanan dipandang sesuai dengan pilihan kebutuhan seseorang.
Pelayanan publik dapat juga diberikan secara gratis oleh pemerintah, akan tetapi penyediaan
gratis tersebut akan mempengaruhi pilihan individu. Pemberian beras gratis mungkin tidak
pas untuk orang tertentu karena mungkin ia lebih suka diberi uang untuk membeli pakaian.
Keputusan untuk membebankan biaya pelayanan kepada pelanggan harus dikompensasi
dengan pemberian subsidi atau pemberian pelayanan gratis. Penyediaan pelayanan gratis
atau subsidi mungkin sia-sia dan kurang efektif. Apakah subsidi menjamin dinikmati bagi
yang miskin? Mungkin saja subsidi menguntungkan yang kaya jika dikorupsi oleh birokrasi.
Atau justru yang miskin mensubsidi yang kaya. Bila kita peduli pada golongan miskin,
pendekatan terbaik adalah melalui distribusi pendapatan (lumpsum transfer), tetapi hal ini
sulit dilakukan di Negara berkembang.
3. Adanya Eksternalitas, Merit Good, Dan Persyaratan Legal. Eksternalitas positif (spilover
effects) misalnya tarif pelayanan yang terlalu tinggi membuat masyarakat tidak terdorong
untuk menggunakannya. Demikian juga barang yang dianggap sebagai merid good mungkin
lebih baik diberikan secara gratis atau tanpa beban biaya, seperti pendididkan. Selain itu
terdapat peraturan perundang undangan yang mensyaratkan pemerintah untuk

6
menyediakan pelayanan tertentu seperti pendidikan dasar 9 tahaun, sehingga kebutuhan
barang tersebut biasanya dianggap bebas dari beban masyarakat dan tidak perlu ditarik tarif
pelayanan. Terdapat cara alternatif untuk alokasi sumber daya selain dengan pembebanan
harga pelayanan, misalnya melalui pembagian kupon (cards) dan vouchers. Meskipun
metode kupon tersebut menjamin kaum miskin mendapat kesempatan yang sama, akan
tetapi sistem kupon tersebut tidak dapat memenuhi fungsi sistem harga dan mudah untuk
disalahgunakan.

2.3 Prinsip Dan Praktek Pembebanan


Prinsip dan praktek pembebanan sebagian barang dan jasa yang disediakan pemerintah
lebih sesuai dibiayai dengan pembebanan tarif. Semakin dekat suatu pelayanan terkait dengan
barang privat, semakin sesuai barang tersebut dikenai tarif. Namun batasan identifikasi barang
privat dan publik kadang sulit dan harus dilakukan dengan dasar tiap pelayanan. Kegagalan
dalam menetapkan biayan pada situasi tertentu menyebabkan distorsi harga dan alokasi
sumber daya yang keliru, sehingga mengurangi pilihan bagi konsumen.
Meskipun demikian permasalahan administrasi dan pertimbangan social dan politik
memiliki prioritas tang lebih besar dibandingkan pertimbangan efisiensi ekonomi. Namun perlu
diwaspadai bahwa kesalahan penetapan tarif pelayanan publik merupakan penyebab utama
defisit anggaran di negara berkembang (devas, 1989). Dalam praktiknya, pelayanan yang gratis
secara nominal seringkali sulit dijumpai. Pelayanan gratis menyebabkan insentif rendah,
sehingga terkadang kualitas pelayanan menjadi sangat rendah. Misalnya pelayanan gratis
mengakibatkan insentif yang rendah sehingga kualitas menjadi sangat rendah dan tidak
memuaskan.

2.4 Kegunaan Pembebanan Dalam Praktek


Praktik pembebanan pelayanan publik berbeda-beda tiap negara, antara jasa yang
disediakan langsung oleh pemerintah dan yang disediakan oleh perusahaan milik negara, dan
antar pemerintah pusat dan daerah. Charging for services merupakan alah satu sumber
penerimaan bagi pemerintah daerah tertentu. Pemerintah memperoleh penerimaan dari
beberapa sumber, antara lain:
1. Pajak
2. Pembebanan langsung pada masyarakat (Charging for services)
3. Laba BUMN/BUMD
4. Penjualan aset milik pemerintah
5. Hutang
6. Pembiayaan defisit anggaran (Mencetak Uang)
Data biaya kadang sulit diperoleh dan sulit diperbandingkan, terutama antara jasa yang
disediakan langsung oleh pemerintah dan yang disediakan oleh perusahaan milik negara. Pada

7
kasus perusahaan negara, hanya net defisit atau surplus yang muncul dalam rekening
pemerintah. Pada umumnya kita mengharapkan bahwa penyedia barang publik seperti
pertahanan, kesehatan publik dan jasa kepolisian seharusnya diberikan secara gratis, dalam
arti dibiayai dari pajak. Sementara itu, penyediaan barang privat yaitu jasa untuk kepentingan
individu seperti listrik, telepon, transportasi umum ditarik sebesar harga pemulihan biaya
totalnya (full cost recovery price). Untuk barang campuran (mixed/merit good), seperti
pendidikan menengah, penyembuhan kesehatan, sanitasi disediakan melalui pajak dan
sebagian dari tarif.

2.5 Penetapan Harga Pelayanan


Jika pemerintah tidak membebankan biaya pelayanan kepada konsumennya, maka
pemerintah harus memutuskan berapa beban yang pantas dan wajar atau dengan kata lain
berapa harga pelayanan yang akan ditetapkan? Aturan yang biasa dipakai adalah bahwa beban
(charge) dihitung sebesar total biaya untuk menyediakan pelayanan tersebut (full cost
recovery). Akan tetapi untuk menghitung biaya total tersebut terdapat beberapa kesulitan,
karena :

a. Kita tidak tahu secara tepat berapa biaya total (full cost) untuk menyediakan suatu
pelayanan. Oleh karena itu, kita perlu memperhitungkan semua biaya sehingga dapat
mengindentifikasi biaya secara tepat untuk setiap jenis pelayanan. Namun tidak boleh
terjadi pencampuradukan biaya untuk pelayanan yang berbeda atau harus ada
prinsip different costs for different purposes. Biaya overhead harus dibebankan secara
proporsional terhadap berbagai pelayanan. Selain itu juga harus diidentifikasi adanya
biaya-biaya tersembunyi (hidden costs) dalam penyediaan pelayanan publik. Hidden
costs juga terkait dengan biaya birokrasi ( costs of bureaucracy).
b. Sangat sulit mengukur jumlah yang dikonsumsi. Karena jumlah biaya untuk melayani
satu orang dengan orang lain berbeda-beda, maka diperlukan pembedaan pembebanan
tarif pelayanan, sebagai contoh diperlukan biaya tambahan untuk pengumpulan sampah
dari lokasi rumah yang sulit dijangkau atau memiliki jarak yang jauh. Jika hal ini dilakukan
maka akan terlihat tidak adil, meskipun untuk hal tertentu. Misalnya : bus kota, jarak jauh
maupun dekat dikenai tarif sama. Namun yang jelas, pada prinsipnya pembebanan harus
merefleksikan biaya total (full cost) untuk menyediakan pelayanan tersebut.
c. Pembebanan tidak memperhitungkan kemampuan masyarakat untuk membayar. Jika
orang miskin tidak mampu membayar suatu pelayanan yang sebenarnya vital, maka
mereka harus disubsidi. Mungkin perlu dibuat diskriminasi harga atau diskriminasi produk
untuk menghindari subsidi.

8
d. Biaya apa saja yang harus diperhitungkan : apakah hanya biaya operasi langsung
(current operation costs), atau perlu juga diperhitungkan biaya modal (capital costs). Aturan
umumnya adalah bahwa kita harus memasukkan bukan saja biaya operasi dan
pemeliharaan, akan tetapi juga biaya penggantian barang modal yang sudah usang
(kadaluwarsa), dan biaya penambahan kapasitas. Prinsip tersebut disebut marginal costs
pricing.

Ahli ekonomi umumnya menganjurkan untuk menggunakan marginal costs pricing, yaitu
tarif yang dipungut seharusnya sama dengan biaya untuk melayani konsumen tambahan (costs
of serving the marginal consumer). Harga tersebut adalah harga yang juga berlaku dalam pasar
persaingan untuk pelayanan tersebut. Marginal costs pricing mengacu pada harga pasar yang
paling efisien (economically efficient price), karena pada tingkat harga tersebut (ceteris paribus)
akan memaksimalkan manfaat ekonomi dan penggunaan sumber daya yang terbaik.
Masyarakat akan memperoleh peningkatan output dari barang atau jasa sampai titik
dimana marginal costs sama dengan harga.
Penetapan harga pelayanan publik dengan menggunakan marginal cost pricing,
setidaknya harus memperhitungkan :
1. Operasi biaya variabel (variable operating cost)
2. Semi variable overhead cost seperti biaya modal atas aktiva yang digunakan untuk
memberikan pelayanan.
3. Biaya penggantian atas aset modal yang digunakan dalan penyediaan pelayanan
4. Biaya penambahan aset modal yang digunakan untuk memenuhi tambahan permintaan.
Akan tetapi, marginal cost pricing tidak memperhitungkan pure historic capital
cost atau pure overhead cost, yang tidak terkait sama sekali dengan penggunaan jasa. Contoh
kasus klasik dari historical cost adalah seperti jembatan penyeberangan. Marginal cost
pricing menganjurkan tidak ada biaya yang ditarik atas jasa penyeberangan karena marginal
cost yang ada nol. Memungut biaya penyeberangan sehingga menimbulkan kapasitas
menganggur atas jembatan tersebut, ini akan mengurangi total economic benefit.
Sebaliknya, marginal cost untuk menyediakan rumah tidak sama dengan nol, karena sejak
ditempati kapasitas ruang yang sudah digunakan, sehingga marginal cost-nya sama dengan
biaya untuk menyediakan rumah pengganti dan biaya pemeliharaan. Contoh : penyediaan
air, marginal cost-nya adalah tambahan air yang dikonsumsi, tambahan jarak yang diambil dan
pemasangan pipa besar untuk industri.

2.6 Permasalahan Marginal Cost Pricing


Penggunaan marginal cost pricing memiliki beberapa permasalahan, antara lain :

9
a. Sulit untuk memperhitungkan secara tepat marginal cost untuk jasa tertentu, dalam praktik,
kadang biaya rata-rata (average cost) digunakan sebagai pengganti walau hal ini
menyimpang dari syarat ekonomis dan efisiensi. Juga terdapat masalah pengukuran dan
pengumpulan data biaya yang membuat marginal cost sulit diimplementasikan.
b. Apakah harga seharusnya didasarkan pada biaya marginal jangka pendek (short run MC)
atau biaya marginal jangka panjang (long run marginal cost). Dalam kasus penyediaan air,
akan timbul suatu titik ketika marginal consumer memerlukan pabrik baru. Tidak mungkin
mengharapkan konsumen menanggung full cost sendirian.
c. Marginal cost pricing bukan berarti full cost recovery. Historic capital cost tidak mungkin
dipulihkan, demikian juga full operating cost. Ketika sumber daya yang terbatas, kegagalan
untuk menutup biaya menimbulkan adanya penghematan yang dikorbankan (opportunity
loss) dalam pemakaian alternative sumber daya tersebut. Kerugian tersebut harus diukur
dengan efisiensi yang dikorbankan (efficiency loss) yang berasal dari penaikan harga di
atas marginal cost.
d. Konsep kewajaran digunakan untuk menunjukkan hanya mereka yang menerima manfaat
yang membayar dan semua konsumen membayar sama tanpa memandang perbedaan
biaya dalam menyediakan pelayanan tersebut.
e. Ekternalitas konsumsi, seperti manfaat kesehatan umum dari air bersih untuk minum dan
mandi dapat secara signifikan merubah efisiensi harga yang ditentukan oleh marginal
cost.
f. Pertimbangan ekuitas mensyaratkan yang kaya membayar lebih, paling tidak untuk jasa
seperti air, dimana terdapat beberapa macam bentuk diskriminasi harga, (seperti tarif
progesif) yang mungkin digunakan.

II.7 Kompleksitas Strategi Harga


Terdapat lima macam strategi harga yang dapat dilakukan yaitu :
a. Two-part tariffs : banyak kepentingan publik (seperti listrik) dipungut dengan two-part tariffs,
yaitu fixed charge untuk menutupi biaya overhead atau biaya infrastruktur dan variable
charge yang didasarkan atas besarnya konsumsi.
b. Peak-load tariffs : pelayanan publik dipungut berdasarkan tarif tertinggi. Permasalahannya
adalah beban tertinggi, membutuhkan tambahan kapasitas yang disediakan, tarif tertinggi
untuk periode puncak yang harus menggambarkan higher marginal cost (seperti telepon
dan transportasi umum).
c. Diskriminasi harga. Hal ini adalah salah satu cara untuk mengakomodasikan pertimbangan
keadilan (equity) melalui kebijakan penetapan harga. Jika kelompok dengan pendapatan
berbeda dapat diasumsikan memiliki pola permintaan yang berbeda, pelayanan yang
diberikan kepada kelompok dengan pendapatan tinggi. Hal tersebut tergantung dari

10
kemampuan mencegah orang kaya menggunakan pelayanan yang dimaksudkan untuk
orang miskin.
d. Full cost recovery. Harga pelayanan didasarkan pada biaya penuh atau biaya total untuk
menghasilkan pelayanan. Penetapan harga berdasarkan biaya penuh atas pelayanan
publik perlu mempertimbangkan keadilan (equity) dan kemampuan publik untuk membayar.
e. Harga diatas marginal cost. Dalam beberapa kasus, sengaja ditetapkan harga diatas
marginal cost, seperti tarif parkir mobil, adanya beberapa biaya perijinan atau licence fee.

2.8 Taksiran Biaya


Penentuan harga dengan teknik apapun yang digunakan pada dasarnya adalah
mendasarkan pada usaha penaksiran biaya secara akurat. Hal ini melibatkan beberapa
pertimbangan sebagai berikut :
a. Opportunity cost untuk staf, perlengkapan, dll.
b. Opportunity cost of capital
c. Accounting price untuk input ketika harga pasar tidak menunjukkan value to society
(opportunity cost)
d. Pooling, ketika biaya berbeda-beda antara setiap individu
e. Cadangan inflasi
Pelayanan menyebabkan unit kerja harus memiliki data biaya yang akurat agar dapat
mengestimasi marginal cost, sehingga dapat ditetapkan harga pelayanan yang tepat. Prinsip
biaya memberikan dasar yang bermanfaat untuk penentuan harga di sektor publik. Marginal
cost pricing bukan merupakan satu-satunya dasar untuk penetapan harga di sektor publik.
Digunakan Marginal cost pricing atau tidak, yang jelas harus ada kebijakan yang jelas
mengenai harga pelayanan yang mampu menunjukkan biaya secara akurat dan mampu
mengidentifikasi skala subsidi publik.

III. REVIEW ARTIKEL


a. Artikel Pertama

Judul Artikel : ANALISIS PENENTUAN TARIF LAYANAN BUS KOTA BERDASARKAN


MARGINAL COST PRICING (STUDI PADA PERUM DAMRI KOTA
SURABAYA)
Penulis : Dewi Prastiwi, Dhiah Fitrayati
Nama Jurnal : AKRUAL 5 (1) (2013): 75-98 e-ISSN: 2502-6380. 2013

11
PENDAHULUAN
Untuk dapat mencapai pembangunan fasilitas transportasi umum dan kecukupan
alokasi pembiayaan transportasi maka salah satu peluang adalah mobilisasi dana melalui
mekanisme pemungutan tarif pelayanan transportasi umum. Tarif merupakan partisipasi
masyarakat dalam mendukung pembiayaan layanan transportasi. Penetapan tarif transportasi
yang dituangkan dalam Peraturan Daerah saat ini mengarah pada pendekatan Incrementalism
dan line item. Berdasarkan pendekatan Incrementalism dan line item, tarif ditetapkan dengan
hanya menambah atau mengurangi jumlah rupiah pada tarif yang sudah ada sebelumnya
dengan menggunakan data tahun sebelumnya sebagai dasar untuk menyesuaikan besarnya
penambahan atau pengurangan tarif tanpa dilakukan kajian yang mendalam. Sehingga kondisi
ini menyebabkan tarif kurang mewakili kemampuan ekonomi dan psikologi masyarakat serta
kesesuaian manfaat yang diterima dengan pengorbanan yang telah dikeluarkan. Pada
beberapa literatur, para ahli ekonomi pada umumnya menganjurkan untuk menggunakan
marginal cost pricing (Mardiasmo, 2005).

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, dimana dalam penelitian ini
mencoba untuk memberikan alternatif pendekatan penetapan tarif berdasarkan data kualitatif di
Perum Damri Kota Surabaya. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Pengambilan data primer melalui wawancara yang dibantu dengan instrumen
penelitian berupa kuesioner dengan responden yang dimaksud yaitu Kepala Tata Usaha Perum
Damri Surabaya mengenai metode penentuan tarif layanan bus kota yang selama ini telah
diterapkan Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Perum Damri Kota
Surabaya berupa data laporan biaya produksi. Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis
secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dangan menggunakan analisis
deskriptif untuk mengkaji karakteristik biaya-biaya yang terjadi di Perum Damri Surabaya.
Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan pendekatan biaya marginal. Pengolahan
dan analisis data menggunakan alat bantu komputer dengan program Microsoft Office Excel
2007. Tarif bus kota menurut marginal cost pricing adalah pada saat P = MC.

Hasil Penelitian
Pelaksanaan kegiatan operasional Perum Damri dibagi atas empat wilayah kerja
berdasarkan geografis yaitu: Wilayah I Jakarta, Wilayah II Semarang, Wilayah III Surabaya,
Wilayah IV Jayapura. Selain itu, pengelolahan usaha Perum Damri juga dibagi atas unit wilayah
kerja masing-masing yang terbagi atas jenis kegiatan usaha yang dikelola oleh Perum Damri,

12
antara lain :Unit Angkutan Bus Kota (UABK), Unit Antar Kota (UAK), Unit Angkutan Antar
Negara (UAAN), Unit Angkutan Bandara (UAB), Unit Angkutan Transit, Unit Angkutan Travel
(UAT), Unit Angkutan Perintis (UAP). Metode pendekatan yang digunakan Perum DAMRI
adalah full costing dan variable costing. Berdasarkan pendekatan full costing, yaitu dengan
metode perhitungan biaya yang menggunakan konsep biaya variabel dan alokasi
(pembebanan) biaya tetap.
Spesifikasi sistem biaya pokok Perum DAMRI lebih didasarkan pada biaya standard
daripada pendekatan akuntansi. Hal ini dikarenakan data akuntansi hanya menyajikan data
biaya tidak langsung (gaji pegawai kantor) secara keseluruhan dan tidak menyajikan data biaya
gaji yang dibebankan pada unit bus pada setiap operasi. Biaya Pokok Angkutan Perum DAMRI
dihitung berdasarkan Spesifikasi per jenis pelayanan / kendaraan dan tidak secara
generalisasi/secara keseluruhan dikarenakan kondisi medan dan kendala geografis UPT di
seluruh Indonesia berbeda-beda. Agar dapat mengarah pada perhitungan biaya secara
spesifikasi perjenis pusat pelayanan angkutan, maka keseluruhan jenis pelayanan angkutan
Perum DAMRI dipisahkan kedalam 6 jenis pusat pelayanan (segmen usaha) yaitu : Bus Kota;
Antar Kota; Antar Negara; Wisata; Bandara; Mobil Barang; serta Perintis
a) Perintis dan Antar Kota.
Pelayanan angkutan penumpang dengan bus yang terbagi atas 6 (enam) regional yaitu:
Regional I : Jawa, Sumatera, Bali

Regional II : NTB, NTT, Timor-Timur


Regional III : Kalimantan
Regional IV : Sulawesi
Regional V : Maluku
Regional VI : Irian Jaya
b) Bus Kota
Apabila operasional (produksi) per bus umum adalah sebanyak 8.100.000 seat Km per
tahun dengan total cost sebesar Rp. 771.233.800,- maka biaya per seat km nya adalah Rp.
91.82. Biaya ini terbentuk dalam kondisi load factornya sebesar 100%. Namun pada hari-hari
tertentu serta pada jam-jam sibuk, misalnya pada hari-hari menjelang liburan atau week end
serta pada jam berangkat dan pulang sekolah/kantor load factornya akan lebih dari 100%.
Apabila load factor lebih dari 100% maka total costnya akan semakin menurun, hal ini
berdampak pada manfaat yang diterima konsumen (penumpang) yang juga akan semakin
menurun. Kondisi ini disebabkan bahwa standar layanan transportasi disediakan untuk
kapasitas load factor 100% (sesuai kursi yang tersedia), sehingga apabila penumpang melebihi
kursi yang tersedia (load factor > 100%) maka ada penumpang yang tidak mendapatkan tempat
duduk padahal yang bersangkutan dibebani harga karcis yang sama dengan penumpang yang

13
mendapat tempat duduk dengan kata lain tarif yang dibebankan pada penumpang (pelanggan)
harus sesuai dengan manfaat (fasilitas) social yang diterima penumpang tersebut.
Konsep Marginal Cost Pricing menawarkan penetapan tarif dengan
mempertimbangkan manfaat sosial yang diterima oleh pelanggan, sehingga apabila ada
penambahan tarif maka selayaknya konsumen memperoleh tambahan manfaat sosial.
Berdasarkan MCP ini, Perum Damri dapat memungut dengan tarif yang sama apabila
konsumen mendapatkan standar pelayanan yang sama, apabila ada penurunan standar
pelayanan, maka seharusnya pembebanan tarif dibedakan. Oleh karena itu berdasarkan
pendekatan Marginal Cost Pricing, setiap perubahan tarif yang ditetapkan oleh Perum Damri
maka seharusnya diikuti dengan perubahan manfaat (fasilitas) sosial yang diterima oleh
pelanggan atau sebaliknya, jika Perum Damri tidak bisa meyediakan manfaat (fasilitas) sosial
yang maksimal maka harus ada kebijakan penyesuaian tarif dengan manfaat yang diterima.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam penentuan tarif
layanan transportasi bus kota, Perum Damri menghitung berdasarkan harga pokok angkutan
ditambah margin tertentu. Harga Pokok angkutan dihitung dengan mengkalikan total biaya
dengan load factor. Semakin besar load factor, maka semakin kecil total biayanya dan semakin
besar varian total biaya dengan jumlah penerimaan. Kondisi ini sangat bertentangan dengan
konsep Marginal Cost Pricing, dimana setiap tambahan biaya yang dikeluarkan harus diimbangi
dengan manfaat sosial yang diterima oleh masyarakat. Pada kasus penetapan tarif layanan
transportasi bus kota di Perum Damri Kota Surabaya berdasarkan konsep Marginal Cost
Pricing harus dibedakan tarif antara yang memperoleh layanan maksimal dengan yang minimal.
Saran yang diberikan dari hasil penelitian ini adalah Perum Damri dapat mempertimbangkan
penerapan konsep Marginal Cost Pricing dalam menentapkan tarif layanannya, untuk
meningkatkan layanan transportasi bus kota.

b. Artikel Kedua :
Judul Artikel : THE DEMAND FOR PUBLIC TRANSPORT: THE EFFECTS OF FARES,
QUALITY OF SERVICE, INCOME AND CAR OWNERSHIP
Penulis : Paulley, N; Balcombe, R; Mackett, R; Titheridge, H .; Preston, JM;
Wardman,M ; Shires, JD ; White, P.
Nama Jurnal : White Rose Research Online, 13 (4). Pp.295-306.2016. ISSN 0967-070X

Pendahuluan
Makalah ini melaporkan temuan utama dari sebuah studi kolaboratif yang tujuannya
adalah untuk menghasilkan panduan panduan terkini mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan angkutan umum untuk digunakan oleh operator angkutan umum

14
dan otoritas perencanaan, dan untuk akademisi dan peneliti lainnya. Sementara berbagai faktor
diteliti dalam penelitian ini, makalah ini berkonsentrasi pada temuan mengenai pengaruh tarif,
kualitas layanan dan pendapatan dan kepemilikan mobil. Hasilnya adalah distilasi dan sintesis
dari informasi yang dipublikasikan dan dipublikasikan yang tidak dipublikasikan mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan angkutan umum. Konteksnya terutama
transportasi perkotaan di Inggris Raya, namun penggunaan ekstensif dilakukan dalam
mempelajari sumber dan contoh internasional.
Makalah ini melaporkan temuan utama dari sebuah studi kolaboratif yang dilakukan oleh
Universitas Leeds, Oxford dan Westminster, University College London dan TRL Limited
(Balcombe et al, 2004). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menghasilkan panduan panduan
up-todate untuk digunakan oleh operator angkutan umum dan otoritas perencanaan, dan untuk
akademisi dan peneliti lainnya. Konteks penelitian ini terutama adalah transportasi perkotaan di
Inggris Raya, namun penggunaan ekstensif dibuat dari sumber dan contoh internasional.
Sementara berbagai faktor diteliti dalam penelitian ini, temuan yang berkaitan dengan
tarif, kualitas layanan dan kepemilikan mobil adalah yang paling signifikan dan makalah ini
berkonsentrasi pada hal ini. Namun, seperti yang Balcombe dkk (2004) jelaskan, dalam
praktiknya, faktor-faktor tersebut tidak dapat diobati secara terpisah satu sama lain atau
terpisah dari pengaruh langsung dan tidak langsung lainnya terhadap permintaan angkutan
umum. Studi utama juga mempertimbangkan moda transportasi baru seperti busana terpandu,
hubungan antara penggunaan lahan dan pasokan dan permintaan angkutan umum, dan
dampak kebijakan transportasi pada umumnya pada angkutan umum. Ini juga melihat pengaruh
perkembangan transportasi dan teknologi selama dua dekade terakhir, seperti inovasi dalam
penetapan harga, perubahan ukuran kendaraan, pengendalian lingkungan terhadap emisi, dan
perkembangan pemberian tiket dan informasi yang difasilitasi oleh kemajuan dalam komputasi.

Ruang Lingkup Penelitian


Hasil yang disajikan dalam makalah ini adalah distilasi dan sintesis bukti-bukti yang
diterbitkan dan tidak dipublikasikan yang dipublikasikan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi yang diambil dari tiga bidang utama:
Prinsip dasar yang berkaitan dengan permintaan transportasi; ,
Bukti dari penelitian yang dilakukan sejak publikasi laporan tahun 1980. ,
Hasil empiris untuk berbagai mode.

Analysis
Meta-analisis melibatkan penggabungan bersama-sama hasil dari studi empiris yang
berbeda dan mengembangkan model kuantitatif yang menjelaskan variasi hasil di seluruh
penelitian. Sebuah meta-analisis bukti Inggris tentang elastisitas tarif dilakukan sebagai bagian
dari penelitian ini (Wardman and Shires, 2003). Tujuan dari latihan ini adalah untuk menguatkan

15
temuan dari tinjauan yang lebih konvensional dan untuk mendapatkan wawasan tentang isu-isu
yang tidak dapat dimungkinkan - seperti perkiraan elastisitas dalam berbagai situasi dan
pengaruh pendekatan metodologis yang digunakan dalam studi individu dilaporkan.
Analisis tersebut berupa model regresi, yang diperkirakan menggunakan 902 elastisitas
tarif angkutan umum yang diperoleh dari 104 studi yang dilakukan di Inggris antara tahun 1951
dan 2002. Pasar yang tercakup antara lain perjalanan kereta api lintas kota, perjalanan kereta
api di pinggiran kota, perjalanan dengan bus kota dan London bawah tanah. Sejumlah temuan
menarik muncul dan modelnya bisa digunakan untuk 'memprediksi' elastisitas tarif untuk
berbagai situasi.
Elastisitas yang diprediksi oleh model yang dihasilkan, untuk berbagai jenis mode,
perjalanan dan pelancong ditunjukkan pada Tabel 3. Ada tingkat konsistensi yang baik antara
hasil ini dan hasil dari studi individual yang dilaporkan di atas, menunjukkan bahwa model yang
berasal dari meta -analisis mungkin membuktikan alat yang berguna untuk memperkirakan
elastisitas tarif di mana tidak memungkinkan untuk menetapkannya dengan metode yang lebih
langsung

Kesimpulan
Makalah ini melaporkan temuan utama dari sebuah studi kolaboratif yang tujuannya
adalah untuk menghasilkan panduan panduan terkini mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi permintaan angkutan umum untuk digunakan oleh operator angkutan umum
dan otoritas perencanaan, dan untuk akademisi dan peneliti lainnya. Sementara berbagai faktor
diteliti dalam penelitian ini, makalah ini berkonsentrasi pada temuan mengenai pengaruh tarif,
kualitas layanan dan pendapatan dan kepemilikan mobil.
Elastisitas tarif cenderung meningkat dari waktu ke waktu sejak perubahan tarif, dengan
elastisitas tarif bus sekitar -0,4 dalam jangka pendek, -0,55 dalam jangka menengah, dan
sekitar -1,0 dalam jangka panjang. Demikian pula, elastisitas tarif metro cenderung sekitar -0,3
dalam jangka pendek dan -0,6 dalam jangka panjang. Untuk kualitas layanan, nilai rata-rata
waktu untuk bepergian dengan bus kota adalah 4,2 p / menit, sedangkan nilai perjalanan waktu
luang adalah 2,6 p/menit (pada harga 2000), yang menyiratkan elastisitas permintaan bus
sehubungan dengan in- waktu kendaraan sekitar -0,4. Seiring pendapatan meningkat dari
waktu ke waktu, kenaikan panjang perjalanan meningkat. Dampaknya bervariasi tergantung
pada tujuan perjalanan, namun dengan elastisitas pada kisaran 0,1 sampai 0,2, dampak jangka
panjang pada kilometer penumpang, jika dipertahankan, akan signifikan. Penghasilan
berdampak positif terhadap permintaan angkutan umum, namun dengan mengimbangi dampak
negatif, terutama di pasar bus, melalui pengaruhnya terhadap kepemilikan mobil. Seiring

16
pertumbuhan kepemilikan mobil melambat dan mencapai kejenuhan, efek negatif ini akan
berkurang.
Seperti telah ditunjukkan, sejumlah besar bukti ada sehubungan dengan elastisitas tarif
dan, pada tingkat yang lebih rendah, elastisitas layanan dan pendapatan, dengan perbedaan
penting antara jangka pendek dan jangka panjang. Ada juga bukti yang cukup besar
berdasarkan penilaian atribut utama seperti waktu berjalan, waktu tunggu, IVT dan beberapa
aspek penyediaan informasi. Namun, ada bukti yang lebih terbatas mengenai dampak
keandalan, karakteristik kendaraan, lingkungan tunggu, pertukaran, keamanan pribadi, dan
kampanye pemasaran dan kesadaran. Atribut semacam itu semakin menjadi elemen utama
kebijakan transportasi, dan pemahaman dampaknya sangat penting jika kebijakan harus
dirumuskan dan diterapkan dengan benar.
Sementara ada sedikit keraguan bahwa berbagai faktor mempengaruhi permintaan akan
transportasi umum, dan ada banyak bukti empiris mengenai faktor-faktor yang relevan, dan
mana dari faktor-faktor tersebut yang mungkin lebih penting daripada yang lain, dalam situasi
yang berbeda, Harus selalu diakui bahwa hasilnya mungkin akan mengalami tingkat
ketidakpastian yang cukup tinggi. Salah satu masalah yang dihadapi dalam penelitian ini adalah
dalam menentukan konteks dimana beberapa percobaan dan penelitian yang dilaporkan telah
dilakukan. Hal ini terutama ditandai dengan memisahkan efek jangka pendek dan jangka
panjang. Seluruh masalah ini akan mendapat keuntungan dari penyelidikan lebih lanjut,
terutama untuk memastikan apakah penilaian atribut mengacu pada jangka pendek atau jangka
panjang.

c. Artikel Ketiga :
Judul Artikel : Analisis Kinerja Kemandirian Keuangan Dan Aktivitas Layanan
Rawat Inap Utama Pada Badan Layanan Umum Daerah Rumah
Sakit Jiwa Menur Dengan Metode Activity Based Costing.
Penulis : Dwi Indah Puspitawati, Tri Ratnawati
Nama Jurnal : Jurnal Ilmu Ekonomi & Manajemen Januari 2014, Vol. 10 No.1. hal. 16 - 26

Pendahuluan

Salah satu sumber pendapatan rumah sakit yang penting adalah layanan rawat inap.
Penentuan tarif layanan rawat inap merupakan keputusan yang sangat penting karena dapat
mempengaruhi kemandirian keuangan rumah sakit. Sebagai salah satu RS milik Pemerintah
Provinsi Jawa Timur yang sudah berstatus sebagai Badan Layanan Umum Daerah, RS Jiwa
Menur berhak untuk menetapkan tarif layanan non subsidi (Kelas II, Kelas Utama, Kelas VIP)
melalui Keputusan Direktur sete-lah mendapat evaluasi dari Gubernur Jawa Timur, sedangkan

17
tarif layanan Kelas III (bersubsidi) harus ditetapkan dan dicantumkan dalam Peraturan
Gubernur. Dengan status tersebut, penetapan tarif non subsidi diharapkan dapat memberikan
subsidi silang kepada masyarakat yang tidak mampu agar mencapai cost recovery yang
memadai dan dapat me-ningkatkan mutu layanan RS. Penetapan tarif layanan rawat inap non
sub-sidi di RS Jiwa Menur selama ini karena hanya didasarkan pada perkiraan, kepantasan,
dan perbandingan dengan tarif RS lain milik Pro-vinsi Jawa Timur, karena biaya layanan belum
pernah dihitung secara benar.
Activity Based Costing System merupakan sebuah sistem informasi akuntansi yang
mengidentifikasikan bermacam-macam aktivitas yang dikerjakan di dalam suatu organisasi dan
mengumpulkan biaya dengan dasar sifat yang ada dari aktivitas tersebut. Activity Based
Costing (ABC) memfokuskan dari biaya yang melekat pada produk berdasarkan aktivitas yang
dikerjakan untuk memproduksi, menjalankan, dan mendistribusikan atau untuk menunjang
produk yang bersangkutan, artinya Activity Based Costing (ABC) menganggap bahwa timbulnya
biaya disebabkan oleh aktivitas yang menghasilkan produk, sehingga pendekatan ini
menggunakan cost driver pada aktivitas yang menimbulkan biaya. Jadi perbedaan utama
penghitungan harga pokok produk antara akuntansi biaya tradisional dengan ABC adalah
jumlah cost driver (pemicu biaya) yang digunakan, dalam sistem penentuan harga pokok
produk dengan metode ABC menggunakan cost driver dalam jumlah lebih banyak dibandingkan
dalam sistem akuntansi biaya tradisional yang hanya menggunakan satu atau dua cost driver
berdasarkan unit.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1) Bagaimanakah perhitungan unit cost layanan rawat inap utama di RS Jiwa Menur dengan
menggunakan metode Activity Based Costing?
2) Bagaimanakah analisis aktivitas dan kaitannya dengan unit cost layanan rawat inap utama di
RS Jiwa Menur?
3) Bagaimanakah analisis kemandirian keuangan layanan rawat inap utama RS Jiwa Menur?
4) Bagaimanakah penyusunan laporan keuangan layanan rawat inap utama RS Jiwa Menur
yang terdiri dari laporan realisasi anggaran, laporan arus kas, dan neraca?

Metodologi Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitiannya, penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, karena
merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang
terjadi saat sekarang. Berdasarkan kegunaan penelitian, penelitian ini termasuk penelitian
terapan, karena menerapkan ilmu pengetahuan pada isu-isu praktis tertentu, sehingga manfaat
dan hasil penelitian dapat segera dirasakan oleh berbagai kalangan dan dapat segera
diaplikasikan. Berdasarkan waktu penelitiannya, maka penelitian ini termasuk dalam penelitian
cross-sectional, karena dilakukan pada satu waktu tertentu dan tidak akan dilakukan penelitian

18
lain di waktu yang berbeda untuk diperbandingkan. Sampel dalam penelitian ini yaitu data
mengenai perhitungan biaya layanan rawat inap utama pasien, laporan biaya yang
berhubungan dengan penetapan tarif layanan rawat inap utama, serta pendapatan RS Jiwa
Menur pada periode Bulan Januari sampai dengan Desember 2013 (periode 1 tahun).
Penelitian ini hanya dibatasi pada layanan rawat inap utama Puri Anggrek di RS Jiwa
Menur. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: layanan rawat inap
merupakan sumber pendapatan penting bagi RS Jiwa Menur; dan layanan rawat inap utama
seharusnya memiliki kinerja kemandirian keuangan yang bagus agar dapat memberikan subsidi
kepada layanan rawat inap dengan kelas perawatan di bawahnya atau layanan yang lain.

Hasil Penelitian
Melalui metode ABC, unit cost masing-masing kelas perawatan terhitung sebagai
berikut: VIP 1 Rp1.264.940,29; VIP 2 Rp682.913,63; Utama 1 Rp513.592,85; Utama 2
Rp423.506,13; dan Utama 3 Rp282.026,07. Semua unit cost terhitung berada di atas tarif yang
berlaku saat ini. Analisis aktivitas berdasarkan rasio value added dibandingkan total biaya
setiap aktivitas menghasilkan bahwa pada aktivitas pelayanan medis/paramedis/non medis
memiliki rasio terendah sehingga harus dikurangi sebesar Rp341.235.192,80. Sesuai dengan
penelitian dari Hugh Waters (1998) yang menyatakan bahwa penerapan metode ABC di RS
dapat membedakan aktivitas bernilai tambah dan aktivitas tidak bernilai tambah. Dasar
pengurangan biaya tidak bernilai tambah tersebut adalah Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Pola Tarif Badan Laya-nan Umum Rumah
Sakit yang menyatakan bahwa maksimal total biaya pegawai sebesar 44% dari pendapatan.
Dengan pengurangan tersebut total biaya layanan rawat inap utama dapat berkurang sehingga
menjadi Rp2.647.718.417,04.
Setelah analisis aktivitas unit cost masing-masing kelas perawatan mengalami
penurunan rerata 9,25%. Biaya variabel per unit setiap kelas perawatan berada di bawah tarif
yang berlaku saat ini yaitu VIP 1 Rp254.777,48; VIP 2 Rp229.777,48; Utama 1 Rp195.582,48;
Utama 2 Rp164.852,48; dan Utama 3 sebesar Rp126.125,33. sebelum analisis aktivitas adalah
sebesar 58,25% dan meningkat menjadi 65,75% setelah analisis aktivitas. Seluruh kelas
perawatan memiliki tingkat kemandirian di bawah 100% yang berarti masih mendapatkan
subsidi dari pemerintah. Tingkat kemandirian keuangan (tidak termasuk gaji PNS) sebelum
analisis aktivitas terhitung sebesar 80,00% dan meningkat menjadi 94,88% setelah analisis
aktivitas. Setelah analisis aktivitas, terdapat 2 kelas yang memiliki tingkat kemandirian di atas
100% yaitu kelas Utama 3 dan kelas VIP 2. Dengan pemisahan biaya variabel dan biaya tetap,
maka BEP tiap kelas perawatan dapat dihitung dengan hasil sebagai berikut: VIP 1 dengan
BOR 35,62%; VIP 2 dengan BOR 51,60%; Utama 1 pada BOR 92,02%; Utama 2 pada BOR

19
198,69%; sedangkan Utama 3 pada BOR 183,69%. Pada kelas Utama 2 dan Uta-ma 3 dapat
dikatakan BEP tidak akan tercapai karena BOR maksimal adalah 100% sesuai dengan
kapasitas tempat tidur yang tersedia, sehingga penyesuaian tarif perlu dipertimbangkan untuk
kelas Utama 2 dan Utama 3.
Pengurangan biaya karena analisis aktivitas juga mempengaruhi laporan keuangan
BLUD. Dalam Laporan Realisasi Anggaran, terdapat pengurangan jumlah realisasi anggaran
belanja dari Rp2.801.620.389,84 menjadi Rp2.460.385.197,04. Pengurangan tersebut
merupakan langkah efisiensi belanja, sehingga defisit anggaran berkurang dan mempengaruhi
kinerja keuangan yang diukur dari rasio belanja per output. Analisis aktivitas juga
mempengaruhi arus kas yang terlihat pada Laporan Arus Kas (LAK). Arus kas masuk sebelum
dan sesudah analisis aktivitas sama yaitu berasal dari pendapatan layanan serta subsidi APBD
sesuai anggaran kegiatan yang tercantum dalam LRA. Dengan berkurangnya biaya tidak
bernilai tambah, maka terjadi peningkatan jumlah saldo kas dari Rp6.615.010,16 menjadi
Rp347.850.202,96. Pengurangan biaya tidak bernilai tambah juga mempengaruhi rasio kinerja
keuangan yaitu base cost productivity, yaitu rasio yang mengukur besarnya produktivitas biaya
dalam menghasilkan pendapatan. Rasio tersebut me-nurun dari 160,921 sebelum analisis
aktivitas menjadi 141,321 setelah analisis aktivitas,

Kesimpulan
Unit Biaya semua kelas pengobatan sebelum analisis aktivitas lebih tinggi dari tarif
saat ini. Biaya kegiatan non value added sebesar Rp341.235.192,80; sehingga biaya unit
masing-masing kelas dikurangi rata-rata 9,25% bila termasuk gaji pegawai negeri sipil, dan
12,47% tanpa gaji pegawai negeri sipil. Tingkat kemandirian keuangan setelah analisis aktivitas
meningkat menjadi 94,88% dari 80,00% jika gaji pegawai negeri sipil masih disubsidi oleh
pemerintah. Saran: Pertahankan pengertian dan komitmen, terutama dalam efisiensi biaya
melalui analisis aktivitas lebih lanjut. Jika gaji pegawai negeri tidak disubsidi lagi, kelas Utama 2
dan Utama 3 tidak dapat mencapai Titik Impas (BEP), walaupun dengan Tingkat Hunian Tempat
Tidur (BAD) dapat dipertimbangkan untuk kenaikan tingkat 100%.

IV. KESIMPULAN

Penyediaan pelayanan publik dapat dibiayai melalui dua sumber, yaitu pajak dan
pembebanan langsung kepada masyarakat sebagai konsumen jasa publik (charging for
services). Pembebanan tarif dilakukan karena alasan efisiensi ekonomi, untuk memperoleh
keuntungan dank arena adanya barang privat dan barang publik yang perlu diatur
penggunaannya secara proporsional dan memenuhi asas keadilan.

20
Pembebanan pelayanan publik merupakan salah satu sumber penerimaan bagi
pemerintah selain pajak, penjualan asset milik pemerintah, utang dan laba BUMN/BUMD.
Masalah utama dalam pembebanan pelayanan publik adalah menentukan beberapa harga
yang harus dibebankan. Aturan yang bias dipakai adalah beban dihitung sebesar total biaya
untuk menyediakan pelayanan tersebut. Dalam menentukan harga pelayanan publik juga dianut
konsep different cost for different purpose yaitu membedakan cost untuk pelayanan yang
berbeda. Masalah lain adalah adanya hidden cost yang menyulitkan dalam mengetahui total
cost. Kesulitan untuk menghitung biaya total adalah karena sulit mengukur jumlah yang
dikonsumsi dan perbedaan jumlah biaya untuk melayani masing-masing orang. Pembebanan
tidak memperhitungkan kemampuan mayarakat untuk membayar dan biaya apa saja yang
diperhitungkan sehingga untuk memudahkan digunakan konsep current cost operation, capital
cost, dan marginal cost (biaya penambahan kapasitas).
Marginal cost pricing menganut prinsip bahwa tarif yang dipungut seharusnya sama
dengan biaya untuk melayani tambahan konsumen. Marginal cost pricingmemperhatikan biaya
operasi variabel, semi variabel overhead cost, biaya penggantian atas asset modal dan biaya
penambahan asset modal yang digunakan untuk memenuhi tambahan permintaan. Namun
demikian, konsep marginal cost pricing juga mengahadapi berbagai kendala. Oleh karena itu
perlu ditemukan metode terbaik untuk menetapkan harga pelayanan publik.

DAFTAR PUSTAKA

Mardiasmo.2004. Akuntansi Sektor Publik. Edisi IV. Yogyakarta : Andi Offset.

Paulley, N. Balcombe, R. Mackett, R. Titheridge, H. Preston, JM. Wardman,M .Shires, JD.


White, P. (2016). THE DEMAND FOR PUBLIC TRANSPORT: THE EFFECTS OF FARES,
21
QUALITY OF SERVICE, INCOME AND CAR OWNERSHIP. White Rose Research Online.
ISSN 0967-070X, 13 (4), 295-306.

Prastiwi, Dewi., Fitrayati, Dhiah. (2013). ANALISIS PENENTUAN TARIF LAYANAN BUS KOTA
BERDASARKAN MARGINAL COST PRICING (STUDI PADA PERUM DAMRI SURABAYA).
Jurnal Akuntansi AKRUAL; e-ISSN: 2502-6380, 5 (1), 75-98.

Puspitawati, D.I, Ratnawati, Tri. (2014). Analisis Kinerja Kemandirian Keuangan Dan Aktivitas
Layanan Rawat Inap Utama Pada Badan Layanan Umum Daerah Rumah Sakit Jiwa Menur
Dengan Metode Activity Based Costing. Jurnal Ilmu Ekonomi & Manajemen, Vol. 10 No.1,
16 26.

22

Anda mungkin juga menyukai